III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian di lakukan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data tahun 2005 sampai dengan data tahun 2009. Pemilihan dilakukan secara sengaja (purposive) melihat provinsi Jawa Barat merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia dengan geografis yang strategis dan kaya akan sumber daya alam akan tetapi kemiskinan dan ketimpangan masih relatif tinggi. 3.2 Jenis dan Sumber data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari BPS, situs Provinsi Jawa Barat, penelitian-penelitian terdahulu, jurnal-jurnal, dan bahan literatur sebagai pelengkap. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks pembangunan manusia, jumlah penduduk miskin, PDRB per kapita, jumlah SD dan SMP, jumlah guru, jumlah murid jumlah puskesmas, jumlah rumah sakit, dan jumlah pelayan kesehatan, dan panjang jalan. 3.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat keadaan sumber daya manusia di Jawa Barat dan bagaimana implementasi kebijakan pemerintah daerah dengan realitas keadaan pembangunan manusia di Jawa Barat. Sementara analisis kuantitatif digunakan dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia di Jawa Barat, dan seberapa besar sarana prasarana pendidikan dan kesehatan mempengaruhi pembangunan manusia di provinsi tersebut. Data yang digunakan adalah data panel atau pooled data (pooling cross section-time series regression) dengan unit cross section-nya 25 kabupaten/kota dan unit time series yang digunakan adalah tahun 2005,2006, 2007, 2008dan 2009.
46
3.4 Spesifikasi Model Panel Data Spesifikasi model data panel dalam mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia di Jawa Barat didasarkan dan dimodifikasi dari model umum yang digunakan Cahyadi (2005) yaitu: PM = f( IPD, IPPM, IKEM, IPEN, IKES) Dimana: PM
= Pembangunan Manusia
IPD
= Indikator Pembangunan Daerah
IPPM
= Indikator Pembiayaan Pembangunan
IKEM
= Indikator Kemiskinan
IPEN
= Indikator Pendidikan
IKES
= Indikator Kesehatan
Tabel 3.1 Definisi Data dalam Tabel No. 1.
Indikator Pembangunan Manusia
2.
Pembangunan Daerah
3.
Pembiayaan Pembangunan
4.
Kemiskinan
5.
Pendidikan
6.
Kesehatan
Variabel Tingkat Pembangunan Manusia: diwakili dengan menggunakan variabel indeks pembangunan manusia (IPM) tiap Kab/Kota di Jawa Barat Faktor pendapatan daerah, yakni diwakili dengan menggunakan variabel PDRB tiap kab/kota di Jawa Barat Faktor peran pemerintah daerah yakni dapat diwakilkan dengan variabel Realisasi anggaran tiap kab/kota di Jawa Barat Faktor kemiskinan daerah, dapat diwakilkan dengan variabel Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat Faktor Sarana Pendidikan, dapat dilihat dari rasio jumlah sekolah dengan penduduk di tiap kabupaten/kota di Jawa Barat. Faktor Pelayan Pendidikan, dapat dilihat dari rasio guru terhadap murid sekolaha tiap kab/kota di Jawa Barat. Fator Sarana Kesehatan, dapat dilihat dari rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk di tiap Kab/ Kota di Jawa Barat. Faktor Pelayan Kesehatan, dapat dilihat dari rasio jumlah dokter, bidan dan perawat terhadap penduduk di tiap Kab/kota di Jawa Barat
Keterangan Variabel Terikat
Variabel Bebas Variabel Bebas
Variabel Bebas Variabel Bebas
Variabel Bebas
47
Dengan dasar model umum diatas, penulis memodifikasi dan memasukkan variabel-variabel sebagai berikut: Tabel. 3.2 Variabel dalam Penelitian No. Variabel ID 1. Indeks IPM Pembangunan Manusia 2. PDRB per kapita PDRBk
Satuan %
Sumber BPS
Keterangan
Rp
BPS
POV
%
BPS
SRNPEN
sekolah per orang
BPS
GR
guru per orang
BPS
PDRB perkapita menurut tahun dasar 2000 Persentase tingkat kemiskinan Rasio Jumlah sekolah SD dan SMP terhadap usia penduduk 514 tahun. Rasio jumlah guru SD dan SMP terhadap murid SD dan SMP. Rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk Rasio Jumlah Dokter, Perawat, dan Bidan terhadap jumlah penduduk Rasio Panjang Jalan Raya terhadap jumlah penduduk
3.
Kemiskinan
4.
Sarana Pendidikan
5.
Jumlah Guru
6.
Sarana Kesehatan
SRNKES
puskesmas per orang
BPS
7.
Pelayan Kesehatan
PKES
pelayan kesehatan per orang
BPS
8.
Sarana Infrastruktur
SRNINF
km per orang
BPS
48
Variabel PDRB per kapita dapat digunakan sebagai gambaran rata-rata pendapatan yang dihasilkan oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. PDRB per kapita diperoleh dari hasil pembagian antara PDRB dengan jumlah penduduk. Dihipotesiskan bahwa PDRB per kapita berhubungan positif dengan IPM, dimana makin besar pendapatan per kapita masyarakat di suatu wilayah maka IPM di wilayah tersebut akan membaik. Jumlah penduduk miskin dimasukkan dalam permodelan dikarenakan erat kaitannya dengan pembangunan manusia di suatu wilayah. Diduga hubungan antara jumlah penduduk miskin dan indeks pembangunan bersifat negatif, artinya jika penduduk miskin di suatu wilayah meningkat, maka indeks pembangunan manusia di wilayah tersebut akan menurun. Jumlah SekolahDasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dimasukkan untuk melihat hubungan sarana prasarana pendidikan dalam mempengaruhi IPM. Adapun tingkat SD dan SMP diperhitungkan sebagai jenjang minimal dalam mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang lebih layak sehingga dapat berpengaruh positif terhadap IPM.Rasio antara guru SD dan SMP terhadap murid dimasukkan dalam model untuk melihat ketercukupan pengajar dalam mendidik murid sehingga tercapai pendidikan yang meningkatkan kualitas. Jumlah Puskesmas, jumlah rumah sakit, dan jumlah pelayan kesehatan merupakan variabel-variabel yang menunjukkan prasarana kesehatan. Jumlah pelayan kesehatan disini adalah jumlah dokter, perawat, dan bidan. Diduga ketiga variabel ini berhubungan positif terhadap IPM, artinya makin banyak jumlah puskesmas, rumah sakit, dan pelayan kesehatan, maka IPM akan meningkat. Rasio jumlah dokter dan perawat terhadap penduduk dimasukkan dalam model untuk melihat ketercukupan pelayan kesehatan dalam melayani penduduk, sehingga akses kesehatan di dapat oleh semua lapisan masyarakat. Sarana infrastruktur tidak dapat dilepaskan dalam mengukur IPM. Sarana infrastruktur diukur dengan panjang jalan kabupaten/kota. Sarana infrastruktur yang baik dapat menopang kelancaran masyarakat dalam mengakses saranasarana pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian infrastruktur yang baik akan mendukung peningkatan IPM.
49
Dengan
demikian
spesifikasi
dalam
mengkaji
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pembangunan manusia dapat dirumuskan sebagai berikut: LNIPMit = α + β1LNPDRBkit+ β2LNPOVit+ β3LNSRNPENit +β4LNGRit + β5LNSRNKESit + β6LNPKES + β7LNSRNINFit +uit Dimana: LNIPMit
=
Natural logaritma dari indeks pembangunan manusia untuk kabupaten/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPovit
=
Natural logaritma jumlah penduduk miskin untuk kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPDRBkit
=
Natural logaritma PDRB perkapita menurut tahun dasar 2000 untuk kab/kota ke-i pada tahun ke-t (Rp)
LNSRNPENit
=
Natural logaritma Rasio Jumlah sekolah SD dan SMP terhadap usia penduduk 5-14 tahun kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNGRit
=
Natural logaritma Rasio jumlah guru SD dan SMP terhadap murid SD dan SMP kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNSRNKESit
=
Natural logaritma Rasio jumlah sarana kesehatan (Puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling) terhadap jumlah penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNPKESit
= Natural logaritma Rasio jumlah pelayan kesehatan (dokter umum, dokter gigi, dan bidan) terhadap penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
LNSRNIINFit
=
Natural logaritma Rasio panjang jalan terhadap jumlah penduduk pada kab/kota ke-i pada tahun ke-t
uit
=
Error term
3.5 Pengujian Model dan Hipotesis Permodelan diatas harus diuji terlebih dahulu dengan kriteria ekonomi dan pengujian statistik. Pengujian dengan kriteria ekonomi dapat dilakukan dengan melihat tanda pada koefisien masing-masing peubah bebas. Dengan demikian
50
sebelum dilakukan estimasi model perlu dibuat hipotesis agar dapat dibandingkan dengan hasil estimasi. Hipotesis tersebut dapat menjadi dasar kesesuaian hasil estimasi. Sedangkan untuk pengujian berdasarkan kriteria statistik dapat dilakukan dengan cara uji koefisien regresi (uji t) dan uji statistik R2. 3.5.1 Uji F Uji F ditujukan untuk mengetahui apakah variable-variabel independen secara bersama-sama memberi pengaruh yang signifikan terhadap variable dependennya atau tidak. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam melakukan uji F adalah sebagai berikut: 1. Perumusan hipotesis Ho:
=
H1:
>
Dimana:
(atau (atau
/
≤
) > 1)
adalah keragaman dari model regresi,
adalah
keragaman sisaan. 2. Penghitungan nilai F-statistik. F-statistik ini dapat diperoleh dari perhitungan komputer atau dengan manual. Secara manual, penghitungan F dirumuskan sebagai berikut: Fhit = KTR/KTS~ F (dbr, dbe) KTR = kuadrat terkecil regresi KTS = kuadrat terkecil sisa/ galat Dapat ditunjukkan : Fk-1,n-k = Dimana: dbr = derajat bebas dari model regresi (k-1) dbe = derajat bebas total model dikurangi derajat bebas model regresi (n-k) Bandingkan F-statistik dengan F-tabel pada α (taraf nyata 5%). Bisa juga dilakukan dengan membandingkan probabilitas F-Statistik dengan α (taraf nyata 5%). 3. Jika F-statistik > F-tabel pada α atau prob (F-statistic) < α (0,05), maka terima H1, artinya, variable-variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variable dependennya. 51
3.5.2 Uji t Uji t dalam beberapa buku disebut juga uji statistik parsial. Uji dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing parameter bebas yang dipakai berpengaruh nyata atau tidak terhadap parameter tidak bebas. Dalam Ramanathan (1998), langkah-langkah analisisnya dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Perumusan Hipotesis H0 : β = 0artinya perubahan X tidak tidak mempengaruhi Y H1 : β ≠ 0artinya perubahan X mempengaruhi Y 2. Penghitungan nilai t-statistik. T-statistik ini dapat diperoleh dari perhitungan komputer atau dengan menggunakan cara manual. Formula untuk menghitung t-statistik secara manual dalam Juanda (2009) adalah: =
(
dimana
)
= ( /∑
̅)
= koefisien yang diestimasi = standard error untuk = Nilai Slope = satuan perubahan Y akibat perubahan X
KTG
= kuadrat tengah galat
3. a. Bandingkan dengan t-tabel yaitu nilai t pada df n-k dan taraf nyata α untuk one-tailed test dan α/2 untuk two-tailed test. b. Uji t-statistik juga dapat dilakukan dengan pendekatan p-value, p-value adalah peluang nilai t lebih besar dari tc 4. a. Tolak hipotesis nol jika | thit| > t* artinya variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai variabel tidak bebas. b. Tolak H0 atau dapat disimpulkan bahwa koefisien adalah signifikan jika p-value lebih kecil dari taraf nyata α (one-tailed test) atau α/2 (two-tailed t-test). Taraf nyata yang digunakan pada peneletian ini adalah lima persen (5%). 3.5.3 Uji Statistik R2 Nilai R2 menunjukkan persentase variabel tak bebas dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Semakin tinggi nilai R2 maka semakin baik model karena semakin besar keragaman peubah dependen yang dapat dijelaskan oleh peubah
52
independen. Perhitungan R2 dapat dilakukan dengan mengikuti rumus berikut (Ramanathan, 1998): =1−
∑(
∑
Dimana:
− )
= 1−
=
ESS
= Error Sum Square atau Jumlah Kuadrat Terkecil
RSS
= Regression Sum Square atau Jumlah Kuadrat Regresi
TSS
= Total Sum Square atau Jumlah Kuadrat Total = Variabel pengganggu (error term) dari model yang diestimasi = estimated y = Variabel dependen rata-rata
3.5.4 Multikolinearitas Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel bebas dalam persamaan regresi berganda (Ramanathan, 1998). Gejala multikolinearitas ini dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai dengan teori (Gujarati, 2003). Uji formal untuk menentukan ada atau tidaknya multikolinearitas dilakukan jika terdapat suatu keraguan apakah nilai koefisien determinasi termasuk tinggi atau tidak. Akan tetapi jika suatu model sudah ditetapkan memiliki nilai koefisien determinasi yang tinggi, uji formal menentukan multikolinearitas dapat dideteksi dari dampak yang ditimbulkan akibat adanya multikolinearitas (Nachrowi, 2006). Multikolinearitas dalam pooled data dapat diatasi dengan memberikan pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu menjadi signifikan (Gujarati, 2003). 3.5.5
Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi dari model regresi linear adalah bahwa ragam sisaan (ε t) sama atau homogen. Dengan pengertian lain, Var (εi) = E (εi2) = σ2 untuk setiap pengamatan ke-i dan peubah-peubah bebas dalam model regresi. Asumsi ini
53
disebut homoskedastisitas (homoscedasticity). Jika ragam tidak sama atau Var (εi) = E (εi2) = σi2 untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi, maka dikatakan bahwa ada masalah heteroskedatisitas (Juanda, 2009). Apabila asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi maka akan menyebabkan dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias, dan masih konsisten, tapi standar errornya bias ke bawah. Hal ini menyebabkan penduga OLS tidak efisien lagi. Heteroskedatisitas dapat dideteksi dengan membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih kecil dibandingkan dengan sum square residual unweighted statistics maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas. Masalah heteroskedatisitas dapat diatasi dengan metode white heteroskedasticity yang diestimasi dengan GLS. 3.5.6
Autokorelasi
Asumsi lain dalam persamaan linear adalah tidak adanya autokorelasi yakni korelasi serial antara sisaan (εt) tidak ada. Dengan pengertian lain, sisaan menyebar bebas atau Cov (εi, εj) = E (εi, εj) = 0 untuk semua i≠j, dan dikenal juga sebagai bebas serial (serial independence) (Juanda, 2009). Masalah autokorlasi ini akan membuat model menjadi tidak efisien meskipun nasih tidak bias dan konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi standard error dan varian koefisien regresi yang diperoleh akan underestimate. Sehingga R2 akan besar dan uji-t serta uji-F menjadi tidak valid. Autokorelasi yang kuat dapat menyebabkan dua variabel yang tidak berhubungan menjadi berhubungan. Bila OLS digunakan, maka akan terlihat koefisien signifikan dan R 2 yang besar atau disebut juga sebagai regresi lancung atau palsu (Nachrowi, 2006). Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin Watson (DW) yaitu dengan membandingkan nilai DW dari model dengan DWtabel. Jika d < dL, maka terjadi autokorelasi. Jika d > 4 – dL, maka ada autokorelasi dan jika du < d < du-4, dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi. dL disini merupakan symbol untuk DW tabel dan d adalah DW hasil perhitungan. Untuk mengatasi permasalahan ini bisa dilakukan dengan metode pembedaan tingkat pertama (The first-difference methode) (Nachrowi, 2006).
54
Metode Pembedaan Pertama (The first-difference methode) memberikan sebuah kriteria untuk menggunakan metode ini jika statistik DW lebih kecil dibandingkan dengan R2. Pada metode pembeda pertama tersebut dapat diasumsikan bahwa ρ mendekati satu atau diasumsikan mempunyai autokorelasi yang kuat. Akan tetapi jika diinginkan nilai ρ yang lebih tepat, ρ dapat diestimasi berdasarkan Durbin Watson dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
=1−
2
= estimasi koefisien korelasi = statistik Durbin-Watson
Kemudian data variabel bebas dan variabel terikat ditransformasikan dengan cara: ∗
∗
=
=
−
−
Setelah ditransformasikan dapat dilakukan estimasi dengan metode Least Square biasa.
55