25
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di instansi-instansi yang terkait dengan kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi.
Penerapan/uji coba model dilakukan di
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang secara administratif pemerintahan termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Kegiatan penelitian berlangsung selama 19 bulan (Januari 2010 – Juli 2011), dengan pengambilan data di lapangan selama 8 bulan (Oktober 2010 – Mei 2011). 3.2. Desain dan Tahapan Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian survai. Pengumpulan data dalam penelitian survai ini dilakukan melalui cara: 1) Wawancara (interview) dengan pakar/ahli, dilakukan untuk memperoleh data/persepsi
pakar/ahli
dalam
merumuskan
kriteria
kawasan
hutan
konservasi yang perlu segera direstorasi, merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, dan merumuskan
kriteria,
subkriteria,
alternatif
prioritas
kegiatan/tindakan
restorasi di lokasi uji coba model. Penentuan pakar/ahli sebagai nara sumber dalam penelitian ini dilakukan melalui sampling bola salju (snowball sampling). Pakar/ahli yang dijadikan sebagai nara sumber adalah pakar/ahli yang memiliki keahlian di bidang restorasi hutan dan pengelolaan kawasan hutan konservasi. Jumlah pakar/ahli fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. 2) Wawancara (interview) dengan pengambil kebijakan, dilakukan untuk memperoleh data/persepsi pengambil kebijakan dalam memboboti kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, memboboti kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi,
dan
memboboti
kriteria,
subkriteria,
alternatif
prioritas
kegiatan/tindakan restorasi di lokasi uji coba model. Penentuan pengambil kebijakan sebagai nara sumber dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling, yaitu pimpinan dari instansi yang berkepentingan dengan kegiatan restorasi di kawasan hutan konservasi.
26
3) Wawancara
(interview)
dengan
masyarakat
sekitar,
dilakukan
untuk
memperoleh data tentang persepsi dan partisipasi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP.
Penentuan lokasi sampel
dilakukan secara purposive (bertujuan), yaitu desa-desa yang menjadi lokasi sampel adalah desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGGP dan terdapat berbagai upaya yang berhubungan dengan pemulihan ekosistem kawasan TNGGP, baik melalui kegiatan adopsi pohon maupun melalui kegiatan gerakan rehabilitasi hutan (Gerhan).
Adapun desa-desa
yang menjadi lokasi sampel adalah Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur dan Desa Cihanyawar, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi.
Unit contoh pada penelitian ini adalah Kepala Rumahtangga
(KRT) yang terdapat pada kedua desa terpilih. Penarikan contoh dilakukan secara acak (random sampling). Jumlah contoh (responden) yang diambil dalam penarikan contoh ini ditetapkan secara quota, yaitu sebanyak 30 KRT pada setiap desa, sehingga jumlah contoh (responden) keseluruhan adalah sebanyak 60 KRT. 4) Pengamatan langsung di lapangan (direct observation), dilakukan untuk memperoleh data biofisik di lapangan dan sekaligus untuk mengklarifikasi kebenaran dari berbagai informasi yang telah diperoleh. 5) Studi literatur, dilakukan untuk melengkapi data dan informasi yang diperlukan dalam menunjang kegiatan penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer ini diperoleh dari hasil wawancara
(interview) dengan pakar/ahli, wawancara (interview) dengan pengambil kebijakan, serta hasil pengamatan langsung di lapangan (direct observation). Sedangkan data sekunder diperoleh dari studi literatur terhadap berbagai laporan dan dokumen, seperti hasil penelitian/publikasi yang berkaitan dengan kegiatan penelitian yang sedang dilakukan, peraturan perundang-undangan, data kependudukan, maupun data lainnya yang dapat menunjang kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian ini terdiri atas 2 tahapan penelitian, yaitu: 1) Tahap pembangunan model, meliputi: (1) Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi (2) Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi
27
(3) Penentuan acuan restorasi (4) Penentuan prioritas jenis terpilih 2) Tahap uji coba model, meliputi: (1) Lokasi uji coba model (2) Penentuan kategori prioritas restorasi TNGGP (3) Penentuan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi a. Penutupan lahan di kawasan TNGGP b. Kondisi kriteria lainnya di kawasan TNGGP c. Lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi (4) Penentuan acuan restorasi TNGGP (5) Penentuan prioritas jenis terpilih di TNGGP (6) Prioritas kegiatan/tindakan restorasi TNGGP a. Persepsi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP b. Partisipasi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP Secara lebih detail, metode yang digunakan pada setiap tahapan kegiatan penelitian dijelaskan dalam uraian berikut ini. 3.3. Pembangunan Model 3.3.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi dilakukan melalui pendekatan dua aspek, yaitu: aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data/persepsi tentang kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan (importance)
suatu
kawasan
hutan
konservasi
dan
aspek
tingkat
kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dilakukan melalui wawancara (interview) dengan pakar/ahli yang menjadi nara sumber, yaitu berasal dari Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Kemenhut dan Puslit Biologi, LIPI.
Sebagai bahan wawancara (interview) digunakan
kuesioner yang berisi kriteria hipotetik kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan hasil studi literatur (Lampiran 21).
Kriteria
28
hipotetik tersebut berfungsi untuk memudahkan pakar/ahli dalam memahami tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan pengumpulan data yang dilakukan. Pakar/ahli yang menjadi nara sumber kemudian merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi sesuai dengan persepsinya. Kriteria yang dirumuskan pakar/ahli tersebut bisa sama atau berbeda dengan kriteria hipotetik yang telah disusun karena tergantung pada persepsi pakar/ahli tersebut dalam memandang suatu kriteria (Lampiran 5). Pakar/ahli yang menjadi nara sumber kemudian memberikan arahan terhadap variabel penilaian untuk masing-masing kriteria yang telah dirumuskannya beserta arahan skala intensitas untuk variabel penilaiannya, sedangkan untuk detail variabel penilaiannya dirumuskan melalui hasil studi literatur maupun arahan pakar/ahli tersebut. b. Metode Analisis Data: Jika terdapat beberapa pakar/ahli, maka dilakukan rekapitulasi terhadap rumusan kriteria yang dihasilkan oleh masing-masing pakar tersebut dan untuk kriteria-kriteria yang mirip/serupa digabungkan.
Setelah diperoleh rumusan
kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi yang dihasilkan oleh pakar/ahli, kemudian rumusan kriteria tersebut diboboti oleh pengambil kebijakan yang menjadi nara sumber. Pembobotan terhadap masing-masing kriteria dilakukan melalui teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Jika terdapat beberapa pengambil kebijakan, maka terlebih dahulu dicari nilai rata-rata geometrik dari nilai perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan tersebut untuk selanjutnya dilakukan perhitungan bobot masing-masing kriteria dengan menggunakan software Expert Choice 2000. Berdasarkan hasil analisis data tersebut diperoleh matriks kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, yang berisi: kriteria, bobot kriteria, variabel penilaian, dan skala intensitas. Untuk menentukan kategori prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dengan memperhatikan aspek tingkat kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
29
1) Berdasarkan matriks kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, plotkan kawasan hutan konservasi yang akan dinilai sesuai dengan nilai kondisi kawasan hutan konservasi tersebut pada masingmasing aspek (tingkat kepentingan dan tingkat kemendesakan). 2) Perhitungan skor masing-masing kriteria pada masing-masing aspek dilakukan dengan cara mengalikan bobot dengan skala intensitas masingmasing kriteria pada masing-masing aspek. 3) Penjumlahan total skor untuk masing-masing aspek. Untuk menentukan prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi, maka nilai total skor untuk masing-masing aspek tersebut diletakkan pada kuadran yang sesuai (Gambar 5), yaitu sebagai berikut: Prioritas I (Kuadran I), Prioritas II (Kuadran II), Prioritas III (Kuadran III), Prioritas IV (Kuadran IV). 4) Kategori penilaian untuk merumuskan prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi dapat dilihat pada diagram matriks prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi (Gambar 6), yaitu sebagai berikut: Prioritas I (tingkat kepentingan tinggi – tingkat kemendesakan tinggi), Prioritas II (tingkat kepentingan rendah – tingkat kemendesakan tinggi), Prioritas III (tingkat kepentingan tinggi – tingkat kemendesakan rendah), Prioritas IV (tingkat kepentingan rendah – tingkat kemendesakan rendah). Tinggi T i n g k a t k e p e n t i n g a n
Kuadran III (Prioritas III)
Kuadran I (Prioritas I)
Kuadran IV (Prioritas IV)
Kuadran II (Prioritas II)
Rendah Rendah
Tingkat kemendesakan
Tinggi
Gambar 5 Posisi kuadran prioritas restorasi suatu kawasan hutan konservasi
30
Tingkat Kemendesakan Mendesak (M)
Tingkat Kepentingan
Tidak Mendesak (TM)
Prioritas I:
Prioritas III:
Penting (P)
(Suatu kawasan hutan konservasi bernilai penting dan mendesak untuk direstorasi)
(Suatu kawasan hutan koservasi bernilai penting, tetapi tidak mendesak untuk direstorasi)
Prioritas II:
Prioritas IV:
Tidak Penting (TP)
(Suatu kawasan hutan konservasi tidak bernilai penting, tetapi mendesak untuk direstorasi)
(Suatu kawasan hutan konservasi tidak bernilai penting dan tidak mendesak untuk direstorasi)
Gambar 6 Diagram matriks prioritas restorasi suatu kawasan hutan konservasi 3.3.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi dilakukan melalui pendekatan terhadap kriteria yang dapat berlaku umum pada semua kawasan hutan konservasi. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh kriteria yang dapat berlaku umum pada semua kawasan hutan konservasi dilakukan melalui studi literatur terhadap kondisi kawasan hutan konservasi tersebut, terutama pada
kawasan taman nasional.
Kemudian pada kawasan taman nasional tersebut ditentukan kriteria yang dapat berlaku umum pada semua kawasan taman nasional. Kriteria tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria hipotetik yang selanjutnya diajukan kepada pakar/ahli sebagai bahan untuk merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi. Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi oleh pakar/ahli disajikan pada Lampiran 6. Tahapan metode pengumpulan data selanjutnya sama seperti metode pengumpulan data pada subbab 3.3.1.
31
b. Metode Analisis Data: Metode analisis data untuk merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi sama seperti metode analisis data pada subbab 3.3.1. Untuk menentukan lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi dilakukan dengan menggunakan metode Geographical Information System (GIS), yaitu melalui skoring dan overlay.
Model analisis yang
digunakan adalah sebagai berikut: n
Y = ∑ BixSi i =1
dimana: Y = Nilai prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi Bi = Bobot kriteria ke-i Si = Skala intensitas kriteria ke-i Kategori
penilaian
untuk
merumuskan
lokasi/bagian
kawasan
hutan
konservasi yang perlu segera direstorasi adalah sebagai berikut: (1) Prioritas I (Prioritas Sangat Tinggi) (2) Prioritas II (Prioritas Tinggi) (3) Prioritas III (Prioritas Sedang) (4) Prioritas IV (Prioritas Rendah) Untuk kawasan hutan konservasi yang berupa hutan tanaman dengan tegakan penyusunnya jenis eksotik secara otomatis dimasukkan ke dalam kategori Prioritas I (Prioritas Sangat Tinggi), karena menurut kaidah konservasi terdapatnya keaslian di suatu kawasan hutan konservasi merupakan suatu hal yang mutlak. Adapun penentuan panjang selang interval untuk tiap kategori penilaian ditentukan dengan rumus:
P=
Ymax - Ymin ∑n
Dimana: P = Panjang selang interval tiap kategori penilaian Ymax = Nilai maksimum Ymin = Nilai minimum n = Jumlah kategori penilaian Kegiatan analisis data spasial dilakukan dengan menggunakan software Arc GIS version 9.3.
32
3.3.3. Penentuan Acuan Restorasi Untuk memperoleh data dalam menentukan acuan restorasi di kawasan hutan konservasi dilakukan melalui kegiatan analisis vegetasi menggunakan metode jalur berpetak pada ekosistem/tipe vegetasi hutan alam yang menjadi ekosistem acuan bagi kawasan/bagian kawasan hutan konservasi yang akan direstorasi. Metode jalur berpetak merupakan kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak, yaitu untuk pohon digunakan metode jalur, sedangkan untuk
semai,
pancang,
dan
tiang
digunakan
metode
garis
berpetak
(Soerianegara dan Indrawan, 1998). 3.3.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih Untuk menentukan prioritas jenis terpilih dilakukan dengan menyeleksi jenis-jenis tumbuhan asli yang mampu hidup/terdapat pada seluruh tipe vegetasi hutan yang dimiliki oleh kawasan hutan konservasi. Sehingga untuk memperoleh data tersebut, selain dilakukan melalui kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi hutan alam, juga dilakukan melalui kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi hutan lainnya yang terdapat di suatu kawasan hutan konservasi.
3.4. Uji Coba Model 3.4.1. Lokasi Uji Coba Model Uji coba model dilakukan di kawasan TNGGP. Dari 50 unit taman nasional yang terdapat di Indonesia, 48% (24 unit) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan dataran rendah dan 52% (26 unit) tergolong taman nasional yang memiliki ekosistem hutan pegunungan (Ditjen PHKA, Dephut – LHI – JICA, 2007). Kawasan TNGGP dipilih sebagai tempat uji coba model yang terbaik dalam penelitian ini karena kawasan TNGGP dianggap dapat mewakili kawasan hutan konservasi lainnya.
Keterwakilan kawasan hutan konservasi
lainnya tersebut dapat dilihat dari tipe ekosistem hutan yang cukup lengkap dimiliki TNGGP, sejarah pembentukan kawasan TNGGP yang cukup kompleks, dan keberadaan jenis-jenis eksotik di kawasan TNGGP yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Selain itu, kawasan TNGGP dipilih sebagai tempat uji coba model juga dikarenakan ketersediaan data yang cukup memadai dan luas kawasan yang tidak terlalu besar sehingga dapat memudahkan dalam pelaksanaan uji coba model tersebut.
33
Apabila dilihat dari tipe ekosistem hutan yang dimilikinya, maka kawasan TNGGP memiliki 4 tipe ekosistem hutan yang dapat dibedakan berdasarkan ketinggiannya, yaitu tipe hutan dataran rendah (<1.000 mdpl) terutama pada kawasan perluasan TNGGP wilayah Bogor, tipe hutan hujan pegunungan bawah (submontana) (1.000 – 1.500 mdpl), tipe hutan hujan pegunungan (montana) (>1.500 – 2.400 mdpl), dan tipe hutan hujan subalpin (>2.400 – 4.150 mdpl). Sedangkan apabila dilihat dari sejarahnya, kawasan TNGGP memiliki sejarah pembentukan yang cukup kompleks. Kawasan TNGGP seluas 15.196 ha pada tahun 1982 merupakan penggabungan dari beberapa kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lainnya, yaitu kawasan hutan CA Cibodas, CA Cimungkat, CA Gunung Gede Pangrango, TWA Situ Gunung, dan areal hutan alam di lereng hutan Gunung Gede Pangrango. Pada tahun 2003, kawasan TNGGP ditambah lagi dengan kawasan hutan hasil alih fungsi kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani menjadi kawasan hutan konservasi (kawasan perluasan TNGGP), sehingga luas kawasan TNGGP kini menjadi 22.851,030 ha. Selain itu, pada kawasan TNGGP juga terdapat jenis-jenis eksotik yang tidak sesuai atau bertentangan dengan kaidah-kaidah konservasi yang mensyaratkan terjaganya keaslian di kawasan hutan konservasi.
Jenis-jenis
eksotik tersebut dapat dijumpai baik pada hutan miskin jenis yang merupakan eks kawasan hutan produksi yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani (jenis pinus dan damar) maupun pada hutan alam di kawasan TNGGP. Basuni (2003) menyebutkan bahwa terdapat 42 jenis eksotik di kawasan TNGGP. Seperti halnya kawasan hutan konservasi lainnya di Indonesia, kawasan TNGGP
pun
tidak
luput
dari
berbagai
gangguan
(disturbance)
menyebabkan terjadinya kerusakan kawasan hutan tersebut.
yang
Berbagai
gangguan (disturbance) yang terjadi di kawasan TNGGP diantaranya adalah penebangan liar, pengambilan hasil hutan nonkayu, pengambilan kayu bakar, dan perambahan lahan (Subdit Pemolaan dan Pengembangan, Direktorat Konservasi Kawasan, Ditjen PHKA, Dephut, 2008). Adapun intensitas gangguan (disturbance) terbesar di kawasan TNGGP terutama terjadi pada kawasan perluasan TNGGP yang memiliki luas 7.655,030 ha dari luas keseluruhan kawasan TNGGP seluas 22.851,030 ha.
Kawasan
hutan perluasan TNGGP tersebut merupakan kawasan hutan yang sebelumnya dikelola oleh Perum Perhutani sebagai hutan produksi dan hutan lindung yang
34
secara resmi telah diserahterimakan dari Perum Perhutani kepada Departemen Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam pada tanggal 29 Januari 2009 (PIK, Dephut, 2009).
Terdapatnya berbagai
gangguan (disturbance) yang menyebabkan kerusakan kawasan TNGGP dapat mengurangi peranan penting kawasan TNGGP bagi kehidupan masyarakat sekitar. Terjadinya kerusakan hutan dan terdapatnya jenis-jenis eksotik di kawasan TNGGP dapat mengganggu peranan penting kawasan TNGGP bagi kehidupan masyarakat sekitar, terutama dalam perlindungan fungsi hidroorologis dan keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya restorasi (pemulihan) kawasan TNGGP. 3.4.2. Penentuan Kategori Prioritas Restorasi TNGGP Untuk uji coba model dalam menentukan kategori prioritas restorasi kawasan TNGGP dilakukan penilaian terhadap kondisi nilai variabel penilaian yang dimiliki oleh kawasan TNGGP sesuai dengan model yang telah dirumuskan pada subbab 3.3.1. 3.4.3. Penentuan Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Untuk uji coba model dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi, langkah pertama adalah dikumpulkannya terlebih dahulu data-data yang diperlukan sesuai dengan kriteria yang telah dirumuskan sebelumnya. Data-data tersebut adalah berupa kondisi biologi, fisik, dan sosial kawasan TNGGP yang diperoleh baik melalui pengumpulan data di lapangan maupun melalui pengumpulan data sekunder/studi literatur. 3.4.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP Penutupan lahan di kawasan TNGGP merupakan salah satu data yang diperlukan untuk melakukan uji coba model dalam menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi. Adapun metode pengumpulan dan analisis data penutupan lahan di kawasan TNGGP dapat dilihat pada uraian berikut ini. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data penutupan lahan di kawasan TNGGP dilakukan melalui kegiatan observasi lapang dan pengumpulan data spasial yang dibutuhkan, yaitu sebagai berikut: citra landsat TM path 122/row 65 tahun
35
2010; peta digital Rupa Bumi Indonesia; dan peta tata batas kawasan hutan TNGGP. Kegiatan observasi lapang dilakukan untuk mengetahui posisi geografis obyek yang diamati dengan menggunakan alat GPS. b. Metode Analisis Data: Citra landsat TM diolah dengan menggunakan software ENVI.
Langkah
pertama yang dilakukan untuk menganalisis citra landsat TM adalah dengan mengadakan koreksi-koreksi dari citra landsat TM tersebut dengan acuan peta rupa bumi. Proses resampling nilai digital citra asli ke dalam citra terkoreksi dengan menggunakan metode nearest neighbourhood interpolation. Penentuan lokasi penelitian (clipping) dilakukan dengan menggunakan peta tata batas kawasan hutan TNGGP. Selanjutnya dilakukan interpretasi citra landsat TM (Thematic Mapper) dengan menggunakan klasifikasi berbasis obyek (object oriented classification). Pembagian kelas klasifikasi dibuat berdasarkan kondisi penutupan lahan sebenarnya di lapangan dan dibatasi menurut kebutuhan pengklasifikasian. Adapun kelas klasifikasi tersebut terdiri atas: hutan primer (hutan alam yang masih alami), hutan sekunder (hutan alam yang terganggu), hutan tanaman, pertanian campur semak, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan kering, belukar, sawah, lahan terbuka, badan air, awan dan bayangan awan. Cek lapangan dilakukan untuk mengetahui kondisi saat ini di lapangan. Posisi geografis
obyek
yang
diamati
di
lapangan
dapat
diketahui
dengan
menggunakan alat GPS. Untuk pengujian akurasi digunakan metode overall accuracy dengan menggunakan confusion matrix. Akurasi klasifikasi diukur berdasarkan persentase jumlah piksel yang dikelaskan secara benar dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan (jumlah piksel yang terdapat di dalam diagonal matrik dengan jumlah seluruh piksel yang digunakan). Akurasi dinilai akurat apabila nilai akurasinya ≥ 85. Peta penutupan lahan tersebut merupakan salah satu peta kriteria yang kemudian diberikan skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada kriteria tersebut menjadi peta bobot/skala intensitas variabel penilaian. Peta bobot/skala intensitas variabel penilaian untuk kriteria penutupan lahan tersebut kemudian akan dijadikan sebagai input dalam analisis selanjutnya untuk menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi. Proses pengolahan citra disajikan pada Gambar 7 berikut ini.
36
Citra Landsat TM
Koreksi Radiometrik
Koreksi Geometrik
Peta Rupa Bumi Digital
Pemilihan Daerah Penelitian (Clipping)
Pengumpulan Data Referensi (Reference Data Collection)
Klasifikasi Citra Berbasis Obyek (Object Oriented Classification)
Citra Hasil Klasifikasi
Tidak Diterima Uji Akurasi Diterima Peta Penutupan Lahan Gambar 7 Proses pengolahan citra 3.4.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP Untuk
memperoleh
data-data
kriteria
lainnya
dalam
menentukan
lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi dilakukan melalui pengumpulan data sekunder.
Data-data kriteria lainnya tersebut kemudian
dijadikan sebagai data spasial berupa peta kriteria, selanjutnya peta kriteria tersebut diberikan skala intensitas sesuai kondisi variabel penilaian pada kriteria tersebut menjadi peta bobot/skala intensitas variabel penilaian. Peta bobot/skala intensitas variabel penilaian tersebut kemudian akan dijadikan sebagai input
37
dalam analisis selanjutnya untuk menentukan lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi. 3.4.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi Untuk uji coba model dalam menentukan lokasi/bagian TNGGP yang perlu segera direstorasi dilakukan overlay terhadap peta-peta skala intensitas/bobot variabel penilaian untuk masing-masing kriteria yang dimiliki oleh kawasan TNGGP sesuai dengan model yang telah dirumuskan pada subbab 3.3.2. 3.4.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Kegiatan analisis vegetasi pada ekosistem/tipe vegetasi hutan alam yang menjadi ekosistem acuan/masih baik kondisinya difokuskan pada kawasan hutan TNGGP yang termasuk tipe ekosistem hutan submontana (ketinggian 1.000 - 1.500 mdpl), karena kerusakan hutan yang terjadi pada umumnya terdapat pada tipe ekosistem ini dan pada ketinggian tersebut terdapat kawasan hutan perluasan TNGGP yang sebelumnya merupakan kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung eks Perum Perhutani. Peta lokasi kegiatan analisis vegetasi disajikan pada Lampiran 1. Jumlah jalur dalam pengumpulan data vegetasi adalah sebanyak 3 jalur dengan panjang jalur total 1,5 km dan jumlah petak pada masing-masing jalur sebanyak 25 petak dengan luas petak total 3 ha. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan pada petak-petak contoh berukuran tertentu yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan vegetasi (Gambar 8). c
d
b
Arah jalur
a a
b
d
c
Keterangan: a. Semai b. Pancang c. Tiang d. Pohon
: : : :
anakan pohon mulai dari kecambah sampai tinggi < 1,5 m anakan pohon yang tingginya ≥ 1,5 m dengan diameter batang < 10 cm pohon muda yang berdiameter ≥ 10 cm sampai diameter < 20 cm pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm
Gambar 8 Bentuk dan ukuran petak pengamatan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak
38
Adapun ukuran petak-petak contoh tersebut adalah sebagai berikut: (1) petak ukur tingkat semai dengan luasan 2m x 2m, (2) petak ukur tingkat pancang dengan luasan 5m x 5m, (3) petak ukur tingkat tiang dengan luasan 10m x 10m, dan (4) petak ukur tingkat pohon dengan luasan 20m x 20m. b. Metode Analisis Data: Berdasarkan data hasil analisis vegetasi diketahui komposisi dan struktur jenis vegetasi yang ada di kawasan tersebut.
Kemudian setiap jenis vegetasi
dihitung Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D), dan Dominansi Relatif (DR) dengan rumus sebagai berikut: Jumlah individu suatu jenis Kerapatan Jenis (K)
= Luas plot pengamatan Kerapatan suatu jenis
Kerapatan Relatif (KR) =
x 100% Kerapatan seluruh jenis Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Frekuensi Jenis (F)
= Jumlah total plot pengamatan Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Relatif (FR) =
x 100% Frekuensi seluruh jenis Luas bidang dasar suatu jenis
Dominansi Jenis (D)
= Luas plot pengamatan Dominasi suatu jenis
Dominansi Relatif (DR) =
x 100% Dominasi seluruh jenis
Selanjutnya dihitung nilai Indeks Nilai Penting (INP) untuk mengetahui jenis dan tingkat tumbuhan yang dominan dengan rumus sebagai berikut: • Semai: INP = KR + FR • Pancang, Tiang, Pohon: INP = KR + FR + DR Untuk mengetahui derajat keanekaragaman jenis tumbuhan dilakukan dengan rumus Indeks Shannon sebagai berikut (Whittaker, 1975):
39
⎡⎛ n ⎞ ⎛ n ⎞⎤ H’ = - ∑ ⎢⎜ i ⎟ ln⎜ i ⎟⎥ ⎢⎣⎜⎝ N ⎟⎠ ⎜⎝ N ⎟⎠⎥⎦ dimana : H’ = Derajat keanekaragaman jenis tumbuhan N = Total INP ni = INP suatu jenis Adapun untuk mengetahui tingkat kemerataan jenis tumbuhan pada seluruh petak contoh pengamatan akan digunakan pendekatan Indeks Kemerataan (Fachrul, 2007) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Dmax = ln S J’
= H’ / Dmax
dimana: Dmax: dominansi S : jumlah jenis J’ : nilai evenness (0-1) H’ : derajat keanekaragaman jenis tumbuhan 3.4.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP Untuk dapat menentukan prioritas jenis terpilih di TNGGP terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi hutan lainnya di kawasan TNGGP yang dilakukan pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus. a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data komposisi dan struktur vegetasi pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP sama seperti metode pengumpulan data pada subbab 3.4.4. Adapun jumlah jalur analisis vegetasi pada masingmasing tipe vegetasi hutan tersebut adalah sebanyak 3 jalur dengan jumlah petak pada masing-masing jalur sebanyak 11 - 25 petak tergantung kondisi di lapangan. Secara lebih detail, jumlah jalur beserta panjang jalur dan jumlah petak beserta luas petak pada masing-masing tipe vegetasi hutan dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Metode Analisis Data: Metode analisis data yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus di kawasan hutan TNGGP sama seperti metode analisis data pada subbab 3.4.4.
40
3.4.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data/persepsi tentang kriteria, subkriteria, dan alternatif prioritas
kegiatan/tindakan
restorasi
TNGGP
sama
seperti
metode
pengumpulan data pada subbab 3.3.1. Perumusan kriteria, subkriteria, dan alternatif prioritas kegiatan/tindakan restorasi TNGGP oleh pakar/ahli disajikan pada Lampiran 7. b. Metode Analisis Data: Metode analisis data untuk merumuskan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penerapan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Penyusunan hierarki untuk merumuskan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP. Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria, subkriteria, dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki (Gambar 9). Penentuan kriteria tersebut diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan pakar/ahli (survai pakar) ataupun berdasarkan hasil kajian ilmiah yang telah dilakukan sebelumnya. Tujuan
Kriteria 1
Subkriteria 1
Alternatif 1
Kriteria 2
Kriteria n
Subkriteria 2
Alternatif 2
Subkriteria n
Alternatif 3
Alternatif n
Gambar 9 Struktur hierarki AHP 2) Pembobotan kriteria, subkriteria, dan alternatif untuk merumuskan prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan hutan TNGGP.
Pembobotan
41
kriteria, subkriteria, dan alternatif dilakukan dengan menggunakan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) dari metode AHP yang dilakukan oleh pengambil kebijakan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif berdasarkan skala perbandingan Saaty (1983), sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Skala perbandingan nilai dan definisi pendapat kualitatif Nilai
Keterangan
1
A sama penting dengan B
3
A sedikit lebih penting dari B
5
A jelas lebih penting dari B
7
A sangat jelas lebih penting dari B
9
A mutlak lebih penting dari B
2, 4, 6, 8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber: Saaty (1983) Apabila terdapat lebih dari 1 pengambil kebijakan yang memiliki pendapat yang berbeda tentang penilaian terhadap kriteria dan alternatif, maka digunakan nilai rata-rata geometrik yang diperoleh dengan formula sebagai berikut:
x = n x1 x 2...xn dimana:
x = nilai rata-rata geometrik x1, x2, xn = nilai pengambil kebijakan ke-i n = jumlah pengambil kebijakan
Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Marimin (2005) menjelaskan bahwa matriks tersebut diolah untuk menentukan bobot dari kriteria, yaitu dengan jalan menentukan nilai eigen (eigenvector). Prosedur untuk mendapatkan nilai eigen adalah sebagai berikut: (1) Mengkuadratkan matriks tersebut. (2) Menghitung jumlah nilai dari setiap baris, kemudian melakukan normalisasi. (3) Proses ini dihentikan apabila perbedaan antara jumlah dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari suatu nilai batas tertentu.
42
Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan menggunakan Consistency Index (CI) dan Consistency Ratio (CR) dengan formula sebagai berikut:
CI =
l max - n n -1
dimana: CI
= Consistency Index
l max = eigen value maksimum n
CR =
= jumlah aktivitas atau pilihan
CI RI
dimana: CR = Consistency Ratio CI = Consistency Index RI = Random Index Indeks acak (Random Index) untuk matriks ordo 1 sampai dengan 15 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Indeks acak (Random Index) n
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
RI
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
1,51
1,48
1,56
1,57
1,59
Pada umumnya, untuk jumlah perbandingan berjumlah sembilan elemen atau kurang, maka penilaian dianggap konsisten apabila Consistency Ratio (CR) ≤ 0,1 (Purnomo, 2005; Marimin, 2005). Kegiatan analisis data dalam AHP dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice 2000. 3.4.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Untuk memperoleh data persepsi masyarakat sekitar terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP dilakukan melalui wawancara (interview) dengan masyarakat sekitar kawasan hutan TNGGP yang tinggal di dua desa yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yaitu masyarakat yang tinggal di Desa Ciputri dan Desa Cihanyawar.
Data persepsi yang dikumpulkan meliputi:
pengetahuan terhadap kawasan perluasan TNGGP, manfaat kegiatan restorasi, pemilihan jenis tumbuhan dalam kegiatan restorasi, dan aturanaturan yang diperlukan dalam kegiatan restorasi (Lampiran 22).
43
b. Metode Analisis Data: Data yang diperoleh dari hasil wawancara (interview) dengan menggunakan kuesioner berupa persepsi masyarakat sekitar yang menjadi responden terhadap kegiatan restorasi kawasan TNGGP ditabulasikan dan dijelaskan secara deskriptif. 3.4.6.2. Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP a. Metode Pengumpulan Data: Metode
pengumpulan
data
yang
digunakan
sama
seperti
metode
pengumpulan data pada subbab 3.4.6.1. Data partisipasi yang dikumpulkan meliputi: keikutsertaan yang pernah dilakukan dalam kegiatan restorasi, sponsor/penyelenggara kegiatan restorasi, sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi yang diinginkan, dan harapan yang diinginkan dari kegiatan restorasi. b. Metode Analisis Data: Metode analisis data yang digunakan sama seperti metode analisis data pada subbab 3.4.6.1. 3.5. Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 2) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 3) Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 4) Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1).
44
5) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (UU RI No. 41 Tahun 1999, Pasal 1). 6) Kawasan konservasi adalah suatu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), dan taman buru. 7) Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan (Keppres RI No. 32 Tahun 1990, Pasal 1). 8) Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (PP RI No. 28 Tahun 2011, Pasal 1) 9) Keanekaragaman hayati adalah keseluruhan genus, spesies, dan ekosistem di dalam suatu wilayah (WRI – IUCN – UNEP, 1995). 10) Ekosistem sumberdaya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nirhayati yang saling tergantung dan pengaruh mempengaruhi (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 11) Habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 12) Satwaliar adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 13) Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang hidup di alam bebas dan atau dipelihara, yang masih mempunyai kemurnian jenisnya (UU RI No. 5 Tahun 1990, Pasal 1). 14) Tumbuh-tumbuhan
adalah
makhluk
yang
mempunyai
kemampuan
menangkap, mengikat, dan mengubah energi sinar matahari menjadi energi bentuk lain yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan itu sendiri dan makhluk lainnya (Fachrul, 2007). 15) Flora adalah kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu wilayah (Fachrul, 2007).
45
16) Vegetasi adalah masyarakat tumbuhan yang terbentuk oleh berbagai populasi jenis tumbuhan yang terdapat di dalam satu wilayah atau ekosistem serta memiliki variasi pada setiap kondisi tertentu (Fachrul, 2007). 17) Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1998). 18) Komposisi jenis tumbuhan adalah daftar floristik dari jenis tumbuhan yang ada dalam suatu komunitas (Fachrul, 2007). 19) Struktur ekosistem hutan adalah hasil penataan ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi dan penutupan vegetasi yang digambarkan melalui keadaan diameter, tinggi, penyebaran dalam ruang, keanekaragaman tajuk, serta kesinambungan jenis (Fachrul, 2007). 20) Kerapatan adalah banyaknya individu tumbuhan yang dinyatakan per satuan luas (Fachrul, 2007). 21) Frekuensi adalah parameter vegetasi yang dapat menunjukkan distribusi atau sebaran jenis tumbuhan dalam ekosistem atau memperlihatkan pola distribusi tumbuhan (Fachrul, 2007). 22) Dominansi adalah parameter vegetasi yang dapat menunjukkan suatu jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan melaksanakan kontrol terhadap komunitas dengan cara banyaknya jumlah jenis, besarnya ukuran, maupun pertumbuhannya yang dominan (Fachrul, 2007). 23) Indeks Nilai Penting (INP) atau Important Value Index adalah indeks kepentingan
yang
menggambarkan
pentingnya
peranan
suatu
jenis
tumbuhan dalam ekosistemnya (Fachrul, 2007). 24) Indeks keanekaragaman (index of diversity) adalah parameter vegetasi yang berguna untuk membandingkan berbagai komunitas tumbuhan, terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan faktor-faktor lingkungan atau abiotik terhadap komunitas atau untuk mengetahui keadaan suksesi atau stabilitas komunitas (Fachrul, 2007). 25) Spesies fokal adalah spesies yang mendorong dibentuknya kawasan yang dilindungi (Indrawan et al., 2007). 26) Spesies indikator adalah spesies yang berkaitan erat dengan komunitas hayati yang rentan maupun proses ekosistem yang unik (Indrawan et al., 2007).
46
27) Spesies payung (umbrella species) adalah spesies yang mempengaruhi keberadaan spesies lainnya (Indrawan et al., 2007). 28) Spesies eksotik (exotic species) adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya (Indrawan et al., 2007). 29) Spesies anthropogenik (anthropogenic species) adalah spesies yang penyebarannya dibawa/dibantu oleh manusia. 30) Metode penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang dipergunakan dalam penelitian (Eriyatno et al., 2007). 31) Goal atau tujuan adalah keinginan yang paling abstrak dari suatu pengelolaan, umumnya dinyatakan sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai oleh pengelolaan dalam jangka waktu yang tak terbatas (Setyadi, et al., 2006). 32) Data adalah catatan atas kumpulan fakta. Dalam penggunaan sehari-hari data berarti suatu pernyataan yang diterima secara apa adanya. Pernyataan ini adalah hasil pengukuran atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata, atau citra (http://id.wikipedia.org/wiki/Data, 2009). 33) Variabel adalah unit relasional dari analisis yang bisa memikul salah satu kumpulan nilai yang ditunjuk (Black et al., 1992). 34) Metode adalah prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu (Eriyatno et al., 2007). 35) Teknik adalah cara yang spesifik dalam menyelesaikan masalah tertentu yang ditemui dalam melaksanakan prosedur (Eriyatno et al., 2007). 36) Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah disederhanakan dalam suatu kerangka
berpikir
yang
terorganisir,
sehingga
memungkinkan
dalam
pengambilan keputusan yang efektif atas masalah tersebut (Marimin, 2005). 37) Prinsip adalah landasan kebenaran atau hukum sebagai dasar pemikiran atau tindakan (Purnomo, 2005). 38) Kriteria adalah standar untuk penilaian sesuatu (Purnomo, 2005). 39) Indikator adalah parameter kualitatif dan atau kuantitatif yang dapat diukur dalam kaitannya dengan kriteria.
Indikator merupakan komponen khusus
dari suatu kriteria yang dapat diukur dan diuji keabsahannya, dimana melalui indikator dapat diketahui, apakah suatu unit manajemen telah mencapai atau tidak kriteria-kriteria pengelolaan (Setyadi, et al., 2006).
47
40) Parameter adalah datum hasil pengukuran atribut (Purnomo, 2005). 41) Tegakan pohon eksotik adalah hutan yang didominasi oleh pohon-pohon jenis eksotik (pinus, damar). 42) Tegakan pohon asli adalah hutan yang didominasi oleh pohon-pohon jenis asli (rasamala, puspa, saninten, pasang, manglid, huru) 43) Restorasi
Alami
adalah
kondisi
hutan
yang
dibiarkan
tanpa
ada
tindakan/pengelolaan hingga tercapai suksesi secara alami 44) Restorasi Buatan adalah kondisi hutan yang dipulihkan melalui penanaman pohon jenis asli (native species) 45) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis, dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menganalisis, dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 46) Penutupan lahan adalah istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand et al., 1990). 47) Layer adalah satu set logis dari data tematik yang biasanya diorganisir dengan subyek (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 48) Coverage adalah layer peta yang diperoleh dari hasil dijitasi atau otomatisasi. Coverage ini didefinisikan juga sebagai sekumpulan data dijital yang mewakili satu tema tertentu pada suatu peta.
Misalnya coverage sungai, jalan,
topografi, penutupan lahan, dan sebagainya baik yang berupa poligon, titik, maupun garis atau kombinasinya (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 49) Clip adalah ekstraksi spasial dari feature dari suatu coverage yang berada dalam batas poligon clip (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 50) Overlay
spasial
adalah
operasi
menggabungkan
feature
dari
dua
layer/coverage ke dalam layer baru serta menggabungkan secara relasional tabel atribut feature-nya (Laboratorium Fisik Remote Sensing dan SIG, 2008). 51) Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) adalah klasifikasi yang proses pembentukan kelas-kelasnya sebagian besar dikerjakan oleh komputer (Jaya, 2007).
48
52) Klasifikasi terbimbing (supervised classification) adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analisis (supervised).
Kriteria pengelompokkan
kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas (class signature) yang diperoleh analis melalui pembuatan training area (Jaya, 2007). 53) Klasifikasi berbasis obyek (object oriented clasification) adalah klasifikasi yang dilakukan melalui pendekatan analisis citra yang mengkombinasikan informasi spektral dan informasi spasial.
Pendekatan ini menggolongkan
piksel menjadi obyek sesuai dengan sifat citra dan mengklasifikasikan citra dengan memperlakukan setiap citra sebagai satu kesatuan (Suryadi, 2009).