III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur Kepulauan Riau. Secara administrasi lokasi penelitian mencakup dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir. Lokasi pengamatan ditetapkan 11 stasiun, yaitu Karang Masiran, Pulau Manjin, Muara, Penyerap, Pulau Beralas Bakau,
Pulau Busung Bujur (Nikoi), Pulau
Penyusuk, Pulau Cengom, Pulau Kelong, Pulau Gin Besar dan Pulau Gin Kecil (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 hingga September 2011, terhitung sejak penyusunan proposal sampai penyusunan disertasi. 3.2. Pendekatan Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari survei lapangan. Lingkup penelitian yang ditelaah meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan. Pelaksanaan penelitian dibagi dalam beberapa tahapan (Gambar 3) antara lain sebagai berikut: a. Melakukan studi kepustakaan (desk study) dengan melakukan pengumpulan beberapa informasi mengenai ekosistem terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. b. Penentuan atribut-atribut utama pada setiap aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang. c. Melakukan survei lapangan untuk mengumpulkan data komponen biofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya d. Melakukan analisis data, yaitu analisis tutupan karang, analisis kualitas air, analisis kebutuhan stakeholders, analisis keberlanjutan dan analisis prospektif. e. Menyusun alternatif skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil analisis tahap sebelumnya. f. Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.
38
KKLD Bintan Timur
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
39
Mulai (Persiapan)
Studi Kepustakaan (desk study)
Tahap I
Penentuan dimensi, atribut atau faktor-faktor berpengaruh pada keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang
Tahap II
Survei lapangan
Tahap III
Analisis Data
Tahap IV
Analisis Pengelolaan Eksisting
Analisis Biofisik, Sosial, Ekonomi Terumbu Karang
Analisis Keberlanjutan (MDS)
Analisis Kebutuhan Stakeholder
Alternatif Strategi Pengelolaan MDS, Laverage, Prospektif
Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri
Tahap V
Tahap VI
Tahap VII
Gambar 3. Tahapan penelitian yang dilakukan 3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan metode survei dengan teknik wawancara mendalam, pengamatan lapangan dan pengukuran. Wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden menggunakan kuisioner
40
terstruktur atau semi terstruktur. Sedangkan pendapat para pakar dihimpun melalui wawancara atau focus group discussion (FGD). Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti: BPS, jurnal penelitian ilmiah, laporan hasil penelitian, prosiding, laporan dinas/instansi terkait, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Secara rinci, jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian. No Jenis data Sumber data Data Primer : 1. Kualitas air (suhu, salinitas, kecerahan, In situ dan Laboratorium TSS, kedalaman, kecepatan arus, DO, BOD, nitrat, dan fosfat) 2. Kondisi terumbu karang Modifikasi metode transek kuadrat (in situ) 3 Sedimentasi In situ dan laboratorium 4. Analisis kebutuhan stakeholders Responden (stakeholders) 5. Identifikasi faktor strategis (prospektif) Responden (expert/pakar) 6. Perbandingan antar faktor (prospektif) Responden (expert/pakar) Data Sekunder 1. Luas terumbu karang Dinas Perikanan dan Kelautan 2. Kondisi terumbu karang Dinas Perikanan dan kelautan dan LIPI 3. Jenis ikan karang Dinas Perikanan dan Kelautan 4. Tingkat eksploitasi ikan karang Dinas Perikanan dan Kelautan 5. Jumlah nelayan Dinas Perikanan dan Kelautan 6. Jumlah penduduk BPS 7. Kepadatan penduduk BPS 8. Mata pencaharian BPS 9. Frekuensi konflik Dinas Perikanan dan Kelautan 10. Peraturan perundang-undangan Dinas Perikanan dan Kelautan 11. Struktur kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan 12 Jumlah hotel Dinas Pariwisata dan BPS 13 Jumlah pengunjung hotel Dinas Pariwisata dan BPS 14 Jumlah restoran Dinas Pariwisata dan BPS
3.4 Teknik Penentuan Responden Penentuan responden dari masyarakat dilakukan secara purposive random sampling (Walpole, 1995). Masyarakat yang menjadi responden adalah terutama masyarakat nelayan dan masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan wilayah pesisir di Bintan Timur yang berjumlah 90 orang. Disamping itu, juga dilakukan
41
wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh informal maupun formal sebagai responden kunci. Penentuan responden untuk survei pakar dilakukan dengan teknik secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran terhadap bidang yang dikaji. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang dijadikan responden adalah: (a) mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji (Marimin, 2004). Jumlah responden pakar ialah sembilan responden terdiri atas unsur pemerintah, akademisi/peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM). 3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 3.5.1.1. Kondisi Terumbu Karang Pengumpulan data untuk penentuan kondisi terumbu karang di daerah penelitian dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) berdasarkan data sekunder dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, terutama dari hasil penelitian CRITCCOREMAP II-LIPI (2007); Cappenberg dan Salatalohi (2009) dan penelitian pihak lainnya, dan (2) melakukan
pengamatan dan pengukuran langsung di
lapangan. Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan modifikasi dari metode transek kuadrat (English et al., 1997). Dalam metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek. Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai, kemudian pemasangan transek kuadrat dilakukan setiap selang 10 meter. Sebelum pengambilan foto transek, terlebih dahulu dilakukan pemasangan pasak besi di setiap sudut transek kuadrat dengan tujuan sebagai tanda untuk pengamatan berikutnya. Selanjutnya pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air.
42
3.5.1.2. Kualitas air Data kualitas air diperoleh dari data primer dan data sekunder. Pengukuran data primer kualitas air bertujuan untuk mengetahui status kini kondisi perairan di lokasi penelitian. Oleh karena itu sampel air dikoleksi pada beberapa titik pengamatan yang telah ditetapkan baik di laut maupun di sungai. Pengukuran dilakukan pada dua musim (musim penghujan dan musim kemarau). Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia perairan. Metode pengambilan dan metode analisis kualitas air ini mengacu pada APHA (1989). Parameter-parameter yang diukur langsung (in situ) meliputi: suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan oksigen terlarut. Sedangkan parameter yang diukur di laboratorium adalah TSS, BOD, nitrat (NO 3 ), dan fosfat (PO 4 ). Untuk keperluan analisis beban pencemaran dari kegiatan di daratan (faktor eksternal) maka dipilih parameter BOD, TSS, nitrat (NO 3 ), dan fosfat (PO 4 ). 3.5.1.3. Sedimentasi Untuk mengetahui jumlah sedimen yang berasal daratan masuk ke perairan pesisir melalui sungai dilakukan pengukuran dengan menghitung beban sedimen melayang (suspended load). Di lokasi penelitian terdapat dua sungai, yaitu Sungai Kawal dan Sungai Batang Galang. Kandungan sedimen yang terbawa aliran air sungai disamping dipengaruhi oleh besarnya
beban sedimen, juga dipengaruhi oleh debit aliran. Dugaan
kandungan sedimen yang terangkut di sungai didasarkan atas kandungan padatan tersuspensi hasil analisis laboratorium (Suyono, 1995). Beban sedimen melayang (suspended load) dalam suatu aliran (sungai) dapat diduga dengan pendekatan menurut Suyono (1995) sebagai berikut:
QS = 86,4 Cs x Q Keterangan : QS Cs Q
= beban suspensi(ton/hari) pada debit Q = konsentrasi suspensi (kg/m3) pada debit Q = debit aliran sungai (m3/detik).
43
Debit aliran sungai dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Q = A xV Keterangan : Q A V
= debit sungai (m3/detik) = luas penampang alur sungai (m2) = kecepatan aliran (m/detik).
Untuk menentukan laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dilakukan pengukuran dengan alat sediment trap. Tabung sedimen trap yang digunakan adalah pipa PVC dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 11,5 cm, pada bagian atas memiliki sekat-sekat penutup. Tabung sediment trap dipasang pada tiang besi berdiameter 12 mm pada ketinggian 20 cm dari dasar perairan (Garder, 1980 dalam English et al. 1997). Tiap stasiun dipasang tiga buah sediment trap, jarak antar sediment trap berkisar 1 sampai 5 m tergantung pada keberadaan terumbu karang untuk menghindari kerusakan akibat pemasangan sediment trap. Sediment trap dipasang selama 20 hari, sedimen yang terkumpul kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam (English et al. 1997). Selanjutnya dilakukan pengukuran berat kering sedimen dalam satuan miligram dengan timbangan analitik. Laju sedimentasi dinyatakan dalam satuan mg/cm2/hari (Roger et al. 1994). Perhitungan laju sedimentasi dilakukan melalui persamaan berikut:
LS = Keterangan : LS BS r
BS Jumlah hari x π r 2 = laju sedimentasi (mg/cm2/hari) = berat kering sedimen (mg) = konstanta (3,14) = jari-jari lingkaran sediment trap (cm).
3.5.1.4. Sumber dan Beban Pencemaran Pengumpulan data untuk mengidentifikasi sumber-sumber limbah yang masuk ke perairan pesisir di lokasi penelitian dilakukan melalui wawancara dan dari data sekunder. Data beban limbah yang masuk ke perairan pesisir melalui sungai diperoleh melalui pengukuran konsentrasi parameter beban limbah pada setiap stasiun atau sungai yang mengalir ke perairan pesisir. Sedangkan
44
pengumpulan data beban limbah domestik, hotel dan pertanian diperoleh melalui wawancara dan data sekunder. Penghitungan beban pencemaran yang berasal di luar ekosistem perairan pesisir dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju perairan pesisir Bintan Timur. Cara perhitungan beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai berdasarkan persamaan (Mitsch and Goesselink, 1993).
BP = Q x C Keterangan:
BP = beban pencemaran (ton/tahun) Q = debit sungai (m3/detik) C = konsentrasi limbah (mg/liter).
Total beban pencemaran dari seluruh sungai yang bermuara di perairan pesisir Bintan Timur dihitung dengan persamaan: n
TBP = ∑ BP i =1
Keterangan : TBP = Total beban pencemaran (ton/tahun) n = Jumlah sungai i = Beban limbah sungai ke-i (ton/tahun) Untuk mengkonversi beban limbah ke dalam ton/tahun dikalikan dengan 10-6 x 3600 x 24 x 360. Untuk estimasi besarnya beban pencemaran yang berasal dari aktivitas penduduk di sekitar perairan pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan Rapid Assessment (Kositranata et al., 1989; Djajadiningrat dan Amir, 1993) dengan persamaan:
BP = a x f Keterangan: BP = beban pencemaran dinyatakan dalam ton/tahun a = jumlah unit penghasil limbah f = faktor konstanta beban limbah organik.
45
Tabel 2. Faktor konstanta beban limbah organik Aktivitas
Konversi
Permukiman Hotel dan restoran Peternakan
BOD
Total Fosfat
Total Nitrat
53 12 -
22,7 5,4 0,04
3,8 0,9 1,68
3.6. Metode Analisis Data 3.6.1. Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 3.6.1.1. Kondisi Terumbu Karang Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase penutupan karang hidup sebagaimana yang dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988). Adapun kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988) Penutupan (%)
Kriteria Penilaian
0 – 24,9 25 – 49,9 50 – 74,9 75 - 100
Buruk Sedang Baik Sangat baik
3.6.1. Kualitas Air Data kualitas
air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif
dan
dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Untuk melihat keterkaitan antara karakteristik lingkungan biofisik-kimia perairan dengan masing-masing lokasi digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel PCA (Principal Component Analysis) dengan software XLSTAT 2009.2.01. (PCA)
merupakan
metode
statistik
Analisis Komponen Utama
deskriptif
yang
bertujuan
untuk
mempresentasikan analisis dalam bentuk grafik hasil informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data tersebut terdiri dari lokasi pengamatan sebagai individu (baris) dan karakteristik lingkungan perairan sebagai
46
variabel (kolom). Data parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama, karena itu perlu untuk dinormalisasi melalui pemusatan dan pereduksian. Untuk menentukan hubungan antara kedua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik. Korelasi linear antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya adalah ragam dari kedua parameter tersebut yang telah dinormalisasikan (Legendre dan Legendre, 1983). 3.6.2. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu pendekatan dengan Rap-Insus-COREMAG
(Rapid Appraisal –Indeks Sustainability of Coral Reef
Management) yang telah dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assessment Technique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh, 2001; Pitcher and Preikshot, 2001; Fauzi dan Anna, 2002). Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi terhadap setiap dimensi dan multidimensi keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang ini melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) tahap penentuan atribut pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan), 2) tahap penilaian atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode “ Multidimensional Scaling” (MDS), dan 3) tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Penentuan atribut pada masing-masing dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan mengacu pada indikator dari Rapfish (Kavanagh, 2001); Tesfamichael dan Pitcher (2006); Charles (2000); Nikijuluw (2002) dan Arifin (2008) yang dimodifikasi. Untuk setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan
47
kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapangan dan data sekunder. Rentang skor berkisar 0 – 3, tergantung pada keadaan masingmasing atribut, yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Adapun dimensi dan atribut pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur disajikan pada Tabel 4. Tabel 4.
Dimensi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur
No
Atribut
1
Persentase penutupan karang
Atribut dan Dimensi Ekologi Skor Baik Buruk 0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2
2
0
2
Kenakeragaman ikan karang
3
Substrat perairan
0; 1; 2; 3
3
0
4
Memiliki spesies yang dilindungi
0; 1
1
0
5
Sedimentasi
0; 1; 2
2
0
6
Kondisi perairan
0; 1
1
0
7
Persentase luas area yang dilindungi
0; 1; 2
2
0
8
Keragaman ekosistem
0; 1; 2
2
0
9
Tingkat eksploitasi ikan karang
0; 1; 2; 3
3
0
Keterangan
0-24,9% (0); 25 – 49,9% (1); 50-74,9% (2); 75-100 % (3); (Gomez dan Yap, 1988) Rendah (0); Tinggi (2)
Sedang
(1);
Sedimen (0); Pasir dan sedimen (1); Pasir halus (2); Pasir kasar (3) (Sukarno et al., 1981) Tidak ada (0); ada (1) (Arifin, 2008) Ringan hingga sedang (0); Sedang hingga berat (1); Sangat berat hingga catastrophic (2) (Pastorok dan Bilyard, 1985 di acu dalam Supriharyono, 2007) > Baku mutu (0); < Baku mutu (1) (KEPMEN LH N0. 51 Tahun 2004) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Charles, 2000) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Charles, 2000) Collapsed (0) Lebih tangkap (2) Tinggi (1); Kurang (3); (Kavanagh, 2001; Pitcher dan Preikshot. 2001)
48
No 1
2
Atribut dan Dimensi Ekonomi Skor Baik Buruk
Atribut Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah Serapan tenaga kerja lokal di sektor pariwisata
3
Usaha penangkapan, berdasarkan intensitas penangkapan
4
Tingkat pendapatan nelayan: Didasarkan angka garis kemiskinan Kab. Bintan
Keterangan
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2)
0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2
2
0
2
0
Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2) Pasar internasional (0); Pasar nasional(1); Pasar lokal (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
5
Pemasaran hasil perikanan
6
Kunjungan wisatawan
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2) (Arifin, 2008)
Jumlah objek wisata
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Arifin, 2008)
0; 1; 2; 3
3
0
7 8
No
1
Ketersediaan nelayan
modal
Atribut
Tingkat pendidikan
2
Pengetahuan lingkungan
3
Potensi konflik pemanfaatan
4
Memiliki estetika
0; 1; 2
Penuh waktu (0); Musiman (1); Paruh waktu (2); Sambilan (3) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
Atribut dan Dimensi Sosial Budaya Skor Baik Buruk 0; 1; 2; 3
0; 1; 2; 3
3
3
Rata-rata tidak memiliki modal (0); Rata-rata kekurangan modal (1); Ratarata cukup modal (2); Cukup modal (3)
Keterangan
0
Tidak tamat SD (0); Tamat SD-SMP (1); Tamat SMA (2); S0-S1 (3) (Tesfamichael dan Pritcher, 2006)
0
Tidak ada (0); Sedikit (1); Cukup (2) Banyak (3) (Rapfish, Tesfamichael dan Pitcher, 2006) Tinggi (0); sedang (1); rendah (2) Hampir tidak ada (3) (Tesfamichael dan Pitcher, 2006; Nikijuluw, 2002)
0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); sedang (1); Tinggi (2) (Arifin, 2008)
49
5
Pemberdayaan masyarakat
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); ada, belum optimal (1); optimal (3)
6
Pertumbuhan jumlah nelayan
0; 1; 2; 3
3
0
Sangat tinggi (0); Tinggi (1); Sedang (2) Rendah (3) (Rapfish)
7
Mata pencaharian alternatif non perikanan
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Banyak (2)
Sedang
(1);
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Tinggi (2)
sedang
(1);
8
Kekompakan nelayan (social networking)
9
Jumlah rumah tangga perikanan
No
Atribut
1
Jenis alat tangkap
0; 1; 2
2
0
Atribut dan Dimensi Teknologi dan Infrastruktur Skor Baik Buruk
0; 1; 2
2
0
0; 1; 2
2
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
Keterangan
Mayoritas aktif (0); seimbang (1); mayoritas pasif (2) (Rapfish)
2
Selektivitas alat tangkap
3
Transplantasi karang
0; 1
1
0
Tida ada (0); ada (1) (Dahuri, 1996)
4
Sarana dan prasarana pengawasan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); ada, belum optimal (1); Optimal (2);
5
Perubahan kemampuan alat dan armada tangkap
0; 1; 2; 3
3
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2); Sangat sedikit (3) (Rapfish ; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
6
Efek samping alat tangkap terhadap karang
0; 1; 2; 3
3
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2); Tidaka ada (3) (Rapfish ; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
7
Penggunaan alat terlarang
0; 1; 2; 3
3
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit/jarang (2); Tidak ada (3)
8
Pengolahan limbah hotel, restoran
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
9
Pengolahan limbah penduduk
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
Kurang selektif (0); agak selektif(1); sangat selektif (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
50
No
Atribut Ketersediaan peraturan formal pengelolaan
Atribut dan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Skor Baik Buruk
Keterangan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); Ada, belum optimal berjalan; (1) Optimal (2) (Nikijuluw, 2002)
Tingkat kepatuhan masyarakat
0; 1; 2
2
0
Tidak patuh (0); sedang (1); patuh (2) (Nikijuluw, 2002)
Lembaga konservasi
0; 1; 2
2
0
Koordinasi antar stakeholders
0; 1; 2
2
0
5
Partisipasi masyarakat
0; 1; 2
2
0
6
Tokoh panutan
0; 1; 2
2
0
7
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan
0; 1; 2
1
0
1
2
3
4
8
Penyuluhan hukum lingkungan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); Ada, belum optimal berjalan; (1) Optimal (2) Buruk (0); Sedang (1); Baik (2) Rendah (0); Sedang (1); Baik (2) (Rapfish; Nikijuluw, 2002) Tidak ada (0); Sedikit (1); Cukup(2) (Nikijuluw, 2002) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Nikijuluw, 2002) Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2) (Nikijuluw, 2002)
Selanjutnya, nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (good) dan titik “buruk” (bad). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Insus-COREMAG menggunakan software Rapfish (Kavanagh, 2001). Proses algoritma Rap-Insus-COREMAG juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish. Dalam implementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis Multi Dimensional Scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young, 2001). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain.
51
Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Alder et al. (2001) menyatakan bahwa titik ordinasi dengan mengkonfigurasikan jarak antar titik dalam t- dimensi yang mengacu pada jarak euclidien antar titik. Dalam ruang dua dimensi jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:
d=
x1 − x2 + y1 − y2
2
2
…………………………………..(1)
Sedangkan dalam n-dimensi jarak Euclidien dirumuskan sebagai berikut:
d=
x1 − x2 + y1 − y 2 + z1 − z 2 2
2
2
+ ....) ……………… (2)
Dalam menilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang, masing-masing kategori yang terdiri atas beberapa atribut di skor. Skor secara umum dirangking antara 0 sampai 4. Hasil skor dimasukkan ke dalam tabel matrik dengan i baris yang mempresentasikan kategori pengelolaan ekosistem terumbu karang dan j kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data dalam matrik adalah data interval yang menunjukkan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay, 1991). Salah satu pendekatan untuk menormalkan data adalah dengan nilai Z (Alder et al., 2001).
x
Z = ( - µ)/σ ....................................................................................(3) Kruskal dalam Johnson dan Wichern (1992) mengajukan sebuah ukuran luas secara geometris yang mempresentasikan kecocokan. Ukuran tersebut diistilahkan dengan stress. Stress didefinisikan sebagai :
∑ ∑ (d ( q ) − d ( q ) ) 2 ik ik Stres Stress ( q ) = i < k 2 d ik( q ) ∑ ∑ i
[
]
………………………(4)
Software Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat dalam software SPSS, untuk proses rotasi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu software. Melalui MDS ini, posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu
52
horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim “buruk” yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim yang “baik” diberi nilai skor 100%. Posisi status keberlanjutan yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau saat ini. Skala indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang mempunyai selang 0 - 100. Jika sistem yang dikaji mempunyai indeks >50 maka sistem tersebut dikategorikan berkelanjutan, dan sebaliknya jika nilainya <50, maka sistem tersebut dikategorikan belum berkelanjutan. Dalam studi ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar (0 – 100) seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5.
Kategori status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-COREMAG Indeks ≤ 24,9 25 – 49,9 50 – 74,9 > 75
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-COREMAG di lokasi studi. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau pada skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut di dalam pembentukan nilai Insus-COREMAG pada skala keberlanjutan, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi pengelolaan ekosistem terumbu karang digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh (2001), analisis “Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal sebagai berikut: 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.
53
2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda. 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi). 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai ”stress” hasil analisis Rap-Insus-COREMAG (nilai stress dapat diterima jika < 25%). Secara lengkap, tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan metode MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish disajikan pada Gambar 4. Mulai
Kondisi pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini
Penentuan atribut sebagai kriteria penilaian
MDS (ordinasi setiap atribut) Penilaian (skor) setiap atribut
Analisis Monte Carlo
Analisis sensitivitas
Analisis Keberlanjutan Gambar 4. Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish 3.6.3. Analisis Faktor Penentu Pengelolaan EkosistemTerumbu Karang Untuk memperoleh faktor-faktor penentu (faktor dominan) dalam penentuan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau digunakan Analisis Prospektif. Analisis prospektif digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena analisis prospektif dapat diprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi dimasa yang akan datang baik bersifat positif (diinginkan) ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk: (1) mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan (2) melihat apakah perubahan
54
dibutuhkan dimasa depan. Analisis prospektif tepat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan (Bourgoise, 2007). Dari analisis prospektif diketahui informasi mengenai faktor kunci (key factors) dan skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur sesuai kebutuhan stakeholders. Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan untuk memperoleh komponenkomponen yang berpengaruh dan berperan penting dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dari seluruh stakeholders yang terlibat. Setelah mendapatkan data pendukung untuk penetapan kebutuhan dasar yang diperoleh berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders, selanjutnya ditentukan kebutuhan masing-masing stakeholders. Menurut Hardjomidjodjo (2004), tahapan dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut: 1) Definisi dari tujuan sistem yang dikaji. Tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar mengerti ruang lingkup dan kajian penyamaan pandangan tentang sistem yang dikaji. 2) Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut, yang biasanya merupakan kebutuhan stakeholders sistem yang dikaji. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut. Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders sistem yang dikaji sehingga semua kepentingan elemen sistem dapat terwakili. Pada tahapan ini definisi tiap dari tiap faktor harus jelas dan spesifik. Intergrasi pendapat pakar dilaksanakan dengan mengambil nilai modus. 3) Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor sebagaimana disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Dalam penelitian ini, analisis prospektif digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dominan (faktor kunci) dengan melihat pengaruh langsung antar faktor
terhadap sistem atau obyek penelitian. Analisis prospektif dilakukan
melalui tiga tahapan, yaitu tahap pertama, penetuan faktor-faktor kunci pada kondisi saat ini (existing condition) dari hasil MDS; tahap kedua, penentuan
55
faktor-faktor kunci hasil analisis kebutuhan (need analysis) dari stakeholders; tahap ketiga; penentuan faktor kunci dari hasil analisis gabungan antara hasil tahap pertama dan tahap kedua atau gabungan antara existing condition dan need analysis. Tabel 6. Pedoman penilaian analisis prospektif Skor
Keterangan
0
Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh kecil
2
Berpengaruh sedang
3
Berpengaruh sangat kuat
Tabel 7. Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan A
B
C
D
E
F
G
A B C D E F G Sumber : Godet (1999) dalam Marhayudi (2006) Mekanisme pengisian Tabel 7 di atas adalah dengan memberi skor 3 jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung antar faktor sedang; skor 1 jika pengaruh langsung antar faktor kecil, dan skor 0 jika tidak ada pengaruh langsung antar faktor. Setelah diperoleh faktor-faktor kunci dari Tabel 7, selanjutnya dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi setiap faktor dalam sistem menggunakan software analisis prospektif, dengan tampilan seperti pada Gambar 5.
56
Gambar 5.
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem (Bourgeois dan Jesus, 2004)
Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda (Bourgeois and Jesus, 2004), sebagai berikut: (1) Kuadran pertama faktor penentu atau penggerak (driving variables): memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktor-faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem yang dikaji. (2) Kuadran dua faktor penghubung (leverage variables): menunjukkan faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar faktor, faktor-faktor dalam kuadran ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. (3) Kuadran tiga faktor terikat (output variables): mewakili faktor output, dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi. (4) Kuadran empat faktor bebas (marginal variables): merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah, sehingga faktor ini bersifat bebas dalam sistem. Lebih lanjut Bourgeois (2007) menyatakan bahwa terdapat dua tipe sebaran variabel dalam grafik pengaruh dan kergantungan, yaitu: (1) tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran empat ke kuadran dua. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal atau levarage variable. Hal
57
ini menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang, dan (2) tipe sebaran yang mengumpul di kuadran satu ke kuadran tiga, sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan kuat, dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain tipe dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. Tahapan berikutnya dari analisis prospektif adalah analisis morfologis dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan masa depan agar skenario strategis yang diperoleh konsisten, relevan dan kredibel. Tahapan ini dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua faktor kunci yang terpilih. Faktor-faktor kunci dengan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa depan kemudian dicantumkan dalam sebuah tabel (Tabel 8). Tabel 8. Faktor-faktor kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang Faktor 1 2 3 ..... n
1A 2A 3A ...... nA
Keadaan yang mungkin terjadi 1B 2B 3B ..... nB
1C 2C 3C ..... nC
Analisis morfologis dilanjutkan dengan analisis konsistensi untuk mengurangi dimensi kombinasi faktor-faktor kunci dalam merumuskan skenario di masa yang datang melalui identifikasi saling tidak kesesuaian diantara keadaankeadaan faktor kunci (incompatibility identification). Pelaksanaan tahapan ini dengan mencantumkan keadaan-keadaan yang tidak dapat atau sangat tidak mungkin terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan pasangan yang tidak sesuai. Tahapan akhir dari analisis prospektif adalah membangun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan faktor-faktor kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang dipilih terdiri dari
58
3 (tiga) skenario yaitu mengelompokkan skenario yang mirip ke dalam satu kelompok skenario. Berdasarkan peluang terjadinya keadaan di masa datang, maka skenario dikelompokkan ke dalam cluster skenario pesimis (I), cluster skenario moderat (II), dan skenario optimis (III), seperti tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Skenario
Uraian
Urutan Faktor
1
Melakukan perbaikan minimal pada atribut yang kurang berkelanjutan
...................................
Melakukan perbaikan pada seluruh atribut dan dilakukan secara optimal
...................................
2
3
Melakukan perbaikan maksimal pada seluruh atribut secara menyeluruh dan terintegrasi
...................................
3.6.4. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
Strategi pengelolaan yang dihasilkan berupa instrumen sarana penunjang keputusan yang dapat digunakan oleh berbagai pihak, terutama para perencana dan pengambil kebijakan untuk menentukan prioritas kebijakan yang tepat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Untuk membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau dilakukan dengan melakukan penggabungan hasil analisis MDS, Laverage dan Prospektif. Hubungan antara tujuan, peubah yang digunakan, metode analisis data dan output penelitian, secara ringkas disajikan pada Tabel 10.
59
Tabel 10. Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang diharapkan Tujuan
Peubah
Analisis Data
Output yang diharapkan
Persentase karang hidup (Gomez dan Yap 1988), PCA ((Legendre dan Legendre, 1983).
Kondisi terumbu karang dan faktorfaktor yang mempengaruhi terumbu karang
(1) Analisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Tutupan karang hidup,
(2) Analisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang
Data atau skor setiap atribut/faktor dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dimensi teknologiinfrastruktur, dan data hukum-kelembagaan
Analisis ordinasi Rapfish yang dimodifikasi dengan metode Multidimentional Scaling (MDS) (Fauzi dan Anna, 2005)
Nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi (existing condition)
Kebijakan Pemda, dan atribut sensitif multidimensi dari MDS dan kebutuhan stakeholders
Deskriptif, dan analisis prospektif (Bourgeois and Jesus, 2004)
Faktor-faktor kunci (driving dan leverage factors)
Dibangun berdadasarkan gabungan hasil analisis MDS, Laverage dan Prospektif
Strategi dan program implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan
(3) Mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun alternatif skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan
kualitas air dan sedimentasi.
Faktor-faktor kunci hasil (4) Penyusunan strategi pengelolaan ekosistem analisis prospektif terumbu secara berkelanjutan
Atribut sensitif multidimensi