III. 3.1
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan
Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri dari 14 kecamatan dengan populasi ternak sapi potong 39.782 ekor (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, 2011). Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan karena kabupaten ini merupakan salah satu sentra produksi sapi potong di Provinsi Riau, dimana Kabupaten Indragiri Hulu mempunyai populasi ternak sapi potong tertinggi di Provinsi Riau. Pemilihan 2 kecamatan ini berdasarkan pertimbangan pengelolaan ternak sapi di lokasi tersebut telah dilakukan secara intensif di samping itu juga berkaitan dengan faktor teknis lainnya seperti kemudahan akses. Pemilihan lokasi untuk perikanan budidaya ikan patin juga dilakukan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan kedua kecamatan ini akan dijadikan kawasan minapotan khususnya untuk budidaya ikan patin kolam ataupun keramba. 3.2
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kerat lintang (cross
section). Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dipeoleh melalui wawancara langsung dengan responden yaitu peternak sapi potong dan petani kolam/keramba ikan patin dengan bantuan kuesioner dan pengamatan langsung di lapangan. Data yang dikumpulkan dari peternak adalah data input yang meliputi (1) investasi usaha yang terdiri dari kandang dan peralatan (2) jumlah penggunaan dan harga input yang meliputi sapi bakalan, pakan berupa hijauan dan konsentrat, vaksin, obat-obatan, vitamin, tenaga kerja, umur ekonomis kandang dan peralatan, transportasi serta biaya tak terduga lainnya. Data yang dikumpulkan dari petani kolam/tambak adalah (1) investasi usaha yang meliputi pembuatan kolam dan keramba serta peralatan; (2) jumlah penggunaan dan harga input yang meliputi: bibit, pakan, obat-obatan, kapur dan biaya tak terduga lainnya. Data lainnnya sebagai pendukung dalam penelitian ini adalah tentang karakteristik peternak dan petani kolam/keramba mengenai
identitas mereka serta teknis pemeliharaan seperti curahan tenaga kerja, lama pemeliharaan dan harga jual komoditi. Data sekunder bersumber dari berbagai instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, BPS Provinsi Riau, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Indragiri Hulu, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Ditjen Peternakan, Departemen Perdagangan dan perindustrian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta instansi terkait lainnya. 3.3
Metode Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan
pemeliharaan sapi potong dan petani kolam/keramba ikan patin di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sebesar 20 sampel peternak sapi potong dan 20 sampel petani keramba/kolam ikan patin, pedagang sapi potong dan pedagang pakan ikan serta pedagang ikan patin. Pengambilan jumlah sampel dilakukan dengan pertimbangan populasi di wilayah penelitian cukup homogen, di samping itu dalam metode Policy Analysis Matrix (PAM) jumlah sampel tidak harus memenuhi syarat sebaran normal statistika (minimal sampel 30 responden). 3.4
Metode Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix
(PAM). Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data adalah pertama; penentuan input usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin. Kedua adalah pengalokasian input ke dalam komponen tradable dan non tradable, kemudian menentukan harga bayangan input dan output. Setelah harga bayangan diperoleh maka dilakukan analisis dengan menggunakan PAM. Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM adalah : 1.
Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani yang telah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah atau distorsi pasar
2. Harga bayangan adalah harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada kondisi tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar dunia
3. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor asing dan faktor domestik 4. Eksternalitas dianggap sama dengan nol Tahapan penggunaan metode PAM adalah : 1. Identifikasi input dan output dari usaha budidaya patin dan usaha peternakan sapi potong 2. Memisahkan biaya ke dalam biaya tradable dan domestik. 3. Menentukan harga bayangan input dan output usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin 4. Menghitung dan menganalisa indikator keunggulan komparatif dan kompetitif pada usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin Matriks Analisis Kebijakan yang digunakan adalah model PAM yang dikembangkan oleh Monke and Pearson (1989) sebagai berikut : Uraian
Penerimaan
Harga Privat A Harga Sosial E Dampak Kebijakan dan I Distorsi Pasar Sumber : Monke and Pearson, (1989)
Biaya (Cost) Tradable Faktor Input Domestik B C F G J K
Keuntungan D H L
3.4.1 Analisis Indikator Matriks Kebijakan 1.
Analisis Keuntungan a. Analisis Keuntungan Privat (Private Profitability) Keuntungan privat merupakan indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada Keuntungan Privat (D)
= A – (B + C)
Dimana : D
: Keuntungan Privat (Rp)
A
: Penerimaan/Pendapatan Privat (Rp)
B
: Biaya Input Tradable Privat (Rp)
C
: Biaya Faktor Domestik Privat (Rp)
Apabila D > 0 maka usaha peternakan sapi potong dan budidaya patin memperoleh profit di atas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditi tersebut mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. b. Analisis Keuntungan Sosial (Social Profitability) Keuntungan sosial merupakan indakator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien. Keuntungan Sosial (H)
= E – (F + G)
Dimana : H
: Keuntungan Sosial (Rp)
E
: Penerimaan/Pendapatan Sosial (Rp)
F
: Biaya Input Tradable Sosial (Rp)
G
: Biaya Faktor Domestik Sosial (Rp)
Apabila H > 0 dan nilainya makin besar, berarti usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin makin efesien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. 2.
Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif a. Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio) PCR
= C / (A – B)
Nilai
PCR
menjelaskan
berapa
banyak
sistem
komoditi
dapat
menghasilkan untuk membayar faktor domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Apabila nilai PCR < 1 dan makin kecil, berarti usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat (memiliki keunggulan kompetitif) b. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost Ratio) DRCR = G / (E – F) Nilai DRCR merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor domestik pada harga sosial. Apabila DRCR < 1 maka usaha peternakan sapi potong dan usaha budidaya patin makin efisien dan memiliki daya saing tinggi ( keunggulan komparatif)
3.
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
3.1.
Kebijakan Output
3.1.1. Output Transfer (OT) Transfer Output : OT (I) = A - E Analisis transfer output dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kebijakan pemerintah mampu memberikan insentif kepada pelaku ekonomi. Apabila nilai OT > 0 menunjukkan adanya transfer (insentif) dari masyarakat (konsumen)
kepada produsen.
Sehingga konsumen
membeli dengan harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya, begitupun sebaliknya jika OT < 0 (bernilai negatif) 3.1.2. Nominal Protection Coefficient on Tradable Output (NPCO) NPCO = A / E NPCO merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar harga domestik (privat) berbeda dengan harga sosial. Apabila NPCO > 1 berarti harga domestik lebih tinggi dari harga dunia dan sistem usaha tani menerima proteksi dari pemerintah. Begitu juga sebaliknya jika NPCO < 1 berarti harga output domestik lebih rendah dari harga dunia dan menunjukkan kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor komoditas tersebut. 3.2.
Kebijakan Input
3.2.1. Input Transfer (IT) IT (J) = B – F IT merupakan selisih input yang diperdagangkan pada harga privat dan input yang diperdagangkan pada harga bayangan. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Apabila IT > 0, menunjukkan besarnya transfer (insentif) dari produsen (petani) kepada pemerintah melalui penerapan kebijakan tarif impor, demikian pula sebaliknya apabila IT < 0. 3.2.2.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI) NPCI
=B/F
NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Apabila NPCI < 1 berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di pasar domestik di bawah harga
efesiennya sehingga proses produksi
dilakukan dengan menggunakan
input dalam negeri. Demikian pula sebaliknya apabila NPCI > 1. 3.2.3. Factor Transfer (FT) FT (K)
=C–G
FT merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang diterima produsen yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Apabila FT > 0 berarti menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input nontradable, sedangkan jika FT < 0 berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable 3.3. Kebijakan Input Output 3.3.1. Efective Protection Coefficient (EPC) EPC
= (A – B) / (E – F)
EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah mampu melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Apabila EPC > 1, berarti pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efesiensinya. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah melindungi produsen (petani) berjalan secara efektif. Demikian pula sebaliknya jika EPC < 1. 3.3.2. Net Transfer (NT) NT (L)
=D–H
Transfer bersih digunakan untuk melihat besarnya tambahan surplus produsen atau berkurangnya surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Apabila NT > 0, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, demikian pula sebaliknya jika NT < 0. 3.3.3. Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient, PC) PC
=D/H
Koefisien keuntungan merupakan perbandingan antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial.
Apabila PC > 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberi insentif pada produsen.
Akan tetapi jika PC < 1, maka kebijakan
pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. 3.3.4. Rasio Subsidi Bagi Produsen (Subsidy Ratio to Producer, SRP) SRP
= L/E
SRP merupakan proporsi dari penerimaan total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan ekonomi makro. Apabila SRP < 0 atau bernilai negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi dan sebaliknya jika SRP > 0 atau positif.
3.4.2 Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Untuk menentukan alokasi biaya ke dalam komponen domestik dan asing menurut Pearson et al (1989) ada dua pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan total (Total Approach) dan pendekatan langsung (Direct Approach). Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari poduksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan dalam analisis dampak kebijakan pemerintah atau untuk memperkirakan biaya ekonomi atau sosial dari struktur proteksi yang di lakukan oleh pemerintah. Sedangkan pendekatan
langsung
mengasumsikan
seluruh
biaya
input
yang
dapat
diperdagangkan (input tradable) baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan total dengan mengalokasikan biaya ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable).
3.4.3 Penentuan Harga Bayangan Input dan Output Dalam penelitian ini ada dua jenis harga yang digunakan yaitu harga privat atau harga aktual dan harga bayangan atau harga sosial. Menurut Gittinger (1986) harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan. Dalam pasar bersaing, biaya oportunitas suatu barang akan menjadi harga bayangan barang tersebut. Akan tetapi sulit untuk menetukan harga oportunitas suatu barang. Perhitungan harga bayangan menurut Gittinger (1986) dapat dilakukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum dan lain-lain. Penentuan harga bayangan untuk barang tradable, harga input dan output didekati dengan menggunakan harga FOB (Free on Board) untuk barang yang diekspor dan harga CIF (Cost Insurance Freight) untuk barang yang diimpor. a.
Harga Bayangan Output Untuk usaha penggemukan outputnya adalah daging, sedangkan untuk
usaha pembibitan outputnya adalah sapi bakalan. Harga bayangan output sapi potong baik (daging/sapi bakalan) menggunakan adalah harga CIF (Cost Insurance Freight) ditambah dengan biaya pengapalan dan biaya tataniaga.. Harga CIF digunakan karena komoditas daging sapi merupakan salah satu output yang diimpor. Harga CIF daging sapi di Indonesia adalah sebesar US$ 4,62 per kilogram dikalikan nilai SER pada tahun 2011 Rp 8 765, ditambah biaya tataniaga sebesar Rp 6 074,15 per kilogram, sehingga harga paritas daging ditingkat petani sebesar Rp 46 568,45 per kilogram. Harga bayangan yang digunakan untuk output patin juga harga CIF (Cost Insurance Freight) ditambah dengan biaya pengapalan dan biaya tataniaga. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sampai akhir tahun 2011 Indonesia masih mengimpor patin dari Vietnam. Harga FOB ikan patin di Vietnam adalah US$.1.000 per ton. Harga CIF Indonesia ditambah dengan Freight & Insurance 10 persen. Harga CIF dikalikan dengan harga bayangan nilai tukar tahun 2011 serta ditambah dengan biaya tataniaga akhirnya harga paritas ikan patin ditingkat petani menjadi Rp 9 978,35 per kilogram
b.
Harga Bayangan Bibit Patin Harga bayangan bibit patin didekati dengan harga aktualnya. Hal ini
disebabkan bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang didatangkan dari Bogor. Harga bibit patin rata-rata di lokasi penelitian adalah Rp.400 per ekor. c.
Harga Bayangan Bakalan Sapi Potong Sumber bibit atau bakalan sapi diperoleh dari hasil persilangan sapi impor
dan lokal. Untuk itu harga bayangan bibit diasumsikan 50 persen terdiri dari komponen tradable dan 50 persen terdiri dari komponen domestik. Untuk komponen domestik diasumsikan harga bayangan sama dengan harga pasarnya (harga di lokasi usaha). Sedangkan untuk komponen tradable yang berasal dari impor digunakan harga CIF ditambah dengan biaya transportasi dan tataniaga lainnya. Harga CIF sapi bakalan sebesar US$ 2,7 per kilogram, biaya tataniaga sampai ketingkat petani adalah sebesar Rp 2 000 per kilogram, sehingga harga paritas ditingkat petani adalah sebesar Rp 28 032,05 per kilogram. d.
Harga Bayangan Pakan Harga bayangan pakan patin berupa pelet berdasarkan harga privat di
lokasi penelitian. Hal ini didasari asumsi bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pelet yaitu tepung ikan sehingga sulit menentukan harga bayangan berdasarkan border price bahan baku. Oleh karena itu, harga bayangan pakan diperoleh dari harga finansial dikurangkan dengan PPN sebesar 10%. Sedangkan pakan alternatif hanya berdasarkan harga privat saja. Pakan untuk sapi potong berupa hijauan dan ampas tahu dapat digolongkan sebagai komponen non tradable, maka harga bayangannya diasumsikan sama dengan harga pasar, dimana didekati dengan harga konsentrat (dedak dan ampas tahu) yang berlaku di daerah penelitian. Untuk harga hijauan didekati dengan harga ditingkat petani yang menggambarkan harga biaya produksi yang digunakan untuk menghasilkan hijauan (didekati dengan hasil perkalian antara jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menyediakan hijauan dengan harga bayangan tenaga kerja tiap
satuan
atau
total
hijauan). Sedangkan bahan
makanan seperti suplemen dan mineral didekati dengan CIF ditambah dengan biaya tataniaga sampai di tempat penelitian.
e.
Harga Bayangan Obat-obatan Harga dunia obat-obatan dalam perikanan tidak ada, oleh karena itu
penentuan harga bayangan hormon dan obat-obatan didekati dengan harga finansial. Perhitungannya yaitu harga finansial dikurangkan dengan PPN sebesar 10%. Harga bayangan untuk obat-obatan untuk sapi potong walaupun sudah diproduksi di dalam negeri namun sebagian bahan bakunya masih diimpor, maka perhitungan harga bayangannya dari harga aktual dikurangi PPN. Biaya obat-obatan terdiri dari input tradable dan non tradable, dimana karena sebagian besar bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 80 persen dihitung sebagai komponen tradable dan 20 persen sebagai komponen non tradable, seperti yang dilakukan oleh Adnyana et al. (1997). f.
Harga Bayangan Garam Indonesia masih mengimpor garam pada tahun 2011 maka harga bayangan
yang digunakan adalah border price yaitu sebesar US$ 51,63 per ton. Kemudian ditambah dengan Freight dan Insurance 10 persen, dikalikan dengan SER dan ditambah dengan biaya tataniaga sehingga menghasilkan harga bayangan garam sebesar Rp 782,13 per kilogram. Tiap bungkus garam berbobot 2,5 kg sehingga harga perbungkus yaitu Rp 1.955. g.
Harga Bayangan Pupuk Urea Harga bayangan pupuk urea dalam penelitian ini menggunakan harga paritas
ekspor, karena Indonesia mengekspor pupuk urea ke negara lain. Penentuan harga bayangan pupuk urea berdasarkan pada harga FOB urea rata-rata di Black Sea tahun 2011 sebesar US$ 420,96 per ton. Nilai tersebut ditambah dengan Freight and Insurance 15 persen atau sebesar US$ 63,14 per ton, sehingga rata-rata harga bayangan pupuk urea adalah sebesar Rp.3945,09 per kilogram. h.
Harga Bayangan Perlengkapan dan Peralatan Harga bayangan untuk peralatan digunakan adalah harga pasar. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar persaingan sempurna.
i.
Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Pearson and Gotsch (2005), menyatakan bahwa peneliti tidak
banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketentuan upah minimum tidak berlaku di sector pertanian. Menurut Gittinger (1986), tenaga kerja di pedesaan umumnya bukan merupakan tenaga ahli dan kenyataan masih adanya pengangguran. Sehingga dalam penelitian ini pengukuran harga bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan produk marginal dimana produk marginal sebenarnya masih dapat ditingkatkan, sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah aktual. Tingkat upah bayangan baik untuk usaha budidaya patin maupun usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu adalah tingkat upah aktual dikali persentase penduduk yang bekerja. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Indragiri Hulu, jumlah pengangguran pada tahun 2011 adalah sebesar 7 persen. Harga bayangan tenaga kerja adalah harga upah aktual dikali jumlah penduduk yang bekerja yaitu sebesar 93 persen j.
Harga Bayangan Nilai Tukar Harga bayangan nilai tukar uang
adalah harga uang domestik dalam
kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada kondisi persaingan sempurna (Suryana, 1980).
Salah satu pendekatan untuk
menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standard Conversion Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Squire dan Van Der Tak (1982) dalam Gittinger (1986) menggunakan formula sebagai berikut : SERt =
OERt SCFt
Dimana : SERt : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OERt : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCFt : Faktor Konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut : SCFt =
Xt + Mt (Xt – Txt) + (Mt + Tmt)
Dimana, SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt
: Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Mt
: Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Txt
: Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp)
Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Perhitungan SER tahun 2011 berdasarkan data dari Bank Indonesia dan BPS (Badan Pusat Statistik). Dimana total nilai ekpor Indonesia (Xt) pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 1.785.229,8 milyar, nilai impor Indonesia (Mt) Rp 1.554.489,3 milyar, penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Txt) Rp 25.439 milyar, dan penerimaan pemerintah dari pajak impor (Tmt) sebesar Rp 21.501 milyar. Nilai tukar resmi rata-rata mata uang Rupiah terhadap US Dollar pada tahun 2011 adalah sebesar Rp 8.775 per US Dollar. Berdasarkan data tersebut diperoleh nilai faktor konversi standar pada tahun 2011 adalah sebesar 1,001 sehingga diperoleh nilai tukar bayangan mata uang Rupiah terhadap US Dollar (SER) sebesar Rp.8765 per US Dollar. k.
Harga Bayangan Kandang dan Peralatan Dalam penelitian ini sebagian besar bahan bangunan kandang dan peralatan
merupakan hasil produksi domestik, maka harga bayangan kandang dan peralatan sama dengan harga privat yang dihitung berdasarkan nilai penyusutannya. l.
Harga Bayangan Bahan Bakar Minyak Harga bayangan BBM ditentukan dari harga di tingkat bunker yaitu
harga sebelum subsidi yang diperoleh dari Pertamina. Pada tahun 2011 harga bensin adalah Rp 9.050 per liter.
3.5
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu
usaha budidaya patin dan sapi potong bila terjadi perubahan terhadap input maupun output. Perubahan ini dapat mempengaruhi penerimaan dan biaya petani budidaya patin dan peternak sapi potong di Kabupaten Indragiri Hulu. Analisis sensitivitas yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah 1.
Penghapusan Bea Impor sapi potong sebesar 5 persen Untuk
melindungi
produsen
dalam
negeri
pemerintah
pemerintah
mengenakan tarif impor daging sapi dan sapi bakalan sebesar 5 persen. Secara bertahap tarif ini akan diturunkan sampai menjadi nol persen pada tahun 2020. Jika tarif impor dihapuskan maka harga daging sapi maupun sapi bakalan impor akan menjadi lebih murah. 2.
Bahan Bakar Minyak (BBM) naik 15 persen Salah satu input yang digunakan oleh peternak di Kabupaten Indragiri Hulu adalah BBM. Untuk mencapai akses ke tempat pengambilan hijauan mereka membutuhkan kendaraan yang menggunakan bensin. Jika terjadi kenaikan harga BBM sebesar 15 persen seperti yang direncakan pemerintah, maka menarik untuk mengetahui dampaknya terhadap daya saing peternakan di daerah ini.
3.
Penggunaan pakan dari limbah kelapa sawit Sejalan dengan program integrasi tanaman ternak, maka perlu di pertimbangkan penggunaan pakan dari limbah sawit seperti daun, pelepah dan solid. Jika pakan dari pelepah sawit yang digunakan untuk pengganti hijauan maka bisa menghemat biaya pakan hijauan sebesar 30 persen karena penggunaan pakan dari pelepah sawit tidak boleh lebih dari 30 persen (Mathius, 2008)
4.
Penurunan harga ikan patin sebesar 25 persen Saat produksi perairan umum di Kabupaten Indragiri Hulu melimpah khususnya dimusim kemarau, maka harga ikan patin budidaya bisa turun hingga 25 persen, hal ini terjadi karena lemahnya sistem pemasaran
5.
Penghapusan PPN pakan ikan sebesar 10 persen Komponen biaya produksi budidaya patin sebesar 70-80 persen berasal dari pakan. Saat ini pakan ikan masih dikenakan PPN sebesar 10 persen.
6.
Depresiasi nilai tukar rupiah 5,5 persen Nilai tukar rupiah melemah rata-rata sebesar 5,5 persen selama tahun 2010 ke tahun 2011. Jika nilai tukar rupiah melemah maka akan berpengaruh terhadap harga paritas impor ikan patin.