Baru-baru ini, teknik remote sensing telah ditingkatkan penggunaannya untuk menambah metode konvensional (seperti SCS-CN) untuk sejumlah besar daerah yang sulit diakses atau daerah yang kompleks. Pemanfaatan image dari remote sensing telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi bentuk permukaan lahan seperti topografi, jaringan sungai, tutupan lahan, vegetasi, dan lain-lain. Banyak peneliti telah menggunakan data remote sensing untuk mengestimasi CN (Weng, 2001; Melesse, 2003&2004).
Aplikasi GIS dalam Pemodelan Hidrologi Perkembangan teknologi GIS terakhir sangat membantu dalam pemodelan hidrologi DAS. Yaitu dengan kemampuannya dalam menangkap (capture), menampilkan, menyimpan, mengolah, dan menganalisa data dari data titik ke data spasial. Teknik GIS memungkinkan untuk pemodelan hidrologi yang lebih akurat yaitu dengan kemampuannya mengakomodasi parameterparameter hidrologi yang beragam (Melesse et al., 2003). Dengan penggabungan dan overlay (tumpang tindih) informasi tanah dan vegetasi, unit respon hidrologi dari suatu DAS menjadi lebih mudah ditentukan (Blaszczynki, 2003). Integrasi teknis GIS dalam pemodelan juga bermanfaat untuk simulasi data spasial dan time series secara simultan. Aplikasi teknik GIS dalam pemodelan hidrologi sangat beragam tergantung dari tujuan yang hendak dicapai, dan prosesnya dapat dijelaskan dalam beberapa kategori tahapan. Weng (2001) menggunakan teknik GIS dalam dua tahapan besar untuk menghitung limpasan permukaan yaitu untuk menghitung parameter hidrologi dan untuk pemodelannya. Sedangkan Melesse et al. (2003) merinci menjadi empat tahapan. Tahapan yang dimaksud yaitu; (i) penghitungan input parameter untuk pemodelan hidrologi, (ii) pemetaan dan penampilan variabel hidrologi, (iii) tampilan permukaan daerah aliran sungai, dan (iv) identifikasi unit respon hidrologi.
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian Pada penelitian tentang ”Pengaruh penggunaan/tutupan lahan terhadap imbuhan daerah aliran sungai (DAS)”, daerah kajian meliputi Sub DAS Cicatih yang merupakan bagian dari DAS Cimandiri, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari bulan Maret – Juli 2007. Pengolahan data dan analisis dilaksanakan di Laboratorium Hidrometeorologi, Dept.Geofisika dan Meteorologi – IPB serta di Puslit Geoteknologi LIPI, Bandung.
2.7.
17
3.2.
Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan input data curah hujan harian dari 15 stasiun pengamat curah hujan selama 23 tahun dari 1984 – 2006 (dari PSDA Kabupaten Sukabumi), data debit sungai harian tahun 2000 (dari PLTA Ubrug, Kabupaten Sukabumi), peta penggunaan lahan tahun 2001 (diperoleh dari GEOTEK LIPI, Bandung), dan peta tekstur tanah (dari Puslitanak). Sedangkan alat yang digunakan yaitu seperangkat komputer yang dilengkapi dengan program Ms. Office, ArcView GIS 3.3, CLIMGEN, dan PCRaster programming language.
3.3.
Lokasi Penelitian Sejak tahun 2004, DAS CicatihCimandiri seluas 53.709 ha, yang terletak di Kab.Sukabumi, Jawa Barat dijadikan sebagai laboratorium lapang oleh Lab.Hidrometeorologi untuk kegiatan survey lapang, kunjungan lapang pengukuran, pengamatan, kalibrasi dan validasi model hidrologi. Tercatat di DAS ini telah dilakukan kajian unsur-unsur biofisik DAS antara lain; pemodelan limpasan spasial bulanan (Sofyan, 2004; Iqbal, 2006; Jonsen, 2006), pemodelan limpasan permukaan dengan metode SCS (Hidayat et al., 2006a; Taufik, 2006), pendugaan evapotranspirasi spasial (Hidayat et al., 2004), pengukuran infiltrasi lahan sawah (Gian, 2007). Untuk memperoleh data hidrometeorologi aktual DAS, pada tahun 2006 Lab.Hidrometeorologi bekerjasama dengan Balai Agroklimat dan Hidrologi, Deptan membangun stasiun AWS dan AWLR di mikro-DAS Cibojong yang merupakan bagian hulu DAS yang mengalirkan air dari Gunung Salak. Di
bagian hilir DAS terdapat bendungan PLTA Ubrug yang memanfaatkan air sungai Cicatih. Debit sungai Cicatih diamati dan diukur secara manual dengan menggunakan stage gage. Tipe aliran sungai di DAS Cicatih membentuk pola dendritik, yang dicirikan oleh banyaknya anak sungai kecil bergabung menjadi aliran dengan orde yang lebih tinggi, kemudian membentuk sungai utama.
Gambar 3.
Tabel 1. No 1 2 3 4 5 6 7
X-Koord 106.67917 106.90194 106.80139 106.90083 106.76454 106.84741 106.72332
Y-Koord -6.87000 -6.86833 -6.85194 -6.89778 -6.77186 -6.91613 -6.82210
Koordinat stasiun debit
Stasiun Debit Kebon Randu PLTA Ubrug
18
Peta lokasi penelitian, stasiun curah hujan, stasiun debit, serta aliran sungai di DAS Cicatih
Koordinat dan ketinggian stasiun curah hujan
Stasiun Cipetir Cibunar Sinagar Ciraden Cicurug Cipeundeuy Pakuwon
Tabel 2.
Pada penelitian ini, daerah kajian hanya sampai pada outlet Ubrug dikarenakan analisis hidrograf menggunakan data debit yang tercatat pada outlet Ubrug. Jika menggunakan keseluruhan DAS, maka dianggap data debit tidak mewakili seluruh daerah kajian, sebagaimana yang pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya (Sofyan, 2004; Iqbal, 2006; Jonsen, 2006; Lina, 2007).
X 696425 694209
Y 9234854 9231653
Alt (m dpl) 557 723 497 632 544 574 478
Gambar 4. Peta penggunaan lahan tahun 2001
Gambar 5. Grafik persentase penggunaan lahan tahun 2001 di DAS Cicatih-Cimandiri
19
3.4.
Metode Analisis hidrologi dalam penelitian ini dilakukan secara spasial dan temporal harian untuk limpasan permukaan (Q) dan imbuhan (F) DAS dengan menggunakan teknik GIS berdasarkan pada tiap tipe penggunaan lahan dan sub-DAS. Diasumsikan bahwa penggunaan lahan tahun 2000 di DAS Cicatih tidak berubah saat tahun 2001. Selanjutnya untuk mengetahui efisiensi metode SCS dalam menduga limpasan permukaan, dalam penelitian ini dilakukan pemisahan baseflow dari data debit harian dengan teknik filter. Dengan mengetahui besaran baseflow maka sumbangan terhadap debit sungai dari suatu kejadian hujan di dalam wilayah DAS dapat dikuantifikasi. Dalam laporan penelitian ini analisa tiap komponen hidrologi DAS Cicatih disajikan perbulan. Adapun tahapan-tahapan dari penelitian ini secara lengkap disajikan dalam uraian selanjutnya. a. Penyiapan data curah hujan Tahapan dari proses ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemilihan tahun dan stasiun berdasarkan kelengkapan data pengamatan hujan harian. Dari tahapan ini dipilih tahun 2000 dan sebanyak tujuh stasiun pengamatan hujan di DAS Cicatih. Stasiun dimaksud yaitu: Ciraden, Cipeundeuy, Cibunar, Cipetir, Cicurug, Pakuwon dan Sinagar (Gambar 3). 2. Pengisian data kosong bulanan untuk stasiun-stasiun terpilih dengan menggunakan metode isohyet dalam software ArcView GIS. Menurut Asdak (2004) metode ini sesuai untuk pendugaan data hujan di wilayah dengan topografi bergunung. Teknik interpolasi yang digunakan yaitu IDW (Inverse Distance Weighted). Hasil pengisian data kosong dengan metode isohyet dan average curah hujan selama 23 tahun dapat dilihat pada Lampiran 16. 3. Proses lanjutan dari tahap 2 yaitu membangkitkan data hujan harian pada bulan-bulan kosong dengan input data hujan bulanan hasil dari tahap 2. Proses pembangkitan data hujan harian menggunakan software CLIMGEN (Boer, 1999).
20
4.
Software ini menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic. Program tersebut memungkinkan untuk membangkitkan data iklim harian (curah hujan, suhu maksimum, suhu minimum, radiasi dan evaporasi) pada suatu daerah mulai dari yang memiliki stasiun yang lengkap sampai ke yang tidak memiliki stasiun sama sekali. Deskripsi software CLIMGEN, tampilannya, dan hasil bangkitan data hujan harian dari data hujan bulanan hasil interpolasi dapat dilihat pada Lampiran 17,18, dan 19. Tabulasi data hujan harian tahun 2000 untuk input pemodelan hidrologi. Tahapan ini juga meliputi penentuan AMC (antecedent moisture condition) yaitu jumlah curah hujan 5 hari sebelumnya. AMC adalah suatu indikator dari kebasahan dan ketersediaan dari simpanan kelembaban tanah sebelumnya sampai waktu puncak. Keadaan ini akan memberikan efek yang berbeda pada volume limpasan. Oleh karena itu, nilai CN perlu disesuaikan dengan kondisi AMC. NRCS (Natural Resources Conservation Service-USDA) menetapkan batasan total curah hujan lima hari sebelumnya sebagai acuan untuk menentukan nilai AMC (USDA, 2004) sebagaimana disajikan dalam Tabel 3. Penentuan AMC harian DAS yaitu dengan menghitung CH wilayah harian dengan teknik Poligon Thiessen dari 7 stasiun yang telah disiapkan sebelumnya (Gambar 6).
Tabel 3. Kategori AMC (Antecedent Moisture Condition) Jumlah Jumlah total hari CH 5 hari Ket AMC Tahun sebelumnya 2000 (mm) AMC 1 <35.6 Kering 255 AMC 2 35.6 – 53.3 Normal 67 AMC 3 >53.3 Basah 44
b. Penyiapan peta spasial Tahapan ini merupakan penyiapan peta dalam desktop ArcView GIS yang digunakan untuk pemodelan dengan metode SCS. Metode ini mampu menjelaskan pengaruh faktor penggunaan lahan, faktor tanah, faktor hidrologi tanah dan faktor pengelolaan lahan terhadap respon hidrologi DAS dari suatu kejadian hujan. Pengaruh faktor-faktor tersebut dicerminkan dalam bilangan yang dikenal dengan Curve Number (McCuen, 1982; USDA, 2004). Berdasarkan prosedur metode ini, nilai CN ditentukan pada tiap kombinasi penggunaan lahan dan kelompok hidrologi tanah. Adapun tahapan pengolahan peta spasial dimaksud yaitu: 1. Delineasi outlet DAS dengan outlet yang baru di Bendungan PLTA Ubrug. Luas DAS yang baru yaitu 47.700 ha. Tabel 4 berikut menyajikan luasan tiap penggunaan lahan yang baru. Lahan sawah merupakan lahan dominan dengan menempati lebih dari ¼ luasan DAS. Hutan primer dan kebun campuran memberikan kontribusi sekitar 1/3 dari luasan DAS. Lahan ladang dan ilalang memberikan kontribusi hampir 1/3 dari luasan DAS diikuti lahan perkebunan yaitu kurang dari 4%. 2. Pembuatan poligon thiessen dengan tujuh stasiun terpilih. Stasiunstasiun tersebut telah disebutkan di sesi penyiapan data curah hujan.
3.
4.
5.
Penentuan grup hidrologi tanah berdasarkan nilai tekstur. Tekstur tanah biasanya mengacu pada jumlah fraksi tanah yang dikandungnya (Asdak, 1995). Grup hidrologi tanah berdasarkan nilai tekstur dijelaskan dalam USDA (2007) dan Rawls et al. (1982) dalam Wanielista (1990). Tabel 5 dan Tabel 7 menyajikan klasifikasi hidrologi tanah berdasarkan tekstur serta deskripsi dari masing-masing grup hidrologi tanah. Penentuan nilai CN berdasarkan penggunaan lahan dan grup hidrologi tanah. Tabel 6 menyajikan nilai CN yang digunakan USDA (1986). CN merupakan bilangan tidak berdimensi yang besarnya antara 1– 100 untuk menjelaskan kompleksitas kombinasi pengaruh penggunaan lahan, praktek pengolahan lahan, dan persentase tutupan lahan dengan grup hidrologi tanah. Rata-rata nilai CN untuk tiap LU di DAS Cicatih telah disajikan pada Tabel 4. Seluruh peta yang dihasilkan dari tahapan ini kemudian dirubah ke format spasial dengan ukuran grid 90 m. Lalu tiap peta spasial yang diperoleh kemudian di konversi ke format ASCII file.
Tabel 4. Luas dan nilai CN tiap penggunaan lahan tahun 2001 Luas (Ha) % Luas Penggunaan Lahan Hutan Primer 8491.37 17.80 Hutan Sekunder 30.69 0.06 Kawasan Pertambangan 159.92 0.34 Zona Industri 29.16 0.06 Kebun Campuran 8131.38 17.05 Ladang 7653.35 16.04 Ilalang 6962.15 14.60 Perkebunan 1777.95 3.73 Permukiman 928.54 1.95 Sawah 13475.44 28.25 Tubuh Air 38.60 0.08 Tanah Kosong 21.96 0.05 Total 47700.51
21
CN 62.01 60.96 87.75 85.98 75.54 83.64 72.76 69.84 84.00 76.78 100.00 74.41 75.18
Gambar 6.
Peta poligon thiessen dari tujuh stasiun terpilih
Tabel 5. Klasifikasi grup hidrologi tanah berdasarkan tekstur No
Tekstur
1 Pasir 2 Pasir berlempung 3 Lempung berpasir 4 Lempung 5 Lempung berdebu 6 Lempung liat berdebu 7 Lempung berliat 8 Lempung liat berdebu 9 Liat berpasir 10 Liat berlempung 11 Liat 1 sumber: Rawls et al., 1982
Gambar 7.
22
Tingkat infiltrasi minimum (fc) (in./hr)1 8.27 2.41 1.02 0.52 0.27 0.17 0.09 0.06 0.05 0.04 0.02
Peta tekstur tanah DAS Cicatih – outlet Ubrug
Grup Hidrologi Tanah1 A A B B C C D D D D D
Tabel 6. Nilai CN berdasarkan tipe penggunaan lahan dan grup hidrologi tanah Grup Hidrologi Tanah Sumber dalam TR-55 Penggunaan Lahan A B C D Woods, hydrologic condition: Hutan Primer 30 55 70 77 good Hutan Sekunder 36 60 73 79 Woods, hydrologic condition: fair Kawasan 81 88 91 93 Urban district; industrial Pertambangan Zona Industri 81 88 91 93 Urban district; industrial Woods-grass combination, Kebun Campuran 57 73 82 86 hydrologic condition poor Row crops; straight row, Ladang 72 81 88 91 hydrologic condition; poor Ilalang 49 69 79 84 Pasture, hydrologic condition: fair Perkebunan 45 66 77 83 Woods, hydrologic condition: poor Permukiman 77 85 90 92 Residential district; 1/8 acre or less Small grain; straight row, Sawah 65 76 84 88 hydrologic condition: poor Tubuh Air 100 100 100 100 Tanah Kosong 49 69 79 84 Open space: fair condition
Gambar 8.
Peta klasifikasi hidrologi tanah di DAS Cicatih
Tabel 7. Deskripsi grup hidrologi tanah Grup A B C D
23
Deskripsi karakteristik tanah Tanah dengan potensi runoff terkecil. Pasir yang tebal dengan sedikit lempung dan liat. Tanah dengan potensi runoff rendah. Umumnya tanah berpasir tapi lebih kecil dari A. Tingkat infiltrasi diatas rata-rata selama pembasahan. Tanah dengan potensi runoff moderat. Infiltrasi dibawah rata-rata. Tanah dengan potensi runoff tertinggi dan persentase kandungan liat terbanyak.
Tingkat infiltrasi minimum (mm/hr) 8 - 12 4-8 1-4 0-1
c.
Pemodelan spasial dinamik Untuk menentukan jumlah limpasan dan imbuhan harian sebagai respon dari suatu kejadian hujan, maka dibuat suatu pemodelan spasial dinamik harian dengan menggunakan PCRaster programming language. Input data yang diperlukan yaitu berupa tabulasi data curah hujan dengan format *.tss dan peta-peta spasial dengan format raster yang meliputi peta; penggunaan lahan, CN, poligon thiesen, batas DAS dengan outlet ubrug, dan SubDAS. Adapun tahapan penghitungan model dapat diuraikan dalam penjelasan berikut: 1.
Penghitungan limpasan permukaan dengan metode SCS dengan rumus berikut:
Q=
( P − 0.2 * S ) 2 P + 0.8 * S .............................. (1)
Simbol P mewakili curah hujan harian (mm), Q adalah limpasan permukaan harian (mm) dan S menyatakan kapasitas simpan maksimum. Pemodelan ini akan menghitung limpasan permukaan sebagai fungsi produksi hujan jika curah hujan melebihi nilai Ia yaitu sebesar 0.2 * S . Nilai S berikut:
S=
ditentukan dengan persamaan
25400 − 254 ...................................(2) CN
Nilai Curve Number (CN) untuk DAS yang memiliki lebih dari satu tipe penggunaan lahan, perlakuan, atau tipe tanah bisa didapat dengan melakukan pembobotan tiap nilai CN berdasarkan persentase luasan penggunaan lahan tersebut. Misalnya : Dalam suatu DAS terdapat lima tipe penggunaan lahan, yaitu sawah, pemukiman, hutan, zona industri, dan tubuh air. Nilai CN terbobot didapat dengan : CN terbobot = (CNsawah*%luas sawah) + (CNpemukiman*%luas pemukiman) + (CNhutan*%luas hutan) + (CNzona industri*%luas zona industri) + (CNtubuh air*% luas tubuh air)
24
Nilai CN bervariasi antara 1 – 100 yang mencerminkan karakteristik DAS seperti: (1) tipe tanah, (2) penggunaan lahan dan perlakuannya, (3) kondisi air tanah. Volume limpasan yang dihitung tanpa menyesuaikan nilai CN berdasarkan AMC akan menyebabkan model over atau under prediksi. Oleh karena itu nilai CN harus disesuaikan dengan persamaan berikut (Chow et al., 1988):
CNI =
4.2* CNII 10 − 0.058* CNII .......................(3)
CN III = 2.
23 * CN II 10 + 0.13 * CN II ....................(4)
Setelah memperoleh nilai Q , imbuhan ( F ) dihitung berdasarkan metode neraca air SCS dengan menggunakan persamaan berikut:
P = Ia + F +Q
..........................................(5)
Ia (Initial abstraction) adalah volume hujan awal, merupakan fungsi dari penggunaan lahan, intersepsi, infiltrasi, depression storage dan AMC (McCuen, 1982). Nilai Ia bervariasi dari 0 hingga 0.3 (USDA-SCS, 1986), untuk kondisi rata-rata, nilai Ia adalah sebesar 0.2 S. Dari running model spasial dinamik harian tersebut diperoleh peta spasial harian dan data tabular limpasan dan imbuhan berdasarkan penggunaan lahan dan sub-DAS. Detil tentang script model ada dalam Lampiran 4. Selanjutnya hasil yang diperoleh tersebut dianalisa secara bulanan. d. Pemisahan hidrograf harian Baseflow didefinisikan sebagai aliran sungai yang berasal dari storage alami. Secara umum teknik analisis baseflow dapat dikelompokkan menjadi 3; pemisahan baseflow, analisis frekuensi, dan analisis resesi. Kajian ini akan menganalisa baseflow DAS Cicatih dengan teknik pemisahan hidrograf untuk data debit harian tahun 2000. Teknik pemisahan hidrograf digunakan untuk memisahkan baseflow dari hidrograf dengan membuang quickflow dari slowflow (Smakhtin, 2001a). Teknik pemisahan baseflow berkembang tergantung dari konteks penggunaanya mulai dari pemisahan dalam skala waktu menit, jam-
jaman, harian, dan bahkan bulanan dan musiman. Metode yang umum untuk pemisahan baseflow yaitu metode grafik yang fokus pada pendefinisian titik dimana baseflow interseksi dengan rising dan falling limb, atau metode filter yang menggunakan seluruh data debit untuk menurunkan baseflow. Teknik yang terakhir disebut sering digunakan untuk memisahkan baseflow dari debit sungai dalam data kurun waktu yang panjang. Dalam penelitian ini pemisahan baseflow menggunakan algoritma Lyne dan Hollick (Nathan dan McMahon, 1990) sebagai berikut:
1+α Q f (i ) = αQ f (i−1) + (Q(i ) − Q(i−1) ) 2 .............................................(6) Q(i) adalah debit pada hari ke-i Qf(i) adalah nilai quickflow untuk hari ke-i Q(i-1) adalah data debit pada hari i-1 α, parameter filter yang besarnya yaitu 0.925 Selanjutnya nilai baseflow dihitung sebagai selisih antara debit dengan quickflow pada hari ke-i ( Qb = Q − Qf ). Quickflow adalah tanggapan langsung terhadap kejadian hujan termasuk aliran di atas tanah (overland flow), pergerakan lateral pada profil tanah (interflow) dan curah hujan yang jatuh langsung pada permukaan aliran atau presipitasi langsung. Dalam kajian ini juga penting untuk mengetahui rasio antara baseflow dengan debit total yang dikenal sebagai baseflow index. Baseflow index (BFI) merupakan indikator yang bagus untuk mengkaji pengaruh geologi terhadap low flows (Smakhtin, 2001b). e.
Pengujian model SCS Mishra et al. (2005) menyatakan bahwa untuk evaluasi dari tampilan model, error akar dari rata-rata dikuadratkan (RMSE) dapat diambil sebagai suatu index identifikasi dari variasi antara nilai perhitungan dan observasi limpasan permukaan. Persamaannya yaitu : RMSE =
2 1 N …...(7) ∑ i =1 (Qobs −Qscs ) i N
dimana Qobs adalah limpasan permukaan hasil pengamatan (mm) sedangkan QSCS adalah limpasan permukaan hasil
25
perhitungan (mm). N adalah angka total dari kejadian limpasan permukaan dan i adalah integer dari 1 sampai N. Semakin tinggi nilai RMSE, maka semakin buruk tampilan model. Sebaliknya, semakin rendah nilai yang ditunjukkan RMSE, maka semakin baik tampilan model. RMSE bernilai nol mengindikasikan pendekatan model terbaik. Selain itu, pengukuran tampilan model untuk mengkarakterisasi kecocokan antara hidrograf hasil observasi dan model, dapat juga menggunakan koefisien efisiensi E (Nash and Sutcliffe, 1970). Koefisien efisiensi E didefinisikan sebagai: n ⎡ 2 ⎤ ⎢ ∑ (Qobs − Qscs ) ⎥ ⎥ ………….(8) E = ⎢1 − in=1 2 ⎢ (Qobs − Qobs ) ⎥ ⎢⎣ ∑ ⎥⎦ i =1
Koefisien efisiensi E biasa digunakan untuk mengukur tampilan model hidrologi dan ilmu tanah. Nilai E berkisar antara 0 sampai 1, dengan nilai maksimal E sebesar 1 artinya hasil simulasi sempurna dibandingkan pengukurannya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Deskripsi Hidrologi Daerah Kajian Pola curah hujan DAS Cicatih mengikuti pola monsunal (Gambar 9). Begitu pula halnya dengan tahun 2000 yang merupakan tahun observasi data penelitian. Puncak hujan bulanan pada tahun ini terjadi pada bulan November sebesar 389 mm dan curah hujan terendah adalah pada bulan Juli yaitu sebesar 69 mm. Tahun 2000 merupakan tahun dengan curah hujan rendah (Gambar 12). Total curah hujan tahunan yaitu sekitar 2245 mm, sedangkan curah hujan tahunan selama 23 tahun rata-rata dari tujuh stasiun di DAS Cicatih menunjukkan nilai mencapai 2641 mm/tahun. Seperti data curah hujan, data debit bulanan tahun 2000 juga menunjukkan pola musiman yang jelas (Gambar 10). Debit maksimum terjadi pada bulan Januari sebesar 1606,43 m3/s (291 mm) dan terendah pada bulan Agustus sebesar 477.06 m3/s (86,41 mm). Sebagai respon dari kejadian hujan, data debit terukur pada bulan-bulan tertentu tidak sinkron dengan jumlah asupan curah hujan DAS. Hal ini