III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta dan Kementrian Keuangan. Data yang tercakup dalam penelitian ini adalah data APBD, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), angka kemiskinan, jumlah penduduk, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan data lainnya yang relevan dengan penelititan ini. Data pendukung lainnya seperti buku, artikel, jurnal dan lain-lain diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, perpustakaan Perguruan Tinggi lainnya seperti UI, STIS, dan situs-situs yang berkaitan dengan penelitian.
3.2 Metode Analisis Dalam penelitian ini digunakan analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis deskriptif digunakan dengan bantuan tabel dan grafik untuk mendeskripsikan kondisi kinerja fiskal pemerintah daerah, serta kondisi pembangunan sosial ekonomi daerah dalam hal ini kondisi pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, serta pembangunan manusia. Analisis persamaan simultan digunakan untuk menjawab dampak kinerja fiskal daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, serta pembangunan manusia.
3.2.1 Model Persamaan Simultan Model dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja pembangunan sosial ekonomi daerah disusun dalam persamaan simultan yang dikelompokkan dalam tiga blok yaitu : (1) blok penerimaan fiskal daerah, (2) blok pengeluaran fiskal, dan (3) blok pembangunan sosial ekonomi daerah.
3.2.1.1 Penerimaan Fiskal Daerah Dana Alokasi Umum merupakan transfer pemerintah pusat ke daerah dan
menjadi instrumen penting desentralisasi fiskal. Secara normatif besarnya dipengaruhi antara lain oleh kapasitas fiskal, luas wilayah, serta jumlah penduduk. Dalam penghitungan DAU ada yang disebut dengan alokasi minimum yang artinya DAU tahun berjalan sedemikian rupa sehingga jumlahnya tidak boleh kurang dari DAU tahun sebelumnya. Pajak daerah secara teoritis dipengaruhi oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), juga oleh kepadatan jumlah penduduk. Diduga kuat juga oleh adanya kondisi psikologis bagi pemerintah daerah yaitu bahwa target perolehan pajak tahun berjalan sekurang-kurangnya tidak lebih rendah dari perolehan pajak tahun sebelumnya. Sesudah kebijakan otonomi, daerah diberi kebebasan menggali sumber-sumber pembiayaan pembangunan dari daerah sendiri antara lain melalui perluasan basis pajak. Oleh sebab itu diduga kuat bahwa ada peningkatan dan perbedaan yang signifikan pada penerimaan pajak daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, untuk mengakomodir hal ini dibuat variabel dummy desentralisasi fiskal. Besarnya retribusi daerah sebagai salah satu sumber penerimaan yang penting bagi daerah dipengaruhi oleh PDRB. Masyarakat dengan pendapatan yang tinggi tentu akan mampu memberikan retribusi yang tinggi pula kepada daerahnya. Sebaliknya, masyarakat dengan pendapatan yang rendah maka kemampuan membayar retribusi juga rendah. Besarnya penerimaan retribusi tahun lalu akan menentukan dan mempengaruhi usaha-usaha pemerintah daerah untuk setidak-tidaknya mencapai perolehan yang sama dengan tahun sebelumnya. Disamping itu, meningkatnya jumlah penduduk diduga kuat juga mempengaruhi penerimaan retibusi daerah. Apabila penduduk bertambah banyak, maka transaksi yang terjadi pada sumber-sumber retribusi juga akan meningkat. Keleluasaan pemerintah daerah untuk menerbitkan PERDA guna meningkatkan sumber pembiayaananya antara lain melalui retribusi sudah tentu akan meningkatkan penerimaan retribusi yang berbeda dan signifikan antara sebelum dan sesudah desentralisasi. Untuk itu dibuat pula variabel dummy desentralisasi fiskal. Bagi hasil pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting daerah. Besarnya bagi hasil pajak yang diterima daerah dipengaruhi oleh PDRB. Secara faktual, perolehan pajak tahun berjalan selain ditentukan oleh PDRB juga
ditentukan oleh apa yang disebut “ variabel target” yaitu perolehan pajak tahun berjalan setidaknya sama dengan perolehan tahun lalu. Disamping itu, bagi hasil pajak yang diatur setelah desentralisasi, memberikan porsi yang lebih besar dibandingkan dengan bagi hasil pajak sebelum desentralisasi, untuk itu dibuat variabel dummy desentralisasi fiskal. Berdasarkan penjelasan tersebut maka penerimaan fiskal daerah dijelaskan dalam persamaan-persamaan : 1.Persamaan Dana Alokasi Umum (DAU) DAU = a0+a1Kapfis+a2Luas+a3Pop+a4Ldau+a5Ddf+u1…..………………….………….……….(3.1)
Parameter estimasi yang diharapkan a1< 0 ; a2,a3,a4,a5 > 0 2.Persamaan Pajak (PJK) PJK = b0 + b1Pdrb + b2Lpjk + b3Kpdt + b4Ddf+ u2…………….……...…(3.2)
Parameter estimasi yang diharapkan b1,b2,b3,b4 > 0 3. Persamaan Retribusi (RETR) RETR = c0 + c1Pdrb + c2Lretr + c3Pop + c4Ddf + u3………....…...…..….(3.3)
Parameter estimasi yang diharapkan c1,c2,c3,c4 > 0 4. Persamaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) BHPBP = d0 + d1Pdrb + d2Lbhpbp + d3Ddf + u4……………….…………..(3.4)
Parameter estimasi yang diharapkan d1,d2,d3 > 0 5. Persamaan Total Penerimaan Daerah (TREVD) TREVD = DAPER + PAD + REVLAIN…………………….……………..(3.5) 6. Persamaan Pendapatan Asli Daereah (PAD) PAD = PJK + RETR + PADL…………………………………..……….…(3.6) 7. Persamaan Kapasitas Fiskal (KAPFIS) KAPFIS = PAD + BHPBP…………………………………..…………..….(3.7) 8. Persamaan Transfer (TRANSF) DAPER = DAU + DAK + BHPBP………………………..…………….…(3.8)
3.2.1.2 Pengeluaran Fiskal Daerah Pengeluaran rutin adalah semua pengeluaran yang digunakan untuk biaya operasional pemerintah di daerah. Besarnya pengeluaran rutin ini dipengaruhi oleh besarnya penerimaan asli daerah, dana perimbangan, serta pengeluaran rutin tahun lalu. Adanya peningkatan yang cukup signifikan antara penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, diduga akan mempengaruhi
peningkatan pengeluaran rutin secara signifikan, oleh sebab itu dibangun variabel dummy desentralisasi fiskal. Pengeluaran pembangunan adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi di daerah. Pengeluaran pembangunan dalam penelitian ini hanya sektor-sektor yang diduga berpengaruh terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah yaitu pengeluaran sektor pertanian, sektor pendidikan, sektor kesehatan, serta sektor tenaga kerja. Besarnya pengeluaran ini diduga dipengaruhi oleh total penerimaan daerah. Secara normatif pula diduga selalu ada usaha-usaha pemerintah daerah untuk dapat memperoleh pengeluaran pembangunan tahun berjalan tidak lebih kecil dari pengeluaran pembangunan tahun sebelumnya. Adanya peningkatan yang cukup signifikan antara penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, diduga akan mempengaruhi peningkatan pengeluaran rutin secara signifikan, oleh sebab itu dibangun variabel dummy desentralisasi fiskal. Berdasarkan penjelasan tersebut maka pengeluaran fiskal daerah dijelaskan dalam persamaan-persamaan : 1. Persamaan Pengeluaran Rutin (PR) PR = e0 + e1Pad + e2Daper + e3Lpr + e4Ddf + u5….………….…….(3.9) Parameter estimasi yang diharapkan e1,e2,e3,e4 > 0 2. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pertanian (PPptn) PPptn = f0 + f1Trevd + f2LPPptn + f3Ddf + u6……………….…….(3.10) Parameter estimasi yang diharapkan f1,f2,f3 > 0 3. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Tenaga Kerja (PPtk) PPtk = go + g1Trevd + g2LPPtk + g3Ddf + u7…………………………….(3.11) Parameter estimasi yang diharapkan g1, g2, g3 > 0
4. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Kesehatan (PPkes) PPkes = ho + h1Trevd + h2LPPkes + h3Ddf + u8…………………….….(3.12) Parameter estimasi yang diharapkan h1, h2, h3 > 0
5. Persamaan Pengeluaran Pembangunan Sektor Pendidikan (PPpddk) PPpddk = io + i1Trevd + i2LPPpddk + i3Ddf + u9……………………….(3.13) Parameter estimasi yang diharapkan i1, i2, i3 > 0 6. Persamaan Total Pengeluaran Pembangunan (PP) PP = PPptn + PPtk + PPkes + PPpddk + PPlain………………………….(3.14)
7. Persamaan Total Pengeluaran (TEXPD) TEXPD = PR + PP……...…………………………………………...(3.15) 3.2.1.3 Kinerja Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Salah satu variabel makro ekonomi penting yang dijadikan sebagai indikator kinerja pembangunan daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam penelitian ini PDRB dikelompokkan menjadi tiga sektor besar yaitu sektor primer, sektor sekunder, serta sektor tertier. Kinerja PDRB disuatu daerah dipengaruhi oleh besarnya pengeluaran pemerintah daerah yang bersangkutan, jumlah tenaga kerja masing-masing sektor, serta ekspor-impor. Adanya otonomi daerah, diduga terjadi peningkatan PDRB yang signifikan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal, atas dasar pemahaman tersebut maka ditambah variabel Dummy desentralisasi Selain PDRB, kinerja pembangunan sosial ekonomi daerah juga dapat dilihat dari kemampuan suatu daerah dalam mengentaskan kemiskinan. Menurut Siregar dan Wahyuniarti (2007), jumlah orang miskin di Indonesia dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah populasi penduduk, serta tingkat pendidikan yang mencerminkan modal manusia (human capital). Indra (2009) dalam penelitiannya juga memasukkan variabel populasi dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Selain itu Indra juga memasukkan variabel kebijakan otonomi daerah yang diasumsikan berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia. Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2006) di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Besarnya pengeluaran pemerintah diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin. Disamping itu tingkat pemerataan pendapatan juga diduga berpengaruh terhadap kemiskinan. Berdasarkan tinjauan penelitian
sebelumnya
maka
dibuatlah
persamaan
perilaku
kemiskinan
sebagaimana pada persamaan (3.20). Indikator lainnya yang dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan pembangunan daerah adalah indeks pembangunan manusia (IPM). Indikator ini
digunakan untuk mengukur capaian pembangunan manusia suatu daerah. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Penelitian yang dilakukan Mulyaningsih (2008) mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah disektor publik terhadap kemiskinan dan pembangunan manusia,
menyimpulkan
bahwa
alokasi
pengeluaran
pemerintah
tidak
berpengaruh terhadap peningkatan pembangunan manusia. Sedangkan Makrifah (2010)
dalam
penelitiannya
menyimpulkan
bahwa
belanja
pemerintah
berpengaruh positif terhadap pembangunan manusia. Selain itu penyerapan tenaga kerja, serta tingkat pendidikan yang mencerminkan modal manusia (human capital) juga memiliki pengaruh dalam pembangunan manusia. Berdasarkan penelitian sebelumnya maka dibuatlah persamaan perilaku pembangunan manusia seperti pada persamaan (3.21). Model kinerja pembangunan daerah disajikan dalam persamaan-persamaan sebagai berikut : 1. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Primer (PDRBprim) PDRBprim = j0+ j1Texpd + j2TKprim + j3XM + j4Ddf+ u10...........................(3.16)
Parameter estimasi yang diharapkan j1, j2, j3, j4 >0 2. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Sekunder (PDRBsek) PDRBsek = k0+ k1Texpd + k2TKsek + k3XM + k4Ddf+ u11...........................(3.17)
Parameter estimasi yang diharapkan k1, k2, k3, k4 >0 3. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Sektor Tersier (PDRBtert) PDRBprim = l0+ l1Texpd + l2TKtert + l3XM + l4Ddf+ u12.............................(3.18)
Parameter estimasi yang diharapkan l1, l2, l3, l4 >0 4. Persamaann Total PDRB PDRB = PDRBprim + PDRBsek + PDRBtert …………………………..….(3.19)
5. Persamaan Kemiskinan (MIS) MIS = m0+m1PDRB+m2Rls+m3Pop+m4Texpd+m5Gini+m6Ddf+u13…………....(3.20)
Parameter estimasi yang diharapkan m1,m2,m4 <0 ; m3,m5>0 3. Persamaan Pembangunan Manusia (IPM) IPM = n0 + n1TK + n2Rls + n3Texpd + n4DDF + u14 …………………….(3.21)
Parameter estimasi yang diharapkan n1,n2,n3,n4 >0 4. Persamaan Total Tenaga Kerja (TK)
TK = TKprim + TKsek + TKtert……………………………….…….(3.22) Tabel 4 Keterangan variabel dalam persamaan model simultan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
variabel BHPBP DAPER DAU DAK DDF GINI IPM KAPFIS KPDT LUAS LDAU LPJK LRETR LBHPBP LPR LPP LPPptn LPPtk LPPkes LPPpddk MIS PDRB PDRBprim PDRBsek PDRBtert POP PAD PP PPptn PPtk PPkes PPpddk PPlain PJK PR RETR REVLAIN RLS TK TKprim TKsek TKtert TREVD TEXPD
Keterangan Bagi hasil pajak dan bukan pajak Dana perimbangan Dana alokasi umum Dana alokasi khusus Dummy desentralisasi fiskal Gini rasio Indeks pembangunan manusia Kapasitas fiskal Kepadatan penduduk Luas wilayah Lag DAU Lag pajak Lag retribusi Lag bagi hasil pajak bukan pajak Lag pengeluaran rutin Lag pengeluaran pembangunan Lag pengeluaran sektor pertanian Lag pengeluaran sektor tenaga kerja Lag pengeluaran sektor kesehatan Lag pengeluaran sektor pendidikan Jumlah penduduk miskin Produk domestik regional bruto PDRB sektor primer PDRB sektor sekunder PDRB sektor tertier Jumlah penduduk Penerimaan asli daerah Pengeluaran pembangunan Pengeluaran pembangunan sektor pertanian Pengeluaran pembangunan sektor tenaga kerja Pengeluaran pembangunan sektor kesehatan Pengeluaran pembangunan sektor pendidikan Pengeluaran pembangunan sektor lainnya Pajak Pengeluaran rutin Retribusi Penerimaan Lainnya Rata-rata Lama Sekolah Tenaga kerja Tenaga kerja sektor primer Tenaga kerja sektor sekunder Tenaga kerja sektor tertier Total Penerimaan Daerah Total Pengeluaran Daerah
45 XM Ekspor Impor 3.2.2 Identifikasi Model Simultan Fungsi dari identifikasi model adalah untuk mengetahui apakah model tersebut dapat diduga atau tidak. Setelah mengetahui kondisi estimasi model, maka akan dapat ditentukan juga model estimasi apa yang digunakan dalam mengestimasi model. Identifikasi persamaan dalam model adalah dengan order condition, secara matematis dirumuskan sebagai berikut : (K – M) > (G – 1) Dimana : G
= Jumlah total persamaan dalam model (Jumlah total variabel endogen)
K
= Jumlah total variabel dalam model (endogen dan predetermined)
M
= Jumlah variabel (endogen dan eksogen) dalam persamaan yang diidentifikasi Jika suatu persamaan menunjukkan kondisi (K-M) < (G-1), maka
persamaan tidak teridentifikasi (unidentified), apabila persamaan menunjukkan (K-M) = (G-1) maka persamaan teridentifikasi secara tepat (exactly identified) dan apabila persamaan menunjukkan kondisi (K-M) > (G-1) maka persamaan teridentifikasi berlebihan (over identified). Tiga jenis identifikasi tersebut akan menentukan teknik ekonometrik estimasi yang dapat digunakan untuk mengestimasi model. Berdasarkan status identifikasi terhadap persamaanpersamaan dalam model tersebut maka bila persamaan atau model secara keseluruhan unidentified, maka model tersebut tidak dapat diduga parameternya dengan teknik ekonometrik manapun. Bila persamaan exactly identified maka teknik yang dapat digunakan dalam estimasi model adalah dengan ILS (indirect least square) sedangkan jika over identified maka estimasi parameter dapat dilakukan dengan berbagai teknik ekonometrik seperti 2SLS (two stage least square), 3SLS (three stage least square), LIML (Limited Information Maximum Likelihood), dan FIML (Full information Maximum Likelihood). Hasil identifikasi untuk setiap persamaan struktural haruslah exactly identified atau over identified agar dapat menduga parameter-parameternya. Berdasarkan order condition, model terdiri dari 22 persamaan, 22 variabel endogen (G) dan 24 predetermined variable yang terdiri dari 15 variabel eksogen dan 9 lag endogenous variabel. Total variabel dalam model (K) adalah 46
variabel, dengan jumlah variabel dalam persamaan (M) terbanyak adalah 7. Hasil identifikasi terhadap persamaan-persamaan dalam model berdasarkan order condition menunjukkan bahwa setiap persamaan struktural dalam model yang digunakan adalah over identified. Dengan model yang over identified maka estimasi model yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah metode 3SLS. Untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik F. Untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen pada masing-masing persamaan digunakan uji statistik t. Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan variabel bedakala (lag endogenous variable), maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistic dw (Durbin-Watson Statistics) tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi (autocorrelation) atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistic dh (Durbin-h Statistics), sebagai berikut : n ⎛ dw ⎞ h = ⎜1 − ⎟ 2 ⎠ 1 − n[(Var β )] ⎝
Dimana : dw
:
Durbin-Watson statistik
n
:
Jumlah observasi
Var β
:
Varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable
Apabila hhitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi. Menurut Pindyck dan Rubenfield (1998), masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi.
3.2.3 Validasi Model Untuk mengetahui apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model, untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat menggunakan
beberapa kriteria statistik yaitu Root Mean Squares Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U-Theils). Nilai RMSE yang kecil/rendah adalah ukuran yang diinginkan dari ketelitian simulasi. Nilai RMSPE merupakan ukuran deviasi dari nilai simulasi suatu variabel endogen terhadap nilai aktualnya dalam persen. Sedangkan koefisien ketidaksamaan theil digunakan untuk mengevaluasi simulasi historik. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi digunakan R2 (koefisien determinan). Makin kecil RMSE, RMSPE, U Theils, serta makin besar R2 maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U Theils berkisar antara 0 dan 1, jika U = 0, maka pendugaan model sempurna. Sebaliknya U = 1, maka pendugaan model naïf.
3.2.4 Simulasi Model Untuk mengetahui dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, serta pembangunan manusia maka dilakukan enam skenario simulasi, yaitu tiga skenario dari sisi penerimaan dan tiga skenario dari sisi pengeluaran. Sisi penerimaan, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan adanya kenaikan pada DAU, pajak, serta bagi hasil pajak dan bukan pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan adanya kenaikan pada pengeluaran pembangunan sektor pertanian, sektor kesehatan, serta sektor pendidikan. Mengingat dana alokasi umum, serta bagi hasil pajak bukan pajak bersifat given, maka besarnya nilai simulasi pada sisi penerimaan didasarkan pada rata-rata peningkatannya selama tahun 2001 hingga 2009. Besarnya kenaikan pada masing-masing skenario selengkapnya adalah sebagai berikut : 1. Skenario 1, Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 16%. Peningkatan DAU sebesar 16% didasarkan kepada rata-rata peningkatan DAU selama dilaksanakannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 hingga 2009. 2. Skenario 2, Peningkatan pajak sebesar 20%. Sama halnya dengan skenario peningkatan DAU, peningkatan pajak sebesar 20% juga didasarkan pada ratarata peningkatan pajak selama periode desentralisasi fiskal dilaksanakan yaitu dari tahun 2001 hingga 2009.
3. Skenario 3, Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak sebesar 20%. Selama
pelaksanaan
desentralisasi
terjadi
peningkatan
BHPBP
sebesar 19.46 %, untuk mempermudah penghitungan maka simulasi kenaikan BHPBP dibulatkan menjadi 20%. 4. Skenario 4, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 50%. Skenario ini didasarkan pada rata-rata peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian pada periode 2001 hingga 2009. 5. Skenario 5, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor kesehatan sebesar 30%. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 50% sebanding dengan peningkatan pengeluaran pembangunan sektor kesehatan sebesar 30%. Hal ini dilakukan agar dapat dibandingkan sektor mana yang memiliki dampak paling besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah. 6. Skenario 6, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pendidikan sebesar 10%. Agar dapat dibandingkan pengeluaran pembangunan sektor mana yang memberikan dampak terbesar, maka peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pendidikan harus sebanding dengan peningkatan pengeluaran sektor pertanian serta sektor kesehatan. Analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah dibagi menurut pulau. Pembagian menjadi 6 pulau yaitu Sumatera, JawaBali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Pulau Lainnya yang terdiri dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Maluku. Analisis menurut pulau didasari
dengan
memperhatikan
perbedaan
karakteristik
antarwilayah.
Pembangunan berbasis kewilayahan merupakan jawaban untuk mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing nasional dengan mengutamakan pengelolaan sumber daya lokal secara lebih efisien dan efektif guna mendorong keserasian dan keseimbangan pembangunan antarwilayah, serta memperhatikan kaidah pembangunan secara berkelanjutan dan menjaga kesinambungan pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 menyebutkan bahwa visi pembangunan nasional adalah terwujudnya Indonesia
yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Salah satu misi pembangunan jangka panjang yang terkait dengan pembangunan wilayah adalah mewujudkan pemerataan pembangunan dan mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional (PP No. 5 Tahun 2010). Berdasarkan arah pengembangan wilayah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, maka strategi pengembangan wilayah adalah sebagai berikut : 1. Mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah potensial di luar Jawa-Bali dan Sumatera dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah JawaBali dan Sumatera. 2. Meningkatkan keterkaitan antarwilayah melalui peningkatan perdagangan antar pulau untuk mendukung perekonomian domestik 3. Meningkatkan daya saing daerah melalui pengembangan sektor-sektor unggulan di tiap wilayah 4. Mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal, kawasan strategis dan cepat tumbuh, kawasan perbatasan, kawasan terdepan, kawasan terluar, dan daerah rawan bencana. 5. Mendorong pengembangan wilayah laut dan sektor-sektor kelautan. Pengembangan wilayah diarahkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional dan sekaligus mengurangi kesenjangan antarwilayah dengan mendorong percepatan pembangunan Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua dan tetap mempertahankan momentum pembangunan di Jawa-Bali dan Sumatera. Dalam upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di Jawa-Bali akan terus dilakukan. Sementara, untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah ditempuh dengan
meningkatkan
produksi,
investasi,
dan
perdagangan
melalui
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong perluasan kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan di luar JawaBali, serta mempercepat pemerataan antarwilayah.