III. METODA PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB),yang terdiri dari empat kecamatan, yaitu Kecamatan Seram Barat, Kecamatan Huamual Belakang; Kecamatan Taniwel dan Kecamatan Piru. Batas koordinat wilayah Pulau Seram mulai dari 127 o28’16,33” sampai 128o50’31,59” Bujur Timur dan 2o49’46,93” sampai 3o34’15,45” Lintang Selatan (Gambar 3). Penentuan stasiun pengamatan dilakukan berdasarkan data Citra Satelit landsat 7 ETM+ akuisisi 2004 dan peta penyebaran dan kerusakan mangrove. Stasiun pengamatan terdiri dari empat stasiun dengan luasan mangrove yang berbeda, yaitu
Stasiun I : Teluk Piru, Kecamatan Seram Barat
(751,66 Ha); Stasiun II dan III : Teluk Kotania dan Pelita Jaya, Kecamatan Seram Barat (553,84 Ha); Stasiun IV : Selat Seram, Kecamatan Piru (187,49 Ha). Waktu penelitian dilaksanakan selama 12 bulan mulai bulan April 2007 sampai Maret 2008.
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian
35
3.2. Alat dan Bahan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain :
seperangkat
komputer, perangkat lunak ERDAS Imagine 9.1 digunakan untuk pengolahan data citra secara digital dan ArcView ver 3.3 digunakan untuk overlay citra dan tampilan citra;
Criterium Decision Plus digunakan untuk AHP;
dan peralatan lapangan
berupa: Global Positioning System (GPS), kompas, meteran dan tali sheet. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian adalah : Citra Landsat 7 ETM+ wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2003 dan tahun 2005; peta dasar Kabupaten Seram Bagian Barat berupa peta topografi, peta land use, peta sebaran dan kerusakan mangrove; Peta Rupa Bumi Indonesia (1 : 250.000) daerah Maluku.
3.3. Tahapan Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan dalam empat tahapan secara sekuensial. Tahapan penelitian dideskripsikan sebagai berikut : 1. Tahap pertama: mengidentifikasi indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan berdasarkan studi literatur dan pengamatan di lapangan. 2. Tahap kedua : menginventarisasi dan menganalisis kondisi ekologi, ekonomi dan sosial. a. Aspek ekologi, menginventarisasi dan menganalisis keadaan vegetasi, satwa dan perubahan penutupan lahan mangrove. Analisis yang digunakan adalah analisis vegetasi, analisis deskriptif dan analisis perubahan penutupan lahan (land cover). Analisis ini akan menghasilkan keadaan vegetasi (kerapatan, frekwensi, dominansi dan INP), keadaan satwa (jumlah, jenis dan penyebaran) serta keadaan perubahan penutupan lahan mangrove. b. Aspek ekonomi, menginventarisasi dan menganalisis data ekonomi masyarakat, yang meliputi tingkat pendapatan masyarakat dan nilai manfaat langsung hutan mangrove serta peran hutan mangrove bagi pembangunan wilayah. Analisis yang digunakan adalah Analisis Nilai Ekonomi (Direct Use Value) yang akan menghasilkan nilai manfaat langsung hutan mangrove bagi masyarakat. Disamping itu dilakukan analisis deskriptif untuk mengetahui peran hutan mangrove bagi pembangunan ekonomi wilayah.
36
c.
Aspek sosial, menginventarisasi
data
karakteristik sosial responden yang
meliputi : jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencaharian, peranserta masyarakat, akses masyarakat di sekitar hutan mangrove dan pola hubungan stakeholder dalam pengelolaan hutan mangrove. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif. Analisis ini akan mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat di sekitar hutan mangrove. 3. Tahap ketiga : menganalisis nilai indeks keberlanjutan sistem pengelolaan hutan mangrove dengan menggunakan Rap-Mforest metode Multidimensional Scaling (MDS) modifikasi dari Rapfish. 4. Tahap keempat : menentukan prioritas kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Kebijakan ini disusun dalam hirarkhi prioritas kebijakan dengan menggunakan model AHP. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
Tahap 1
Menentukan indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan
Kajian kondisi ekosistem Tahap 2
EKOLOGI
EKONOMI
SOSIAL
Menentukan nilai indeks keberlanjutan Tahap 3
Analisis Rap-Mforest
Menentukan prioritas kebijakan Tahap 4
AHP
Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan
Gambar 4. Diagram Alir Tahapan Penelitian
37
3.4. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Kebutuhan data primer diperoleh melalui survey ke lokasi penelitian. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode transek ukuran 10 x 10 m terhadap semai, belta dan pohon. Data primer sosial ekonomi dilakukan dengan teknik wawancara dengan masyarakat yang berdomisili di sekitar areal hutan mangrove. Pengumpulan data utama dilakukan dengan
kuesioner, pendapat Pakar dan
dokumentasi. Wawancara dilakukan juga dengan pakar dan informan kunci dari stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Teluk Kotania dan Teluk Piru yaitu : petugas dari Dinas Kehutanan Seram Bagian Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Seram Bagian Barat, Bapedalda Maluku, Bappeda Seram Bagian Barat, Dinas Lingkungan Hidup, LSM, Tokoh masyarakat, peneliti dari Perguruan tinggi dan LIPI Ambon.
serta
Data sekunder diperoleh melalui
penelusuran dokumen - dokumen yang berkaitan dengan wilayah penelitian meliputi :data statistik kecamatan/desa, data hasil penelitian sebelumnya serta dokumendokumen ilmiah lainnya dari berbagai instansi terkait yang relevan untuk bahan penelitian. Secara rinci, metode pengumpulan data penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Metode Pengumpulan Data Penelitian No 1.
Jenis Data Data Primer Data vegetasi Data satwa Data fisik
Survey Survey Survey, SIG
Sumber Data Wilayah Pesisir SBB Wilayah pesisir SBB Citra Landsat, Peta topografi, Peta RBI
Wawancara, Aspirasi Stakeholder, Pendapat Pakar , MDS, AHP
Masyarakat wilayah pesisir Masyarakat, LSM, Instansi terkait,Pemkab SBB, Peneliti.
Data Sekunder : Data demografi
Penelusuran dokumen
BPS, Pemkab SBB, Pemda Maluku, LIPI Ambon, UNPATTI dan instansi terkait
Data penelitian sebelumnya
Penelusuran dukumen
LIPI dan UNPATTI.
Data Sosek
2.
Metode
38
3.5. Analisis Data 3.5.1 Analisis Vegetasi Hasil pencacahan analisis vegetasi digunakan untuk menghitung kerapatan jenis, frekuensi jenis, dominansi jenis, dan indeks nilai penting (Kusmana, 1995 dan Bengen, 2000) sebagai berikut : 1. Kerapatan Jenis i (D i ) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area. Rumus : ni Di = A dan
ni RD i =
∑n
X 100 %
dimana : D i = Kerapatan jenis i (Ind/m2); A = Luas total area pengamatan sampel (m2); n i = Jumlah total tegakan jenis I; RD i = Kerapatan relatif jenis I (%) dan ∑ n = Jumlah total tegakan seluruh jenis 2. Frekuensi Jenis i (F i ) adalah peluang kehadiran jenis i dalam plot . Rumus :
Pi Fi =
∑P
dan Fi RFi =
∑F
X 100 %
dimana : F i = Frekuensi jenis i; P i = Jumlah plot ditemukannya jenis i; ∑p = Jumlah total plot yang diamati; Rfi = Frekwensi relatif jenis i (%); ∑ F = Jumlah frekwensi seluruh jenis 3. Dominansi jenis i (C i ) adalah Luas penutupan jenis i dalam plot. Rumus :
∑BA Ci = A
dan RC i =
Ci ∑C
x 100 %
dimana
BA = π DBH2/4
39
dimana : C i = dominansi jenis dalam satu unit area ; A = Luas total plot (m2) ; ∑C = Jumlah penutupan dari semua jenis ; RCI = Penutupan relatif jenis i (%) ; DBH = lingkar batang (m) 3. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan nilai penting dari jenis mangrove berkisar antara 0 sampai 300 %.
Nilai penting ini memberikan gambaran mengenai
pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas itu sendiri, rumusnya :
INP = KR + FR + DR dimana : KR = kerapatan relatif jenis ; FR = Frekuensi relatif jenis ; DR = dominansi relatif jenis. 4. Keanekaragaman Keanekaragaman yang diwujudkan dalam indeks keanekaragaman adalah suatu penggambaran keanekaragaman berdasarkan nilai penting jenis dalam komunitas. Indeks keanekaragaman yang digunakan adalah indeks keanekaragaman Shannon Wiener (Magurran,1991) : H’ = - ∑ pi log2 pi = ∑ ni/N log2 ni/N dimana ; p i = proporsi species ke-i.= n i /N ni = banyaknya individu species ke-i N= total banyaknya individu 3.5.2. Analisis Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) Analisis perubahan penutupan lahan (land cover) hutan mangrove dilakukan dengan metode SIG yaitu dengan overlay terhadap dua citra yang telah diolah, sehingga dapat diketahui perubahan luasan obyek yang diamati. Dengan cara ini dapat diketahui luas perubahan penutupan lahan yang terjadi pada ekosistem hutan mangrove. Adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut : 1. Persiapan data Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2001 dan 2005. 2. Pemulihan Citra (Image restoration) (Lillesand dan Kiefer, 1990)
40
Pemulihan berfungsi untuk memulihkan citra yang mengalami distorsi atau rusak, ke arah gambaran yang sebenarnya atau ke arah yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di bumi, sehingga citra dapat bermanfaat untuk analisis. Langkah yang dilakukan yaitu dengan menggunakan koreksi geometrik. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan metode berdasarkan titik kontrol lapangan (GCP) dengan tahapan sebagai berikut : •
Pemilihan titik kontrol lapangan (GCP) secara tersebar merata di seluruh citra pada obyek yang relatif permanen dan tidak berubah dalam kurun waktu pendek
•
Perhitungan root mean squared error (RMSE) setelah GCP terpilih. Sebaiknya RMSE bernilai kurang dari 0,5 piksel.
•
Resampling, yaitu proses penerapan alih ragam geometrik terhadap data asli.
3. Pemotongan Citra (image cropping) Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi citra sesuai dengan lokasi yang akan diteliti. Pemotongan dilakukan setelah citra tersebut dikoreksi. 4. Penajaman Citra (image enhancement) (Lillesand dan Kiefer, 1990) Penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampakan kontras diantara kenampakan pada citra, sehingga meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual pada citra. False colour composite (FCC) merupakan penajaman dengan menggunakan warna dalam meningkatkan kontras citra dengan menggabungkan tiga warna primer, yaitu : biru, hijau dan merah. Pada citra Landsat, FCC yang digunakan untuk mendeteksi atau membedakan secara visual hutan mangrove dengan hutan darat adalah citra komposit warna semu RGB kombinasi band 453. 5. Klasifikasi Citra (image classification) (Lillesand dan Kiefer, 1990) Dalam penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Klasifikasi tidak terbimbing merupakan klasifikasi tanpa menggunakan daerah contoh yang ditetapkan.
Klasifikasi
dilakukan berdasarkan nilai piksel secara statistik dan kelas yang diperoleh merupakan kelas yang abstrak. Jumlah kelas citra Landsat tahun 2003 sama dengan jumlah kelas tahun 2005. Citra klasifikasi yang sebelumnya memiliki format data raster (*. ers) dikonversi
41
menjadi format data vektor (*.shp) pada Arc View 3.3 untuk mengetahui jumlah luasan penutupan lahan. 6. Setelah format diseragamkan citra dianalisis dengan menggunakan
Sistem
Informasi Geografi (GIS) dengan software Arc view 3.3. Proses overlay dilakukan dengan menggabungkan kedua citra Landsat dan hasilnya dapat digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan (land cover) hutan mangrove. Diagram Alir Tahapan kerja Analisis Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) hutan mangrove adalah sebagai berikut :
42
Penyiapan Data
Citra Landsat ETM+ tahun 2001
Peta RBI
Citra Landsat ETM+ tahun 2005
Koreksi Geometrik
Koreksi Geometrik
Pemotongan Citra
Pemotongan Citra
Penajaman Citra
Penajaman Citra
Komposit band 453
Komposit band 453
Klasifikasi tak terbimbing
Klasifikasi tak terbimbing
Citra Hasil Klasifikasi
Citra Hasil Klasifikasi
Overlay
Data Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) Mangrove
Gambar 5. Diagram Alir Tahapan kerja Analisis Perubahan Penutupan Lahan (Land cover) Hutan Mangrove
43
3.5.3. Analisis Ekonomi Analisis manfaat dan biaya dilakukan untuk seluruh jenis fungsi dan manfaat sumberdaya mangrove.
Dalam mentransformasi nilai-nilai ekonomi sumberdaya
mangrove, menurut Ruitenbbek (1991) dan Bann (1998) dapat dilakukan sebagai berikut : (1) mengidentifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove; (2) mengkuantifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove ke dalam nilai uang. 1. Mengidentifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove Analisis ekonomi hanya dilakukan terhadap nilai manfaat langsung (direct use value) hutan mangrove. Nilai manfaat langsung hutan mangrove adalah nilai manfaat yang langsung diperoleh dari suatu sumberdaya mangrove. Total manfaat langsung dapat dihitung dengan menjumlahkan semua manfaat langsung tersebut. Nilai Manfaat Langsung dihitung dengan rumus berikut : NML = ML H i + MLPi dimana : ML = manfaat langsung; ML H i = manfaat langsung hasil hutan (i = 1,2) 1 = kayu bakar ; 2 = bibit mangrove) sehingga : 2
ML H i = ∑ Hi i =1 ML P i = manfaat langsung perikanan (i = 1, 2, 3) 1 = kepiting bakau, 2 = udang; 3 = ikan 3
ML Pi = ∑ Pi i =1 2. Mengkuantifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove ke dalam nilai uang. Pendekatan nilai pasar digunakan untuk komoditi-komoditi yang langsung dapat diperdagangkan, seperti kayu bakar, kepiting bakau dan ikan.
44
3.5.4. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Penilaian keberlanjutan sistem pengelolaan hutan mangrove saat ini dilakukan dengan pendekatan Rap-Mforest melalui beberapa tahapan, yaitu : 1. Tahap
penentuan
indikator-indikator
ekosistem
hutan
mangrove
secara
berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial) dan multidimensi. 2. Tahap penilaian setiap indikator dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode multidimensional scaling (MDS) 3.
Tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat.
Untuk setiap indikator pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan kondisis keberlanjutan dari
dimensi yang dikaji.
Rentang skor
ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan dan analisis data sekunder. Rentang skor berkisar antara 1-3, tergantung pada keadaan masing-masing indikator yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan, sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi paling menguntungkan. Tabel 2 menyajikan indikator-indikator dan skor yang akan digunakan untuk menilai kondisi keberlanjutan sistem pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat. Indikator-indikator tersebut diperoleh dari studi pustaka CIFOR dan LEI menyangkut Sustainable forest management (SFM), serta berdasarkan pengamatan di lapangan sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Tabel 2. Indikator-indikator dan skor keberlanjutan ekosistem hutan mangrove Dimensi dan indikator Dimensi ekologi Perubahan keragaman habitat Struktur relung komunitas
Skor
Baik
Buruk
1; 2; 3
3
1
1; 2; 3
3
1
Keterangan (1) banyak; (2)sedikit; (3) tidak ada (1) banyak ; (2) sedikit perubahan; (3) tidak menunjukkan perubahan
45
Ukuran populasi dan struktur demografi
1; 2; 3
3
1
(1)sangat berubah; (2) sedikit berubah; (3) tidak berubah
Tingkat keragaman hutan mangrove
1; 2; 3
3
1
Perubahan kualitas air
1; 2; 3
3
1
Rantai makanan dan ekosistem
1; 2; 3
3
1
(1) tidak beragam, (2) cukup beragam; (3) sangat beragam (1) banyak; (2) sedikit; (3) tidak ada (1) banyak terkontaminasi; (2) sedikit terkontaminasi; (3) tidak terkontaminasi
1; 2; 3
3
1
1; 2; 3
3
1
Akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya hutan mangrove Tingkat pendidikan masyarakat
1; 2; 3
3
1
1; 2; 3
3
1
1; 2; 3
3
1
Kerusakan sumberdaya hutan oleh masyarakat
1; 2; 3
3
1
1; 2
2
1
1; 2; 3
3
1
Dimensi sosial kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove Koordinasi antar lembaga
Pola hubungan antar stakeholder
Pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove
(1) tidak ada; (2) ada, tapi tidak dilaksanakan; (3) ada dan dilaksanakan (1) tidak ada; (2) ada, tapi tidak dilaksanakan; (3) ada dan dilaksanakan (1) tidak punya sama sekali; (2) rendah; (3) tinggi (1) rendah, (2) sedang; (3) tinggi
(1) di bawah rata-rata nasional; (2)sama dengan rata-rata nasional ;(3) di atas rata-rata nasional (1) besar; (2) sedang; (3) kecil (1) tidak saling menguntungkan (2) saling menguntungkan (1) rendah,(2) sedang ;(3) tinggi
46
Peranserta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove
1; 2; 3
3
1
(1)rendah;(2) sedang; (3) tinggi
1; 2; 3
3
1
1; 2
2
1
1; 2;3
3
1
Zonasi pemanfaatan lahan mangrove
1; 2; 3
3
1
(1) rendah; (2) sedang; (3) tinggi (1) tidak tersedia; (2) tersedia (1 ) tidak; (2) melibatkan hanya beberapa stakeholder; (3) melibatkan berbagai stakeholder (1)tidak tersedia; (2) tersedia, tapi belum dipatuhi; (3) tersedia dan dipatuhi
Rehabilitasi hutan mangrove Hasil inventarisasi pemanfaatan hutan mangrove
1;2;3
3
1
1;2
2
1
Peran mangrove terhadap pembangunan wilayah
1;2;3
3
1
Dimensi ekonomi Pemanfaatan mangrove oleh masyarakat Rencana pengelolaan hutan mangrove Keterlibatan stakeholder
(1)tidak ada; (2) sedikit;(3) banyak (1) tidak tersedia; (2) tersedia
(1) kecil; (2) sedang; (3) besar
Selanjutnya nilai skor dari masing-masing indikator dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan buruk (bad), untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Mforest ini menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish (Kavanagh, 2004).
Proses algoritma Rap-Mforest juga pada dasarnya
menggunakan proses algoritma Rapfish.
Dalam implementasinya Rapfish
menggunakan teknik yang disebut Multidimensional Scaling (MDS). titik yang obyek atau
diamati titik
Obyek atau
dipetakan di dalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga tersebut
diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal.
Dengan kata lain, dua titik atau obyek yang sama digambarkan dengan titik-titik
47
yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Teknik ordinansi (penentuan jarak) dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance dalam ruang yang berdimensi n. Konfigurasi atau ordinasi dari suatu obyek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (d ij ) dari titik ke
i
ke titik ke
j
dengan titik asal (d ij ) dituliskan dalam persamaan berikut : d ij = a + bd ij + e Selanjutnya digunakan algoritma ALSCAL yang merupakan metode yang sesuai untuk Rapfish dan mudah tersedia pada hampir setiap software statistika (SPSS dan SAS). Metode ALSCAL mengoptimisasi jarak kuadrat terhadap data kuadrat dalam tiga dimensi. Perangkat lunak Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat di dalam SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS ini posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horisontal dan vertikal).
Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar
dilakukan proses rotasi dengan titik ekstrem buruk dengan nilai skor 0 % dan titik ekstrem baik dengan nilai skor 100 %. Posisi status keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrem tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove pada saat ini. Ilustrasi hasil ordinasi nilai index berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6.
buruk 0%
baik 50%
100%
Gambar 6. Ilustrasi Penentuan Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Skala nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem hutan mangrove mempunyai rentang 0 % sampai 100 %. Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai lebih dari 50 %, maka sistem tersebut dikategorikan sustainable dan sebaliknya jika nilai kurang dari 50 % maka sistem tersebut dikategorikan belum sustainable. Dalam penelitian ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar (0 – 100) seperti disajikan dalam Tabel 3.
48
Tabel 3. Kategori Status Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove Berdasarkan Nilai Indeks Hasil Analisis Rap-Mforest. Nilai indeks < 25 25< x < 50 50 < x < 75 75 < x < 100
Kategori tidak berkelanjutan kurang berkelanjutan cukup berkelanjutan berkelanjutan
Nilai indeks berkelanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti pada Gambar 7.
EKOLOGI 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00
SOSIAL
EKONOMI
Gambar 7. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan Setiap Dimensi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat Analisis sensitivitas dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi indikator yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap Mforest di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap indikator dilihat dalam bentuk perubahan ”root mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu x atau skala sustainabilitas. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu indikator tertentu, maka semakin besar pula peranan indikator tersebut dalam pembentukan nilai Mforest pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif indikator tersebut dalam keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove di lokasi penelitian.
49
Untuk mengevaluasi
pengaruh galat (error) pada proses pendugaan nilai
ordinasi pengelolaan hutan mangrove digunakan analisis Monte Carlo. Menurut (Kavanagh dan Pitcher, 2004) analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari hal-hal berikut : 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor indikator yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap indikator atau cara pemberian skor indikator. 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi) 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data hilang 5. Tingginya nilai stress hasil analisis Rap-Mforest (nilai stress dapat diterima jika < 25 %). Secara umum metode Rap-Mforest akan dimulai dengan mereview indikatorindikator
ekosistem hutan mangrove berkelanjutan melalui studi literatur dan
pengamatan di lapangan. Tahap selanjutnya adalah pemberian skor yang didasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam Rap-Mforest. Setelah didapatkan hasil skoring maka setiap indikator dianalisis dengan menggunakan multidimensional Scaling (MDS) guna menentukan posisi relatif dari pengelolaan hutan mangrove terhadap ordinasi good dan bad. Langkah selanjutnya menganalisis nilai stress dengan menggunakan ALSCAL logaritma.
Dari hasil ordinasi dengan MDS dan nilai stress melalui alogaritma
ALSCAL dilakukan rotasi untuk menentukan posisi pengelolaan ekosistem hutan mangrove pada ordinasi bad dan good. Langkah berikutnya adalah menggunakan analisis Monte Carlo untuk menentukan aspek ketidakpastian dan analisis leverage untuk menentukan aspek anomali dari indikator yang dianalisis. Secara lengkap tahapan analisis Rap-Mforest menggunakan metode MDS dengan aplikasi Rapfish disajikan pada Gambar 8.
50
Start
Kondisi pengelolaan hutan mangrove saat ini
Penentuan indikator sebagai kriteria penilaian
MDS (Ordinasi setiap indikator)
Penilaian (skor) setiap indikator
Analisis Monte Carlo
Analisis Sensitivitas
Analisis Keberlanjutan
Gambar 8. Tahapan Analisis Rap-Mforest
3.5.5.
Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai tindak lanjut proses
membuat urutan prioritas kebijakan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. AHP
dilakukan
untuk
mendapatkan
pilihan
langkah
operasional
dari
pandangan/aspirasi stakeholder terkait dengan pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Pemilihan responden ditentukan oleh keterlibatannya dalam penentuan prioritas kebijakan dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove terkait dengan pelaksanaan kebijakan dan pencapaian prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kelompok stakeholder tersebut adalah pemerintah, swasta, LSM, tokoh masyarakat dan peneliti/perguruan tinggi. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hirarkhi. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variabel lainnya. Dengan
51
berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004). Pendekatan AHP, adalah suatu pendekatan proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor yang paling berpengaruh dalam penentuan prioritas kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Seram Bagian Barat yang didasarkan pada persepsi masing-masing stakeholder. Metode yang digunakan dalam penentuan bobot dan prioritas kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah AHP dengan software criterium decision plus. Analisis dilakukan pada setiap level dari hirarkhi penentuan kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan.
Bobot dan prioritas yang dianalisis
adalah hasil dari combined dari judgement seluruh stakeholder pada setiap matriks perbandingan berpasangan. Pembahasan tentang strategi implementasi kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove di Wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder utama secara partisipatif. Metode pembahasan yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) Menurut Saaty (1991) tahap-tahap dalam AHP adalah sebagai berikut : 1. Mendefinisikan persoalan dan rincian pemecahan yang diinginkan 2. Membuat struktur hirarkhi yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif digunakan nilai skala komparasi 1 – 9. Penyusunan skala kepentingan dilakukan berdasarkan Saaty. 4.
Melakukan perbandingan berpasangan
5.
Menguji konsistensi Judgement
stakeholder
dengan
menghitung
indeks
konsistensi. Jika nilai konsistensi (>0,1) maka pengambilan data diulangi atau
52
dikoreksi.
Perhitungan indeks konsistensi dan menyatakan ukuran tentang
kosisten tidaknya suatu penilaian atau pembobotan berpasangan. Pendekatan yang digunakan sebagai kriteria AHP yaitu skala banding berpasangan (Skala Saaty) dengan kisaran mulai dari nilai bobot 1 sampai 9 (Saaty, 1991) dapat dilihat pada Tabel 3. Vektor pembobotan elemen-elemen penelitian terdiri dari A1 ,A2 dan A 3 dinyatakan sebagai vektor W, dimana W = w 1 ,w 2 dan w 3 , maka nilai intensitas kepentingan elemen penelitian A 1 dibandingkan A 2 yang dinyatakan perbandingan berpasangan A 1 terhadap A 2 atau w 1 /w 2 = A 12 . Nilai wi/wj, dimana ij =1,2,3,...,n, yang diperoleh dari para expert (stakeholder) yang memiliki kemampuan, pengetahuan dan kompetensi terhadap permasalahan ekosistem hutan mangrove. Jika hasil observasi disusun dalam bentuk matriks, kemudian dikalikan dengan vektor kolom W (w 1 ,w 2 ,w 3 ...,n) diperoleh hubungan sebagai berikut : AW = nW ......................................................... (1) Bila matrik A diketahui dan ingin diperoleh W, maka dapat diselesaikan melalui persamaan berikut : [A - nI ] W = 0 .................................................. (2) dimana : I = matriks identitas Selanjutnya dilakukan perhitungan akar ciri, vektor ciri dan hasil yang diperoleh tidak konsisten maka diulangi atau dikoreksi kembali. Untuk mendapatkan akar ciri (n) dapat dihitung berdasarkan matriks berikut : [ A-nI ] W = 0 ................................................. (3)
53
Tabel 4. Skala Banding Berpasangan oleh Saaty
Intensitas pentingnya
Definisi
Penjelasan
1
Kedua elemen sama penting
Sumbang peran dua elemen sama besar pada sifat tersebut
3
Elemen satu sedikit lebih penting daripada yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lain
5
Elemen satu sangat penting dibanding yang lain
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat mendukung satu elemen atas yang lain
7
Elemen satu jenis lebih penting dari elemen yang lain
Satu elemen dengan kuat dominannya telah terlihat dalam praktek
9
Elemen satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain
Bukti menyokong kuat elemen satu secara tegas lebih dominan
2,4,6,8
Nilai-nilai diantara dua pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktifitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikan dari I
Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan
Resiprokal/Kebalikan
contoh dengan menggunakan matriks A, maka : a 11
a 12
a 13
1
0
0
a 21
a 22
a 23
0
1
0
a 31
a 32
a 33
0
0
1
1
a 12
a 13
1
0
0
a 21
1
a 23
0
1
0
a 31
a 32
1
0
0
1
-n
-n
= 0
atau
= 0
Sedangkan untuk mendapat nilai vektor ciri (w) yang merupakan bobot setiap elemen, untuk mensintesis judgement (pendapat) yang digunakan dalam menentukan prioritas. Vektor ciri dapat dihitung dari akar ciri (n) maksimum dari perhitungan di atas disubstitusikan dengan persamaan berikut : [ A – nI ]
= 0;
54
Dengan menggunakan normalisasi w1 + w2 + w3 = 1, misalnya didapatkan nilai maksimum 2, maka perkaliannya menjadi sebagai berikut : [ A – nI ] [ W ] = 0 .................................. (4)
1-2
a 12
a 13
w
a 21
1-2
a 23
a 31
a 32
1-2
-
w
=
0
=
0
w
sehingga diperoleh matriks berikut : 1-2
a 12
a 13
w1
a 21
1-2
a 23
a 31
a 32
1-2
-
w2 w3
langkah terakhir yang dilakukan yaitu perhitungan indeks konsistensi atau Consistensi Indeks (CI), menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang tingkat konsistensi suatu penilaian atau pembobotan perbandingan berpasangan, dapat dihitung dengan persamaan berikut : λ max – n n–1
CI =
.......................................... (5)
dimana : λ max = akar ciri maksimum n
= banyaknya alternatif
nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk memenuhi konsistensi jawaban dari responden yang sangat menentukan tingkat akurasi hasil. Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik apabila nilai CR < 0,1, dimana CR (Consistency Ratio), RI (Random Indeks) dengan rumus sebagai berikut : Nilai RI mengikuti Tabel yang dikeluarkan oleh Oarkride Laboratory dapat dilihat pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Standarisasi nilai RI (Random Indeks) N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
RI
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
1,51
1,48
1,56
55