III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Pasar Wisata Alam Langkah awal dalam melakukan analisis pengembangan wisata alam berkelanjutan adalah analisis pasar wisata alam yaitu analisis penawaran, analisis permintaan dan elastisitas permintaan. a. Penawaran Wisata Alam Menurut Damanik dan Weber (2006), penawaran dalam wisata meliputi semua bentuk daya tarik wisata, semua bentuk kemudahan untuk memperlancar perjalanan dan semua bentuk fasilitas dan pelayanan yang tersedia pada suatu daerah tujuan wisata, yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berkunjung. Komponen penawaran dalam industri pariwisata dapat bersumber dari alam (natural amenities) dan buatan atau kreasi manusia (manmade), serta fasilitas pelayanan di daerah tujuan wisata seperti akomodasi, restoran, transportasi serta aksesibilitas. b. Permintaan Wisata Alam Menurut Damanik dan Weber (2006), berdasarkan konsep permintaan wisata, produsen dalam hal ini adalah wisatawan bertindak sesuai dengan kehendak hatinya dan bebas memilih daerah tujuan wisata yang akan dikunjunginya, objek dan atraksi wisata yang akan dilihatnya atau fasilitas atau produk apa yang dibutuhkan atau dinginkannya. Permintaan dalam industri pariwisata terdiri dari beberapa fasilitas atau produk yang berbeda bukan saja dalam hal sifat, tetapi juga manfaat dan kebutuhan wisatawan. Permintaan dalam kepariwisataan dapat dibagi atas dua yaitu permintaan potensial dan permintaan aktual. Permintaan potensial adalah sejumlah orang yang berpotensi untuk melakukan perjalanan wisata (karena memiliki waktu luang dan punya tabungan relatif cukup), sedangkan permintaan aktual adalah orangorang yang sedang melakukan perjalanan wisata pada suatu daerah tujuan wisata tertentu.
c. Elastisitas Permintaan Menurut Case dan Fair (2003), suatu permintaan disebut elastis jika permintaan terhadap produk sangat peka terhadap perubahan harga. Perubahan harga sedikit saja dapat meningkatkan permintaan terhadap produk yang ditawarkan. Sebaliknya, kalau permintaan terhadap produk itu tidak peka terhadap perubahan harga maka disebut perubahannya tidak elastis. Elasitisitas permintaan terhadap produk wisata dikatakan elastis atau tidak elastis sangat tergantung pada kondisi calon wisatawan yang akan melakukan perjalanan wisata, apakah perjalanan wisata yang akan dilakukan lebih emosional atau rasional. Kedua hal tersebut akan menentukan elastis atau tidak elastisnya permintaan terhadap produk wisata. Menurut Yoeti (2008), dilihat dari sudut pandang ekonomi, elastis permintaan sangat penting bagi pemasok produk industri pariwisata, karena akan sangat berpengaruh terhadap permintaan keseluruhan. Total Pendapatan (TR) para penjual pada suatu pasar sama dengan harga produk (P) dikalikan dengan jumlah produk yang diminta (Q) atau dengan rumus keseimbangan sebagai berikut : TR = P (Price) X Q (Quantity) Jika suatu produk atau jasa tertentu permintaannya elastis terhadap harga nilainya lebih dari 1 (Satu), maka total pendapatan TR akan meningkat jika harga (P) diturunkan. Hal seperti ini dapat terjadi kalau persentase permintaan terhadap produk (Q) lebih besar dibandingkan dengan penurunan harga (P). Berdasarkan pengertian ini, bila nilai elastisitas permintaan terhadap harga diketahui, maka pemasok produk industri pariwisata dapat meningkatkan pendapatan totalnya dengan cara mengadakan penyesuaian secepat mungkin atas perubahan harga yang terjadi. Pada permintaan wisata harga (P) digambarkan dengan Biaya perjalanan sedangkan jumlah (Q) digambarkan dengan jumlah kunjungan ke tempat wisata tersebut dalam jangka waktu tertentu. Adapun rumus dari elastisitas menurut Yoeti (2008) dapat ditulis sebagai berikut : E=
Δ jumlah permintaan (Q) Δ jumlah Harga (P)
Atau pada permintaan wisata ditulis sebagai berikut:
30
E=
Δ Jumlah kunjungan (Q) Δ jumlah Biaya Perjalanan (P)
Permintaan dikatakan inelastis jika permintaan itu tidak memberikan respon terhadap perubahan harga yang terjadi. Dalam hal ini, jika terjadi perubahan harga (naik atau turun), maka permintaan tetap saja sama dan tidak mengalami perubahan. Berikut beberapa jenis elastis menurut Yoeti (2008) : a. Inelastis sempurna Permintaan dimana kuantitas yang diminta sama sekali tidak memberikan tanggapan terhadap perubahan harga (nilai elastis = 0) b. Inelatis Permintaan yang memberikan sedikit saja tanggapan terhadap perubahan harga. Permintaan yang inelastis selalu memiliki nilai numeri antara 0 dan 1 c. Elastisitas Uniter Hubungan permintaan dimana persentase perubahan kuantitas produk yang diminta adalah sebesar persentase perubahan harga, dalam nilai absolutnya elastisitas permintaan sebesar 1. d. Elastis Hubungan permintaan dimana persentase perubahan kuantitas yang diminta lebih besar dalam nilai absolut dibandingkan persentase perubahan harga (elastisitas permintaan dengan nilai absolut yang lebih besar dari 1 atau nilai elastis >1<∞) e. Elastisitas permintaan sempurna Permintaan dimana kuantitasnya jatuh ke nol jika terjadi sedikit perubahan harga. 3.1.2 Nilai Ekonomi Wisata Alam Nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya (Fauzi, 2006). Secara formal, konsep ini disebut keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis ekosistem bisa “diterjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan 31
mengukur nilai moneter barang dan jasa. Sebagai contoh, jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Nilai ekonomi wisata alam merupakan bagian dari nilai guna langsung dan untuk memperoleh nilai wisata pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Travel Cost Method (TCM) dari sisi permintaan untuk mengetahui surplus konsumen dan manfaat ekonomi dari sisi penawaran. a. Travel Cost Method (TCM) Menurut Fauzi (2006), Travel Cost Method (TCM) barangkali dapat dikatakan sebagai metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Lebih lanjut menurut Fauzi (2006), metode ini diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun 1931, yang kemudian secar formal diperkenalkan oleh Wood dan Trice (1958) serta Clawson dan Knetsch (1996). Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berburu, hiking, dan sebagainya. Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi. Metode travel cost ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat : •
Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi.
•
Penambahan tempat rekreasi baru.
•
Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi.
•
Penutupan tempat rekreasi yang ada. Pada dasarnya, prinsip kerja TCM cukup sederhana. Misalnya, kita ingin
mengetahui nilai sumberdaya alam yang atraktif untuk rekreasi (misalnya pantai) yang terletak dalam suatu radius tertentu. Tujuan dasar TCM adalah ingin mengetahui nilai kegunaan (use value) dari sumberdaya alam ini melalui pendekatan proxy. Dengan kata lain, biaya yang dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya tersebut. Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya rekreasi,
32
bersifat dapat dipisahkan. Artinya, fungsi permintaan kegiatan rekreasi seperti memancing tersebut tidak dipengaruhi oleh permintaan kegiatan rileks lainnya, seperti menonton TV, belanja, dan lain-lain. Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM ini, yaitu : •
Pendekatan sederhana melalui zonasi, dan
•
Pendekatan individual TCM dengan menggunakan data sebagian besar dari survei.
Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Dalam teknik ini, tempat rekreasi dibagi ke dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung per tahun. Dari sini kemudian diperoleh data jumlah kunjungan per 1.000 penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata. Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh malaui survei dan teknik statistika yang bersifat kompleks. Kelebihan dari metode ini adalah hasil yang relatif lebih akurat dari pada metode zonasi. Dalam melakukan valuasi dengan metode TCM, ada dua tahap kritis yang harus dilakukan. Pertama, menentukan perilaku model itu sendiri, dan kedua, menentukan pilihan lokasi. Perhatian pertama menyangkut apakah TCM yang dibangun harus ditentukan dulu fungsi preferensinya secara hipotesis, kemudian membangun model perilakunya, atau apakah langsung membangun model perilaku. Perhatian yang kedua menyangkut apakah kita harus melakukan pemodelan untuk semua atau beberapa tempat sebagai suatu model. Dalam menentukan fungsi permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata, pendekatan individual TCM menggunakan teknik ekonometrik seperti regresi sederhana (OLS). Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat
33
wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif. Secara sederhana fungsi permintaan dapat ditulis sebagai berikut : Q ij = f (C ij , J, M, A, P, E, P1 ij , P2 ij , P3 ij ) …………………. (1) Di mana : Q ij = Jumlah kunjungan individu i ke tempat j C ij = Biaya perjalanan yang dikeluarkan individu i ke tempat j J
= Jarak
M = Pendapatan A = Umur individu P = Pekerjaan E = Tingkat pendidikan P1 = Persepsi individu i terhadap kondisi fisik tempat j P2 = Persepsi inividu i terhadap pemandangan alam di tempat j P3 = Persepsi responden i terhadap keamanan di tempat j Selanjutnya agar lebih operasional, maka persamaan (1) di atas dibuat dalam fungsi logaritma yaitu : LnQ = α 0 + α 1 lnc …………….. (2) atau Q = α 0 cα1……………… (3) Setelah mengetahui fungsi permintaan, selanjutnya dapat diukur surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi. Surplus konsumen tersebut merupakan luas wilayah di bawah kurva permintaan yang dibatasi oleh biaya perjalanan tertinggi (c 1 ) pada batas atas dan biaya perjalanan terendah (c 0 ) pada batas bawah, sehingga surplus konsumen diukur melalui formula :
dimana :
𝑐
𝑊𝑇𝑃 ≈ 𝐶𝑆 = ∫𝑐 1 𝑄(𝑐)𝑑𝑐 ………………………….. (4) 0
c 1 =jumlah biaya tertinggi c 0 = jumlah biaya terendah
34
b. Manfaat Ekonomi Menurut Tisdell (1996), Salah satu tujuan untuk pengembangan potensi ekowisata adalah karena memberikan manfaat ekonomi terhadap pendapatan dan tenaga kerja yang melindungi alam. Beberapa manfaat sosial-ekonomi dari pengembangan ekowisata, antara lain : •
Menciptakan lapangan kerja langsung dalam pariwisata dan pengelolaan aset wisata;
•
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal dari aktivitas ekowisata seperti hotel, restoran, penjualan souvenir, agen perjalanan dan sebagainya;
•
Membantu memperoleh valuta asing dari para wisatawan asing;
•
Mengembangkan sistem transportasi dan komunikasi, seperti bandara dan infrastruktur transportasi lainnya;
•
Meningkatkan permintaan terhadap produk lokal;
•
Sebagai sarana pendukung untuk melindungi budaya lokal;
•
Sebagai fasilitasi untuk belajar antar budaya dan komunikasi global. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya kekuatan dampak
ekonomi, antara lain: 1. Kondisi fasilitas utama dan atraksinya; 2. Volume & intensitas pengeluaran; 3. Tingkat pembangunan ekonomi pada suatu daerah tujuan wisata; 4. Ukuran economic base suatu daerah tujuan wisata; 5. Tingkat perputaran kembali dari pengeluaran wisatawan pada daerah tujuan wisata; 6. Tingkat penyesuaian daerah tujuan wisata terhadap permintaan wisatawan yang musiman. Ada 3 (tiga) dampak ekonomi dari kegiatan wisata yaitu dampak langsung, dampak tidak langsung dan
dampak induced. Dampak ekonomi langsung
diperoleh dari aliran pengeluaran wisatawan untuk perekonomian lokal (penyediaan produk & jasa pada “front-line” bisnis), sedangkan dampak tidak langsung merupakan manfaat lanjutan dari penerima dampak langsung.
35
3.1.3. Nilai Pengembangan Wisata Alam Untuk mengetahui nilai pengembangan wisata alam berkelanjutan pendekatan yang digunakan adalah Contingent Valuation Method (CVM). Menurut Fauzi (2006), pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan di Miami. Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika Pemerintah Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun, misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya. Pendekatan ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei. Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay) masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan keingingan untuk menerima (willingness to accept) kerusakan suatu lingkungan. Karena teknik ini didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar yang maksimum untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya, pengukuran yang relevan adalah keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki. Di dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat 5 tahap kegiatan, yaitu : 1. Membuat hipotesis pasar Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti biasanya harus terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya, pemerintah ingin memperbaiki kondisi pantai yang sudah tercemar. Dalam hal ini kita bisa membuat kuisioner yang berisi informasi lengkap
36
mengenai bagaimana kondisi pantai yang bagus (misalnya dengan menunjukkan foto pantai yang tercemar dan yang tidak tercemar), bagaimana pemerintah akan memperoleh dana (apakah dengan pajak, pembayaran langsung dan sebagainya). Kuisioner ini bisa terlebih dahulu diuji pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi atas proyek yang akan dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul dilaksanakan. 2. Mendapatkan nilai lelang (bids) Tahap berikutnya adalah memperoleh nilai lelang. Ini dilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan kuisioner, wawancara melalui telepon, maupun melalui surat. Dari ketiga cara tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum keinginan untuk membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik : •
Permainan lelang (bidding games) Responden diberikan pertanyaan secara berulang-ulang tentang apakah mereka ingin membayar sejumlah tertentu. Nilai ini kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respons atau pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh.
•
Pertanyaan terbuka Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai rupiah yang ingin dibayar untuk suatu proyek perbaikan lingkungan.
•
Payment cards Nilai lelang dengan teknik ini diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini ditunjukkan kepada responden melalui kartu.
•
Model referendum atau discrate choice Responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak.
37
3. Menghitung rataan WTP Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataanWTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan biasanya didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (tengah). Pada tahap ini harus diperhatikan kemungkinan timbulnya nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata. 4. Memperkirakan kurva lelang Kurva lelang diperoleh dengan misalnya meregresikan WTP sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas. Wi = f (I, E, A, Q) Di mana : I = pendapatan E = Pendidikan A = Umur Q = ukuran/skala untuk perubahan lingkungan 5. Mengagretkan data Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagretkan rataan lelang, yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalihkan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N). 3.1.4. Daya Dukung Lingkungan Secara ekologis daya dukung lingkungan dapat didefinisikan sebagai limit jumlah maksimum bagi konsumen atau pengguna yang diizinkan untuk tetap hidup. Sehingga, sumberdaya alam dan lingkungannya masih dapat mendukung tanpa merusak habitatnya. Jika populasi tumbuh secara cepat, maka sumberdaya yang ada di sekitarnya akan terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan populasinya (Hakim, 2004). Daya dukung lingkungan dapat menurun atau rusak karena dua faktor, yakni faktor internal dan eksternal. Kerusakan karena faktor-faktor internal sering timbul dan berasal dari alam sendiri. Ini merupakan proses alami yang seringkali sulit dicegah karena merupakan bagian dari skenario alam untuk mencari 38
keseimbangannya, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, kebakaran alamiah, tanah longsor serta gempa laut yang menyebabkan gelombang laut naik (tsunami) dan badai. Sebaliknya, kerusakan karena faktor eksternal dapat terjadi karena manusia. Banyak contoh tentang penurunan dan kerusakan daya dukung yang disebabkan oleh manusia, seperti polusi air, tanah dan udara, perusakan dan penggundulan hutan, eksploitasi sumberdaya secara berlebihan, konversi lahan, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan kegiatan wisata, maka daya dukung lingkungan harus dikaitkan dengan jumlah maksimum wisatawan yang dapat menggunakan tempat atau destinasi tersebut tanpa mengubah keadaan fisik atau menurunkan mutu lingkungan sekitarnya, karena aktivitas wisata. Ada 3 elemen penting yang harus diperhatikan tentang daya dukung terkait dengan kegiatan wisata, yaitu : 1. Elemen ekologis, hal ini terkait dengan lingkungan alamiah destinasi wisata. 2. Sosiokultural, hal ini pada intinya terkait dengan dampak wisata terhadap populasi masyarakat setempat dan budayanya. 3. Fasilitas yang berkaitan dengan kebutuhan wisatawan. Menurut Hakim (2004), pada tahun 1978 Douglass pernah membuat sebuah sistem klasifikasi destinasi berdasarkan perkiraan daya dukung lingkungannya pada kegiatan wisata. Menurutnya, tempat tertentu yang dijadikan tujuan wisata merupakan ekosistem yang unik dengan daya dukung tertentu. Daya dukung pada sebuah ekosistem tidak sama untuk ekosistem lainnya. Dengan demikian, area wisata tertentu mempunyai kemampuan tertentu dalam menampung wisatawan. Douglass membagi kawasan wisata atau destinasi wisata berdasarkan enam kategori sebagaimana tertera pada tabel berikut :
39
Tabel 5. Klasifikasi Douglas: Area Wisata Berdasarkan Kemampuan Area dalam Menampung Jumlah Pengunjung No.
Area Wisata
1.
Area yang dikelola secara intensif dipergunakan untuk pengunjung rombongan Area yang dikelola secara ekstensif untuk wisata alam Area pada lingkungan alam belum dikembangkan atau tidak dikembangkan Lingkungan alam yang sudah dikenal Lingkungan alam masyarakat tradisional Lingkungan peninggalan sejarah (candi, monument, bangunan kuno, dll)
2. 3. 4. 5. 6.
Kemampuan untuk wisatawan Hari orang kunjungan/Acre 2.000 750 20 70 20 2.000
Sumber : Douglas (1978) dalam Hakim (2004)
Berdasarkan Libosada (1998), daya dukung lingkungan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : 𝐂𝐚𝐫𝐫𝐲𝐢𝐧𝐠 𝐂𝐚𝐩𝐚𝐜𝐢𝐭𝐲 (𝐂𝐂) =
area yang digunakan wisatawan rata − rata kebutuhan area per individu
Daya tampung wisatawan per hari = CC X koefisien rotasi Di mana koefisien rotasinya dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝐊𝐨𝐞𝐟𝐢𝐬𝐢𝐞𝐧𝐑𝐨𝐭𝐚𝐬𝐢 =
40
Jumlah jam area terbuka untuk wisatawan rata − rata waktu satu kunjungan
3.2. Kerangka Operasional
Potensi Wisata Alam • Kriteria utama : Keindahan alam (Topografi), Keragaman flora dan fauna serta Wisata sejarah; Kriteria penunjang : Aksesibilitas dan Akomodasi • TWA Gunung Meja : Kawasan pengembangan wisata kabupaten dan provinsi • Rencana Jangka Panjang 2009-2028 : TWAGM sebagai objek wisata alam, pendidkan dan penelitian
Taman Wisata Alam Gunung Meja
Pengembangan Wisata Alam Berkelanjutan
Lingkungan
• • •
Masalah Pengelolaan Belum adanya pengelolaan yang berbasis wisata Pola interaksi masyarakat Pembuangan sampah dalam kawasan Kebijakan Stakeholders
Ekonomi
Nilai Pengembangan Wisata
Daya Dukung Lingkungan
• Carrying Capacity • Daya Tampung wisatawan • Koefisien rotasi
CVM
5
3
Sosial
Nilai Ekonomi Wisata
Manfaat Ekonomi
TCM
SP
SK
2
Pasar Wisata
Persepsi Masyarakat
Penawaran, permintaan dan elastisitas permintaan
Deskriptif
4
1
Gambar 1. Kerangka Penelitian Keterangan : CVM
= Contingent Valuation Method
TCM
= Travel Cost Method
SP
= Surplus Produsen
SK
= Surplus Konsumen = Analisis Data = Tujan Penelitian
41
Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Meja yang termasuk tipe hutan hujan tropis dataran rendah, merupakan salah satu kawasan konservasi di Manokwari, dengan keragaman flora dan fauna endemik Papua serta memiliki keunikan ditinjau dari struktur geologi, fisiografi lahan serta formasi hutannya.Pengelolaan kawasan ini berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua II Sorong – Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari. Kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada pengamanan kawasan sedangkan kegiatan yang mengarah kepada pelestarian fungsi kawasan belum dilakukan secara optimal. Pada
era
desentralisasi
sektor
kehutanan
dan
sejalan
dengan
diberlakukannya Otonomi Khusus bagi Papua, serta implementasi paradigma pengelolaan hutan berbasis masyarakat, memunculkan dilema baru bagi pengelolaan kawasan konservasi TWA Gunung Meja. Tekanan masyarakat terhadap sumberdaya hutan semakin gencar bermunculan, baik ditinjau dari segi tuntutan masyarakat pemilik hak ulayat akan haknya terhadap kawasan hutan, serta kegiatan pemanfaatan sumberdaya di dalam kawasan yang semakin tidak terkendali. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya sebuah upaya konservasi untuk menyelamatkan TWA Gunung Meja dari ancaman degradasi yang semakin parah serta mengembalikannya
ke
fungsi
semestinya
yaitu
sebagai
kawasan
wisata/rekreasi, yaitu melalui pengembangan wisata alam yang berkelanjutan. Wisata alam yang berkelanjutan sebagai bagian dari ekowista merupakan alternatif ekonomi yang berbasis konservasi serta dianggap sebagai upaya yang berkelanjutan secara ekonomi, lingkungan dan sosial bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi. Dengan pola wisata berkelanjutan, masyarakat maupun wisatawan dapat memanfaatkan keindahan alam yang masih utuh, budaya, sejarah setempat tanpa merusak sumberdaya dan lingkungannya. Dari segi ekonomi, pengembangan wisata alam berkelanjutan harus memberikan dampak positif bagi masyarakat dan para pelaku usaha. Sedangkan dari segi sosial, dilihat bagaimana persepsi masyarakat terhadap pengembangan TWA Gunung Meja sebagai kawasan wisata alam. Dari segi lingkungan, kegiatan wisata alam tidak boleh melebihi daya dukung lingkungan. Pengembangan wisata alam yang berkelanjutan pada akhirnya merupakan sebuah rekomendasi kepada para stakeholders yang terkait dengan pengelolaan TWA
42
Gunung Meja untuk dijadikan sebagai salah satu kebijakan konservasi, sehingga dalam pengelolaannya kawasan ini bukan saja sekedar menjadi suatu kawasan pelestarian tapi juga kawasan yang berfungsi sesuai dengan peruntukkannya yaitu sebagai kawasan wisata alam.
43