III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Kepuasan Menurut Kotler (2005), kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja suatu produk dengan harapannya. Sedangkan menurut Tjiptono (2004) yang mengutip pendapat Day, Kepuasan atau ketidakpuasan adalah respon konsumen terhadap evaluasi ketidaksesuaian yang dirasakan antara kinerja sebelumnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan oleh pemakai. Menurut Engel, Blackwell & Miniard (1993) kepuasan merupakan respon efektif terhadap pengalaman melakukan konsumsi atau suatu evaluasi kesesuaian atau ketidaksesuaian yang dirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual setelah pemakaian. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara harapan sebelumnya dan kinerja aktual setelah pemakaian. 3.1.1.1 Survei Kepuasan Survei kepuasan merupakan salah satu cara untuk mengetahui nilai-nilai yang terdapat dalam diri pelanggan. Salah satu tujuan penting dari survei kepuasan adalah untuk membuat produk dan jasa yang dapat memberikan keuntungan secara maksimum kepada pelanggan sehingga perusahaan dapat menghasilkan produk dan jasa yang mampu menciptakan nilai superior kepada pelanggan (Gerson, 2001) 3.1.1.2 Manfaat Pengukuran Mutu dan Kepuasan Menurut Gerson (2001) ada lima manfaat dari pengukuran mutu dan kepuasan pelanggan, sebagai berikut : 1.
Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi yang kemudian diterjemahkan menjadi pelayanan yang prima kepada pelanggan.
2.
Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan menuju mutu yang semakin baik dan kepuasan pelanggan meningkat.
3.
Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau perusahaan yang memberikan pelayanan.
4.
Pengukuran memberikan jawaban apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan serta bagaimana harus melakukannya.
5.
Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitas yang tinggi
3.1.2 Mutu Pelayanan Mutu merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik. Aplikasi mutu sebagai sifat dari penampilan produk atau kinerja merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam meraih keunggulan yang berkesinambungan. Menurut Martin (1999), di dalam memberikan jasa pelayanan yang baik kepada pelanggan terdapat dua dimensi yang harus diperhatikan, yaitu dimensi prosedural
(Procedural
Dimension)
dan
dimensi
keramahan
(Convival
Dimension). Kedua dimensi ini pada akhirnya akan mempengaruhi kepuasan pelanggan. 1.
Dimensi Prosedural (Prosedural Dimension) Dimensi prosedural menekankan sistem dan mekanisme untuk menjual dan mendistribusikan produk kepada pelanggan dimana keinginan dan kebutuhan pelanggan dapat dipenuhi secara efektif dan efisien. Dimensi prosedural terdiri dari beberapa faktor yaitu : a. Ketepatan Waktu (Timeleness) Pelayanan yang baik membutuhkan ketepatan waktu, yaitu waktu yang dibutuhkan bagi produk atau pelayanan untuk sampai kepada pelanggan. Pelayanan yang efisien adalah pelayanan yang cepat. Tetapi waktu yang diinginkan adalah waktu yang tepat dalam melakukan pelayanan.
23
b. Akomodasi (Accomodation) Akomodasi berarti menciptakan pelayanan yang fleksibel dan dapat digunakan oleh seluruh pelanggan. Sistem dan prosedur pelayanan harus berjalan demi kenyamanan pelanggan dengan pelayanan yang efisien. Jadi bukan dirancang berdasarkan prosedur termudah. c. Komunikasi (Communication) Pelayanan tidak dapat dikatakan bermutu bila tanpa komunikasi yang jelas antara penyuluh dengan petani, antara penyuluh dengan penyuluh dan antara penyuluh dengan atasan. Pesan harus disampaikan secara akurat dan efisien. d. Respon Konsumen (Customer Feedback) Pemberi pelayanan secara kontinyu harus mengetahui apakah pelayanan dan produk telah sesuai dengan kebutuhan dan harapan petani. Respon petani membantu meningkatkan perbaikan prosedur pelayanan melalui identifikasi bagian yang perlu diperbaiki. 2.
Dimensi Keramahan (Convival Dimension) Dimensi keramahan atau disebut pelayanan “kepribadian” penyuluh adalah dimensi yang melibatkan aliran jasa pelayanan kepada petani. Dimensi keramahan pada dasarnya bersifat interpersonal, dimensi ini melibatkan sikap, perilaku dan kemampuan verbal penyuluh dalam interaksinya dengan petani. Dimensi keramahan antara lain : a. Sikap (Attitude) Sikap penyuluh akan mempengaruhi sikap petani. Apabila penyuluh memberikan sikap positif maka petani akan membalas dengan sikap positif dan sebaliknya, apabila penyuluh menunjukkan sikaf negatif atau permusuhan maka petani akan membalas dengan sikap negatif pula. b. Bahasa tubuh (Body Language) Bahasa tubuh mempengaruhi lebih dari dua pertiga bagian pesan yang akan disampaikan pada setiap percakapan, seperti ekspresi wajah, kontak mata, senyum, gerakan tangan dan lain-lain.
24
c. Bijaksana (Tact) Mengetahui hal yang benar untuk dikatakan pada keadaan tertentu merupakan keahlian yang penting dimiliki oleh penyuluh pertanian. Bahasa yang dapat menyakiti atau menyinggung petani harus dihindari karena penyuluh yang baik harus bijaksana dan berhati-hati dalam menyampaikan informasinya. d. Perhatian (Attentiveness) Penyuluh harus memahami bahwa perhatian kepada petani berarti meningkatkan kepercayaan petani terhadap penyuluh. Penyuluh harus bekerja keras untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan agar meningkatkan kepuasan patani. e. Pengarahan (Guidance) Memberikan pengarahan kepada petani yang membutuhkan adalah cara menunjukkan perhatian. Pengarahan yang dibutuhkan oleh setiap petani berbeda tergantung dari persoalan yang dihadapi, oleh karena itu dibutuhkan pemahaman pertanian yang lebih dari seorang penyuluh pertanian. f.
Pemecahan Masalah (Problem Solving) Masalah dan keluhan harus ditangani dengan tanang, perlahan dan bijaksana. Penyuluh pertanian diharapkan mampu memberikan solusi dari setiap permasalah pertanian di wilayahnya. Setiap masalah pasti ada solusinya, solusi dapat ditemukan dengan cara berdiskusi atau berkonsultasi dengan orang atau lembaga yang memiliki kapasitas keilmuan dibidangnnya.
3.1.3 Penilaian Kualitas Pelayanan Jasa Menurut Rangkuti (2002) ada lima kriteria dimensi, yaitu : 1.
Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan ketersediaan untuk melayani pelanggan dengan baik.
2.
Reability
(kepercayaan),
yaitu
kemampuan
untuk
melakukan
pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
25
3.
Emphaty (empati), yaitu rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan, serta mudah untuk dihubungi.
4.
Assurance (keterjaminan), yaitu pengetahuan, kesopanan petugas, serta sifatya dapat dipercaya sehingga pelanggan terbebas dari resiko.
5.
Tangibles (penampilan), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan dan sarana komunikasi.
3.1.4 Kinerja 3.1.4.1 Konsep Kinerja Konsep kinerja merupakan implementasi dari rencana yang telah disusun sebelumnya. Dimana penerapan dari rencana dikerjakan oleh sumberdaya yang memiliki kapabilitas. Hasil kinerja dan prestasi sering dijadikan terjemahan dari performance. Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan tersebut. Kinerja adalah tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. 3.1.4.2 Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu: 1.
Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2.
Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3.
Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4.
Training and development needs. Mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.
5.
Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6.
Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7.
Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apasaja kesalahan
yang
telah
terjadi
dalam
manajemen
sumber
daya
manusia terutama di bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem 26
informasi manajemen sumber daya manusia. 8.
Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9.
External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10. Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri. 3.1.4.3 Elemen Penilaian Kinerja Penilaian kinerja yang baik adalah yang mampu untuk menciptakan gambaran yang tepat mengenai kinerja pegawai yang dinilai. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk menilai dan memperbaiki kinerja yang buruk, namun juga untuk mendorong para pegawai untuk bekerja lebih baik lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian kinerja membutuhkan standar pengukuran, cara penilaian dan analisa data hasil pengukuran, serta tindak lanjut atas hasil pengukuran. Elemenelemen utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis (1996:344) adalah: A. Performance Standard Penilaian kinerja sangat membutuhkan standar jelas yang dijadikan tolok ukur atau patokan terhadap kinerja yang akan diukur. Standar yang dibuat tentu saja harus berhubungan dengan jenis pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan akan terlihat dengan adanya penilaian kinerja ini. Ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar penilaian kinerja yang baik dan benar yaitu validity, agreement, realism, dan objectivity. 1. Validity adalah keabsahan standar tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan yang dinilai. Keabsahan yang dimaksud disini adalah standar tersebut memang benar-benar sesuai atau relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai tersebut. 27
2. Agreement berarti persetujuan, yaitu standar penilaian tersebut disetujui dan diterima oleh semua pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini berkaitan dengan prinsip validity di atas. 3. Realism berarti standar penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai oleh para pegawai dan sesuai dengan kemampuan pegawai. 4. Objectivity berarti standar tersebut bersifat obyektif, yaitu adil, mampu mencerminkan keadaan yang sebenarnya tanpa menambah atau mengurangi kenyataan dan sulit untuk dipengaruhi oleh bias-bias penilai. 3.1.4.4 Pengukuran Kinerja (Performance Measures) Pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur, dan mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja, Werther dan Davis (1996:346). Pengukuran kinerja juga berarti membandingkan antara standar yang telah ditetapkan dengan kinerja sebenarnya yang terjadi. Pengukuran kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran kinerja dapat juga diterima, diukur oleh pihak lain selain yang melakukan penilaian dan bersifat kuantitatif. Sedangkan pengukuran yang bersifat subyektif berarti pengukuran yang berdasarkan pendapat pribadi atau standar pribadi orang yang melakukan penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh orang lain. 3.1.4.5 Bias dan Tantangan dalam Penilaian Kinerja Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja, promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut Werther dan Davis (1996:348) adalah: 1.
Hallo Effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai
28
cenderung akan memperoleh nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai yang tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian; 2.
Liniency and Severity Effect. Liniency effect ialah penilai cenderung beranggapan bahwa mereka harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung akan memberikan nilai yang buruk;
3.
Central tendency, yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan nilai yang rata-rata.
4.
Assimilation and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifatsifat itulah yang mereka inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang lainnya;
5.
First impression error, yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga jangka waktu yang lama;
6.
Recency effect, penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.
3.1.5 Sistem Penyuluhan Pertanian Sistem penyuluhan pertanian bagian dari sistem pembangunan pertanian yang merupakan sistem pendidikan di luar sekolah (pendidikan nonformal) bagi petani beserta keluarganya dan anggota masyarakat lainnya yang terlibat dalam pembangunan pertanian, dengan demikian penyuluhan pertanian adalah suatu 29
upaya untuk terciptanya iklim yang kondusif guna membantu petani beserta keluarga agar dapat berkembang menjadi dinamis serta mampu untuk memperbaiki kehidupan dan penhidupannya dengan kekuatan sendiri dan pada akhirnya mampu menolong dirinya sendiri (Soeharto, N.P.2005). Selanjutkan dikatakan oleh Salim, F. (2005), bahwa penyuluhan pertanian adalah upaya pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan nonformal di bidang pertanian, agar mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik, sehingga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai. Pengertian penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan (Setiana. L. 2005). Penyuluhan dapat dipandang sebagai suatu bentuk pendidikan untuk orang dewasa. Dalam bukunya A.W. van den Ban dan H.S Hawkins. (1999) dituliskan bahwa
penyuluhan
merupakan
keterlibatan
seseorang
untuk
melakukan
komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Selanjutnya dalam draft Revitalisasi Penyuluhan disebutkan bahwa penyuluhan pertanian adalah kegiatan pendidikan nonformal bagi petani dan keluarganya sebagai wujud jaminan pemerintah atas hak petani untuk mendapatkan pendidikan. Lebih lengkap lagi dijelaskan dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 tentang SP3K, penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dalam mengakses informasi informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan,
dan
kesejahteraannya
serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyuluhan pertanian adalah kegiatan pendidikan nonformal bagi pelaku utama dan pelaku usaha sebagai jaminan
atas
hak
mendapatkan
pendidikan,
yang
diharapkan
mampu
memanfaatkan sumber daya yang ada guna memperbaiki dan meningkatkan
30
pendapatan kelayan beserta keluarganya dan lebih luas lagi dapat meningkatkan kesejahteraanya. Dalam proses penyuluhan terdapat beberapa unsur, antara lain : penyuluh, kelembagaan penyuluh,
materi penyuluhan,
media
penyuluhan,
metode
penyuluhan, sasaran penyuluhan, dan tujuan penyuluhan. a. Penyuluh pertanian Dalam Undang-Undang no. 16 tahun 2006 tentang SP3K, disebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan warga Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan dibidang pertanian, baik merupakan penyuluh PNS, swasta maupun swadaya. Adapun yang menjadi tugas pokok penyuluh adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi, dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian. Penyuluh dituntut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyuluh di lapangan dengan menjadi mitra kerja petani yang berperan sebagai fasilitator. b. Kelembagaan Penyuluhan Menurut Pasal 8 undang-undang no. 16 tahun 2006 tantang SP3K, disebutkan bahwa Kelembagaan Penyuluhan terdiri dari : a. kelembagaan penyuluhan pemerintah; b. kelembagaan penyuluhan swasta; dan c. kelembagaan penyuluhan swadaya. a. Kelembagaan penyuluhan pemerintah di kelompokkan menjadi : 1. pada tingkat pusat berbentuk badan yang menangani penyuluhan; 2. pada tingkat provinsi berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan; 3. pada tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan; 4. pada tingkat kecamatan berbentuk Balai Penyuluhan. b. Kelembagaan penyuluhan swasta dapat dibentuk oleh pelaku usaha dengan memperhatikan kepentingan pelaku utama serta pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan setempat. c. Kelembagaan
penyuluhan
swadaya
dapat
dibentuk
atas
dasar
kesepakatan antara pelaku utama dan pelaku usaha.
31
c. Materi Penyuluhan Materi penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang akan disampaikan kepada pelaku utama (petani) dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi : informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum, dan kelestarian lingkungan. d. Media Penyuluhan Media penyuluhan pertanian adalah merupakan alat komunikasi untuk memindahkan materi penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha yang bertujuan untuk memperjelas pemahaman dari kelayan tersebut terhadap materi penyuluhan yang disampaikan. e. Metode Penyuluhan Metode penyuluhan pertanian dapat diartikan sebagai cara atau teknik penyampaian materi penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha (kelayakan) beserta keluarganya baik secara langsung maupun tidak langsung agar mereka lebih mudah memahami dan dapat mempermudah penerapan suatu inovasi. Penggunaan metode penyuluhan dapat dibedakan menjadi beberapa golongan berdasarkan teknik komunikasi, jumlah sasaran, dan indera penerima dari sasaran (Sumardi 2005). f. Sasaran Penyuluhan Dalam UU No. 16 tahun 2006 telah disebutkan bahwa sasaran penyuluhan pertanian adalah : pelaku utama dan pelaku usaha. Yang dimaksud pelaku utama adalah petani yang merupakan warga Negara Indonesia beserta keluarganya atau koperasi yang mengelola usaha di bidang pertanian, wanatani, minatani, agropastur, penangkaran satwa dan tumbuhan di dalam adan di sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usahatani, agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang. Sedangkan yang dimaksud pelaku usaha adalah perorangan waraga Negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan.
32
g. Tujuan Penyuluhan Penyuluhan pertanian mempunyai dua tujuan yaitu tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan jangka pendek hanya menumbuhkan perubahanperubahan yang lebih terarah pada usahatani, yang meliputi
perubahan
pengetahuan, kecakapan, sikap, dan tindakan petani. Tujuan jangka panjang adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan petani. h. Prinsip Penyuluhan Pertanian Prinsip penyuluhan pertanian adalah pedoman atau pegangan dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan yang dapat diterima kebenarannya dalam bertingkah laku. Untuk itu, penyelenggaraan penyuluhan harus menurut keadaan yang nyata, ditujukan kepada kepentingan dan kebutuhan sasaran, merupakan pendidikan yang demokrasi, perencanaannya disusun bersama, bersifat fleksibel, dan penilaian hasil didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada sasaran. i.
Filosofi Penyuluhan Pertanian Filosofi Penyuluhan Pertanian adalah menolong orang agar dapat
menolong dirinya, keluarga dan masyarakatnya untuk menjadi yang lebih baik. Untuk itu, penyuluhan pertanian merupakan proses pendidikan, proses demokrasi dan proses yang terus menerus yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. 3.1.6 Importance Performance Analysis Menurut Supranto (2001) Importance Performance Analysis (IPA) adalah suatu metode untuk menganalisis sejauh mana tingkat kepuasan seseorang terhadap kinerja sebuah perusahaan. Hasil penelitian tingkat kepentingan dan kinerja akan dihasilkan suatu pertimbangan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan kinerja pada sebuah perusahaan. Mengukur tingkat kepuasan petani bermanfaat bagi penyelenggara program penyuluhan pertanian dalam rangka mengevaluasi kinerja atau program penyuluh terhadap berbagai variabel yang diberikan penyuluh terhadap petani selama memberikan penyuluhan. Menurut Magal dan Levenburg (2005) Metode Importance Performance Analysis pertama kali diperkenalkan oleh Martila dan James pada tahun 1977 33
dengan tujuan untuk mengukur hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas produk/jasa yang dikenal pula sebagai quadrant analysis. Importance Performance Analysis telah diterima secara umum dan dipergunakan pada berbagai bidang kajian karena kemudahan untuk diterapkan dan tampilan hasil analisa yang memudahkan usulan perbaikan kinerja. Importance Performance Analysis mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi berkaitan dengan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen sangat mempengaruhi kepuasan dan loyalitas mereka, dan faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan. 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Konsep agribisnis sebagai sistem, merupakan suatu “entitas” yang
tersusun dari sekumpulan subsistem yang bergerak secara bersama-sama dan saling tergantung untuk mencapai tujuan bersama (Amirin, 1996). Sejalan dengan pengertian tersebut, Departemen Pertanian (2001) mengedepankan konsep “sistem agribisnis”, yakni subsistem agribisnis hulu (perusahaan pengadaan dan penyaluran sarana produksi), subsistem agribisnis tengah (perusahaan usahatani), subsistem agribisnis hilir (perusahaan pengolahan hasil atau agroindustri dan perusahaan pemasaran hasil, serta subsistem jasa penunjang (lembaga keuangan, transportasi,
penyuluhan
dan
pelayanan
informasi
agribisnis,
kebijakan
pemerintah, dan asuransi agribisnis) perusahaan atau lembaga bisnis. Subsistem menyediakan
jasa penunjang
layanan
bagi
secara
kebutuhan
aktif ataupun pasif pelaku
sistem
berfungsi
agribisnis
untuk
memperlancar aktivitas perusahaan dan sistem agribisnis. Masing-masing komponen jasa penunjang itu mempunyai karakteristik fungsi yang berbeda, namun intinya adalah agar mereka dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi beban dan meningkatkan kelancaran penyelenggaraan sistem agribisnis. Salah satu jasa penunjang yang memiliki peran besar dalam mengurangi beban dan meningkatkan kelancaran penyelenggaraan sistem agribisnis adalah penyuluhan. Penyuluhan telah dilakukan sejak pemerintah menggulirkan program penyuluhan dengan sistem BIMAS pada tahun 1964, sistem LAKU (1976) sistem INSUS (1979), sistem SUPRA INSUS (1986) dan sistem penyuluhan berbasis 34
agribisnis (2009). Penyuluhan ini difokuskan pada wilayah pedesaan karena mayoritas masyarakat pedesaan bermata pencaharian utama di sektor pertanian dan 80% berada pada skala usaha mikro yang memiliki luas lahan lebih kecil dari 0,33 hektar6. Salah satu desa yang memiliki kriteria diatas adalah Desa Situ Udik. Desa Situ Udik merupakan desa terbaik peringkat kedua tingkat Provinsi Jawa Barat. Kriteria penilaian desa terbaik meliputi peran Badan Perwakilan Desa (BPD), Peran Lumbung Ekonomi Desa (LED), kinerja desa dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) serta peran PKK dalam memberdayakan perempuan Penghargaan yang diterima sebagai desa terbaik peringkat kedua tingkat Provinsi Jawa Barat bukan berarti desa tidak memikili permasalah dalam hal pertanian. Berdasarkan hasil observasi langsung kepada lima orang petani ditemukan beberapa permasalah dalam hal pertanian, antara lain penyuluh jarang melakukan kunjungan, materi penyuluhan yang kurang sesuai dengan kondisi yang ada di petani dan tingkat produktivitas pertanian yang rendah. Permasalah-permasalahan tersebut merupakan gambaran dari gagalnya penyuluh dalam memberikan kepuasan maksimal kepada petani, hal ini menunjukkan bahwa penyuluh belum dapat memahami dan menangkap apa yang dibutuhkan petani. Penyuluh seringkali menilai bahwa suatu layanan tertentu penting bagi petani dan oleh karena itu kinerjanya harus bagus, padahal apa yang dianggap bagus oleh penyuluh teryata merupakan sesuatu yang tidak penting dimata petani, sehingga yang diusahakan oleh penyuluh jadi sia-sia karena tidak dapat memuaskan petani dengan baik. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran tingkat kepuasan petani terhadap kinerja penyuluh pertanian demi mengetahui faktor-faktor yang dianggap penting dan diharapkan oleh petani, sehingga dengan meningkatkan kinerja faktor-faktor tersebut akan dapat memuaskan petani. Menurut Rangkuti (2003) kualitas pelayanan dipengaruhi oleh lima kriteria dimensi utama, yaitu : Responsiveness (ketanggapan), Reability (keterpercayaan), Emphaty (empati), Assurance (jaminan), dan Tangibles (bukti langsung). Dengan menilai kelima dimensi tersebut pihak penyuluh pertanian
6
Laporan Akhir Penelitian Tahun 2008 Konsorsium Penelitian : Karakteristik Sosial Ekonomi Petani Pada Berbagai Agroekosistem. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian 2008
35
dapat mengetahui tanggapan dari petani mengenai kualitas pelayanan/ kinerja penyuluh pertanian. Tanggapan petani diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan petani. Untuk mengukur kepuasan petani terhadap pelayanan penyuluh pertanian digunakan metode Importance Performance Analysis. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi untuk membuat kebijakan oleh kelembagaan penyuluhan dimasa yang akan datang. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
36
Sistem Agribisnis
Subsistem 1 (Penyedia sarana produksi)
Subsistem 2 (Usahatani)
Subsistem 3 (Pengolahan hasil)
Subsistem 4 (Pemasaran)
`
Subsistem 5 (Lembaga Penunjang)
Penyuluhan Pertanian
Pelaksanaan Penyuluh di Desa Situ Udik
5 Kriteria Kualitas Pelayanan
1. 2. 3. 4. 5.
Responsiveness (ketanggapan), Reability (keterpercayaan), Emphaty (empati), Assurance (jaminan) Tangibles (bukti langsung).
Importance Performance Analysis (IPA)
Kepuasan Petani Terhadap Kinerja Pelayanan Penyuluh Pertanian
Rekomendasi untuk peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 37