III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Kredit, Tingkat Bunga, Teori Permintaan dan Penawaran Kredit Kegiatan alokasi dana yang paling penting bagi kegiatan perbankan adalah alokasi dana dalam bentuk pinjaman atau yang lebih dikenal dengan kredit. Menurut Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian lainnya, pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Berdasarkan pengertian diatas, dapat dijelaskan bahwa kredit atau pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Kemudian adanya kesepakatan antara bank (kreditur) dengan nasabah penerima kredit (debitur), kesepakatan tersebut sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Dalam perjanjian tersebut tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama. Dalam bahasa latin kredit berarti “credere” yang artinya percaya. Kasmir (2002) menyatakan bahwa dalam arti luas kredit diartikan sebagai kepercayaan. Maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah ia percaya kepada si penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu. Oleh karena itu, sebelum kredit diberikan, untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya maka bank terlebih dahulu mengadakan analisis kredit.
25
Bank sebagai badan usaha dengan menetapkan kebijakan komprehensif yang diarahkan untuk mencapai tujuan utama yaitu tingkat keuntungan yang cukup memadai diperlukan guna menjamin pendapatan untuk kreditur dan pemegang saham (pemilik bank). Menurut Puspopranoto S (2004), bahwa bank merupakan sebuah badan usaha yang mempunyai fungsi pendapatan dan biaya sama halnya dengan perusahaan lainnya. Fungsi ini dapat dinyatakan dengan rumusan sebagai berikut : Laba = R(Q) – C(Q) Dimana : Q = Output bank R = Pendapatan bank (revenue) dari penjualan output C = Biaya bank (cost) untuk memproduksi dan menjual output Menurut Puspopranoto S (2004), pendapatan merupakan fungsi dari output. Jumlah pendapatan yang diperoleh bank tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan dijual. Kegiatan perkreditan merupakan output utama dari sebuah bank dan berkisar dari kredit konsumen hingga pembelian berbagai jenis klaim keuangan di pasar keuangan. Biaya juga merupakan fungsi dari output. Biaya bank terdiri dari bunga dan biaya lain yang dipergunakan untuk menarik simpanan maupun biaya pemberian dan administrasi kredit. Laba yang direalisasikan adalah sebesar selisih antar pendapatan dan biaya, dan tujuan bank adalah untuk memperoleh laba. Pemerintah dalam usahanya untuk membantu permodalan usaha mikro telah melaksanakan dan mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang perbankan melalui program KUR. Program KUR yang dijalankan pemerintah merupakan program kredit bersubsidi. Bentuk subsidi tersebut adalah penetapan suku bunga kredit program yang lebih rendah dari suku bunga di pasar umum. Dalam penetapan suku bunga KUR, pemerintah melalui bank-bank pemerintah menetapkan suku bunga 1,025 persen per tahun. Pembebanan bunga KUR sebesar 1,025 persen per tahun sangat rendah, hal ini dikarenakan tidak adanya provisi (biaya yang dipungut dari BRI). Kebijakan tersebut bertujuan untuk menggeser kurva penawaran kredit ke arah kanan. Permintaan dan penawaran kredit dapat dilihat pada Gambar 3.
26
Suku Bunga (r) S0 S1 E0
r0
E1
r1
Q0 Gambar 3.
Q1
Jumlah Kredit
Permintaan dan Penawaran Kredit Sumber : Lipsey (1995)
Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa pada saat modal langka, keseimbangan di titik E0 dimana jumlah dana yang ditawarkan adalah Q0 pada suku bunga r0. Dengan adanya kebijakan pemerintah diharapkan dapat menggeser kurva penawaran dari S0 ke S1 (E0 ke E1). Jika E1 dapat dicapai maka jumlah dana yang ditawarkan akan lebih banyak dengan harga yang lebih rendah (Q1 > Q0 dan R1 < R0) serta dapat menjangkau lebih banyak pelaku usaha mikro. Tingkat bunga adalah biaya peminjaman atau harga yang dibayar untuk meminjam sejumlah dana (Puspopranoto S, 2004). Menurunnya suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang berarti menurunnya pendapatan perbankan dari penempatan dana pada SBI dan mendorong perbankan pada pembiayaan sektor riil. Namun, suku bunga kredit tidak serta merta mengikuti gerakan suku bunga SBI (memerlukan kesenjangan waktu atau time-lag) dan keterbatasan daya serap sektor riil dalam menerima pembiayaan kredit secara layak. Miller RL dan Vanhoose DD (1993:137) menyatakan bahwa bunga adalah sejumlah dana, dinilai dalam uang, yang diterima si pemberi pinjaman (kreditur), sedangkan suku bunga adalah rasio dari bunga terhadap jumlah pinjaman (dikutip dalam Puspopranoto S, 2004). Selama jangka waktu kontrak kredit, peminjam biasanya melakukan pembayaran bunga secara berkala kepada pihak kreditur, dan ketika kredit jatuh waktu membayar kembali uang yang dipinjam dalam jumlah yang sama (pokok utang) kepada orang yang memberi pinjaman (kreditur).
27
Menurut Puspopranoto S (2004), metode untuk menentukan tingkat bunga dalam sistem keuangan dikemukakan oleh Cargill, TF (1991: 90-99). Pakar ini menyajikan dua pendekatan, yaitu Liquidity Preference dan Loanable Funds. 1. Pendekatan Liquidity Preference Pendekatan ini berpandangan bahwa suku bunga ditentukan oleh jumlah uang yang diminta dan ditawarkan dalam sistem keuangan (Puspopranoto S, 2004). Permintaan akan uang dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat penghasilan (Y) dan suku bunga (r), yaitu :
Keterangan : DM
= Permintaan akan Uang
r
= Suku Bunga
Y
= Tingkat Penghasilan Permintaan akan uang yang berkaitan dengan suku bunga berlandaskan
berbagai alasan, tetapi semuanya mempunyai hipotesis bahwa permintaan akan uang mempunyai hubungan terbalik (korelasi negatif) dengan suku bunga. Suku bunga merupakan opportunity cost bagi uang yang dimiliki. Fungsi permintaan akan uang dapat dilihat pada Gambar 4. Suku Bunga (r) Y2 > Y1
DM2 = DM (r, Y2)
r0
DM1 = DM (r, Y1) M1
M2
Jumlah Uang (M)
Gambar 4. Fungsi Permintaan akan Uang Sumber : Puspopranoto S (2004) 28
Pada Gambar 4, menggambarkan bahwa fungsi permintaan akan uang dengan asumsi bahwa tingkat penghasilan konstan pada Y1. Jumlah uang yang diinginkan masyarakat berhubungan terbalik dengan tingkat bunga. Bila tingkat penghasilan meningkat menjadi Y2, fungsi permintaan akan bergeser ke kanan. 2. Pendekatan Loanable Funds Pendekatan suku bunga dengan pendekatan ini memandang sistem keuangan sebagai suatu wilayah, yang di dalamnya dana yang dapat dipinjamkan diperdagangkan di pasar primer dan sekunder dan tingkat bunga menyamakan penawaran dan permintaan akan dana yang dapat dipinjamkan. a. Penawaran Dana Pinjaman Menurut Puspopranoto S (2004), penawaran dana pinjaman merupakan hubungan antara jumlah dana pinjaman yang ditawarkan dalam sistem keuangan dan tingkat bunga. Penawaran dana yang dapat dipinjamkan dapat dinyatakan sebagai berikut:
Keterangan : SL
= Penawaran Dana yang Dapat Dipinjamkan
r
= Suku Bunga
Y
= Tingkat Penghasilan
Tingkat Bunga (r) SL1 = SL(r,Y1) Y2 > Y 1
L1
L2
SL2 = SL(r,Y2)
Jumlah Dana Pinjaman
Gambar 5. Fungsi Penawaran Dana Pinjaman Sumber : Puspopranoto S (2004)
29
Pada Gambar 5, terlihat hubungan positif antara jumlah dana pinjaman yang ditawarkan dalam sistem keuangan dan tingkat bunga. Bila Y konstan pada Y1, jumlah dana yang ditawarkan secara langsung dipengaruhi tingkat bunga. Pada tingkat bunga yang lebih tinggi, ada kesediaan yang lebih kuat untuk menawarkan dananya pada pasar kredit. Perubahan tingkat penghasilan akan menggeser fungsi penawaran dana pinjaman. Bila tingkat penghasilan meningkat menjadi Y2, fungsi penawaran akan bergeser ke arah kanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah dana pinjaman yang ditawarkan akan lebih besar pada tingkat bunga berapa pun. b. Permintaan akan Dana Pinjaman Menurut Puspopranoto S (2004), tingkat bunga mencerminkan biaya dari peminjaman. Bila tingkat bunga meningkat, biaya peminjaman juga meningkat dan akibatnya jumlah dana yang diminta dalam sistem keuangan juga menurun. Permintaan total akan dana pinjaman dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut :
Keterangan : DL
= Permintaan akan Dana Pinjaman
r
= Suku Bunga Tingkat Bunga (r)
r0
DL2
DL1 L1
L2
Jumlah Dana Pinjaman
Gambar 6. Fungsi Permintaan akan Dana Pinjaman Sumber : Puspopranoto S (2004) 30
Pada Gambar 6 tersebut di atas, terlihat bahwa terdapat adanya hubungan yang terbalik atau negatif antara jumlah dana pinjaman yang diminta dan tingkat bunga, dengan asumsi faktor-faktor lain tetap, ceteris paribus. Pergeseran kurva ke arah kanan akan meningkatkan jumlah dana pinjaman yang diminta pada setiap tingkat bunga. 3.1.2 Risiko Kredit (Credit Risk) Perbankan adalah lembaga yang paling rentan atau berdekatan dengan risiko, khususnya risiko yang berkaitan dengan uang (money). Jika bank tidak berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman maka perbankan sendiri yang akan menerima akibatnya yaitu salah satunya adalah timbulnya kredit macet. Menurut Fahmi I (2010), risiko perbankan adalah risiko yang dialami oleh sektor bisnis perbankan sebagai bentuk dari berbagai keputusan yang dilakukan dalam berbagai bidang salah satunya seperti keputusan penyaluran kredit. Selain itu, pengertian lain dari risiko perbankan adalah berfokus pada masalah finansial karena bisnis perbankan adalah bisnis yang bergerak di bidang jasa keuangan. Bank menyediakan fasilitas yang mampu memberikan kemudahan kepada publik sebagai nasabahnya untuk memperlancar segala urusan yang menyangkut masalah keuangan, karena produk perbankan bersifat intangible asset. Bank harus mampu menyediakan atau memberikan kemudahan seperti, keamanan simpanan, kemudahan dalam menarik kembali dana dalam jumlah yang disesuaikan, kemudahan dalam urusan mencairkan kredit termasuk rendahnya biaya administrasi yang ditanggung, suku bunga kredit yang rendah dan perhitungan yang dilakukan secara cepat dan akurat. Bank is a "risk machine". it takes risks, it transforms them, it embedes them in banking products and service. in this context, those banks which actively manage their risk have decisive competitive advantage. they take risk more consciously, they anticipate adverse changes, they protect them selves from unexpected events, they gain the expertise to price risks” (Dennis Weatherstone, Retired Chairman – JP Morgan & Co, dikutip dalam Retnadi D, 2006).
31
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diartikan bahwa bank adalah "risiko mesin". Risiko dibutuhkan untuk mengubah mereka dalam produk perbankan dan pelayanan. Dalam konteks ini, bank-bank yang aktif mengelola risiko mereka memiliki keunggulan kompetitif yang menentukan. mereka mengambil resiko lebih sadar, mereka mengantisipasi perubahan yang merugikan, mereka melindungi diri mereka dari kejadian tak terduga, mereka mendapatkan keahlian untuk risiko harga. Menurut Fahmi I (2010), risiko kredit merupakan risiko yang disebabkan oleh ketidakmampuan para debitur dalam memenuhi kewajibannya sebagai mana yang dipersyaratkan oleh pihak debitur. Dalam memutuskan pemberian pinjaman, seorang pemberi pinjaman harus memperhitungkan probabilitas peminjam untuk membayar kembali pinjamannya. Semakin tinggi probabilitas ketidakmampuan membayar kembali pinjaman, maka semakin tinggi tingkat bunganya. Risiko kredit paling aman adalah pemerintah, sehingga obligasi yang dikeluarkan pemerintah cenderung memberikan tingkat bunga yang rendah. Bank sebagai lembaga yang dipercaya mengelola simpanan masyarakat hendaknya tetap menegakkan sikap prudent (kehati-hatian) dalam pemberian kredit, apapun bentuk kredit yang diberikan (Retnadi D, 2006). Hal ini mengingatkan perbankan bahwa dengan dilonggarkannya beberapa ketentuan standar perkreditan, seperti suku bunga harus rendah, tidak adanya agunan tambahan, dan jangka waktu proses kredit yang cepat, seyogianya tidak harus mengurangi tingkat kewaspadaan bank terhadap sikap dasar debitur (Character). Agency Theory (teori keagenan) yang menjelaskan mengapa konflik debitur-kreditur selalu terjadi. Secara singkat teori ini menjelaskan bahwa debitur selaku agen yang diberi kepercayaan oleh bank untuk menggunakan uang pinjaman, ternyata tidak pernah memedulikan kepentingan pihak kreditur (Jensen, Mc and Meckling, W.H, 1990, dikutip dalam Retnadi D, 2006). Menurut teori keagenan, penyalahgunaan kepercayaan bank oleh debitur dapat diwujudkan dalam beberapa tindakan negatif yaitu dalam hal keputusan investasi (investment), keputusan pembiayaan (financing), dan kebijakan pembayaran dividen (dividend policy) (Peirson, Graham, dkk., 1998). Menurut Retnadi D (2006), walaupun ketiga istilah tersebut diambil dari kebiasaan dalam
32
praktis bisnis besar (corporate), namun hakikat tindakan yang dilakukan oleh debitur pada dasarnya berlaku pula untuk seluruh jenis debitur termasuk debitur perorangan, nasabah kecil, nasabah Kupedes, dan nasabah komersial serta korporasi. Kolektibilitas pinjaman adalah penggolongan pinjaman berdasarkan keadaan pembayaran pokok atau angsuran pokok dan bunga oleh nasabah serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang masih ditanamkan dalam surat-surat berharga atau lainnya. Menurut Mahmoeddin AS (2010), koletibilitas pinjaman terdiri atas empat kelompok, yaitu: 1. Kolektibilitas Lancar 2. Kolektibilitas Kurang Lancar 3. Kolektibilitas Diragukan 4. Kolektibilitas Macet Pada PT. Bank Rakyat Indonesia menggolongkan kreditnya dalam dua kelompok besar, yaitu kredit lancar dan kredit tidak lancar (menunggak). 1. Kredit Lancar Suatu kredit digolongkan lancar jika tidak terdapat tunggakan angsuran pokok. Pengembalian kredit dikatakan lancar, apabila pembayaran angsuran dan bunga dilakukan dengan tepat waktu dan pelunasan kredit tidak mengalami penundaan berdasarkan pinjaman, Walaupun suatu kredit memenuhi kriteria lancar tersebut, namun apabila menurut penilaian baik ditinjau dari keadaan usaha debitur, maupun agunan kredit yang dikuasai oleh bank diperkirakan bahwa debitur yang bersangkutan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut tidak dapat digolongkan sebagai lancar. 2. Kredit Tidak Lancar (Menunggak) Pengembalian kredit dikatakan tidak lancar apabila pembayaran angsuran dan bunga mengalami penundaan dari waktu yang diperjanjikan. Pengembalian kredit yang tidak lancar ini digolongkan ke dalam lima tingkatan yaitu: a) Dalam Pengawasan Khusus Status ini diberikan kepada debitur yang menunda pembayaran angsuran selama satu minggu hingga 60 hari dari tanggal yang telah ditentukan.
33
b) Kurang Lancar Status ini diberikan kepada debitur yang menunggak pembayaran angsuran selama lebih dari 60 hari hingga 90 hari. Hal ini terjadi apabila pembayaran angsuran oleh debitur sedikit terhambat karena nasabah mulai mengalami kesulitan dalam usahanya, namun kesulitan yang dialami masih dapat diatasi dan tergolong ringan. c) Meragukan Status ini diberikan kepada debitur yang menunggak pembayaran angsuran selama lebih dari 90 hari hingga 120 hari. Hal ini terjadi karena terhambatnya pengembalian kredit yang diindikasikan dengan kemerosotan yang tajam dalam usahanya dan biasanya permasalahan yang terjadi mencakup berbagai aspek usaha. d) Macet Status ini diberikan kepada debitur yang menunggak pembayaran angsuran selama lebih dari 120 hari hingga 270 hari. Hal ini dikarenakan debitur tidak dapat membayar angsuran dan bunga kredit dalam jangka waktu tersebut. e) Daftar Hitam (DH) Pengembalian kredit yang sudah termasuk dalam daftar hitam yaitu debitur yang benar-benar sudah tidak mampu membayar pelunasan kredit pada waktu yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan karena usaha yang bangkrut dan aset yang dimiliki kemungkinan tidak dapat dicairkan atau tidak ada sama sekali. Ketika seorang debitur dalam pelunasan kreditnya mengalami penundaan lebih dari 270 hari maka debitur tersebut dimasukkan dalam kelompok daftar hitam. 3.1.3 Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan maka bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya, seperti melalui prosedur penilaian yang benar.
34
Kriteria penilaian yang harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisis lima C atau Five C’s of Credit dan tujuh P atau Seven P’s of Credit (Kasmir, 2002). Adapun penjelasan untuk analisis dengan lima C atau Five C’s of Credit adalah sebagai berikut : 1. Character Suatu keyakinan bahwa, sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya. Hal ini tercermin dari latar belakang nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti, cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan social standing. Ini semua merupakan ukuran “kemauan” membayar (Kasmir 2002). Suatu pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, yaitu adanya keyakinan dari pihak Bank bahwa si peminjam mempunyai moral, watak, ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan mempunyai rasa tanggung jawab baik dalam kehidupan pribadinya, kehidupannya sebagai anggota masyarakat, maupun dalam kegiatan menjalankan usahanya. Faktor watak adalah faktor yang paling utama dalam memberikan kepercayaan kepada nasabah dari bank, antara lain: a. Moral risk adalah berintikan kemauan membayar hutang dari nasabah b. Bank Checking adalah kemampuan bank untuk melakukan pengecekan. Manfaat dari penilaian character ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat kejujuran dan integritas serta itikad baik yaitu kemauan untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya dari calon debitur. Untuk menilai charakter ini cukup sulit, karena masing-masing manusia memiliki character yang berbedabeda satu sama lainnya. 2. Capacity Untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bisnis yang dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan kemampuannya dalam memahami tentang ketentuan-ketentuan pemerinatah. Begitu pula dengan kemampuannya dalam menjalankan usahanya selama ini. Pada akhirnya akan terlihat “kemampuannya” dalam mengembalikan kredit yang disalurkan (Kasmir, 2002).
35
Capacity adalah suatu penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang dilakukannya yang akan dibiayai oleh kredit perbankan. Penilaian terhadap capacity ini adalah untuk menilai sampai di mana hasil usaha yang akan diperolehnya tersebut, akan mampu melunasinya tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Faktor capacity ini dapat dilihat dari perkembangan rugi-labanya dalam tahun ke tahun. Business risk adalah perhitungan kemungkinan risiko bisnis yang akan timbul. Trade checking
adalah usaha meneliti dan mengamati situasi
perdagangan secara makro dan mikro. Pengukuran capacity dari calon debitur KUR BRI Unit Cibinong dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, antara lain : a. Pendekatan historis yaitu menilai apakah usaha dari debitur yang bersangkutan mengalami kegagalan atau selalu menunjukkan perkembangan yang semakin maju dari waktu ke waktu b. Pendekatan finansial, yaitu denngan menilai posisi neraca dan laporan perhitungan Rugi/Laba untuk beberapa periode terakhir yaitu untuk mengetahui seberapa besarnya solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas usahanya serta tingkat risiko usahanya c. Pendekatan educational yaitu untuk menilai latar belakang pendidikan para pengurus perusahan calon debitur. d. Pendekatan yuridis, yaitu menilai apakah calon debitur tersebut secara yuridis mempunyai kemampuan kapasitas untuk mewakili dirinya ataupun badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan ikatan perjanjian kredit dengan bank e. Pendekatan managerial, yaitu untuk menilai sampai sejauh mana kemampuan dan keterampilan nasabah dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaannya f. Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sampai sejauh mana kemampuan calon debitur dalam mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan dan mesin-mesin, administrasi dan keuangan, sampai dengan kemampuan dalam merebut market share.
36
3. Capital Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan ukuran lainnya. Capital juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini (Kasmir, 2002). Capital yaitu jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur. Besar kecilnya capital dapat dilihat dari neraca perusahaan yaitu pada komponen “Owner Equity”, laba yang ditahan, dan lain-lain. a. Financial risk kemungkinan risiko keuangan yang akan muncul b. Likuiditas, kemampuan perusahaan nasabah membiayai seluruh proyek dalam jangka pendek c. Solvabilitas, kemampuan nasabah melunasi seluruh kewajibannya dalam jangka panjang d. Rentabilitas, kemampuan nasabah memperoleh keuntungan usahanya. Kemampuan capital ini dapat dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban untuk menyediakan self financing sampai sejumlah tertentu dan sebaiknya besarnya self financing ini lebih besar dari kredit yang akan diperoleh dari perbankan. Bentuk self financing ini tidak harus selalu dalam bentuk uang, dapat juga dalam bentuk barang-barang modal seperti tanah, bangunan, mesin-mesin dan lain-lain. 4. Collateral Collateral merupakan jaminan yang diberikan oleh calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin (Kasmir, 2002). Collateral dapat berupa barang-barang jaminan yang diserahkan oleh peminjam/debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai alat pengamanan apabila usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain di mana debitur tidak mampu melunasi kreditnya dari hasil usahanya yang normal.
37
Penilaian terhadap collateral ini harus ditinjau dari dua sudut yaitu sudut ekonomisnya yaitu nilai ekonomis dari barang-barang yang akan dijaminkan, serta nilai yuridisnya yaitu apakah barang-barang jaminan tersebut memenuhi syaratsyarat yuridis. 5. Condition of Economy Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta prospek usaha dari sektor yang dijalankan. Penilaian prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil (Kasmir, 2002). Condition of economy yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk suatu kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit. Faktor-faktor makro ekonomis setempat akan sangat berpengaruh terhadap suksesnya suatu perusahaan. faktor kondisi dapat dilihat dari segi legalisasi keberadaan usaha. Faktor kondisi ekonomi menyangkut perkembangan harga dan data statistik. Prinsip-prinsip tersebut di atas sebaiknya satu sama lain dipunyai oleh calon debitur dalam posisi yang seimbang. Selain prinsip Five C’s of Credit tersebut, terdapat prinsip tujuh P dalam kredit atau Seven P’s of Credit dalam penilaian kredit, antara lain: 1. Personality Personality yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah. Penilaian ini dilakukan pada tenaga kerja dan pengelola serta orang-orang yang terlibat langsung dalam bisnis nasabah. 2. Party Party yaitu mengkalisifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya,
38
sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu dan akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari bank. 3. Purpose Purpose yaitu untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam. Apakah untuk modal kerja atau investasi, konsumtif atau produktif dan lain sebagainya. Purpose merupakan penilaian terhadap tujuan penggunaan kredit dan merupakan penilaian sasaran kredit. 4. Prospect Prospect yaitu untuk menilai usaha nasabah di masa yang akan dating menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lainnya usahanya mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek, bukan hanya bank yang rugi akan tetapi juga nasabah. Prospect merupakan penilaian masa depan usaha, perkembangan usaha ke depannya. Penilaian ini dilakukan bagi bank antara risiko dengan pendapatan yang diperoleh. 5. Payment Payment merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitur maka akan semakin baik, sehingga jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutupi oleh sektor lainnya. Payment merupakan kemampuan membayar kembali kredit. Penilaian ini dilakukkan dengan menggunakan financial statement dengan memperhitungkan ketidakpastian di masa depan. 6. Profitability Untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya. 7. Protection Protection merupakan kemungkinan gagal perlu jaminan sebagai benteng terakhir untuk berlindung. Tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan
39
jaminan mendapatkan perlindungan. Perlindungan dapat berupa jaminan barang atau orang atau jaminan asuransi. Menurut Mahmoeddin (2010) ada faktor tiga R dalam kredit atau three R’s of Credit, yaitu returns, repayment capacity, dan risk bearing ability. a) Returns Penilaian penghasilan, apakah usaha yang akan dibiayai benar-benar suatu usaha yang memberikan hasil didasarkan pengalaman, kemampuan, pemasaran, dan aspek lainnya. b) Repayment capacity Penilaian kesanggupan membayar kembali kredit. c) Risk Bearing Ability Penilaian kemampuan untuk menutup risiko yang mungkin timbul jika kredit menjadi macet. Analisis aspek kredit yang perlu diperhatikan terdiri dari aspek yuridis, aspek hubungan, aspek manajemen, aspek pemasaran, aspek sosial ekonomi, aspek tenaga kerja, aspek teknis, aspek keuangan, aspek komersial, aspek agunan, dan aspek khusus (Mahmoeddin, 2010). 3.1.4 Jenis-Jenis Kredit Menurut Muljono (1987), dalam klasisifikasi bentuk perkreditan terdiri dari berbagai jenis kredit. 1. Menurut Jenis Kredit Yang Dibiayai Dilihat dari obyek yang dibiayai dengan kredit tersebut, kredit dapat dibedakan antara lain: a. Kredit Untuk Modal Kerja Kredit Untuk Modal Kerja yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada debiturnya untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya. Kriteria dari modal kerja yaitu kebutuhan modal yang habis dalam satu cycle usahanya, hal ini dalam neraca suatu perusahaan akan berupa uang kas/bank ditambah dengan piutang dagang ditambah dengan persediaan baik persediaan barang jadi, persediaan bahan dalam proses, dan persediaan bahan baku.
40
b. Kredit Investasi Kredit Investasi yaitu kredit-kredit yang dikeluarkan oleh perbankan untuk pembelian barang-barang modal yaitu tidak habis dalam satu cycle usaha, maksudnya proses dari pengeluaran uang kas dan kembali menjadi uang kas tersebut akan memakan jangka waktu yang cukup panjang setelah melalui beberapa kali putaran. 2. Jenis Kredit Menurut Sektor Ekonomi Untuk kepentingan perencanaan pengembangan kegiatan perekonomian maka pembagian sektor-sektor ekonomi mempunyai arti yang sangat penting. Menurut Muljono (1987), secara garis besar pembagian kredit menurut sektor ekonomi dapat dibedakan sebagai berikut: a. Sektor Pertanian, Perkebunan dan Sarana Pertanian b. Pertambangan
c. Perindustrian d. Perdagangan, restoran, dan hotel 3. Pembagian Kredit Menurut Sifat-sifatnya Mengingat bidang usaha mempunyai variasi yang sangat banyak ternyata dari sifat-sifat usaha ini juga akan mempengaruhi bentuk dari pola kebutuhan modalnya, dan bentuk dari strukturnya pelunasan dari kreditnya. Menurut Muljono (1987), jenis-jenis perkreditan menurut sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut : a) Berulang (resvolving credit) Resvolving credit yaitu suatu sifat kredit yang dapat ditarik sesuai dengan kebutuhan dana dari pihak debitur. Jadi pada jenis kredit ini baki debetnya akan berfluktuasi dari waktu ke waktu yang lain sesuai dengan kapasitas atau kebutuhan dana yang akan berlangsung. Jangka waktu kreditnya dapat diperpanjang berulang-ulang selama kegiatan usahanya tersebut berjalan dengan baik b) Kredit sekali tarik (einmalig kredit/self liquidating credit) Einmalig kredit/self liquidating credit yaitu kredit satu kali penarikan untuk suatu jangka waktu kemudian harus dilunasi sekaligus pada saat transaksi kegiatan usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut juga selesai.
41
3.1.5 Manfaat Perkreditan Ada berbagai pihak yang berkepentingan secara langsung dan secara tidak langsung terhadap fasilitas perkreditan yang dipasarkan oleh bank komersil. Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan secara langsung yaitu pihak bank dan pihak calon debitur itu sendiri. 3.1.5.1 Manfaat Perkreditan Ditinjau dari Sudut Kepentingan Debitur Setiap jenis usaha akan memerlukan tujuh faktor produksi antara lain: (1) man, (2) material, (3) method, (4) machine, (5) money, (6) management dan (7) market. Faktor-faktor produksi tersebut bersifat langka dan mempunyai nilai ekonomis, maka diperlukan dana untuk memenuhi nilai kebutuhan dari masingmasing faktor produksi tersebut. Menurut Muljono TP (1987), secara teoritis kebutuhan dana (modal) sebetulnya dapat dipenuhi dari berbagai sumber baik dari intern perusahaan maupun dari sumber ekstern. Salah satu sumber dana ekstern adalah perbankan. Adapun keuntungan pemenuhan sumber-sumber dana dari sektor perkreditan yaitu: 1.
Relatif mudah diperoleh kalau memang usahanya benar-benar feasible
2.
Telah ada lembaga yang kuat di masyarakat perbankan yang menawarkan jasanya di bidang penyediaan dana (kredit)
3.
Biaya untuk memperoleh kredit (bunga, administrasi expense)
dapat
diperkirakan dengan mudah dan tepat 4.
Dengan fasilitas kredit memungkinkan para debitur untuk memperluas dan mengembangkan usahanya
5.
Jangka waktu kredit dapat disesuaikan dengan kebutuhan dana bagi usaha debitur, untuk kredit investasi daoat disesuaikan dengan rencana pelunasan yang sesuai dengan kapasitas usaha debitur yang bersangkutan, sedangkan untuk kredit modal kerja dapat diperpanjang berulang-ulang.
42
3.1.5.2 Manfaat Perkreditan Ditinjau dari Sudut Kepentingan Perbankan Salah satu kegiatan pokok dari perbankan yaitu menerima atau mengumpulkan dana dari masyarakat dalam berbagai bentuk, kemudian disalurkan kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk perkreditan. Menurut Muljono TP (1987), dalam melaksanakan fungsinya sebagai perantara keuangan ini (Financial Intermidiary) bank akan memperoleh berbagai manfaat antara lain: 1. Memperoleh pendapatan bunga kredit, yaitu selisih antara bunga kredit yang diterima dari para debitur, dikurangi dengan biaya untuk memperoleh dana dari masyarakat dan dikurangi lagi dengan biaya-biaya overhead dalam mengelola kredit tersebut. 2. Untuk menjaga solvabilitas usahanya 3. Dengan memberikan kredit akan membantu memasarkan jasa-jasa perbankan yang lain 4. Pemberian kredit untuk mempertahankan dan mengembangkan usahanya 5. Pemberian kredit untuk merebut pasar (market share) dalam industri perbankan 6. Dengan pemberian kredit akan memungkinkan perbankan untuk mendidik para stafnya untuk mengenal kegiatan-kegiatan industri yang lain secara mendetail 3.1.6 Kredit Usaha Rakyat (KUR) Beberapa tahun terakhir ini pemerintah sangat gencar dalam menghimbau perbankan dalam mengucurkan kredit, terutama kepada UMKM (Retnadi D, 2006). Berbagai program telah ditempuh oleh pemerintah, baik secara sendiri maupun bekerja sama dengan BRI. Salah satunya yaitu program KUMLTA (Kredit Usaha Mikro Layak Tanpa Agunan Tambahan), yaitu kredit untuk pengusaha mikro dengan plafon maksimum 50 juta rupiah yang didukung dengan jaminan kas (cash collateral) oleh pemerintah sebesar 10 persen dari nilai kredit yang diberikan. KUR merupakan salah satu program pemerintah sebagai fasilitas pembiayaan yang dapat diakses oleh UMKM terutama yang memiliki usaha yang layak namun belum bankable. Maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan.
43
KUR merupakan program baru pemerintah yang ditujukan untuk membantu petani dalam aksesibilitas kredit. Program KUR ditetapkan melalui Inpres No. 6 Tahun 2007 tentang kebijakan untuk mempercepat sektor primer dan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Program ini merupakan integrasi dari beberapa program penjaminan yang dilaksanakan oleh beberapa departemen dan institusi pemerintah lainnya. KUR diinspirasi oleh Program SP-3 yang diluncurkan Departemen Pertanian, yaitu suatu usaha skim kredit yang dikembangkan melalui kerja sama dengan bank komersil berdasarkan fasilitas layanan jaminan dan berbagi risiko. Pada Januari 2008, realisasi KUR mencapai 1.397 triliun rupiah melalui enam bank, yaitu Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank BNI, Bank BTN, dan Bank Syariah Mandiri. Diharapkan program ini akan meningkat dan berkembang yang tidak hanya memuaskan konsumennya, namun juga menggunakan strategi, pelaku usaha, dan lembaga perbankan yang sama7. Jangka waktu pengembalian kredit KUR dibedakan atas dua, yaitu kredit investasi dan kredit modal kerja. Jangka waktu pengembalian untuk modal kerja maksimum 3 tahun dan 5 tahun untuk investasi. Jangka waktu pengembalian kredit bagi debitur dapat dibedakan menjadi tiga tergantung kesepakatannya diantaranya : 1. Kredit jangka pendek yang berjangka waktu satu tahun 2. Kredit jangka menengah yang berjangka waktu antara 1-3 tahun 3. Kredit jangka panjang yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun KUR diimplementasikan untuk mendorong sektor riil. Namun, program ini masih belum berjalan secara optimal. Realisasi pengucuran KUR terbukti semakin rendah dibandingkan saat digulirkan pertama kali pada awal November 2007. Namun selama program KUR dijalankan masyarakat masih banyak yang mendapatkan kendala dalam memperolehnya. Selain bunga KUR yang tinggi, untuk memperoleh KUR juga sangat sulit karena bank masih meminta aset sebagai jaminan. Padahal, jenis kredit tersebut dijamin pemerintah melalui PT Jamkrindo dan PT Askrindo. 7
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2008. Kredit Usaha Rakyat (KUR). http://www.pselitbang.deptan.go.id/kur.html. [11 Oktober 2010].
44
Pemasalahan collateral (penjaminan) sering menjadi penghalang bagi UKM untuk dapat akses terhadap kredit. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menyiapkan lima program pembiayaan guna mengatasi hambatan kolateral UKM pada 2010 dalam peningkatan akses KUR. Dalam upaya meningkatkan akses KUR, khususnya segi sisi suku bunga, Kementerian Negara Koperasi dan UKM dan enam bank penyalur sepakat mengevaluasi suku bunga yang diberlakukan. Seharusnya keberpihakan perbankan terhadap usaha rakyat bisa ditunjukkan dengan cara menekan kembali suku bunga kredit. Saat ini rata-rata tingkat suku bunga KUR yang ditawarkan oleh bank-bank pelaksana ditetapkan maksimal 16 persen. Padahal suku bunga acuan BI rate berada dalam kisaran 6,5 persen. Kondisi tingkat kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) KUR yang mencapai 5 persen, average untuk semua bank seharusnya tidak disikapi perbankan dengan memperketat dan semakin selektif terhadap pemberian kredit. Sebab resiko yang harus ditanggung lebih ringan karena dijamin pemerintah yang mengucurkan penjaminan kepada asuransi sedangkan perbankan hanya menutup risiko sebesar 30 persen8. Masih banyak kendala yang dihadapi seperti tingkat kredit macet atau NPL yang terus meningkat, suku bunga yang masih tinggi, serta banyaknya pelaku usaha kecil yang terkendala mekanisme saat mengajukan kredit. 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional BRI merupakan salah satu lembaga keuangan perbankan yang dikenal
fokus terhadap penyaluran kredit bagi UMKM-K, dengan visi-nya adalah “Menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah”. Agar dapat mewujudkan visi tersebut, BRI menjalan misi-nya yaitu (1) melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk menunjang peningkatan ekonomi 8
Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan/Sekretaris Tim Koordinasi penanggulangan Kemiskinan (TKPK). 2010. http://www.pnpm-mandiri.org.com/. [07 November 2010 ; 12.30 pm]
45
masyarakat, (2) memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja yang tersebar luas dan didukung oleh sumberdaya manusia yang profesional dengan melakukan praktek good corporate government, (3) memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Berdasarkan visi dan misi BRI, maka BRI mempunyai tujuan yang jelas khususnya di bidang kredit, yaitu menjadi bank komersial melalui suatu program pemberian pinjaman atau kredit bagi masyarakat pedesaan dengan menitikberatkan kepada usaha, mikro, kecil, dan menengah. Untuk itu, BRI menetapkan target realisasi kredit terhadap BRI Unit sebagai penyalur KUR. “BRI menyalurkan KUR mencapai 3,1 triliun rupiah pada semester pertama tahun ini, hal ini mendukung program Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (KUKM). BRI mempunyai target penyaluran KUR hingga batas bawah 6 triliun rupiah dan batas atas 8 triliun rupiah”9. Namun kenyataan yang terjadi adalah adanya permintaan kredit yang tinggi tetapi tidak diikuti oleh realisasi KUR yang tinggi sehingga menyebabkan belum tercapainya target realisasi KUR. BRI sebagai lembaga yang dipercaya mengelola simpanan masyarakat tetap menegakkan sikap prudent dan tingkat kewaspadaan terhadap sikap dasar debitur (Character) dalam pemberian kredit, walaupun dengan beberapa ketentuan standar perkreditan, seperti suku bunga rendah, tidak adanya agunan tambahan, dan jangka waktu proses kredit yang cepat. Realisasi KUR dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang tercakup dalam karakteristik individu, karakteristik usaha, dan karakteristik kredit. Variabel yang merupakan karakteristik individu yang diduga dapat mempengaruhi realisasi kredit antara lain: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jenis pekerjaan, waktu tempuh responden ke BRI. Karakteristik usaha yang diduga dapat mempengaruhi realisasi kredit antara lain: jenis usaha, lama usaha, omzet usaha per bulan, pendapatan bersih per bulan. Selain itu, karakteristik kredit terdiri atas: frekuensi peminjaman kredit, nilai agunan, jumlah kredit yang diajukan, dan waktu perealisasian KUR.
9
“BRI Salurkan KUR Hingga Rp 3,1 Triliun” Dalam Forum Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (2010). www.umkm.or.id (12/12/10 ; 20.15 WIB)
46
Selain itu, terdapat masalah lain yang dihadapi oleh BRI dalam hal penyaluran KUR tersebut adalah terjadinya penurunan Nilai Tunggakan Riil (NPL). Nilai NPL diindikasikan oleh adanya kredit macet, bermasalah, atau menunggak maka akan merugikan bagi pihak bank yang akan berpengaruh terhadap pendapatan yang seharusnya diperoleh dari hasil pemberian kredit tersebut. Untuk itu diperlukannya penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengembalian KUR, agar dapat mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam kelancaran pengembalian KUR. Hal ini akan berpengaruh terhadap strategi apa yang akan dilakukan pihak BRI nantinya untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengembalian kredit digolongkan atas kredit lancar dan kredit tidak lancar. Kredit dikatakan lancar jika pembayaran angsuran dan bunga dilakukan tepat sesuai dengan tanggal jatuh tempo pinjaman atau bayar lewat dari tanggal jatuh tempo pinjaman tetapi masih dalam bulan wajib bayar dan tidak ada penundaan dalam pelunasan kredit. Kredit dikatakan tidak lancar jika pengembalian pinjaman lewat dari bulan wajib bayar sampai umur tungggakan. Kredit tidak lancar dapat dogolongkan kedalam empat tingkatan yaitu kolektibilitas pinjaman Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar (KL), Diragukan (D), dan Macet (M). Faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi lancar atau tidaknya pengembalian KUR dapat diidentifikasi atas beberapa faktor yang tercakup dalam karakteristik individu yang terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dan waktu tempuh responden ke BRI. Sedangkan karakteristik usaha yang berpengaruh diduga antara lain: jenis usaha, lama usaha, omzet usaha per bulan, nilai RPC (Repayment Capacity) per bulan, dan waktu tempuh dari lokasi usaha ke BRI. Selain itu, juga terdapat karakteristik kredit yang diduga berpengaruh dalam pengembalian kredit antara lain: frekuensi peminjaman kredit, agunan, nilai plafon kredit, jangka waktu pengembalian, dan kewajiban per bulan. Penentuan variabel yang menjadi faktor yang diduga berpengaruh terhadap realiasasi dan pengembalian KUR tersebut didukung oleh referensi dari penelitian terdahulu yang berkaitan dengan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi. Selain itu, variabel-variabel tersebut juga diturunkan dari prinsip lima C
47
atau Five C’s of Credit, terdiri dari (1) Character, (2) Capacity, (3) Capital, (4) Collateral, (5) Condition of Economy. Adapun rincian penjelasan mengenai variabel-variabel yang diduga berasal dari ketiga karakteristik dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Karakteristik Individu Karakteristik individu yang diduga dapat mempengaruhi realisasi dan kelancaran pengembalian kredit antara lain: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, jenis pekerjaan, waktu tempuh dari tempat tinggal ke BRI. Semua variabel tersebut diturunkan dari faktor character pada prinsip kredit 5C. a. Usia mempengaruhi keberanian pengusaha dalam mengambil keputusan secara rasional, karena pada umumnya peningkatan usia akan mempengaruhi kemampuan berpikir dalam mengambil keputusan untuk memanfaatkan kredit. Semakin tinggi usia debitur maka kebijaksanaan bertindak yang lebih baik dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memenuhi kewajiban pembayaran maupun pelunasan kredit. Oleh karena itu, usia diduga berpengaruh positif terhadap besarnya realisasi kredit dan kelancaran dalam pengembalian kredit. b. Jenis kelamin diduga berpengaruh terhadap realisasi dan kelancaran pengembalian kredit. Pada umumnya, pria adalah adalah kepala rumah tangga dan pencari nafkah dalam keluarga, sehingga diduga pria lebih banyak mengajukan kredit dibandingkan dengan wanita. Dalam pengembalian kredit, Lubis AM (2009) mengungkapkan bahwa wanita diduga tidak lancar dalam mengembalikan kredit, sehingga dalam penelitiannya, dinyatakan bahwa wanita berpengaruh negatif terhadap pengembalian kredit. c. Tingkat pendidikan seseorang dapat mencerminkan tindakan dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih berdisiplin dan bertanggungjawab dalam menjalankan setiap kewajibannya, dan memahami segala peraturan dan prosedur peminjaman kredit. Oleh karena itu, tingkat pendidikan diduga berpengaruh positif dalam memperoleh realisasi dan pengembalian kredit.
48
d. Jumlah tanggungan dalam keluarga yang semakin banyak maka diasumsikan semakin besar pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga dapat menghabiskan sebagian besar proporsi pendapatan keluarga. Hal ini dapat menjadi peluang ketidakmampuan dalam pelunasan kredit dan diduga semakin kecil realisasi kredit yang diperoleh. Jumlah tanggungan dalam keluarga diduga berpengaruh negatif terhadap realisasi kredit dan kelancaran pengembalian kredit. e. Jenis pekerjaan merupakan salah satu kriteria karakter nasabah yang terpenting, karena dengan mengetahui pekerjaan nasabah maka pihak BRI dapat mengetahui seberapa besar pendapatan yang diperoleh setiap bulannya sehingga dapat menilai calon nasabah mampu atau tidak dalam memenuhi kewajibannya bila pinjaman KUR direalisasikan. f. Waktu tempuh dari tempat tinggal debitur dengan bank seringkali menjadi kendala bagi kelancaran realisasi maupun pengembalian kredit. Semakin lama waktu tempuh dari tempat tinggal debitur maka akses terhadap bank relatif lebih sulit. Oleh karena itu, waktu tempat tinggal debitur diduga berpengaruh negatif terhadap realisasi kredit maupun kelancaran pengembalian. 2. Karakteristik Usaha Karakteristik usaha yang diduga dapat mempengaruhi realisasi kredit antara lain: jenis usaha, lama usaha, omzet usaha per bulan, pendapatan bersih per bulan. Karakteristik usaha yang diduga dapat mempengaruhi kelancaran pengembalian kredit antara lain: jenis usaha, lama usaha, omzet usaha per bulan, pendapatan bersih per bulan, RPC (Repayment Capacity) per bulan, dan waktu tempuh lokasi usaha debitur ke BRI. Semua variabel tersebut diturunkan dari faktor capacity dan condition Economy pada prinsip kredit 5C dan kondisi usaha. a. Jenis
usaha
berpengaruh
terhadap
realisasi
kredit
dan
kelancaran
pengembalian kredit karena setiap usaha memiliki risiko yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi kemampuan usaha dalam menghasilkan keuntungan yang nantinya digunakan dalam membayar dan melunasi pinjamannya. Usaha di sektor agribinis diduga memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan usaha non-agribisnis. Oleh sebab itu, permohonan kredit usaha non-agribisnis
49
diduga dapat terealisasi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan usaha agribisnis. Usaha on farm diduga memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan usaha off farm, sehingga usaha off farm diduga akan memperoleh realisasi KUR yang lebih besar dibandingkan usaha on farm. Selain itu, diduga usaha off farm memiliki peluang yang lebih besar dalam mengembalikan kredit dengan lancar. b. Lama usaha yang dijalankan akan memberikan gambaran mengenai pengalaman usaha debitur tersebut. Semakin lama usaha yang dijalankan maka semakin menjamin bahwa usaha tersebut layak untuk dibiayai serta dikembangkan. Selain itu, pengalaman usaha yang semakin lama dapat meningkatkan kemampuan dalam mengelola usaha sehingga usaha tersebut dapat terus dijalankan serta dapat mendukung keberhasilan usahanya. Keberhasilan usaha tersebut dapat menjamin dalam besarnya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh. Hal ini dapat menjadi peluang yang besar dalam realisasi maupun dalam kelancaran pengembalian. c. Omzet usaha diduga berpengaruh positif terhadap realisasi dan pengembalian kredit. Diduga, semakin besar omzet usaha maka kemampuan membayar pokok pinjaman beserta beban bunga pinjaman akan semakin besar. d.
Pendapatan usaha bersih debitur per bulan merupakan jumlah dana yang memungkinkan untuk dialokasikan debitur dalam membayar kewajibannnya baik dalam membayar angsuran pokok pinjaman maupun bunga pinjaman pada setiap bulannya. Pendapatan usaha bersih debitur per bulan diduga berpengaruh positif terhadap realisasi kredit, dimana semakin besar pendapatan bersih usaha per bulanny maka kemampuan membayar angsuran dan beban bunga akan semakin besar.
e.
RPC (Repayment Capacity) adalah kapasitas pengembalian kredit yag dimiliki oleh debitur dan nilainya maksimal 75 persen dari penghasilan bersih per bulan. Dengan demikian, nilai RPC diduga berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian kredit, dimana semakin tinggi nilai RPC seorang debitur maka diduga akan semakin besar peluangnya dalam mengembalikan kredit secara lancar.
50
f.
Waktu tempuh dari lokasi usaha debitur dengan bank seringkali menjadi kendala bagi kelancaran pengembalian kredit. Semakin lama waktu tempuh dari lokasi usaha debitur maka akses terhadap bank relatif lebih sulit. Oleh karena itu, waktu tempuh dari lokasi usaha debitur diduga berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian.
3. Karakteristik Kredit Karakteristik kredit yang diduga dapat mempengaruhi realisasi kredit antara lain: frekuensi peminjaman kredit, nilai agunan, jumlah kredit yang diajukan, dan waktu perealisasian KUR. Karakteristik kredit yang diduga dapat mempengaruhi dalam kelancaran pengembalian kredit antara lain: frekuensi peminjaman kredit, agunan, nilai plafon kredit, jangka waktu pengembalian, dan kewajiban per bulan. Semua variabel tersebut diturunkan dari faktor collateral pada prinsip kredit 5C dan berdasarkan kesepakatan kredit antara pihak bank dan debitur. a. Frekuensi peminjaman kredit dan pengalaman menerima serta mengembalikan kredit diduga bepengaruh positif terhadap realisasi dan kelancaran pengembalian kredit. Semakin besar frekuensi peminjaman kredit atau semakin sering meminjam maka debitur akan lebih memahami bagaimana pola dan prosedur kredit yang diambil dan bagaimana memanfaatkan kredit tersebut dengan baik. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan bank untuk merealisasikan kredit dalam jumlah besar atau sesuai dengan yang diajukan debitur. Selain itu, semakin sering debitur meminjam maka dapat diindikasikan bahwa semakin sering debitur dapat melunasi pinjamannya sehingga dapat menggambarkan peluang yang besar dalam pengembalian kredit secara lancar. b. Agunan merupakan jaminan tambahan yang disertakan pengusaha ketika melakukan pinjaman di bank. Nilai agunan berpengaruh positif terhadap besarnya realisasi kredit yang diperoleh dan kelancaran dalam pengembalian kredit. Hal ini diduga atas dasar bahwa semakin besar nilai agunan maka semakin besar kepercayaan bank untuk memberikan kredit. Berdasarkan kesepakan kedua belah pihak, maka agunan dapat berpindah status
51
kepemilikan kepada bank jika pengembalian pinjamannya tidak lancar atau terjadi penunggakan. Hal ini dapat mendorong debitur untuk dapat mengembalikan kredit dengan lancar. c. Jumlah kredit yang diajukan selalu lebih besar atau sama dengan jumlah kredit yang direalisasikan oleh bank, sehingga jumlah kredit yang diajukan berpengaruh positif terhadap realisasi kredit. Semakin besar jumlah kredit yang diajukan oleh debitur kepada bank, maka diduga nantinya jumlah kredit yang dapat direalisasikan oleh bank juga akan besar, atas dasar beberapa pertimbangan dan kesapakatan kedua belah pihak. d. Waktu perealisasian KUR dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai karakter nasabah. Apabila waktu perealisasian KUR cepat maka pihak BRI diduga sudah memiliki kepercayaan terhadap calon nasabahnya. Selain itu, usaha yang dijalankan sudah dinilai layak dan persyaratan pengajuan kredit KUR sudah dipenuhi oleh calon nasabah. e. Nilai plafon kredit yaitu jumlah kredit yang diberikan bank kepada debitur. Nilai plafon kredit diduga berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian kredit karena semakin besar nilai plafon yang diterima akan memperbesar beban angsuran dan bunga yang harus dibayar sehingga diduga dapat menurunkan peluang pengembalian kredit secara lancar. f. Jangka waktu pengembalian dan pelunasan kredit diduga berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian kredit. Dengan asumsi bahwa semakin lama jangka waktu pengembalian kredit maka nilai tanggungan angsuran kredit semakin kecil sehingga beban debitur dalam pelunasan kredit menjadi lebih ringan dibandingkan dengan jangka waktu yang lebih singkat dengan besar pinjaman yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin panjang waktu pelunasan kredit maka semakin besar peluang dalam pengembalian kredit secara lancar. g. Kewajiban per bulan merupakan besar angsuran dan bunga kredit yang harus dibayarkan oleh debitur kepada bank setiap bulan selama jangka waktu pengembalian yang telah ditetapkan. Kewajiban tersebut diduga berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian kredit. Hal ini diindikasikan dengan semakin besarnya kewajiban per bulannya maka diduga bahwa debitur
52
semakin sulit untuk mengembalikan kredit dengan lancar sehingga akan terjadi penunggakan kredit. Semua variabel tersebut diperkirakan berpengaruh nyata (signifikan) terhadap realisasi dan pengembalian KUR, diharapkan pihak bank BRI khusunya perlu
memperhatikan
karakteristik
debiturnya
dalam
menyetujui
suatu
permohonan kredit. Hasil dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi dan pengembalian KUR tersebut akan menentukan karakteristik debitur yang layak untuk diberikan kredit dengan plafon yang tepat guna mencapai target realisasi penyaluran kredit. Hal ini diharapkan kedepannya dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak baik bank BRI maupun debitur. Bagi pihak debitur akan merasa diuntungkan dengan adanya bantuan modal yang diberikan untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, bagi pihak bank BRI dapat mempertahankan NPL dibawah batas wajar yaitu sebesar tiga persen. Dengan demikian, BRI dapat mempertahankan kesehatan kreditnya serta membantu program pemerintah dalam mensejahterakan rakyat. Kebijakan yang berkaitan dengan penyaluran KUR perlu direncanakan dengan baik. BRI diharapkan dapat menjadi lembaga keuangan pemerintah yang dekat dengan mayarakat kecil khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Sehingga dapat menyokong perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah yang dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan nasional. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 7.
53
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Operasional BRI Unit Cibinong, Bogor – Jawa Barat Kredit Usaha Rakyat (KUR) Permasalahan :
1. BRI Unit Cibinong meraih prestasi sebagai BRI Unit teladan
2. Tercapainya target realisasi KUR di BRI Unit Cibinong 3. Tingkat NPL yang menurun Faktor-faktor yang Mempengaruhi Realiasasi KUR 1. Karakteristik Individu
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, waktu tempuh dari tempat tinggal ke BRI
2. Karakteristik Usaha
jenis usaha, lama usaha, omzet usaha per bulan, pendapatan bersih per bulan
3. Karakteristik Kredit
frekuensi peminjaman kredit, agunan, jumlah kredit yang diajukan, waktu perealisasian KUR
Analisis Regresi Linier Berganda
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembalian KUR 1. Karakteristik Individu
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, waktu tempuh dari tempat tinggal ke BRI
2. Karakteristik Usaha
jenis usaha, lama usaha, omzet usaha per bulan, RPC (Repayment Capacity) per bulan, waktu tempuh lokasi usaha ke BRI
3. Karakteristik Kredit
frekuensi peminjaman kredit, agunan, nilai plafon kredit, jangka waktu pengembalian, kewajiban per bulan
Analisis Regresi Logistik
Analisis Hubungan antara Realisasi dan Pengembalian dengan analisis Korealis Biserial Karakteristik debitur yang layak dalam realisasi dan pengembalian KUR Rekomendasi Kebijakan
54
3.3
Hipotesis Hipotesis sebagai keterangan sementara yang akan diuji kebenarannya,
serta memberi arah dan fokus dalam penelitian ini (Nazir M, 2009). 3.3.1 Hipotesis Umum Analisis Realisasi KUR 1. Besarnya realisasi kredit dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu debitur KUR 2. Besarnya realisasi kredit dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik usaha debitur KUR 3. Besarnya realisasi kredit dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik kredit KUR 3.3.2 Hipotesis Khusus Analisis Realisasi KUR 1. Hubungan pengaruh antara karakteristik individu terhadap besarnya realisasi kredit debitur KUR a. Usia berpengaruh positif terhadap besar realisasi KUR b. Jenis kelamin, pria lebih berpengaruh terhadap besarnya realisasi kredit KUR dibandingkan dengan wanita sehingga pria = 1 dan wanita = 0 c. Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap realisasi kredit KUR d. Jumlah tanggungan keluarga berpengaruh negatif terhadap realisasi kredit KUR e. Waktu tempuh responden ke BRI berpengaruh negatif terhadap realisasi kredit KUR 2. Hubungan pengaruh antara karakteristik usaha terhadap besarnya realisasi kredit debitur KUR a. Omzet per bulan berpengaruh positif terhadap besarnya realisasi KUR b. Pendapatan bersih per bulan berpengaruh positif terhadap besarnya realisasi KUR
55
c. Jenis usaha,usaha off farm lebih berpengaruh terhadap besarnya realisasi KUR dibandingkan on farm sehingga usaha off farm = 1 dan usaha on farm = 0 d. Lama usaha berpengaruh positif terhadap besarnya realisasi kredit KUR 3. Hubungan pengaruh antara karakteristik kredit terhadap besarnya realisasi kredit debitur KUR a. Frekuensi peminjaman kredit berpengaruh positif terhadap besarnya realisasi KUR b. Jumlah kredit yang diajukan berpengaruh positif terhadap besarnya realisasi KUR c. Agunan berpengaruh positif terhadap besarnya relisasi KUR, dengan variabel dummy dimana debitur yang menyertakan agunan yaitu D = 1, sedangkan tanpa agunan D = 0. d. Waktu perealisasian KUR berpengaruh positif terhadap besarnya relisasi KUR 3.3.3 Hipotesis Umum Analisis Pengembalian KUR 1. Pola pengembalian kredit dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu debitur KUR 2. Pola pengembalian kredit dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik usaha debitur KUR 3. Pola pengembalian kredit dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik kredit debitur KUR 3.3.4 Hipotesis Khusus Analisis Pengembalian KUR 1. Hubungan pengaruh antara karakteristik individu terhadap kelancaran pengembalian kredit debitur KUR a. Usia berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian kredit KUR b. Jenis
kelamin,
pria
lebih
berpengaruh
terhadap
kelancaran
pengembalian kredit KUR dibandingkan wanita, sehingga pria = 1 dan wanita = 0
56
c. Tingkat
pendidikan,
berpengaruh
positif
terhadap
kelancaran
pengembalian KUR d. Jumlah
tanggungan
keluarga,
berpengaruh
negatif
terhadap
kelancaran pengembalian KUR e. Waktu tempuh responden ke BRI, berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian KUR 2. Hubungan pengaruh antara karakteristik usaha terhadap kelancaran pengembalian kredit debitur KUR a. Jenis usaha, usaha off farm lebih berpengaruh terhadap kelancaran pengembalian KUR dibandingkan usaha on farm, sehingga usaha off farm = 1 dan on farm = 0 b. Lama usaha, berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian KUR c. Omzet usaha per bulan, berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian KUR d. RPC (Repayment Capacity) per bulan, berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian KUR e. Waktu tempuh lokasi usaha ke BRI, berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian KUR 3. Hubungan pengaruh antara karakteristik kredit terhadap kelancaran pengembalian kredit debitur KUR a. Frekuensi
peminjaman
kredit,
berpengaruh
positif
terhadap
kelancaran pengembalian KUR b. Agunan, berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian KUR, dengan variabel dummy dimana debitur yang menyertakan agunan D = 1, sedangkan tanpa agunan D = 0 c. Nilai plafon kredit, berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian KUR d. Kewajiban per bulan, berpengaruh negatif terhadap kelancaran pengembalian KUR e. Jangka waktu pengembalian, berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian KUR
57