III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Teori Usahatani Menurut
Soeharjo
dan Patong
(1973),
usahatani
adalah proses
pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan oleh perorangan atau sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga ataupun orang lain disamping bermotif mencari keuntungan. Analisis pendapatan usahatani memiliki tujuan untuk menggambarkan keadaan sekarang suatu usaha dan untuk menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Menurut Mosher 1968, diacu dalam Mubyarto 1979, usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian, seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan sebagainya. Menurut Rifai 1960, definisi dari usahatani adalah setiap organisasi dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi ini berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang-orang segolongan sosial, baik yang berikatan geneologis maupun tertorial sebagai laksanawannya. Menurut Suratiyah (2008) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin. Merujuk pada penjelasan di atas, penulis menganggap bahwa definisi usahatani menurut Bachtiar Rifai (1960) merupakan definisi yang paling tepat untuk menggambarkan suatu usahatani dan mengandung pengertian yang paling sesuai dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan beberapa literatur, penulis memandang usahatani merupakan suatu organisasi yang dibentuk dalam upaya
24
memanfaatkan sumber daya pertanian untuk diproduksi sehingga mendatangkan keuntungan. Jika usahatani diartikan sebagai setiap organisasi alam, kerja, dan modal untuk produksi pertanian, maka usahatani mencakup segala bentuk organisasi produksi. Di Indonesia, terdapat banyak variasi organisasi produksi yang memenuhi definsi Bachtiar Rifai. Misalnya, seorang petani mengusahakan sebidang sawah untuk keperluan konsumsi keluarganya. Contoh ini menekankan bahwa pengertian usahatani yang dikemukakan Bachtiar Rifai tidak membatasi apakah produk yang dihasilkan oleh petani digunakan untuk keperluan konsumsi keluarga atau untuk tujuan komersial. Karena itu, misalnya, seorang petani mengusahakan tambak udang, di wilayah pantai utara Pulau Jawa (disebut Pantura), juga dapat disebut usahatani. Demikian halnya sebuah perusahaan pertanian yang menggunakan teknologi modern, seperti greenhouse, merupakan suatu usahatani7. Menurut Hernanto (1989), terdapat empat unsur pokok dalam usahatani yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi, yaitu: 1)
Tanah Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan dan sawah. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur atau tumpangsari. Tanah atau lahan adalah faktor produksi utama dalam pelaksanaan kegiatan usahatani.
2)
Tenaga Kerja Jenis tenaga kerja dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita dan anakanak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan. Tenaga ini dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (biasanya dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu: 1
7
Bahan perkuliahan mata kuliah usahatani mengenai pengertian dan ruang lingkup usahatani tahun 2009
25
pria = 1 hari kerja pria (HKP), 1 wanita = 0,7 HKP, 1 ternak = 2 HKP, dan 1 anak = 0,5 HKP. 3)
Modal Modal dalam usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pelepas uang/famili/tetangga), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak sewa.
4)
Pengelolaan atau manajemen Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan hasil yang diharapkan. Pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknis dan ekonomis perlu dilakukan untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil. Prinsip teknis tersebut meliputi: a) perilaku cabang usaha yang diputuskan, b) perkembangan teknologi, c) tingkat teknologi yang dikuasai, dan d) cara budidaya dan alternatif cara lain berdasarkan pengalaman orang lain. Prinsip ekonomis antara lain: a) penentuan perkembangan harga, b) kombinasi cabang usaha, c) pemasaran hasil, d) pembiayaan usahatani, e) penggolongan modal dan pendapatan serta tercermin dari keputusan yang diambil agar resiko tidak menjadi tanggungan pengelola.
3.2.
Lahan sebagai Faktor Produksi Lahan pada hakekatnya adalah permukaan bumi yang merupakan bagian
dari alam, sehingga lahan tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya, seperti: sinar matahari, curah hujan, angin, kelembaban udara dan lain sebagainya. Fungsi lahan dalam usahatani adalah tempat menyelenggarakan kegiatan produksi pertanian (usaha bercocok tanam dan pemeliharaan ternak) dan tempat pemukiman keluarga tani (Tjakrawiralaksana 1985). Menurut Hernanto (1988) pada umumnya di Indonesia lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu lahan mempunyai beberapa sifat, antara lain: (a) bukan merupakan barang produksi; (b) luas relatif tetap atau dianggap tetap atau tidak dapat diperbanyak; (c) tidak dapat
26
dipindah-pindahkan; (d) dapat dipindahtangankan dan atau diperjualbelikan; (e) tidak ada penyusutan (tahan lama); dan (f) bunga atas lahan dipengaruhi oleh produktivitas lahan. Karena sifatnya yang khusus tersebut, lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi usahatani. Lahan merupakan jenis modal yang sangat penting yang harus dibedakan dari jenis modal lainnya sehingga faktor lahan perlu digunakan atau dimanfaatkan secara efisien. Usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi pengusahaan lahan antara lain pemilihan komoditas cabang usahatani dan pengaturan pola tanam. Ukuran efisiensi penggunaan lahan adalah perbandingan antara output dan input. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usahatani berkaitan dengan lahan yang digunakan adalah sumber dan status lahan, nilai lahan, fragmentasi lahan, lahan sebagai ukuran usahatani, serta perkembangan penguasaan lahan di Indonesia. (1)
Sumber Pengusahaan Lahan Hernanto (1988) mengutarakan bahwa lahan yang diusahakan petani diperoleh dari berbagai sumber, yakni: (a) lahan milik, dibuktikan dengan surat bukti pemilikan (sertifikat) yang dikeluarkan oleh negara melalui Direktorat Jenderal Agraria; (b) lahan sewa, sebaiknya bukti dibuat oleh pejabat yang berwenang agar apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dapat diselesaikan secara hukum; (c) lahan sakap, telah diatur oleh undang-undang bagi hasil (UUBH) atau UU No. 2 tahun 1960; (d) lahan pemberian negara atau lahan milik negara yang diberikan kepada seseorang yang mengikuti program pemerintah dan berjasa kepada negara, dalam hal ini pemilikannya dapat melalui prosedur gratis, ganti rugi dan kredit; (e) lahan waris, lahan yang karena hukum tertentu (agama) dibagikan kepada ahli warisnya; (f) lahan wakaf, lahan yang diberikan atas seseorang atau badan kepada pihak lain untuk kegiatan sosial; dan (g) lahan yang dibuka sendiri.
(2)
Status Penguasaan Lahan Lahan-lahan
yang
diusahakan
oleh
para
petani
biasanya
mempunyai status yang menunjukkan hubungan hukum antara petani dengan lahan yang diusahakannya. Dengan demikian status lahan tersebut akan memberikan kontribusi bagi penggarapnya. Tjakrawiralaksana (1985)
27
membagi status-status hukum lahan menjadi status hak milik, status hak sewa, status hak bagi hasil (sakap), status hak gadai dan status hak pakai atau hak guna usaha (HGU). Status lahan merupakan faktor penting dalam usaha pengembangan usahatani, karena faktor ini dapat mempengaruhi kesediaan para petani melakukan investasi pada lahan atau menggunakan teknologi baru yang menguntungkan. Dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani dikaitkan dengan lahan sebagai faktor produksi, status lahan mempunyai keunggulan-keunggulan
maupun
kelemahan-kelemahan.
Keunggulan
lahan dengan hak milik petani, diantaranya adalah: (a) petani bebas mengusahkan lahannya; (b) petani bebas merencanakan seseuatu kepada lahannya baik jangka pendek maupun jangka panjang; (c) petani bebas menentukan cabang usaha untuk lahan sesuai dengan faktor-faktor fisik dan faktor ekonomi yang dimiliki; (d) petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya tanpa campur tangan orang lain; dan (e) petani bebas memperjualbelikan, menyewakan, dan menggadaikan lahannya. Lahan dengan hak sewa mempunyai kewenangan seperti lahan dengan hak milik di luar batas jangka waktu sewa yang disepakati. Penyewa tidak mempunyai kewenangan untuk menjual dan menjaminkan lahan sebagai anggunan. Dalam hal perencanaan usaha, penyewa harus mempertimbangkan jangka waktu sewa. Lahan dengan hak sakap tidak mempunyai kewenangan untuk menjual lahan. Dalam setiap kegiatan pengusahaan usahatani, seperti penentuan cabang usaha dan pilihan teknologi harus dikonsultasikan dengan pemilknya. Status lahan yang terdapat di perdesaan Pulau Jawa menimbulkan semacam tangga pertanian (agricultural lader), yaitu status pemilikan lahan secara bertahap yang menunjukkan tingkatan atau status sosial di dalam masyarakat dari petani pemilik ke buruh tani, misalnya: petani dengan hak milik terhadap lahan pada tangga pertanian memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani dengan hak sakap terhadap lahan (Tjakrawiralaksana 1985).
28
(3)
Nilai Lahan Semakin terbatasnya lahan yang tersedia dan semakin terjaminnya kepastian akan pemilikan lahan, maka akan selalu terjadi jual beli lahan. Nilai lahan sangat bervariasi dari unsur waktu dan tempat. Di daerah perkotaan, lahan usahatani mempunyai nilai yang cukup tinggi, bahkan terkadang tidak sebanding dengan nilai ekonomis dari hasil lahan tersebut. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan nilai lahan tergantung kepada: (a) tingkat kesuburan lahan, harga lahan yang lebih subur (baik fisik maupun kimiawi) lebih tinggi daripada lahan yang tidak subur; (b) fasilitas pengairan, nilai lahan yang berpengairan baik lebih tinggi daripada lahan yang tidak berpengairan; dan (c) posisi lokasi, nilai lahan yang dekat dengan jalan atau sarana penghubung lebih tinggi daripada lahan yang tidak dekat dengan jalan atau sarana penghubung.
(4)
Fragmentasi Lahan Lahan yang diusahakan oleh para petani seringkali tidak merupakan satu kesatuan bidang, melainkan terdiri dari beberapa pecahan yang letaknya tersebar. Keadaan lahan demikian sering diberi istilah fragmentasi lahan, sedangkan bagian-bagian pecahannya disebut fragmen atau persil. Tjakrawiralaksana (1985) mengutarakan bahwa terjadinya fragmentasi pada lahan usahatani dipengaruhi oleh: kepadatan penduduk, adat pewarisan harta benda yang berlaku dalam masyarakat, faktor alam (misalnya: tanah longsor serta pergeseran aliran sungai) dan aktivitas manusia (misalnya: pembuatan jalan, pembuatan terusan serta pembuatan saluran pengairan). Soeharjo dan Patong (1973) mengungkapkan kerugian yang ditimbulkan oleh fragmentasi lahan, diantaranya adalah: (a) semakin sempitnya lahan-lahan petani; (b) menimbulkan pemborosan waktu dan tenaga sehingga biaya produksi lebih tinggi; (c) menimbulkan kesulitan dalam pengawasan terutama serangan hama dan penyakit sehingga produksi tidak setinggi pencapaian yang diharapkan; (d) petani tidak leluasa memilih tanaman atau komoditas yang paling menguntungkan; (e) banyaknya lahan-lahan produktif yang hilang atau dikorbankan; (f) pembagian air pengairan sukar diatur; (g) alat-alat mekanisasi tidak dapat
29
digunakan; dan (h) kemungkinan percecokan antar petani lebih tinggi karena banyaknya tetangga lahan. (5)
Lahan Sebagai Ukuran Usahatani Lahan sebagai unsur produksi seringkali juga dipakai untuk pengukuran besaran usahatani (size of business). Menurut Soeharjo dan Patong (1973) ukuran-ukuran tersebut antara lain: (a) luas total lahan usahatani, yakni mengukur semua lahan yang dimiliki sebagai satu kesatuan produksi; (b) luas tanam pertanaman, yakni mengukur luas tanaman yang diusahakan; (c) luas total tanaman, yakni memperhitungkan luas dari semua cabang usahatani yang diusahakan; dan (d) luas tanaman utama, yakni mengukur luas tanaman pokok yang diusahakan. Namun, menurut Tjakrawiralaksana (1985) ukuran tersebut bukanlah cara yang terbaik, keberatan-keberatan dalam pemakaiannya antara lain: (a) pengukurannya tidak menyertakan keterangan mengenai kualitas daripada lahannya; (b) pengukurannya tidak menggambarkan hubungan dengan pemakaian unsur-unsur produksi lainnya yang secara bersama-sama dapat mempengaruhi
tingkat
produksi;
dan
(c)
pengukurannya
tidak
memperhatikan adanya perbedaan letak ekonomis daripada lahan itu sendiri. (6)
Perkembangan Penguasaan Lahan di Indonesia Selama kurun waktu tiga dekade ini, perkembangan penguasaan lahan pertanian di Indonesia, termasuk didalamnya lahan sawah petani padi, terbagi dalam tiga macam perkembangan ekonomi lahan, yakni: perkembangan
konversi
lahan pertanian,
perkembangan distribusi
penguasaan lahan pertanian, serta perkembangan rumah tangga pertanian (RTP) dan luasan penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan data hasil sensus pertanian pada periode 1983, periode 1993, dan periode 2003 oleh BPS 2004, diacu dalam Lokollo et al. (2007), ketiga aspek tersebut dapat dibahas
secara
spesifik
dengan
kemungkinan
mempertimbangkan
keterkaitan satu aspek dengan aspek lainnya. Ketiga aspek ekonomi lahan tersebut pada dasarnya memiliki keterkaitan. Semakin besar proporsi RTP dengan status petani lahan sempit akan mendorong distribusi penguasaan
30
lahan yang semakin pincang, dan selanjutnya eksistensi petani lahan sempit akan mendorong terjadinya alih fungsi lahan (konversi lahan) pertanian dan atau alih profesi ke sektor lain yang dapat memberikan pendapatan yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Perkembangan RTP menurut luas penguasaan lahan selama periode 1983-2003 (Tabel 5) menunjukkan beberapa indikasi, diantaranya adalah: (a) secara keseluruhan, pada sepuluh tahun terakhir (selama periode 19932003), terdapat indikasi polarisasi penguasaan lahan yang semakin serius; (b) fakta empirisnya adalah RTP dengan penguasaan lahan <0,50 ha dan >2,0 ha meningkat relatif tajam, masing-masing sekitar 31,95 persen dan 74,95 persen. (c) sementara itu, kategori dengan luas 0,50-0,99 ha dan 1,00-1,99 ha hanya meningkat sebesar 5,28 persen dan 10,48 persen; (d) hal yang serupa juga terjadi di luar Pulau Jawa yang diwakili oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Tabel 5. Jumlah RTP Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 Propinsi
Jabar
Sumsel
Kalsel
Indonesia
Golongan luas lahan <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00 <0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 >=2,00
Jumlah rumah tangga 1983
1993
2003
1.630.281 2.305.065 2.557.823 674.801 544.761 465.297 393.820 242.540 194.910 173.595 90.853 76.317 39.000 156.152 186.860 79.176 192.596 135.616 144.026 245.753 257.892 185.122 179.812 323.995 85.787 143.009 180.449 67.735 92.150 98.953 72.108 69.259 87.031 53.464 35.061 77.062 6.412.246 10.631.887 14.028.589 3.671.243 4.348.303 4.578.053 2.922.294 3.132.145 3.460.406 2.168.315 1.601.409 2.801.627
19831993 41,39 (20,90) (38,41) (47,66) 300,39 143,25 70,63 (2,87) 66,70 36,04 (3,95) (34,42) 65,81 18,44 7,18 (26,15)
19932003 10,97 (12,83) (19,64) (16,00) 19,67 (29,59) 4,94 80,19 26,18 7,38 25,66 119,79 31,95 5,28 10,48 74,95
Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007
Perkembangan jumlah RTP, luas lahan yang dikuasai dan rataan luas penguasaan lahan di Indonesia, selama dua dasawarsa (periode 1983-
31
2003), memberikan sejumlah informasi (Tabel 6), diantaranya adalah: (a) jumlah RTP petani gurem meningkat secara konsisten, yaitu untuk RTP <0,10 ha sebesar 9,87 persen dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 2,03 persen; (b) jumlah RTP >2,0 ha (petani luas) menurun sebesar 2,19 persen namun luasan yang dikuasai sangat besar (mendekati 50,0 persen); (c) rataan luas lahan yang dikuasai petani gurem menurun, yaitu RTP < 0,10 ha sebesar 0,03 ha dan RTP 0,10-0,49 ha sebesar 0,21 ha; (d) rataan luas penguasaan lahan petani luas (periode 1993-2003) meningkat sebesar 0,46 ha; dan (e) RTP 0,50-0,99 ha, rataan luasan lahannya meningkat sebesar 0,34 ha dan RTP 1,00-1,99 ha sebesar 0,15 ha, sehingga secara umum distribusi penguasaan lahan antar kelompok petani nampak semakin timpang. Tabel 6. Jumlah RTP Pengguna Lahan Menurut Luas Lahan yang Dikuasai di Indonesia pada Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003. Lahan yang diusahakan
1983 1
1993 2
3
1
2003 2
3
1
2*)
3
<0,10
1.245.960 7,30
63.722 0,38
0,05
1.594.375 7,54
82.979 0,49
0,05
4.269.044 17,17
96.255 0,49
0,02
0,100,49
6.355.004 37,21
1.703.678 10,12
0,27
7.986.510 37,75
747.406 4,46
0,09
9.795.545 39,24
876.587 4,46
0,09
0,500,99
4.000.264 23,42
2.655.352 15,77
0,66
4.373.203 20,67
3.906.272 23,29
0,89
4.578.053 18,41
4.581.431 23,29
1,00
1,001,99
3.179.270 18,61
4.087.770 24,27
1,29
4.422.493 20,90
4.253.652 25,36
0,96
3.460.406 13,91
4.988.852 25,36
1,44
>2,00
2.298.818 13,46
8.331.72 49,47
3,62
2.779.390 13,14
7.784.770 46,41
2,80
2.801.627 11,27
9.130.287 46,41
3,26
17.079.316 100,00
16.842.248 100,00
0,99
21.155.971 100,00
16.774.170 100,0
0,79
24.868.675 100,00
19.673.412 100,00
0,79
Sumber : Badan Pusat Statistika 2004, diacu dalam Lokollo et al. 2007 Keterangan : 1=Jumlah RTP; 2=luas tanah yang dikuasai; 3=rata-rata luas tanah yang kuasai
3.3.
Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan yang diperoleh
dengan biaya yang dikeluarkan (Soekartawi, 1986). Besarnya pendapatan yang diterima merupakan imbalan untuk jasa petani dan keluarganya serta modal yang dimilikinya. Bentuk dan jumlah pendapatan memiliki fungsi yang sama, yaitu memenuhi keperluan sehari-hari dan memberikan kepuasan petani agar dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan juga untuk mencapai 32
keinginan-keinginan dan memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, pendapatan yang diterima petani akan dialokasikan pada berbagai kebutuhan. Analisa pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Soeharjo dan Patong (1973) mengutarakan tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usahatani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan. Bagi seorang petani, analisa pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Suatu usahatani dikatakan sukses, apabila pendapatan yang diperoleh memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (a) cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya angkutan dan biaya administrasi; (b) cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal; dan (c) cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah. Analisis pendapatan usahatani memerlukan informasi mengenai seluruh penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan (Soeharjo dan Patong, 1973). Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan dari perkalian antara jumlah produk yang dihasilkan dengan harga dari produk tersebut, sedangkan pengeluaran merupakan semua pengorbanan sumberdaya ekonomi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output dalam satu periode produksi. Penerimaan usahatani dapat berbentuk hasil penjualan tunai, produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan kenaikan hasil inventaris selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun. Sementara itu, bentuk pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan menggunakan uang tunai, seperti biaya pengadaan sarana produksi usahatani dan pembayaran upah tenaga kerja luar keluarga, sedangkan pengeluaran diperhitungkan adalah pengeluaran yang digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jika bunga modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan.
33
3.4.
Hubungan Penguasaan Lahan dengan Pendapatan Petani Studi Rasahan (1988) menunjukkan bahwa terdapat dua pola utama yang
mencirikan keadaan struktur dan distribusi pendapatan masyarakat perdesaan, yaitu: (1) Ada hubungan searah antara distribusi pendapatan dengan penguasaan lahan pertanian. Pola ini umumnya dikenal pada masyarakat agraris di mana sumberdaya lahan (land base agriculture) memegang peranan sangat dominan dalam menciptakan arus masuk pendapatan masyarakat perdesaan, hal ini tampak di perdesaan Jawa maupun luar Jawa. Dengan kata lain, ketimpangan maupun pemerataan distribusi pendapatan dapat dijelaskan atau terefleksikan pada ketimpangan
maupun
pemerataan
distribusi
penguasaan
lahan
ataupun
penggarapan lahan pertanian; dan (2) Ada hubungan terbalik antara konsentrasi pendapatan dengan konsentrasi penguasaan atau penggarapan lahan pertanian. Kegiatan atau usaha-usaha non-pertanian atau usaha non land base agriculture dilihat sebagai alternatif sumber pendapatan rumahtangga perdesaan. Usaha tersebut dapat memberikan bias negatif maupun positif terhadap distribusi masyarakat perdesaan. Bias negatif apabila kehadiran usaha non land base agriculture sebagai sumber kegiatan menghasilkan arus pendapatan yang justru memperburuk distribusi pendapatan, dan sebaliknya untuk bias positif. 3.5.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengusahaan Lahan Pengusahaan lahan sawah oleh petani padi dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang memiliki keterkaitan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Barlowe (1978) dengan teori lahannya mengutarakan faktor-faktor yang
mempengaruhi
peningkatan
penggunaan
atau
pengusahaan
lahan,
diantaranya adalah perkembangan teknologi, tingkat pendidikan, proporsi pendapatan usahatani terhadap penerimaan rumah tangga, jumlah tabungan, perkembangan usia, faktor alam dan dukungan kebijakan pemerintah. Rincian faktor-faktor pengusahaan lahan yang semakin menurun lebih mendalam lagi telah dipaparkan oleh Soekartawi (1986) mengenai faktor-faktor tingginya petani kecil (petani dengan pengusahaan lahan < 0,25 ha), baik di dunia maupun di Indonesia, diantaranya adalah; (1) umur petani yang sudah tua; (2) pendidikan petani yang sangat rendah; (3) Pengalaman petani yang rendah; (4) jumlah ahli waris lahan tinggi sebanding dengan tekanan jumlah tanggungan
34
keluarganya; (5) kekurangan modal kerja untuk usahatani; (6) jumlah tabungan kecil; (7) sulitnya memperoleh penggunaan lahan dari pihak lain; (8) sulitnya memperoleh pinjaman kredit modal kerja; (9) harga jual hasil panen tidak stabil; (10) jarangnya keikutsertaan petani dalam penyuluhan yang banyak memberi sumber informasi; (11) perkembangan teknologi yang buruk; (12) tidak mendukungnya kebijakan pemerintah; (13) tidak mendukungnya faktor alam. 3.6.
Kerangka Pemikiran Operasional Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap
impor beras dunia
merupakan salah satu alasan mengapa upaya peningkatan produksi beras nasional melalui program intensifikasi dan ektensifikasi perlu dilakukan. Di lain sisi, salah satu hambatan program intensifikasi maupun ekstensifikasi adalah adanya alih fungsi (konversi) lahan ke penggunaan non pertanian, padahal lahan merupakan faktor produksi utama dalam usaha pertanian. Oleh karena itu, upaya mengendalikan laju konversi sangat penting dilakukan agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan berasnya secara nasional. Selain adanya konversi lahan pertanian, ketersediaan gabah atau beras juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penguasaan lahan sawah oleh rumah tangga petani padi. Berdasarkan data hasil Sensus Pertanian 1993 dan 2003, perkembangan penguasaan lahan sawah per rumah tangga petani pengguna lahan (RTP) ternyata cenderung mengalami penurunan. Jumlah rumah tangga petani pengguna lahan yang < 0,49 ha mengalami peningkatan yang cukup besar. Jika pada tahun 1983 jumlahnya sebanyak 7,600,964 RTP, maka pada tahun 2003 jumlahnya menjadi 14,064,589 RTP. Dengan demikian kenaikan jumlah RTP luas lahan <0,49 ha selama 20 tahun sebesar 85,04 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui rata-rata kepemilikan lahan petani pada tahun 1983 sebesar 0,23 ha dan kepemilikan ini semakin kecil karena di tahun 2003 menjadi 0,07 ha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesejahteraan petani semakin berkurang. Fenomena semakin kecilnya kepemilikan lahan oleh petani diindikasikan hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Sukabumi. Selain itu, seringkali kecilnya kepemilikan lahan petani diikuti oleh timpangnya distribusi penguasaan lahan. Hal ini disebabkan karena terdapat sebagian kecil individu yang mempunyai akses untuk memiliki lahan dalam jumlah yang relatif luas. Sementara
35
itu, terdapat banyak masyarakat yang tidak memiliki akses untuk menguasai lahan. Ketimpangan yang terkait dengan lahan dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu ketimpangan penguasaan lahan, dan ketimpangan pengusahaan lahan. Indikator untuk melihat besar kecilnya ketimpangan adalah dengan cara melihat atau menghitung indeks Gini berdasarkan lahan milik, lahan yang dikuasai, dan lahan yang diusahakan oleh Rumah Tangga Petani. Penguasaan dan pengusahaan lahan merupakan konsep yang berbeda. Seorang petani dapat menguasai lahannya melalui cara : (1) memperoleh hak waris; (2) membeli; (3) menyewa; (4) menggadai; (5) menyakap; dan (6) meminjam. Petani yang memperoleh lahan melalui hak waris dan membeli selanjutnya mengusahakan lahannya hak miliknya disebut sebagai petani pemilik. Sedangkan petani yang menguasai lahan dengan menyewa, gadai, sakap, dan pinjam selanjutnya disebut petani penggarap. Tidak setiap lahan yang dimiliki dan dikuasai akan dimanfaatkan oleh petani untuk kegiatan produksi. Lahan yang dikuasai petani selanjutnya dimanfaatkan disebut dengan lahan yang diusahakan. Luas lahan yang diusahakan tidak akan melebihi luas lahan yang dikuasai petani. Oleh karena itu, indikator yang tepat untuk mengukur keragaan kesejahteraan petani adalah indikator pengusahaan lahan. Ketersedian lahan sawah disuatu wilayah dalam jangka panjang cenderung berkurang karena adanya alih fungsi dari lahan pertanian ke lahan non pertanian, sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan pembangunan diluar sektor pertanian. Meskipun demikian dalam jangka pendek ketersedian lahan sawah di suatu wilayah relatif tetap. Mengingat ketersediaan lahan relatif tetap, maka hal pertama yang menarik untuk dikaji adalah seberapa jauh ketimpangan lahan yang dikuasai dan diusahakan oleh petani yang terdapat disuatu wilayah. Dengan memahami ketimpangan dalam penguasaan lahan akan memudahkan untuk memberikan dugaan awal terhadap keragaan kesejahteraan petani. Ketimpangan dalam penguasaan lahan memberikan gambaran distribusi petani dalam menguasai lahan. Penguasaan lahan dikatakan timpang jika terdapat sebagian kecil petani menguasai lahan dalam jumlah banyak, atau terdapat sebagian besar petani menguasai lahan relatif kecil. Indikator ketimpangan yang digunakan untuk melihat
36
ketimpangan penguasaan lahan adalah indeks gini yang dikembangkan oleh Oshima pada tahun 1976. Pada wilayah yang penguasaan lahannya relatif timpang, karekteristik petani nya biasanya didominasi oleh penggarap dengan pengusahaan lahan yang relatif kecil. Besarnya penggarap disebabkan karena adanya tekanan permintaan penguasaan lahan oleh petani penggarap dan ketidakmampuan atau keterbatasan pemilik lahan untuk mengusahakan semua lahan yang dikuasainya. Akses untuk mengusahakan lahan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan penelitian terdahulu, faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengusahaan lahan adalah status penguasaan lahan (terdiri dari: kelompok status pemilik, kelompok status pemilik dan penggarap, serta kelompok status penggarap), umur, pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan keluarga, jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, jumlah hari kerja, jumlah organisasi yang diikuti, interaksi pertemuan di kelompok tani, hutang, aset, luas lahan sawah yang dikuasai, luas lahan milik, produktivitas padi, biaya usahatani, penerimaan usahatani, dan pendapatan usahatani. Umur petani diperkirakan akan mempengaruhi luasnya lahan yang diusahakan. Semakin tua umur petani, kekuatan fisiknya semakin berkurang, sehingga produktifitas dalam bekerja akan mengalami penurunan. Penurunan produktifitas yang dialami petani tua terlihat dari semakin (1) berkurangnya luas sawah yang diusahakan; (2) semakin sedikitnya curahan waktu berusahatani; (3) penyerahan pengusahaan oleh petani lain melalui mekanisme sewa, sakap dan gadai. Dengan demikian, umur petani diduga akan memiliki hubungan yang terbalik dengan penguasaan lahan. Jika semakin tua umur petani, maka semakin kecil penguasaan lahan petani; Pendidikan yang diterima petani diperkirakan akan mempengaruhi luas lahan yang diusahakan. Pendidikan yang diterima petani diperoleh melalui pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal terlihat dari kelulusan petani dalam menempuh jenjang pendidikan formal seperti SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi. Pendidikan non formal yang dimiliki petani dapat diperolah dari belajar terhadap orang tua atau masyarakat sekitarnya, belajar dari pengalaman, dan berbagai macam pelatihan yang pernah diikuti petani baik sendiri maupun melalui organisasi (kelompok tani). Pendidikan yang berhasil akan mempengaruhi
37
pola pikir dan prilaku petani yang tercermin dari ketekunan bekerja dan produktifitas petani. Dengan demikian, pendidikan diduga akan memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin lama petani mampu mengenyam pendidikan, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Pengalaman bertani diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas lahan sawah yang diusahakan. Lama pengalaman bertani dapat mempengaruhi petani dalam mengelola kegiatan usahatani yang dijalankan. Semakin lama pengalaman bertani, maka kemampuan petani dalam mengelola kegiatan usahataninya akan semakin baik. Dengan demikian, pengalaman bertani diduga memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin lama pengalaman bertani, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Jumlah tanggungan keluarga diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas lahan sawah yang diusahakan. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga petani, maka semakin banyak pengeluaran rumah tangga petani yang harus ditutupi. Pada kondisi demikian, petani akan berusaha untuk mengoptimalkan pendapatan rumah tangga melalui; (1) peningkatan pendapatan dari hasil pertanian; (2) meningkatkan pendapatan dari luar pertanian. Bagi petani padi, salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatannya adalah dengan cara meningkatkan luas pengusahaan lahan sawahnya. Jika hal ini sulit dilakukan maka petani akan berupaya untuk mengoptimalkan perolehan pendapatan dari luar usahatani.
Dengan demikian, mengingat ketersediaan lahan relatif terbatas,
jumlah tanggungan keluarga diduga memiliki hubungan yang terbalik dengan penguasaan lahan. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga petani, maka semakin kecil penguasaan lahan petani. Jumlah anggota keluarga yang bekerja di sektor pertanian diduga mempengaruhi terhadap luas sawah yang diusahakan. Anggota keluarga dalam rumah tangga petani terdiri dari kepala keluarga, istri dan anak. Semakin banyak jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian, maka ketersedian tenaga kerja keluarga semakin besar. Jika ketersediaan tenaga kerja ini diikuti dengan adanya akses terhadap pengusahaan lahan, maka luas pengusahaan lahan sawah akan mengalami peningkatan.
38
Jumlah hari kerja diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Semakin tinggi intensitas petani bekerja dan mengalokasikan waktunya untuk kegiatan usahatani padi, maka produktifitas petani dalam bekerja pun semakin tinggi dan petani semakin memiliki keinginan untuk semakin meningkatkan penguasaan lahannya. Dengan demikian semakin lama jumlah hari kerja, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Jumlah organisasi yang diikuti diperkirakan akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah petani. Jika semakin banyak jumlah organisasi yang diikuti petani, maka waktu yang tersedia bagi petani untuk melakukan aktivitas usahataninya pun semakin sedikit dan terhambat oleh berbagai kesibukan yang ditimbulkan karena aktivitas untuk memajukan semua organisasi tersebut. Oleh karena itu, petani akan menyewakan lahannya kepada orang lain agar lahan tersebut masih tetap bermanfaat. Dengan demikian, semakin banyak jumlah organisasi yang diikuti petani, maka semakin kecil luas penguasaan lahan petani. Interaksi pertemuan di kelompok tani diduga turut mempengaruhi luas pengusahaan lahan sawah. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin banyak informasi atau pengetahuan yang petani dapatkan agar aktivitas usahataninya semakin baik. Selain itu, akses petani untuk meningkatkan penguasaan lahannya pun lebih terbuka dibandingkan dengan petani yang jarang mengikuti pertemuan di kelompok tani, karena petani melakukan sosialisasi dengan banyak petani lainnya. Dengan demikian, interaksi pertemuan di kelompok tani diduga memiliki hubungan yang searah dengan penguasaan lahan. Semakin banyak interaksi pertemuan di kelompok tani, maka semakin luas penguasaan lahan petani. Hutang yang dimiliki petani akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Hutang merupakan jumlah kewajiban yang harus dibayarkan petani kepada pihak lain yang telah memberikan pinjaman. Dengan semakin banyaknya hutang, ketersedian kas untuk berusahatani semakin terbatas. Ketersedian kas yang terbatas akan mempengaruhi terhadap penggunaan teknologi. Seperti diketahui, untuk mendapatkan hasil panen yang baik, petani harus menggunakan benih yang bersertifikat, pupuk sesuai rekomendasi, obat obatan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman serta tenaga kerja yang
39
mampu melaksanakan tahapan proses budidaya dengan baik. Semuanya memerlukan ketersedian kas yang memadai untuk membeli input dan membayar upah tenaga kerja. Jika ketersedian kas berkurang, dan berimplikasi terhadap penggunaan input yang seadanya, maka produksi yang dihasilkan tidak akan optimal. Untuk mengatasi kurangnya ketersedian kas, banyak petani yang pada akhirnya terlilit hutang. Dengan demikian hutang akan mengakibatkan insentif dan posisi tawar petani menjadi berkurang. Bagi petani dalam kondisi ini, akan sulit untuk meningkatkan luas pengusahaan sawahnya. Aset yang dimiliki petani akan mempengaruhi terhadap
pengusahaan
lahan sawah. Aset merupakan jumlah kekayaan baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk benda berharga yang dimiliki petani. Semakin besar aset yang dimiliki petani, maka akses untuk menguasai lahan akan semakin besar. Dengan demikian semakin besar aset yang dimiliki petani, maka peluang petani untuk meningkatkan pengusahaan lahan sawahnya semakin besar. Luas lahan yang dikuasai akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Tidak setiap lahan yang dikuasai petani diusahakan semuanya. Luas lahan yang diusahakan tidak akan melebih luas lahan yang dikuasai. Dengan demikian semakin besar luas lahan yang dikuasai akan meningkatkan luas lahan yang diusahakan. Berdasarkan status penguasaan lahannya petani dapat dikelompok menjadi petani petani pemilik, petani penggarap dan petani pemilik, serta petani penggarap. Petani pemilik merupakan petani yang memiliki lahan sendiri, sedangkan petani penggarap merupakan petani yang mengusahakan lahan milik orang lain. Petani pemilik dan penggarap merupakan petani yang mengusahakan lahan milik sendiri dan lahan milik orang lain. Selama petani memiliki lahan sendiri, mereka akan mengusahakan lahan tersebut dengan baik. Dengan demikian semakin luas lahan hak milik yang dimiliki petani akan semakin luas pengusahaan lahannya. Produktifitas merupakan indikasi produksi yang dihasilkan petani per satuan lahan. Berdasarkan perhitungan nasional, rata rata produktifitas padi nasional sekitar 4,9 ton GKG/Ha. Produktivitas merupakan output dari proses budidaya. Jika tahapan budidaya dilakukan dengan baik, maka produksi yang dihasilkan akan baik juga. Produktivitas seorang petani dengan petani akan berbeda beda.
40
Ketersediaan gabah atau padi akan relatif besar bagi petani yang memiliki tingkat produktivitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan petani lainnya. Dengan demikian beras yang bisa dijual atau ditahan (stock untuk keperluan konsumsi dan jaga jaga) akan relatif lebih banyak. Dengan demikian pilihan untuk mengambil keputusan akan lebih leluasa, misalnya menjual semuanya atau menahan sebagian atau semuanya. Implikasi dari peningkatan produktivitas dapat direspon oleh petani pada jangka panjang dengan cara meningkatkan luas pengusahaan lahan sawahnya. Akan tetapi jika akses untuk meningkatkan luas pengusahaan terbatas, maka peningkatan produktivitas padi akan berpengaruh terhadap ketersedian beras di tingkat rumah tangga. Pendapatan yang diperoleh dari petani akan mempengaruhi terhadap luas pengusahaan lahan sawah. Semakin tinggi pendapatan, maka motivasi berusaha akan semakin tinggi. Jika hal ini diikuti oleh peningkatan modal usahatani, maka kemampuan petani untuk meningkatkan penguasaan lahannya semakin besar, akan tetapi jika dengan modal yang cukup, akses terhadap lahan masih sulit karena ketersedian lahan yang relatif terbatas, maka kelebihan modal usahatani akan dikonversi menjadi modal untuk usaha lainnya. Untuk mengetahui hubungan diantara faktor-faktor tersebut digunakan analasis korelasi dan regresi. Dengan analisis korelasi dapat diketahui besarnya hubungan diantara dua variabel. Sedangkan dengan analisis regresi dapat diketahui besarnya hubungan serta nyata atau tidaknya hubungan antara pengusahaan lahan dengan semua faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk mengetahui hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Di dalam analisis ini, petani dibedakan berdasarkan status penguasaan lahannya, yaitu petani pemilik, petani pemilik dan penggarap, serta petani penggarap. Kerangka pemikiran operasional hubungan pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi dapat dilihat pada Gambar 1.
41
Makin meningkatnya Rumah Tangga Petani, sementara penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian per keluarga petani semakin kecil, disertai dengan timpangnya kepemilikan lahan (ST 1983, 1993, 2003) 1) Bagaimana pola distribusi penguasaan lahan petani? 2) Apakah terdapat perbedaan pendapatan usahatani padi sawah berdasarkan status penguasaan lahan sawahnya? 3) Apakah terdapat hubungan antara pengusahaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi? 4) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengusahaan lahan sawah petani padi? Rumah Tangga Petani
Aktifitas Budidaya (on farm activities)
Lahan
Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Pertanian
1.
Struktur kepemilikan, penguasaan, dan pengusahaan lahan (Indeks Gini)
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Pengusahaan Lahan Pertanian
Status penguasaan lahan (terdiri dari kelompok status pemilik, pemilik dan penggarap, serta penggarap) Umur Pendidikan Pengalaman bertani Jumlah tanggungan keluarga Jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian Jumlah hari kerja Jumlah organisasi yang diikuti Interaksi pertemuan di kelompok tani Hutang Aset Luas lahan sawah yang dikuasai Luas lahan milik Produktivitas padi Biaya usahatani Penerimaan usahatani Pendapatan usahatani
Biaya Usahatani
Penerimaan Usahatani
Analisis pendapatan usahatani padi Analisis hubungan pengusahaan lahan sawah dan pendapatan usahatani padi (Analisa Regresi)
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi status pengusahaan lahan sawah petani padi (Analisis Korelasi dan Regresi) Rekomendasi
Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional hubungan penguasaan lahan sawah dengan pendapatan usahatani padi di Kelompok Tani Harum IV, Kelurahan Situmekar, Kecamatan Lembursitu, Kota Sukabumi Tahun 2011
42