III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah struktur pelaksanaan penelitian yang mengaitkan setiap tahapan pelaksanaan penelitian dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Penelitian ini diawali dengan menganalisis dampak positif dan negatif dari keberadaan kegiatan wisata alam, dampak yang akan dianalisis spesifik adalah dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan di tingkat lokal (masing-masing pulau). Penilaian dampak ekonomi meliputi dampak langsung, tak langsung dan lanjutan (induced) serta nilai pengganda (multiplier). Tahap selanjutnya adalah mengkuantifikasi nilai jasa lingkungan yang merupakan nilai guna langsung keberadaan sumberdaya (pulau) untuk kegiatan rekreasi alam. Nilai jasa rekreasi ini merupakan nilai surplus konsumen yang diperoleh dari fungsi permintaan rekreasi di masing-masing pulau. Selanjutnya, kedua hasil penelitian tersebut akan digabungkan sebagai bahan studi selanjutnya yaitu analisis kebijakan pengelolaan wisata bahari di Kepulauan Seribu. 3.1 Dampak Ekonomi Wisata Alam di Tingkat Lokal Kegiatan wisata alam yang terdapat di Kepulauan Seribu memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal (yang berdomisili di pulau). Semakin banyak wisatawan tentunya semakin banyak kebutuhan wisatawan yang harus dipenuhi. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya transaksi antara masyarakat lokal dengan wisatawan. Semakin tinggi transaksi maka semakin besar pengeluaran wisatawan (spending tourist) di lokasi objek wisata. Hal ini akan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar pulau yang membuka usaha terkait dengan kegiatan usaha. Beberapa fasilitas wisata yang diperlukan
wisatawan antara lain, adalah penginapan (homestay), konsumsi (catering), souvenir, jasa pemandu (guide), transportasi antar pulau dan lainnya. Kegiatan wisata bahari membawa dampak ekonomi yang terlihat jelas di sekitar pulau. Baik di wilayah Utara maupun Selatan, tingginya transaksi ekonomi berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal dan peningkatan pendapatan masyarakat. Secara ringkas, aliran pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian lokal dapat ditunjukkan pada Gambar 5. Selain itu, pembangunan sarana infrastruktur oleh pemerintah pun menjadi salah satu indikator terjadinya dampak ekonomi yang positif. Hingga saat ini upaya mengkuantifikasi dampak ekonomi di pada level mikro belum dilakukan. Penilaian dampak ekonomi dapat dilakukan dengan melakukan survei langsung kepada wisatawan, unit usaha penyedia fasilitas wisata, tenaga kerja lokal dan investor yang membuka usaha di lokasi penelitian. Estimasi dampak ekonomi dilakukan dengan menghitung aliran uang pada aktivitas yang dilakukan oleh para pelaku wisata. pengeluaran wisatawan
Penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata bahari (akomodasi, restoran, transportasi lokal, penyewaan alat)
supplier
tenaga kerja
investor
Sumber: Marine Ecotourism for Atlantic Area (2001).
Gambar 5. Aliran Pengeluaran Wisatawan pada Perekonomian Lokal
Informasi yang ditelusuri sangat terkait dengan hasil analisis yang diharapkan. Marine Ecotourism for Atlantic Area (META, 2001) memberikan panduan untuk analisis dampak ekonomi dari kegiatan wisata bahari. Analisis dampak ini dilakukan pada masing-masing kelompok pelaku kegiatan wisata. Kelompok pertama adalah unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Informasi penting terkait dengan dampak ekonomi, adalah: (1) proporsi perputaran uang yang berasal dari pengeluaran turis ke unit usaha tersebut, (2) proporsi kesempatan kerja yang diciptakan oleh unit usaha, apakah bersifat full time, part time, atau seasonal, (3) proporsi perputaran aliran uang terhadap tenaga kerja lokal, supplier, investor, pajak, (4) tipe dan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan, apakah berasal dari luar atau dalam wilayah, dan (5) rencana investasi ke depan. Sejumlah informasi tersebut memberikan estimasi mengenai dampak langsung (direct impact) dari pengeluaran wisatawan terhadap masyarakat lokal, estimasi biaya sumberdaya yang diperlukan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan serta estimasi rencana investasi ke depan. Kelompok kedua adalah pengusaha (investor). Informasi penting terkait dengan dampak ekonomi, adalah: (1) rencana investasi ke depan, (2) investasi alternatif yang sedang dilakukan saat ini, (3) jumlah tenaga kerja yang dapat direkrut, dan (4) faktor pendukung atau penghambat yang dirasakan dalam berinvestasi.
Sejumlah
data
tersebut
memberikan
informasi
mengenai
displacement effect dari kegiatan wisata di lokasi tersebut. Kelompok ketiga adalah tenaga kerja lokal pada unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Informasi penting terkait dengan dampak
ekonomi, adalah: (1) jumlah tenaga kerja di lokasi wisata, (2) jumlah jam kerja dan tingkat upah, (3) proporsi pengeluaran sehari-hari pekerja yang dilakukan di dalam dan luar wilayah, (4) kondisi pekerjaan sebelum bekerja di unit usaha saat ini, dan (5) pelatihan yang pernah diikuti. Sejumlah data tersebut memberikan estimasi mengenai efek tidak langsung (indirect impact) dan induced impact dari pengeluaran wisatawan serta displacement effect of employment dari kegiatan wisata. Kelompok terakhir adalah masyarakat lokal. Informasi penting terkait dengan dampak ekonomi adalah informasi mengenai manfaat dan biaya yang ditimbulkan dari kegiatan wisata tersebut, kebanggaan di tingkat masyarakat lokal, sejauh mana mereka menilai sumberdaya yang tersedia serta WTP untuk mencegah kedatangan wisatawan yang nilainya akan semakin meningkat jika masyarakat merasa dirugikan. Sejumlah data tersebut memberikan informasi mengenai manfaat dan biaya yang dirasakan masyarakat lokal dari kegiatan wisata. Dampak ekonomi pariwisata secara umum mengukur tingkat pengeluaran wisatawan pada unit usaha yang menyediakan produk dan jasa terkait kegiatan wisata. Informasi penting lainnya adalah estimasi jumlah kunjungan wisatawan pada periode tertentu misal per tahun. Estimasi ini tidak hanya terkait jumlah wisatawan namun juga rata-rata lama tinggal. Sehingga dapat terukur pengeluaran rata-rata wisatawan pada periode tertentu. Umumnya setiap negara memiliki data statistik mengenai hal ini. Tetapi untuk cakupan studi yang terbatas pada lokasi tertentu (seperti penelitian ini) maka informasi diperoleh melalui survei langsung kepada wisatawan.
Estimasi nilai aliran uang dari keseluruhan transaksi pada suatu lokasi wisata akan lebih lengkap jika turut pula dihitung nilai kebocoran ekonomi (leakage)
dan
nilai
pengganda
(multiplier)
ekonomi.
Nilai
kebocoran
menunjukkan sejumlah aliran uang yang dari pengeluaran wisatawan yang keluar dari perekonomian lokal atau tidak sampai ke masyarakat lokal. Semakin tinggi kebocoran maka dampak ekonomi yang diterima ditingkat lokal pun akan semakin rendah. Nilai multiplier ekonomi merupakan nilai yang menunjukkan sejauhmana pengeluaran wisatawan akan menstimulasi pengeluaran lebih lanjut, sehingga pada akhirnya meningkatkan aktivitas ekonomi di tingkat lokal. Menurut terminologi, terdapat tiga efek multiplier, yaitu efek langsung (direct effect), efek tak langsung (indirect effect) dan efek lanjutan (induced effect). Wells (1997) menyatakan multiplier ekonomi hanya akan tercipta pada lokasi wisata yang sumberdayanya belum dimanfaatkan secara optimal, misalnya masih terdapat pengangguran. Ketiga efek ini digunakan untuk menghitung ekonomi yang selanjutnya digunakan untuk mengetimasi dampak ekonomi di tingkat lokal. Terdapat banyak terminologi multiplier pariwisata, dimana setiap tipe memiliki arti tersendiri. Tourism Income Multiplier (TIM) merupakan terminologi yang paling banyak mendapat perhatian. TIM menunjukkan kaitan antara tambahan pengeluaran wisatawan dan perubahannya sebagai hasil dari tingkat pendapatan pada perekonomian. Sebagai respon terhadap multiplier pendapatan, lebih lanjut multiplier ini dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ortodox income multiplier (disebut juga ratio multiplier) dan unortodox income multiplier. Vanhove (2005) membedakan kedua tipe multiplier pendapatan tersebut
berdasarkan komponen pembagi dari pendapatan yang dihasilkan pada kegiatan pariwisata. Adapun teknik penghitungan dari masing-masing tipe multiplier adalah sebagai berikut: 1. Orthodox Income Multiplier a. Tipe I adalah (pendapatan langsung + tak langsung) / pendapatan langsung. b. Tipe II adalah (pendapatan langsung + tak langsung + induced) / pendapatan langsung. 2. Unortodox Income Multiplier a. Tipe I adalah (pendapatan langsung + tak langsung) / perubahan permintaan akhir (tambahan pengeluaran). b. Tipe II adalah (pendapatan langsung + tak langsung + induced) / perubahan permintaan akhir (tambahan unit pengeluaran). Banyak teknik yang digunakan untuk menghitung TIM. Salah satunya adalah penghitungan multiplier pendapatan (baik ortodox maupun unortodox multiplier) dengan formulasi persamaan multiplier keynesian tradisional, yaitu dengan rumus sebagai berikut (Vanhove, 2005):
k
1 1 .........................................................................(3.1) 1 c m 1 MPC
dimana: K = MPC = MPS =
multiplier pendapatan Marginal Propensity to consume Marginal Propensity to save
Selanjutnya perhitungan ini dilakukan tidak hanya melibatkan persamaan tabungan tetapi juga pajak dari pendapatan dan pengeluaran untuk impor. Sehingga persamaan di atas disempurnakan menjadi:
k k
MTR
1 ........................................(3.2) MPS {[1 - MTR - MPS]MPM}
MTR
1- L ........................................(3.3) MPS {[1 - MTR - MPS]MPM}
dimana: L = Leakage
Persamaan di atas sangat sederhana dan tidak dapat mengukur variasi bentuk dan keterkaitan antar sektor dan kebocoran dalam perekonomian. Copper (1998) menyatakan model keynesian yang lebih kompleks dan komprehensif sekalipun yang dibangun untuk sejumlah studi tidak akan mampu membuktikan tingkat yang lebih detail yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan. Selanjutnya mereka menyarankan penggunaan Model Ad Hoc. Model ini hampir sama dengan dengan prinsip pendekatan keynesian. Model ini cocok untuk analisis regional, dimana bila digunakan analisis input output yang lengkap akan sangat mahal dan tidak praktis. Model Ad Hoc adalah sebagai berikut:
A
1 …………………………………………………………..(3.4) 1 BC
dimana A: Proporsi tambahan pengeluaran wisatawan yang merupakan sisa ekonomi dari kebocoran putaran pertama, dimana A = 1-L B: Propensity konsumsi masyarakat lokal terhadap perekonomian lokal C: Proporsi pengeluaran masyarakat lokal yang terjadi sebagai pendapatan pada perekonomian lokal
Model lebih lanjut dari model Ad Hoc dibangun oleh Archer dan Owen (1971), menjadi: N
n
1
Q j K ij Vi . j 1 i 1
n
1 c
................................................................(3.5)
X i Z iVi i 1
dimana: j : I : Qj : Kji : Vi : Xi : Zi : C :
kategori wisatawan, j = 1 hingga n tipe unit bisnis, i = j = 1 hingga n proporsi pengeluaran wisatawan yang dibelanjakan oleh tipe turis ke j proporsi pengeluaran dari wisatawan ke j pada unit bisnis ke i pendapatan langsung dan tak langsung yang dihasilkan dari pengeluaran unit bisnis ke i proporsi pengeluaran total dari penduduk suatu wilayah pada unit bisnis ke i proporsi dari Xi yang terjadi di dalam area Marginal Propensity to Consume
Pengukuran TIM juga dapat dilakukan dengan analisis Input-Output (I-O) yang menyediakan pendekatan keseimbangan umum untuk mengukur dampak ekonomi yang lebih akurat dibandingkan pendekatan keseimbangan parsial, yang telah didiskusikan sebelumnya. Analisis I-O sangat sering digunakan untuk mengestimasi penciptaan pendapatan dan kesempatan kerja. Metode ini disebut paling baik namun diperlukan dukungan data sekunder yang lengkap. Sejumlah informasi dan teknik penghitungan di atas dapat digunakan untuk mengestimasi dampak ekonomi serta kebocoran yang terjadi di tingkat lokal (pulau). Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk mengidentifikasi produk yang dibutuhkan namun belum tersedia, besarnya permintaan akan barang tersebut dan manfaat apa yang akan diterima oleh masyarakat. Hal ini memungkinkan pengambil keputusan mampu menentukan prioritas pembangunan
input yang dibutuhkan wisatawan dan masyarakat lokal agar dampak ekonomi semakin meningkat. Dampak ekonomi terhadap kehidupan ekonomi masyarakat, khususnya pendapatan masyarakat lokal perlu diketahui dan dipahami. Hal ini merupakan indikator penting mengenai sejauhmana pengembangan wisata alam menguntungkan masyarakat sesuai dengan tujuannya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat setempat. 3.2 Pengukuran Economic Value Penilaian dampak ekonomi wisata alam berfokus pada kontribusi ekonomi kegiatan wisata pada suatu wilayah, namun penilaian ini tidak dapat menunjukkan nilai manfaat jasa lingkungan dari atraksi dan jasa wisata yang diberikan suatu sumberdaya. Khususnya pada kegiatan rekreasi yang tidak memiliki harga pasar (unpriced recreation), manfaat yang dirasakan wisatawan berguna untuk menilai jasa lingkungan yang juga merupakan nilai guna langsung keberadaan suatu sumberdaya untuk kegiatan non ekstraktif. Nilai manfaat jasa lingkungan yang dirasakan wisatawan dari keberadaan sumberdaya untuk wisata alam diwujudkan oleh keseluruhan kesediaan membayar (aggregate WTP) wisatawan untuk menikmati kegiatan rekreasi. WTP diekpresikan oleh pengeluaran wisatawan, namun pengeluaran wisatawan semata bukan merupakan penilaian yang tepat akan economic value suatu sumberdaya, karena sejumlah wisatawan membayar (melakukan pembelanjaan) lebih rendah dibandingkan kesediaan membayarnya (Dixon dan Sherman, 1990; Linberg, 1991). Perbedaan antara WTP wisatawan dengan pengeluaran aktual wisatawan disebut surplus konsumen (consumer surplus). WTP total atau total economic
value dari jasa lingkungan untuk kegiatan wisata adalah pengeluaran aktual wisatawan ditambah surplus konsumen. Surplus konsumen diperoleh dengan menganalisis permintaan wisata (fasilitas atau jasa rekreasi) terlebih dahulu. Permintaan individu terhadap suatu kunjungan rekreasi didasarkan pada harapan akan manfaat (benefit) dari kegiatan tersebut. Jika manfaat harapan lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan maka wisatawan tidak akan melakukan suatu perjalanan wisata. Sebaliknya ketika manfaat harapan lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan maka perjalanan wisata akan dilakukan dan wisatawan akan memperoleh manfaat bersih (net benefit). Manfaat bersih ini dalam literatur ekonomi dikenal sebagai surplus konsumen dan hal ini merepresentasikan suatu nilai (value) yang sangat berguna bagi penentu kebijakan, manajer dan pengambil keputusan yang berkaitan dengan kegiatan rekreasi dan industri wisata (Marsinko et al. 2002). Sejumlah metode telah dibangun untuk mengetimasi WTP dan surplus konsumen wisatawan serta telah diaplikasikan di sejumlah negara berkembang sejak tahun 1990. Metode yang umumnya digunakan adalah CVM yang merupakan metode langsung dan TCM sebagai metode tidak langsung. Khususnya TCM sering digunakan untuk mengestimasi nilai manfaat yang dirasakan pengguna dari suatu kawasan wisata seperti pantai, taman dan lokasi bersejarah (Liston dan Heyes, 1999). Dengan TCM pengeluaran wisatawan yang terkait dengan perjalanan rekreasi diperlakukan sebagai biaya perjalanan yang merupakan penjumlahan dari biaya yang dikeluarkan terkait dengan jarak tempuh dan nilai waktu selama berwisata (Englin dan Shonkwiler, 1995). Selanjutnya keseluruhan biaya yang
dikeluarkan untuk mencapai lokasi wisata menjadi suatu harga pengganti (surrogate price) yang dibayarkan oleh wisatawan kepada lokasi tersebut. Hal ini yang mendasari bahwa fungsi permintaan rekreasi merupakan estimasi terhadap surplus konsumen dari lokasi wisata dan beragam aktivitasnya dengan menghitung wilayah di bawah kurva permintaan dan di atas harga implisit (Freeman, 1993 dalam Iamtrakul et al. 2005) Asumsi yang mendasari TCM adalah biaya yang dikeluarkan untuk berpergian ke tempat rekreasi merefleksikan nilai dari lokasi rekreasi tersebut. Keputusan individu untuk melakukan perjalanan wisata sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung untuk kegiatan rekreasi dalam satu kali kunjungan. Biaya tersebut diperoleh dari penjumlahan dari biaya transportasi, biaya dokumentasi, biaya konsumsi selama di lokasi rekreasi, biaya menginap, biaya penyewaan peralatan dan biaya pembelian souvenir. Secara teori biaya perjalanan akan berpengaruh negatif pada permintaan rekreasi. Selain faktor biaya perjalanan, sejumlah faktor sosial ekonomi juga turut mempengaruhi permintaan rekreasi. Faktor sosial ekonomi tersebut diantaranya adalah pendapatan, pendidikan, usia, jarak dan keberadaan objek wisata substitusi. Umumnya model permintaan rekreasi konvensional hanya menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan rekreasi seperti biaya, waktu, jarak, pendapatan dan pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Garrod dan Kenneth (1999), dalam mengestimasi fungsi permintaan rekreasi pada sejumlah FRA di Malaysia. Model yang diduga dengan ITCM tersebut dirumuskan sebagai berikut: Vij f (C ij , E ij , Sij , Yi , A i , H i , N i , M i ) ....................................................(3.6)
dimana: Vij Cij Eij Yi Ai Hi Ni Mi
: Jumlah kunjungan yang dilakukan individu i ke lokasi j. : Biaya rekreasi yang dihabiskan individu i di lokasi j. : Perkiraan individu ke i terhadap waktu yang akan dihabiskan di lokasi j. : Pendapatan rumahtangga individu ke i. : Usia individu ke i. : Jumlah anggota keluarga individu ke i. : Jumlah rombongan ingdividu ke i. : Dummy, (D=1 jika individu ke i merupakan anggota outdoor organization dan D=0 sebaliknya).
Sementara Nam dan Tran (2001), juga membangun fungsi permintaan dalam mengestimasi fungsi permintaan rekreasi ke objek wisata terumbu karang di Vietnam. Model permintaan rekreasi yang dibangun dengan ITCM adalah sebagai berikut: Vi = f(TCi, Si) ........................................................................................(3.7) dimana Vi : Jumlah kunjungan individu i selama 1 tahun terakhir. TCi : Biaya perjalanan yang dikeluarkan. Si : Faktor-faktor lain yang mempengaruhi permintaan rekreasi ke lokasi tersebut, yang meliputi: pendapatan, biaya substitusi, usia, jenis kelamin, status pernikahan dan tingkat pendidikan. Selain dua model permintaan rekreasi di atas, model permintaan rekreasi pooled data formulasi dari Bockstael, Strand dan Hanemann (1987) sedikit berbeda. Model ini diterapkan untuk individu, yang mempunyai corner solution untuk pasar tenaga kerja dan formulasi konvensional biaya penuh untuk individu yang mampu mensubstitusikan dengan mudah antara waktu dengan pendapatan. Formulasi biaya penuh ini adalah pengeluaran out money of pocket ditambah pendapatan rata-rata aktual yang diaplikasikan terhadap waktu perjalanan. Individu dalam contoh dikategorikan dalam mampu atau tidak mampu
mensubstitusikan waktu dengan pendapatan. Model permintaan rekreasi formulasi McKean et al. (1995), adalah sebagai berikut: r = b0 + Dr {b1 (cr+ rI) + b2 (ca+ aI)} + b3I + Dd {b4cr + b5 + b6 dimana: r cr ca
a
r
+ b7DT} + ei..........................................................................(3.8)
: : : : r : a I : DT : ei : Dr : Dd
Jumlah kunjungan selama satu tahun. Biaya perjalanan ke lokasi. Biaya perjalanan lokasi substitusi. Waktu untuk melakukan perjalanan ke lokasi. Waktu perjalanan ke lokasi substitusi. Pendapatan. Waktu diskrit. Error term. Dummy, (D=1 jika individu memiliki karakteristik pasar tenaga kerja dalam keseimbangan dan D=0 jika sebaliknya). : Dummy, (D=1 jika individu terlihat memiliki karakteristik pasar tenaga kerja dalam ketidakseimbangan dan D=0 jika sebaliknya).
Permintaan rekreasi merupakan cerminan dari jumlah kunjungan rekreasi selama periode waktu tertentu, sebagai independent variable adalah biaya perjalanan ke lokasi, biaya perjalanan ke lokasi wisata substitusi (alternatif), waktu tempuh ke lokasi, waktu tempuh ke lokasi wisata alternatif, pendapatan dan jumlah hari libur (waktu diskrit). Kendala waktu dan biaya tidak dapat digabung menjadi satu untuk responden yang memiliki karakteristik pasar tenaga kerja dalam ketidakseimbangan, oleh karena itu waktu dan biaya muncul sebagai independent variable yang terpisah (Ward, 1983). Setelah persamaan di atas diregresikan maka nilai surplus konsumen akan diperoleh dengan menegatifinverskan koefisien biaya perjalanan (Hellerstein, 1993). 3.3 Analisis Kebijakan Pengelolaan Wisata Pengelolaan wisata alam tidak lepas dari prinsip ekonomi, konservasi dan pelibatan masyarakat lokal. Demikian halnya dengan pengembangan wisata
bahari di Kepulauan Seribu, masyarakat dipandang dapat terlibat dan menunjang kegiatan ini. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini diharapkan akan mampu memberikan tambahan pendapatan kepada masyarakat lokal secara memadai, di samping pendapatan dari sektor pembangunan lainnya. Pengembangan pariwisata idealnya akan menciptakan berbagai jenis lapangan pekerjaan bagi masyarakat pulau (in situ) maupun masyarakat di luar pulau. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pelibatan, partisipasi dan peran serta masyarakat setempat secara aktif didalamnya, sebab masyarakat lokal merupakan pemilik lokasi wisata tersebut dan umumnya kehidupannya masih tergantung dari potensi sumberdaya alam yang ada di sekitar pulau (natural endowment), di samping tingkat kehidupan sosial ekonominya masih sederhana sehingga perlu ditingkatkan. Guna meningkatkan dampak ekonomi, harus diupayakan sedemikian rupa agar terjadi peningkatan jumlah aliran uang yang berasal dari pengeluaran wisatawan. Oleh karena itu potensi, produk dan jasa yang ditawarkan terkait wisata alam harus terus ditingkatkan. Suatu potensi wisata (alam, budaya dan buatan) akan menjadi produk wisata setelah objek wisata dilengkapi dengan unsur aksesibilitas, amenitas dan hospitality yang menyatu dengan objek wisata. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sifat seasonal kegiatan wisata bahari, dimana terdapat kecenderungan jumlah kunjungan yang tinggi pada waktu-waktu tertentu, hal ini akan berdampak pada kondisi lingkungan (sumberdaya alam) dan juga pendapatan masyarakat. Antisipasi terhadap kedua dampak tersebut menjadi sangat penting guna memelihara keberlanjutan kualitas lingkungan (sumberdaya alam) yang merupakan modal kegiatan wisata serta guna
menjamin keberlanjutan dampak ekonomi di masyarakat lokal. Apabila hal ini terus berlangsung dalam kecenderungan pariwisata bahari yang makin cenderung menuju wisata massal, maka dampak negatif ini semakin tidak dapat dihindarkan. Pengembangan wisata pada suatu kawasan sering tanpa perencanaan yang matang. Akibatnya degradasi lingkungan dan perubahan sosial ekonomi budaya masyarakat lokal, tidak pernah secara metodologis dipertimbangkan, terlebih menjadi bagian yang menyatu dengan upaya pengelolaan kepariwisataan. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6, bahwa pariwisata dan modal memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan, sebaliknya kualitas lingkungan yang baik akan berpengaruh positif terhadap laju kegiatan wisata. Dieckmann (2002) dalam Fauzi (2005) juga menyatakan bahwa keberlanjutan suatu kegiatan wisata akan sangat tergantung pada tiga komponen, yaitu kondisi lingkungan (Environment, E), investasi yang ditanamkan (Capital, C) dan kegiatan wisata (Tourism, T).
T +
+
-
+ C
E -
Sumber: Dieckmann (2002) dalam Fauzi (2005).
Gambar 6. Interaksi Antar Komponen di Sektor Jasa untuk Pulau-Pulau Kecil
Pengembangan Wisata Alam Berbasis Masyarakat Lokal 1.
2.
Belum dilakukan analisis ekonomi komprehensif (economic impact asessment dan kuantifikasi economic value sumberdaya alam) Belum tersedia kebijakan pengelolaan
Jasa lingkungan
Aktivitas ekonomi berbasis pemanfaatan jasa lingkungan
Undervalue benefit
Dampak
Sosial
Lingkungan
Langsung
Sulit mengkuantifikasi manfaat sumberdaya
Valuasi ekonomi
Ekonomi
Tak-langsung
Non priced recreation
Stakeholder Analysis
Persepsi dan preferensi stakeholder
Induced
Penilaian dampak ekonomi
Kebijakan pengelolaan wisata alam
: tidak termasuk objek penelitian.
Gambar 7. Kerangka Pemikiran Penelitian Potensi wisata alam yang menjanjikan bagi pengembangan ekonomi suatu wilayah jika tidak dikelola dengan baik maka pelaksanaannya dapat mengancam kelestarian ekosistem dan pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan ekonomi di wilayah tersebut. Kebijakan pengelolaan wisata terkait dampak lingkungan dan
dampak ekonomi yang tercipta, tidak hanya memerlukan perencanaan dan perancangan, tetapi juga memerlukan cara pandang dan langkah-langkah strategis. Cara pandang ini harus mampu mengantisipasi perkembangan wisata bahari dalam perjalanan ruang dan waktu. Berbagai program partisipasi dan bantuan pembangunan terkait wisata bahari telah dikembangkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, namun hal tersebut tidak dapat berjalan tanpa peran serta dari pihak lain, seperti lembaga ilmiah, LSM, swasta (investor), wisatawan dan masyarakat lokal. Persepsi dan preferensi para stakeholder terhadap kegiatan wisata yang tengah berlangsung, penting untuk diketahui. Hal ini dilakukan terhadap kondisi lokasi, produk dan jasa wisata, fasilitas, infrastruktur, pengelolaan dan dampak lingkungan yang terjadi. Tentunya penilaian yang dihasilkan akan berbeda, karena tergantung pada kepentingan masing-masing. Informasi ini akan menjadi acuan dalam pengelolaan wisata agar upaya-upaya perbaikan prasarana serta peningkatan kualitas pelayanan dapat lebih terarah dan sesuai harapan berbagai stakeholder. Serangkaian informasi mengenai dampak ekonomi yang terjadi di masyarakat lokal, nilai manfaat yang dirasakan wisatawan, fungsi permintaan wisata ke lokasi wisata, persepsi dan preferensi para stakeholder serta informasi pendukung dari stakeholder terkait akan menjadi suatu informasi penting dalam upaya merumuskan suatu kebijakan pengelolaan wisata alam yang komprehensif. Berdasarkan penjelasan kerangka pemikiran di atas maka bagan kerangka pemikiran dari rencana penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 7.