III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Fungsi Produksi dan Keuntungan Fungsi produksi merupakan fungsi yang menggambarkan hubungan teknis antara input dan output (Debertin, 1986). Dalam proses produksi pertanian terdapat tiga kategori input, yaitu: (1) input variabel seperti: pupuk, pestisida dan tenaga kerja; (2) input tetap seperti luas lahan, dan (3) input acak seperti: curah hujan dan kesuburan lahan. Selanjutnya Fan (1991), Hartoyo (1994), serta Khatri dan Thirtle (1996) mengungkapkan bahwa produksi pertanian dipengaruhi oleh perkembangan teknologi,
infrastruktur (jaringan irigasi dan jalan) dan
kelembagaan. Selain itu, juga menambahkan input pengeluaran riset pada penelitiannya dengan pendekatan fungsi keuntungan. Menurut Lipsey, et.al., (1984) bahwa keputusan penggunaan faktor produksi tergantung pada penggunaannya dalam jangka pendek, jangka panjang, dan jangka sangat panjang. Dalam jangka pendek, faktor produksi terdiri dari faktor tetap dan faktor variabel. Dalam jangka pendek, paling sedikit terdapat satu faktor tetap dan teknologi tidak berubah. Untuk jangka panjang, semua faktor produksi adalah variabel, dan teknologi juga belum berubah. Sementara pada jangka sangat panjang, semua faktor produksi adalah variabel dan teknologi telah berubah. Apabila Y adalah produksi suatu komoditi, Xj adalah jumlah input variabel j, dan Zk adalah input tetap k, maka fungsi produksi pada keadaan teknologi tertentu dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = f (X j ; Zk ) ……………………………………………………..(1)
38
Jika diasumsikan dalam aktivitas usahatani bertujuan memaksimumkan keuntungan, maka dalam jangka pendek keuntungan merupakan selisih antara penerimaan total dikurangi dengan biaya variabel total (Debertin, 1984). Pada tingkat harga dan input tertentu, maka petani akan memaksimumkan keuntungan Π, yaitu sebagai berikut:
Dengan keterangan, P adalah harga output, R adalah harga input dan λ adalah lagrange multiplier. Keuntungan maksimal dicapai apabila terpenuhi dua syarat, yaitu: first order condition (syarat perlu) dan second order condition (syarat cukup) (Henderson and Quant, 1980). Syarat perlu dipenuhi jika turunan parsial terhadap Y, X dan λ sama dengan nol, yaitu sebagai berikut:
Untuk syarat kecukupan akan terpenuhi jika Hessian Determinant lebih besar dari nol. Jika syarat cukup terpenuhi, maka diperoleh Y, X dan sehingga menghasilkan keuntungan maksimal. Nilai output, input dan
optimal, yang
optimum merupakan fungsi dari Y = Y* (P, R; Z) …………………………………………………......(6) X= X* (P, R,;Z) ……………………………………………….……..(7)
39
Dengan mensubtitusikan persamaan (6), (7) dan (8) kedalam persamaan (2), maka akan diperoleh keuntungan maksimum dengan persamaan berikut:
Keuntungan tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi dari hargaharga output, harga-harga input variabel dan input tetap, yaitu dengan rumusan sebagai berikut:
3.2. Penawaran Output dan Permintaan Input Fungsi penawaran output dan permintaan input pada penelitian ini diturunkan langsung dari fungsi keuntungan. Dengan menggunakan prinsip Hotteling Lemma, turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga output merupakan fungsi penawaran output dan turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga input merupakan fungsi permintaan input. Menurut Lau dan Yotopoulus (1972) bahwa terdapat beberapa keunggulan menggunakan pendekatan dual (fungsi keuntungan), yaitu: (1) fungsi penawaran output dan permintaan input dapat diturunkan secara langsung dengan mudah, (2) penurunan fungsi penawaran output dan permintaan input dari fungsi keuntungan memberikan hasil yang sama jika fungsi tersebut diturunkan dari fungsi produksi, dan (3) analisis dengan menggunakan fungsi keuntungan dapat menghindari masalah bias pada persamaan simultan. Hal ini disebabkan karena pada fungsi keuntungan semua peubah eksogen terletak disebelah kanan dan peubah endogen terletak disebelah kiri persamaan. Berdasarkan uraian tersebut turunan parsial
40
persamaan (9) terhadap perubahan harga output dan harga input variabel adalah sebagai berikut:
3.3. Fungsi Keuntungan Trancendent Logaritma Kegiatan
usahatani
pada
dasarnya
merupakan
kegiatan
alokasi
sumberdaya, dimana keberhasilannya dapat diukur dengan berbagai cara penilaian. Penilaian tersebut antara lain dapat dilakukan dengan pendekatan fungsi produksi (Production Function Approach). Pendekatan dengan fungsi produksi memiliki kelemahan, yaitu menghasilkan parameter dugaan yang tidak konsisten karena adanya simultaneous equation bias. Okuruwa, et.al. (2009) menyebutkan bahwa berdasarkan studi-studi sebelumnya dengan menggunakan fungsi produksi dalam mengestimasi model ekonometrika menghadapi masalah simultaneous equation bias karena input level dalam fungsi produksi diperoleh sebagai peubah endogen. Menurut Zellner (1962) bahwa fenomena tersebut sebagai akibat dari adanya efek sinergi antar input-input produksi yang digunakan. Oleh karena itu, untuk menghindari simultaneous equation bias pada bentuk model fungsi produksi, maka perlu dilakukan modifikasi terhadap model fungsi produksi yang dibentuk. Modifikasi tersebut adalah berupa penggantian penggunaan ukuran input secara fisik sebagai peubah, yaitu dengan menggunakan ukuran (satuan) harga input yang dinormalkan dengan harga output sebagai peubah model. Model ini dikenal dengan fungsi keuntungan Unit Output Price (UOP), dimana harga
41
output berfungsi sebagai deflator terhadap peningkatan harga-harga input variabel dalam jangka pendek. Dalam penelitian empiris terdapat 2 model ekonometrika yang sering digunakan yaitu: fungsi keuntungan Translog dan Cobb-Douglas. Fungsi keuntungan Translog seperti telah digunakan antara lain oleh: Sidhu and Baanante (1981), Simatupang (1988), dan Adeleke, et.al. (2008). Seorang petani atau produsen menentukan keputusannya berdasarkan harga-harga yang terjadi. Dengan kata lain bahwa dengan anggaran atau pendapatan yang terbatas maka untuk pengambilan keputusan berproduksinya maka yang menjadi faktor penentunya adalah harga input dan harga output. Menurut Lau and Yotopaulus (1972), bahwa model fungsi keuntungan memiliki beberapa asumsi diantaranya: (1) petani dianggap sebagai unit analisis dan setiap petani individu mempunyai motif untuk memaksimumkan keuntungan, (2) petani dianggap sebagai price taker dan (3) fungsi produksi adalah concave dalam input variable. Produsen akan selalu menambah jumlah penggunaan suatu input, sepanjang penambahan input tersebut akan memperoleh tambahan keuntungan, atau penerimaan marjinal yang lebih besar daripada biaya marjinal. Dengan penambahan input tersebut berarti masih diperoleh tambahan keuntungan, atau keuntungan marjinal lebih besar dan nol. Dengan memodifikasi fungsi produksi maka akan diperoleh fungsi keuntungan. Jika sebuah perusahaan dianggap memiliki fungsi produksi: Y = f(X 1 ,X 2 , … Xn; Zj …Zm) atau Y = f(X; Z)…………….........(13) Dimana: Y= output; X 1.. Xn = input variabel; dan Zj = input tetap produksi
42
Keuntungan (π) didefinisikan yaitu: penerimaan total- biaya variabel total, maka :
π = Py.Y – P xi -X i
Produsen akan memaksimumkan keuntungan bila nilai penerimaan marjinal (NPM) = Biaya Korbanan Marjinal (BKM)/Marjinal Input Cost (MIC), sehingga:
i =1,..….,m Px* = Harga input variabel yang dinormalkan dengan harga output. Bila persamaan (2) dinormalkan dengan harga output, maka:
π* adalah fungsi keuntungan UOP (Unit Output Price). Berdasarkan persamaan
(4) maka akan diperoleh jumlah optimal
penggunaan input variabel yaitu sebagai fungsi yang dinormalisasikan terhadap harga input variabel dan jumlah input tetap.
Dalam jangka pendek, input
optimum tercapai bila: X* = fi (P Xi * ; Z j )……………..………………………………….(17) Sehingga dengan mensubtitusikan persamaan (5) ke (2) diperoleh:
Pada persamaan di atas, X i * adalah fungsi dari Px i * dan Zj, maka persamaan (17) dapat dituliskan sebagai berikut: π = P y G*( P X1 *,P X2 *,…., P Xm * ; Z 1,…. Z m )………………….(19)
43
dengan keterangan, yaitu: π = keuntungan P y = Harga output/unit Px i
=
Harga input variable ke –i / unit
Pada persamaan (7) jika dinormalkan dengan harga output, maka akan diperoleh:
Persamaan-persamaan di atas menggambarkan serangkaian hubungan transformasi dual yang menghubungkan fungsi produksi dan keuntungan. Berdasarkan teorema Hoteling Lemma maka diperoleh fungsi permintaan input (X i *) dan fungsi penawaran output (V* ) diperoleh dari fungsi keuntungan. Fungsi permintaan inputnya adalah:
Adapun fungsi penawaran outputnya adalah:
Fungsi Keuntungan Translog Berbagai studi telah banyak yang menggunakan model fungsi keuntungan translog seperti Sidhu and Baanante (1981), Simatupang (1988), Hartoyo (1994), dan Adeleke, et.al. (2008). Penelitian ini menggunakan model fungsi keuntungan translog dengan restriksi (pembatas) seperti dilakukan oleh Sidhu and Baanante (1981). Adapun model fungsi keuntungan translog yang digunakan sebagai berikut:
44
dengan keterangan yaitu: γ ih
= γ ih untuk seluruh h dan i dan fungsi bersifat homogeny berderajat satu terhadap seluruh harga input dan output.
π*
= keuntungan yang direstriksi (total revenue – total variabel cost) yang dinormalkan dengan harga output (P y )
Py
= harga output
P* i
= harga input variable Xi yang dinormalkan dengan harga output, P y
Zk
= input tetap, ke-k i = h = 1,2,3,…..,n ; j=1,2,3,….,m
ln
= natural logaritma
α 0 αi γ ih δ ik β k Φ kj = parameter dugaan Bila didefinisikan S i = P*i X i / π* sebagai rasio antara pengeluaran input variabel dengan keuntungan yang direstriksi, dan S v = V / π* antara penawaran output dengan keuntungan yang direstriksi.
sebagai rasio Sv adalah
ekuivalen dangan rasio nilai total dari output terhadap keuntungan yang direstriksi. Penurunan fungsi keuntungan translog (persamaan 23) terhadap ln P i dan ln P y memberikan fungsi pangsa biaya dan pangsa penerimaan. Karena S i =1 dan S v = 1, maka persamaan penawaran oputput dapat diabaikan dan yang dibutuhkan untuk persamaan ekonometrik hanya persamaan input variabel dan persamaan keuntungan translog.
45
Dari persamaan (23), maka dapat diturunkan menjadi persamaan pangsa (share) adalah:
Penentuan fungsi keuntungan (profit) dan fungsi share dari input variabel (fungsi pangsa biaya) dilakukan secara simultan. Harga input variabel dan jumlah (quantity) dari input variabel dinyatakan sebagai variabel eksogen. Berdasarkan persamaan (24) dapat diturunkan persamaan elastisitas permintaan input variabel.
3.4. Elastisitas Permintaan Input Menurut Pindyck and Rubinfeld (2005), elastisitas mengukur kepekaan satu variabel dengan variabel lainnya. Elastisitas permintaan karena harga merupakan perubahan persentase jumlah permintaan barang akibat kenaikan 1 persen pada harga barang tersebut. Elastisitas permintaan terdiri atas elastisitas permintaan harga sendiri (own elasticity = e ii ) dan elastisitas permintaan silang (cross Elasticity = e ih ). Elastisitas harga sendiri merupakan persen perubahan jumlah yang diminta terhadap persen perubahan harga (P i ). Sementara elastisitas permintaan harga silang adalah persen perubahan jumlah yang diminta (Q i ) terhadap perubahan harga barang lain (P h ). Berdasarkan persamaan pangsa biaya (24) dapat diturunkan persamaan permintaan input variabel ke – i yaitu:
46
a. Elastisitas permintaan input terhadap harga sendiri untuk Xi menjadi (eii):
Dimana: S*i = rata-rata (simple average) dari S i b. Elastisitas permintaan silang input i terhadap harga input lain ke-h (e ih ):
c.
Elastisitas permintaan input i terhadap harga output P y (e iy ):
dimana i = 1,2,…,n
h= 1,2,….,n
d. Elastisitas permintaan input i terhadap faktor tetap Zk (e ik ):
47
3.5. Elastisitas Penawaran Output Berdasarkan teori dualitas , maka persamaan elastisitas penawaran output (V) dapat dirumuskan sebagai berikut:
Elastisitas penawaran dapat diturunkan dari persamaan di atas, menjadi:
a. Elastisitas suplai (penawaran) terhadap harga input variable ke –i adalah:
Dimana i = h = 1,2,..…,n Selanjutnya untuk fungsi keuntungan translog, persamaannya menjadi:
b. Elastisitas penawaran terhadap harga sendiri sebagai berikut:
48
c. Elastisitas penawaran output terhadap input tetap Zk :
3.6. Pengaruh Perubahan Teknologi Produksi Teknologi produksi khususnya pada komoditas jagung terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi budidaya jagung serta semakin meningkatnya permintaan jagung untuk berbagai kebutuhan saat ini. Menurut Lipsey, et.al. (1984) bahwa terdapatnya inovasi atau teknologi baru akan menurunkan biaya, sehingga keuntungan akan naik. Pada suatu perusahaan persaingan sempurna, kondisi ini akan berlaku pada jangka pendek, karena dalam jangka panjang tidak ada larangan bagi perusahaan (produsen) lain masuk ke dalam industri. Terdapatnya perubahan teknologi diduga akan berpengaruh terhadap alokasi relatif penggunaan faktor produksi. Perubahan teknologi mempunyai pengaruh terhadap daya substitutif dari sesuatu faktor produksi tertentu terhadap faktor produksi lain. Kemampuan menggantikan faktor lain ini ditentukan oleh produktivitas sesuatu faktor relatif terhadap produktivitas faktor lain yang keadaan sekarang sudah berubah. Prof. Hicks membedakan tiga macam perubahan teknologi berdasarkan atas pengaruhnya terhadap kemampuan substitutif faktor produksi yang lebih padat modal, lebih padat karya (tenaga kerja) dan netral. Banyak bukti menunjukkan
49
bahwa perubahan teknologi sampai saat ini cenderung menambah kemampuan modal menggantikan kedudukan tenaga kerja dalam fungsi produksi sehingga kemajuan teknik biasanya selalu diasosiasikan dengan penggunaan tenaga kerja yang lebih sedikit. Kemajuan biasanya diukur dengan banyaknya produksi yang dihasilkan dari faktor produksi yang digunakan. Berdasarkan perubahan tingkat substitusi marjinal suatu input terhadap input lainnya, Weaver (1983) memformulasikan bias perubahan teknologi dalam bentuk persamaan:
dengan keterangan: Xi dan Xj merupakan input variabel i dan j, sementara Z merupakan peubah yang menggambarkan tingkat teknologi yang digunakan. Bila B hk > 0 artinya perubahan teknologi lebih menghemat Xi relatif terhadap Xj, dan sebaliknya bila B hk < 0 artinya perubahan teknologi lebih banyak menggunakan Xi relatif terhadap Xj. Selanjutnya bila B hk = 0 artinya perubahan teknologi bersifat netral.
3.7. Pengaruh perubahan Harga Output dan Input terhadap Penawaran (Produksi) 3.7.1. Pengaruh Perubahan Harga Output Kebijakan di bidang pertanian dapat meliputi kebijakan: harga, kebijakan pemasaran dan struktural. Kebijakan harga merupakan salah satu kebijakan yang dapat menjamin stabilitas harga input dan output serta mencegah agar pendapatan produsen tidak berfluktuatif antar musimnya (Mubyarto, 1989). Menurut Ellis (1992) bahwa terdapat beberapa instrumen dalam kebijakan harga yang dapat
50
berdampak pada stabilitas harga pertanian antara lain yaitu instrumen perdagangan seperti tarif/bea masuk impor, dan instrumen intervensi langsung seperti kebijakan harga dasar dan harga maksimum. Tidak seperti pada komoditas padi terdapat kebijakan harga dasar atau harga pokok pembelian pemerintah saat ini, maka pada komoditas jagung sejak tahun 1990 sudah tidak ada lagi pengaturan atas harga jagung melalui mekanisme harga dasar. Tidak diaturnya lagi harga dasar jagung, karena dinilai tidak efektif dan tataniaga jagung dibebaskan sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar. Dengan mekanisme pasar tersebut akan menciptakan kompetisi antar pedagang yang diharapkan bisa memberikan keuntungan bagi petani, mengingat permintaan jagung cukup tinggi sepanjang tahun. Petani sebagai produsen komoditas jagung, apabila menghadapi kenaikan harga jagung, ceteris paribus, maka jumlah jagung yang ditawarkan (diproduksi) akan meningkat. Sesuai teori mikroekonomi, jika terjadi perubahan harga komoditas sendiri (jagung), maka produksi hanya bergerak disepanjang kurva penawaran. Sementara jika terjadi perubahan harga komoditas lainnya (substitusi atau komplemen) atau terjadi perubahan biaya faktor produksi dan teknologi yang dapat menyebabkan kurva penawaran bergeser baik ke kiri maupun ke kanan. Menurut Lipsey, et.al. (1984) bahwa beberapa varibel yang mempengaruhi jumlah yang ditawarkan suatu produk adalah: harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, biaya faktor produksi, dan tingkat teknologi.
3.7.2. Pengaruh Perubahan Harga Input Kebijakan yang dapat menyebabkan perubahan harga input seperti kebijakan pengurangan subsidi pupuk dan subsidi benih. Kebijakan subsidi pupuk
51
telah dimulai sejak tahun 1960-an pada saat awal program Bimas sampai saat ini. Dalam lima tahun terakhir (2005-2009) secara besaran subsidi pupuk meningkat yaitu dari 0.90 triliun rupiah menjadi 16.46 triliun rupiah. Namun, meningkatnya jumlah besaran subsidi pupuk juga diiringi oleh meningkatnya jenis pupuk yang disubsidi dan juga biaya produksi pupuk. Jenis pupuk yang disubsidi tahun 2009 adalah pupuk: urea, SP36, ZA, NPK Phonska, NPK Pelangi, NPK Kujang dan pupuk organik (Nuryartono, 2009). Seperti halnya diketahui bahwa subsidi harga pupuk yang diberikan kepada petani selama ini bersifat tidak langsung, yaitu petani membayar harga pupuk dibawah harga pasar. Harga yang dibayar petani tersebut biasa disebut harga eceran tertinggi (HET). Selisih harga pasar dengan HET adalah subsidi, yang dibayarkan langsung kepada produsen pupuk.
Oleh karena itu, modus
subsidi harga pupuk semacam itu bisa disebut sebagai modus subsidi harga pupuk langsung ke produsen pupuk (Sudaryanto, 2001). Menurunnya subsidi pupuk terhadap suatu jenis pupuk tertentu yang menyebabkan HET (Harga Eceran Tertinggi) pupuk meningkat misalnya pupuk urea dan SP36, pada hakekatnya adalah sama dengan kenaikan harga pupuk urea dan SP36. Pada tahun 2005, HET pupuk urea dan SP36 masing-masing sebesar Rp 1 050/kg dan Rp 1 400/kg, kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi Rp 1 200/kg dan Rp 1 550/kg. Bahkan didaerah-daerah yang jaraknya jauh dan biaya transportasi mahal, harga eceran pupuk selalu diatas HET. Secara teoritis meningkatnya harga pupuk akan menyebabkan berkurangnya jumlah pupuk yang digunakan. Menurunnya penggunaan jumlah pupuk yang digunakan produsen (petani) akan menyebabkan menurunnya output yang dihasilkan
52
produsen. Hal ini juga berlaku bagi penggunaan input lainnya (Just, et.al., 1982; Pindyck and Rubinfeld, 2005). Pada pasar output, bahwa kenaikan harga input menyebabkan biaya produksi meningkat. Pada tingkat harga output yang konstan, maka produsen (petani) akan menyesuaikan output yang dihasilkannya agar memperoleh keuntungan maksimum yaitu dengan mengurangi jumlah output yang diproduksi.
3.8. Pengaruh Pengeluaran Riset dan Infrastruktur Jalan terhadap Produksi Jagung Menurut Lipsey, et.al. (1984) bahwa terdapatnya inovasi atau teknologi baru hasil penelitian akan menurunkan biaya, sehingga keuntungan akan naik. Terdapatnya perubahan teknologi diduga akan berpengaruh terhadap alokasi relatif penggunaan faktor produksi. Perubahan teknologi mempunyai pengaruh terhadap daya substitutif dari sesuatu faktor produksi tertentu terhadap faktor produksi lain. Kemajuan biasanya diukur dengan banyaknya produksi yang dihasilkan dari faktor produksi yang digunakan
Selanjutnya Hartoyo (1994)
mengemukakan bahwa pengaruh riset atau infrastruktur terhadap penawaran dapat melalui perubahan luas areal atau perubahan hasil per hektar (produktivitas). Peningkatan infrastruktur (riset dan jalan) dapat menyebabkan luas areal tanaman jagung meningkat. Selain itu, peningkatan infrastruktur tersebut juga dapat menyebabkan hasil per hektar jagung meningkat. Hasil penelitian Hartoyo (1994), bahwa peningkatan pengeluaran riset dan infrastruktur jalan memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan produksi pertanian pangan di Pulau Jawa.
53
Menurut Morlok (1995) bahwa perbaikan pelayanan transportasi di suatu daerah, misalnya melalui peningkatan jaringan jalan yang baik, akan memberikan dampak dalam hal peningkatan pola tata guna lahan, kualitas area, dan nilai lahan di area tersebut. Oleh karena itu, pengembangan sarana seperti jaringan jalan dalam suatu wilayah merupakan langka awal untuk menerima dan memperlancar barang/jasa sesuai dengan kebutuhan pada wilayah tersebut.
3.9. Daya Saing Komoditas Jagung Keunggulan komparatif merupakan indikator sangat baik untuk mengukur daya saing komoditas pertanian dari suatu negara jika pasar dalam kondisi efisien, yaitu pasar tanpa distorsi. Dari analisis keunggulan komparatif dapat diperoleh informasi lainnya yang sangat berguna bagi penentuan kebijaksanaan pemerintah, yaitu simpul-simpul atau subsistem-subsistem mana dalam sistem agribisnis yang masih dalam kondisi tidak efisien, sehingga dapat ditetapkan langkah-langkah menuju proses produksi, pengolahan dan pemasaran yang lebih efisien. Daya saing didefinisikan sebagai “the sustained ability to profitability gain and maintained market share” (Martin, et.al., 1991 dalam Rahman, et.al., (2002). Jelas bahwa usaha suatu komoditas mempunyai daya saing jika usaha tersebut mampu mempertahankan profitabilitasnya dan pangsa pasarnya. Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, input dan biaya, struktur industri dan kondisi permintaan. Selanjutnya menurut Martin, et.al., (2008) terdapat dua belas pilar dalam mendukung daya saing, yaitu: (1) kelembagaan yang ada, (2) infrastruktur, (3) stabilitas makroekonomi, (4) pendidikan dan kesehatan, (5) pelatihan dan pendidikan yang tinggi, (6) efisiensi pasar barang, (7) efisiensi pasar tenaga kerja, (8) pasar finansial yang memadai, (9) kesiapan
54
teknologi pendukung, (10) ukuran pasar, (11) kesesuaian bisnis/usaha, dan (12) terdapatnya inovasi atau temuan baru. Monke and Pearson (1995) mengemukakan bahwa untuk mengukur keunggulan kompetitif dapat didekati dengan cara menghitung profitabilitas privat, sedangkan untuk mengukur keunggulan komparatif dapat dilakukan dengan menghitung profitabilitas sosial. Menurut Hadi et.al. (2002) bahwa DRCR (Domestic Resources Cost Ratio) menggambarkan daya saing pada kondisi pasar yang efisien (tidak terdistorsi), sedangkan nilai PCR (Private Cost Ratio) menggambarkan daya saing pada kondisi pasar aktual. Kondisi pasar aktual bisa merupakan pasar yang terdistorsi atau pasar yang efisien. Jika kondisi pasar aktual adalah efisien, maka nilai DRCR dan PCR adalah kurang dari satu. Dalam kenyataannya, pasar tidak dalam kondisi efisien. Pasar domestik dan pasar internasional masih terdistortif yang ditandai oleh adanya kebijaksanaan protektif, misalnya adanya pengenaan tarif impor oleh suatu negara sehingga barang dari negara lain sulit masuk ke negara yang bersangkutan. Dalam kondisi pasar terdistortif, analisis keunggulan kompetitif akan memberikan gambaran tentang keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian dari suatu negara. Private Cost Ratio (PCR) berdasarkan kondisi pasar yang ada dapat digunakan sebagai salah satu indikator keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian dari negara tertentu. Sementara Domestic Cost Ratio (DRC) berdasarkan kondisi pasar yang efisien dapat digunakan sebagai salah satu indikator keunggulan komparatif suatu komoditas pertanian dari negara tertentu. Alat analisis ekonomi yaitu Policy Analysis Matrix (PAM) sebagaimana diperkenalkan oleh Monke and Pearson (1995), menunjukkan efek secara individu
55
maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor produksi, serta menyediakan informasi penting untuk analisis keuntungan biaya dari suatu usaha pertanian. Selain itu, model PAM juga dapat digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi atas penggunaan sumberdaya dan besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya terhadap suatu sistem pengembangan komoditas. Pada matrik analisis kebijakan (PAM) terdiri dari tiga baris, yaitu baris pertama merupakan perhitungan dengan harga privat atau harga aktual, yaitu harga yang diterima petani baik pada komponen penerimaan maupun biaya faktor produksi. Baris kedua merupakan perhitungan dengan harga sosial atau harga bayangan, yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya baik pada komponen penerimaan maupun biaya usahatani. Pada baris pertama dan kedua dapat hitung keuntungan masing-masing berdasarkan harga privat dan harga sosial, yaitu merupakan selisih antara penerimaan dan biaya. Pada baris ketiga merupakan selisih perhitungan antara harga privat dengan harga sosial (divergensi) yang disebabkan oleh kegagalan pasar komoditas atau akibat terdapatnya kebijakan pemerintah atas pengembangan suatu usaha pertanian atau komoditas tertentu. Apabila terdapat divergensi, dimana pengaruh akibat kegagalan pasar kecil, maka kebijakan pemerintahlah yang memiliki pengaruh besar terhadap divergensi tersebut. Pada matrik analisis kebijakan juga terdapat empat kolom, dimana kolom pertama adalah kolom penerimaan, kolom kedua dan ketiga adalah kolom biaya yang dapat dibedakan atas input yang tradabel (yang diperdagangkan di pasar internasional) dan input domestik (yang tidak diperdagangkan di pasar internasional), dan kolom keempat adalah keuntungan. Berdasarkan matrik
56
analisis kebijakan dapat diketahui berbagai indikator, yaitu: (1) analisis keuntungan, yang mencakup keuntungan privat dan keuntungan sosial, (2) analisis keunggulan komparatif dan kompetitif (DRC dan PCR), dan (3) analisis kebijakan terkait output dan input. Untuk analisis kebijakan terkait output dan input dengan indikator-indikatornya tidak dibahas pada penelitian ini. Pada penelitian ini, dilakukan analisis yang mencakup perhitungan keuntungan privat dan sosial, serta menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan indikator DRC dan PCR yang diperoleh dari matrik analisis kebijakan (Policy Analysis Matrix).
3.10. Hipotesis Dalam rangka mengarahkan dan mempermudah pencapaian tujuan maka disusunlah suatu hipotesis. Hipotesis pada hakekatnya merupakan jawaban sementara atas suatu tujuan penelitian. Maka dalam hal ini disusunlah beberapa hipotesis sebagai berikut: 1. Elastisitas permintaan input tidak responsif terhadap perubahan harga sendiri dan perubahan harga sendiri input berpengaruh negatif terhadap penggunaan input. Sementara elastisitas penawaran output (jagung) responsif terhadap perubahan harga sendiri dan perubahan harga sendiri output berpengaruh positif terhadap penawaran jagung. 2. Upaya peningkatan produktivitas
jagung
nasional dilakukan dengan
peningkatan pemakian variaetas unggul hibrida dan perbaikan teknik budidaya. Penggunaan benih jagung hibrida saat ini masih relatif terbatas, karena antara lain benihnya relatif mahal dan memerlukan alokasi input seperti pupuk yang tinggi (intensif). Dalam hal penggunaan pupuk, petani
57
sudah menjadi kebiasaan dalam usahatani. Proporsi biaya penggunaan pupuk terhadap total biaya usahatani nasional sekitar 16 persen. Oleh karena itu, diduga bahwa petani tidak lagi responsif terhadap perubahan harga pupuk. Dalam hal ini jika terjadi kenaikan harga pupuk dan benih diduga tidak menurunkan penawaran output (jagung). 3. Kebijakan peningkatan produksi jagung nasional memerlukan dukungan berupa
peningkatan
atau
perbaikan
infrastruktur
penunjang
seperti
infrastruktur jalan di daerah, untuk lebih meningkatkan pemasaran hasil pertanian dan memudahkan masuknya sarana usahatani ke sentra produksi. Pembangunan jalan semakin pesat terutama di Pulau Jawa pada era Orde Baru, namun saat era otonomi daerah pengembangan infrastruktur jalan mengalami stagnasi. Oleh karena itu, diduga bahwa perubahan infrastruktur jalan berpengaruh terhadap peningkatan penawaran output dan permintaan input usahatani jagung. 4. Untuk mendorong peningkatan produksi jagung, pemerintah secara kontinyu menyebarluaskan
berbagai
teknologi
hasil
riset
(penelitian)
dan
pengembangan seperti: benih jagung unggul, teknik budidaya jagung spesifik lokasi, dan penanganan sistem panen dan pasca panen yang lebih baik. Biaya pengeluaran riset dan pengembangan sangat tergantung dari ketersediaan anggaran pemerintah. Pada penelitian ini diduga pengeluaran untuk riset (penelitian) dan pengembangan
jagung (khususnya yang dilakukan oleh
pemerintah) memiliki pengaruh terhadap peningkatan penawaran output dan permintaan input usahatani jagung.
58
5. Semakin meningkatnya kebutuhan jagung, sementara produksi jagung dalam negeri belum memadai maka impor jagung masih cukup besar dilakukan. Oleh karena itu, peningkatan produksi jagung nasional memiliki urgensi penting sebagai substitusi impor. Pada penelitian ini dihipotesiskan bahwa usahatani jagung dilokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam analisis substitusi impor.