III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), istilah tataniaga dan pemasaran merupakan terjemahan dari marketing, selanjutnya tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan bergeraknya barangbarang dan jasa dari produsen sampai konsumen.
Dapat disimpulkan bahwa
tujuan akhir dari tataniaga adalah menempatkan barang-barang dan jasa ke tangan konsumen akhir. Mccharty dan Perceaunt Jr. (1986) dalam Sudiyono (2002) membagi pemasaran menjadi dua, yaitu pemasaran-makro (macro-marketing) dan pemasaran mikro (micro-marketing). Pemasaran mikro adalah kenampakan dari aktivitas – aktivitas untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan dengan mengantisipasi kebutuhan konsumen atau pelanggan dengan cara mengendalikan aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen atau pelanggan. Pemasaran makro merupakan proses sosial dimana terjadi pengaturan arus barang dan jasa ekonomis dari produsen dan konsumen melalui interaksi penawaran dan permintaan secara efektif dengan harapan mencapai tujuan masyarakat. Menurut Dahl dan Hammond (1977), tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah dan membentuk input atau produk mulai dari titik produsen sampai konsumen akhir. Serangkaian fungsi tersebut terdiri atas proses produksi, pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran oleh pedagang grosir, pedagang pengecer, sampai konsumen. Sedangkan menurut Kohls dan Uhls (1985), tataniaga merupakan suatu peragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai konsumen akhir. Ada dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam memandang tataniaga. Konsumen yang ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen yang ingin memperoleh penerimaan yang besar atas penjualan produk.
15
3.1.2 Konsep Saluran dan Lembaga Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Hal itu mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan pemilikan yang memisahkan barang atau jasa dari orang – orang yang membutuhkan atau menginginkannya. Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), saluran tataniaga terdiri dari pedagang perantara yang membeli dan menjual barang dengan tidak memperdulikan apakah mereka memiliki barang dagangan atau hanya bertindak sebagai agen dari pemilik barang. Panjang atau pendeknya saluran tataniaga yang dilalui oleh suatu komoditi bergantung pada beberapan faktor, yaitu : 1.
Jarak antara produsen dan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh komoditi tersebut.
2.
Sifat produk. Produk yang cepat atau mudah rusak harus segera diterima konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat.
3.
Skala produksi. Jika produksi berlangsung dalam ukuran – ukran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil, sehingga akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjual ke pasar. Hal ini berarti membutuhkan kehadiran pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui komoditi akan cenderung panjang.
4.
Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga karena akan dapat melakukan fungsi tataniaga lebih banyak dibandingkan dengan pedagang yang posisi keuangannya lemah. Dengan kata lain, pedagang yang memiliki modal kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga. Dalam prosesnya, dalam tataniaga terdapat berbagai pelaku ekonomi yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung, keterlibatan ini dilakukan dengan melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dengan mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai
16
pihak konsumen. Sehingga dapat dikatakan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan fungsi tataniaga adalah termasuk dalam bagian lembaga tataniaga, baik itu bentuknya kelompok ataupun perorangan. Menurut Sudiyono (2001), lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir
serta mempunyai hubungan dengan badan
usaha atau individu lainnya. Lembaga pemasaran ini adalah lembaga yang akan menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Aliran produk pertanian dari produsen ke konsumen akhir disertai peningkatan nilai guna komoditi-komoditi pertanian akan ada apabila lembaga pemasaran ini menjalankan fungsi-fungsi pemasarannya. 3.1.3 Konsep Fungsi Tataniaga Menurut Kohls dan Uhl (1985), fungsi tataniaga dikelompokan menjadi 3 fungsi utama yaitu : (1) fungsi pertukaran; (2) fungsi fisik; (3) fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran merupakan kegiatan untuk memperlancar pemindahan hak milik atas barang dan jasa dari penjual kepada pembeli. Adapun fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Kegiatan fungsi penjualan ini diperlukan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa sesuai dengan yang diinginkan konsumen baik dilihat dari jumlah, bentuk, dan mutunya. Sedangkan kegiatan fungsi pembelian diperlukan untuk menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhan baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk kebutuhan produksi dengan cara menentukan jenis, jumlah, kualitas, tempat pembelian serta cara pembelian barang atau jasa yang akan dibeli. Fungsi fisik merupakan seluruh kegiatan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Fungsi – fungsi fisik dari tataniaga yaitu fungsi penyimpanan yang bertujuan agar komoditas selalu tersedia pada saat dibutuhkan, fungsi pengangkutan yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan permintaan, dan fungsi pengolahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang yang bersangkutan baik dalam
17
rangka memperkuat daya tahan barang tersebut maupun dalam rangka peningkatan nilainya. Fungsi fasilitas adalah segala kegiatan yang memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari empat fungsi utama, yaitu: (1) fungsi standarisasi dan grading, dimana standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran atau kriteria tertentu, sedangkan grading adalah tindakan mengklasifikasikan hasil – hasil pertanian menurut suatu standarisasi yang diinginkan sehingga kelompok barang yang terkumpul sudah menurutsatu ukuran standar; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut; (3) fungsi penanggungan resiko, merupakan penanggungan resiko terhadap kemungkinan kehilangan selama proses tataniaga akibat resiko fisik maupun resiko ekonomi atau pasar; (4) fungsi informasi pasar, fungsi ini meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut. 3.1.4 Konsep Margin Tataniaga Margin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima produsen. Dapat dikatakan pula sebagai nilai dari jasa – jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Kohls dan Uhl (1985) mendefinisikan margin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Menurut Sudiyono (2002), dalam teori harga dianggap produsen bertemu langsung dengan konsumen, sehingga harga pasar yang terbentuk merupakan perpotongan antara kurva penawaran dan kurva permintaan. Realita tataniaga pertanian sangat jauh dari anggapan ini, sebab komoditi pertanian yang diproduksi di daerah sentra produksi akan dikonsumsi oleh konsumen akhir setelah menempuh jarak yang sangat jauh, antar kabupaten, antar propinsi, antar Negara, bahkan antar benua, baik komoditi pertanian segar maupun olahan.
Dengan
demikian sebenarnya jarang sekali produsen melakukan transaksi secara langsung dengan konsumen akhir. Oleh karena itu digunakan konsep margin tataniaga.
18
Menurut Dally (1958) dalam Sudiyono (2002), margin pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Menurut Dahl dan Hammond (1977), margin tataniaga adalah perbedaan harga antara harga di tingkat petani ( Pf ) dengan harga di tingkat pengecer ( Pr ), dimana margin tataniaga tersebut ditunjukkan oleh perbedaan atau jarak vertikal antara kurva permintaan atau kurva penawaran. Dari beberapa ! definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa komponen margin pemasaran terdiri dari ! berbagai biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lemabaga tataniaga dalam melaksanakan fungsi tataniaga yang dijalankannya dan keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga. P
Sr
Sf
Pr Dr
Pf Df Qr.f Keterangan : Pr Pf Sr Sf Dr Df Qr.f (Pr – Pf) (Pr – Pf)Q
Q
= Harga di tingkat pengecer = Harga di tingkat petani = Penawaran di tingkat pengecer = Penawaran di tingkat petani = Permintaan di tingkat pengecer = Permintaan di tingkat petani = Jumlah Barang = Margin tataniaga = Nilai margin tataniaga
Gambar 1. Margin Tataniaga Sumber : Dahl dan Hammond (1977)
19
Perpotongan antara kurva permintaan tingkat petani (Df) dengan kurva penawaran tingkat petani (Sf) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat petani, yaitu harga pada tingkat Pf. Dalam artian bahwa harga tersebut (Pf) merupakan harga riil yang diterima oleh petani untuk pembayaran hasil panen usahataninya. Perpotongan antara kurva permintaan tingkat pengecer (Dr) dengan kurva penawaran tingkat pengecer (Sr) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat pengecer, yaitu harga pada tingkat Pr. Dengan kata lain, harga yang terbentuk (Pr) merupakan harga riil yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir untuk memperoleh produk tersebut. Selisih antara tingkat harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang harus dibayarkan konsumen akhir (Pr) adalah margin tataniaga. Margin tataniaga yang terbentuk ini adalah cakupan total dari keuntungan yang diterima oleh seluruh lembaga tataniaga dan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Biaya pemasaran yang terbentuk merupakan sebuah biaya yang dikeluarkan dalam usaha-usaha untuk memberikan nilai tambah pada produk yang diperdagangkan, maupun biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan kegunaan tempat kepada produk yang diperdagangkan. 3.1.5 Konsep Farmer’s Share Farmer’s Share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menetukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan produsen. Kohls dan Uhls (1985) mendefinisikan farmer’s Share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan produk. Farmer’s Share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Farmer’s Share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya transportasi (Kohls dan Uhls, 1985). Nilai farmer’s Share ditentukan oleh rasio harga yang diterima petani / produsen (Pf) dan harga dibayarkan oleh konsumen (Pr) yang dinyatakan dalam persentase. Farmer’s Share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak
20
menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produk mereka. 3.1.6 Konsep Struktur Pasar Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, (4) tingkat informasi yang dimiliki partisipan (penjual dan pembeli) dalam tataniaga, misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antara partisipan. Berdasarkan strukturnya, pasar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pasar bersaing sempurna dan tidak bersaing sempurna (Kotler, 2003). Pasar dapat digolongkan ke dalam struktur pasar bersaing sempurna jika memenuhi cri – ciri antara lain : terdapat banyak penjual dan pembeli, harga ditentukan melalui mekanisme pasar, baik penjual dan pembeli bertindak sebagai price taker, produk homogen dan penjual maupun pembeli bebas keluar masuk pasar. Menurut Dahl dan Hammond (1977), pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu konsumen dan produsen. Dari sisi pembeli terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni, sedangkan dari sisi produsen terdiri atas persaingan monopolistik, monopoli, duopoli, oligopoli, dan sebagainya. Karakteristik masing – masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 5.
21
Tabel 5. Karaktersitik Struktur Pasar Karateristik No. Jumlah Penjual
Jumlah Pembeli
1.
Banyak
Banyak
2.
Banyak
3.
Sifat Produk
Pengetahuan Informasi Pasar
Hambatan Keluar Masuk Pasar
Homogen
Sedikit
Rendah
Banyak
Diferensiasi
Sedikit
Tinggi
Sedikit
Sedikit
Homogen
Banyak
Tinggi
4.
Sedikit
Sedikit
Diferensiasi
Banyak
Tinggi
5.
Satu
Satu
Unik
Banyak
Tinggi
Struktur Pasar Sisi Penjual Sisi Pembeli Persaingan murni Persaingan Monopolistik Oligopoli murni Oligopoli diferensiasi Monopoli
Persaingan murni Persaingan Monopolistik Oligopsoni murni Oligopsoni diferensiasi Monopsoni
Sumber : Dahl dan Hammond, 1977
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Subsektor peternakan ikut berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi masyarakat dalam penyediaan kebutuhan akan protein hewani, khususnya daging sapi. Daging sapi merupakan kebutuhan kedua terbesar setelah daging ayam yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Daging sapi juga menjadi penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap total permintaan masyarakat akan daging. Pemerintah juga telah mengupayakan program swasembada daging pada tahun 2010 dengan target kebutuhan daging sapi bagi masyarakat sudah dapat dipenuhi dari dalam negeri minimal sebesar 90 persen. Namun tingginya peningkatan konsumsi daging sapi tidak dikuti oleh laju produksi sapi potong yang tinggi sehingga saat ini terjadi gap yang cukup besar, dimana konsumsi secara nasional jauh lebih tinggi dari produksi nasional. Nilai gap antara konsumsi dan produksi pada tahun 2008 mencapai angka 39,2 ribu ton. Hal tersebut menyebabkan pemerintah melakukan impor daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging. Salah satu cara dalam mengatasi gap tersebut disamping impor yang dilakukan pemerintah, adalah dari sektor swasta. Peran tersebut adalah dengan melakukan usaha penggemukan sapi dengan sistem feedlot yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. PT. Kariyana Gita Utama (KGU) merupakan perusahaan pelopor di bidang penggemukan sapi potong (feedlot) di Indonesia, dimana perusahaan telah lama dan berhasil membentuk pola tataniaga serta berkerja sama dengan lembaga tataniaga yang turut menyalurkan produk yaitu sapi potong. Saat ini PT. KGU
22
menyalurkan kebutuhan konsumen akan ternak sapi potong untuk wilayah Sukabumi, Bogor, Cibinong, Cianjur, Bandung, dan Jakarta. Dengan kapasitas yang dimiliki PT. KGU dan kondisi pasar saat ini, dimana terjadi gap antara konsumsi dan produksi, perusahaan seharusnya memiliki posisi tawar yang cukup tinggi dalam pasar sapi potong. Dengan kekuatan yang dimiliki tersebut, menarik untuk dikaji apakah hal tersebut berpengaruh terhadap pola pemasaran dan perilaku pasar yang terbentuk. Dalam memahami sistem tataniaga sapi potong di Indonesia, maka dilakukan analisis tataniaga sapi potong di PT. KGU, Cicurug, Sukabumi. Langkah awal yang dilakukan dalam menganalisis sistem tataniaga ini adalah dengan mengidentifikasi dan menganalisis pola saluran tataniaga yang dilalui sapi potong dari perusahaan hingga ke konsumen yaitu di level pedagang pengecer. Setelah itu, dilakukan analisis terhadap lembaga tataniaga yang terlibat dalam setiap saluran tataniaga tersebut berserta fungi – fungsi tataniaga yang dilakukan. Struktur pasar sapi potong dapat dilihat dari struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga. Perilaku pasar dapat dianalisis dari pola tingkah laku dari lembaga tataniaga khususnya dalam praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat diukur dari sebaran biaya dan harga pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam setiap pola saluran tataniaga, dimana efisiensi tataniaga ini sangat dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar yang terbentuk. Analisis efisiensi sistem tataniaga dilakukan secara kuantitatif. Pendekatan analisis efisiensi tataniaga dengan menggunakan marjin tataniaga, bagian harga yang diterima perusahaan, dan rasio keuntungan biaya. Secara ringkas kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.
23
• • • •
Potensi Sapi Potong Kontribusi terhadap PDB besar Kebutuhan akan protein hewani Konsumsi daging nasional tinggi Permintaan daging belum terpenuhi
Permasalahan Sapi Potong • Gap produksi dan konsumsi nasional • Penurunan Laju pertumbuhan produksi • Impor daging segar dan bakalan sapi Penggemukan Sapi Potong
Saluran tataniaga -
Identifikasi saluran tataniaga Volume penjualan per saluran
Lembaga dan Fungsi Tataniaga - Identifikasi pihak yang terlibat - Fungi fisik, pertukaran, fasilitas
Marjin Pemasaran -
Harga beli Harga jual Biaya pemasaran
Farmer’s Share - Harga produsen - Harga pengecer
jual jual
Struktur Pasar -
Market share Pembentukan Harga
Saluran Tataniaga Sapi Potong yang Efisien Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional
24