III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis berisi teori-teori dan konsep yang berkaitan dengan penelitian analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jambu biji. kerangka teoritis terdiri dari konsep daya saing, keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, dampak kebijakan pemerintah, dan matriks analisis kebijakan. 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional, komoditi tersebut diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak,1992). Konsep daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith dengan teori keunggulan absolut. Teori tersebut menjelaskan bahwa apabila suatu negara memproduksi suatu komoditi lebih efisien dan kurang efisien dalam memproduksi komoditi kedua (alternatif) dari negara lainnya, maka keuntungan dapat diperoleh dengan melakukan spesialisasi dalam meproduksi komoditi unggulan tersebut. Teori Adam Smith tersebut diperluas oleh David Ricardo yang dipopulerkan melalui bukunya Principles of Political Economy and Taxation, yaitu teori keunggulan komparatif (Hadi, 2004). 3.1.2. Keunggulan Komparatif David Ricardo pertama kali memperkenalkan konsep keunggulan komparatif pada awal abad ke 19 dengan hukum keunggulan komparatif yang
20
menyatakan bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam sesuatu dan memperoleh manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang lain (Lindert dan Kindleberger, 1995). Sementara Hadi (2004) mengemukakan bahwa menurut teori keunggulan komparatif berdasarkan faktor efisiensi tenaga kerja, suatu negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengimpor barang di mana negara tersebut relatif kurang efisien dalam berproduksi. Heckscher-Ohlin kemudian mengembangkan teori keunggulan komparatif Ricardo dengan menyatakan bahwa negara-negara mengekspor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang melimpah secara intensif dan mengimpor barang-barang yang menggunakan faktor produksi yang langka secara intensif. Biaya untuk faktor-faktor produksi diterangkan dengan Teori Biaya Alternatif (Opportunity Cost Theory), bahwa biaya dari suatu komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan agar diperoleh faktor-faktor produksi atau sumber produksi yang memadai untuk menghasilkan satu unit tambahan dari komoditi pertama. Suatu negara dikatakan mempunyai keunggulan komparatif dalam suatu komoditi bila biaya alternatif yang dikeluarkan lebih rendah dari biaya untuk komoditi lain. Menurut teori Heckscher-Ohlin, perbedaan opportunity cost suatu produk antara satu negara dengan negara lain dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara (Hadi, 2004). Schydlowsky (1984) dalam Aulinuriman (1998) menyebutkan beberapa faktor yang memengaruhi keunggulan komparatif, diantaranya:
21
1) Perubahan keadaan ekonomi dunia Dilihat dari sisi keunggulan komparatif, tingkat harga yang terjadi adalah apabila suatu negara dapat membeli atau menjual pada pasaran dunia. Hargaharga ini akan berubah setiap waktu dan tempat selain pengaruh inflasi dunia. Perubahan harga dunia merupakan unsur penting dalam perubahan keunggulan komparatif. 2)
Lingkungan domestik Salah satu unsur yang terpenting dari keunggulan komparatif adalah biaya
faktor produksi. Biaya tidak mungkin tetap setiap waktu. Mulai dari perubahan sumberdaya yang ada, misalnya proses kenaikan penyimpanan modal fisik dan manusia, proses reproduksi yang mengubah persediaan tenaga kerja dan kemudian memengaruhi perhitungan harga bayangan. Harga bayangan merupakan bagian dari faktor domestik yang hakikatnya merupakan komponen yang dinamis dari keunggulan komparatif. 3)
Perubahan teknologi dan efisiensi dalam transportasi Perubahan teknologi setiap saat akan berpengaruh pada penggunaan input
dalam usaha menghasilkan suatu output. Keadaan ini akan mengubah penggunaan biaya sumberdaya domestik dalam aktivitas tersebut. Teknologi yang lebih tinggi akan menghemat dalam penggunaan faktor domestik. Selain itu biaya transportasi yang efisien juga berpengaruh dalam biaya yang digunakan. 3.1.3. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif merupakan ukuran daya saing suatu komoditi pada kondisi harga aktualnya (harga pasar), yaitu tingkat harga yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Warr (1994) dalam Aulinuriman (1998) menerangkan
22
bahwa konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan konsep yang sifatnya menggantikan konsep keunggulan komparatif, tetapi merupakan konsep yang sifatnya melengkapi. Keunggulan kompetitif dapat diartikan sebagai keunggulan komparatif dengan distorsi pasar yaitu adanya sistem pemasaran dan intervensi pemerintah. Apabila keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang relevan bagi suatu negara, maka keunggulan kompetitif merupakan ukuran daya saing untuk suatu perusahaan individu. Teori keunggulam kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter (1990) sebagai perluasan dari teori keunggulan komparatif. Menurut Porter keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitas. Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalan peningkatan daya saing selain faktor produksi (Lindert dan Kindleberger, 1995). Keunggulan dapat diciptakan antara lain melalui implementasi kebijakan pemerintah. 3.1.4. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah bertujuan meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam keadaan perdagangan bebas (harga sosial) (Hidayat, 2009). Ada dua bentuk kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan pada suatu komoditi, yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi dibedakan menjadi dua, yaitu subsidi
23
positif dan subsidi negatif (pajak),sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Monke dan Pearson (1989) menjelaskan tentang kebijakan harga (price policies) dibagi menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrumen (subsidi atau kebijakan perdagangan), penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh (produsen dan konsumen), dan tipe komoditi (impor atau ekspor). Tabel 5. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Harga Komoditi Dampak pada Dampak pada Instrumen Produsen Konsumen Kebijakan Subsidi Subsidi pada Produsen Subsidi pada Konsumen a. Tidak mengubah a. Pada barang-barang a. Pada barang-barang harga pasar dalam substitusi impor (S+PI; substitusi impor (S+CI; negeri S-PI) S-CI) b. Mengubah harga b. Pada barang-barang b. Pada barang-barang pasar dalam negeri orientasi ekspor orientasi ekspor (S+PE; S-PE) (S+CE; S-CE) Hambatan pada barang- Hambatan pada barangKebijakan barang impor (TPI) barang ekspor (TCE) Perdagangan (mengubah harga pasar dalam negeri) Keterangan : S+ : Subsidi S: Pajak PE : Produsen barang orientasi ekspor PI : Produsen barang substitusi impor CE : Konsumen barang orientasi ekspor CI : Konsumen barang substitusi impor TCE : Hambatan barang ekspor TPI : Hambatan barang impor Sumber : Monke dan Pearson, 1989
1) Tipe Instrumen Pada kriteria ini terdapat perbedaan antara kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Menurut Salvatore (1997), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi dibedakan menjadi subsidi positif dan subsidi negatif. Subsidi positif adalah subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah, sedangkan subsidi negatif yaitu pembayaran kepada pemerintah yang biasanya
24
berbentuk pajak. Kebijakan subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen dan produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga luar negeri. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor komoditi (Monke dan Pearson, 1989). Kebijakan perdagangan bisa berbentuk pajak (tarif) atau pembatasan jumlah komoditi yang diperdagangkan (kuota). Tujuan diterapkan kebijakan perdagangan adalah untuk mengurangi jumlah komoditi impor komoditi yang diperdagangkan dan menciptakan perbedaan harga di dalam dan luar negeri sehingga dapat mempertahankan daya saing komoditi di dalam negeri. Kebijakan perdagangan umumnya untuk melindungi produsen domestik. Monke dan Pearson (1989) menjelaskan perbedaan antara kebijakan perdagangan dengan kebijakan subsidi yang dibagi ke dalam beberapa aspek, yaitu: A. Implikasi terhadap Anggaran Pemerintah Monke dan Pearson (1989) menerangkan bahwa kebijakan perdagangan tidak akan berpengaruh pada anggaran pemerintah, sebaliknya kebijakan subsidi akan memengaruhi anggaran pemerintah. Subsidi negatif akan menambah anggaran pemerintah sedangkan subsidi positif justru akan mengurangi anggaran pemerintah. B. Tipe Alternatif Kebijakan Ada delapan tipe alternatif kebijakan perdagangan yang dilakukan pemerintah pada barang orientasi ekspor dan barang substitusi impor yang dapat dijelaskan dari Tabel 5, yaitu:
25
(a) Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) (b) Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) (c) Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) (d) Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) (e) Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) (f) Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) (g) Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) (h) Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) Subsidi positif yang dikenakan pada produsen maupun konsumen akan menyebabkan harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi dan lebih rendah bagi konsumen. Subsidi negatif seperti pajak akan menyebabkan harga yang diterima produsen lebih rendah dan membuat harga yang diterima oleh konsumen menjadi lebih tinggi. Kebijakan perdagangan terdapat dua tipe, yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE). Menurut Monke dan Pearson (1989), aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota selama pemerintah mampu memiliki mekanisme yang efektif dalam mengontrol penyelundupan dan pasar gelap. C. Tingkat Kemampuan Penerapan Kebijakan subsidi bisa diterapkan pada komoditi tradable dan komoditi non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan hanya bisa diberlakukan pada komoditi tradable.
26
2) Kelompok Penerimaan Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer ketika produsen mendapatkan keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, atau konsumen mengalami keuntungan dan produsen mengalami kerugian. 3) Tipe Komoditi Pada kebijakan perdagangan terdapat komoditi yang akan diekspor dan komoditi yang diimpor. Apabila pemerintah tidak memberlakukan kebijakankebijakan dalam komoditi ekspor-impor, maka harga domestik akan sama dengan harga internasional. Harga FOB (harga di pelabuhan) digunakan untuk barang yang akan diekspor, sedangkan harga CIF (harga di pelabuhan ekspor) berlaku untuk barang impor. Kebijakan pemerintah dapat dikenakan pada komoditi pertanian baik input ataupun output yang tentu saja dapat memengaruhi kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen. Umumnya kebijakan ini diberlakukan pada harga input dan harga output. 3.1.4.1. Kebijakan Harga terhadap Input Kebijakan harga input bisa merupakan pemberian subsidi atau pajak pada sarana produksi seperti pupuk, pestisida atau lainnya. Gambar 1(a) menunjukkan efek pajak terhadap input tradable yang digunakan. Pajak menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama, output
27
domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah segitiga ABC, merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang dari Q2ACQ1 dengan biaya produksi dari output Q2BCQ1. Gambar 1 (b) memperlihatkan dampak subsidi input menyebabkan harga input maupun biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke bawah dan produksi meningkat dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC, merupakan perbedaan antara biaya produksi setelah terjadi peningkatan output Q1ACQ2 dan peningkatan penerimaan output Q1ABQ2. S ‟
P
P
S
S
S‟
C Pw
C
A
Pw
A B D
B Q Q2
Q1
(a) S- II
Q Q1
Q2
(b) S+ II
Keterangan: S- II = Pajak untuk input impor S+ II = Subsidi untuk input impor Sumber: Monke dan Pearson (1989)
Gambar 1. Subsidi dan Pajak pada Input Pada input nontradable, intervensi pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah adalah subsidi positif dan subsidi negatif (pajak) dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2(a) memperlihatkan sebelum diberlakukan pajak input, harga dan jumlah keseimbangan berada pada
28
Pd dan Q1. Ketika diberlakukan pajak (Pc-Pd) menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga di tingkat produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BEA dan dari konsumen sebesar BCA. Gambar 2(b) menunjukkan adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2, harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi Pc. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandigan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya biaya produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar. P
P
Pc
S
C B
Pd Pp
S
Pp
C A
A
Pd
B
Pc
D
D
D
Pp‟
D
O
Q
Q Q3
Q2
Q1
(a) S- N
Q1
Q2
(b) S+ N
Keterangan: S−N = Pajak untuk barang nontradable S+N = Subsidi untuk barang nontradable Sumber: Monke dan Pearson (1989)
Gambar 2. Dampak Subsidi dan Pajak terhadap Input Non Tradable 3.1.4.2. Kebijakan Harga terhadap Output Kebijakan terhadap output diterapkan pada produsen yang menghasilkan komoditi yang merupakan barang substitusi impor dan barang yang berorientasi ekspor. Gambar 3(a) menunjukkan bentuk subsidi positif untuk produsen pada barang impor dimana harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga pasaran dunia. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari 29
Q1 ke Q2 sedangkan konsumsi tetap sama dengan harga di pasaran dunia. Subsidi menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pd-Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah ke produsen sebesar Q2 x (Pd-Pw) arau PdABPw. Subsidi menyebabkan barang yang tadinya diimpor, diproduksi sendiri dengan biaya yang dikorbankan Q1CAQ2. Sedangkan opportunity cost jika barang tersebut diimpor sebesar Q1CBQ2 sehingga efisiensi yang hilang sebesar CAB. Gambar 3(b) menunjukan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi daripada harga di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah HBAG. Gambar 3(c) menunjukkan subsidi positif pada konsumen untuk output yang diimpor. Harga pasar dunia (Pw) lebih tinggi dari harga domestik (Pd). Tingkat subsidi positif sebesar Pw-Pd kepada konsumen menurun menyebaban produksi menurun dari Q1 menjadi Q2, tetapi konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4 karena kebijakan subsidi akan mengubah harga dalam negeri menjadi lebih rendah. Subsidi tersebut menyebabkan impor meningkat dari Q2-Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer pemerintah sebesar PwGHPd yang terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari produsen dan konsumen sebesar PwABPd dan transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABHG. Dengan demikian akan terjadi inefisiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi output yang
30
turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Pw × (Q2Q1) atau sebsesar Q2FAQ1 sedangkan besarnya input yang dapat dihemat sebesar Q2BFQ1 sehingga terjadi inefisiensi sebesar AFB. Di sisi konsumsi opportunity cost akibat meningkatnya konsumsi dari Q3 menjadi Q4 yaitu sebesar Pw × (Q4Q3) atau sebesar Q3EGHQ4. Sedangkan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga inefisiensi yang terjadi sebesar AFB dan EGH. Gambar 3(d) memperlihatkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia (Pw) lebih besar dari harga yang diterima produsen (Pd), harga lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat semula Q1 menjadi Q2. Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost sebesar Pw (Q2-Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q1CAQ2, efisiensi ekonomi yang hilang sebesar kurva CBA.
31
P
P
S
S E
Pd
F
D
Pw
B C
A
A
Pd Pw
B
C
D D Q Q1
Q2
Q3
Q2
Q1
Q3
Q
Q4
(b) S+ PE
(a) S+ PI P
P
S
S B
Pw Pd Pw Pd
A
C
F
C
A
D E
B
D
D Q2 Q1
Q3
Q4
Q
Q Q1
Q2
pad
(c) S+ CI a
(d) S+ CE
Bar Keterangan: ang Pw : Harga di pasar dunia Eks Pd : Harga domestik por S+ PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor dan S+ PE : Subsidi kepada produsen untuk barang ekspor Imp S+ CI : Subsidi kepada konsumen untuk barang impor or S+ CE : Subsidi kepada konsumen untuk barang ekspor Sumber: Monke dan Pearson (1989)
Gambar 3. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada Barang Ekspor dan Impor Kebijakan selain subsidi pada output adalah kebijakan restriksi (hambatan) perdagangan pada barang-barang impor. Gambar 4(a) menunjukkan adanya hambatan perdagangan pada barang impor dimana terdapat tarif sebesar Pd-Pw sehingga menaikkan harga di dalam negeri baik untuk produsen maupun
32
konsumen. Output domestik meningkat dari Q1 ke Q2 dan turunnya konsumsi dari Q3 ke Q4. Dengan demikian impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q4-Q2. Terdapat transfer penerimaan dari konsumen sebesar PdABPw yaitu kepada produsen sebesar PdEFPw dan kepada pemerintah sebesar FEAB. Efisiensi ekonomi yang hilang dari konsumen adalah perbedaan antara opportunity cost konsumen dalam mengubah konsumsi sebesar Q4BCQ3 dengan kemampuan membayar pada tingkat yang sama Q4ACQ3. Sehingga efisiensi ekonomi yang hilang pada konsumen sebesar ABC dan pada produsen sebesar EFG. Untuk 4(b) adalah kebalikan dari Gambar 4(a) P
P
A S
A S B
Pw Pd Pd
D
A
E
B
D
F
E
G
C
H
J Pw
F
C
D Q1
Q2
Q3
Q4
K
D Q1
Q2
(a) TPI
Q3
Q4
Q
(b) TCE
Keterangan: TPI = Hambatan perdagangan pada produsen untuk barang impor TCE = Hambatan perdagangan pada konsumen untuk barang impor Sumber: Monke dan Pearson (1989)
Gambar 4. Hambatan Perdagangan pada Komoditi Impor 3.1.5. Matriks Analisis Kebijakan Policy Analysis Matrix (PAM) adalah suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi serta intervensi pemerintah dan dampaknya pada usahatani. Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditi yang dapat 33
dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran secara keseluruhan dan sistematis. Metode PAM dikemukakan oleh Monke dan Pearson pada tahun 1989. Analisis ini dapat digunakan pada sistem komoditi dengan berbagai daerah, tipe usahatani dan teknologi. Kelebihan analisis PAM adalah perhitungan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis dan dengan output yang sangat beragam. Namun, kekurangannya adalah tidak membahas masing-masing analisis secara mendalam dan analisis hanya berlaku pada suatu saat saja (Nurmalina et al., 2009) Matriks PAM dapat mengidentifikasi tiga analisis, yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial), analisis daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) dan analisis dampak kebijakan yang memengaruhi sistem komoditi. Selain itu metode PAM dapat membantu pengambilan keputusan baik di pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan daya saing suatu sistem usaha tani pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Isu ini dapat ditelaah melalui perbedaan harga privat sebelum dan setelah kebijakan diterapkan. Isu kedua adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur yang berpengaruh pada tingkat efisiensi suatu sistem usaha. Efisiensi suatu sistem usaha tersebut dapat diukur melalui keuntungan sosial. Isu terakhir adalah dampak investasi baru dalam bentuk riset dan teknologi terhadap efisiensi suatu sistem usaha (Monke dan Pearson, 2004). Monke dan Pearson (1989) menggunakan beberapa asumsi dalam membangun matriks PAM, asumsi-asumsi tersebut adalah:
34
1) Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benarbenar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga ang benarbenar terjadi setelah adanya kebijakan. 2) Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan atau intervensi pemerintah. Pada komoditi yang dapat diperdagangkan (tradable) harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional. 3) Output bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing dan domestik. 4) Eksternalitas positif dan negatif saling meniadakan. 3.2. Kerangka Operasional Jambu biji merupakan salah satu buah yang memiliki nilai komersial dan memiliki potensi dalam perdagangan antar negara. Memasuki AC-FTA (ASEANChina Free Trade Area), Indonesia dituntut untuk menghasilkan komoditi pertanian yang mampu bersaing tak hanya di pasar domestik, tetapi juga di pasar internasional. Berdasarkan Road Map Komoditi Unggulan Kota Bogor (2008), Pemerintah Kota Bogor berencana menjadikan jambu biji sebagai komoditi unggulan Kota Bogor. Diantara 6 kecamatan yang ada di Kota Bogor, Kecamatan Tanah Sareal merupakan sentra produksi jambu biji. Selain itu, tujuan dari Road Map tersebut adalah membangun pertanian yang berdaya saing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan petani. Upaya pengembangan usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal masih mengalami beberapa kendala, yaitu produktivitas tanaman jambu biji yang
35
masih rendah, keterbatasan luas areal penanaman jambu biji akibat konversi lahan pertanian menjadi pemukiman, kualitas produksi jambu biji yang masih rendah, penurunan harga jambu biji akibat supply jambu biji yang melimpah pada saat musim panen, masalah distribusi dan pemasaran jambu biji, serta kebijakan pemerintah berupa pengurangan subsidi pupuk yang akan menyebabkan kenaikan harga pupuk di tingkat petani. Hal-hal tersebut dapat menghambat pengembangan usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal dan pada akhirnya akan memengaruhi daya saing jambu biji. Oleh karena itu dibutuhkan analisis mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif pada usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sareal agar pemerintah dapat merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung pengembangan usahatani jambu biji. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix (PAM), yaitu matriks analisis kebijakan yang bertujuan untuk mengukur tingkat daya saing suatu komoditi, mengetahui keuntungan ekonomi dan finansial dari suatu usahatani, serta menghitung transfer effects sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Analisis keunggulan komparatif dilihat dari nilai keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik, sedangkan keunggulan kompetitif dilihat dari keuntungan privat dan rasio biaya privat. Dampak kebijakan pemerintah yang berlaku pada kondisi existing dilihat dari Transfer Output, Transfer Input, Transfer Bersih, Transfer Faktor, Koefisien Proteksi, Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi Produsen. Namun metode PAM hanya mampu menganalisis pada kondisi existing saja. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui dampak apabila terjadi perubahan keadaan atau kebijakan yang dapat memengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif pada usahatani jambu biji di
36
Kecamatan Tanah Sareal. Kerangka pemikiran operasional dapat dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 5.
Road Map Komoditi Unggulan Kota Bogor (Jambu biji sebagai komoditi unggulan Kota Bogor)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Produktivitas rendah Keterbatasan luas areal penanaman jambu biji Rendahnya harga jambu biji saat musim panen Kualitas rendah Kenaikan harga pupuk Masalah distribusi dan pemasaran
Daya Saing Usahatani Jambu Biji
Analisis Sensitivitas
Dampak Kebijakan 1. Transfer Output 2. Transfer Input 3. Transfer Faktor 4. Transfer Bersih 5. Koefisien Proteksi 6. Koefisien Keuntungan 7. Rasio Subsidi Produsen
Policy Analysis Matrix (PAM)
Keunggulan Komparatif
1. Keuntungan Ekonomi 2. Biaya Sumberdaya Domestik
Keunggulan Kompetitif
1. Keuntungan Finansial 2. Rasio Biaya Privat
Alternatif Kebijakan
Keterangan: : Hubungan Antar Variabel : Alat Analisis Sumber: Penulis (2010)
Gambar 5. Alur Kerangka Pemikiran Operasional 37