III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Teori Produksi Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output. Kegiatan tersebut dalam ekonomi biasa dinyatakan dalam fungsi produksi. Terdapat berbagai macam fungsi produksi yang bisa digunakan sebagai alternatif dalam melakukan analisis untuk mengetahui hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output), diantaranya adalah: fungsi produksi linier, kuadratik, polinominal akar pangkat dua, eksponensial, CES (Constant Elasticity of Substitution) dan translog. Memilih fungsi produksi apa yang akan digunakan dalam suatu penelitian diperlukan banyak pertimbangan, karena masing-masing fungsi produksi memiliki keunggulan dan keterbatasan. Selain disesuaikan dengan kebutuhan penelitian, jenis data yang digunakan dan tujuan analisis, Soekartawi (2003), juga menganjurkan tindakan berikut dalam memilih model atau bentuk fungsi produksi yaitu: (1) identifikasi masalah secara jelas, variabel-variabel apa saja yang berfungsi sebagai penjelas dan apa variabel yang dijelaskannya, (2) tindakan pertama tersebut kemudian harus dilanjutkan dengan studi pustaka untuk melihat apakah identifikasi masalah sesuai dengan teori yang benar yang dikombinasikan dengan pengalaman sendiri serta belajar dari penelitian lain, dan (3) melakukan trial and error untuk menguatkan model yang dipakai. Fungsi produksi eksponensial yang biasanya disebut juga dengan fungsi Cobb-Douglas adalah fungsi yang sering dipakai sebagai model analisis produksi dalam penelitian usahatani, karena penggunaannya yang lebih
21
sederhana dan mudah untuk melihat hubungan input-output. Menurut Debertin (1986), walaupun memiliki beberapa keterbatasan, penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas didasarkan atas pertimbangan: (1) secara metodologis lebih representatif dibandingkan dengan fungsi keuntungan misalnya, karena variabel bebas yang dimasukkan adalah kuantitas dari input, data cross section akan lebih tepat dianalisis dengan fungsi produksi dibandingkan dengan fungsi keuntungan, (2) dalam penerapan secara empiris lebih sederhana dan lebih mudah karena nilai parameter dugaan sekaligus juga menunjukkan elastisitas produksi dan ekonomi skala usaha, dan (3) dari fungsi tersebut dapat diturunkan fungsi permintaan input. Soekartawi (2003), menyebutkan ada tiga alasan pokok mengapa fungsi Cobb-Douglas
lebih
banyak
dipakai
oleh para
peneliti
yaitu: (1)
penyelesaiannya relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan fungsi produksi yang lain karena dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linier, (2) hasil pendugaan garis fungsi ini menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas, dan (3) besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale. Terlepas dari kelebihan tertentu yang dimiliki fungsi produksi CobbDouglas jika dibandingkan dengan fungsi-fungsi yang lain, bukan berarti fungsi tersebut sempurna. Kesulitan umum yang dijumpai dalam penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas atau kelemahan dan keterbatasan fungsi ini adalah: (1) spesifikasi variabel yang keliru akan menghasilkan elastisitas produksi yang negatif atau nilainya terlalu besar atau terlalu kecil. Hal ini juga mendorong terjadinya multikolinearitas pada variabel independen yang
22
dipakai, masalah ini sering terjadi dalam pendugaan menggunakan metode kuadrat terkecil, (2) kesalahan pengukuran variabel, hal ini terletak pada validitas data apakah terlalu ekstrim ke atas atau ke bawah, (3) bias terhadap variabel manajemen karena kadang-kadang sulit diukur dan dipakai sebagai variabel independen dalam pendugaan karena erat hubungannya dengan variabel independen yang lain, dan (4) multikolinearitas. Selain itu ada asumsi yang perlu diikuti dalam menggunakan fungsi Cobb-Douglas, seperti misalnya asumsi bahwa teknologi dianggap netral, yang artinya intercept boleh berbeda, tetapi slope garis penduga Cobb-Douglas dianggap sama dan asumsi bahwa sampel dianggap price takers (Soekartawi, 2003).
3.1.1. Fungsi Produksi Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu. Fungsi produksi merupakan fungsi dari kuantitas input tidak tetap dan input tetap. Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas. Atau bisa juga dikatakan bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi atau persamaan yang menunjukan hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan jumlah hasil produksi yang dihasilkan per satuan waktu. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut: Q = (X1, X2, X3, ...Xn/Zn)
.................................................(1)
dimana: Q
= Output atau produksi
X1, X2, X3, ...Xn = Input tidak tetap ke-1, 2, 3, ..., n
23
Zn
= Input tetap ke-n
Petani yang maju dalam melakukan usahatani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan input atau faktor produksi seefisien mungkin untuk memperoleh produksi yang maksimum. Gambar 4 menggambarkan keterkaitan antara hasil produksi (Q) yang dalam grafik dilambangkan dengan Y, dengan faktor produksi yang digunakan (X). Keterkaitan tersebut bisa dilihat dari hubungan antara Produk Total (PT), Produk Marginal (PM) dan Produk Rata-rata (PR). Produk Total (PT) merupakan produksi total yang dihasilakan oleh suatu proses produksi. Produk Marginal (PM) menunjukkan perubahan produksi yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan satu satuan faktor produksi variabel, sedangkan Produk Rata-rata (PR) menunjukkan besarnya rata-rata produksi yang dihasilkan oleh setiap penggunaan faktor produksi. Berdasarkan Gambar 4 terlihat apabila faktor produksi X terus-menerus ditambah jumlahnya, pada mulanya pertambahan PT akan semakin banyak, tetapi ketika mencapai suatu tingkat tertentu, produksi tambahan yang akan diperoleh akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif. Keadaan yang menyebabkan pertambahan produksi yang semakin melambat sebelum akhirnya mencapai tingkat maksimum dan kemudian menurun dikenal dengan hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang (the law of deminishing marginal return). Hubungan antara tingkat produksi dengan jumlah input variabel yang digunakan dapat dibedakan dalam tiga tahap daerah produksi, yaitu: (1) daerah I yang terjadi pada saat PR naik hingga PR maksimum di titik B, (2) daerah II yang dimulai dari saat PR
24
maksimum di titik B sampai hingga PT maksimum di titik C, dan (3) daerah III adalah daerah saat PT menurun mulai dari titik C.
C
B
A
Sumber: Doll dan Orazem, 1984 Gambar 4. Produk Total, Produk Marginal, Produk Rata-Rata dan Tiga Tahapan Produksi Daerah I dikatakan irrational region karena penggunaan input masih menaikkan PT sehingga pendapatan masih dapat terus diperbesar. Daerah II adalah rational region karena pada daerah ini dimungkinkan pencapaian pendapatan maksimum, pada daerah ini pula PT maksimum tercapai, sedangkan daerah III adalah irrational region karena PT telah menurun. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala usahatani pada model fungsi produksi komoditas gambir berada pada rational region.
25
3.1.2. Analisis Efisiensi Produksi Istilah efisiensi dikenal dalam teori produksi. Tersedianya faktor produksi belum berarti produktivitas yang diperoleh petani akan tinggi. Bagaimana petani melakukan usahanya secara efisien adalah upaya yang sangat penting. Menurut Nicholson (2002), konsep efisiensi bisa dibedakan atas efisiensi teknis, efisiensi ekonomi dan efisiensi alokasi. Menurutnya alokasi sumberdaya disebut efisien secara teknis (technically efficient) jika alokasi tersebut tidak mungkin meningkatkan output suatu produk tanpa menurunkan produksi jenis barang lainnya. Jadi efisiensi teknis adalah suatu pengalokasian sumberdaya yang tersedia sedemikian rupa, sehingga untuk memproduksi satu atau lebih produk menyebabkan pengurangan produksi barang-barang lainnya. Berproduksi efisien secara teknis yaitu dengan berada pada batas kemungkinan produksi, jika kita ingin menggambarkan efisiensi teknis secara grafik. Sedangkan alokasi sumberdaya yang efisien secara ekonomis (economic efficiency) adalah sebuah alokasi sumberdaya yang efisien secara teknis dimana kombinasi output yang diproduksi juga mencerminkan preferensi masyarakat. Agar alokasi sumberdaya menjadi efisien, harga harus sama dengan biaya marginal sosial yang sebenarnya pada setiap pasar (efisiensi alokasi). Lau dan Yotopoulus (1971), mendefinisikan efisiensi teknis sebagai hasil produksi yang dapat dicapai untuk suatu kombinasi faktor produksi yang diberikan. Efisiensi harga (alokatif) didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan dengan menyamakan nilai
26
produk marginal setiap faktor produksi yang diberikan dengan harga inputnya, sedangkan efisiensi ekonomis adalah gabungan antara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Produsen mengelola usahanya bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan, yang merupakan faktor penentu bagi produsen dalam mengambil keputusan untuk usahanya. Produsen akan meningkatkan produksinya apabila mengetahui bahwa tambahan faktor produksi yang diberikan memberi tambahan keuntungan. Peningkatan keuntungan itu didapat bila penerimaan marginal hasil lebih besar daripada biaya marginal faktor produksi. Karena itu diperlukan efisiensi usaha dimana efisiensi itu dapat dilakukan dengan pendekatan maksimalisasi produk dengan pengeluaran biaya tertentu, atau minimisasi biaya untuk mendapatkan output tertentu. Bisa juga dengan pendekatan maksimalisasi keuntungan dimana setiap faktor input harus digunakan pada nilai produk marginal masing-masing faktor sama dengan harganya. Pemilihan fungsi produksi yang baik dan benar dari berbagai fungsi produksi yang ada sebenarnya merupakan pendugaan subjektif. Sekalipun demikian ada beberapa pedoman yang perlu diikuti untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik dan benar yaitu: (1) bentuk aljabar fungsi produksi itu dapat dipertanggungjawabkan, (2) bentuk aljabar fungsi produksi itu mempunyai dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi, (3) mudah dianalisis, dan (4) mempunyai implikasi ekonomi (Soekartawi et al. 1986). Untuk analisis fungsi produksi dengan menggunakan data survei usahatani yang dirancang secara khusus untuk memperoleh data bagi pendugaan fungsi
27
produksi, hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam melakukan pekerjaan ini adalah: (1) variasi dari berbagai variabel yang tidak disertakan dalam analisis seperti jenis tanah, cara bercocok tanam, iklim, hendaknya kecil, (2) sebaliknya variasi dari kombinasi masukan yang dipakai oleh sampel lebih beragam, misalnya tidak semua sampel memakai pupuk dalam dosis yang hampir sama, dan (3) jumlah sampel yang digunakan harus memadai, misalnya paling sedikit 40 responden (Soekartawi et al. 1986). Metode pengukuran efisiensi dengan menggunakan fungsi produksi yang telah digunakan secara luas untuk analisis usahatani, salah satunya adalah dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang secara metematis dituliskan sebagai berikut: Y =
a1
a2
1
2
ax x 0
,..., x n n a
.................................................(2)
dimana: Y
= Produksi komoditas pertanian atau output (variabel tidak bebas/dependent variable)
a0
= Konstanta atau intersep
X1, X2, Xn
= Faktor produksi atau input ke-1, 2, ..., n (variabel bebas/independent variable)
a1, a2, an
= Koefisien arah regresi masing-masing variabel bebas ke-1, 2, ..., n
= Gangguan stokhastik/kesalahan (disturbance term)
Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi berpangkat yang terdiri dari dua variabel atau lebih, dimana variabel yang satu disebut variabel yang dijelaskan Y (variabel tak bebas) dan yang lain disebut variabel yang menjelaskan X (variabel bebas). Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya adalah dengan cara regresi dimana variasi Y akan dipengaruhi oleh
28
variasi X (Soekartawi, 2003). Fungsi di atas dapat dilinierkan dengan mentransformasi variabel tersebut menggunakan logaritma natural sebagai berikut: ln Y = ln a0 + a1 ln x1 + a2 ln x2 + ... + an ln xn + ε
...……..(3)
dimana: ln
= Logaritma natural
ε
= Error term atau disturbance term
Pendekatan yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis tingkat efektivitas dan efisiensi usahatani melalui fungsi produksi adalah pendekatan produk marjinal. Dalam fungsi produksi ini sebagai variabel bebas adalah lahan garapan, bibit, pupuk buatan, pestisida dan tenaga kerja. Dengan cara analisis ini dapat diketahui sampai sejauh mana kontribusi faktor produksi terhadap hasil produksi yang dicapai. Mubyarto (1989), menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi dalam usahatani pada umumnya adalah bagaimana mengalokasikan secara tepat sumber-sumber daya atau faktor-faktor produksi yang terbatas agar dapat memaksimumkan pendapatan. Berkaitan dengan masalah efisiensi, ada dua pendekatan yang dapat mengukur efisiensi tersebut yakni: (1) pendekatan produk marjinal yaitu pendekatan melalui konsep produksi marjinal mencapai maksimum, dan (2) pendekatan efisiensi ekonomis yaitu pendekatan melalui konsep keuntungan mencapai maksimum. Kedua pendekatan ini merupakan cara analisis untuk mendapatkan gambaran tentang efisiensi usahatani dan apabila efisiensi ini tercapai maka keuntungan maksimum akan tercapai, sehingga pendapatan petani yang lebih tinggi akan tercapai pula.
29
Fungsi produksi merupakan hubungan teknis, maka fungsi produksi dapat berubah akibat pengaruh penggunaan faktor produksi. Perubahan tersebut ditunjukkan oleh kenaikan hasil, karena itu terdapat tiga bentuk kenaikan hasil dalam fungsi produksi yaitu: (1) kenaikan hasil tetap artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan hasil yang tetap dengan kata lain produk marjinal naiknya tetap, (2) kenaikan hasil bertambah artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan hasil yang bertambah dengan kata lain produk marjinal semakin meningkat, dan (3) kenaikan hasil berkurang artinya penambahan satu satuan korbanan menyebabkan kenaikan hasil yang semakin berkurang dengan kata lain produk marjinal semakin berkurang. Untuk mengetahui tingkat efisiensi alokatif penggunaan faktorfaktor produksi pada usahatani gambir dilakukan dengan menghitung rasio nilai produk marjinal suatu input (NPMx) dengan harga inputnya (Px).
3.2. Teori Pemasaran Komoditas Pertanian Kegiatan produksi dan pemasaran seperti dua sisi mata uang. Upaya peningkatan produksi dalam pengembangan suatu komoditas harus diikuti oleh kegiatan pemasaran yang baik, karena kedua kegiatan ini merupakan satu kesatuan yang berkaitan dan saling memperkuat. Hasil akhir dari suatu proses produksi adalah produk atau output yang akan dijual ke konsumen/pasar. Pemasaran adalah kegiatan yang menjembatani proses pertukaran produk dari produsen sampai produk tersebut diterima oleh konsumen. Kinerja pemasaran memegang peranan sentral dalam pengembangan komoditas pertanian. Perumusan strategi dan program pengembangan
30
pemasaran yang mampu menciptakan kinerja pemasaran yang kondusif dan efisien, akan memberikan kontribusi positif terhadap beberapa aspek yaitu: (1) mendorong adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta daya saing komoditas pertanian, (2) meningkatkan kinerja dan efektivitas kebijakan pengembangan produksi, khususnya kebijakan yang terkait dengan program stabilisasi harga keluaran, dan (3) perbaikan perumusan kebijakan perdagangan domestik dan internasional (ekspor dan impor) secara efektif dan optimal (Rusastra et al. 2003). Definisi pemasaran yang berorientasi pada pertanian sebagian besar merujuk pada peristiwa yang terjadi setelah produk atau komoditas meninggalkan titik awal produksi. Hal ini disebut dengan pendekatan gerbang pertanian (farm gate). Kohls dan Uhl (2002), mendefinisikan pemasaran dalam pertanian sebagai sebuah sistem. Pemasaran menurut mereka adalah semua bentuk kegiatan bisnis yang meliputi seluruh sistem aliran produk dan jasa-jasa yang ada, mulai dari titik awal produksi pertanian sampai semua produk dan jasa tersebut di tangan konsumen. Sedangkan Dahl dan Hammond (1977), mendefinisikan pemasaran sebagai rangkaian urutan fungsi-fungsi yang dilakukan ketika produk bergerak dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Pemasaran merupakan suatu proses yang berjalan di dalam sistem pertukaran yang berfungsi menjembatani antara produsen dan konsumen. Tugas pemasaran dalam suatu sistem pertukaran tersebut adalah mempengaruhi koordinasi antara apa yang diproduksi dan apa yang dibutuhkan konsumen.
31
Kaitannya dengan analisis produksi dan pemasaran gambir dalam penelitian ini, pemasaran yang dimaksud pada intinya didefinisikan seperti yang dikemukakan oleh Kohls dan Uhl (2002), yaitu sebagai semua kegiatan bisnis yang meliputi seluruh sistem aliran produk dan jasa-jasa yang terlibat dalam arus komoditas gambir, mulai dari titik awal produksi/petani produsen sampai gambir tersebut di tangan konsumen akhir. Lamb et al. (2001), berpendapat bahwa dari segi ekonomi, pemasaran merupakan tindakan atau kegiatan yang produktif, menghasilkan pembentukan kegunaan, yaitu kegunaan waktu, bentuk, tempat dan kepemilikan, sehingga mempertinggi nilai guna dari suatu barang yang diminta atau dibutuhkan oleh konsumen. Fungsi penting lainnya dalam pemasaran ialah sistem harga dan mekanisme pembentukan harga yang banyak ditentukan oleh faktor waktu, tempat dan pasar. Hal tersebut di atas akan mempengaruhi penawaran dan permintaan suatu barang/jasa. Pembentukan harga suatu komoditas pada setiap tingkat pasar tergantung pada struktur pasar tersebut, sehingga hubungan harga antara tingkat pasar konsumen dengan tingkat pasar produsen tergantung kepada struktur pasar yang menghubungkannya. Dalam struktur pasar yang bersaing sempurna misalnya, hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar konsumen atau hubungan antar tingkat pasar, akan erat sekali. Keadaan ini merupakan salah satu cermin dari sistem pemasaran yang efisien. Mekanisme
harga
berfungsi
sebagai
sistem
komunikasi
untuk
meneruskan informasi mengenai keinginan konsumen kepada produsen.
32
Sinyal harga menjadi pesan dari konsumen kepada produsen. Bila suatu produk atau mutu tertentu dari suatu produk sangat dibutuhkan oleh konsumen, maka harganya menjadi relatif lebih tinggi. Sinyal harga ini disampaikan melalui sistem tersebut menuju ke produsen, sehingga dalam waktu tertentu produsen melakukan penyesuaian yang menurutnya tepat secara ekonomi, dengan mengalokasikan faktor produksi untuk memproduksi produk dengan tingkat mutu seperti yang dikehendaki oleh konsumen. Prosesnya tentu tidak sesederhana uraian di atas. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi supaya mekanisme pembentukan harga ini sampai ke produsen dan mendorong respon yang dikehendaki yaitu: (1) nilai produk harus dijelaskan dan dikategorikan berdasarkan tingkatan atau istilah penjelas lainnya sehingga pembeli maupun penjual mempunyai sebuah penafsiran yang umum atau sama mengenai harga produk tersebut, (2) kekuatan permintaan dan penawaran yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi harga atau segi-segi lain dalam perdagangan, harus sama untuk pembeli dan penjual, dan (3) harga tidak terlalu mudah berubah-ubah pada tingkatan produsen atau tingkat lain dalam sistem pemasaran sehingga sinyal harga tersebut menjadi salah atau tidak jelas.
3.2.1. Pendekatan dalam Studi Pemasaran Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan studi pemasaran menurut Kohl dan Uhl (2002), yaitu: 1. Pendekatan
serba
fungsi,
dimana
berbagai
aktivitas
pemasaran
diklasifikasikan kedalam berbagai fungsi pemasaran. Penekanannya pada
33
isu “what is done”. Beberapa fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengolahan, penyimpanan dan transportasi) dan fungsi fasilitas (standarisasi, pembiayaan, pengelolaan resiko, penelitian atau riset pasar). 2. Pendekatan institusi, dimana evaluasi pemasaran dilakukan dengan mempelajari perantara atau struktur bisnis yang membentuk proses pemasaran yang dititikberatkan pada siapa yang mengerjakan dan terlibat dalam proses pemasaran (who is involved). 3. Pendekatan
perilaku,
menggabungkan
pendekatan
fungsional
dan
institusional yang sangat berguna untuk menganalisis keberadaan aktivitas pemasaran, bagaimana perubahan dan perilaku lembaga pemasaran dalam proses pemasaran, mengapa ada perantara dalam industri. Purcell (1979), menjelaskan ada empat pendekatan yaitu pendekatan komoditas, pendekatan kelembagaan, pendekatan fungsional dan pendekatan sistem. Pada pendekatan komoditas (serba produk) dibahas segala aspek barang atau komoditas mulai dari titik produksi sampai pada titik konsumsi. Pendekatan ini mengikuti komoditas sepanjang lintasan antara produsen dan konsumen, sehubungan dengan apa yang dilakukan dan bagaimana komoditas tersebut bisa ditangani dengan lebih efisien. Misalnya tentang sifat khas dari barang, lembaga yang mentransfer, sumber permintaan dan penawaran, fasilitas pemasaran, serta peraturan pemerintah yang berhubungan dengan barang yang bersangkutan.
34
3.2.2. Konsep Efisiensi Pemasaran Pemasaran menginginkan adanya efisiensi yaitu pengorbanan yang sekecil mungkin terhadap barang atau jasa yang diminta konsumen. Efisiensi pemasaran menurut Soekartawi (2002), adalah nisbah antara total biaya dengan total nilai produk yang dipasarkan. Ada beberapa faktor yang dapat dipakai sebagai ukuran efisiensi pemasaran yaitu keuntungan pemasaran, harga yang diterima petani, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan kompetisi pasar. Purcell (1979), menyebutkan ada dua tipe efisiensi yang berkaitan dengan pemasaran yaitu efisiensi teknis dan efisiensi harga. Efisiensi teknis merujuk pada hubungan input-output yang terlibat dalam tugas pemanfaatan produksi diseluruh sistem pemasaran, dimana biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses untuk membawa barang ke tangan konsumen meliputi biaya perubahan bentuk, biaya penyimpanan dan biaya pengangkutan. Pada umumnya efisiensi pelaksanaan aktivitas dan fungsi ini dianggap tergantung pada teknologi yang tersedia. Efisiensi harga merujuk pada kemampuan sistem untuk mempengaruhi perubahan dan mendorong relokasi sumberdaya agar dapat mempertahankan kesesuaian antara apa yang diproduksi dan apa yang dibutuhkan konsumen. Kohls dan Uhl (2002), menyatakan bahwa perubahan sistem pemasaran yang berakibat mengecilnya biaya kegiatan pemasaran tanpa mengurangi kepuasan konsumen menunjukkan suatu perbaikan dari tingkat efisiensi pemasaran. Sedangkan perubahan yang mengurangi biaya pemasaran tetapi diikuti dengan berkurangnya kepuasan konsumen menunjukkan penurunan
35
tingkat efisiensi pemasaran. Efisiensi pemasaran akan tercapai jika struktur pasar dapat menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang seimbang antara pelaku-pelaku yang terlibat dalam pemasaran. Efisiensi pasar secara teoritis dapat dicapai jika pelaku-pelaku pasar tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar, atau bila pemasaran tersebut dapat memberikan semua pihak (petani produsen, pedagang perantara dan konsumen) kepuasan balas jasa yang seimbang sesuai dengan sumbangannya masing-masing meskipun sifatnya relatif (adil yang proporsional). Kohls dan Uhl (2002), lebih lanjut mengungkapkan bahwa analisis sistem pemasaran dapat juga dikaji melalui pendekatan struktur, perilaku dan keragaan pasar. Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi yang menentukan hubungan antara penjual dengan pembeli yang dapat dilihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, pangsa pasar, konsentrasi pasar dan kondisi keluar masuk pasar. Perilaku pasar merupakan tingkah laku lembaga pemasaran dalam struktur pasar tertentu yang dihadapinya, yang meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga dan siasat pemasaran seperti potongan harga. Struktur, perilaku dan kinerja merupakan tiga kategori utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku perusahaan dalam pasar tersebut, yang secara bersama-sama menentukan kinerja sistem pasar secara keseluruhan.
36
3.2.2.1. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Soekartawi (2002), mengemukakan bahwa pemasaran hasil-hasil pertanian sering dihadapkan pada kata efisiensi, baik cara pengukurannya maupun kriteria yang dipakai. Setidaknya ada dua kesulitan untuk menilai efisien atau tidaknya suatu proses pemasaran. Pertama, efisiensi pemasaran tidak mampu menunjukkan ukuran yang konsisten untuk mengukur efisiensi pemasaran secara keseluruhan. Kedua, efisiensi pemasaran seringkali melupakan aspek kesejahteraan masyarakat (welfare aspect of the society). Dalam hal ini untuk meningkatkan efisiensi pemasaran dan sekaligus juga memperhatikan welfare society, pendekatan dengan konsep SCP (StructureConduct-Performance) merupakan pendekatan yang bisa digunakan untuk mengurangi tidak efisiennya suatu pemasaran. Pendekatan SCP adalah pendekatan organisasi pasar yang mencakup atau mengkombinasikan semua aspek dari sistem pemasaran atau tataniaga yaitu: market structure, market conduct dan market performance. Dasar paradigma SCP dicetuskan oleh Mason (1939), yang mengemukakan bahwa struktur (structure) suatu industri akan menentukan bagaimana para pelaku industri berperilaku (conduct), yang pada akhirnya menentukan keragaan atau kinerja (performance) industri tersebut.
a. Struktur Pasar Struktur pasar (market structure) dapat diartikan sebagai karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar tersebut yang merupakan suatu resultan atau saling mempengaruhi perilaku dan keragaan pasar. Antara lain ada empat faktor yang menjadi penentu yaitu: jumlah dan
37
ukuran perusahaan (isu pangsa pasar dan konsentrasi pasar), kondisi dan keadaan produk (homogen atau diferensiasi), mudah atau sukarnya untuk masuk dan keluar pasar atau industri (barrier to entry) dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam pemasaran. Struktur pasar dapat juga diartikan sebagai tipe dan jenis-jenis pasar, yang secara garis besar dibagi atas dua kelompok, yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna. Pasar Persaingan Sempurna (PPS) adalah kondisi pasar ideal dan kompetitif yang berjalan dengan efektif dan efisien dengan beberapa asumsi yang harus terpenuhi yaitu: (1) ada sangat banyak penjual dan pembeli di pasar, (2) tidak ada pelaku pasar yang dominan yang dapat mempengaruhi pesaingnya di pasar, (3) penjual dan pembeli hanya price taker serta tidak ada persaingan di luar harga, (4) tidak ada hambatan untuk masuk/keluar pasar, dan (5) jenis produk homogen dan identik, serta semua partisipan pasar mempunyai cukup informasi dan pengetahuan tentang produk dan harga. Sisi yang berlawanan sangat ekstrim dengan pasar persaingan sempurna adalah pasar monopoli dimana pasar dikuasai oleh satu penjual, berikutnya pasar oligopoli (sedikit penjual) dan pasar monopolistik (banyak penjual). Jika diurutkan menurut kedekatan karakteristik masing-masing pasar satu sama lain, maka struktur pasar terdiri dari pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik, pasar oligopoli dan terakhir pasar monopoli. Imperfect competition bisa juga dilihat dari perspektif pembeli atau konsumen, sehingga selain ketiga jenis pasar tidak bersaing sempurna tersebut (monopolistik, oligopoli dan monopoli) juga dikenal struktur pasar monopsoni
38
dan oligopsoni. Pasar monopsoni menurut Kohls dan Uhl (2002), adalah pasar dimana hanya terdapat satu pembeli atau kondisi dimana hanya ada satu perusahaan pengguna pada pasar input tertentu dan oligopsoni adalah sebuah situasi pasar dimana hanya ada beberapa pembeli dari satu produk atau komoditas (a few large buyers of a product). Struktur pasar sebagian besar komoditas hasil-hasil pertanian terutama di negara-negara berkembang, tergolong ke dalam struktur pasar monopsoni atau oligopsoni, yang mayoritas pertaniannya merupakan usahatani subsistem karena beragam faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sangat merugikan petani karena dampak dari mekanisme pembentukan harga yang terjadi adalah tidak ada harga terbaik, pembeli membeli hasil panen di bawah harga pasar yang seharusnya (harga pada PPS) sehingga bagian harga yang seharusnya dinikmati petani diambil oleh pembeli. Struktur pasar biasanya diukur dengan rasio konsentrasi, indek atau share tertentu. Setiap perusahaan mempunyai pangsa pasar (market share) yang berbeda-beda berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Pangsa pasar menggambarkan bagian yang diperoleh perusahaan dari total penjualan industri. Semakin tinggi share suatu perusahaan maka akan semakin besar peranan dan pengaruhnya di pasar. Derajat konsentrasi pasar dapat diukur dengan menggunakan Herfindahl Hirchman Index (HHI). Jika nilai HHI antara 1000-1800 dinyatakan sebagai konsentrasi moderat, sedangkan lebih dari 1800 adalah konsentrasi tinggi. Concentration Ratio (CR) juga merupakan metode untuk mengukur derajat konsentrasi pasar. Cara penghitungan melalui CR terbagi atas CR1, CR2,
39
CR3, CR4 dan lainnya, tergantung kebutuhan dan kondisi struktur pasar yang akan dinilai. Angka 1, 2 dan seterusnya mengindikasikan jumlah share perusahaan yang akan dinilai CR-nya. Rasio konsentrasi merupakan akumulasi share perusahaan utama dalam industri, atau persentase dari total output masing-masing perusahaan yang mendominasi industri atau pendapatan penjualannya, dibagi dengan total output atau penjualan keseluruhan industri (rasio pangsa pasar relatif dari total output industri).
b. Perilaku Pasar Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Misalnya praktek-praktek bisnis yang dilakukan perusahaan dalam kebijakan penentuan harga, promosi penjualan dan berbagai strategi penjualan lainnya yang dilakukan untuk mencapai hasil pasar yang spesifik. Pada prinsipnya hubungan pembeli dan penjual adalah hubungan persaingan, tetapi setelah ada kesepakatan atau negosiasi, hubungan itu menjadi transaksi. Firdaus et al. (2008), lebih lanjut menyebutkan bahwa perilaku pasar terdiri dari kebijakan-kebijakan yang diadopsi oleh pelaku pasar dan juga pesaingnya, terutama dalam hal harga dan karakteristik produk. Perilaku pasar dapat dikelompokkan menjadi perilaku dalam strategi harga, produk dan promosi. Perilaku antara lain juga bisa dilihat dari tingkat persaingan ataupun kolusi antar partisipan di pasar.
40
c. Kinerja Pasar Kinerja atau keragaan pasar (market performance) merupakan hasil atau pengaruh dari struktur dan perilaku pasar yang dalam realita dapat terlihat dari produk atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Misalnya efisiensi harga atau biaya produksi, biaya promosi penjualan, termasuk nilai informasi, volume penjualan dan efisiensi pertukaran di pasar. Keragaan atau kinerja suatu industri diukur antara lain dari derajat inovasi, efisiensi dan profitabilitas (Firdaus et al. 2008). Struktur dan perilaku pasar akan menentukan keragaan pasar yang dapat diukur melalui perubahan harga, biaya pemasaran, margin serta distribusi pemasaran, jumlah komoditas yang diperdagangkan, korelasi harga di tingkat petani dengan harga di tingkat konsumen, elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar. Terdapat sejumlah faktor intrinsik dan eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian. Secara intrinsik faktor yang berpengaruh diantaranya adalah struktur pasar, tingkat integrasi pasar dan margin pemasaran. Bentuk pasar yang terjadi dalam struktur suatu pasar akan mempengaruhi tingkat kompetisi yang akan berdampak pada proses pembentukan harga, transmisi harga dan bagian harga yang diterima petani. Jadi secara implisit struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi pasar dan nilai margin pemasaran. Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap kinerja pemasaran produk pertanian adalah terkait dengan kebijakan pemerintah seperti pengembangan infra struktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan retribusi, kebijakan pengembangan produk dan
41
pengolahan hasil pertanian dan lain-lain. Pemahaman di atas dan perbaikan terhadap kinerja pemasaran produksi pertanian akan bermanfaat dalam mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, karena kinerja pemasaran yang kondusif akan mendorong adopsi teknologi dan bagian harga yang diterima petani. Kebijakan pemerintah yang kondusif akan mendorong peningkatan produksi, distribusi, pengembangan produk dan insentif yang proporsional bagi pelaku tataniaga dan kesejahteraan petani (Rusastra et al. 2003).
3.2.2.2. Margin Pemasaran Nicholson (2002), mengemukakan bahwa pola pembentukan harga tergantung dari kekuatan-kekuatan pelaku dalam pasar. Dengan kata lain penjual dan pembeli bertemu langsung, harga hanya ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan secara agregat, sehingga jumlah uang yang dibayarkan oleh konsumen sama dengan jumlah yang diterima produsen. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan antara harga di antara keduanya. Namun dari hasil penelitian dalam bidang pemasaran pertanian ternyata terdapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga di tingkat pengecer dan konsumen akhir. Perbedaan yang terjadi inilah yang disebut marjin pemasaran yang merupakan keuntungan dari kegiatan yang dilakukan dalam pemasaran (Cramer et al. 1997). Bila dalam pemasaran suatu produk pertanian terdapat lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, maka marjin pemasaran diperoleh dari jumlah marjin pemasaran dari tiap-tiap lembaga pemasaran.
42
Irawan dan Sudjoni (2001), berpendapat banyaknya lembaga pemasaran dan jarak antara produsen ke konsumen sangat berpengaruh terhadap arus distribusi barang dan tingkat harga yang diterima oleh produsen ataupun tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen. Jika dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen melalui banyak lembaga pemasaran yang terlibat, maka akan semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut pada produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayarkan oleh konsumen, dalam hal ini tidak memberikan keuntungan yang wajar, baik bagi petani maupun bagi konsumen. Dengan demikian pemasaran yang melibatkan banyak lembaga pemasaran dapat menyebabkan rendahnya harga di tingkat produsen dan tingginya harga di tingkat konsumen sehingga marjin pemasaran menjadi tinggi. Nilai marjin pemasaran pada tiap komoditas berbeda-beda, dikarenakan untuk tiap produk mempunyai jasa pemasaran yang berbeda-beda dan tiap bentuk nilai tersebut memiliki geometrik dalam proses penjualannya. Lebih lanjut Dahl dan Hammond (1977), mengemukakan nilai marjin pemasaran ini umumnya ditetapkan dalam bentuk absolut seperti dalam persen. Dalam hal ini pedagang besar dalam memberikan tambahan harga (mark up) biasanya dalam bentuk konstan yaitu persen yang disebut sebagai biaya marjin tetap (margin fixed cost) dan untuk pengecer dalam menetapkan tambahan harga dalam bentuk absolut tetap secara marjin uang (absolute). Tomek dan Robinson (1977), mendefinisikan margin pemasaran sebagai berikut: (1) perbedaan antara harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen, dan (2) kumpulan balas jasa yang diterima oleh
43
jasa pemasaran sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran. Dalam definisi yang pertama, margin pemasaran merupakan perbedaan harga yang sederhana antara kurva permintaan asal (primary demand) dan permintaan turunan (derived demand) untuk setiap bagian produk. Permintaan asal ditentukan oleh respon dari kepuasan konsumen, yang tercermin dalam harga di tingkat konsumen, sedangkan kurva permintaan turunan adalah kurva yang sebenarnya dihadapi oleh petani produsen.
Sumber: Tomek dan Robinson, 1977 Gambar 5. Kurva Permintaan Asal, Permintaan Turunan, Penawaran Asal dan Penawaran Turunan Gambar 5 menjelaskan margin secara grafis. Kurva tersebut dapat dijelaskan dengan asumsi bahwa: (1) elastisitas substitusi antara produk pertanian dengan input tataniaga (misalnya tenaga kerja) adalah nol, dan (2) jumlah produk di tingkat petani atau Qf, sama dengan jumlah produk di tingkat pengecer atau Qr, dimana Qf = Qr = Q (kondisi ekuilibrium). Apabila asumsi
44
tersebut tidak digunakan, maka kemiringan (slope) atau koefisien arah kurva permintaan maupun kurva penawaran di tingkat petani dengan di tingkat pengecer tidak akan sejajar (sama).Besar kecilnya margin pemasaran sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah atau belum efisien. Tinggi rendahnya margin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran, antara lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran seperti pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, pengelolaan resiko kerusakan dan lain-lain. Secara umum bisa dikatakan semakin panjang saluran pemasaran atau pihak yang terlibat dalam saluran pemasaran, maka margin pemasaran akan semakin besar.
3.2.2.3. Bagian Harga yang Diterima Petani Efisiensi pemasaran dapat juga dianalisis dengan menghitung bagian harga yang diterima petani atau farmer’s share. Soekartawi (2002), mengemukakan untuk mengukur efisiensi pemasaran digunakan harga jual petani sebagai dasar (Pf) dan dibandingkan dengan harga beli pedagang di tingkat konsumen akhir (Pr) dikalikan dengan 100 persen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani. Besar farmer’s share (FS) menurut Kohls dan Uhl (2002), dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan, (2) biaya transportasi, (3) keawetan produk, dan (4) jumlah produk. Rumusannya sederhana, dinyatakan dalam persentase (%), yang dirumuskan dalam persamaan FS = Pf/Pr x 100%. Apabila dari hasil pengujian diperoleh bagian harga yang diterima petani rendah, maka saluran pemasaran tidak/belum efisien.
45
3.2.2.4. Elastisitas Transmisi Harga Elastisitas transmisi harga adalah nisbah perubahan relatif harga di tingkat pengecer (Pr) terhadap perubahan relatif harga di tingkat produsen (Pf) (George dan King, 1971). Pengertian ini erat kaitannya dengan anggapan bahwa margin tataniaga merupakan akibat adanya permintaan turunan dari pedagang eceran kepada petani produsen, atau margin tataniaga merupakan selisih dari harga di tingkat pedagang eceran dengan harga di tingkat petani. Secara matematik elastisitas transmisi harga adalah: Et =
Pr P Pr Pr = x f Pf Pr Pf Pf
.....................................(4)
dimana: Et
= Elastisitas transmisi harga
Pr
= Perubahan harga di tingkat pedagang pengecer
Pf
= Perubahan harga di tingkat petani
3.2.2.5. Keterpaduan Pasar Pengertian keterpaduan pasar adalah sampai seberapa jauh pembentukan harga suatu komodidas pada suatu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Pengaruh ini dapat diduga melalui regresi sederhana, analisis korelasi harga di setiap tingkat baik secara vertikal maupun horizontal dan melalui elastisitas transmisi harga (Et). Dalam suatu sistem pasar terpadu yang efisien akan terlihat adanya korelasi positif yang tinggi sepanjang waktu dari beberapa pasar (Heytens, 1986). Pada umumnya pendekatan ini banyak dipakai untuk menguji apakah pasar setempat terpadu dan efisien. Dalam hal ini kelancaran informasi dan
46
pengangkutan memberi peranan yang penting dalam membentuk perdagangan antarpasar yang efisien. Pengujian akan hubungan harga-harga ditambah dengan pengamatan tentang kegiatan perdagangan merupakan metode uji hipotesis yang berguna. Harga-harga pada suatu sistem pasar yang efisien cenderung bergerak bersama-sama, tetapi hal ini dapat terjadi karena sebabsebab yang lain. Pergerakan harga umum, musim bersama atau setiap faktor kebersamaan, dapat memberikan perubahan harga yang selaras walaupun pasar tersebut tidak berhubungan (Heytens, 1986). Pendekatan lain yang digunakan adalah metode
autoregresive
distributed lag yang dapat mengatasi masalah kelemahan model regresi sederhana yang menganggap perubahan harga di tingkat konsumen dan produsen bergerak pada waktu yang sama. Model ini dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986). Model didasarkan pada hubungan bedakala (lag) bersebaran autoregresive antara harga disuatu tingkat atau pasar tertentu dengan harga di pasar atau tingkat lainnya. Analisis ini dapat menerangkan adanya hubungan antara perubahan harga di suatu pasar tertentu dengan harga di pasar lainnya. Lebih lanjut dapat diungkapkan proses pembentukan harga, misalnya Pit adalah harga di pasar i waktu t, sedangkan PAt adalah harga di pasar acuan waktu t, maka model dapat dirumuskan sebagai berikut: (Pit – Pit-1) = (αi - 1) (Pit-1 - PAt-1) + βi0 (PAt - PAt-1) + (αi + βi0 + βi1-1) PAt-1 + γi X + e
.........................(5)
dimana: Pit
= Harga di pasar i waktu t
PAt
= Harga di pasar acuan waktu t
X
= Vektor musiman atau variabel lain yang dianggap relevan
47
e
= Error term di pasar i waktu t
Persamaan (5) menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu tempat adalah fungsi dari selisih harga pasar setempat dengan pasar acuan pada waktu yang sebelumnya, perubahan harga pasar acuan pada waktu sebelumnya, harga di pasar acuan waktu sebelumnya dan ciri-ciri pasar setempat. Persamaan (5) bisa disederhanakan dengan mengubah lambang-lambang koefisien: αi – 1 = b1, βi0 = b2 dan αi + βi0 + βi1-1 = b3, sehingga persamaan dapat ditulis sebagai berikut: (Pit - Pit-1) = b1 (Pit-1 – PAt-1) + b2 (PAt – PAt-1) + b3 PAt-1 + b4 X + e
.................................................(6)
Persamaan (6) dapat disusun kembali menjadi persamaan: Pit = (1+b1) Pit-1 + b2 (PAt – PAt-1) + (b3-b1) PAt-1 + b4 X + e ...........(7) Apabila pasar acuan kita anggap berada pada keseimbangan jangka panjang maka (PAt – PAt-1) = 0 dan juga b4 = 0, sehingga didapatkan: Pit = (1+b1) Pit-1 + (b3-b1) PAt-1
.................................................(8)
Nilai parameter (1+b1) dan (b3-b1) akan menggambarkan sumbangan relatif harga pasar setempat dan acuan terdahulu terhadap pembentukan harga tingkat sekarang. Apabila harga pasar acuan sebelumnya merupakan penentu dari harga, maka pasar-pasar ini terintegrasi dengan baik. Artinya keadaan penawaran dan permintaan pada pasar acuan akan dikomunikasikan secara efektif ke pasar-pasar setempat dan akan mempengaruhi harga-harga di sana walau bagaimanapun keadaan pasar lokal sebelumnya. Untuk menangkap besarnya pengaruh ini secara efektif, dikembangkan suatu indek hubungan pasar atau Index of Market Connection (IMC) atau disebut juga indek yang
48
dibatasi sebagai nisbah koefisien pasar setempat terdahulu terhadap koefisien pasar acuan terdahulu. Dari persamaan (8) diperoleh: IMC =
1 b1 b 3 b1
.................................................(9)
Secara umum, semakin dekat indek tersebut ke-0 atau koefisien bernilai lebih kecil dari 1 maka semakin tinggi derajat keterpaduan pasar.
3.3. Tahapan Penelitian Upaya peningkatan pendapatan petani tergantung pada pengelolaan produksi dan pengalokasian faktor produksi yang dimiliki, kemudian menindaklanjutinya dengan memasarkan komoditas yang telah diproduksi tersebut. Dengan demikian upaya peningkatan pendapatan petani salah satunya sangat ditentukan oleh faktor bagaimana petani melakukan pengelolaan produksi dan pemasaran komoditas yang diusahakannya. Kegiatan produksi dan pemasaran tidak bisa berjalan sendiri karena saling terkait dalam menentukan keberhasilan usahatani. Pengusahaan gambir sebagai komoditas pertanian tidak terlepas dari ketergantungan usahatani tanaman tropis ini pada faktor alam. Kondisi alam seperti curah hujan, karakteristik tanah, kesuburan tanah serta faktor lainnya akan sangat berpengaruh pada produksi dan produktivitas tanaman. Disamping faktor alam, teknologi yang digunakan petani dalam proses produksi, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan serta situasi pasar yang berkaitan dengan permintaan,
penawaran dan proses pemasaran gambir akan sangat
berpengaruh pada pembentukan harga gambir di pasar.
49
GAMBIR Salah Satu Komoditas Unggulan Sumatera Barat dan Kabupaten Lima Puluh Kota Untuk Ekspor
Usahatani perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional dengan teknologi pengolahan sederhana Masalah utama dalam pengelolaan komoditas gambir selama ini: 1. Produksi, produktivitas, serta mutu hasil gambir yang rendah 2. Rendahnya posisi tawar petani di pasar
Bagaimana keterkaitan antara sektor on farm dengan off farm usahatani gambir yang terhubung dalam suatu kesatuan sistem pemasaran serta peranannya dalam menentukan harga gambir
Analisis Produksi
Analisis Pemasaran
Efisiensi pengalokasian sumberdaya
Profil dan kinerja kelembagaan pemasaran gambir
Pendekatan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dan metode untuk analisis pemasaran menggunakan the market structure-conduct-performance relationship
Gambaran menyeluruh mengenai keragaan usahatani gambir mulai dari on farm sampai off farm secara terpadu di Kabupaten Lima Puluh Kota
Gambar 6. Tahapan Analisis Produksi dan Pemasaran Komoditas Gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota
Masalah utama dalam usahatani gambir seperti yang terlihat dalam di Gambar 6 adalah menyangkut produksi, produktivitas serta mutu hasil gambir
50
yang rendah. Proses produksi gambir memerlukan sumberdaya (input) yang bersifat tetap dan input tidak tetap. Faktor yang akan diuji sebagai hipotesis penelitian adalah bagaimana pengaruh luas areal tanam, jumlah pohon dan umur tanaman, tenaga kerja (curahan waktu kerja) serta penerapan faktor produksi lainnya, terhadap produksi gambir. Apakah pengaruhnya signifikan dan sudah efisien dalam pengalokasiannya. Disamping itu akan dilakukan juga analisis efisiensi pemasaran gambir dengan menggunakan pendekatan SCP untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai struktur pasar, perilaku dan keragaan usahatani gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota.