III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Aspek-Aspek Kemiskinan Berbasis Agroekosistem Kemiskinan bersifat multikompleks; dapat dipandang sebagai akibat dari
suatu keadaan, tetapi secara bersamaan juga bisa dipandang sebagai sebab dari suatu keadaan. Di Indonesia, kemiskinan bersifat multifacets; yang keragaannya dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah dilihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Penanggulangan kemiskinan dapat dicapai juga dengan berbagai pendekatan; tidak ada satu ’resep’ yang berlaku untuk semua keadaan. Kemiskinan dan berbagai upaya penanggulangannya khususnya di Indonesia memperlihatkan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Dalam tinjauan makro, pengurangan kemiskinan dengan memacu pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama. Dalam upaya pengurangan kemiskinan, perbaikan dimensi ekonomi saja tidaklah cukup; diperlukan dimensi selain ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (growth) yang berkelanjutan (sustainable) merupakan
keharusan
(necessary)
tetapi
belumlah
cukup
(insufficient);
diperlukan upaya distribusi pendapatan yang berkeadilan. Dimensi ekonomi yang menjadi prasyarat harus dilakukan bersamaan dengan dimensi non ekonomi yang meliputi bidang sosial, politik dan hukum. Disertasi ini tidak meneliti hal tersebut, namun mengadopsi pemikiran bahwa dimensi ekonomi dan non ekonomi sebagaimana disebutkan di atas menjadi prasyarat setiap kebijakan. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang ditawarkan pada disertasi ini dapat berjalan bersamaan dengan upaya perbaikan prasyarat dimensi ekonomi dan non ekonomi tersebut.
36
Kemiskinan dengan menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs) pada penelitian ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat mendasar baik pangan maupun non pangan antara lain sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Strategi kebutuhan dasar ini merupakan pendekatan langsung, bukan melalui pendekatan tidak langsung seperti melalui efek menetes ke bawah dan menyebar (trickle-down and spread effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut dapat ditinjau dari dua aspek yakni aspek pendapatan dan aspek pengeluaran penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar yang timbul oleh adanya aktivitas ekonomi. Aspek pendapatan berhubungan erat dengan matapencarian atau peluang kerja dan peluang usaha. Di perdesaan, matapencarian utama pada umumnya bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (resource based economy) yang erat kaitannya dengan agroekosistem. Sedangkan aspek pengeluaran berkaitan dengan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum; yang pola konsumsinya dipengaruhi oleh dipengaruhi pula oleh agroekosistem. Persoalan-persoalan
kemiskinan
dapat
dianalisis
bersifat
spesifik
berdasarkan tipologi dan karakteristik rumahtangga miskin. Pemecahan masalah kemiskinan seharusnya dikaitkan dengan tipologi kemiskinan dan kerentanan serta faktor-faktor penciri kemiskinan. Tipologi tersebut diperlukan untuk pengoptimuman pencapaian tujuan, khususnya dalam penentuan sasaran kebijakan program dan penentuan jenis intervensi yang tepat. Selain itu, dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan, perbandingan tingkat kemiskinan antarruang dan waktu. Ketepatan sasaran merupakan hal penting karena bila sasaran tidak tepat, maka manfaat program penanggulangan
37
kemiskinan dinikmati oleh penduduk yang bukan menjadi target, sehingga dapat memperparah ketimpangan ekonomi. Berdasarkan
tinjauan
pustaka
terdahulu,
kemiskinan
di
Indonesia
menunjukkan berbagai keragaan dan karakteristik serta memperlihatkan kekhasan
fenomena
berdasarkan
spasial,
khususnya
berdasarkan
agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian
guna
memungkinkan
kelangsungan
hidup
penduduknya.
Tipe
agroekosistem yang digunakan pada penelitian ini yaitu Lahan Basah, Lahan Kering, Lahan Campuran, Dataran Tinggi, Hutan, Pasir/Pantai. Keenam agroekosistem ini menjadi locus penelitian pada disertasi ini, sehubungan dengan kaitan, kekhasan, juga keragaman keragaannya dengan fenomena kemiskinan dan kerentanan di Indonesia. Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan serta kerentanan. Tipologi kemiskinan
tidak hanya
menjelaskan besaran jumlah
ataupun
persentase rumahtangga miskin, tetapi juga seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan seberapa rentan rumahtangga miskin terhadap gejolak perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis. Tipologi kemiskinan akan menunjukkan keragaman karena interaksi faktor manusia dengan lingkungan sumberdayanya beragam, dan harga atau nilai sumberdaya yang berbeda berdasarkan pendekatan agroekosistem. Hal ini disebabkan agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena kemiskinan.
38
Selain dengan menganalisis tipologi kemiskinan, untuk mengetahui bagaimana kehidupan orang miskin, perlu dipelajari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Faktor penciri ini merupakan suatu archetype kemiskinan yakni household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics. Faktor penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem tersebut dalam disertasi ini terdiri dari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga yakni human and social capital, dan faktor penciri yang melekat pada faktor spasial dan infrastruktur meliputi infrastruktur fisik dan sosial. Faktor penciri kemiskinan dianalisis melalui pengeluaran rumahtangga yang pada gilirannya mempengaruhi kemiskinan. Tiap agroekosistem menunjukkan model yang direpresentasikan oleh parameter pengeluaran tumahtangga yang konfigurasi dan besarannya berbeda; meskipun ada beberapa faktor diprediksi sama pada semua agroekosistem. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Interaksi manusia dengan biofisik yang beragam kondisinya ini memberikan bentuk aktivitas sosial, ekonomi bahkan budaya yang beragam pula. Interaksi tersebut menjadi penting karena sebagian besar penduduk menggantungkan sumber penghidupannya pada ketersediaan lingkungan biofisiknya. Selanjutnya, keragaman agroekosistem juga menunjukkan keragaman ekonomi penduduknya yang oleh Ikhsan (1999) disebut sebagai zona agroekonomi. Kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi pada rumahtangga yang tinggal pada agroekosistem khususnya pada kawasan hutan, pesisir/pantai dan lahan pertanian yang terdiri dari lahan kering dan lahan campuran. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing
39
karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik sumberdaya alam sebagai sumberdaya utama kehidupan penduduk, faktor sumberdaya manusia (human and social capital), modal produktif (physical productive capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi pada tiap agroekosistem berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai sumberdaya yang merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang ekonomi (economic opportunities). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya menentukan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Faktor biofisik atau spasial menentukan harga sumberdaya dan peluang ekonominya. Agroekosistem yang memiliki biofisik dataran tinggi dengan kemiringan tinggi atau curam, kondisi lahan berbatuan, tidak subur, tandus sehingga rawan erosi atau longsor akan rendah harga atau nilainya sebagai sumberdaya kehidupan. Investasi akan enggan masuk pada lingkungan dengan biofisik seperti ini karena dinilai tidak menghasilkan return yang tinggi. Peluangpeluang ekonomi untuk matapencarian berkelanjutan akan sangat terbatas. Agroekosistem hutan ditandai oleh biofisik yang berhutan lebat, berbukitan, pergunungan ataupun lembah, terpencil di dalam hutan, akses terhadap pelayanan pokok seperti kesehatan dan pendidikan sangat rendah, kehidupan relatif subsisten, aksesibilitas terhadap informasi rendah. Kondisi ini akan mempengaruhi kesempatan berusaha dan bekerja yang seterusnya mempengaruhi kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh terhambat ataupun terlambatnya penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain. Meskipun hutan mengandung kekayaan alam, namun penduduk di dalam hutan tidak sepenuhnya dapat mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber
40
kehidupannya. Penduduk hampir tidak mempunyai alternatif matapencarian selain menjadi buruh perkayuan ataupun menggantungkan nafkah pada ladang berpindah. Selain itu, biaya penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta infrastruktur fisik lainnya menjadi tinggi. Pada lahan basah dengan berpengairan relatif baik, dicirikan dengan lahan yang relatif datar, relatif subur, aksesibilitas penduduk yang relatif baik terhadap infrastruktur fisik, kondisi memadai terhadap pelayanan pokok, pasar, dan trasportasi. Dengan kondisi biofisik seperti ini, pada dasarnya dapat mendorong resource base economy. Namun, lahan dengan nilai dan harga sumberdaya yang relatif baik ini justru rawan terhadap konversi lahan. Pada
agroekosistem
pesisir/pantai
kondisi
biofisik
yang
khas
mempengaruhi kehidupan rumahtangga khususnya nelayan ialah faktor musim melaut. Pola kerja nelayan menyebabkan terbatasnya pilihan-pilihan terhadap sumber penghidupan lainnya. Selain itu, dengan sistem open access atau common property right terhadap kekayaan laut, menciptakan peluang ekonomi yang lebih tinggi bagi pemilik modal dan sumberdaya manusia yang menguasai teknologi dan pasar. Kondisi ini akan mendorong relasi yang timpang antar pelaku ekonomi. Faktor sumberdaya manusia dan modal sosialnya (human and social capital) mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran. Kepala keluarga atau pencari nafkah usia produktif dengan pendidikan yang relatif tinggi atau memiliki keahlian/ketrampilan dan dengan kondisi kesehatan yang baik, diasumsikan mempunyai peluang kerja ataupun peluang usaha yang lebih baik. Kepala keluarga atau pencari nafkah berjenis kelamin laki-laki ditengarai mempunyai peluang kerja lebih tinggi dibanding perempuan. Keluarga dengan rasio bergantung (dependency ratio) lebih tinggi, akan lebih tinggi pula peluang
41
menjadi katagori miskin. Paguyuban atau kegotongroyongan yang relatif baik antar
rumahtangga
ditengarai
lebih
dapat
mengatasi
schock
terhadap
pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Selain itu, modal sosial yang tinggi dapat meningkatkan coping ability rumah tangga. Ketersediaan infrastruktur fisik dan sosial juga menentukan harga atau nilai sumbedaya. Infrastruktur fisik seperti listrik, jaringan air bersih, sistem transportasi, pasar, sanitasi/pengelolaan sampah menentukan nilai atau harga sumberdaya (GTZ dalam Rustiadi, 2007). Selanjutnya, harga atau nilai sumberdaya ini menjadi determinan aktivitas ekonomi yang lebih luas. Infrastruktur sosial seperti kelompok-kelompok informal, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan juga mempengaruhi aktivitas ekonomi. Selain itu, adanya kelembagaan dapat menentukan nilai atau harga sumberdaya yang selanjutnya mempengaruhi
kesempatan
untuk
meraih
peluang-peluang
ekonomi.
Kelembagaan didefinisikan sebagai the rules of society or of organization that facilitate coordination among people by helping them from expectations which each person can reasonably hold in dealing with others (Ruttan dan Hayami dalam Harianto, 2007). Kepemilikan physical productive capital: seperti aset produksi misalnya lahan, perahu motor, kandang, alat dan mesin pengolahan, merupakan aset pendukung dalam meraih peluang ekonomi. Selain itu, aset fisik ini juga dapat dijadikan agunan bila memerlukan pinjaman uang, ataupun dapat dijual jika memerlukan uang. Jika dianalisis kondisinya, tiap agroekosistem memiliki kekhasan meliputi biofisik, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, infrastruktur fisik dan sosial termasuk kelembagaan. Tiap agroekosistem mempunyai nilai kemanfaatan ekonomi dan lingkungan serta nilai sosial budaya yang beragam pula. Nilai
42
kemanfaatan ini mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga yang ada pada tiap agroekosistem. Secara menyeluruh, karakteristik setiap agroekosistem secara visual disajikan pada Gambar 2.
Lahan Basah
Pantai/Pesisir Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : relatif baik aksesibilitas wilayah: baik, akses pd sumber daya alam ’terbuka’ Akses pada pelayanan umum: relatif baik Sosek: Gini Indeks : 0.67 Pemilikan Lahan : 0.07- 8.3 Ha Sumber penghasilan: kurang variatif
Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian, berpengairan > 75 % aksesibilitas wilayah relatif baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : 0.22 – 0.38 Pemilikan Lahan : 0.01-0.36 atau tidak berlahan Sumber penghasilan: relatif variatif
Lahan Kering Biofisik/faktor spasial: Topografi berbukit/lereng, berpengairan < 25 % Infrastruktur : beririgasi terbatas aksesibilitas wilayah kurang baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif kurang tersedia Sosek: Gini Indeks : 0.27 -0.37 Pemilikan Lahan : 0.01-0.45 Ha Sumber penghasilan:kurang variatif
Karakteristik Agroekosistem Hutan Biofisik/faktor spasial: wilayah relatif terisolasi berbukit/datar/lereng Infrastruktur : relatif kurang baik Akses terhadap sumber daya alam ‘tertutup’ Akses terhadap pelayanan umum : kurang Sosek: Gini Indeks: relatif tinggi Pemilikan Lahan :relatif tidak ada Sumber penghasilan: relatif tidak
Lahan Campuran
Dataran Tinggi Biofisik/faktor spasial: Altitude: > 500 dpl Topografi berbukit/lereng, Infrastruktur : kurang memadai aksesibilitas wilayah kurang baik Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : sekitar 0.25 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif
Biofisik/faktor spasial: Topografi : bervariasi berpengairan 25 - 75 % aksesibilitas wilayah kurang baik Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : 0.02-0.5 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif
Gambar 2. Karakteristik Agroekosistem
Selanjutnya, interrelasi antar faktor tersebut diatas akan merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities) pada tiap agroekosistem yang ada kaitannya dengan sumber matapencarian dan pola konsumsi. Kedua aspek ini pada gilirannya diduga akan berpengaruh terhadap kemiskinan dan kerentanan.
43
Kemiskinan dan kerentanan dibentuk oleh dua aspek yaitu aspek pendapatan dan aspek pengeluaran. Aktivitas ekonomi ditimbulkan oleh pendapatan dan pengeluaran rumahtangga (RT). Dengan asumsi matapencarian utama penduduk berbasis ketersediaan sumberdaya alam, maka aktivitas ekonomi dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem melalui konsumsi dan aktivitas matapencarian.
Dengan
pendapatannya,
rumahtangga
dapat
mengakses
pelayanan pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat memperkuat Human Capital (HC). Di samping memenuhi kebutuhan minimum, RT dapat memperkuat aset-aset produktif (Physical Capital) dalam rangka mendukung matapencariannya. Selanjutnya, pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Di sisi lain, agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi RT yang secara agregat menentukan aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem terutama menentukan peluang usaha dan peluang kerja yang menggerakkan aktivitas ekonomi RT pada agroekosistem. Aktivitas tersebut menimbulkan pengeluaran RT misalnya pengeluaran untuk transportasi, komunikasi dan sebagainya. Secara agregat, pengeluaran RT tersebut akan menimbulkan permintaan terhadap barang dan jasa, yang di respon oleh produsen. Penawaran barangbarang dan jasa akan mempengaruhi pola konsumsi RT. Kondisi kemiskinan menyebabkan suatu rumahtangga atau individu sulit mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini mempengaruhi kualitas tenaga kerja suatu individu. Dengan kualitas yang rendah, maka produktivitas tenaga kerja rendah; artinya modal manusia (human capital) rendah, maka, pendapatan juga rendah. Dengan pendapatan rumahtangga yang rendah (demand) rendah, perusahaan akan menyesuaikan sehingga penawarannya (supply) barang dan jasa menjadi rendah. Kemampuan ekonomi mempengaruhi
44
besarnya peluang-peluang ekonomi dan investasi serta penyediaan fasilitas pendidikan maupun kesehatan. Dengan aktivitas ekonomi yang rendah dan dengan kualitas sumber daya manusia /tenaga kerja yang rendah maka peluang kerja dan peluang usaha tidak dapat dijangkau atau diciptakan; yang pada gilirannya tidak memberikan pendapatan yang cukup bagi rumahtangga. Kondisi ini mengantarkan suatu individu atau penduduk pada kondisi dengan katagori miskin. Kerangka pemikiran penelitian ini, secara skematis disajikan pada Gambar 3.
Indikator Kemiskinan •P0 •P1 P2
Pola Konsumsi Nilai/Harga Sumberdaya - Human & Social Capital - Physical Capital - Infrastruktur Fisik dan Sosial - Spasial/SDA
Agroekosistem Lahan Basah Lahan kering Lahan Campuran Dataran Tinggi Hutan Pantai/Pesisir
Pengeluaran
Peluang ekonomi
Kerentanan
Aktivitas ekonomi
Pendapatan
Elastisitas
Sifat Kemiskinan Kronis dan Tidak Kronis
Mata Pencarian
Faktor penciri Kemiskinan
Karakteristik
Biofisik SDA SDM Infrastruktur Fisik dan Sosial/ Kelembagaan
Tinjauan Kebijakan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Keterangan: SDA = Sumber Daya Alam SDM= Sumber Daya Manusia P0 =insiden kemiskinan P1 = kedalaman kemiskinan P2 = keparahan kemiskinan
45
Impli kasi Kebi jakan
Menguraikan mana sebab dan mana akibat dari kemiskinan pada hakikatnya adalah sulit. Kadangkala sebab-sebab kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat-akibat dari kemiskinan. Karena itu, analisis-analisis pada kemiskinan pada umumnya mencari faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan atau hubungan-hubungan, bukan sebagai hubungan sebab-akibat. Dengan pemahaman terhadap faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan, maka dapat dirancang alternatif kebijakan penanggulangannya. Penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan menggerakkan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi di lingkungan perdesaan dan pertanian dapat dilakukan melalui penumbuhan sentra-sentra ekonomi untuk menggerakkan matapencarian dengan meningkatkan peluang usaha dan peluang kerja yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Hal ini penting, mengingat lebih dari tiga per empat penduduk pertanian dan perdesaan di Indonesia menggantungkan matapencarian utamanya pada ketersediaan sumberdaya alam. Selain itu, masih terbuka peluang-peluang untuk menggerakkan aktivitas ekonomi pertanian dan perdesaan dengan meningkatkan daya dukung agroekosistem melalui perbaikan modal sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik serta infrastruktur dengan memperhatikan faktor lokasinya. Perbaikanperbaikan tersebut akan efektif bila penanganannya sesuai dengan tipologi kemiskinan dan kerentanannya. Hal tersebut dapat dicapai dengan intervensi yang tepat antara lain berdasarkan analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem. 3.2. Analisis Tipologi Kemiskinan Multikompleks kemiskinan dapat dijelaskan melalui analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan dan faktor penciri atau variabel-variabel yang melekat pada rumahtangga miskin berbasis agroekosistem sebagaimana
46
diuraikan diatas. Karena itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan rumahtangga miskin dan faktor pencirinya layak diteliti. Disamping itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan tiap agroekosistem dapat menjelaskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada tiap agroekosistem terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam dan sulit melewati
ambang
batas
miskin
tanpa
upaya-upaya
sistematis
dan
berkesinambungan. Analisis tersebut di atas diyakini dapat menjadi alternatif opsi dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Tipologi ini dibangun dengan maksud memberikan arah bagi target pengurangan kemiskinan. Tipologi kemiskinan dan kerentanan pada disertasi ini mempresentasikan karakter dan magnitutnya. Tipologi tersebut meliputi: (a) Indikator kemiskinan yakni insiden kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan, (b) Kerentanan dan (c) Sifat kemiskinan. Tipologi kemiskinan menjelaskan besaran jumlah dan persentase rumahtangga miskin, seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan
seberapa
rentan
rumahtangga
miskin
terhadap
gejolak
perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis. Keragaman
sekaligus
kekhasan
tipologi
kemiskinan
berdasarkan
pendekatan agroekosistem ini dapat dipahami mengingat agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena kemiskinan. Dengan menganalisis tipologi kemiskinan akan diketahui bagaimana karakter dan magnitut kemiskinan. Bagaimana kehidupan orang miskin diketahui dengan faktor penciri yang melekat
47
pada rumahtangga miskin. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan layaknya menggunakan tipologi dan faktor penciri sebagai referensi bagi penentuan arah, sasaran dan jenis intervensi. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan dilakukan melalui dua jalur yakni peningkatan pendapatan dan pengurangan pengeluaran penduduk. Pengurangan kemiskinan, baik insiden kemiskinan maupun kerentanan terhadap kemiskinan, dapat ditempuh dengan mengurangi pengeluaran penduduk miskin dan atau meningkatkan pendapatannya. Selain itu, dapat dilakukan melalui perbaikan distribusi pendapatan; antara lain memberikan subsidi, mendekatkan akses penduduk pada fasilitas publik dan usaha-usaha produktif. Penanggulangan kemiskinan didasari pemikiran bahwa pengurangan kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang mencakup dua hal yaitu yang penting dipikirkan secara bersamaan dan dalam suatu kesatuan (unified framework) yaitu pengurangan insiden kemiskinan (poverty alleviation) dan mengurangi kerentanan terhadap kemiskinan (poverty prevention). Pengurangan jumlah penduduk miskin dengan mencegah penduduk jatuh kepada kondisi miskin
sangat penting dalam konsep pengurangan kemiskinan melalui
pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri. Dengan pemberdayaan ini, upaya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan secara berkelanjutan,
mengurangi
beban
sosial
masyarakat
dan
mengurangi
ketergantungan terhadap anggaran belanja pemerintah. Data sosial ekonomi rumahtangga dapat diperoleh dari data Susenas. Namun, untuk mempelajari insiden kemiskinan lebih spesifik dengan karakteristik sosial ekonomi pada agroekosistem tertentu, maka diperlukan data lain yakni Potensi Desa. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang mencakup upaya
48
kuratif dan upaya preventif dapat dirumuskan dengan tepat melalui pemahaman karakteristik penduduk miskin yang berbeda dari agroekosistem satu dengan agroekosistem lainnya. Karakteristik kemiskinan terkait erat dengan lokasi/ lingkungan tempat tinggalnya yang seterusnya akan mempengaruhi peluangpeluang ekonomi dan matapencariannya. Untuk merumuskan opsi kebijakan, selain berdasarkan hasil temuan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga diperlukan tinjauan kebijakan pengurangan kemiskinan yang telah dilakukan. Untuk menghitung proporsi penduduk miskin pada lokasi penelitian yang ditetapkan, digunakan formula FGT yang akan menghasilkan gambaran insiden kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan. 3.3. Faktor Penciri Kemiskinan dan Kerentanan Analisis awal dari identifikasi faktor penciri kemiskinan dan kerentanan ialah seleksi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan. Metode analisis yang digunakan adalah metode stepwise discriminant analysis ataupun dengan metode stepwise logistic regression (logit). Namun, karena metode terakhir memberikan misclasification yang rendah atau memberikan interpretasi yang lebih baik (LPEM-UI, 2001), maka pada analisis ini digunakan metode regresi logistik. Pada tahap awal, seleksi variabel-variabel yang menjadi variabel penciri kemiskinan didasarkan pada hasil analisis deskriptif insiden kemiskinan dan profil kemiskinan serta profil daerah miskin. Kemudian dilakukan review terhadap hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) untuk meneliti ketersediaan data. Aspek kehidupan sosial ekonomi penduduk menyangkut keadaan demografi, kesehatan, pendidikan, perumahan, lingkungan hidup, konsumsi rumahtangga dan pengeluaran rumahtangga diperoleh dari data
49
Susenas 2003. Sedangkan data yang menyangkut aspek spasial dan agroekosistem diperoleh dari data yang tersedia pada Podes 2003. Baik data Susenas maupun Podes dikeluarkan oleh BPS. Katagori yang digunakan adalah lahan kering, lahan basah, lahan campuran, pantai/pesisir (coastal), dataran tinggi dan daerah sekitar hutan. Selanjutnya, dilakukan pemilihan variabel dengan menggunakan metoda stepwise yang menjelaskan hubungan variabel-variabel independen dengan variabel dependen. Variabel-variabel yang dipilih yang akan dimasukkan ke dalam fungsi yaitu yang mempunyai koefisien determinasi (R2) yang besar. Nilai R2 ini menunjukkan seberapa besar model dapat menjelaskan data. Sehingga validasi model dapat juga dilakukan dengan menggunakan indikator nilai R2. Variabel
dependen
yang
digunakan
adalah
status
kemiskinan
rumahtangga menurut kebutuhan dasar minimal versi BPS. Variabel ini disusun dalam bentuk diskret. Rumahtangga miskin dinotasikan dengan nilai 0 sementara rumahtangga tidak miskin dengan nilai 1. Variabel-variabel independen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan 3.3.1. Faktor Rumahtangga Secara garis besar, aspek-aspek yang mempengaruhi kemiskinan dalam perspektif mikro (rumahtangga) yang diteliti dikelompokkan dalam (a) variabel modal sumberdaya manusia (human capital) yang meliputi variabel profil umum kepala rumahtangga, variabel kondisi kesehatan rumahtangga, dan variabel kondisi ekonomi rumahtangga dan (b) variabel modal fisik yang dimiliki rumahtangga miskin serta (c) variabel tempat tinggal. Variabel sumberdaya manusia merupakan faktor yang mempengaruhi kapabilitas individu dalam rumahtangga untuk mencari nafkah atau memperoleh pendapatan dan memenuhi kecukupan kebutuhan keluarganya. Faktor tersebut
50
yaitu pendidikan tertinggi kepala keluarga, jenis kelamin, usia, jumlah anggota keluarga yang ditanggung (dependent) dan jumlah tahun bersekolah anggota keluarga. Tingkat pendidikan dikaitkan dengan peluang kerja dan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan, peluang kerja dan peningkatan pendapatan semakin besar. Faktor jenis kelamin dinilai berpengaruh terhadap tingkat upah yang diperoleh oleh pencari nafkah dalam keluarga; sedangkan faktor usia dinilai dapat
menggambarkan
pengalaman
kerja.
Jumlah
anggota
keluarga
berpengaruh terhadap kesejahteraan rumahtangga; semakin banyak dependen dalam keluarga maka semakin kecil tingkat kesejahteraan individu dalam keluarga tersebut. Selanjutnya, status dan sektor berusaha rumahtangga mempengaruhi peluang dan besaran pendapatan. Kemiskinan banyak terdapat pada penduduk dengan status pekerjaan informal dan mencari nafkah di sektor pertanian. Selain itu, faktor kesehatan individu rumahtangga termasuk faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Pencari nafkah yang tidak atau kurang sehat dapat turun pendapatannya sebagai akibat dari menurunnya produktivitas. Apabila anggota keluarga (dependent) sakit dan memerlukan biaya besar, maka diasumsikan pengeluaran keluarga meningkat untuk upaya penyembuhan anggota keluarga tersebut. Variabel modal fisik dimasukkan dalam kelompok variabel yang menjadi penciri kemiskinan dengan pertimbangan bahwa kemiskinan banyak terdapat pada penduduk dengan status pekerjaan pada sektor informal atau berusaha sendiri (Susenas, 2003) sehingga kepemilikan modal fisik merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk memperoleh pendapatan. Kepemilikan modal fisik dapat menjadi agunan apabila rumahtangga memerlukan dana pinjaman modal dari Bank atau kredit formal. Selain itu,
51
kepemilikan modal fisik dapat menjadi alternatif sumber pendapatan sementara atau cadangan apabila ada gejolak atau shock terhadap pendapatan atau pengeluaran suatu keluarga. Sehingga, suatu rumahtangga terlindung dari kemiskinan atau relatif tidak rentan terhadap goncangan terhadap pendapatan atau pengeluaran. Yang dimasukkan dalam variabel modal fisik yaitu kepemilikan aset-aset produktif seperti lahan, rumah dan kendaraan. Kenyataan bahwa kemiskinan terkait dengan modal fisik diperkuat oleh IFAD (2002) yang menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di Asia adalah buruh tani, dan petani gurem. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan rumah tangga berjumlah 37 variabel yang diolah berdasarkan data Susenas 2004 yang menggunakan instrumen core. 3.3.2. Faktor Spasial dan Infrastruktur Selain
faktor
kapasitas
sumberdaya
manusia
dan
sumberdaya
produktifnya, faktor-faktor yang berkaitan dengan spasial dan infrastruktur adalah penting. Hal ini disebabkan oleh eratnya kaitan antara insiden kemiskinan dengan faktor-faktor spasial dan infrastruktur. Kenyataannya, penduduk miskin dengan kemiskinan kronis secara geografis terkonsentrasi di suatu lokasi. Konsentrasi kemiskinan spasial ini merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities). Jika kemiskinan bersifat kronis, dapat dikatakan bahwa terjadi kemiskinan struktural yang ada hubungannya dengan faktor sumberdaya alam setempat (local
resource
endowments).
Kondisi
lahan
dan
lokasi
daerah
akan
mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat di daerah tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan. Sebagai contoh, daerah-daerah marginal di dataran tinggi, dengan kemiringan tinggi dan berbatuan akan mengurangi peluang usaha masyarakat di lokasi tersebut.
52
Kondisi dan lokasi daerah tertentu umpamanya daerah terpencil, daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, dapat meningkatkan peluang terjadinya kemiskinan. Argumen tersebut di atas diperkuat oleh referensi terdahulu bahwa suatu komunitas dalam suatu lokasi tertentu seperti terperangkap dalam kemiskinan; bahkan seperti terjadi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi. Selanjutnya, kondisi ini dipersepsikan sebagai fenomena ”spatial poverty trap”. Kajian IFAD dalam Assessment of Rural Poverty Asia and Pacific (2002) yang menyebutkan bahwa kemiskinan perdesaan terjadi di daerah marjinal, dataran tinggi terpencil utamanya di daerah lahan kering dan berbukitan kapur atau batuan serta daerah pesisir atau pantai. Mengacu pada kajian tersebut, analisis dalam penelitian ini akan difokuskan pada pengurangan kemiskinan ke dalam ruang lingkup pertanian dalam arti luas. Kondisi kemiskinan di agroekosistem erat kaitannya dengan kondisi infrastruktur; sejalan dengan Bank Dunia (2001) yang menyebutkan bahwa infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dengan argumentasi sebagai berikut; 1. kelompok miskin banyak terkonsentrasi di dalam sektor ekonomi dengan ”rates of return” yang tinggi terhadap infrastruktur, 2. kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur yang menyentuh penduduk miskin, maka utilitas infrastruktur tersebut menjadi tinggi. Ruang lingkup infrastruktur mencakup pelayanan publik dari pemerintah seperti energi listrik, komunikasi, persediaan air dan sanitasi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan jalan umum. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka aspek irigasi dan sistem drainase dimasukkan dalam variabel infrastruktur.
53
Selain
infrastruktur fisik yakni
perumahan dan
lingkungan, juga
infrastruktur sosial-ekonomi seperti regulasi, kebijakan dan kelembagaan masyarakat atau lebih dikenal dengan social capital dapat mempengaruhi kerentanan rumahtangga miskin. Social capital diidentifikasikan dengan ada atau tidaknya lembaga seperti lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keuangan mikro, koperasi simpan pinjam di lokasi rumahtangga miskin. Asumsinya, masyarakat yang memiliki atau dapat mengakses lembaga tersebut, maka kemanfaatannya bagi rumahtangga relatif tinggi. Sehingga, bila ada faktor shock terhadap rumahtangga dan pendapatannya, lembaga ini dapat membantu mencarikan alternatif solusi dan membantu kebutuhan untuk sementara waktu. Karena itu, kekuatan modal sosial juga mempengaruhi kerentanan terhadap kemiskinan. Diasumsikan juga bahwa bila ikatan kelembagaan kuat, secara bersamasama sejumlah rumahtangga akan lebih efektif dibina kapasitasnya dalam menggali peluang-peluang ekonominya. Diasumsikan bahwa prospek untuk ”meninggalkan kemiskinan” dapat dipengaruhi oleh kerabat, tetangga, nilai-nilai dalam komunitas lokal dan lingkungan sosial. Kelembagaan tersebut juga dapat mempengaruhi aspirasi dan ekspektasi individu dalam upaya mencari peluangpeluang ekonomi. Variabel spasial dan infrastruktur diolah berdasarkan data Podes 2003 dengan asumsi tidak terjadi perubahan signifikan tentang kondisi penduduk antara tahun 2003 dengan 2004 dimana data Susenas menggunakan versi 2004. Data Podes menggunakan basis desa sedangkan data Susenas menggunakan basis rumahtangga. Analisis penciri kemiskinan rumahtangga pada penelitian ini menggunakan basis rumahtangga. Karena itu, untuk mengkonversikan variabel spasial dan infrastruktur pada unit analisis rumahtangga maka diasumsikan
54
semua rumahtangga menggunakan atau menikmati kondisi atau fasilitas yang ada di desa tempat tinggalnya dengan kesempatan atau peluang yang sama. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan spasial dan infrastruktur berjumlah 70 variabel yang diolah berdasarkan data Podes 2003. 3.4.
Identifikasi Rumahtangga Miskin
3.4.1. Garis Kemiskinan Pada analisis ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhannya; diukur dengan standar kebutuhan minimum yang ditandai dengan batas miskin atau garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada penelitian ini, kecenderungan penggunaan garis kemiskinan yaitu pada batas miskin atau garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Penggunaan standar versi BPS ini dipilih karena batas miskin yang dibangun versi ini didasarkan pada perhitungan bundel makanan dan non makanan, dan dibuat atas perhitungan standar hidup per provinsi, serta membedakan komponen bundel pengeluaran untuk perkotaan dan perdesaan. Dengan demikian, dapat diasumsikan lebih mendekati kenyataan di lapangan atau mendekati kondisi yang sebenarnya. Kebutuhan makanan menggunakan patokan 2100 kalori per hari per kapita, dan kebutuhan non makanan meliputi pengeluaran untuk sandang, perumahan, barang dan jasa termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan makanan menggunakan patokan 2100 kalori per hari per kapita dan kebutuhan non makanan meliputi pengeluaran untuk sandang, perumahan, barang dan jasa termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Ukuran menghitung ketidakcukupan individu memenuhi standar hidup minimum tersebut
55
menggunakan pengeluaran untuk konsumsi (consumption expenditure), bukan pendapatan dengan mengacu pada alasan sebagaimana diuraikan pada Bab II. Pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan pengeluaran atas bundel konsumsi (consumption expenditure) lebih sering digunakan dibandingkan dengan tingkat pendapatan karena alasan kepraktisan operasional bukan secara konseptual. Berdasarkan tinjauan pustaka terdahulu, dapat dikatakan bahwa untuk Indonesia sebagai negara berkembang, data konsumsi relatif lebih akurat dibandingkan dengan pendapatan. Dalam penggunaan data pengeluaran konsumsi sebagai ukuran kemiskinan, digunakan asumsi-asumsi yaitu: 1. Pengeluaran untuk bundel konsumsi dalam bentuk uang sebagai upaya memenuhi
kebutuhan
minimum
hidupnya
mencerminkan
tingkat
kesejahteraan rumahtangganya. 2. Rumahtangga menggunakan sejumlah modal fisik guna mendukung aktivitas ekonominya. 3. Setiap
variabel
penciri
rumahtangga
diasumsikan
mempengaruhi
pengeluaran penduduk untuk bundel konsumsi. 4. Agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga setidaknya melalui tiga jalur yaitu: (a) penggunaan infrastruktur mempengaruhi permintaan terhadap bundel konsumsi, (b) agroekosistem secara langsung mempengaruhi pola permintaan terhadap konsumsi, (c) permintaan terhadap bundel konsumsi bervariasi diantara penduduk miskin dengan penduduk tidak miskin dikarenakan faktor spasial dan faktor infrastruktur.
56
3.4.2. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Potensi Desa Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) ditelaah untuk mengetahui ketersediaan data dan bagaimana kedua hasil survei tersebut dapat dihubungkan untuk memenuhi analisis pada penelitian ini. Telaahan mencakup substansi informasi, sampel dan instrumen yang digunakan pada kedua survei tersebut. 3.4.3. Kemiskinan dan Kerentanan Indikator kemiskinan dianalisis dengan menghitung: (1) rasio H (Headcount Index) untuk menghitung persentase populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan, (2) indeks kedalaman kemiskinan (the depth of poverty or the poverty gap index) untuk mengukur seberapa miskin atau seberapa jauh dari garis kemiskinan suatu individu yang hidup dalam keluarga yang pengeluaran konsumsinya di bawah garis kemiskinan, dan (3) indeks keparahan kemiskinan. Insiden dan kedua indeks tersebut diukur dengan menggunakan formula Foster, Greer dan Thorbecke (FGT Index). Kerentanan terhadap kemiskinan didefinisikan sebagai kerentanan terhadap garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line) yakni probabilitas rumahtangga keluar dari garis kemiskinan atau kerentanan berdasarkan Headcount Poverty Rate. Dalam penelitian ini, kerentanan diukur berdasarkan aspek ekonomi bila terjadi perubahan-perubahan akibat gangguan eksternal (fragile economic based and frequent exposure to shock and fluctuation), ataupun gangguan mencari nafkah suatu individu dalam rumahtangga. Dalam penelitian ini, diasumsikan garis kemiskinan naik sebesar 10 persen dan 20 persen; sehingga dapat dilihat laju kenaikan indikator
57
kemiskinan dan elastisitasnya. Sifat kemiskinan sementara (transient poverty) ataupun kronis (chronic poverty) diukur dengan probabilitas keluar dari kemiskinan. Seseorang dinyatakan miskin kronis apabila ia hidup dalam rumahtangga yang mempunyai probabilitas keluar dari kemiskinan atau peluang untuk keluar dari batas miskin lebih kecil dari 0.5. Untuk menganalisis elastisitas kemiskinan yakni perubahan indikator kemiskinan akibat pengaruh garis kemiskinan, diskenariokan atau disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Angka tersebut digunakan mengacu pada kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa yang mendorong garis kemiskinan. Pada studi yang dilakukan oleh BPS juga digunakan simulasi sebesar 20 persen untuk mengukur rumahtangga katagori hampir miskin di Indonesia secara keseluruhan. Parameter kemiskinan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi diestimasi dengan menggunakan teknik ekonometri terhadap data Susenas dan Podes. Teknik ini dipilih karena lebih memberikan keleluasaan berkreatifitas untuk
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
risiko
terhadap
pendapatan ataupun pengeluaran pada masa yang akan datang, dan sekaligus memungkinkan untuk menganalisis magnitut tingkat kerentanan. Penggunaan teknik ini sudah memenuhi persyaratan yaitu tersedianya dua macam data dari cross-section survey yakni Susenas dan Podes. 3.4.4. Karakteristik Rumahtangga Miskin Dengan
diperolehnya
indikator
penduduk
miskin
dan
estimasi
parameternya, dapat dianalisis karakteristik penduduk miskin dan berpotensi untuk menjadi miskin. Disagregasi dimaksudkan untuk mengetahui siapa saja orang miskin, bagaimana karakteristik demografinya; mencakup jenis kelamin kepala keluarga, umur kepala keluarga, pendidikan tertinggi kepala keluarga,
58
dependensi rasio, kepemilikan aset produksi; bagaimana sosial ekonominya; termasuk apa pekerjaannya, bagaimana tingkat pendapatannya dan dimana mereka tinggal serta bagaimana kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi kemiskinannya seperti akses mereka terhadap pelayanan publik. Untuk itu, dilakukan penghitungan per unit analisis secara statistik dengan cara memilahmilahkan,
menghitung
rerata,
mendisagregasi
dan
menghitung
agregat
berdasarkan unit analisis rumahtangga. 3.5.
Opsi Kebijakan Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku
kepentingan (stakeholders) lainnya dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan tepat jenis intervensinya. Untuk lebih mengoptimalkan daya agroekosistem dalam kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduknya, pengetahuan tentang tipologi kemiskinan pada agroekosistem menjadi sangat penting. Upaya-upaya
pengurangan
kemiskinan
dapat
lebih
fokus
dan
penanganannya lebih terarah bila tipologi kemiskinan tersebut dapat diketahui. Tepat sasaran program penanggulangan kemiskinan dianalisis berdasarkan agroekosistem sasaran rumahtangga miskin. Analisis ini juga memberikan opsi perbaikan penanggulangan kemiskinan yang pada ada masa lalu. Intervensi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan melalui regulasi, kebijakan dan investasi publik yang dapat dibenarkan karena menghasilkan eksternalitas yang lebih besar sebagai akibat aktivitas ekonomi yang oleh sistem pasar tidak diperhitungkan. Tinjauan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan diharapkan dapat menjawab seberapa besar kemanfaatan untuk memenuhi
tujuan
(goals)
ataupun
59
nilai-nilai
(values)
dalam
rangka
penanggulangan kemiskinan. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab antara lain apakah kebijakan tersebut memperbaiki economic opportunities, mengurangi kerentanan penduduk miskin dari sisi ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Berbagai
tingkatan
dan
terminologi
digunakan
dalam
upaya
penanggulangan kemiskinan, seperti strategi, kebijakan, kebijakan operasional, program, program aksi, proyek dan sebagainya. Pada telaah pustaka ditemukan bahwa penggunaan istilah tersebut tidak konsisten. Antara suatu instansi atau lembaga dengan instansi atau lembaga lainnya tidak menggunakan terminologi yang
sama
untuk
hal
atau
aspek
yang
sama.
Evaluasi
kebijakan
penanggulangan kemiskinan di dalam disertasi ini menggunakan hasil evaluasi dari studi-studi terdahulu. 3.6.
Hipotesis Berdasarkan
latar
belakang,
perumusan
masalah
dan
kerangka
pemikiran, hipotesis disusun sebagai berikut: 1. Insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan ekonomi agroekosistem.
2. Kerentanan
terhadap
kemiskinan
berbeda
signifikan
antara
agroekosistem dengan agroekosistem lainnya.
3. Karakteristik kemiskinan dipengaruhi oleh ekonomi agroekosistem.
60
satu