III 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori
mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan lembaga tataniaga; konsep struktur, perilaku, dan keragaan tataniaga; konsep efisiensi tataniaga; konsep biaya dan marjin tataniaga; konsep farmer’s share; dan konsep rasio keuntungan dan biaya.
3.1.1. Konsep Tataniaga Kotler (2006) mendefinisikan bahwa pemasaran sebagai proses sosial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang bernilai. Pengertian tataniaga juga diturunkan dari definisi tataniaga di atas yang diterapkan pada sistem tataniaga produk-produk pertanian. Definisi tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) adalah segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang manghasilkan perubahan bentuk dari barang yang dimaksud untuk lebih memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan lainnya kepada konsumennya. Dikaji dari segi ekonomi, tataniaga merupakan kegiatan yang produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat, dan hak milik.
3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga Menurut Limbong dan Sitorus (1987), lembaga tataniaga merupakan badan-badan atau lembaga yang berusaha dalam bidang tataniaga, menggerakkan barang dari produsen ke konsumen melalui penjualan. Lembaga tataniaga pada dasarnya harus berfungsi dalam memberikan pelayanan kepada pembeli maupun komoditas itu sendiri. Produsen mempunyai peran utama dalam menghasilkan barang-barang dan sering melakukan kegiatan tataniaga. Sementara itu pedagang
19
menyalurkan komoditas dalam waktu, bentuk, dan tempat yang diinginkan konsumen. Adanya jarak antara produsen dan konsumen menyebabkan penyaluran produk dari produsen ke konsumen sering melibatkan beberapa lembaga perantara, dimulai dari produsen itu sendiri, lalu lembaga-lembaga perantara sampai ke konsumen akhir. Di dalam proses penyaluran selalu mengikutsertakan keterlibatan berbagai pihak. Keterlibatan tersebut dapat dalam bentuk perorangan maupun kelembagaan, perserikatan, atau perseroan (Limbong & Sitorus 1987). Lembaga-lembaga tersebut akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran, fisik, maupun fasilitas. Lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen ke konsumen, juga fungsi sebagai sumber informasi mengenai barang atau jasa. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan bahwa fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga perantara di dalam sistem tataniaga. Saluran tataniaga atau saluran distribusi adalah saluran yang digunakan produsen dan lembaga tataniaga lainnya untuk menyalurkan produknya dari produsen sampai konsumen. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan untuk memilih pola saluran tataniaga (Limbong & Sitorus 1987), yaitu: 1)
Pertimbangan pasar yang meluputi konsumen sasaran akhir yang mencakup potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume pesanan.
2)
Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar, dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, apakah barang tersebut untuk memenuhi pesanan atau pasar.
3)
Pertimbangan internal yang meliputi besarnya modal dan sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran, dan pelayanan.
4)
Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga yang meliputi segi kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan perusahaan. Lembaga pemasaran atau lembaga tataniaga merupakan lembaga perantara
yang melakukan aktivitas bisnis dalam suatu sistem pemasaran. Menurut Khols dan Uhls (1990), lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya:
20
1)
Merchant Middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan.
2)
Agent Middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani.
3)
Speculative Middlemen adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga.
4)
Processors and Manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang jadi.
5)
Fasilitative organizations adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain. Khols dan Uhls (1990), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah
badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen akhir. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan lembaga pemasaran yang merupakan suatu badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tataniaga atau pemasaran yang menurut fungsinya dapat dibedakan atas: 1)
Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengakut/transportasi.
2)
Lembaga perantara tataniaga ialah suatu lembaga yang khusus mengadakan funsi pertukaran.
3)
Lembaga fasilitas tataniaga ialah lembaga-lembaga yang melaksankan fungsifungsi fasilitas seperti Bank Desa, Kredit, dan KUD. Lembaga-lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap barang dan
jasa terdiri dari: 1)
Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya: agen, perantara, dan broker.
2)
Lembaga pemasaran yang memiliki dan menguasai barang. Contohnya pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir, dan importir.
21
Umumnya lembaga pemasaran komoditi pertanian terdiri dari petani, pedagang pengumpul di tingkat lokal, pedagang antar daerah, pedagang besar, pengecer, dan agen-agen penunjang. Agen penunjang seperti perusahaan pengankutan, perusahaan penyimpanan, pengolahan biro-biro periklanan, lembaga keuangan dan lain sebagainya. Lembaga ini penting dalam proses penyampaian komoditi pertanian yang bersifat musiman, volume produk besar dengan nilai yang kecil (bulky), dan tidak tahan disimpan lama. Sehingga pelaku pemasaran harus memasok barang dengan jumlah yang cukup untuk mencapai jumlah yang dibutuhkan konsumen dan teredia secara kontiniu. Semakin efisien sistem tataniaga hasil pertanian, semakin sederhana pula jumlah rantai pemasarannya. Produsen adalah golongan yang menghasilkan produk, di samping sebagai pelaku penjualan yang merupakan salah satu dari fungsi pemasaran. Salah satu dari bagian dari fungsi pemasaran adalah pedagang perantara yang merupakan badan-badan yang berusaha dalam bidang pemasaran, mengatur fasilitas yang menggerakkan barang dari produsen sampai ke konsumen. Mereka yang memberi jasa dan fasilitas yang memperlancar fungsi pemasaran yang dilakukan produsen atau pedagang perantara adalah pihak bank, usaha pengangkutan dan sebagainya yang dikategorikan dalam lembaga pemberi jasa. Dengan mengetahui saluran pemasaran suatu komoditas maka dapat diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur dapat ditempuh, serta dapat mempermudah mencari besarnya marjin yang diterima setiap lembaga yang terlibat. Menurut Kohls dan Uhls (1990), fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama yaitu: 1.
Fungsi Pertukaran, meliputi : a)
Fungsi Pembelian Sebagian besar adalah pencarian sumber persediaan bahan baku, perakitan produk serta segala aktifitas yang berhubungan dengan pembelian.
b)
Fungsi Penjualan Produk Segala sesuatu yang berhubungan dengan penjualan termasuk pengiklanan dan penciptaan tehadap permintaan produk.
22
2.
Fungsi Fisik, meliputi : a)
Fungsi Penyimpanan Fokus utama pada membuat kondisi barang tetap baik sampai waktu yang diinginkan.
b)
Fungsi Pengangkutan Fokus utama pada menjadikan barang berada pada tempat yang tepat.
c)
Fungsi Pengolahan Produk Segala sesuatu yang berhubungan pada aktifitas manufaktur yang merubah bahan mentah menjadi produk yang diinginkan.
d)
Fungsi Fasilitas Berperan dalam memudahkan terjadinya fungsi pertukaran dan fungsi fisik.
e)
Fungsi Standardisasi Keseragaman ukuran dalam penentuan dan perawatan produk. Ukuran termasuk dalam kuantitas maupun kualitas.
3.
Fungsi Pelancar, meliputi : a)
Fungsi Permodalan Melibatkan penggunaan uang untuk melakukan berbagai aspek dalam tataniaga.
b)
Fungsi Penanggungan Risiko Penerimaan kemungkinan kerugian dalam pemasaran produk.
c)
Fungsi informasi pasar. Pekerjaan dalam mengkumpulkan, menginterpretasikan, dan memilah variasi data penting dalam pelaksanaan proses pemasaran.
3.1.3. Konsep Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik, serta fasilitas. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi
23
operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga. Efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran/tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kupuasan pihak-pihak yang terlibat yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga pemasaran. Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong & Sitorus 1987). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tertentu tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap fungsi kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Lembaga tataniaga menaikkan harga persatuan kepada konsumen atau menekan harga pada tingkat produsen. Sehingga efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga.
3.1.3.1.
Konsep Margin Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin tataniaga dapat didefenisikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Marjin tataniaga dapat juga diartikan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga ke tingkat konsumen akhir. Marjin tataniga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingakt produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lemabga tataniaga. Margin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat (Kohls and Uhls 1990). Kohls and Uhls (1990), menyatakan bahwa marjin tataniaga sering dipergunakan sebagai perbedaan antara harga di berbagai tingkat lembaga pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin pemasaran ini sering dipergunakan untuk
menjelaskan fenomena
yang menjembatani
adanya
24
kesenjangan (gap) antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pengecer. Dua alternatif dari marjin pemasaran, yaitu: 1.
Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen
2.
Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasarn sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran jasa-jasa tersebut. Secara teoritis hal tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.
Perpotongan antara kuva permintaan tingkat petani (Df) dengan kurva penawaran tingkat petani (Sf) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat petani, yaitu harga pada tingkat Pf. Hal ini berarti bahwa harga tersebut (Pf) merupakan harga riil yang diterima oleh petani untuk pembayaran hasil panen usahataninya. Perpotongan antara kurva permintaan tingkat pengecer (Dr) dengan kurva penawaran tingkat pengecer (Sr) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat pengecer, yaitu harga pada tingkat Pr. Sehingga, harga yang terbentuk (Pr) merupakan harga riil yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir untuk memperoleh produk tersebut.
Sr Sf Pr Pf Dr Df Q Gambar 2. Kurva Margin Tataniaga Sumber: Kohls dan Uhls (1990)
25
Keterangan : Q = jumlah barang (Pr – Pf) Pr = harga tingkat eceran (Pr – Pf)Q Pf = harga tingkat petani Sr = kurva penawaran tingkat pasar eceran Sf = kurva penawaran tingkat petani Dr = kurva permintaan tingkat pasar eceran Df = kurva permintaan tingkat petani
= margin tataniaga = nilai margin tataniaga
Selisih antara tingkat harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang harus dibayarkan konsumen akhir (Pr) adalah margin tataniaga. Margin tataniaga yang terbentuk ini adalah cakupan total dari keuntungan yang diterima oleh seluruh lembaga tataniaga dan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Biaya pemasaran yang terbentuk merupakan sebuah biaya yang dikeluarkan dalam usaha-usaha untuk memberikan nilai tambah pada produk yang diperdagangkan, maupun biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan kegunaan tempat kepada produk yang diperdagangkan.
3.1.3.2. Konsep Farmer’s Share pada Tataniaga Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang diterima lembaga pemasaran ini dinyatakan dalam persentase (Limbong & Sitorus 1987). Farmer’s share didapatkan dari hasil bagi antara harga di tingkat petani dan adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Besarnya farmer’s share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemprosesan, (2) biaya transportasi, (3) keawetan, dan (4) jumlah produk. Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share,
26
melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produknya. Farmer’s Share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan Uhls (1990) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai bagian dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen dan harga yang dibayarkan konsumen. Saluran tataniaga yang tidak efisien secara kuantitatif akan relatif memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani melalui harga beli sehingga harga yang diterima petani lebih rendah. Biaya tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sehingga akan menurunkan nilai farmer’s share. Sebaliknya pada saluran tataniaga yang efektif dan efisien, marjin tataniaga dan biaya tataniaga menjadi lebih rendah sehingga perbedaan harga petani dengan konsumen lebih kecil dan nilai farmer’s share akan meningkat.
3.1.3.3.
Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya. Persebaran rasio keuntungan dan biaya yang merata dan rendahnya marjin pemasaran terhadap biaya pemasaran menunjukkan bahwa secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien.
3.1.4. Konsep Struktur Pasar Dalam melakukan analisis tataniaga maka analisis sturktur pasar menjadi salah satu elemen yang paling penting untuk diamati. Ada tiga hal yang perlu diketahui agar produsen dan konsumen dapat melakukan sistem tataniaga yang efisien, yaitu: (1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (2) sistem keluar masuk barang yang terjadi di pasar, dan (3) diferensiasi produk (Limbong & Sitorus 1987).
27
Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan. Pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu produsen dan konsumen. Dilihat dari sisi produsen terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopoli, duopoli, dan oligopoli, sedangkan dari sisi pembeli (konsumen) terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni (Dahl & Hammond 1977). Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik dan Struktur Pasar Karakteristik No Jumlah Jumlah Pembeli Penjual
Sifat Produk
Struktur Pasar
Pengetahuan Informasi Pasar
Hambatan Keluar Masuk Pasar
1
Banyak
Banyak Homogen
Sedikit
Rendah
2
Banyak
Banyak Diferensiasi
Sedikit
Tinggi
3
Sedikit
Sedikit Homogen
Banyak
Tinggi
4
Sedikit
Sedikit Diferensiasi
Banyak
Tinggi
5 Satu Satu Unik Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
Banyak
Tinggi
Sisi Pembeli
Sisi Penjual
Persaingan Persaingan murni murni Persaingan Persaingan monopolistik monopolistik Oligopsoni Oligopoli murni murni Oligopsoni Oligopoli diferensiasi diferensiasi Monopsoni Monopoli
3.1.5. Konsep Perilaku Pasar Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang
28
meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga
mampu
merencanakan
kegiatan
tataniaga
secara
efisien
dan
terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah yang menjadi sentra produksi
beras di Provinsi Jawa Tengah memiliki peran penting dalam rangka menjaga stabilitas persediaan beras nasional. Penghargaan Nasional tentang ketahanan pangan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia atas keberhasilan Kabupaten Demak dalam meningkatkan produksi padi pada tahun 2007-2009 merupakan salah satu bukti bahwa Kabupaten Demak masih menjadi daerah yang perlu mendapatkan perhatian khusus terkait komoditi pangan, khususnya beras. Namun pada bulan Februari 2011, terjadi sebuah kekhawatiran pada masyarakat Demak yang disebabkan oleh tingginya harga beras. Masyarakat berada dalam keadaan yang kurang diuntungkan karena kondisi ini, terutama masyarakat golongan bawah. Kondisi tersebut membuat warga kesulitan membeli beras dikarenakan stok beras di petani maupun RMU padi sudah sangat menipis. Bahkan raskin yang banyak dicari masyarakat miskin juga sulit didapatkan karena stoknya sangat terbatas. BULOG sebagai lembaga yang menjaga stabilitas harga beras di pasar, seharusnya mampu berperan dalam keadaan tersebut. Namun jika dilihat pada keadaan di lapang, maka BULOG seakan belum menjalankan fungsinya untuk memperkuat ketahanan pangan terutama pada rumah tangga miskin. Permasalahan berikutnya adalah rendahnya harga GKP di Kabupaten Demak sepanjang bulan Februari 2011 yang lalu. Penurunan terjadi baik di tingkat petani maupun RMU yaitu pada kisaran 17-20 persen. Survei harga produsen gabah yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah ini mencatat bahwa harga GKP terendah terdapat di Kabupaten Demak pada harga Rp 2.000,00 per kilogram dan Rp 2.020,00 per kilogram untuk harga GKG.
29
Sebagai kabupaten yang memiliki produksi padi yang tinggi, terdapat banyak pihak-pihak yang berkepentingan pada perdagangan komoditi tersebut. Pihak-pihak tersebut yang disebut sebagai lembaga-lembaga tataniaga yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Hal yang perlu dikaji kemudian adalah apa yang menjadi penyebab adanya kesenjagan harga yang jauh antara petani dan konsumen; terbatasnya stok beras; dan permasalahan pemasaran lainnya karena salah satu indikator tercapainya kondisi ketahanan pangan ialah terciptanya aksesibilitas masyarakat terhadap beras yang mencakup aspek ketersediaan, aspek distribusi dan harga yang terjangkau. Untuk mengetahui permasalahan tersebut maka perlu dilakukan analisis tataniaga pada perdagangan beras yang ada. Analisis yang dilakukan terdiri identifikasi tentang lembaga dan saluran tataniaga beras, marjin tataniaga, farmer’s share, dan struktur pasar pada setiap rantai tataniaga. Dengan penelitian ini diharapkan akan diketahui seperti apa tataniaga beras di Desa Kenduren.
30
Beras menjadi bahan pangan utama penduduk Indonesia Pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan akan beras
Permintaan yang tinggi menimbulkan peluang untuk peningkatan ekonomi petani dan pihak yang terlibat dalam industri beras.
Peningkatan produksi padi dari tahun 2007-2009 di Kabupaten Demak.
Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah penyangga ketahanan pangan nasional.
Adanya gap harga yang besar di tingkat produsen dan konsumen beras di Kabupaten Demak Permasalahan dalam ketersediaan beras di Kabupaten Demak Fungsi BULOG yang belum optimal Demak ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN
Analisis Kualitatif
Analisis saluran tataniaga Analisis lembaga dan fungsi
tataniaga yang dilakukan Analisis struktur pasar
Analisis perilaku pasar
Analisis Kuantitatif
Analisis efisiensi tataniaga
Analisis marjin tataniaga Analisis farmer’s share tataniaga Analisis rasio keuntungan dan biaya
Gambaran tataniaga komoditi beras di Desa Kenduren
Rekomendasi solusi kepada petani dan lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga beras di Desa Kenduren
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
31