III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor) dapat dilihat dari sisi permintaan dan penawaran (Bhagwati 1987; Krugman & Obstfeld 1991; Salvatore 1995, diacu dalam Malian 2003). Sisi permintaan menunjukan bahwa ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan negara importir, kebijakan deviasi, dan kebijakan perdagangan negara pesaing. Sementara dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi, impor bahan baku, dan kebijakan deregulasi (Malian 2003). Disamping itu, perbedaaan sumberdaya, teknologi, dan efisiensi antara negara akan mempengaruhi biaya produksi dan daya saing suatu komoditi di pasar internasional. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi sesuatu dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak 1992). Menurut Kadariah (1999), efisien atau tidaknya produksi suatu yang bersifat tradable tergantung pada daya saingnya di pasar dunia. Artinya apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (border prices). Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keungulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usahatani. Usahatani tebu dengan produk tebu sebagai komoditi komersial, dimana
17
keunggulan komparatif digunakan untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganalisis efisiensi dari sisi finansial. Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu konsep ini juga digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti kabupaten atau propinsi. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh David Ricardo (1817) yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) atau disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi sesuatu, jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor yang mempunyai keunggulan komparatif, maka negara tersebut sebaiknya mengimpor yang mempunyai kerugian absolute lebih besar. Berdasarkan inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif (Salvator 1994). Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satusatunya faktor roduksi. Teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga dari komoditi sama dengan atau dapat diperoleh dari jumah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk memproduksi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa (1) hanya tenaga kerjalah faktor produksi atau tenaga kerja digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua, dan (2) tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini merupakan satu-satunya faktor produksi, juga tidak digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua, dan (2) tenaga kerja tidak homogen. Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keungguan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson et al. (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu : 1) Perubahan dalam sumberdaya alam 2) Perubahan faktor-faktor biologi 3) Perubahan harga input 4)
Perubahan teknologi
5) Biaya transportasi yang lebih murah dan efisien 18
Melihat faktor-fakor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka sebenarnya keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal, serta dari segi pengolahannya. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata (Salvator 1994). Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Simatupang (1995) dalam Siregar (2009) menyebutkan, secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen, baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Selanjutnya, agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha produksi petanian pada saat ini harus lebih berorientasi kepada konsumen atau lebih berwawasan menjual. Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai dengan keinginan konsumen. Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing di pasaran internasional jika negara tersebut memiliki keunggulan
19
kompetitif dalam menghasilkan suatu produk dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui jaminan harga, kemudian perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dan Simatupang 1993). Walaupun demikian konsep kenggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. 3.1.2. Teori Perdagangan Internasional Menurut Salvator (1994), kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara menunjukan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adanya usaha untuk memaksimumkan kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut dapat diterima oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama yang menyebabkan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah : 1) Adanya perbedaan dalam pemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya, sehingga negara-negara akan memperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumber daya tersebut. 2) Negara-negara yang melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale dalam produksi, artinya suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis-jenis barang. Seluruh alasan yang mendasari terjadinya perdagangan internasional bertitik tolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu negara akan mengekspor yang produksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah. Dengan demikian perdagangan mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Banyak ahli berpendapat bahwa ekspor suatu komoditi terjadi karena adanya penawaran domestik yang 20
berlebih (excess supply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara pengekspor lebih rendah dibandingkan dengan harga negara lain dan sebaliknya suatu negara akan melakukan impor suatu karena adanya permintaan domestik yang berlebih (excess demand) atau karena suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat terhadap produk terentu. 3.1.3. Kebijakan Tarif Impor Kebijakan diartikan sebagai tujuan dan metode yang digunakan pemerintah untuk mempengaruhi variabel ekonomi seperti harga, penerimaan nasional, nilai tukar, dan sebagainya. Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditi terdiri dari dua bentuk yang berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota (Salvator 1994). Menurut Salvator (1994) subsidi merupakan pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen dan produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor sesuatu, yang berupa pajak dan kuota dengan maksud untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable goods) dan untuk menciptakan perbedaan harga di pasar internasional dengan harga di pasar domestik. Terdapat dua bentuk kebijakan perdagangan yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia, yaitu dengan penetapan pajak ekspor baik per unit barang yang diekspor maupun secara keseluruhan. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam 21
negeri melalui penetapan harga pasar domestik yang lebih rendah dari harga pasar dunia, sehingga kebijakan yang dilakukan adalah berupa pengenaan tarif impor atau kuota impor. Menurut Paramatha et al. yang diacu dalam Dhiany (2008), penetapan kebijakan pertanian berpengaruh terhadap para pelaku ekonomi, seperti: 1) Kebijakan harga input akan berdampak pada petani 2) Kebijakan harga output akan berdampak pada petani, pedagang besar, dan pedagang eceran 3) Kebijakan produksi akan berdampak pada kuantitas output, input, dan harga input 4) Kebijakan konsumsi akan berdampak pada permintaan suatu komoditi 5) Kebijakan perdagangan akan berdampak pada ekspor bersih, impor bersih, dan neraca pembayaran 6) Kebijakan distribusi akan berdampak pada identifikasi surplus konsumen, surplus petani, dan biaya penyetor pajak 7) Kebijakan sosial akan berdampak pada identifikasi penerimaan dan pembuat kebijakan Tarif impor secara teori dapat meningkatkan harga barang domestik pada negara pengimpor. Akibatnya untuk produsen di negara pengimpor secara relatif akan mengalami kerugian sedangkan para produsen di negara pengimpor akan memperoleh keuntungan. Menurut Salvator (1994), dampak pemberlakuan tarif impor terhadap konsumsi (Consumtion Effect of The Tarif) yakni berkurangnya konsumsi domestik. Dampak pengenaan tarif terhadap produksi
adalah
peningkatan produk domestik khususnya terhadap komoditi yang semula lebih banyak diimpor. Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan yaitu turunnya impor akibat kenaikan harga di negara pengimpor. Jika P1 adalah harga barang sebelum diterapkannya tarif impor dan P2 adalah harga barang setelah diterapkannya tarif impor maka dampak-dampak akibat pemberlakuan tarif impor dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
22
Gambar 1. Dampak Tarif Impor Sumber : Monke and Pearson (1998)
Pada Gambar 1, jika harga berada pada P1 maka tingkat konsumsi produk di negara pengimpor adalah sebesar Q4 dengan tingkat produksi domestik di negara tersebut adalah sebesar Q1. Artinya negara pengimpor akan mengimpor komoditi dari negara lain sebanyak Q4-Q1. Barang yang diimpor memiliki harga yang lebih rendah dari harga barang domestik akan menyebabkan barang domestik menjadi kalah bersaing dengan harga barang impor. Oleh karenanya salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan menetapkan tarif impor. Tarif impor akan menyebabkan harga barang impor menjadi meningkat hingga P2. Pada tingkat harga ini konsumsi dalam domestik akan mengalami penurunan menjadi Q3. Kenaikan harga ini juga akan menyebabkan produksi di dalam negeri negara pengimpor menjadi meningkat menjadi Q2 dan jumlah barang impor pun menurun menjadi Q3-Q2. Dengan demikian dampak pemberlakuan tarif impor terhadap konsumsi domestik bersifat negatif. Namun secara keseluruhan pemberlakuan tarif impor akan merugikan perdagangan karena akan ada biaya sosial yang hilang sebesar segitga ABF dan CDE. 3.1.4. Metode Penentuan Harga Bayangan Analisis keunggulan komparatif dalam konsep daya saing menggunakan harga bayangan, sedangkan analisis keunggulan kompetitif menggunakan harga 23
pasar. Dalam Gittinger (1986), harga bayangan adalah suatu harga yang lebih dekat menggambarkan biaya imbangan terhadap masyarakat. Langkah-langkah yang dikemukakan untuk mengubah atau menyesuaikan harga pasar(harga finansial) menjadi harga bayangan (nilai ekonomi), yaitu : 1. Penyesuaian Pembayaran Tranfer Langsung Pembayaran tansfer langsung adalah pembayaran yang bukan penggunaan sumberdaya nyata tetapi hanya transfer dari klaim pada sumber nyata seseorang dan transaksi kredit yang mencakup pinjaman, penerimaan, pembayaran kembali modal, dan bunga. Dua transaksi kredit yang mungkin luput dari pengawasan adalah jumlah-jumlah yang dapat dibayar dan dapat diterima. Semua pembukuan ini harus dikeluarkan sebelum neraca finansial disesuaikan untuk mengambarkan nilai ekonomi. 2. Penyesuaian untuk Penyimpangan Diperdagangkan (Tradable)
Harga
pada
Barang
yang
Barang yang diperdagangkan adalah barang yang apabila diekspor harga fob (free on board) lebih besar dari biaya produksi domestik atau barang-barang yang boleh diekspor melalui campur tangan pemerintah dengan menggunakan subsidi ekspor dan sebagainya. Apabila diimpor, biaya produksi domestik lebih besar dari harga cif (cost insuransce freight). Pertama-tama, penilaian dilakukan dengan menetapkan harga batas yaitu harga cif untuk barng impor dan fob untuk barang ekspor. Harga batas kemudian disesuaikan untuk memperhitungkan biaya pengangkutan dalam negeri dan biaya pemasaran antara pelabuhan impor atau ekspor ke lokasi proyek. 3. Penyesuaian untuk Penyimpangan Harga pada Barang-barang yang tidak diperdagangkan Barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah barang-barang yang harga cifnya lebih besar dari biaya produksi domestik dan lebih besar dari harga fob. Barang-barang yang tidak diperdagangkan adalah barang-barang yang memakan tempat dan cepat rusak. Kadariah (1999) menyatakan bahwa harga bayangan dapat dianggap semacam penyesuaian yang dibuat oleh peneliti proyek terhadap harga pasar dari 24
beberapa faktor produksi atau hasil produksi tertentu. Hal ini disebabkan karena harga dari unsur-unsur atau hasil produksi tersebut. Penyimpangan-penyimpangan harga pasar dari biaya imbangan sosial terutama disebabkan oleh kebijakankebijakan pemerintah berupa pajak tidak langsung, subsidi maupun pengaturan harga. Sequire dan Van der Tak (1982) yang diacu dalam Gittinger (1986) mengemukakan dua hal yang penting dalam penggunaan harga bayangan. Pertama, harga bayangan bukan harga-harga keseimbangan yang akan terjadi dalam perekonomian dimana tidak terdapat gangguan-gangguan. Perkiraan dari harga bayangan ini akan memberikan informasi penting yang dapat digunakan sebagai landasan untuk merancang kebijakan yang dapat menghilangkan gangguan-gangguan. Kedua, perlunya pendefinisian yang jelas terhadap tujuantujuan sosial ekonomi dari kebijakan pembangunan sosial. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan harga bayangan pada analisis kebijakan berdasarkan pada alasan: (1) harga yang berlaku di pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut, dan (2) harga pasar tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumberdaya yang dipilih dipakai dalam aktivitas tertentu, tetapi tidak digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat. 3.1.4.1. Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar Rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Untuk menentukan harga bayangan nilai tukar digunakan formula yang telah dirumuskan oleh Squire dan van der Tak (1982) yang diacu dalam Gittinger (1986), bahwa penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :
Dimana, SER : Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) OER : Nilai Tukar Resmi (Rp/US$) SCFt : Faktor Konversi Standar 25
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut :
Dimana, SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt
: Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Mt
: Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp)
Txt
: Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp)
Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t (Rp) Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Square dan Van der Tak, yaitu berdasarkan rata-rata nilai ekspor tahun 2007-2009 (Xt) Rp 1.223.455.423.333.330, nilai impor (MT) Rp 869.147.030.400.000, pajak ekspor dan impor masing-masing Rp 9.050.333.333.333dan Rp 19.541.000.000.000 (Kementerian Perdagangan 2010). Pada akhirnya diperoleh nilai SER sebesar Rp 10.022,07. 3.1.4.2. Harga Bayangan Ouput Harga privat untuk komoditi tradable diperoleh dari harga pasar atau harga aktual pada tingkat petani, sementara harga sosial untuk produk-produk tersebut adalah border price. Untuk barang-barang yang diimpor, harga impor barang tersebut menunjukkan opportunity cost untuk menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri (Pearson et al. 2004). Penentuan harga bayangan output yang digunakan dalam penelitian ini adalah border price atau harga perbatasan untuk output yang diimpor, setelah adanya biaya tataniaga dari produksi yang dikeluarkan terlebih dahulu. Harga bayangan yang digunakan oleh output berupa gula ini diperoleh dari harga cif karena merupakan yang masih diimpor. Maka harga bayangan gula diperoleh dengan mengalikan harga cif gula dengan SER lalu ditambah dengan biaya tataniaga.
26
3.1.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Pada dasarnya dalam menentukan harga bayangan sarana produksi dan peralatan yang termasuk tradable tidak berbeda dengan penentuan harga bayangan output. Harga bayangan ditentukan pada harga border price, sedang untuk input non tradable digunakan harga domestik, yang termasuk input tradable adalah pupuk dan pestisida. 1. Harga Bayangan Bibit Menurut Saptana et al. (2002) untuk bibit tebu karena pengadaannya sudah dalam bentuk bibit jadi berasal dari dalam negeri serta tidak adanya distorsi baik karena distorsi kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar, maka penentuan harga sosialnya didekati dari harga aktualnya. 2. Harga Bayangan Pupuk Pada pengusahaan usatani tebu pupuk yang biasa digunakan terdiri dari pupuk NPK Phonska dan ZA. Dalam biaya produksi pupuk terkandung subsidi dari pemerintah sehingga kurang menggambarkan harga yang sebenarnya. Oleh karena itu, harga bayangan pupuk ditentukan berdasarkan biaya produksinya sebelum dikurangi subsidi. Harga bayangan pupuk NPK Phonska dan ZA adalah sebesar Rp 4.238 per kilogram dan Rp 2.580 per kilogram. Harga ini merupakan biaya produksi masing-masing pupuk. Subsidi pupuk NPK Phonska dan ZA dari pemerintah adalah sebesar Rp 1.939 per kilogram dan Rp 1.180 per kilogram. 3. Harga Bayangan Pestisida Pestisida yang digunakan dalam usahatani tebu di lokasi penelitian adalah insektisida dan herbisida. Menurut Aliyatillah (2009) harga bayangan insektisida dan herbisida di dekati berdasarkan harga aktual di lokasi penelitian dikurangi dengan tarif impor sebesar 10 persen dan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen. 4. Harga Bayangan Tenaga Kerja Menurut Gittinger (1986) dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminakan nilai produktivitas marjinalnya. Untuk tenaga kerja terdidik, 27
upah tenaga kerja bayangan sama dengan upah pasar (finansial), sedangkan tenaga kerja tidak terdidik dengan anggapan belum bekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya, maka harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga upah finansialnya. Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani tebu merupakan tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya juga tidak terdidik sehingga perhitungan harga bayangan tenaga kerja tersebut mengacu pada Siregar (2009) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di lokasi penelitian. 5. Harga Bayangan Lahan Terdapat kesulitan untuk mengukur nilai dari suatu usahatani yang dilakukan di suatu lahan tertentu. Oleh karena itu, menurut Pearson et al. (2004) harga privat untuk komponen biaya ini adalah harga yang dibayarkan petani jika lahan yang digunakan adalah lahan sewa. Sehingga harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan di daerah tersebut. 6. Harga Bayangan Bunga Modal Bunga untuk analisis finansial ditaksir dengan menggunakan tingkat bunga yang berlaku secara umum pada bank pemerintah. Menurut Saptana et.al (2002) harga bayangan suku bunga modal (interest rate) menggunakan suku bunga riil yang dihitung dengan mengurangkan suku bunga aktual dengan suku tingkat inflasi yang terjadi. Karena sebagian besar petani tebu meminjam kepada Bank BRI maka tingkat suku bunga aktual menggunakan tingkat suku bunga BRI sebesar 12 persen per tahun, sehingga suku bunga aktualnya ditentukan 12 persen per tahun, dengan tingkat inflasi pada tahun 2009 sebesar 2,78 persen. Harga bayangan bunga modal dihitung dengan mengurangkan tingkat suku bunga aktual 12 persen terhadap tingkat inflasi 2,78 persen, sehingga diperoleh harga bayangan bunga modal 9,22 persen per tahun. 7. Harga Bayangan Pajak Untuk penelitian harga bayangan, pajak dikeluarkan dalam penilaian harga sosial (Siregar 2009). Oleh karena itu, harga finansial untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam penelitian ini dihitung dalam setahun sedangkan harga bayangannya tidak diperhitungkan. 28
3.1.5. Policy Analysis Matrix (PAM) Sistem dapat melibatkan lebih dari satu level aktivitas ekonomi yaitu mulai dari usahatani, pengolahan dan pemasaran. Perhitungan biaya dan penerimaan tidak hanya di usahatani saja, karena usahatani hanya mengevaluasi efisiensi dan daya saing dari produksi untuk konsumsi sendiri. Adapun PAM menganalisis biaya dan penerimaan dalam sistem yaitu mulai dari usahatani, pengolahan dam pemasaran. Hal ini karena kendala efisiensi produksi tidak hanya di dalam usahatani saja tetapi juga dalam proses pengolahan dan pemasaran. Model PAM juga digunakan untuk mengetahui informasi keuntungan, yaitu keuntungan finansial dan ekonomi yang diperoleh dari matriks PAM. Matriks PAM menunjukkan tingkat efisiensi pemakaian sumberdaya yang diusahakan baik efisiensi ekonomi maupun efisiensi finansial. Pengukuran tingkat efisiensi dalam matriks PAM ditunjukkan oleh rasio biaya privat (PCR) dan rasio sumberdaya domestik (DRC). Asumsi yang digunakan dalam analisis PAM adalah : 1) Perhitungan berdasarkan harga privat yaitu harga yang benar-benar diterima produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah. 2) Perhitungan berdasarkan harga sosial atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan pemerintah. Pada tradable goods harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional. 3) Ouput bersifat tradable dan input dapat digolongkan ke dalam komponen tradable dan komponen non tradable. 4) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan. Model analisis PAM mempunyai kelebihan yaitu kemampuan analisis yang dimiliki tidak hanya untuk memantau keunggulan komparatif dan kompetitif atau efisiensi finansial dan ekonomi, tetapi sekaligus melihat pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan pemerintah. Model analisis ini memiliki kekurangan yaitu kurang membahas masing-masing analisis secara mendalam akibat terlalu banyaknya pembahasan yang harus dilakukan. 29
3.1.6. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan hasil suatu kegiatan ekonomi jika terdapat kesalahan dalam perhitungan biaya dan manfaat. Analisis ini merupakan suatu teknik analisis untuk menguji perubahan kelayakan suatu kegiatan ekonomi (proyek) secara sistematis jika terjadi kejadiankejadian yang berada dalam perkiraan yang telah dibuat dalam perencanaan. Menurut Kadariah (1999) analisis sensitivitas dilakukan dengan cara : 1) Mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perbahan tersebut. 2) Menentukan seberapa besar variabel yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil proyek. Analisis kepekaan mengubah suatu variabel kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah : 1) Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada saat tertentu. 2) Hanya mencatat apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Daya saing adalah kemampuan produsen memproduksi suatu produk dengan mutu yang baik dan biaya yang cukup rendah sesuai harga di pasar internasional, dapat dipasarkan dengan laba yang cukup dan dapat melanjutkan kegiatan produksi atau usahanya (Simanjuntak 1992). Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumberdaya domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah dibandingkan harga yang terbentuk di pasar dunia cukup kompetitif. Komoditi gula adalah barang yang diperdagangkan (tradable goods), maka ada dua kriteria yang dipakai yaitu : (1) layak secara ekonomi; dan (2) layak secara finansial. Kelayakan ekonomi merupakan syarat agar usaha agribisnis tebu efisien bagi masyarakat secara keseluruhan. Sementara 30
itu kelayakan finansial efisien bagi lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut (Kadariah et al. 1999). Menurut Simatupang (1991); Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial apabila perekonomian tidak mengalami ditorsi sama sekali. Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau sering disebut “revealed competitive advantage” yang merupakan pengukur daya saing kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Selain biaya produksi riil daya saing suatu komoditi juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan pemerintah. Hal ini disebabkan untuk mencapai perekonomian yang kompetitif sempurna, dimana alokasi sumberdaya optimal dan poduksi barang dan jasa maksimum, dalam kenyataanya sulit terwujud (Samuelson and Nordhaus 1993). Dalam prakteknya, perekonomian seringkali mengalami distorsi struktur pasar (monopoli atau oligopoli), distorsi karena faktor kebijakan pemerintah, dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Kebijakan pemerintah di bidang pergulaan menuju berjalannya mekanisme pasar. Sebagai contoh, untuk menjaga stabilitas harga gula di dalam negeri pemerintah
melalui
peraturan
Menteri
Keuangan
No.150/PMK.011/2009
melakukan penurunan tarif bea masuk impor gula. Kebijakan penurunan tarif impor merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri dari tingginya harga gula dalam negeri. Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi konsumen tersebut diduga memiliki efek yang berlawanan terhadap petani tebu lokal. Oleh karena itu, analisis PAM digunakan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah tersebut terhadap daya saing pengusahaan usahatani tebu lokal. Selain itu, dalam analisis ini digunakan juga analisis sensitivitas untuk melihat daya saing tebu apabila terjadi peningkatan tarif impor.
31
Potensi pengembangan usahatani tebu di Indonesia Tren produksi tebu yang meningkat
Kebijakan pergulaan Indonesia
Kebijakan tarif bea masuk impor gula
Matriks Analisis Kebijakan (PAM)
Analisis dampak kebijakan pemerintah
Analisis daya saing
Analisis keunggulan kompetitif (PP, PCR)
Analisis Keunggulan Komparatif (SP, DRC)
Analisis kebijakan input (IT, NPCI, FT)
Analisis kebijakan output (OT, NPCO)
Analisis kebijakan input-output (EPC, NT, PC, SRP)
Daya saing tebu dan dampak kebijakan pemerintah
Analisis Sensitivitas
Dampak penurunan tarif impor gula
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Dampak Penurunan Tarif Impor Gula terhadap Daya Saing Komoditi Tebu
32
IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) atas dasar pertimbangan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra perkebunan tebu di Pulau Jawa dan Kabupaten Cirebon dipilih karena merupakan kabupaten dengan produksi terbesar di Jawa Barat, atau sekitar 39 persen produksi tebu Propinsi Jawa Barat berasal dari kabupaten ini. Di Kabupaten Cirebon terdapat tiga pabrik gula yaitu PG Sindang Laut, PG Tersana Baru, dan PG Karangsuwung. PG Sindang Laut dipilih karena PG Sindang Laut memiliki produktivitas kedua terbesar dan memiliki akses paling dekat dengan pusat Kota Cirebon. Selain itu, dibandingkan dengan yang lain, PG sindang laut memiliki akses transportasi terdekat menuju kantor Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan Pusat Koperasi Petani Tebu Rakyat (Puskopetra). Hal ini sangat diperlukan oleh peneliti terkait dengan koordinasi mengenai kondisi di lapang kepada pengurus APTRI dan Puskopetra. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2010. 4.2. Metode Penentuan Sampel Petani tebu yang akan menjadi sampel adalah petani tebu rakyat yang berada di wilayah kerja PG Sindang laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Alasan dipilihnya Perkebunan Tebu Rakyat (PTR) karena menurut Susila dan Sinaga (2005) perkebunan tebu rakyat lebih responsif terhadap kebijakan pemerintah, dibandingkan dengan perkebunan milik negara dan perkebunan swasta. Adapun jumlah petani tebu yang diteliti sebanyak 13 orang petani yang dipilih berdasarkan metode accidental sampling dan snowball sampling. Metode ini dipilih karena pertimbangan tidak tersedianya data yang jelas mengenai jumlah petani tebu dan alamat tempat tinggal petani tebu. Metode accidental sampling dilakukan dengan medatangi tempat-tempat yang diduga petani tebu sering berada di sana seperti kantor APTRI, Puskopetra, Dewan Perwakilan Cabang APTRI, dan koperasi. Sedangkan metode snowball sampling peneliti lakukan hanya pada Kecamatan Astanajapura dengan pertimbangan bahwa kecamatan ini memiliki 33