III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Teori Keseimbangan Umum dan Equilibrium
Model
Computable General
3.1.1. Teori Keseimbangan Umum Teori keseimbangan umum menjelaskan pasar sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa macam pasar yang saling terkait antara satu pasar dengan pasar lainnya. Keseimbangan umum terjadi jika permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar dalam sistem tersebut berada dalam kondisi seimbang secara simultan. Tingkat harga keseimbangan yang terwujud merupakan solusi dari sistem persamaan simultan yang menggambarkan perilaku setiap pelaku ekonomi dan keseimbangan disetiap pasar. Apabila dalam kondisi keseimbangan terjadi gangguan yang mengakibatkan ketidakseimbangan (disequilibrium) pada suatu pasar secara parsial, akan segera dikuti oleh penyesuaian di pasar yang bersangkutan dan selanjutnya terjadi proses penyesuaian di pasar lainnya (simultaneous adjusment) yang membawa perekonomian kembali pada kondisi keseimbangan yang baru secara keseluruhan. Leon Walras telah membuktikan keberadaan keseimbangan umum tersebut dengan pendekatan matematis menggunakan konsep fungsi kelebihan permintaan (excess demand function). Fungsi kelebihan permintaan pasar, E(P) dapat diperoleh dari pengurangan fungsi permintaan pasar, D(P) terhadap fungsi penawaran pasar, S(P), karena keduanya sama-sama memetakan harga ke dalam kuantitas, atau: E(P)= D(P)- S(P).................................................................................... (1) Tingkat harga ekuilibrium dapat didefenisikan sebagai tingkat harga positif yang mewujudkan market clear atau tingkat harga non negatif diamana pada
101
tingkat harga ini kuantitas permintaan tidak melebihi kuantitas yang ditawarkan. Dari defenisi ini, pada kasus komoditas tunggal atau keseimbangan parsial, tingkat harga ekuilibrium (P ) dapat dinyatakan sebagai P ≥ 0 jika D( P ) ≤ S ( P ) dan D( P ) < S ( P ) menyatakan P = 0 (Quirk dan Saposnik, 1995). Pada
kondisi
perekonomian kompetitif yang terdiri dari banyak pasar (multiple market), tingkat harga ekuilibrium terwujud secara simultan pada seluruh pasar. Pada situasi ini tidak ada kelebihan permintaan dalam suatu pasar dan seluruh harga yang terwujud adalah non negatif. Andaikan dalam perekonomian kompetitif terdapat n pasar, himpunan harga ( P1 , P2 ..., Pn ) dikatakan sebagai himpunan harga ekuilibrium yang tidak semuanya bernilai nol, jika: Ei ( P1 , P2 ..., Pn ) ≤ 0 untuk Pi ≥ 0 ; i=1,2, ....n; Pi > 0 untuk semua i ......... (2) Ei ( P1 , P2 ..., Pn ) < 0 menyatakan Pi = 0 .................................................... (3)
Atau secara singkat, vektor harga P = ( P1 , P2 ..., Pn ) dikatakan sebagai vektor harga ekuilibrium jika: Ei ( P) ≤ 0 untuk P ≥ 0 dan Ei ( P) < 0 menyatakan Pi = 0 ...................... (4)
Pertidaksamaan 4 inilah yang disebut sebagai hukum Walras (Walras law). Pada suatu perekonomian kompetitif yang terdiri darai n pasar hukum Walras sering juga diformulasikan sebagai: n
∑ Pi Ei ( P) = 0 untuk setiap Pi ≥ 0 ........................................................... (5) i =1
dimana: P i adalah harga barang ke-i dan E i (P) adalah kelebihan permintaan barang ke-i. Berdasarkan persamaan di atas, hukum Walras sebenarnya menyatakan bahwa untuk perekonomian yang terdiri dari n pasar, keseimbangan umum
102
dikatakan tercapai apabila n-1 pasar sudah berada dalam kondisi keseimbangan. Selain mengemukakan hukum tersebut untuk membuktikan keberadaan titik keseimbangan, Walras juga telah meletakkan dasar dari sifat-sifat keseimbangan tersebut yaitu sifat keunikan dan stabilitasnya. Artinya secara teoritis, titik keseimbangan tersebut terbukti memang ada, bersifat unik dan stabil. Namun Walras belum sampai pada tahap perumusan model dan pembuktian empiris mengenai keberadaan, keunikan dan stabilitas titik keseimbangan. Uraian teoritis di atas memperlihatkan bahwa model komputasi keseimbangan umum atau Computable General Equilibrium (CGE) merupakan sebuah pendekatan komprehensif yang merangkum model multimarket dan menggunakan keseimbangan pasar sebagai elemen dasar analisisnya. Sebuah model CGE menggambarkan agen-agen pelaku ekonomi dan prilakunya, sehingga membawa pasar-pasar yang berbeda ke dalam suatu keseimbangan. Sebuah model CGE dibentuk dengan flow chart dan spesifikasi fungsional baik linier maupun nonliniear. Pada formulasi model CGE, terdapat keterkaitan antar pelaku ekonomi, yaitu perusahaan atau industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar komoditi individual yang berbeda-beda. Seluruh pasar berada dalam keadaan ekuilibrium dan pasar tersebut mempunyai struktur yang spesifik untuk mencapai keseimbangan apabila terdapat guncangan pada salah satu pasar tertentu (Oktaviani, 2001). Secara umum model CGE memuat persamaan-persamaan, variabelvariabel eksogen dan parameter, variabel-variabel endogen, dan bentuk-bentuk fungsi dari persamaan. Sistem persamaan dibentuk oleh subsistem-subsistem
103
persamaan yang secara umum meliputi produksi, pasar input, faktor renumerasi, pendapatan disposable kelembagaan (rumah tangga dan pemerintah), tabungan dan investasi, permintaan produk, pasar eksternal, dan keseimbangan pasar produk (Sadoulet dan de Janvry, 1995). Persamaan-persamaan yang membentuk model CGE biasanya dikelompokkan menjadi blok-blok persamaan seperti blok produksi, blok konsumsi, blok ekspor-impor, blok investasi, dan blok kliring pasar. Dengan sitem persamaan yang komprehensif, model CGE memiliki keunggulan dalam mengungkapkan dampak produksi, konsumsi, perdagangan, investasi dan interaksi spasial secara keseluruhan dari suatu kebijakan (policy) atau guncangan (shock). Karena itu model ini telah diterapkan untuk melakukan simulasikan dampak sosial ekonomi dalam suatu skenario yang luas mencakup: (1) foreign shokcs, seperti perubahan yang tidak diharapkan dalam term of trade (misalnya kenaikan dalam harga impor minyak, atau penurunan dalam harga komoditas ekspor utama suatu negara) dan keharusan menurunkan pinjaman luar negeri, (2) perubahan dalam kebijakan ekonomi. Pajak dan subsidi merupakan instrumen kebijakan yang sangat lazim dianalisis, khususnya dalam sektor perdagangan. Model ini juga telah digunakan untuk melihat perubahan ukuran dan komposisi dalam pengeluaran rutin dan investasi pemerintah, dan (3) perubahan dalam struktur sosial ekonomi domestik, seperti perubahan teknologi pertanian, redistribusi aset-aset, dan pembentukan modal sumberdaya manusia (Sadoulet dan de Janvry, 1995). Penerapan model CGE terutama di negara-negara maju semakin populer sejak pertengahan tahun 1980-an. Meningkatnya penggunaan model ini disebabkan keunggulannya dalam menganalisis dampak suatu guncangan atau kebijakan dan kemampuannya untuk mengatasi masalah agregasi sektoral dan
104
regional dalam analisis perekonomian pada tingkat nasional (Plassmann dan Tideman, 1999). Penerapan model ini juga telah berkembang dengan pesat pada perekonomian negara berkembang bahkan pada tingkat perekonomian wilayah. Perkembangan ini didukung oleh konstruksi tabel IO dan SAM baik pada tingkat perekonomian nasional maupun wilayah. Selain itu didukung pula oleh perkembangan yang sangat pesat dalam perangkat lunak paket program komputer untuk kepentingan konstruksi data base dan penyelesaian masalah keseimbangan umum. Selain program GAMS, dewasa ini telah berkembang paket program GEMPACK yang telah digunakan secara sangat luas dikalangan peneliti dalam penyelesaian model keseimbangan umum. Aplikasi model CGE di negara-negara berkembang, baik pada tingkat nasional maupun wilayah, terutama erat kaitannya dengan implementasi berbagai kebijakan penyesuaian dan reformasi ekonomi (economic reform and adjusment policy) sejak awal tahun 1990-an yang mengarahkan perekonomian di negaranegara berkembang pada perekonomian pasar. Peningkatan peran sektor swasta melalui kebijakan privatisasi sebagai konsekuensi liberalisasi perekonomian global telah meningkatkan peran mekanisme pasar sebagai instrumen utama dalam menjalankan aktivitas perekonomian pada hampir seluruh negara berkembang. Pada perekonomian Indonesia, peningkatan peran pasar dalam aktivitas ekonomi telah dimulai sejak dilakukannya kebijakan reformasi ekonomi dalam awal tahun 1983. Kebijakan reformasi kemudian berlanjut pada intensitas yang lebih tinggi ketika memasuki dekade 1990-an setelah era reformasi, bersamaan dengan mencuatnya isu swastanisasi dan liberalisasi perekonomian dunia. Peningkatan peran pasar dan pihak swasta dalam aktivitas ekonomi meningkatkan
105
relevansi pengaplikasian model CGE di Indonesia. Hal ini mengingat analisis dampak ekonomi dengan menggunakan model CGE lebih relevan diaplikasikan pada perekonomian yang kinerjanya cendrung menganut sistem pasar bebas atau peran mekanisme pasar cendrung semakin dominan (Robinson, 1989). Dewasa ini telah berkembang berbagai tipe dan aplikasi Model CGE. Banyak aplikasi model CGE yang muncul selama tiga dekade belakangan ini yang dapat dikategorikan dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan daya tarik isue, diantaranya: single versus multicountry/regional CGE Models; single-period versus dynamic CGE models; nonfinancial (real economy) versus financial CGE models; national versus village CGE models. Khusus untuk model multiregional CGE dapat dibedakan antara Model multiregional CGE top-down dan bottom-up. Dalam studi ini digunakan Model multiregional CGE top-down.
3.1.2. Model Multiregional Computable General Equilibrium Top Down Spesifikasi keterkaitan antara perekonomian nasional dengan daerah memberikan isue teori yang menarik dalam membangun model perwilayahan. Dua pendekatan dasar yang lazim dalam Regional Modelling CGE adalah top down dan bottop up dan pilihan diantara keduanya biasanya merefleksikan adanya trade off diantara kesempurnaan teori dan ketersediaan data (Domingues dan Haddad, 2004). Setiap model mempunyai kelebihan. Model CGE dengan dimensi wilayah tersebut dikembangkan di the Centre of Policy Studies (CoPS), Autralia. Pada pendekatan top-down, hasil nasional untuk variable-variabel seperti output, kesempatan kerja, dan permintaan akhir didisagregasi kedalam delapan wilayah atau lebih. Suatu metodologi input-output digunakan dimana variasi wilayah dalam hal kuantitas diketahui, tetapi tidak dalam hal harga. Efek
106
multiplier lokal dapat diketahui sedemikian sehingga, sebagai contoh suatu proyek pembangunan di Queensland akan meningkatkan kesempatan kerja di wilayah tersebut yang pada gilirannya akan mendorong pengeluran konsumen untuk barang yang dihasilkan di Queensland yang tidak diperdagangkan. Pendekatan top-down hemat dalam data dan sumberdaya computer yang memungkinkan membangun model yang sangat detail (katakan 120 sektor, 60 wilayah) untuk diemplementasikan dan dipecahkan dengan begitu mudah. Di pihak lain, perilaku wilayah yang spesifik tidak mudah dimodelkan dan pengaruh dari kedekatan wilayah secara geografis (ketika pertumbuhan terjadi pada suatu wilayah menguntungkan wilayah yang paling dekat) diabaikan. Pendisagregasian
hasil
nasional
kedalam
tingkat
wilayah
dalam
pendekatan top-down ditentukan atas ad hoc basis. Disagregasi dapat berproses dalam tahap-tahap yang berbeda (misalnya: ibukota negara-kotamadaya), yang dapat meningkatkan tingkat disagregasi wilayah dengan sangat baik. Adanya keinginan menambah tingkat kemiskinan dalam suatu prosedur multi-step, maka pada masing-masing step, proyeksi disagregasi harus konsisten dengan hasil pada tingkat yang lebih tinggi. Titik awal dari model top-down adalah memproyeksi perekonomian secara luas. Pemetaan dimensi wilayah muncul tanpa adanya feedback dari wilayah yang didisagregasi; dalam hal ini efek dari kebijakan yang berasal dari dalam wilayah tidak dapat terlihat. Di dalam memodelkan perilaku wilayah, sebagian besar model top-down tidak memerlukan data sebagaimana yang diperlukan dalam model bottom-up. Model top-down ini merupakan pengembangan aplikasi CGE Model ORANI yang dimodifikasi dengan metoda LMPST. Modifikasi tersebut mempunyai beberapa keuntungan mendasar, yaitu: (1) membutuhkan input data
107
wilayah yang sedikit, (2) sistem kerjanya bertahap atau berurutan, sebagai contoh disagregasi wilayah mengikuti penyelesaian ORANI dan tidak mensyaratkan modifikasi model awal, dan (3) hasil regional konsisten dengan hasil perekonomian yang lebih luas, sebagai contoh, hasil perekonomian yang lebih luas merupakan penjumlahan secara tepat dari hasil di tingkat wilayah (Dixon et al., 1982). Perbandingan model CGE regional yang digunakan oleh CoPS disimpulkan pada Tabel 6. Pendisagregasian wilayah dalam Model MONASH dicapai dengan metoda top-down. MMRF dan tim suksesnya, MMRF-GREEN merupakan
model
bottom-up
8
wilayah.
TERM
(yang
masih
dalam
pengembangan) adalah model bottom-up lain yang memilah wilayah menjadi 50 wilayah. Tabel 6. Perbandingan Model Computable General Equilibrium Regional yang Digunakan Centre of Policy Studies Model 1. Tipe pemodelan wilayah 2. Harga spesifik wilayah 3. Kuantitas spesifik wilayah 4. Jumlah sector 5. Jumlah Wilayah
MONASH Top-down
MMRF-GREEN TERM Bottom-up Bottom-up
Tidak
MMRF Bottomup Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
113 Sekitar 40 Sekitar 40 8 negara 8 negara 8 negara bagian bagian atau bagian 57 wilayah 6. Peramalan (dinamik) Ya Tidak Ya 7. Shock dari sisi permintaan spesifik wilayah 8. Shock dari sisi penawaran spesifik wilayah 9.Modul perhitunganperhitungan pemerintah Negara bagian 10. Gambaran lain
Sekitar 40 57 wilayah
Ya
Ya
Ya
Dalam pengembangan Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Tidak
Ya
Ya
Dalam pengembangan
Memodelkan
Ekspor dan impor
108
emisi CO2 secara detail
dibedakan menurut port of exit/entry
Sumber: Centre of Policy Studies (CoPs), 2006. Alternatif pendekatan bottom-up terbentuk karena hubungan suatu rangkaian model CGE yang berdiri sendiri (satu untuk masing-masing wilayah) yang berinteraksi melalui perdagangan dan arus faktor primer. Dalam model CGE multiregional ini, baik harga maupun kuantitas memungkinkan bervariasi secara independen menurut wilayah. Tipe model ini membuat lebih sedikit kompromi dalam teori, tetapi membebankan permintaan yang tinggi dalam data dan penghitungan. Konsekuensinya, suatu model yang lebih agregat harus digunakan, mengorbankan beberapa kedetailan dalam beberapa sektor atau wilayah. Dalam prakteknya, jumlah wilayah dengan sektor harus tidak melebihi 100. Dalam pendekatan bottom-up, perilaku dari agen secara eksplisit dimodelkan pada tingkat regional. Suatu sistem ketergantungan secara penuh dispesifikasi dimana feedback wilayah mungkin muncul dalam dua arah. Oleh karena itu analisis kebijakan yang berasal dari tingkat wilayah dapat dilakukan. Penambahan tingkat kemiskinan dimungkinkan selama hasil nasional diperoleh dari agregasi hasil wilayah. Agar dapat menciptakan kesempurnaan yang tinggi dalam operasional model secara teori, menuntut ketersediaan data yang sangat banyak. Untuk memulai, suatu data dasar Interregional Input-Output biasanya diperlukan, dengan spesifikasi yang penuh dari arus antar wilayah. Data juga mencakup elastisitas perdagangan antar wilayah parameter regional lainnya yang mana pendugaan ekonometrik jarang tersedia dalam literatur.
3.2.
Investasi, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan .
3.2.1. Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi
109
Gillis et al. (1987) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai adanya peningkatan di dalam pendapatan nasional atau pendapatan per kapita dan produksi nasional. Sejalan dengan definisi tersebut, menurut Hess dan Ross (1997) pertumbuhan ekonomi menunjukkan kenaikan kuantitatif output atau pendapatan per kapita. Pogue dan Sgontz (1978) menggambarkan pertumbuhan ekonomi sebagai perluasan jumlah barang dan jasa yang tersedia yang ditunjukkan oleh adanya pergerakan ke luar kurva kemungkinan produksi (KKP) dari KKP ab ke KKP a`b`seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3. Komoditi X
a`
a
Komoditi Y b
b`
Gambar 3. Kurva Kemungkinan Produksi Sumber: Pogue dan Sgontz, 1978.
Pertumbuhan ekonomi muncul karena adanya peningkatan jumlah dan kualitas sumberdaya serta adanya kemajuan dalam teknologi. Jika dikelompokkan, terdapat tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi yaitu: (1) akumulasi modal, yang meliputi semua jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah,
110
peralatan fisik, dan modal atau sumberdaya manusia, (2) pertumbuhan penduduk, yang beberapa tahun selanjutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi. Namun demikian, secara umum sumber utama pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Investasi yang mampu memperbaiki kualitas modal atau sumberdaya manusia dan fisik, yang selanjutnya berhasil meningkatkan kuantitas sumberdaya produktif dan menaikkan produktivitas sumberdaya melalui penemuan-penemuan baru, inovasi dan kemajuan teknologi. Investasi berarti setiap kegiatan yang meningkatkan kemampuan ekonomi untuk memproduksi output di masa yang akan datang, dalam hal ini investasi tidak hanya berupa penambahan persediaan fisik modal tetapi juga menyangkut investasi sumberdaya manusia (Dornbusch et al., 1998). Investasi terdiri dari barang-barang yang dibeli untuk penggunaan masa depan (Mankiw, 2000). Investasi dibagi menjadi tiga sub kelompok yaitu investasi tetap bisnis, investasi tetap rumah tangga dan investasi persediaan. Investasi tetap bisnis adalah pembelian pabrik dan peralatan baru oleh perusahaan, investasi rumah tangga adalah pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan tuan tanah. Investasi persediaan adalah peningkatan dalam persediaan barang perusahaan. Investasi merupakan faktor yang esensial dalam proses pertumbuhan ekonomi. Adanya investasi akan mendorong peningkatan modal per tenaga kerja (per kapita). Kaitan ini dapat dijelaskan dalam Gambar 4. Output sebagai fungsi dari modal dapat ditulis dalam persamaan: yit = akitβ . Pada gambar terlihat adanya kenaikan jumlah modal per kapita akan dapat meningkatkan output ekonomi. Pentingnya
investasi
dalam
proses
pertumbuhan
ekonomi,
khususnya
111
pertumbuhan dalam jangka panjang banyak dibahas dalam studi-studi yang dilakukan oleh Paul Romer pada dekade 80-an. Dengan adanya peningkatan investasi akan mendorong inovasi yang akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ini dibuktikan dalam studi-studi empirik tentang hubungan investasi dengan percepatan pertumbuhan ekonomi (Levine dan Renelt, 1992). Dari teori di atas terlihat bahwa investasi penting bagi upaya keberlanjutan pembangunan ekonomi. Indonesia sebagai negara yang terus membangun memerlukan investasi, baik investasi pemerintah maupun swasta. Adanya arus investasi dari luar ini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui transfer modal,
teknologi,
manajemen dan kewirausahaan.
Dalam penghitungan
pendapatan nasional, investasi menjadi salah satu komponen dari pembentukan pendapatan nasional dari sisi pengeluaran. Oleh karena itu, pertumbuhan investasi akan
berdampak
pada
pertumbuhan
pendapatan
nasional.
Dengan
memperhitungkan efek pengganda, maka besarnya persentase pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan menjadi lebih besar dari besarnya persentase pertumbuhan investasi.
Output (yi) yit = akitβ
yit+1 yit
kit
kit+1
Modal per kapita (ki)
112
Gambar 4. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi Sumber: Levine dan Renelt, 1992. Dalam sistem ekonomi tertutup jumlah tabungan masyarakat merupakan jumlah modal yang dapat digunakan untuk investasi. Pada tingkat keseimbangan jumlah investasi sama dengan jumlah tabungan (I=S). Namun pada sistem ekonomi terbuka, dimana dimungkinkan terjadinya transaksi antar negara dalam bentuk barang (ekspor-impor) maupun aliran modal antar negara, investasi bisa lebih besar dari akumulasi tabungan domestik. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional, dimana: Y =C + I + G + NX................................................................................. (1) Y – C – G = I + NX ; dimana Y – C – G adalah simpanan nasional sehingga: S = I + NX ............................................................................................. (2) NX = S – I .............................................................................................. (3) Dalam hal ini NX adalah net ekspor yang menunjukkan neraca perdagangan, dan S – I menunjukkan net foreign investment (NFI). Dengan demikian NFI adalah selisih antara tabungan domestik dikurangi dengan investasi domestik. Jika NFI negatif artinya investasi domestik lebih besar daripada tabungan domestik, dimana selisih investasi dibiayai dari pinjaman kluar negeri. Investasi domestik juga dapat dibedakan antara investasi pemerintah dan swasta. Investasi dipengaruhi oleh suku bunga karena tingkat bunga merupakan opportunity cost seseorang melakukan investasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga pasar opportunity cost kegitan investasi semakin mahal dan sebaliknya. Sementara dalam mengalokasikan investasi para ahli ekonomi mempunyai beberapa kriteria dan teknik untuk mengalokasikan sumberdaya investasi tersebut
113
kepada sektor atau proyek yang berbeda di dalam suatu perencanaan pembangunan ekonomi atau keterbelakangan ekonomi. Pemilihan kriteria atau teknik dalam alokasi investasi tersebut tergantung pada tujuan pembangunan ekonomi. Tujuan paling umum dari suatu pembangunan ekonomi adalah untuk memaksimalkan pendapatan nasional atau tingkat pertumbuhan ekonomi. Jika tujuan pembangun ekonomi suatu negara demikian, maka beberapa kriteria yang digunakan dalam alokasi investasi tersebut adalah capital-output ratio atau rate of capital turn over, social product analysis dan the rate of savings dan reinvestment (Meier, 1970). Pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis pertumbuhan regional lebih diletakkan pada akumulasi faktor produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu daerah dari satu tahun ke tahun berikutnya, membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan di daerah. Disamping itu, apabila dikaitkan dengan sistem neraca sosial ekonomi maka dapat juga dilihat pertumbuhan di neraca sektor produksi, dan neraca rumah tangga. Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat jauh lebih tinggi daripada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional ataupun sebaliknya. Dalam kaitan dengan pertumbuhan regional pada sistem neraca sosial ekonomi maka terdapat pertumbuhan akumulasi dari faktor produksi, sektor produksi dan rumahtangga di daerah. Dengan demikian, salah satu model analisis pertumbuhan regional yang dapat digunakan adalah model pertumbuhan Harrod-Domar. Todaro (2000) mengemukakan bahwa model Harrod-Domar memberikan peranan kunci kepada investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya
114
mengenai watak ganda yang dimiliki investasi, yaitu: (1) investasi menciptakan pendapatan dan (2) investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat disebut sebagai dampak permintaan, dan kedua dampak penawaran investasi. Sementara menurut Richardson (1972) terdapat dua alasan yang menguatkan bahwa Model Harrod Domar merupakan model yang cocok dalam mengaplikasikan model pertumbuhan agregat kedalam model pertumbuhan regional. Pertama, karena teori Keynesian yang didominasi oleh permintaan sangat relevan untuk menjelaskan pertumbuhan pada wilayah tertinggal dimana masalah di wilayah tersebut lebih disebabkan kekurangan effective demand daripada kekurangan supply. Kedua, formulasi Harrod Domar memungkinkan jika diasumsikan nilai tertentu untuk parameter utama yang dihasilkan tidak dalam keadaan steady expansion, tetapi dalam dalam siklus pertumbuhan. Perbedaan utama antara model pertumbuhan Harrod-Domar dengan model pertumbuhan neoklasik adalah bahwa model Harrod–Domar merupakan model yang demand-oriented, sedangkan model neoklasik bertumpu pada supply side. Menurut model pertumbuhan Harrod-Domar dalam pertumbuhan ekonomi yang steady state, stok kapital harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan pertumbuhan output yang secara matematis dapat dilihat dalam persamaan: g = I/K, dimana I adalah Investasi dan K adalah stok kapital ............ (4) Dalam kondisi keseimbangan, tabungan (S) harus sama dengan investasi, sehingga: g = I/K = S/K = S/Y . Y/K = s/v ....................................................... (5)
115
Persamaan (5) tersebut secara jelas menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan wilayah g (g= ∆Y/Y) ditentukan secara bersama
-sama oleh rasio
tabungan (s) serta rasio modal-output (v). Agar tenaga kerja per unit output dapat dipertahankan, maka pertumbuhan output harus sama dengan tingkat pertumbuhan penawaran tenaga kerja yang dalam bentuk persamaan adalah sebagai berikut: g = n = s/v ............................................................................................ (6) Model pertumbuhan tersebut adalah dalam kondisi closed economies, namun bagaimanapun perekonomian suatu wilayah dalam keadaaan open economies. Dengan demikian persyaratan untuk mencapai/mempertahankan keseimbangan, tidak cukup secara internal melainkan harus mengakomodasi arus masuk dan keluar barang, tenaga kerja dan kapital. Dalam perekonomian terbuka, kondisi keseimbangan yang statis adalah: S + M = I + X ...................................................................................... (7) Dimana M adalah impor dan X adalah Expor. Persamaan (7) dapat ditulis: (s + m) Y = I + X ................................................................................ (8) Dalam persamaan (8) tersebut, m adalah marginal propensity to import (diasumsikan konstan) dan persamaan tersebut dapat juga ditulis: I/Y = s + m – (X/Y) ............................................................................... (9) Pada kondisi keseimbangan g = s/v, maka: s + m – (X/Y) g = ------------------ .......................................................................... (10) v
116
3.2.2. Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan Secara umum, tujuan pembangunan ekonomi dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori yaitu efisiensi (growth)dan pemerataan (equity). Namun demikian, diantara kedua tujuan tersebut tidak selalu compatible. Dalam istilah ilmu ekonomi, terkadang terjadi trade-off diantara efisiensi dan pemerataan (Pogue dan Sgontz, 1978). Dalam hal ini Todaro (2000) meyakini bahwa kedua tujuan pembangunan ekonomi tersebut dapat dicapai secara simultan. Dalam teori pembangunan ekonomi, terdapat
dua aliran dalam
memandang disparitas ekonomi atau ketidakmerataan yaitu aliran klasik dan aliran strukturalis. Aliran klasik, didasarkan pada pemikiran Adam Smith, tokoh ekonomi klasik. Menurut aliran ini, proses pembangunan berpegang pada konsep keseimbangan alokasi sumberdaya dan konsep pasar bebas dimana harga menjadi acuan dalam proses pertukaran. Perbedaan kondisi antar sektor atau antar wilayah akan menyebabkan pertukaran dan alokasi sumberdaya secara efisien tanpa ada campur tangan pemerintah hingga mencapai kondisi pareto optimal. Berdasarkan aliran ini, tanpa adanya campur tangan pemerintah, pemerataan akan terjadi dengan sendirinya pada saat negara telah mencapai tingkat pembangunan dan pendapatan per kapita yang tinggi. Lewis (1954) membahas aspek disparitas ekonomi melalui model ekonomi dua sektor. Dengan menggunakan mahzab klasik, teori Malthus Lewis mengasumsikan tenaga kerja tersedia dengan jumlah berlebih dan pada tingkat upah subsisten yang tetap. Teori ini menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan akan muncul pada tahap awal pembangunan dan akan menghilang ketika dicapai hasil pembangunan. Terdapat dua alasan meningkatnya ketimpangan pendapatan pada awal pertumbuhan ekonomi. Pertama, kontribusi pemilik kapital meningkat,
117
pada saat peran sektor modern meningkat sehingga meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dan buruh. Kedua, kesenjangan distribusi buruh sendiri juga meningkat dengan bertambahnya tenaga kerja (namun masih dalam jumlah yang masih sedikit) yang pindah dari tingkat upah sektor subsisten ke tingkat upah sektor modern yang lebih tinggi. Ketimpangan tersebut berubah ketika surplus tenaga kerja diserap oleh sektor modern yang menyebabkan tenaga kerja berubah menjadi faktor produksi yang langka. Tingkat upah kemudian meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan ketimpangan pendapatan sekaligus mengurangi tingkat kemiskinan (Lewis dalam Todaro, 2000). Penjelasan yang sama mengenai ketimpangan, dikemukakan oleh Williamson (1965) namun dari aspek ekonomi wilayah. Dikemukakan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan SDM. Kemudian pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hoover dan Giarratani (1985). Pada tahap awal pembangunan ekonomi nasional dihubungkan dengan meningkatnya disparitas pendapatan regional, sementara tingkat pendapatan wilayah cenderung konvergen dalam suatu perekonomian nasional yang lebih dewasa/maju. Migrasi dan perdagangan dapat menjadi semakin lebih penting selama pertumbuhan sebagai hasil dari adanya peningkatan dalam transportasi. Migrasi dan perdagangan muncul yang secara signifikan mendesak/menekan konvergensi. Keduanya beroperasi dalam suatu lingkungan yang berubah secara
118
cepat dimana faktor-faktor dinamis dapat mengimbangi pengaruh migrasi dan perdagangan tersebut. Akan tetapi apakah ini merupakan kasus yang berlaku umum, tidak dapat ditetapkan menjadi a priori grounds. Teori yang dikemukakan Lewis dalam Todaro (2000) maupun Williamson (1965) mengenai ketimpangan pendapatan sejalan dengan hipotesa dari Kuznets yang dikenal dengan hipotesa “U-terbalik".
Kuznets (1957) menjelaskan
hipotesanya tersebut bahwa pada tahap awal dari suatu proses pembangunan ekonomi nasional, perbedaan dalam laju pertumbuhan regional yang besar antar propinsi mengakibatkan kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar propinsi. Tetapi, pada jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas dan mobilitas semua faktor-faktor produksi antar propinsi tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar propinsi cenderung mengecil
bersamaan dengan tingkat
pendapatan per
kapita (dan
laju
pertumbuhannya) rata-rata yang semakin tinggi di setiap propinsi, yang akhirnya menghilangkan kesenjangan ekonomi regional. Ketimpangan pendapatan akan akan memburuk pada tahap awal pembangunan disebabkan upah buruh masih relatif rendah. Dengan demikian, pertumbuhan tidak banyak memberikan manfaat bagi golongan miskin. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita, maka permintaan terhadap sarana publik (transportasi, komunikasi, pendidikan dan lain-lain) juga meningkat. Kondisi ini akan menimbulkan trickle– down effect bagi golongan miskin dengan meningkatnya upah buruh melalui sektor lain (Kuznets dalam Todaro, 2000). Menurut Hogendorn (1992), fenomena kurva Kuznets tersebut dapat dilihat pada masyarakat dimana distribusi pendapatan yang merata pada awalnya dijumpai di sektor pertanian.
Namun
119
begitu sebagian masyarakat berpindah ke sektor industri yang memiliki upah lebih tinggi, maka ketimpangan pendapatan masyarakat segera muncul. Aliran strukturalis muncul karena hingga saat ini, konsep kurva Kuznets tersebut terus menjadi perdebatan. Menurut Todaro (2000) karena tidak cukup bukti empiris untuk menunjukkan hipotesis kurva Kuznets tersebut. Banyak hasil studi di banyak negara seperti Taiwan, Korea Selatan, Cina, Kosta Rika dan Sri Langka yang membuktikan bahwa peningkatan pendapatan justru seringkali disertasi dengan terus melebarnya kesenjangan pendapatan, semuanya itu sangat tergantung pada kondisi-kondisi dasar dan karakter dari proses pembangunan yang dijalankan masing-masing negara. Disamping itu berdasarkan hasil studi di 43 negara berkembang, tidak ada bukti yang menunjukkan terlaksananya efek penetesan ke bawah (trickle–down effect) atau menyebarnya hasil-hasil pembangunan ke lapisan masyarakat bawah secara otomatis. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni efek penghisapan ke atas (trickle–up effect), yakni hasil-hasil pembangunan justru lebih banyak mengalir ke golongan lebih makmur dibandingkan
dengan
rata-rata.
Selanjutnya
hasil
penelitian
tersebut
menyimpulkan bahwa struktur ekonomi dan bukannya tingkatan ataupun laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan faktor penentu utama atas pola-pola distribusi pendapatan. Selanjutnya Todaro (2000) mengidentifikasi terdapat empat argumen dalam menentang teori Lewis mengenai distribusi pendapatan. ketimpangan
menciptakan
kondisi
dimana
hanya
kaya
Pertama,
yang
dapat
menginvestasikan kembali sebagian besar pendapatannya untuk memperoleh hasil yang lebih besar lagi, sementara mereka yang miskin membelanjakan pendapatannya untuk barang konsumsi. Semakin lama hal ini akan menciptakan
120
ketimpangan yang lebih besar lagi. Kedua, ketiadaan akses investasi golongan miskin secara akumulatif akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan GNP dibandingkan apabila terdapat pemerataan pendapatan yang lebih besar. Ketiga, asumsi hasil produksi golongan kaya akan diinvestasikan kembali secara empiris meragukan. Yang terjadi adalah pengalihan modal ke luar negeri karena alasan keamanan dan tingginya tingkat konsumsi barang mewah oleh golongan atas. Keempat, rendahnya taraf hidup golongan miskin mengakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Berbeda dengan aliran klasik yang percaya bahwa pemerataan pendapatan akan terjadi dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan per kapita, aliran strukturalis menganggap bahwa masalah distribusi pendapatan dan pemerataan harus dilakukan melalui intervensi pemerintah.
Dalam hal ini terdapat dua
pendekatan ekstrim dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan, yaitu aliran ekstrim (radikal) kanan atau aliran yang menganut faham kapitalis yang memfokuskan pada pertumbuhan (“grow first, then redistribute”)
dan aliran
ekstrim kiri atau aliran yang menganut faham sosialis, yang memfokuskan pada masalah pemerataan (“redistribute first, then grow”). Sebagai alternatif dari dua aliran ekstrim tersebut, terdapat satu strategi yang beraliran moderat untuk mencapai pertumbuhan dan pemerataan secara bersama, yaitu redistribusi dengan pertumbuhan (“redistribution with grow/RWG”) yang dikembangkan oleh Bank Dunia (Gillis et al., 1987). Dalam aliran ekstrim kanan, sasaran pembangunan ekonomi bukan mengarah pada pemerataan yang lebih besar melalui mekanisme trickle-down, melainkan melalui pemusatan pendapatan pada golonan yang lebih kaya. Produksi diatur secara efisien, kemudian baru diredistribusi untuk memperoleh
121
distribusi pendapatan yang diinginkan melalui transfer atau pajak yang diyakini tidak akan mendistorsi ekonomi. Namun aliran ini telah gagal. Contoh empiris kegagalan tersebut adalah kebijakan pembangunan ekonomi di Brazil, dimana pertumbuhan ekonomi meningkat sangat cepat namun disertai dengan tingkat ketidakmerataan yang sangat tinggi dan perkembangan tingkat kemiskinan yang sangat lambat. Pemilikan aset sangat terkonsentrasi, akses terhadap pendidikan sangat tidak merata, pembangunan industri maupun pertanian diutamakan pada skala usaha besar dan teknologi padat kapital.
India juga memiliki pola
pemerataan yang sama dengan Brazil yang memiliki wilayah dengan pertumbuhan sangat tinggi, seperti Punjab dan Bombay, tetapi sebaliknya juga banyak wilayahwilayah yang sangat miskin. Di lain pihak, dalam aliran ekstrim kiri, pemerintah mengambil alih pemilik modal dan pemilik tanah dengan membagikan aset mereka ke produsen skala kecil yang seringkali melalui sistem pemilikan bersama. Kebijakan tersebut menghasilkan dua dampak.
Pertama, dampak secara langsung yaitu tingkat
pemertaan pendapatan akan segera meningkat secara nyata. dalam jangka panjang.
Kedua, dampak
Apabila usaha-usaha berskala kecil dan melalui
kepemilikan bersama tersebut dapat menghasilkan keuntungan besar dan dikelola secara efisien dan produktif, maka efek redistribusi tersebut akan meningkat. Namun apabila tidak dikelola secara produktif, pemilik awal akan kehilangan aset mereka dan pemilik baru tidak akan memperoleh manfaat secara proporsional. Negara yang masuk dalam aliran ini adalah negara-negara Uni Soviet dan RRC. Kedua aliran ekstrim kiri dan kanan dari faham strukturalis ini kurang disukai karena keduanya masih tetap menyisakan masalah dalam upaya mencapai pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Di negara-negara penganut ekstrim
122
kanan, meskipun terjadi tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat, akan tetapi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masih menjadi masalah besar. Sementara di negara-negara penganut ekstrim kiri, pada umumnya tingkat pertumbuhan ekonomi rendah karena setiap upaya redistribusi akan menurunkan stok modal yang pada akhirinya menurunkan laju pertumbuhan.
Kelemahan
kedua aliran dalam faham strukturalis tersebut mendorong munculnya konsep “redistribution with grow/RWG” sebagai strategi dalam mencapai pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan secara bersamaan.
Dengan konsep ini,
diharapkan manfaat pertumbuhan ekonomi dapat didistribusikan sehingga distribusi pendapatan meningkat sepanjang waktu dengan meningkatnya pertumbuhan. Hanya melalui peningkatan GNP akan ada sesuatu yang berarti untuk dapat didistribusikan dan distribusi tidak dapat diharapkan sebagai produk sampingan dari pertumbuhan melainkan harus diciptakan dari unsur kebijakan. Ide dasar dari RWG adalah kebijakan pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen berpendapatan rendah (yang pada umumnya berlokasi terutama di sektor pertanian dan industri pedesaan berskala kecil) akan melihat peluang untuk meningkatkan pendapatan (Gillis et al., 1987). Konsep RWG tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Todaro (2000) bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat dan distribusi pendapatan yang lebih merata tidak harus dipisahkan sebagai tujuan-tujuan pembangunan. Dalam kondisi tertentu, keduanya bisa saja diraih secara sekaligus, dan ada sejumlah negara yang telah berhasil membuktikannya. Dalam hal ini, maka seluruh negara berkembang perlu meninjau kembali seluruh prioritas pembangunan. Pada dasarnya salah satu tujuan pokok pembangunan adalah menciptakan keseluruhan
123
pola pertumbuhan pendapatan yang diinginkan dengan penekanan khusus pada akselerasi pertumbuhan pendapatan golongan miskin. Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mulia tersebut, negara-negara berkembang jelas memerlukan strategi yang sama sekali berbeda dengan strategi yang selama ini dijalankan yang hanya berorientasikan pada maksimisasi laju pertumbuhan GNP tanpa mempertimbangkan segala konsekuensinya terhadap distribusi pendapatan. Meskipun analisis ekonomi pada umumnya tidak menyinggung soal hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teori yang ada nampaknya memang mengisyaratkan bahwasanya distribusi pendapatan yang sangat tidak merata merupakan sesuatu yang terpaksa dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat. Selanjutnya Todaro mengemukakan bahwa dengan menganalisis faktorfaktor yang menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan, maka akan tampak bahwa hal itu terjadi akibat dari sangat tidak meratanya distribusi kepemilikan aset atau faktor-faktor produksi seperti tanah serta modal di kalangan penduduk di banyak negara-negara dunia ketiga. Oleh sebab itu, setiap usaha untuk memperbaiki taraf hidup golongan miskin tersebut harus diupayakan tidak hanya dengan cara meningkatkan manfaat ekonomi dari faktor-faktor produksi yang mereka miliki secara terbatas, tetapi juga harus disertai dengan kegiatan nyata untuk melangsungkan serangkaian perubahan secara drastis atas pola pemusatan kepemilikan modal fisik dan sumberdaya manusia dari kelompok kaya ke kelompok-kelompok berpendapatan rendah. Senada dengan yang dikemukan oleh Rodan (1943) bahwa keterbelakangan atau kemiskinan terjadi karena adanya kelangkaan atau rendahnya kapital (Rodan dalam Basu 1984).
124
Sementara menurut Gillis et al. (1987) terdapat tujuh instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mancapai tujuan dari konsep RWG, yaitu: (1) mengubah harga tenaga kerja dan kapital untuk memberi dorongan pada tenaga kerja tidak berpendidikan, (2) melakukan redistribusi aset melalui investasi yang memungkinkan dimiliki oleh kelompok miskin, (3) melalui pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, (4) menerapkan pajak progresif, (5) melengkapi sarana publik untuk kebutuhan makanan pokok penduduk miskin, (6) melakukan intervensi pada pasar komoditi untuk membantu produsen dan konsumen, serta (7) mengembangkan teknologi baru yang membuat pekerja berpendapatan rendah lebih produktif. Sementara Richardson (1972) menggambarkan secara grafis bagaimana realokasi sumberdaya kapital dan tenaga kerja dapat mencapai efficiency dan equity antar wilayah atau tidak.
Gambar 5 memperlihatkan diagram kotak
Edgeworth (digambarkan sebagai suatu persegi yang menunjukkan stok kapital dan tenaga kerja sebagai suatu persentase dari total stok kapital dan total tenaga kerja), dengan titik asal dua region pada sudut yang berlawanan. Dengan menggambarkan isokuan-isokuan dari kedua region dan ditambah dengan distribusi tenaga kerja dan kapital antar wilayah, maka diperoleh isokuan untuk output agregat. Suatu peta isokuan semacam ini digambarkan pada Gambar 5, dimana output pada masing-masing isokuan digambarkan sebagai suatu persentase dari titik output Z agregat yang maksimum yang berada dalam kondisi competitive equilibrium.
Ini
menunjukkan
tempat
titik-titik
yang
efisien
dalam
mengalokasikan sumberdaya kapital dan tenaga kerja, suatu sufficient condition bagi fungsi produksi Cobb-Douglas dimana dua fungsi produksi memberikan hasil decreasing returns to scale. Jika Z berlokasi di dekat salah satu sudut boks,
125
ini mengimplikasikan bahwa fungsi produksi dari kedua wilayah berbeda. Jika distribusi aktual tenaga kerja dan kapital diantara kedua region adalah pada Y, deviasi Y dari Z dapat dijelaskan dengan pasar bersaing tidak sempurna (market imperfections). Dapat juga dipetakan bagaimana pendapatan didistribusikan diantara dua wilayah. Ratio pendapatan per kapita pada region 1 terhadap region 2 dinamakan the equity ratio (R12), dan loci dari equal equity ratios dapat diperoleh dengan menumpangtindihkan loci dari equal per capita incomes dari kedua wilayah pada diagram boks yang sama. Loci dari equal equity ratios adalah suatu set kurva yang membentang secara konvergen dari titik asal region satu ke titik asal wilayah yang lain.
Region 2 - 100
100%
Y
8
99 4
98 97 95
2
K1/K
R12 = 1
90
80
1/8
0
Region 1
L1/L
100%
126
Gambar 5. Edgeworth Box Diagram Modal dan Tenaga Kerja di Region 1 Sebagai Presentasi dari Modal dan Tenaga Kerja Agregat Sumber: Richardson, 1972. Keterangan :
---------- = locus of an equal aggregat efficiency ratio _______ = locus of an equal equity ratio _______ =trnsformation surface with mobile labour and capital ---------- =trnsformation lines with ono mobile and one fixe factorl
Ketika dua diagram boks yang menghubungkan ke total output dan equito ratio ditumpangtindihkan, implikasi dari setiap distribusi tenaga kerja dan kapital untuk efisiensi dan equiti dapat terlihat. Titik produksi output maksimum Z tidak terletak pada locus R12=1. Alasannya adalah bahwa distribusi pemilikan kapital secara regional mungkin tidak merata, nilai sewa dari irreproducible dan immobile factors seperti land, mines dan lain-lain tidak merata. Jika Z tidak terletak pada kurva R12=1, suatu kompromi harus dibangun diantara efisiensi dan interregional equiti. Jika tenaga kerja dan kapital keduanya dapat didistribusikan kembali, suatu transformasi dapat diperoleh melalui titik-titik yang memberikan output agregat maksimum yang dapat dicapai sepanjang setiap locus dari suatu sebaran equiti ratios yang berbeda yang terpilih. Pada Gambar 4, suatu bidang tranformasi digambarkan untuk suatu trade off diantara maximum efficiency dan perfect equity. Jika hanya satu faktor yang mobile maka bidang transformasi menghilangkan suatu garis yang melalui titik awal distribusi titik Y dan paralel dengan sumbu kapital (tenaga kerja) ketika kapital (tenaga kerja) mobile.Ada tiga alternatif bidang tranformasi yang dapat digambarkan kembali dalam ruang efficiency-equity dengan E (the efficiency ratio) diukur pada sumbu vertikal dan R12 pada sumbu horizontal, dimana E adalah rasio dari output agregat maksimum pada a given value dari R12 terhadap output agregat maksimum yang tidak terkendala. Persamaan maximum efficiency point:
127
E=
1 ……………………………………………. (11) p1z R12 z + (1 − p1z )
Dimana p1z = L1/L dan R12z adalah the equito ratio, dan keduanya didefinisikan pada Z, titik output agregat yang maksimum. Selanjutnya berdasarkan gambar dan model matematik di atas, Richardson (1972) menyimpulkan bahwa: (1) bidang transformasi diantara efisiensi dan pemerataan dapat diperoleh jika fungsi produksi wilayah dapat diketahui, (2) biaya dari efisiensi lebih besar, disparitas antar wilayah dalam pendapatan per kapita lebih lebar pada titik efisiensi, (3) biaya efisiensi lebih rendah pada kondisi fungsi produksi Cobb-Douglas dimana substitusi antar factor produksi memungkinkan daripada pada kondisi fungsi produski pada koefisien yang tetap, dan (4) Jika fungsi produksi Cobb-Douglas lebih reaistis daripada koefisien yang tetap, maka redistribusi populasi lebih kuat daripada redistribusi capital sebagai suatu alat pencapaian pemertaan antar wilayah (keculai pada kasus dimana
p1z
relative kecil dan tingkat tingkat homogenitas fungsi produksi
mendekati unity.
3.3. Peranan Pembangunan Ekonomi Sektoral dalam Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan Pembangunan Wilayah Dalam proses pembangunan ekonomi, sejarah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan tercapai melalui perubahan struktur ekonomi.
Pengalaman di banyak negara, perubahan struktur ekonomi yang
membawa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi ditandai dengan meningkatnya kontribusi sektor industri manufaktur
128
dan menurunnya kontribusi sektor primer (pertanian dan pertambangan) yang dikenal dengan tahap industrialisasi. Industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan antar negara yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat mendorong perubahan struktur ekonomi. Dapat dikatakan bahwa progres teknologi dan inovasi adalah dua faktor penting yang mengubah struktur ekonomi suatu negara dari sisi penawaran agregat (produksi), sedangkan peningkatan pendapatan masyarakat yang mengubah volume dan komposisi konsumsi mempengaruhi struktur ekonomi dari sisi permintaan agregat (Tambunan, 2001). Menurut Tambunan (2002), kalau saja mekanisme pasar seperti tertulis dalam text book ekonomi berfungsi baik, sebenarnya tidak perlu ada strategi industrialisasi. Namun demikian, kegagalan pasar (market failure) telah menimbulkan masalah distorsi pasar, antara lain disebabkan oleh incomplete market, struktur monopoli dan excessive intervention dari pemerintah. Distorsi ini menjadikan mekanisme pasar ala laissez-faire tidak berfungsi. Dengan kata lain, bagi suatu negara berkembang, rencana strategi industrialisasi masih tetap diperlukan.
Sementara
menurut
pendapat
Chenery
(1992),
meskipun
pelaksanaannya sangat bervariasi antar negara, periode industrialisasi merupakan tahapan logis dalam proses perubahan struktur ekonomi. Tahapan ini diwujudkan secara historis melalui kenaikan kontribusi sektor industri manufaktur dalam permintaan konsumen, produksi, ekspor dan kesempatan kerja. Terdapat tiga pilihan dalam mengimplementasikan strategi industrialisasi untuk membangun ekonomi. Pertama adalah strategi industrialisasi Substitusi Impor (SI) yang berorientasi ke dalam (inward looking) yaitu menekankan pada
129
pengembangan industri yang berorientasi ke pasar domestik. Dalam strategi ini, industri tersebut diarahkan untuk menghasilkan produk yang dapat menggantikan impor. Kedua adalah strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor (export-led industrialization) yang berorientasi ke luar (outward looking).
Strategi
industrialisasi ini biasa juga disebut dengan strategi promosi ekspor (PE). Ketiga adalah strategi industrialisasi dengan sektor pertanian sebagai sektor pemimpin yang disebut dengan Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI). Alasan utama penerapan strategi industrialisasi SI adalah untuk mencukupi kebutuhan domestik dalam jangka panjang dan menghemat devisa dengan mensubstitusi barang-barang impor dengan produksi dalam negeri. Oleh karena itu kebijakan yang dilakukan dalam mengimplentasikan strategi SI adalah dengan melakukan proteksi terhadap industri yang menghasilkan produk substitusi impor (infant-industry argument) melalui melalui fasilitas bea masuk terhadap barangbarang modal dan bahan mentah.
Dengan kebijakan tersebut, industri yang
berkembang adalah industri yang menengah dan besar serta padat modal karena terjadi distorsi dalam harga relatif faktor produksi modal terhadap tenaga kerja. Fasilitas bea masuk impor barang modal dan bahan mentah menyebabkan harga relatif faktor modal lebih murah dibandingkan harga relatif tenaga kerja. Sementara industrii kecil dan rumahtangga yang banyak terdapat di pedesaan tidak akan dapat bersaing di pasar. Fasilitas subsidi dan proteksi lebih banyak dinikmati pemilik modal, sementara buruh sebagai faktor produksi utama pada industri-industri kecil di pedesaan tidak banyak memperoleh manfaat dan memunculkan kesenjangan antara industri besar dan menengah dengan industri kecil di pedesaan.
130
Dapat disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi melalui industrialisasi berbasis SI pada dasarnya lebih berorientasi terhadap pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan. Seperti yang dikemukakan oleh Gillis et al. (1987) dan Todaro (2000) bahwa strategi industrialisasi SI pada hakikatnya merupakan proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal yang dipandang sebagai pencipta surplus.
Dengan demikian, berdasarkan pengalaman banyak
LDCs atau negara berkembang termasuk pengalaman Indonesia (1970-1985), strategi industrialisasi SI dipandang telah gagal sebagai pendekatan pembangunan ekonomi. Penyebab kegagalan strategi industrialisasi SI dikemukakan oleh Tambunan (1996) dan Tambunan (2001). Pertama, dampak proteksi dan subsidi industri manufaktur pada sektor pertanian dan pedesaan. Pelaksanaan industrialisasi SI cenderung bias terhadap sektor manufaktur dan kurang menguntungkan sektor pertanian sehingga mengakibatkan underinvestment dan double squeeze di sektor pertanian. Akibatnya, terjadi penurunan pendapatan riil petani sehingga daya beli petani menurun dan pengembangan pasar domestik mengalami keterlambatan. Kedua, dampak pada sektor industri. Dalam strategi industrialisasi SI, sektor industri dilindungi dari kompetisi dengan perusahaan yang memproduksi barang sejenis dari luar negeri melalui berbagai kebijakan tarif dan suubsidi. Proteksi ini telah membuat jajaran industri menjadi tidak efisien dan praktis menjadi high cost industry. Ketiga, dalam hal transfer teknologi, strategi indus trialisasi SI juga tidak berjalan karena industri yang ada hanya industri assembling yang berbahan baku impor atau industri yang bersifat footloose industry. Oleh karena itu penerapan strategi ini berdampak negatif terhadap neraca pembayaran serta mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang lemah.
131
Setelah melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan strategi industrialisasi SI, maka badan-badan dunia seperti IMF dan Bank Dunia menganjurkan agar menerapkan strategi industrialisasi PE. Strategi industrialisasi PE ini mengacu pada teori klasik mengenai perdagangan internasional dimana pembangunan sektor industri manufaktur sesuai keunggulan komparatif yang dimiliki negara bersangkutan. Dibandingkan dengan strategi industrialisasi SI, strategi ini mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumberdaya ekonomi yang ada mengikuti pola dari keunggulan komparatif.
Orientasi keluar yang
merupakan dasar dari industrialisasi PE, menghubungkan ekonomi domestik dengan ekonomi dunia melalui promosi perdagangan. Keberhasilan strategi industrialisasi PE sering diilustrasikan dengan pengalaman dari negara-negara di Asia Timur dan Tenggara (seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura dan Hongkong). Saran berdasarkan studi Lall (1980), agar jejak keberhasilan di negara-negara tersebut dapat diikuti adalah: (1) pasar harus menciptakan signal harga yang benar, sepenuhnya merefleksikan kelangkaan barang yang bersangkutan, baik di pasar input maupun di pasar output, (2) tingkat proteksi dari impor harus rendah, (3) nilai tukar mata uang harus realistis, sepenuhnya merefleksikan keterbatasan uang asing yang bersangkutan, dan (4) lebih penting lagi, harus ada insentif untuk meningkatkan ekspor. Namun demikian dalam prakteknya, banyak negara menerapkan strategi industrialisasi PE dengan menghilangkan beberapa rintangan terhadap ekspor. Analisis Poot et al. (1990) menunjukkan bahwa walaupun liberalisasi perdagangan (ekonomi) dilakukan semenjak 1983, struktur dan kebijakan proteksi industri masih tetap dilanjutkan sehingga industrialisasi PE menjadi “liberalisasi
132
setengah hati” (tanpa aplikasi sistem kompetisi) yang kemudian menyebabkan faktor efisiensi menjadi terabaikan (Poot et al. dalam Tambunan, 2002). Sementara menurut Gillis et al. (1987), berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah
dalam
mensukseskan
strategi
industrialisasi
PE
cenderung
menyuburkan perilaku rent-seeking dan menimbulkan distorsi seperti yang ditimbulkan oleh strategi industrialisasi SI. Disamping itu, intervensi pemerintah cenderung menyebabkan high cost economy dan hanya sedikit prospek industri yang kompetitif secara internasional. Indonesia setelah dianggap gagal dalam mengimplementasikan strategi industrialisasi SI maka kemudian proses pembangunan ekonomi dijalankan dengan menerapkan strategi industrialisasi PE (mulai tahun 1986). Akan tetapi sama halnya dengan strategi industrialisasi SI, industrialisasi PE juga didasarkan pada pendekatan konsep industri hulu dan hilir dan sikap bias pemerintah yang memihak pada usaha besar (kebijakan kredit, subsidi dan fasilatas ekspor/impor), cenderung melahirkan industri padat modal (capital intensive industries). Konsep industri hulu dan hilir ini tidak menguntungkan bagi Indonesia karena beberapa alasan: (1) BUMN besar tidak dapat jadi pelopor industrialisasi, (2) industri hilir tidak berkembang, dan (3) industri besar selalu ingin membesarkan korporasinya sendiri dengan self-sufficiency concept dan bukan out-sourcing. Disamping itu, pengalaman Indonesia, dengan strategi industrialisasi PE meskipun ekspor mengalami peningkatan, akan tetapi diikuti pula oleh peningkatan impor. Ini menunjukkan bahwa ekonomi sangat rawan terhadap external shocks, terbukti ketika Indonesia mengaami krisis ekonomi tahun 1997 (Tambunan, 2002). Strategi industrialisasi baik SI maupun PE dinilai tidak berhasil sebagai pendekatan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang.
133
Kegagalan tersebut disebabkan: (1) kedua proses industrialisasi tidak terintegrasi dengan sektor pertanian yang menjadi penghidupan sebagian besar masyarakat dan (2) kedua strategi tersebut menghasilkan ketimpangan ekonomi atau redistribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan pemilik modal.
Oleh
karena itu, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia dimana transformasi ekonomi dalam perspektif jangka panjang mengandung tujuan peningkatan output dan produktivitas ekonomi, serta penciptaan lapangan kerja di setiap sektor ekonomi maka dalam proses transformasi industrial, sektor pertanian seharusnya dijadikan sebagai sektor andalan.
Melalui suatu proses ekstrasi
dengan mengkaitkan industrialisasi pertanian dengan industri manufaktur, pertanian dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan sektor industri itu sendiri (Tambunan, 2002). Memang, secara historis proses pembangunan dan industrialisasi di berbagai negara umumnya diawali dari penguatan sektor pertanian melalui modernisasi institusi pedesaan dan pergeseran pertanian berskala kecil ke pertanian kapitalis berskala besar serta peningkatan produktivitas pertanian, Weisdorf (2006). Pilihan ini didasarkan atas fakta bahwa pertanian merupakan lapangan usaha tertua yang pertama dikenal dalam peradaban perekonomian tradisional dan menjadi sumber penghidupan utama pada hampir seluruh bangsabangsa di dunia. Strategi pembangunan ekonomi yang mengedepankan sektor pertanian adalah
Agricultural
Development
Led-Industrialisation
(ADLI).
Strategi
pembangunan pertanian ADLI ini menutupi kelemahan teori Hirschman yang menurut
Tambunan (2002), teori tersebut
kelemahannya terletak pada
ketidakmampuan dalam menjelaskan bagaimana sebenarnya pembangunan
134
pertanian dalam industri itu sendiri. Dalam strategi ADLI pembangunan pertanian dilakukan melalui peningkatan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi yang sejalan dengan teori pembangunan pertanian Hayami dan Ruttan yakni induce innovation. Dalam hal penurunan relatif kontribusi sektor pertanian, Stringer dan Pingali (2004) mengemukakan bahwa sejumlah ahli ekonomi pembangunan (Kuznets, 1964; Mellor, 1966; Singer, 1979; Adelman, 1984; Ranis, 1984; dan Vogel, 1994) berusaha menunjukkan bahwa ketika kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian mengalami penurunan relatif dibandingkan sektor industri dan jasa, namun demikian pertumbuhannya secara absolut mengembangkan keterkaitannya yang semakin kompleks dengan sektor-sektor non pertanian. Oleh karena itu para ahli tersebut menggarisbawahi ketergantungan diantara sektor pertanian dan pembangunan industri serta potensi bagi sektor pertanian untuk menstimulasi industrialisasi.
Sektor pertanian yang produktif dan hubungan
kelembagaan dengan perekonomian lain menciptakan insentif permintaan (rumahtangga pedesaan)
dan insentif suplai (produk pertanian tanpa adanya
peningkatan harga) yang mempromosikan medernisasi. Beberapa pertimbangan lain mengenai ADLI dikemukakan oleh Adelman et al. (1989) yaitu: (1) investasi di sektor pertanian cenderung menyebabkan impor menjadi kurang intensif dan cenderung lebih intensif tenaga kerja daripada investasi di sektor non pertanian, (2) tingkat pengembalian investasi di sektor pertanian sama atau lebih tinggi daripada tingkat pengembalian di sektor industri, (3) pola pengeluaran di pedesaan menyokong barang-barang yang dihasilkan secara domestik daripada barang impor, barang-barang dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi daripada barang-barang yang dihasilkan dengan intensif
135
kapital serta barang-barang yang mengandalkan input domestik daripada input yang diimpor, serta (4) dengan bauran kebijakan yang benar, ADLI menjanjikan pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih besar, pemerataan dan pengurangan kemiskinan. Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa strategi industrialisasi ADLI merupakan program investasi publik
untuk mendorong kurva suplai produk
pertanian menjadi lebih elastis. Permintaan dalam negeri dikembangkan melalui pembangunan sektor pertanian sehingga sektor pertanian menjadi pasar yang efektif untuk produk-produk sektor industri melalui keterkaitan permintaan barang-barang antara (intermedite demand) dan permintaan akhir (final demand). Proses pembangunan industri melalui strategi ADLI bukan hanya merupakan proses pembangunan yang didasarkan atas teknologi padat karya dengan sektor pertanian sebagai pemimpin yang akan menciptakan pertumbuhan seiring dengan perluasan kesempatan kerja, namun juga merupakan program industrialisasi yang dapat mendukung program ketahanan pangan dan dan pemerataan pendapatan. Industrialisasi dengan strategi ADLI mendukung pengembangan sektor industri berbasis pertanian atau agroindustri (Daryanto, 2000). Dalam strategi pembangunan industrialisasi yang berbasiskan sektor pertanian maka menurut Tambunan dan Priyanto (2005) sektor pertanian harus dimodernisasi yang sifatnya menciptakan sistem yang lebih fleksibel agar dapat menciptakan kekuatan ekonomi pertanian yang kuat dan dapat menyesuaikan terhadap pola perubahan struktural yang terjadi. Sementara menurut Suryana (2006) menyatakan bahwa perubahan lingkungan strategis yang sangat cepat, baik domestik maupun internasional, akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika pembangunan pertanian. Kondisi tersebut memerlukan
136
penyesuaian
terhadap
arah
dan
kebijakan
serta
pelaksanaan
program
pembangunan pertanian. Dengan demikian, strategi pembangunan pertanian harus lebih memfokuskan pada peningkatan daya saing, mengandalkan modal dan tenaga kerja terampil dan berbasis inovasi teknologi dengan memanfaatkan sumberdaya lokal secara optimal. Oleh karena itu, dewasa ini pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun pendekatan kewilayahan, menempatkan kembali sektor pertanian sebagai sektor prioritas pembangunan ekonomi.
Menurut Sjafrizal (2008), pendekatan
kewilayahan berupaya meningkatkan utilisasi sumberdaya lokal melalui kawasan andalan dan komoditi unggulan; sementara pendekatan sektoral dapat disebut sebagai pendekatan klasik karena menempatkan sumber pertumbuhan pada beberapa sektor tertentu. Pembangunan daerah yang menggunakan pendekatan kewilayahan yaitu pembangunan perkotaan atau perdesaan. Dalam pendekatan ini, kawasan andalan dapat dipicu pertumbuhannya dan kemudian dapat mendorong pertumbuhan hinterlandnya sebagai wilayah pengaruhnya sehingga pembangunan daerah dapat mendorong kemajuan seluruh sektor dan wilayah. Sedangkan pendekatan sektoral untuk memacu pertumbuhan beberapa sektor yang potensial melalui berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah termasuk rangsangan
untuk
percepatan
perkembangannya.
Pendekatan
sektoral
memberikan kemudahan bagi perkembangan badan usaha seperti perkebunan dan juga memfasilitasi perkembangan kegiatan ekonomi rakyat yang bersifat mandiri atau terintegrasi sebagai plasma. Untuk mengatasi kemungkinan ketimpangan sekaligus untuk keadilan karena hambatan aksesibilitas suatu wilayah terhadap pusat pengembangan maka pemerintah membangun prasarana dan sarana dasar
137
untuk melayani kebutuhan penduduk sekaligus menjadi daya tarik bagi kegiatan investasi. Membangun sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan ekonomi di negara berkembang, tidak hanya karena alasan pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, penyediaan pangan dan penyediaan kesempatan kerja, akan tetapi juga pembangunan sektor pertanian adalah dalam upaya pemerataan hasil pembangunan baik antar golongan masyarakat maupun antar wilayah. Membangun pertanian, berarti membanguan perdesaan dan membangun wilayah yang kurang maju dimana sebagian besar penduduk di Indonesia berada di perdesaan dan sebagian besar dari penduduk perdesaan bekerja di sektor pertanian dan pada umumnya mereka termasuk kategori golongan penduduk miskin. Hal senada mengenai pentingnya peranan sektor pertanian dalam membangun perekonomian dikemukakan oleh Stringer dan Pingali (2004) berdasarkan studi-studi para ahli ekonomi pembanguan secara umum dan para ahli ekonomi pertanian.
Dikemukakan bahwa kontribusi sektor pertanian dalam
pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilihat dampak investasi di sektor pertanian. Investasi di sektor pertanian lebih dari sekedar meningkatkan produksi. Dengan kebijakan dan insentif yang sesuai, investasi di sektor pertanian meningkatkan keamanan pangan, tingkat kemiskinan di pedesaan dan perkotaan menjadi lebih rendah, mengurangi kesenjangan atau ketidakmerataan serta mempertinggi hasil yang ramah lingkungan. Ahli ekonomi pembangunan secara umum dan ahli ekonomi pertanian khususnya telah lama fokus pada bagaimana pertanian dapat sangat berperan terhadap pertumbuhan ekonomi dan modernisasi. Mengenai hal tersebut juga dikemukakan
Stringer dan Pingali (2004) secara detail berdasarkan temuan
138
banyak analis terdahulu
(Rodan, 1943; Lewis, 1954; Hirschman, 1958; Fei dan
Ranis, 1964) dimana mereka menggarisbawahi sektor pertanian karena sumberdayanya yang melimpah dan kemampuannya untuk mentransfer surplus bagi sektor industri penting. Peranan sektor pertanian primer dalam transformasi suatu perekonomian yang sedang berkembang dipandang sebagai jembatan untuk strategi
pokok
dalam
mempercepat
langkah
industrialisasi.
Pendekatan
konvensional ini terhadap peranan sektor pertanian dalam pembangunan menekankan pada pentingnya sektor pertanian dalam mediasi keterkaitan pasar yakni: (1) menyediakan tenaga kerja bagi sektor industri melalui urbanisasi, (2) menghasilkan bahan makanan bagi penduduk yang terus meningkat jumlahnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, (3) suplai tabungan bagi investasi di sektor industri, (4) memperluas pasar bagi output sektor industri, (5) menyediakan pendapatan ekspor untuk membayar barang-barang kapital yang diimpor, dan (6) memproduksi bahan baku primer bagi industri pengolahan hasil pertanian (Johnston dan Mellor 1961; Ranis, 1984). Dari sisi pendekatan wilayah, pentingnya membangun sektor pertanian dalam upaya mengurangi kesenjangan antar wilayah tergambar dari konsep pengembangan kawasan yang dikemukakan oleh Rondinelli (1985) yang mengidentifikasikan setidaknya tiga konsep pengembangan kawasan dalam upaya meningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, yakni: (1) konsep kutub pertumbuhan (growth pole), (2) integrasi (keterpaduan) fungsional spasial, dan (3) pendekatan “Decentralized territorial”. Konsep growth pole yang mula-mula dikemukakan oleh Perroux (1955) sangat menekankan investasi masih pada industri industri padat modal di pusat pusat urban utama. Dengan berkembangnya kutub pertumbuhan ini, pemerintahan
139
di negara-negara yang sedang berkembang berharap dapat menstimulasi dan menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Dengan mengedepankan pengembangan kota kota besar utama diharapkan tercapai tingkat imbal balik investasi (return of investment) pembangunan vang sangat tinggi, mendukung pelayanan komersial, administrasi dan infrastruktur yang dibutuhkan industrindustri untuk bekerja secara efisien. Dengan demikian kutub pertumbuhan tidak lain berperan seperti mesin pembangunan atau engine of development (Perroux dalam Sjafrizal, 2008). Namun dalam perkembangannya, secara umum, hasil pengalaman di negara negara yang sedang berkembang, kebijakan growth pole pada umumnya gagal menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Proses penetesan (trickle down) dan penyebaran (spread effect) yang ditimbulkan umumnya tidak cukup kuat untuk menggerakan perekonomian wilayah. Bahkan seningkali kutub kutub pertumbuhan hanya berkembang ibarat enclave dari sektor ekonomi modern yang telah “menguras”, menyerap dan mengalirkan bahan mentah, modal, tenaga kerja dan bakat bakat entrepreneur dari perdesaan di sekelilingnya. Seperti yang diungkapkan Hansen (1982), bahwa proses penetesan dari modemisasi gagal menyentuh kelompok masyarakat miskin, terutama yang di perdesaan. Pandangan pandangan optimis yang memandang pertumbuhan ekonomi pada akhimya akan meningkatkan pendapatan per kapita secara regional, pada umumnya tidak didukung fakta fakta empirik. Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Penerapan konsep Growth Pole dalam kebijakan pembangunan ekonomi di era Orde Baru menyebabkan tingkat ketimpangan di
140
masa tersebut mengalami peningkatan baik kesenjangan antar golongan masyarakat maupun kesenjangan antar wilayah (Tambunan, 2006). Berkembangnya kota sebagai pusat pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect).
Urban
bias
terjadi
akibat
kecenderungan
pembangunan
yang
mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles) yang semula. meramalkan bakal terjadinya penetesan (tricle down effect) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya, ternyata neteffect-nya malah menimbulkan pengurasan besar (masive backwash effect). Dengan perkataan lain dalam ekonomi telah terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar besaran. Proses interaksi antara wilayah perdesaan dengan wilayah perkotaan ke depan harus dalam konteks pembangunan inter regional berimbang, dimana terjadi proses pembagian nilai tambah yang seimbang dan proporsional antara keduanya. Di wilayah perdesaan harus dibangun strategi pengembangan yang sesuai dengan kondisi
perdesaan,
dengan
kemampuan
tingkat
pelayanan
infrastruktur,
pendidikan, sosial, kesehatan, dan lain lain yang setara, sehingga mampu menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai tambah yang dinikmati oleh pelaku lokal. Konsep
Integrasi
Fungsional
Spasial
adalah
pendekatan
dengan
mengembangakan sistem pusat pusat pertumbuhan dengan berbakai ukuran dan karakteristik fungsional secara terpadu. Sistem seperti ini diharapkan dapat lebih mampu memfasilitasi dan memberikan pelayanan regional yang jauh lebih luas. Diyakini pula, bahwa untuk pembangunan di negara-negara yang sedang
141
berkembang, stimulan dari pengembangan regional harus dimulai dari pendekatan pertanian dibandingkan pengembangan industri. Berkaitan dengan pendekatan sektoral, Murty (2000) mendefinisikan kesenjangan wilayah sebagai pertumbuhan yang tidak sama pada sektor-sektor primer, sekunder dan tersier dan atau sosial yang berada dalam suatu negara, provinsi atau kabupaten/kota. Di setiap negara apakah negara maju (developed) atau terbelakang (underdeveloped), pertanian atau industri, besar atau kecil, masing-masing memiliki wilayah-wilayah yang memiliki tingkat ekonomi lemah dan kuat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, perbankan, asuransi, transportasi, komunikasi, pengembangan infrastruktur, sosial pendidikan, kesehatan, perumahan dan lain-lain. Dengan demikian, membangun perekonomian suatu wilayah pada dasarnya adalah mengembangkan aktivitas-aktivitas ekonomi yang berada dalam suatu wilayah. Perkembangan suatu sektor tidak dapat terlepas dari peran antar sektor yang saling mendukung. Seperti peran sektor pertanian, pertambangan sebagai bahan baku maupun intermediate goods bagi sektor industri manufaktur, juga peran sektor perdagangan dalam memasarkan hasil-hasil industri manufaktur tersebut, dan juga berbagai sektor lainnya. Oleh karena itu menurut doktrin unbalanced growth school yang dikemukakan oleh Hirscman (1958) bahwa untuk dapat mengembangkan suatu wilayah terbelakang, maka suatu investasi yang besar harus diarahkan pada suatu sektor tertentu yang mampu membangkitkan keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya atau sektor yang mempunyai kedalaman backward dan forward linkages. Sektor demikian kemudian dikenal dengan sebutan leading sector. Hal ini agar dana yang relatif terbatas (baik anggaran
142
pemerintah maupun sumberdaya swasta) dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dalam mengembangkan perekonomian wilayah. Dengan demikian wilayah yang belum maju dapat mengejar ketertinggalan dari wilayah lainnya sedemikian sehingga mampu memperkecil disparitas wilayah yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan perekonomian makro. Dalam hal ini beberapa ahli ekonomi (Kuznets, 1964; Mellor, 1966; Ghatak dan Ingersent, 1984; Basu, 1984; dan Norton, 2004) mengemukakan bahwa sektor pertanian merupakan leading sector untuk negara-negara dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah (low in-income country) atau juga biasa disebut less developed countries (LDCs) yang akan meningkatkan kemampuan negara-negara tersebut dalam memecahkan kemiskinan sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan dan pada akhirnya membangun perekonomian secara keseluruhan. Menurut Kuznets (1964) pembangunan pertanian di LDCs atau di wilayahwilayah yang belum maju dapat dapat menjadi leading sektor karena sektor pertanian tersebut mempunyai potensi menciptakan empat tipe kontribusi terhadap pembanguan dan pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan yaitu: (1) product contribution, (2) market contribution (3) factor contribution, dan (4) foreign exchange contribution. Dalam Tambunan (2001) dijelaskan kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi menurut Kuznets tersebut. Kontribusi produk (product contribution) menggambarkan bahwa ekspansi sektor-sektor ekonomi lain sangat tergantung pada produk-produk dari sektor pertanian, bukan saja untuk suatu kelangsungan pertumbuhan suplai makanan mengikuti pertumbuhan penduduk,
143
melainkan juga untuk penyediaan bahan baku yang digunakan oleh sektor industri manufaktur, seperti industri tekstil, industri barang-barang dari kulit dan industri makanan dan minuman. Sementara sektor pertanian dinilai dapat memberikan kontribusi pasar (market contribution) karena bias agraris yang sangat kuat dari ekonomi selama tahap awal proses pembangunan ekonomi, populasi di sektor pertanian (perdesaan) membentuk suatu proporsi yang sangat besar dalam pasar domestik untuk produk-produk dari industri dalam negeri, termasuk pasar untuk barang-barang produsen maupun barang-barang konsumsi. Sektor pertanian mampu memberi konstribusi faktor-faktor produksi (factor contribution) karena pentingnya sektor pertanian secara relatif menurun dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, sektor ini dilihat sebagai suatu sumber modal untuk investasi di dalam ekonomi. Jadi, pembangunan ekonomi melibatkan transfer surplus kapital dari pertanian ke sektor-sektor non pertanian. Sama seperti di dalam teori unlimited supply of labor dari Arthur Lewis, dalam proses pembangunan ekonomi terjadi transfer surplus tenaga kerja dari pertanian (perdesaan) ke sektor industri dan sektor-sektor non pertanian lainnya (perkotaan), terutama dalam periode jangka panjang. Sektor pertanian juga dinilai mampu memberikan kontribusi devisa (foreign exchange contribution) karena sektor pertanian mampu berperan sebagai sumber penting bagi surplus neraca perdagangan atau neraca pembayaran (sumber devisa), baik lewat ekspor hasilhasil pertanian atau dengan ekspansi produksi dari komoditi-komoditi pertanian yang menggantikan impor (substitusi impor). Hal senada dikemukakan oleh Mellor (1966) dan kemudian Norton (2004) menggambarkan peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi secara
144
grafis pada Gambar 6. Peningkatan produktivitas pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat pertanian dan memperluas kesempatan kerja, yang kemudian akan meningkatkan daya beli mereka baik terhadap pangan maupun produk-produk non pertanian sehingga pada gilirannya akan mengembangkan sektor non pertanian. Di pihak lain, peningkatan produktivitas pertanian menyebabkan ketersediaan produk pertanian meningkat dan sektor tersebut lebih kompetitif di pasar internasional, sehingga mampu mensubstitusi impor dan meningkatkan ekspor, serta menjamin ketersediaan bahan baku industri khususnya agroindustri yang lebih murah dan secara kontinu. Jadi perkembangan sektor non pertanian khususnya untuk agroindustri, tidak hanya karena meningkatkatnya permintaan, tetapi juga karena kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan produk yang lebih kompetitif. Dengan demikian pengembangan sektor pertanian, tidak hanya menjamin ketersediaan pangan/nutrisi, meningkatakan pendapatan masyarakat di wilayah kurang maju, tetapi juga mampu mengembangkan sektorsektor perekonomian lainnya, meningkatkan ekspor dan persediaan devisa yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dan memperkecil disparitas wilayah (Mellor, 1966; Gathak dan Ingersent, 1984; Norton, 2004; World Bank, 2005). Dengan demikian, kemudian World Bank (2005) menempatkan sektor pertanian dalam agenda pembangunan di era millenium, yang secara eksplisit dikemukakan bahwa pertumbuhan di sektor pertanian akan berkontribusi secara langsung dalam pencapaian keempat dari Millenium Development Goals (MDGs) yakni: (1) mengurangi sebagian proporsi penduduk yang dengan jelas hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, (2) mempromosikan kesetaraan gender dan
145
pemberdayaan wanita, (3) mendukung kelestarian lingkungan, dan (4) mengembangkan kerjasama global melalui peningkatan market access. Efektifitas pembangunan pertanian dalam membangun perekonomian di LDCs atau wilayah-wilayah yang belum maju akan sangat tergatung pada tahap pembangunan yang telah dicapai oleh suatu negara atau wilayah dan tipe budaya Nutrition and other material needs in rural areas
Indicator of national economic development
Nutrition and other material needs for urban areas
Targeted food-assistance programs
Consumerdemand multiplier effects
Rural household purchasing power
Real Agricultural price
Agricultural income and employment
Agricultural production (in real value)
Nonagricultural production, income and employment
Labor, capital, industrial policies and other factors
Foreign exchange and imports
Agricultural exports
Investment
Trade policy, exchange rate policy and regulatory policy
Resource management programs and policies
Acces to technology and markets
146
Direct objectives of agricultural programs
Indirect objectives of agricultural programs
Gambar 6. Peranan Program Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Sumber: Norton (2004)
pertanian yang terjadi. World Bank (2005), menyebutkan terdapat empat kondisi awal dalam meningkatkan prospek pertanian dalam peranannya untuk meningkatkan pertumbuhan yang pro terhadap kemiskinan yaitu: (1) pentingnya sektor pertanian bagi masyarakat miskin, (2) potensi agroklimat dalam meningkatkan produktivitas, (3) pendistribusian lahan yang lebih seimbang memungkinkan dilakukan, dan (4) pentingnya bahan makanan pokok yang tidak diperdagangkan bagi masyarakat miskin. Sementara menurut Mellor (1966) efektifitas dari sektor pertanian dalam mengembangkan perekonomian wilayah dan nasional akan sangat tergantung pada efektivitas investasi dan keterkaitan antar sektor dimana keterkaitan tersebut akan sangat tergantung pada tingkat elastisitas pendapatan dari permintaan produk pangan maupun non pangan dan elastisitas harga/permintaan produk-produk pertanian. Sementara Norton (2004) mengemukakan bahwa pengaruh yang besar dari pertumbuhan pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan muncul dari struktur pendapatan dan konsumsi di wilayah pedesaan: (1) selama masyarakat di
perdesaan secara umum lebih miskin daripada masyarakat di
perkotaan, ada kecenderungan untuk membelanjakan tambahan pendapatan mereka daripada ditabung lebih besar daripada di wilayah perkotaan dan (2) komposisi dari pengeluaran mereka adalah proporsi untuk pengeluaran terhadap
147
barang-barang
domestik
lebih
banyak
daripada
barang-barang
impor
dibandingkan dengan perilaku konsumen di wilayah perkotaan. Kenyataan mendasar ini, dimana multiplier pendapatan yang tinggi telah dapat terdeteksi di banyak negara sebagai akibat dari adanya pertumbuhan pertanian dan pendapatan pedesaan.
3.4.
Kerangka Analisis Penelitian Tujuan pembangunan ekonomi di suatu negara tidak hanya untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi (efficiency) tetapi juga pemerataan hasil pembangunan (equity). Menurut Todaro (2000) hal ini dimungkinkan dan pilihan strategi pembangunan menjadi penting. Perekonomian disatu pihak dapat dilihat sebagai agregasi dari seluruh aktivitas ekonomi sektoral dan dipihak lain dapat dilihat sebagai agregasi dari aktivitas ekonomi di seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Dengan demikian masalah pertumbuhan dan disparitas ekonomi antar wilayah akan sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi wilayah maupun sektoral. Pembangunan ekonomi sektoral mempunyai peranan penting dalam proses pembangunan dimana diharapkan tidak terjadi trade off antara efficiency dan equity karena perekonomian suatu wilayah juga tersusun atas aktivitas-aktivitas ekonomi sektoral. Mengacu pada model pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar yang memberikan
peranan kunci kepada investasi di dalam proses pertumbuhan
ekonomi maka pertumbuhan suatu wilayah atau sektor akan sangat tergantung pada ketersedian atau pertumbuhan investasi di wilayah atau sektor tersebut. Alokasi investasi yang bias sektoral atau wilayah akan menimbulkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda di setiap sektor atau wilayah sehingga
148
akan muncul wilayah atau sektor yang relatif berkembang dan wilayah atau sektor yang kurang berkembang yang pada gilirannya menyebab disparitas pertumbuhan regional dan atau sektoral. Alokasi investasi yang bias sektor industri diduga mempunyai peran besar dalam menciptakan ketimpangan antar wilayah karena meski sektor tersebut kini menjadi sektor yang terbesar kontribusinya terhadap PDB nasional, namun secara regional hanya lima dari 33 provinsi (15 persen) yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri dan terpusat pada propinsi yang relatif maju yakni di Kepulauan Riau, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (BPS, 2009). Disamping itu sektor industri lebih padat kapital dan telah terbukti bahwa strategi pembangunan yang bias sektor industri besar yang padat kapital di negaranegara berkembang termasuk Indonesia bersifat foot loose industries dan lemah kaitannya dengan ekonomi lokal sehingga membawa masalah besar yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan serta membawa masalah produktivitas pertanian yang relatif rendah. sehingga relatif sedikit dalam menyerap tenaga kerja. Sektor pertanian masih merupakan kontibutor terbesar terhadap PDRB di sebagian besar provinsi (sekitar 60 persen) di Indonesia dimana pada umumnya provinsi yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian (provinsi pertanian) termasuk dalam kategori provinsi dengan pendapatan perkapitanya relatif rendah sehingga dapat dikategorikan sebagai provinsi yang kurang maju. Sementara sektor pertanian juga penyerap tenaga kerja terbesar dan sebagian besar penduduk miskin berada di perdesaan yang sebagian besar hidup dari sektor pertanian serta sebagai sumber penyedia bahan baku sektor industri dan jasa sehingga di banyak negara berkembang sektor pertanian dapat menjadi leading sector dalam pembangunan ekonomi.
149
Oleh karena itu kebijakan pembangunan ekonomi harus kembali diarahkan kepada strategi pembangunan yang memperkuat dan memprioritas pembangunan sektor pertanian. Prioritas alokasi investasi ke sektor pertanian diharapkan akan mampu mengatasi masalah disparitas ekonomi antar wilayah maupun antar golongan masyarakat dan sekaligus diharapkan mengatasi masalah kinerja ekonomi mikro dan makro.
Stategi pembangunan ADLI adalah pendekatan
pembangunan yang mengedepankan sektor pertanian. Strategi yang sama-sama mengedepankan sektor pertanian adalah ”Strategi Induk” hasil pemikiran Tambunan (2002) dengan argumen bahwa industrialisasi ini mengedepankan sektor pertanian dan industri berbasis pertanian karena selain banyak menyerap tenaga kerja juga sebagian besar usaha di sektor tersebut tergolong UKM. Pembangunan ekonomi sektoral dalam mencapai efficiency dan equity tidak dapat sepenuhnya mengandalkan sektor pertanian karena peningkatan investasi yang kemudian diharapkan meningkatkan produktivitas dan produksi sektor pertanian, ketika peningkatan produksi mengalami over supply maka akan terjadi penurunan harga yang cukup besar sedemikian sehingga menurunkan pendapatan petani dan buruh tani yang pada gilirannya tidak mampu menstimulir perkembangan sektor non pertanian. Hal ini karena secara umum permintaan terhadap produk pertanian bersifat inelastis. Disamping itu, memacu pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi pertanian terkendala oleh semakin terbatasnya sumberdaya, khususnya lahan. Dalam hal ini, untuk memperoleh dampak terbaik terhadap perekonomian mikro, makro dan disparitas ekonomi antar wilayah maka prioritas alokasi investasi selain diberikan kepada sektor pertanian, juga harus diberikan kepada sektor industri berbasis pertanian (agroindustri) dan infrastruktur.
Kombinasi
peningkatan investasi di ketiga sektor tersebut dipilih karena berdasarkan banyak
150
studi empiris, masing-masing sektor tersebut memiliki keunggulan komparatif dan kombinasi ketiganya memberikan dampak yang bersifat komplementer. Untuk sektor pertanian, banyak hasil studi menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas di sektor pertanian akan menurunkan tingkat kemiskinan, memperkecil ketimpangan ekonomi antar golongan masyarakat dan beberapa studi juga menurunkan ketimpangan antar wilayah. Hingga saat ini diyakini bahwa untuk negara-negara berkembang, sektor pertanian merupakan leading sektor karena mempunyai backward linkage dan forward linkage yang paling kuat. Namun untuk Indonesia, berdasarkan studi-studi sebelumnya dengan menggunakan analisis Input Output (I-O), ada kecenderungan bahwa secara nasional, sektor agroindustri memberikan multiplier effect yang paling besar meskipun jika dibedakan berdasarkan analisis keterkaitan, sektor pertanian memiliki forward linkage yang tertinggi, sementara backward linkage yang tertinggi terjadi di sektor agroindustri baik berdasarkan Tabel I-O tahun 1998, tahun 2000, maupun tahun 2003 (Bernadi, 2001; Kusumaningrum, 2006; dan Kriswantriyono 2002). Menurut studi Kriswantriyono (2002) jika sektor agroindustri digabung dengan sektor pertanian (sektor agribisnis) maka sektor agribisnis dapat menjadi leading sector karena baik dari nilai keterkaitan maupun multiplier effectnya adalah yang tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Berdasarkan studi Bappenas dengan menggunakan data IRIO tahun 2005 dan analisis multiplier effect, secara regional, cukup banyak provinsi yang leading sector-nya adalah agroindustri. Disamping itu seperti halnya sektor pertanian, sebagian besar industri berbasis pertanian tergolong usaha kecil dan menengah (UKM).
Sementara sektor infrastruktur menurut banyak studi memberikan
dampak yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi karena sebagai barang publik
151
memiliki tingkat multiplier yang besar dan menurut beberapa studi menunjukkan bahwa tambahan keuntungan dari adanya investasi infrastruktur lebih rendah di wilayah yang sudah maju daripada di wilayah yang sedang berkembang atau wilayah tertinggal (Hulten dan Schwab, 1993; Puga, 2003; serta Lall et al., 2005). Oleh karena itu diduga, peningkatan investasi di infrastruktur akan secara kuat memperkecil disparitas ekonomi antar wilayah. Untuk menganalisis dampak peningkatan investasi sektoral dengan pendekatan produktivitas sektoral terhadap perekonomian mikro, makro, wilayah dan disparitas ekonomi digunakan pendekatan multiregional CGE top down yang telah dibangun dalam studi Oktaviani et al. (2006) dengan nama CGE-IR (CGEInvestasi Regional) sebagai alat analisis utama.
Khusus untuk menganalisis
disparitas ekonomi antar wilayah tidak dapat dikuantifikasi langsung melalui model CGE-IR, melainkan hasil simulasi mengenai pertumbuhan wilayah dengan menggunakan model CGE tersebut dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan indeks CVw. Karena investasi dalam tabel I-O dan IRIO yang digunakan sebagai data base hanya menunjukkan investasi di masing-masing sektor yang berasal dari sektor tersebut, maka beberapa sektor yang outputnya tidak dapat dijadikan barang investasi tidak ada nilai investasinya (nol). Dengan demikian nilai investasi tersebut belum dapat menunjukkan nilai investasi secara keseluruhan dalam perekonomian. Oleh karena itu, simulasi kebijakan investasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan simulasi peningkatan produktivitas input sebagai dampak dari adanya peningkatan investasi. Nilai besaran produktivitas input diduga dari fungsi produksi double-log dimana produksi input tersebut merupakan fungsi dari tenaga kerja, dan investasi. Pendugaan fungsi dilakukan
152
dengan menggunakan analisis ekonometrik khususnya metode Ordinary Least Square (OLS). Secara skematis, kerangka pemikiran operasional studi dampak perubahan produktivitas sektoral berbasis investasi terhadap disparitas ekonomi antar wilayah dapat dilihat pada Gambar 7. Dengan mengasumsikan bahwa investasi di suatu sektor dapat meningkatkan produktivitas input di sektor tersebut maka peningkatan investasi di leading sector (pertanian, industri berbasis pertanian dan infrastruktur) sektor pertanian akan meningkatkan produktivitas input di leading sector tersebut. Adanya peningkatan produktivitas input menunjukkan adanya peningkatan produksi karena secara grafis peningkatan produktivitas tersebut akan menggeser kurva suplai ke arah kanan yang pada gilirannya akan menurunkan harga produk pertanian dan sisi lain akan meningkatkan upah karena peningkatan produksi lebih disebabkan oleh peningkatan produktivitas seperti halnya hasil studi Datt dan Ravallion (1998), Susanti (2003) dan Taufikurahman (2004).
153
Multiregional CGE-topdown Investasi Leading Sector (LS) Agregat Demand Y=C+I+G+ (X-M)
Analisis Ekonometrik
Ekspor (X) dan Impor (M) di LS Foreign Exchange X dan M non LS Inflasi
Makroekonomi: -Konsumsi RT -Penge Pem -Investasi -Net Export
Harga
Share Ekonomi Wilayah: CIGX PDRB & Kesempt kerja
Produktivitas Leading Sector (LS)
Harga LS Daya beli RT di LS
Produksi LS Pendapatan RT di LS
Produksi, Kesempatan kerja, Pendapatan RT di LS
Mikro Ekonomi:
Share -Output Sektor wil yg perek dodiminasi output -Harga Sektor
LS > Non LS
-Upah -Kesemptn Kerja
Kesempatan kerja RT di LS Suplai domestik
Pendapatan RT: -Pendapatan RT Pedesaan >RT perkotaan -Pendap RT Gol bawah > gol atas
-Kinerja Makro&Mikro Ekonomi -Distribusi pendapatan RT -Disparitas Ekonomi Antar Wilayah (Index cvW
Gambar 7. Kerangka Analisis Penelitian
Dengan adanya peningkatan produksi dan upah, maka tingkat pendapatan masyarakat atau rumahatangga di leading sector yakni masyarakat petani dan pengusaha kecil di pedesaan dan perkotaan akan mengalami peningkatan sebagaimana hasil studi Fan et al. (1999 dan 2002), Anderson (2002), Thirtle, et al. (2003), Yudhoyono (2004), dan Astuti (2005).
Peningkatan pendapatan
masyarakat petani dimungkinkan meskipun tingkat harga mengalami penurunan karena dengan berkembangnya sektor industri berbasis pertanian yang keterkaitannya kuat dengan sektor pertanian juga mengalami perkembangan sehingga permintaan terhadap produk pertanian akan lebih elastis. Peningkatan pendapatan pada rumahtangga di leading sector tersebut selanjutnya akan meningkatkan daya beli mereka baik terhadap pangan maupun
154
produk-produk non pangan sehingga pada gilirannya akan mengembangkan sektor lainnya di luar leading sektor. Hal ini sejalan dengan temuan studi Sipayung (2000), Susanti (2003), de Ferranti et al. (2005), dan Astuti (2005). Juga beberapa studi empiris sudah membuktikan bahwa di Indonesia, sektor pertanian dan industri berbasis pertanian mempunyai backward dan forward lingkage yang tinggi (Bernadi, 2001; Kusumaningrum, 2006; dan Kriswantriyono 2002). Di pihak lain, peningkatan produksi dan penurunan harga produk pertanian sebagai dampak dari adanya peningkatan produktivitas menyebabkan sektor pertanian menjadi lebih kompetitif di pasar internasional, sehingga mampu mensubstitusi impor dan meningkatkan ekspor, serta menjamin ketersediaan bahan baku industri khususnya agroindustri yang lebih murah dan secara kontinu. Jadi perkembangan sektor non pertanian khususnya untuk agroindustri, tidak hanya karena meningkatkatnya permintaan, tetapi juga karena kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan produk yang lebih kompetitif. Peningkatan produksi di leading sector yang kemudian diikuti oleh perkembangan produksi di sektor lainnya
karena adanya consumer-demand
multiplier effect meningkatkan suplai domestik sehingga tingkat harga secara keseluruhan menurun atau terjadi inflasi sehingga akan mendorong ekspor barang dan jasa serta menekan impor. Di pihak lain, peningkatan suplai domestik juga akan meningkatkan kesempatan kerja. Adanya pertumbuhan output sektoral secara keseluruhan di satu sisi dan di sisi lain akumulasi dari adanya peningkatan konsumsi, investasi dan peningkatan net ekspor akan meningkatkan pendapatan nasional atau menigkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan produktivitas leading sector yang berbasis investasi tidak hanya mempu menstimulir pertumbuhan ekonomi nasional akan tetapi juga akan
155
mampu memacu pertumbuhan ekonomi regional karena secara sektoral semua sektor mengalami pertumbuhan dan dengan menggunakan model multiregional CGE top down perekonomian wilayah dikuantifikasi berdasarkan share dari perekonomian nasional.
Hanya saja, pertumbuhan output, kesempatan kerja,
pendapatan rumahtanga, serta penurunan harga di leading sector akan lebih tinggi dibandingkan dengan di sektor lainnya sehingga pertumbuhan ekonomi di wilayah yang perekonomiannya didominasi oleh leading sector akan lebih tinggi. Wilayah tersebut adalah wilayah sumber utama PDRBnya adalah sektor pertanian dan atau indutri berbasis pertanian yang secara umum tingkat pendapatannya relatif rendah. Oleh karena itu pengembangan leading sector akan mampu menurnkan tingkat disparitas ekonomi antar wilayah maupun antar golongan masyarakat. Efektifitas dari leading sector dalam mengembangkan perekonomian wilayah dan nasional akan sangat tergantung pada efektivitas investasi dan keterkaitan antar sektor dimana keterkaitan tersebut akan sangat tergantung pada tingkat elastisitas pendapatan dari permintaan produk pangan maupun non pangan dan elastisitas harga/permintaan produk-produk pertanian (Mellor, 1966). Banyak hasil studi menunjukkan bahwa di negara-negara berpendapatan rendah nilai elastisitas tersebut cukup besar sehingga diduga pengembangan sektor pertanian dan industri berbasis pertanian di negara berkembang seperti Indonesia akan efektif dalam memperkecil disparitas wilayah dan meningkatkan perekonomian mikro dan makro.
3.5. Hipotesis Penelitian
156
Berdasarkan uraian sebelumnya, baik berdasarkan acuan teori yang berkaitan maupun berdasarkan preposisi-preposisi yang dihasilkan dari studi-studi sebelumnya yang berkaitan, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Peningkatan produktivitas yang berbasiskan investasi di sektor pertanian dan industri berbasis pertanian (sektor agribisnis) serta infrastruktur mempunyai peranan yang lebih baik dalam memperbaiki kinerja ekonomi mikro, yakni mempunyai kemampuan yang
lebih besar dalam meningkatkan output,
kesempatan kerja serta tingkat upah sektoral; serta sekaligus menurunkan harga sektoral. 2.
Pengembangan sektor pertanian, industri berbasis pertanian serta infarstruktur melalui peningkatan produktivitas berbasis investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara lebih tinggi melalui peningkatan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan net ekspor. Disamping itu kombinasi pengembangan ketiga sektor tersebut mampu memperbaiki distribusi pendapatan antar golongan masyarakat.
3.
Peningkatan produktivitas yang berbasiskan investasi di sektor pertanian dan industri berbasis pertanian (sektor agribisnis) serta infrastruktur dapat memacu pertumbuhan ekonomi wilayah dan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan pendapatan perkapita yang relatif rendah khususnya wilayah yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian dan atau industri berbasis pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Pada gilirannya, kombinasi pengembangan ketiga sektor tersebut mampu disparitas ekonomi anatar wilayah.
menurunkan
157
4.
Pengembangan sektor pertanian, industri berbasis pertanian serta infrastruktur melalui peningkatan produktivitas berbasis investasi mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi
tanpa
menimbulkan
trade
off,
pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan penciptaan
pencapaian pemerataan
pendapatan baik antar wilayah maupun antar golongan masyarakat.