III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Pasar Definisi yang tertua dan paling sederhana bahwa pasar adalah sebagai suatu lokasi secara fisik dimana terjadi jual beli atau suatu keadaan terbentuknya suatu harga dan terjadinya perpindahan hak milik produk tertentu (Limbong dan Sitorus, 1987). Kotler (2003) juga mendefinisikan secara tradisonal pasar adalah tempat fisik dimana para pembeli dan penjual berkumpul untuk mempertukarkan barang. Secara umum pasar merupakan sebuah himpunan semua pelanggan aktual dan potensial untuk mendapatkan produk (Kotler and Armstrong, 1991). Sedangkan Kohls and Uhl (1985) mendefinisikan pasar sebagai sebuah arena untuk mengatur dan menfasilitasi aktifitas bisnis serta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ekonomi mengenai: produk apa yang dihasilkan, berapa banyak diproduksi, bagaimana cara memproduksi, dan bagaimana produk didistribusikan. Secara garis besar, pasar merupakan sejumlah lingkungan atau tempat, dimana (1) kekuatan permintaan dan penawaran saling bertemu, (2) terbentuk harga serta perubahan harga terjadi, (3) terjadinya perpindahan kepemilikan sejumlah barang dan jasa, dan (4) beberapa susunan fisik dan institusi di buktikan (Cochrane, 1957 dalam Dahl and Hammond, 1977). Pasar komoditas pertanian merupakan tempat dimana terjadi interaksi antara penawaran dan permintaan produk dan jasa pertanian, terjadi transaksi dan kesepakatan nilai, jumlah, spesifikasi produk, cara pengiriman, penerimaan, dan pembayaran, serta tempat terjadi pemindahan kepemilikan produk dan jasa komoditas pertanian (Sa’id dan Intan, 2004). Keberadaan pasar dapat dibedakan menjadi tempat pasar (marketplace) yang bersifat fisik dan ruang pasar (marketspace) yang bersifat digital (Kotler, 2003).
3.1.2. Sistem Tataniaga Istilah tataniaga diartikan sama dengan istilah pemasaran. Secara umum pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya melibatkan individu dan kelompok dalam mendapatkan apa yang akan dibutuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang bernilai dengan pihak lain (Kotler, 2003).
Dahl and Hammond (1977) juga menerangkan bahwa pemasaran atau tataniaga merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan untuk menggerakan produk mulai dari produsen utama hingga konsumen akhir. Menurut Kohls and Uhl (1985) tataniaga pertanian merupakan keragaan dari semua aktifitas bisnis dalam bentuk aliran barang atau jasa komoditas pertanian dari tingkat produksi (petani) sampai kepada konsumen akhir. Adiratma et al. (1971) dan Limbong dan Sitorus (1987) menambahkan bahwa tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barangbarang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Purcell (1979); Kohls and Uhl (1985); dan Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan bahwa terdapat beberapa pendekatan dalam menganalisis dan mempelajari sistem tataniaga, yaitu: Pendekatan Fungsi (The Functional Approach); Pendekatan Kelembagaan (The Institutional Approach); Pendekatan Sistem Perilaku (The Behavioral System Approach); Pendekatan Komoditas (The Comodity Approach); dan Pendekatan Ekonomi (The Economic Approach) atau Pendekatan Sistem (The System Approach). Pendekatan fungsi (the functional approach) merupakan pendekatan tataniaga yang mempelajari masalah-masalah tataniaga dari segi kegiatan atau fungsi-fungsi yang dilakukan dalam proses penyaluran barang dan jasa tersebut mulai dari produsen hingga ke konsumen. Fungsi dari tataniaga didefinisikan sebagai
kegiatan
yang
mengkhususkan
kepada
pelaksanaan
dalam
menyelesaikan proses tataniaga. Adapun fungsi-fungsi tataniaga, antara lain: (1) fungsi pertukaran, meliputi: pembelian dan penjualan; (2) fungsi fisik, meliputi: penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan; dan (3) fungsi fasilitas, meliputi: standarisasi dan grading, pembiayaan, penanggungan resiko, dan informasi pasar. Pendekatan kelembagaan (the institutional approach) mempelajari masalahmasalah tataniaga melalui lembaga-lembaga tataniaga yang turur serta dalam proses penyaluran barang dan jasa mulai mulai dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan kelembagaan menganalisis fungsi masing-masing lembaga tataniaga dan mempelajari organisasi dari lembaga-lembaga yang
terlibat dalam kegiatan pemasaran atau tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga yang umumnya terlibat antara lain: (1) Pedagang Perantara (Merchant Middlemen), terdiri dari: Pedagang Eceran dan Pedagang Grosir; (2) Agen Perantara (Agent Middlemen), meliputi: Komesioner dan Broker; (3) Spekulator (Speculative
Middlemen);
(4)
Pengolah
dan
Pabrikan (Processors and
Manufacturers); dan (5) Organisasi Fasilitas (Facilitative Organizations). Pendekatan sistem perilaku (the behavioral system approach) mempelajari dan menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga seperti perubahan dan perilaku lembaga tataniaga. Terdapat empat pendekatan dalam pendekatan sistem perilaku, yaitu: input-output system, power system, communications system, dan system for adapting to internal and external change. Pendekatan komoditas (the comodity approach) merupakan pendekatan yang menekankan terhadap kegiatan atau tindakan-tindakan yang diperlakukan terhadap barang atau jasa selama proses penyampaian mulai dari produsen hingga ke konsumen. Dengan kata lain, pendekatan komoditas merupakan pendekatan yang melibatkan studi tentang bagaimana barang-barang tertentu berpindah dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan ekonomi (the economic approach) disebut juga dengan pendekatan
sistem
(the
system
approach)
dimana
pendekatan
ini
menitikberatkan kepada masalah-masalah penawaran, permintaan, harga, bentuk-bentuk pasar dan lain sebagainya. Dalam pendekatan ini ada beberapa aspek yang harus diperhatikan, yaitu: proses ekonomi yang sedang berjalan dan kesinambungannya, mengidentifikasi pusat-pusat pengawasan dan aktivitasaktivitas yang sedang berjalan, serta mengidentifikasi suatu mekanisme yang mengintegrasikan aktivitas-aktivitas dalam suatu proses dan sistem yang sedang berjalan.
3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga Fungsi-fungsi tataniaga merupakan proses penyampaian barang atau jasa serta memperlancar kegiatan penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Sarma (1985) menambahkan bahwa fungsi-fungsi tataniaga merupakan kegiatan yang mengusahakan agar konsumen memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang tepat dengan cara: (1) meningkatkan
kegunaan tempat (place utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari daerah produksi ke daerah konsumsi; (2) meningkatkan kegunaan waktu (time utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari waktu yang belum diperlukan ke waktu yang diperlukan; dan (3) meningkatkan kegunaan bentuk (form utility), yaitu mengusahakan barang dan jasa dari bentuk semula ke bentuk yang lebih diinginkan.
Kohls
and
Uhl
(1985)
dan
Limbong
dan
Sitorus
(1987)
mengelompokkan fungsi-fungsi tataniaga ke dalam tiga fungsi utama, yaitu: (1) fungsi pertukaran; (2) fungsi fisik; dan (3) fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran merupakan kegiatan untuk memperlancar pemindahan hak milik atas barang dan jasa dari penjual kepada pembeli. Adapun fungsi pertukaran terdiri dari: (1) fungsi penjualan, kegiatan fungsi penjualan ini diperlukan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa sesuai dengan yang diinginkan konsumen baik dilihat dari jumlah, bentuk dan mutunya; dan (2) fungsi pembelian, kegiatan fungsi pembelian diperlukan untuk menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhan baik untuk dikonsumsi langsung maupun untuk kebutuhan produksi dengan cara menentukan jenis, jumlah, kualitas, tempat pembelian serta cara pembelian barang atau jasa yang akan dibeli. Fungsi fisik merupakan seluruh kegiatan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Fungsi-fungsi fisik dari tataniaga meliputi: (1) fungsi penyimpanan, merupakan kegiatan untuk membuat komoditas selalu tersedia pada saat dibutuhkan; (2) fungsi pengangkutan, bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen baik menurut waktu, jumlah dan mutunya; dan (3) fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang yang bersangkutan baik dalam rangka memperkuat daya tahan barang tersebut maupun dalam rangka peningkatan nilainya. Fungsi fasilitas adalah segala kegiatan yang memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari empat fungsi utama, yaitu: (1) fungsi standarisasi dan grading, dimana standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran atau kriteria tertentu, sedangkan grading adalah
tindakan
mengklasifikasikan
hasil-hasil
pertanian
menurut
suatu
standarisasi yang diinginkan sehingga kelompok barang yang terkumpul sudah
menurut satu ukuran standar; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut; (3) fungsi penanggungan resiko, merupakan penanggungan resiko terhadap kemungkinan kehilangan selama proses tataniaga akibat resiko fisik maupun resiko ekonomi atau pasar; dan (4) fungsi informasi pasar, fungsi ini meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut.
3.1.4. Lembaga dan Saluran Tataniaga 3.1.4.1. Lembaga Tataniaga Dalam tataniaga suatu barang atau jasa terlibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen, hal ini dikarenakan jarak antara produsen yang menghasilkan barang dan jasa seringkali berjauhan dengan konsumen, sehingga fungsi lembaga perantara sangat diharapkan untuk menggerakkan barang dan jasa tersebut dari produsen ke konsumen serta penghubung informasi mengenai suatu barang dan jasa (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Kohls and Uhl (1985), lembaga-lembaga tataniaga yang umumnya terlibat, antara lain: (1) Pedagang Perantara (Merchant Middlemen) merupakan lembaga yang memiliki dan menguasai produk, meliputi: Pedagang Eceran (Retailers) yang membeli produk kemudian menjual kembali secara langsung kepada konsumen yang membutuhkan produk tersebut, dan Pedagang Grosir (Wholesaler) yang menjual kepada pengecer, pedagang besar lainnya, dan industri pengguna tetapi tidak menjual kepada konsumen akhir secara langsung; (2) Agen Perantara (Agent Middlemen), mewakili klien dalam penanganan
dan
hanya
menguasai
produk,
meliputi:
Pencari
Komisi
(Commission Men) dimana proses pekerjaannya mencari penjual, melakukan penanganan terhadap produk dan mencari pembeli, dan Broker (Brokers) dimana broker hanya mempertemukan antara penjual dan pembeli; (3) Spekulator (Speculative Middlemen), adalah pedagang perantara yang membeli-menjual produk untuk mencari keuntungan dengan memanfaatkan adanya pergerakan harga (minimal-maksimal); (4) Pengolah dan Pabrikan (Processors and Manufacturers), adalah kelompok bisnis yang aktifitasnya menangani produk dan merubah bentuk yaitu bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir; dan (5) Organisasi Fasilitas (Facilitative Organizations), merupakan lembaga yang membantu memperlancar aktifitas tataniaga.
Limbong dan Sitorus (1987) menggolongkan lembaga-lembaga tataniaga berdasarkan
fungsi
yang
dilakukannya;
penguasaan
terhadap
barang;
kedudukan dalam struktur pasar; dan bentuk usaha. 1)
Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dibedakan atas: (a) Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi
fisik
pemasaran,
meliputi:
lembaga
pengolahan,
lembaga
pengangkutan, pergudangan; (b) Lembaga perantara tataniaga yaitu suatu lembaga yang khusus mengadakan fungsi pertukaran, seperti: pedagang pengecer, grosir, dan lembaga perantara lainnya; dan (c) Lembaga fasilitas tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi fasilitas seperti: Bank, Badan Perkreditan, dan KUD. 2)
Berdasarkan penguasaan suatu badan terhadap barang dan jasa, lembaga tataniaga terdiri dari: (a) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, meliputi: agen, perantara dan broker; (b) Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti: pedagang pengumul, pedagang pengecer, pedagang besar, eksportir dan importir; (c) Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, seperti: badan transportasi, pergudangan dan asuransi.
3)
Penggolongan lembaga tataniaga menurut kedudukannya dalam struktur pasar dapat digolongkan atas: (a) Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti: pedagang pengecer rokok, pengecer beras, dan lain-lain; (b) Lembaga tataniaga bersaing monopolistik, seperti: pedagang asinan, pedagang benih, pedagang bibit, dan lain-lain; (c) Lembaga tataniaga oligopolis; dan (d) Lembaga tataniaga monopolis.
4)
Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan bentuk usahanya, dapat digolongkan atas: (a) Berbadan hukum; dan (b) Tidak berbadan hukum. Limbong dan Sitorus (1987) juga mengungkapkan bahwa peranan lembaga
tataniaga sangat penting terutama untuk komoditas pertanian yang bersifat mudah rusak atau tidak tahan disimpan lama, volume produk besar dengan nilai yang kecil, dan harga pasar ditentukan oleh mutunya, serta pada umumnya sentra produksi relatif jauh dari tempat konsumen yang tersebar dari pedesaan sampai perkotaan. Oleh karena pentingnya peranan lembaga tataniaga tersebut, maka perlu ada koordinasi pelaksanaan fungsi-fungsi untuk mencapai efisiensi tataniaga yang tinggi serta efektif, dengan cara:
1)
Integrasi vertikal, yaitu lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi yang berbeda dihubungkan satu dengan yang lainnya menurut saluran barang tersebut. Integrasi vertikal akan menurunkan pengeluaran tataniaga sehingga barang dapat dijual dengan harga lebih murah, hal ini dikarenakan perbedaan harga antara tingkat produsen dengan tingkat konsumen tidak terlalu besar sehingga dapat menguntungkan konsumen.
2)
Integrasi
horisontal,
dimana
lembaga-lembaga
tataniaga
yang
menyelenggarakan fungsi yang sama disatukan di dalam suatu tindakan pemasaran suatu barang. Integrasi horisontal dapat merugikan konsumen, karena integrasi macam ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi dan menghindari adanya persaingan dari perusahaan atau lembaga tataniaga yang sejenis sehingga lembaga tersebut dapat mengontrol harga barang.
3.1.4.2. Saluran Tataniaga Berdasarkan sifat komoditas pertanian yang telah disebutkan di atas, maka sistem distribusi atau saluran tataniaga yang efektif akan memberikan perlindungan dan keamanan bagi komoditas pertanian tersebut. Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Dengan kata lain, saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi (Kotler, 2003). Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen, hal ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan atau mengingikannya (Kotler, 2003). Jalur distribusi atau saluran tataniaga komoditas pertanian dalam menyampaikan komoditas dari produsen (petani) sampai konsumen akhir umumnya melewati serangkaian lembaga-lembaga tataniaga (Gambar 1). Limbong dan Sitorus (1987); Kotler and Armstrong (1991); dan Kotler (2003) mengungkapkan bahwa anggota saluran tataniaga atau lembaga-lembaga dalam saluran tataniaga melaksanakan sejumlah fungsi utama, yaitu:
1)
Informasi, yaitu mengumpulkan informasi mengenai pelanggan, pesaing, serta pelaku, dan kekuatan lain dalam lingkunagan pemasaran yang diperlukan dalam perencanaan dan penyesuaian perubahan;
2)
Promosi, yaitu mengembangkan dan menyebarkan komunikasi persuasif untuk merangsang pembelian;
3)
Hubungan, yaitu mencari dan berkomunikasi dengan calon pembeli;
4)
Pemadanan,
yaitu
pembentukan
dan
penyesuaian
tawaran
dengan
kebutuhan pembeli, termasuk didalamnya kegiatan seperti pengolahan, grading, perakitan dan pengemasan; 5)
Negoisasi, merupakan usaha untuk mencapai persetujuan akhir atas harga dan ketentuan lainnya mengenai tawaran agar peralihan kepemilikan dapat terjadi;
6)
Distribusi fisik, meliputi pengangkutan dan penyimpanan barang;
7)
Pembiayaan, merupakan perolehan dan penggunaan dana untuk menutupi biaya pekerjaan saluran tataniaga; dan
8)
Pengambilan resiko, yaitu menerima adanya resiko dalam hubungan pelaksanaan kegiatan saluran tataniaga. Saluran tataniaga dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat
saluran, dimana masing-masing pedagang perantara yang melaksanakan pekerjaan tertentu dalam membawa produk dan haknya semakin mendekat pada konsumen akhir akan membentuk tingkat atau level saluran (Limbong dan Sitorus, 1987; dan Kotler and Armstrong, 1991). Kotler (2003) mengungkapkan bahwa panjangnya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Terdapat beberapa tingkat saluran tataniaga, yaitu: (1) Saluran level-nol atau juga disebut saluran pemasaran langsung, adalah saluran produsen atau perusahaan manufaktur secara langsung menjual produknya kepada konsumen ekhir; (2) Saluran satulevel, adalah saluran berisi satu perantara penjual; (3) Saluran dua-level, merupakan saluran yang mencakup dua perantara; (4) Saluran tiga-level, merupakan saluran yang mencakup tiga perantara. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan bahwa dalam menyalurkan produk yang dihasilkan, produsen tidak dapat melakukan penyaluran produknya ke setiap pasar maupun pada setiap waktu yang dikehendaki oleh produsen, tetapi produsen dan penjual harus mempertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi
keberhasilan.
Beberapa
faktor
penting
yang
harus
dipertimbangkan dalam memilih pola saluran tataniaga yang akan digunakan, yaitu: (1) Pertimbangan pasar, meliputi: konsumen produk, jumlah pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, dan kebiasaan konsumen; (2) Pertimbangan barang, meliputi: nilai per unit dari produk, sifat produk, produk subtitusi, dan produk pesaing; (3) Pertimbangan dari segi perusahaan, meliputi: sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan, dan pelayanan yang diberikan penjual; dan (4) Pertimbangan terhadap lembaga perantara, meliputi: pelayanan yang dapat diberikan lembaga perantara, kegunaan perantara, sikap perantara terhadap kebijaksanaan produsen, dan biaya. Petani
Petani langsung kepada konsumen
Konsumsi rumah tangga petani
Import Pengumpul, broker, dan lain-lain
Pengumpul
Pengolah dan pabrik hasil pertanian
Pemerintah, Industri
Eksport
Pedagang besar, broker, rantai pergudangan Militer
Pengecer
Pedagang makanan khusus
Pasar Institusi
Konsumen
Keterangan: Garis yang lebih tebal menunjukkan prioritas volume untuk lembaga tataniaga tersebut. Gambar 1. Gambaran Umum Pola Saluran Tataniaga Komoditas Pertanian (Sumber: Kohls and Uhl, 1985).
3.1.5. Struktur Pasar Struktur pasar merupakan karakteristik dari produk maupun institusi atau lembaga yang terlibat pada pasar tersebut yang mempengaruhi market conduct (perilaku pasar) dan market performance (keragaan pasar). Struktur pasar juga dapat diartikan sebagai tipe atau jenis-jenis pasar. Perilaku pasar (market conduct) merupakan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar secara individu atau kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Market performance merupakan keragaan pasar yang merupakan hasil atau pengaruh dari market structure dan market conduct yang dalam realita dapat terlihat dari produk atau output, harga dan biaya pada pasar-pasar tertentu. Struktur
pasar
merupakan
dimensi
yang
menjelaskan
pengambilan
keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, deskripsi komoditi dan diferensiasi komoditi, syarat pasar dan lainnya (Limbong dan Sitorus, 1987). Dahl and Hammond (1977) mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik yang merupakan faktor penentu struktur pasar, yaitu: (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) kondisi atau keadaan produk; (3) kebebasan keluar dan masuk pasar; dan (4) tingkat pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh partisipan tentang mekanisme pembentukan harga, biaya, dan konsidi pasar yang sedang dihadapi. Berdasarkan karekteristik struktur pasar tersebut, Tomek and Robinson (1972); Dahl and Hammond (1977); Purcell (1979); Kohls and Uhl (1985); dan Limbong dan Sitorus (1987) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar
yang
berbeda,
yaitu:
(1)
Pasar
Persaingan
Sempurna
(Perfect
Competition); (2) Pasar Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony); (3) Pasar
Oligopoli
atau
Oligopsoni
(Oligopoly/Oligopsony);
dan
(4)
Pasar
Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition). Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana banyak pembeli dan penjual memperdagangkan komoditi yang bersifat homogen atau seragam dengan jumlah yang banyak, sehingga setiap pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar, atau dengan kata lain bahwa pembeli dan penjual merupakan pihak yang mengikuti harga (price taker) bukan sebagai pihak yang menetapkan harga (price maker). Tidak terdapat hambatan untuk keluar atau masuk pasar, sehingga pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar
dan masuk pasar. Pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas sumber-sumber ekonomi juga relatif sempurna. Struktur pasar monopoli dicirikan dengan penjual tunggal dari sebuah komoditas yang bersifat unik dan sangat dideferensiasi dan penjual tersebut memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga pada struktur pasar monopoli penjual merupakan pihak yang menetapkan harga. Hambatan untuk masuk dan keluar yang besar seringkali merintangi pendatang potensial dan menawarkan kesempatan untuk memperoleh laba ekonomi. Dari segi pembeli disebut pasar monopsoni, yang terdiri hanya dari seorang pembeli suatu komoditi. Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka akan strategi pemasaran dan penetapan harga penjual lain dan menjual produk yang bersifat homogen serta standar. Sedikit jumlah penjual ini disebabkan tingginya hambatan untuk memasuki industri yang bersangkutan, hal ini dapat disebabkan beberapa hal, seperti: paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku, pengetahuan yang sifatnya perorangan dan lokasi yang langka dan sebagainya. Sedangkan pasar yang terdiri dari beberapa pembeli disebut pasar oligopsoni. Pasar yang terdiri dari beberapa penjual yang menjual produk yang bersifat terdeferensiasi
atau
heterogen
disebut
pasar
oligopoli
terdeferensiasi.
Sedangkan pasar oligopsoni terdeferensiasi merupakan pasar yang dicirikan dengan beberapa pembeli yang membeli produk yang terdeferensiasi. Pasar persaingan monopolistik merupakan karakteristik struktur pasar antara pasar persaingan sempurna dan pasar oligopoli. Pasar persaingan monopolistik dicirikan dengan terdapat banyak penjual dan pembeli yang melakukan transaksi pada berbagai macam harga dan bukan atas satu harga pasar, dimana munculnya beberapa macam harga ini disebabkan penjual dapat melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli. Produk fisik dapat dibedakan menurut kualitas, ciri atau gayanya, service dapat berbeda, sebagai akibat penglihatan pembeli yang berbeda atas barang yang ditawarkan dan kesediaan membayar harga yang berbeda. Pada pasar persaingan monopolistik, penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan
merek, periklanan dan personal selling, disamping harga untuk menonjolkan penawaran. Dari segi pembeli pasar ini disebut pasar persaingan monopsoni. Tabel 8. Karakteristik Struktur Pasar Dipandang Dari Sudut Pembeli dan Penjual Karakteristik Pasar Struktur Pasar No. Jumlah Penjual Sudut Penjual Sudut Pembeli Sifat Produk dan Pembeli 1 Persaingan Persaingan Banyak Homogen Sempurna Sempurna 2 Persaingan Persaingan Banyak Heterogen Monopolistik Monopsoni 3 Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Beberapa Homogen 4 Oligopoli Oligopsoni Beberapa Heterogen Terdeferensiasi Terdeferensiasi 5 Monopoli Monopsoni Satu Unik Sumber : Dahl and Hammond (1977)
3.1.6. Perilaku Pasar Perilaku pasar menggambarkan perilaku partisipan (pembeli dan penjual), strategi atau reaksi yang dilakukan partisipan pasar tersebut baik secara individu maupun kelompok dalam hubungan kompetitif atau negosiasi terhadap partisipan lainnya untuk mencapai tujuan pemasaran tertentu. Menurut Dahl and Hammond (1977) perilaku pasar adalah pola tingkah laku dari lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan pasar untuk menerima sejumlah komoditi yang dijual, stabilitas pasar, sistem pembayaran, dan kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga. Kohls and Uhl (1985) menjelaskan bahwa dalam menggambarkan perilaku pasar, terdapat empat hal yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Input-output system,
sistem
input-output
ini
menerangkan
bagaimana
tingkah
laku
perusahaan dalam mengelola sejumlah input menjadi satu set output; (2) Power system, sistem kekuatan ini menjelaskan bagaiman suatu perusahaan dalam suatu sistem tataniaga, misalnya kedudukan perusahaan dalam suatu sistem tataniaga sebagai perusahaan yang memonopoli suatu produk sehingga perusahan tersebut dapat sebagai penentu harga; (3) Communications system, sistem komunikasi ini mempelajari tentang perilaku perusahaan mengenai mudah tidaknya mendapatkan informasi; dan (4) System for adapting to internal
and external change, sistem adaptif menerangkan bagaimana perilaku perusahaan dalam beradaptasi pada suatu sistem tataniaga agar dapat bertahan di pasar.
3.1.7. Keragaan Pasar Menurut Dahl and Hammond (1977) keragaan pasar adalah akibat dari keadaan struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan variabel harga, biaya, dan volume produksi dari output yang pada akhirnya akan memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga. Deskripsi dari keragaan pasar dapat dilihat dari indikator: (1) harga dan penyebarannya di tingkat produsen dan konsumen; dan (2) marjin dan penyebarannya pada setiap pelaku pemasaran.
3.1.7.1. Biaya dan Marjin Tataniaga Istilah biaya tataniaga dalam tataniaga komoditi pertanian mencakup jumlah pengeluaran yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan penjualan hasil produksi dan jumlah pengeluaran oleh lembaga tataniaga (badan perantara). Dengan kata lain, biaya tataniaga pertanian adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam proses penyampaian komoditi pertanian mulai dari titik produsen hingga titik konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Margin tataniaga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan pula sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir. Kohls and Uhls (1985) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Tomek and Robinson (1972) menjelaskan marjin tataniaga sebagai berikut: 1.
Perbedaan harga antara harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen;
2.
Kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran. Menurut Dahl and Hammond (1977), marjin tatanaiaga adalah perbedaan
harga antara harga di tingkat petani (Pf) dengan harga di tingkat pengecer (Pr), dimana marjin tataniaga tersebut ditunjukkan oleh perbedaan atau jarak vertikal
antara kurva permintaan atau kurva penawaran (Gambar 3). Marjin tataniaga dapat juga merupakan perbedaan harga dari tingkat produsen dengan harga di tingkat lembaga pertama, atau perbedaan harga yang terjadi antara lembaga yang satu dengan lembaga tataniaga yang lainnya dalam saluran tataniaga komoditi yang sama (Limbong dan Sitorus, 1987). Marjin tataniaga hanya berhubungan dengan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan tentang jumlah produk. P Nilai marjin tataniaga (Pf – Pr) x Qr,f Sr Sf Pr Marjin tataniaga (Pf – Pr)
Dr
Pf Df
Biaya Tataniaga
Qr,f
Q
Keterangan: Pr: harga di tingkat pengecer; Pf: harga di tingkat petani; Sr: penawaran di tingkat pengecer; Sf: penawaran di tingkat petani; Dr: permintaan di tingkat pengecer; Df: permintaan di tingkat petani; Qrf: jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer. Gambar 2. Penggambaran Definisi Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga, dan Biaya Tataniaga (Sumber: Dahl and Hammond, 1977).
Nilai marjin tataniaga (value of marketing margin) merupakan perbedaan harga pada dua tingkat sistem tataniaga dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Nilai tersebut terdiri dari marketing cost dan marketing charge. Berdasarkan kedua nilai tersebut, pendekatan terhadap marjin tataniaga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui return to factor dan return to institution. Return to a factor adalah penerimaan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses tataniaga seperti wages, interest, tents, dan profit. Return to an institution adalah pengembalian (return) terhadap jasa atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses tataniaga (Dahl and Hammond, 1977). Tinggi rendahnya marjin tataniaga sering digunakan sebagai kriteria untuk penilaian apakah pasar tersebut sudah efisien atau belum, tetapi tinggi rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Marjin tataniaga yang rendah tidak otomatis dapat
digunakan sebagai ukuran efisien tidaknya pola pemasaran suatu komoditi. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, resiko kerusakan, dan lainlain (Limbong dan Sitorus, 1987).
3.1.7.2. Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share) Bagian harga yang diterima petani adalah perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Limbong dan Sitorus, 1987). Kohls and Uhls (1985) mendefinisikan farmer's share sebagai selisih antara harga retail dengan marjin pemasaran. Farmer's share merupakan bagian dari harga konsumen yang diterima oleh petani, dan dinyatakan dalam persentase harga konsumen. Hal ini berguna untuk mengetahui porsi harga yang berlaku di tingkat konsumen dinikmati oleh petani. Besar farmer's share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemrosesan; (2) biaya transportasi; (3) keawetan produk; dan (4) jumlah produk. Farmer's share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share, melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produk mereka.
3.1.7.3. Keterpaduan Pasar Keterpaduan pasar secara sederhana dapat diartikan seberapa jauh pembentukan harga suatu produk pada suatu pasar dipengaruhi oleh harga pada pasar lain (Mulyoko, 1984 dalam Suriyana, 2005). Keterpaduan pasar menunjukkan seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga tataniaga tertentu dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Pengaruh perubahan harga dapat diduga melalui pendekatan korelasi harga, elastisitas transmisi, dan model keterpaduan pasar yang dikembangkan oleh Ravalion dan Heytens (1986). Ravalion (1986) dalam Arifianto (2007)
menjelaskan bahwa model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga dipasar referensi (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah bila terjadi perubahan harga di pasar lain. Heytens (1986) dalam Arifianto (2007) menambahkan bahwa dalam suatu sistem pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga pada suatu pasar disalurkan ke pasar lain, dan semakin cepat laju penyaluran maka semakin terpadu kedua pasar tersebut. Keterpaduan pasar dapat terjadi jika terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu pasar ke pasar lainnya. Dengan demikian fluktuasi perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera tertangkap oleh pasar lain dengan ukuran perubahan yang proporsional.
3.1.8. Efisiensi Pasar Menurut Kohls and Uhls (1985), efisiensi merupakan patokan yang paling sering digunakan dalam menilai kinerja tataniaga. Kinerja tataniaga adalah bagaimana suatu sistem pemasaran dijalankan dan apa yang diharapkan oleh lembaga-lembaga atau pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Meningkatkan efisiensi adalah salah satu tujuan umum dari petani, lembaga pemasaran, dan konsumen. Efisiensi yang tinggi menggambarkan kinerja tataniaga yang baik sedangkan efisiensi yang rendah berarti sebaliknya. Efisiensi adalah rasio antar output dan input. Tataniaga pertanian dapat dilihat sebagai sebuah sistem input output. Input pemasaran merupakan sumber daya yang digunakan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemasaran seperti tenaga kerja, mesin, energi, modal, dan sebagainya, sedangkan hasil dari proses pemasaran disebut sebagai output seperti kegunaan waktu, bentuk, tempat, dan kegunaan lain yang memberikan kepuasan kepada konsumen. Input merupakan biaya sedangkan kegunaan merupakan keuntungan dari pemasaran yang membentuk rasio efisiensi dan efisiensi pemasaran merupakan maksimisasi dari rasio input-output tersebut. Efisiensi tataniaga menjadi dua bagian, yaitu efisiensi operasional (operational efficiency) dan efisiensi harga (pricing efficiency). Efisiensi operasional diukur berdasarkan biaya dan marjin tataniaga sedangkan
efisiensi harga diukur melalui korelasi harga untuk komoditi yang sama pada berbagai tingkat pasar. Efisiensi pasar akan tercapai jika struktur pasar dapat menciptakan iklim yang mendorong terjadinya proses yang seimbang antara pelaku-pelaku yang terlibat di dalam pasar. Secara teoritis efisiensi pasar dapat dicapai jika pelakupelaku pasar tidak melakukan suatu upaya rekayasa untuk mempengaruhi harga pasar. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), efisiensi tataniaga tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan bagi semua pihak yang terlibat, yaitu produsen, konsumen akhir, dan lembaga-lembaga tataniaga. Indikasi adanya efisiensi tataniaga adalah kondisi struktur pasar yang bersaing sempurna (pure competitions). Dalam kenyataanya, kondisi pasar tersebut tidak dapat terpenuhi. Petani pada umumnya menjual produknya pada pasar oligopsoni murni (buyer market), sebaliknya apabila membeli input ataupun kebutuhan konsumsi seharihari berhadapan dengan pasar yang bersifat oligopoli diferensial (seller market) (Dahl and Hammond, 1977). Kohls and Uhls (1985) menjelaskan bahwa efisiensi tataniaga merupakan suatu indikator dari kinerja pemasaran yang dapat diukur melalui beberapa metode. Metode yang paling dikenal adalah dengan melihat selisih harga di tingkat petani dengan harga di tingkat retail (market margin) serta berdasarkan persentase harga konsumen yang diterima oleh petani (farmer's share). Farmer's share memiliki hubungan negatif dengan marjin tataniaga atau dengan kata lain bahwa semakin tinggi marjin tataniaga akan menyebabkan persentase harga yang diterima petani (farmer's share) akan semakin kecil. Kohls and Uhls (1985), selanjutnya menjelaskan bahwa peningkatan efisiensi tataniaga dapat dilakukan dengan meningkatkan salah satu atau kedua jenis efisiensi tersebut. Peningkatan efisiensi operasional adalah suatu keadaan dimana biaya pemasaran dapat ditekan tanpa menimbulkan efek yang berarti pada output yang dihasilkan, misalnya dengan meningkatkan produktivitas. Peningkatan efisiensi harga adalah adalah keadaan dimana kegunaan dari output dapat ditingkatkan tanpa adanya peningkatan biaya. Kondisi ini dapat diciptakan dengan alokasi sumber daya yang efisien dan kordinasi yang baik antara lembaga-lembaga tataniaga dalam memenuhi kebutuhan konsumen.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kab. Banjarnegara merupakan salah satu sentra salak khususnya salak pondoh di Propinsi Jawa Tengah selain Magelang, Ambarawa, Wonosobo, Banyumas, Purworejo, dan Purbalingga. Diantara beberapa daerah sentra salak pondoh, produksi salak pondoh Kab. Banjarnegara merupakan yang terbesar. Sehingga salak pondoh produksi Kab. Banjarnegara selain dipasarkan di pasar lokal, sebagian besar dipasarkan ke daerah lain baik ke kota-kota di pulau Jawa maupun ke kota-kota lain di luar pulau Jawa. Sebagian besar salak pondoh dipasarkan keluar daerah dikarenakan oleh kemampuan pasar lokal menyerap produk yang sangat kecil dibandingkan kemampuan pasar-pasar diluar Kab. Banjarnegara. Perbedaan harga di konsumen akhir di pasar lokal dengan harga di konsumen akhir di pasar-pasar luar daerah juga merupakan salah satu alasan bahwa sebagian besar salak pondoh dari Kab. Banjarnegara dipasarkan di luar daerah. Sehingga jauhnya serta relatif tersebar daerah pemasaran salak pondoh dengan sentar produksi, menyebabkan sangat penting peran lembaga tataniaga dalam menyalurkan salak pondoh dari petani sampai kepada konsumen akhir. Proses distribusi salak pondoh dari produsen ke konsumen selalu melibatkan beberapa lembaga tataniaga mulai dari produsen dalam hal ini petani salak pondoh, lembaga-lembaga perantara seperti pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer sampai ke konsumen akhir. Karena adanya jarak antara produsen dengan konsumen maka fungsi lembaga perantara sangat berperan dalam menyalurkan salak pondoh dari produsen ke konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat antara petani dengan konsumen akan memperlihatkan semakin panjangnya rantai tataniaga, hal ini akan berdampak pada semakin tingginya marjin tataniaga dan semakin rendahnya
bagian
harga
yang
diterima
oleh
petani
serta
munculnya
ketidakintegrasian secara vertikal mengenai informasi pasar. Selain itu bahwa salak pondoh termasuk produk pertanian yang memiliki sifat mudah rusak, panjangnya rantai tataniaga yang terjadi menyebabkan buah rusak atau berkurang kualitasnya sebelum sampai konsumen akhir dan harga turun. Dalam melakukan analisis sistem tataniaga terdapat tiga bahasan utama yang menjadi dasar analisis yaitu struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Untuk mengetahui efisiensi tataniaga komoditi salak pondoh di Kab. Banjarnegara, langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan analisa pola
saluran tataniaga salak podoh dari produsen atau petani sampai di tangan konsumen akhir serta lembaga-lembaga tataniaga yang berperan di dalamnya dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga yang terlibat pada setiap pola saluran tataniaga. Struktur pasar komodoti salak pondoh di Kab. Banjarnegara dapat dilihat dari struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga. Perilaku pasar dapat dianalisis dari pola tingkah laku dari lembaga tataniaga khususnya dalam praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Keragaan pasar dapat diukur dari sebaran biaya dan harga pada setiap tingkat lembaga tataniaga dalam setiap pola saluran tataniaga, dimana keragaan pasar ini sangat dipengaruhi oleh struktur dan perilaku pasar yang terbentuk. Analisis keragaan pasar merupakan salah satu analisis efisiensi sistem tataniaga secara kuantitatif, karena pendekatan analisis keragaan pasar dengan menggunakan marjin tataniaga, bagian harga yang diterima petani, rasio keuntungan biaya, dan keterpaduan pasar. Di tingkat petani salak pondoh, harga jual salak pondoh cukup berfluktuatif, dimana pada saat musim panen raya harga jual salak pondoh sangat rendah. Dengan menggunakan analisis keterpaduan pasar, apakah perubahan harga yang terjadi di tingkat petani dapat mempengaruhi harga di tingkat lembagalembaga tataniaga. Tataniaga komoditas salak pondoh dikatakan tepadu apabila informasi perubahan harga dari salah satu lembaga tataniaga disalurkan ke lembaga tataniaga lain secara vertikal dan terjadi secara dua arah. Semakin cepat laju penyaluran informasi, semakin terpadu sistem tataniaga komoditas salak pondoh. Tingkat keterpaduan pasar tersebut pada akhirnya dapat ditentukan dengan melihat apakah ada perubahan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
- Sebagian besar salak pondoh dijual ke luar daerah karena kemampuan pasar lokal menyerap produk sangat kecil dibanding pasar-pasar di luar Banjarnegara, dan harga jual kepada konsumen akhir di luar daerah lebih tinggi; - Fluktuasi harga.
Petani Salak Pondoh
1. 2. 3. 4.
Lembaga Tataniaga: Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pedagang Luar Daerah Pedagang Pengecer
Analisis Kualitatif: 1. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga; 2. Analisis Fungsi-Fungsi Tataniaga; 3. Analisis Struktur Pasar; 4. Analisis Perilaku Pasar;
Konsumen
Analisis Kuantitatif: 1. Analisis Marjin Tataniaga 2. Analisis Bagian Harga yang Diterima Petani (Farmer’s Share); 3. Analisis Rasio Keuntungan Biaya; 4. Analisis Perpaduan Pasar
Efisiensi Tataniaga
Peningkatan Pendapatan Petani
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Sistem Tataniaga Salak Pondoh di Kabupaten Banjarnegara.