III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Tinjauan Teoritis
3.1.1. Curahan Tenaga Kerja Secara sederhana, tenaga kerja diartikan sebagai upaya manusia untuk melakukan usaha. Usaha tersebut dalam hubungannya dengan perikanan adalah usaha melaut dan nonmelaut. Dalam usaha tersebut terdapat perbedaan penggunaan tenaga kerja, antara lain: 1. penggunaan tenaga kerja dalam perikanan bersifat tidak tetap dan tidak berkelanjutan, sedangkan dalam perindustrian bersifat lebih tetap. 2. penggunaan tenaga kerja melaut sebagian besar adalah pria dan untuk industri perikanan adalah wanita. 3. kegiatan dalam perikanan pada dasarnya harus disesuaikan dengan alam, sedangkan dalam perindustrian dapat berlangsung sepanjang tahun. Sumber tenaga kerja dalam perikanan dapat diperoleh dari dalam keluarga dan dari luar keluarga. Sumber tenaga kerja dari dalam keluarga yaitu: suami, istri, anak-anak, orang tua dan orang lain yang hidup serumah dan mendapatkan fasilitas dari rumahtangga nelayan tersebut, sedangkan tenaga kerja dari luar diperoleh dari luar rumahtangga nelayan. Analisis tentang curahan tenaga kerja merupakan analisis tentang penawaran tenaga kerja, yang pada prinsipnya membahas tentang keputusankeputusan anggota rumahtangga dalam pilihan jam kerjanya. Anggota rumahtangga (individu-individu) dalam mengalokasikan jam kerja akan bertindak rasional yaitu memaksimumkan utilitasnya.
19
Maksimasi utilitas rumahtangga dilakukan dengan mengkombinasikan waktu santai dan barang konsumsi untuk memaksimumkan kepuasan. Setiap angkatan kerja anggota rumahtangga dihadapkan pada pilihan bekerja atau tidak. Apabila memilih bekerja berarti akan memberikan nilai guna pendapatan yang lebih tinggi dan akan lebih mencurahkan waktunya bagi pencapaian kebutuhan konsumsi. Sebaliknya jika tidak bekerja, maka waktu santai akan mempunyai nilai guna lebih tinggi dari pada pendapatan (Mangkuprawira, 1984). Adanya kedua pilihan tersebut akan menghasilkan berbagai kombinasi untuk mencapai kepuasan yang maksimum, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1. Barang Konsumsi
B2 B1 U2 B0 U1 U0 O
W0 W1
Waktu Santai
W3
Sumber: Mangkuprawira (1984) Gambar 1. Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Rumahtangga Anggota
rumahtangga
akan
mengkonsumsi
B0
dan
W0
untuk
mendapatkan tingkat kepuasan U 0 . Jika makin banyak B dan W yang dikonsumsi maka makin tinggi kepuasan U yang dicapai (U 2 > U 1 > U 0 ). Dalam mengkonsumsi barang dan waktu santai, anggota rumahtangga (individu) akan menghadapi dua kendala yaitu waktu yang jumlahnya terbatas (24 jam per hari)
20
dan anggota rumahtangga yang menawarkan tenaga kerja dalam suatu pasar bersaing sempurna sehingga tidak akan mempengaruhi tingkat upah yang berlaku, kedua kendala tersebut adalah kendala anggaran. Untuk memperoleh kombinasi maksimum dengan mempertimbangkan kendala yang ada, maka kombinasi optimum terletak pada garis anggaran yang menyinggung kurva indiferent. Apabila terjadi kenaikan tingkat upah berarti terdapat tambahan pendapatan. Dengan status ekonomi yang lebih tinggi seseorang cenderung meningkatkan konsumsi dan waktu santainya yang berarti pengurangan jam kerja (efek pendapatan). Dilain pihak kenaikan tingkat upah berarti harga waktu santai menjadi lebih mahal dan mendorong anggota rumahtangga mensubtitusikan waktu santainya dengan lebih banyak bekerja untuk menambah konsumsi barang (efek subtitusi). Efek total dari perubahan tingkat upah adalah selisih dari efek pendapatan dan subtitusi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Upah, Barang konsumsi
C2
C”
E3 U2
E2 C1 E1
U1
F A
B”
B
0
D3
D1
D2
H Waktu Santai
Sumber: Simanjuntak (1985) Gambar 2. Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Subtitusi dan Efek Total
21
Misalkan suatu rumahtangga mempunyai pendapatan OA=HB di luar hasil pekerjaan (non earned income, misalnya sewa, warisan). Apabila seluruh waktu yang tersedia OH digunakan untuk waktu luang maka pendapatan rumahtangga tersebut hanya OA=HB. OD menunjukkan jumlah waktu yang digunakan rumahtangga untuk waktu luang dan HD 1 merupakan waktu yang digunakan untuk bekerja (waktu luang diukur dari titik O ke titik H dan waktu bekerja diukur dari H ke O). Dengan bekerja sebanyak HD 1 jam maka rumahtangga memperoleh pendapatan senilai barang konsumsi AF. Jumlah barang konsumsi rumahtangga adalah jumlah barang senilai hasil kerja ditambah jumlah barang senilai pendapatan di luar hasil kerja yakni: OF = OA + AF. Nilai barang konsumsi yang dapat dibelu dari hasil kerja satu jam dinamakan tingkat upah yang dicerminkan dengan kecenderungan (slope) dari budget line. Semakin tinggi tingkat upah maka akan semakin besar slope dari budget line. Rasio tingkat upah awal (barang konsumsi per waktu luang) ditunjukkan oleh slope garis anggaran BC 1 dengan kondisi keseimbangan pada titik E dengan utilitas U 1 . Apabila upah meningkat, maka budget line berubah dari BC 1 menjadi BC 2 . Perubahan tingkat upah tersebut akan menghasilkan pertambahan pendapatan sebagaimana dilukiskan dengan garis B”C” yang sejajar dengan BC 1 . Pertambahan pendapatan akan menambah waktu luang (OD 1 ke OD 2 ) sehingga tingkat utilitas meningkat menjadi U 2 (U 1 ke U 2 ) pada titik keseimbangan E 2 . Hal ini merupakan efek pendapatan (income effect). Apabila upah meningkat maka untuk mendapatkan pertambahan barang konsumsi harus mengorbankan waktu luang (waktu untuk bekerja ditambah dari HD 2 ke HD 3 ) supaya berbeda pada tingkat utilitas yang sama yaitu tingkat utilitas U 2 pada titik keseimbangan E 3 .
22
Uraian di atas menyimpulkan bahwa adanya penyediaan waktu bekerja sehubungan dengan perubahan tingkat upah merupakan teori penawaran tenaga kerja. Dalam analisis penawaran tenaga kerja, rumahtangga memainkan peranan yang sama dengan perusahaan pada teori permintaan tenaga kerja.
Artinya,
keputusan anggota rumahtangga untuk masuk dalam angkatan kerja bukanlah semata-mata ditetapkan oleh pribadi seseorang akan tetapi secara bersama-sama oleh anggota rumahtangga. Dengan demikian, penawaran tenaga kerja rumahtangga merupakan hasil proses simultan untuk mencapai kepuasan maksimum bagi rumahtangga dengan sumberdaya yang terbatas. Mangkuprawira (1984) menyimpulkan bahwa meskipun wanita (istri) memiliki peluang yang sama dengan laki-laki (suami), namun suami sebagai kepala
rumahtangga
masih
lebih
besar
tingkat
partisipasinya
dalam
mengalokasikan waktu kerja. Hal ini bisa dikatakan suami memberikan kontribusi pendapatan yang lebih besar terhadap total pendapatan rumahtangga. 3.1.2. Pendapatan dan Konsumsi Menurut Sadoulet dan Janvry (1995) analisis model ekonomi rumahtangga perlu memperhatikan dua hal, yaitu: (1) apakah barang dan jasa yang dikonsumsi rumahtangga sesuai dengan harga pasar, dan (2) perilaku produksi dan konsumsi apakah separable. Jika sistem persamaan produksi dan konsumsi pada model ekonomi rumahtangga separable, maka pendugaan sistem persamaan konsumsi dan produksi dapat dilakukan secara bebas dan terpisah mengacu pendekatan pendugaan sistem persamaan konsumsi dan produksi yang baku, seperti penggunaan fungsi keuntungan yang umum digunakan. Pendekatan ekonomi rumahtangga adalah berguna sekiranya sisi konsumsi dikaitkan dengan sisi
23
produksi melalui pengaruh pendapatan. Hanya saja patut diperhatikan, menurut Sadoulet dan Janvry (1995), bahwa manfaat dari pendekatan ekonomi rumahtangga, bahkan akan menghasilkan kesimpulan yang berlawanan dengan kesimpulan yang dapat diperoleh dengan pendekatan teori konsumsi murni, jika perilaku ekonomi rumahtangga tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut : 1. Dampak keuntungan karena perubahan harga adalah sangat besar. 2. Sumbangan keuntungan seluruh pendapatan rumahtangga sangat besar. Apabila sistem persamaan produksi, curahan kerja dan konsumsi nonseparable dan disusun dalam model ekonometrika, dimana terdapat keterkaitan antara peubah, sehingga perilaku ekonomi rumahtangga dalam produksi, curahan kerja dan konsumsi adalah saling terkait secara simultan, maka pendugaan model ekonomi rumahtangga yang demikian adalah lebih kompleks. Pendapatan yang diperoleh dari korbanan waktu anggota rumahtangga dalam angkatan kerja akan berbeda-beda. Perubahan pendapatan rumahtangga akan menghasilkan garis anggaran baru yang akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi rumahtangga tersebut. Hubungan ini dapat dijelaskan dengan kurva ICC (Income Consumption Curve), atau dinamakan juga kurva Engel, untuk mengingatkan pada Ernst Engel sebagai seorang pertama yang meneliti hubungan perubahan pendapatan dengan jumlah yang diminta (Kelana, 1994). Pada Gambar 3 peningkatan pendapatan ditandai dengan perubahan I 1 ke I 2 (dimana I 2 lebih tinggi dari I 1 ), maka diperoleh garis anggaran baru dari B 1 ke B 2 (keduanya paralel) dengan equilibrium A dan B. Lebih jauh lagi Engel menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara permintaan terhadap barang perikanan atau barang yang bersifat mudah rusak (perishable goods) dan permintaan barang industri sehubungan dengan perubahan pendapatan.
24
Qy B3 ICC
B2 C B1
B
I3
A
I2 I1
0
QX
Sumber: Kelana (1994) Gambar 3. Kurva Hubungan Pendapatan dengan Konsumsi Perubahan kenaikan pendapatan tidak menyebabkan permintaan terhadap barang perikanan meningkat secara progresif. Misalnya pendapatan meningkat dua kali, maka permintaan terhadap ikan tidak akan meningkat sebanyak dua kali juga, sehingga dapat dikatakan elastisitas pendapatan terhadap permintaan ikan rendah. Sebaliknya, peningkatan pendapatan akan menyebabkan permintaan terhadap barang industri lebih progresif, dapat dimaklumi jika pendapatan konsumen naik maka permintaan terhadap barang elektronik dan kebutuhan akan barang mewah juga akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatannya. Miller dan Meiners (1997) mengemukakan beberapa sebab terjadinya ketimpangan pendapatan riil. 1. Perbedaan usia Sampai batas tertentu pendapatan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan masa kerja seseorang, lewat dari batas tersebut pertambahan usia akan diiringi dengan penurunan pendapatan.
25
2. Keberanian mengambil resiko. Seseorang yang bekerja di lingkungan kerja dengan pekerjaan yang berbahaya, ceteris paribus biasanya memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. 3. Ketidakpastian dan variasi pendapatan Bidang-bidang kerja yang hasilnya serba tidak pasti, misalnya bidang pemasaran mengandung resiko yang besar. Seseorang yang menekuni bidang ini akan menuntut dan menerima pendapatan yang lebih tinggi. 4. Bobot pendidikan dan latihan Pendidikan dan pelatihan sangat erat hubungannya dengan keterampilan seseorang sehingga dia mampu menghasilkan produk fisik marginal yang lebih tinggi. 5. Kekayaan warisan Seseorang yang memang berasal dari rumahtangga kaya mempunyai kesempatan yang lebih baik dibandingkan dengamereka yang tidak mempunyai kekayaan warisan, sekalipun kemampuan dan pendidikan mereka setara. 6. Ketidaksempurnaan pasar Monopoli, monopsoni, kebijakan sepihak serikat buruh, penetapan tingkat upah minimum oleh pemerintah, ketentuan syarat-syarat lisensi, sertifikasi dan sebagainya turut mengakibatkan perbedaan-perbedaan pendapatan di kalangan kelas-kelas pekerja. 7. Diskriminasi Berbagai penelitian yang mencoba mengoreksi perbedaan produktivitas kelaskelas marginal yang dikelompok atas dasar ras atau jenis kelamin umumnya mendapati adanya faktor “residual” yang tidak bisa dijelaskan yang
26
diakibatkan oleh deskriminasi tersebut. Dengan kata lain, meskipun semua faktor kuantitas dan kualitas pendidikan dan berbagai bentuk latihan kerja, usia, masa kerja dan sebagainya, antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki sama, tetapi tingkat pendapatan mereka dari bidang pekerjaan yang sama tetap saja berbeda. 3.2.
Tinjauan Studi Empirik Model ekonomi rumahtangga petani (agricultural household model) telah
dicoba diaplikasikan dengan beberapa modifikasi untuk menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan oleh beberap peneliti seperti Aryani (1994) dan Reniati (1998). Kedua peneliti menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dalam kegiatan berproduski, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran secara simultan. Kedua peneliti tersebut menggunakan model yang digunakan untuk ekonomi rumahtangga yang diturunkan dari teori ekonomi rumahtangga atas dasar model yang disusun oleh Bagi dan Singh, dengan memasukkan peubah relevan dengan kondisi ekonomi rumahtangga nelayan di pedesaan pantai. Dalam penelitian tersebut, baik Aryani (1994) maupun Reniati (1998) mendisagregasi rumahtangga nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan buruh secara terpisah, sementara besarnya penerimaan sebagai pendapatan nelayan buruh dari kegiatan melaut adalah terkait erat dengan penerimaan juragan dari kegiatan kerja melaut, karena besarnya pendapatan juragan dan pendega (nelayan buruh) didasarkan pada sistem bagi hasil yang berlaku (Direktorat Jenderal Perikanan, 1993; Pranadji, 1995). Dalam penelitian ini nelayan yang menjadi responden adalah nelayan tradisional yang tidak terikat dengan juragan, sedangkan pendapatan melaut tidak ditentukan oleh upah ataupun bagi hasil,
27
pendapatan nelayan tradisional ditentukan oleh produksi atau jumlah yang didapat saat melakukan penangkapan di laut. Para istri dan angkatan kerja perempuan lainnya dalam rumahtangga nelayan sebagaimana ditunjukkan oleh kedua peneliti adalah bekerja untuk kegiatan produksi pengolahan dan perdagangan ikan, di samping bekerja pada kegiatan ekonomi yang tidak terkait dengan pemanfaatan nilai tambah komoditi perikanan, seperti pertanian tanaman pangan, industri batik, dan lainnya. Kegiatan ekonomi rumahtangga nelayan dalam meningkatkan pendapatan rumahtangganya pada umumnya menangani kegiatan pengolahan dan perdagangan ikan, di samping kegiatan produktif nonperikanan, seperti tukang, pertanian dan lainnya (Direktorat Jenderal Perikanan, 1993; Antunes, 1998, dan Pranadji, 1995). Bahkan menurut Antunes (1998) sebagian para perempuan anggota keluarga nelayan benar-benar menjadi pengusaha perikanan yang berhasil. Di Muncar, Jawa Timur sebagian istri nelayan adalah bertindak sebagai pembantu utama dalam usaha produksi ikan olahan pindang atau ikan kering (Tim Peneliti Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, 1999). Kegiatan agroindustri kecil yang umum diusahakan adalah pemindangan dan pengeringan ikan, karena kegiatan tersebut dengan mudah dapat dikelola oleh para perempuan nelayan, karena proses pengolahan sederhana dan mudah dikelola dengan tingkat pendidikan perempuan nelayan yang ada saat ini (Erizal, 1995). Menurut Saragih (1998), agroindustri adalah merupakan motor peggerak dalam sistem agribisnis pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan. Oleh karena itu, para petani atau nelayan perlu dipacu agar mengembangkan usahanya dengan pendekatan agribisnis.
28
Susilowati (1998) memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
perempuan
dalam
kegiatan
ekonomi
rumahtangga,
dengan
kesimpulan: (1) berhubungan positif dalam peran perempuan untuk pengambilan keputusan rumahtangga nelayan, dan (2) berhubungan negatif dalam faktor pendidikan (tidak nyata), pekerjaan suaminya, posisi (status sosial) suami dalam masyarakat nelayan dan jumlah anggota keluarga yang jadi tanggung jawabnya. Makin tinggi pendapatan dan status sosial suami serta jumlah anggota keluaraga yang menjadi tanggung jawabnya, maka makin rendah partisipasi perempuan nelayan dalam kegiatan ekonomi. Seperti halnya Erizal (1995), di Kabupaten Brebes sebagian besar istri dan anak perempuan bekerja pada kegiatan pascapanen yaitu membersihkan ikan (beteti) serta menjemur, sedangkan suami dalam melakukan kegiatan seperti halnya Aryani (1994) dan Reniati (1998) melakukan kegiatan seperti tukang, buruh, tukang ojek dan lain-lain Reniati (1998) memasukkan peubah tingkat perkembangan perekonomian desa, yaitu dipilih desa miskin dan tidak miskin. Dengan melakukan disagregasi wilayan desa dengan tingkat ekonomi yang berbeda tersebut, Reniati (1998) menganalisis perilaku rumahtangga nelayan (juragan dan pendega) untuk kondisi ekonomi yang berbeda di desa miskin dan tidak miskin. Dalam penelitian ini pemilihan kabupaten atau desa didasarkan dengan jumlah nelayan terbanyak, hal ini dilakukan untuk dapat memotret dengan jelas perilaku rumahtangga nelayan dengan segala variasi ataupun cara untuk mendapatkan pendapatan dan mengatur pengeluaran rumahtangganya.
29
Sementara itu, Muhammad (2002) memasukan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan di pedesaan pantai dengan pengembangan teknologi dan prasarana pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan (Direktorat Jenderal Perikanan, 1993). Dengan demikian, pengembangan prasarana pelabuhan di samping membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan pantai, juga berorientasi pada pengembangan kelautan untuk memacu pengembangan teknologi perikanan dan memberikan kemudahan kapal ikan mendaratkan hasil tangkapan dari laut, sehingga wilayah desa tersebut tumbuh menjadi kaya. Adanya pelabuhan atau tempat pendaratan ikan telah memacu petumbuhan ekonomi perikanan di pedesaan pantai Utara Jawa, karena pelabuhan atau tempat pendaratan ikan tersebut dapat berfungsi semacam pusat pertumbuhan (growth center atau growth pole) ekonomi. Pendekatan pusat-pusat pertumbuhan memegang peranan penting dalam perspekif pembangunan wilayah desa pada era otonomi daerah (Azis, 1994), karena desa dimana pelabuhan perikanan berada akan tumbuh menjadi desa kaya dan menjadi salah satu lokasi yang menyediakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi perikanan yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pelabuhan perikanan di pantai Utara Jawa biasa dilengkapi dengan tempat pelelangan ikan (TPI), dimana para nelayan menjual hasil tangkapannya. Di tempat ini, nelayan dapat memperoleh layanan dan barangbarang yang diperlukan untuk operasi penangkapan ikan dan kegiatan ekonomi wilayah akan tumbuh berkembang. Dengan demikian, diagregasi klasifikasi desa memerlukan pengembangan yang dikaitkan dengan alternatif kebijakan
30
pemerintah dalam pengembangan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan tersebut. Dengan background didominasi oleh nelayan tradisional di Kabupaten Brebes pelabuhan tempat bersadarnya kapal masih sangat sederhana, sedangkan proses jual beli yang terjadi antara nelayan dengan pedagang tidak dilakukan di TPI, mereka sudah mempunyai pengumpul sendiri untuk hasil-hasil tangkapanya. Nelayan tradisional juga tidak mengenal pajak sebagai retribusi bagi pemerintah daerah. Berbeda dengan model yang dibuat oleh Aryani (1994), Reniati (1998) yang mengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan menjadi konsumsi pangan dan nonpangan. Muhammad (2002) mencoba mengelompokkan konsumsi dengan kebutuhan dasar (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan sebagai indikator kesejahteraan sosial (Ginting, 1996). Sebenarnya dalam pengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan, baik menggunakan pangan dan nonpangan serta kebutuhan dasar semuanya dapat merangkum dengan jelas tentang pola pengeluaran rumahtangga, dalam penelitian ini digunakan pendekatan pengeluaran dengan pengelompokkan konsumsi pangan dan nonpangan Dalam penelitian Aryani (1994) dan Reniati (1998), kedua peneliti tersebut belum memasukkan perilaku rumahtangga menabung dan berinvestasi. Oleh karena itu agar memiliki implikasi kebijakan dalam peningkatan kesejahteraan nelayan, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan untuk melakukan saving. Model ekonomi rumahtangga nelayan tradisional, seperti halnya pada model ekonomi rumahtangga petani, terdapat 4 (empat) komponen
31
variabel yang menjadi unsur utama yang membentuk keterkaitan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan, yaitu: kegiatan produksi, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. 3.3.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.3.1. Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan Pendekatan ekonomi rumahtangga telah dimulai sejak tahun 1920 oleh Chayanov di Rusia, kemudian Becker (1965) menyusunnya dalam bentuk "new home economics". Dalam ekonomi rumahtangga, alokasi waktu dan konsumsi barang dapat dibeli di pasar, atau dapat juga dihasilkan oleh rumahtangga. Ciri utama yang membedakan perilaku individu dan perilaku rumahtangga sebagai konsumen adalah bahwa pada saat yang sama anggota rumahtangga juga dapat berperan sebagai produsen sebagaimana suatu perusahaan (Evenson, 1976). Menurut Evenson (1976), formula yang disusun oleh Becker (1965) secara mendasar melihat perilaku konsumsi rumahtangga sebagai proses dalam dua tingkat, yaitu: (1) tingkat pertama, menjelaskan perilaku rumahtangga menghadapi fungsi produksi rumahtangga, dimana waktu dan modal yang tersedia dalam rumahtangga digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat dikonsumsi rumahtangga, dan (2) tingkat kedua, menjelaskan proses keputusan pilihan konsumsi, anggota rumahtangga berperilaku sebagaimana perilaku individu konsumen, dimana aksioma perilaku konsumen konvensional dapat diaplikasikan. Rumahtangga dalam memaksimumkan kepuasannya dibatasi oleh kendala produksi, waktu dan pendapatan. Pendapatan seluruhnya dibelanjakan untuk konsumsi (persyaratan adding up). Barnum dan Squire (1978) menyatakan bahwa
32
model ekonomi rumahtangga adalah menjembatani ekonomi perusahaan pertanian yang seluruhnya mempekerjakan tenaga yang diupah dan menjual hasilnya ke pasar, dengan pertanian subsisten yang menggunakan hanya tenaga kerja keluarga dan tidak menghasilkan "marketed surplus ". Model ekonomi rumahtangga yang dirumuskan oleh Becker (1965), kemudian Barnum dan Square (1978) membuat model ekonomi rumahtangga yang lebih lengkap dan menyimpulkan bahwa dalam pembuatan kebijakan sangat penting untuk mengintegrasikan perilaku rumahtangga dalam keputusan produksi dan konsumsi. Mengingat pengaruh perubahan peubah eksogen, dimana sisi produksi mempengaruhi sisi konsumsi rumahtangga, maka diperlukan teori yang terintegrasi khususnya jika elastisitas pengeluaran cukup besar atau jika pengaruh produksi dominan. Singh et al. (1986) menyusun Agricultural Household Models sebagai model
dasar
ekonomi
rumahtangga.
Dalam
model
tersebut, kepuasan
rumahtangga (U) adalah fungsi dari konsumsi barang yang dihasilkan oleh rumahtangga (X a ), konsumsi barang yang dibeli di pasar (X m ) dan konsumsi waktu santai (X l ), sehingga diperoleh persamaan : U = U (X a , X m, X 1 )............................................................................. ( 3.5) Rumahtangga
nelayan
diasumsikan
sebagai
konsumen
yang
akan
memaksimumkan kepuasannya dengan kendala produksi, waktu dan pendapatan, sebagaimana ditunjukkan pada persamaan berikut : Produksi Q = Q(L,A) .....................................................................................(3.6)
33
Alokasi waktu T = X l + F ......................................................................................... (3.7) Pendapatan P m . X m = P a . (Q - X a ) - w. (L - F) .............................................. ....... (3.8) dimana: Xm
= konsumsi barang yang dibeli di pasar
Xa
= barang yang dihasilkan rumahtangga
Xl
= konsumsi waktu santai
Pm
= harga barang dan jasa yang dibeli di pasar
Pa
= harga barang yang dihasilkan oleh rumahtangga
(Q - X a ) = surplus produksi untuk dipasarkan Q
= produksi rumahtangga
A
= jumlah faktor produksi tetap (lahan) dalam rumahtangga
w
= upah di pasar tenaga kerja
L
= total tenaga kerja
F
= penggunaan tenaga kerja rumahtangga
w. (L-F) = pengeluaran upah untuk tenaga kerja luar rumahtangga Jika (L-F) positif berarti terdapat tenaga kerja luar rumahtangga yang diupah. Jika negatif, terdapat penawaran tenaga kerja keluarga untuk di luar pertanian. Semua kendala yang dihadapi rumahtangga tersebut dapat disatukan dengan melakukan substitusi kendala produksi dan waktu ke dalam kendala pendapatan, sehingga akan dihasilkan persamaan sebagai berikut : P m . X m + P a . X a + w. X l = w. T + π .................................... ...... .(3.9) dimana: π = P a . Q(L,A) - w. L (π = keuntungan) ................................... ...(3.10) Persamaan di atas menunjukkan bahwa pada sisi kiri merupakan pengeluaran total rumahtangga untuk barang yang dibeli di pasar (X m ) dan barang
34
yang diproduksi rumahtangga (X a ), serta waktu (X l ) yang dikonsumsi rumahtangga. Sedangkan pada sisi kanan persamaan tersebut adalah merupakan pengembangan dari konsep pendapatan penuh, dimana nilai waktu yang tersedia dicatat secara eksplisit. Di samping itu, Singh et al. (1986) juga melakukan pengembangan dengan memasukkan pengukuran tingkat keuntungan usaha, yaitu π = P a .Q(L,A) - w.L, dimana semua tenaga kerja dihitung berdasarkan upah pasar. Rumahtangga
dalam memaksimumkan
kepuasan
memilih
tingkat
konsumsi dari barang yang dibeli di pasar (X m ) dan barang yang diproduksi rumahtangga (Xa), waktu yang dikonsumsi rumahtangga (X l ) dan tenaga kerja (L) yang digunakan dalam kegiatan produksi. Kondisi turunan pertama (first order condition) untuk mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja adalah : P a . ∂Q /. ∂L = w ......................................................................... ... .(3.11) Rumahtangga akan menyamakan penerimaan produk marginal dari tenaga kerja dengan upah pasar. Selanjutnya penggunaan tenaga kerja (L) sebagai fungsi dari Pa, w, dan A, seperti ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut: L = L ( w , P a , A) ...................................................................... ..... .(3.12) Dari persamaan di bawah ini dapat dilihat bahwa persamaan terdiri dari konsumsi komoditi pasar (P m .X m ), komoditi pertanian yang dihasilkan rumahtangga (P a X a ) dan konsumsi waktu santai dalam rumahtangga (w.X t ), adanya Y. Pm
Xm
+
Pa
Xa
+
w.
Xt
=
Y
.................................................................(3.13) dimana, Y adalah pendapatan potensial (penuh). Maksimisasi kepuasan untuk
35
memenuhi persamaan (3.13) dengan kendala yang ada diperoleh turunan pertama (first order condition) mengikuti prosedur perilaku konsumsi individu dalam memaksimumkan kepuasannya untuk sejumlah (n) komoditi sebagai berikut: U = U (x 1 , x 2 ... x n ) .................................................................... ...... (3.14) Kendala anggaran : m
∑ Pi Xi = Y ............................................................................ ....... (3.15) i =1
Maksimisasi tujuan dari persamaan (3.14), dengan memperhatikan kendala, menghasilkan kondisi prasyarat sebagai berikut : ∂Φ / ∂x i = ∂U / ∂x i – λ. p i =0 .............................................................(3.16) ∂Φ / ∂λ = -(∑ p i x i – Y) = 0 ...............................................................(3.17) dimana: Φ = U – λ (∑ p i x i – Y ), λ = Langrangian multiplier Kondisi keseimbangan dari fungsi kepuasan diatas dapat dinyatakan sebagai berikut : ∂U / ∂x i = MUi = λ. p i ......i = 1, ......................n...................................(3.18) dimana: ∂U / ∂x i = kepuasan marginal (MUi) dari barang dan jasa ke i pi
= harga barang dan jasa ke i
λ
= kepuasan marginal dari pendapatan
Mengacu prosedur pada persamaan (3.14) - (3.18), untuk konsumsi barang yang dibeli di pasar (X m ), barang yang diproduksi rumahtangga (X a ) dan waktu yang disediakan oleh rumahtangga (X t ) masing-masing diperoleh turunan
36
pertama pada persamaan (3.19) - (3.21) adalah merupakan kondisi yang umum kita kenal dalam teori permintaan konsumen (Singh, Squire dan Strauss, 1986).
∂U / ∂X m = λ . p m ...................................................................................(3.19) ∂U / ∂X a = λ . p a .....................................................................................(3.20) ∂U / ∂X l = λ . w......................................................................................(3.21) Dengan dasar persamaan (3.19) - (3.21), dapat dinyatakan bahwa konsumsi barang yang dihasilkan oleh rumahtangga (X a ), konsumsi barang yang dibeli di pasar (X m ) dan konsumsi waktu santai (X i ) adalah dipengaruhi oleh harga, upah dan pendapatan, yang selanjutnya masing-masing dapat ditulis sebagaimana pada persamaan (3.22) - (3.24). X a = X a (p m, p a, w, Y*)..........................................................................(3.22) X m = X m (p m, p a, w, Y*).........................................................................(3.23) X l = X l (p m, p a, w, Y*)..........................................................................(3.24) Dalam persamaan di atas permintaan barang, jasa dan waktu santai tergantung pada harga, upah dan pendapatan rumhtangga. Jika diasumsikan harga hasil pertanian yang diproduksi rumahtangga meningkat, maka dampaknya terhadap keuntungan dapat kita perhatikan pada persamaan (3.25) berikut: dXa/dpa = ∂Xa/∂pa + ∂Xa/∂Y * .∂Y * /∂pa ................................... ......... (3.25)
Bagian pertama sebelah kanan persamaan (3.25) merupakan hasil yang
37
umum kita kenal dalam teori permintaan konsumen, yaitu untuk barang normal memiliki slope negatif, yaitu jika harga meningkat permintaan barang dan jasa tersebut akan menurun. Sedangkan bagian kedua sebelah kanan persamaan (3.25) mencerminkan efek keuntungan. Perubahan dalam harga barang yang diproduksi rumahtangga meningkat, maka keuntungan akan meningkat demikian juga pendapatan penuh rumahtangga juga akan meningkat.
3.3.2. Alur Pemikiran Penelitian Nelayan tradisional merupakan nelayan yang masih menggunakan alat tangkap dan cara menangkap ikan dengan sangat sederhana. Menurut dinas perikanan Jawa Tengah, perbedaan nelayan tradisional dengan nelayan modern dapat dilihat juga dari jarak dalam melakukan penangkapan ikan, nelayan tradisional hanya 0-3 mil dari pantai sedangkan nelayan modern lebih dari 12 mil, sedangkan ukuran kapal 0-5 GT untuk nelayan tradisional dan lebih dari 30 GT untuk nelayan modern. Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (2009) menunjukkan bahwa dari tahun 2005 – 2009 jumlah perahu nelayan tradisional dengan ukuran <5 GT selalu menduduki urutan pertama (Tabel 2). Hal tersebut dapat diartikan bahwa kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia masih didominasi oleh nelayan tradisional. Tabel 2. Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut Menurut Kategori dan Ukuran Kapal di Indonesia Tahun 2005 – 2009 Ukuran Kapal < 5 GT 5 - 10 GT
2005 102.456 26.841
2006 106.609 29.899
Tahun 2007 114.273 30.617
2008 107.934 29.936
2009 109.590 30.400
38
10 - 20 GT 6.968 8.190 8.194 20 - 30 GT 4.553 5.037 5.345 30 - 50 GT 1.092 970 913 50 - 100 GT 2.160 1.926 1.832 100 - 200 GT 1.403 1.381 1.322 > 200 GT 323 367 420 Sumber: Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2009.
7.728 5.200 747 1.665 1.230 406
7.910 5.280 750 1.670 1.230 410
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes (2008) jumlah armada penangkapan ikan tradisional di kabupaten Brebes adalah 16. 119 unit, terbanyak dibandingkan dengan armada kapal semi modern ataupun modern yang hanya 1.243 dan 894 unit. Nelayan tradisional di kabupaten brebes mempunyai jumlah prosentase terbanyak yaitu 85.78%, dan sebagian besar didominasi oleh nelayan dengan alat tangkap payang.
Nelayan Tradisional
Nelayan Alat Tangkap Payang
Karakteristik SDM Umur, Pendidikan, Pengalaman Keja, Jumlah Anggota Rumahtangga dan Jumlah Balita
Alokasi WaktuKerja
Nonmelaut
Melaut Suami dan Anak laki-laki
Penerimaan Melaut
Suami,Istri,Anak lakilaki dan perempuan
Biaya Melaut Bahan bakar minyak dan Biaya Perbekalan
Pendapatan Melaut
Pendapatan Nonmelaut
39
Gambar 4. Alur Pemikiran Ekonomi Rumahtangga Nelayan dengan Alat Tangkap Payang di Kabupaten Brebes Tahun 2008 Rumahtangga nelayan tradisional dengan alat tangkap payang mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan nelayan modern, hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang di tempuh, yang rata-rata sangat rendah. Dalam rumahtangga nelayan tradisional anak yang mempunyai umur yang relatif masih muda sudah diajarkan untuk melakukan pekerjaan melaut, sedangkan untuk suami umur yang sudah lanjutpun masih melakukan kegiatan melaut. Alokasi waktu kerja dalam rumahtangga nelayan tradisonal dibagi menjadi dua, yaitu melaut dan nonmelaut. Pada kegiatan melaut anggota rumahtangga yang melakukan hanya suami dan anak laki-laki. Biaya-biaya dalam kegiatan melaut adalah bahan bakar minyak dan perbekalan. Semua anggota rumahtangga nelayan berperan dalam kegiatan nonmelaut, suami dan anak laki-laki biasanya bekerja sebagai tukang, buruh ataupun tukang ojek, sedangkan istri dan anak perempuan bekerja pada kegiatan pascapanen dalam sub sektor perikanan, kegiatan tersebut erat kaitannya dengan kegiatan pengolahan ikan di desa pantai. Kegiatan pengolahan ikan pascapanen bertujuan untuk mempertahankan kualitas ikan agar dapat dikonsumsi dalam waktu lebih lama. Selain itu, pengolahan juga bertujuan untuk menghasilkan produk baru yang
40
karakteristiknya jauh berbeda dari ikan segar. Anonim (2002) jenis pengolahan ikan ada yang sifatnya masih tradisional dan ada yang sudah lebih maju. Termasuk pengolahan tradisional, adalah pengeringan dengan sinar matahari, pengasinan, fermentasi dan pemindangan. Pada pengolahan yang sifatnya lebih maju telah memasukkan unsur teknologi yang lebih tinggi, misalnya pendinginan dan pembekuan.
Terdapat dua sumber pendapatan dalam rumahtangga nelayan yaitu pendapatan melaut dan nonmelaut. Menurut Muhammad (2002) pendapatan nonmelaut mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam rumahtangga nelayan. Pengeluaran rumahtangga nelayan disesuaikan dengan pendapatan yang didapat setiap anggota rumahtangga, dalam penelitian ini pengeluaran rumahtangga dianalisis berdasarkan pengeluaran pangan dan nonpangan.