III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori 3.1.1 Analisis Kebijakan Ekonomi 3.1.1.1 Pengertian Kebijakan Tidak ada definisi tunggal tentang kata kebijakan yang digunakan oleh penulis kebijakan. Secara umum kata kebijakan terkait dengan intervensi pemerintah dalam perekonomian. Ellis (1992) mendefinisikan Policy is defined as the course of action by government towards on aspect of the economy, including the goals the government seeks to achieve and the choices of methods to pursue those goals. Dari definisi diatas, terdapat tiga kata kunci dari kata kebijakan yaitu: (1) tindakan pemerintah dalam perekonomian, (2) adanya tujuan kebijakan, dan (3) pilihan metode/cara untuk mencapai tujuan. Kebijakan dilakukan oleh pemerintah, karena itu kebijakan perlu diformulasi, disamping itu tujuan kebijakan yang ditetapkan
perlu
diimplementasikan.
Kata
pemerintah
merujuk
kepada
sekelompok orang dalam suatu negara yang bertugas pada suatu waktu untuk melakukan kebijakan. Kerangka berpikir analisis kebijakan Timbergen dikenal sebagai teori kebijakan ekonomi. Dalam teori ini, pemerintah bertujuan memaksimumkan kesejahteraan sosial. Kerangka berpikir Timbergen juga disebut dalam literatur kebijakan sebagai objectives-constraints- instruments dengan pendekatan analisis kebijakan. Tugas kebijakan yaitu memilih instruments yang terbaik untuk mencapai target yang sudah ditentukan, dimana terdapat: (1) kendala, (2) keberadaan faktor-faktor tertentu dimana
pengambil kebijakan
mengendalikan factor tersebut seperti iklim, dan (3) efek samping.
tidak dapat
58
Gambar 2 menunjukkan hubungan variabel eksogen dengan endogen dijelaskan melalui model, baik model matematik, linier programming atau model lainnya.
Dalam
analisis
kebijakan
Timbergen,
instrument
kebijakan
dikelompokkan menjadi variabel eksogen sedangkan tujuan dan efek samping sebagai variabel endogen. Tujuan akhir kebijakan yaitu kesejahteraan masyarakat.
Exogenous variables
Relationship Between Variables ”The Model”
POLICY INSTRUMENTS
Endogenous Variables
GOALS OR TARGET VARIABLES
Ultimate Goal
W FOR SOCIAL WALFARE
CONSTRAINTS
FACTORS BEYOND CONTROL
SIDE EFFECTS
Sumber: Ellis (1992) Gambar 2. Kerangka Analisis Kebijakan Timbergen Metodologi teori kuantitatif kebijakan ekonomi terdiri dari tiga elemen, yaitu: (1) fungsi preferensi yang merupakan tujuan kebijakan ekonomi, (2) pengklasifikasian variabel-variabel kebijakan, dan (3) membangun model kuantitatif (Thorbecke dan Hall, 1982).
59
3.1.1.2 Tujuan Kebijakan Ekonomi Fungsi preferensi merefleksikan tujuan kebijakan oleh pengambil keputusan. Fungsi preferensi merupakan wilayah pembuat kebijakan bukan ahli ekonomi, karena
para ahli ekonomi mempunyai peranan untuk menganalisis
dampak kebijakan. Dalam terminologi Timbergen, tujuan disebut variabel target. Fungsi tujuan kebijakan tidak kaku tetapi fleksibel dan dicapai dengan cara memaksimumkan beberapa tujuan, dengan kendala-kendala yang terdapat dalam model. Tujuan kebijakan lebih dari satu, memungkinkan timbulnya persoalan karena ada trade off diantara tujuan kebijakan. Tomeck
dan
Robinson
(1990)
mengemukakan
tujuan
intervensi
pemerintah terhadap harga produk usahatani yaitu untuk mencapai satu atau lebih kombinasi dari tujuan berikut yaitu: (1) mendukung atau meningkatkan pendapatan usahatani, (2) mencegah petani kecil melakukan eksodus dari desa, (3) mencapai usaha untuk mencukupi kebutuhan dalam pangan atau menurunkan ketergantungan dari impor, (4) mengurangi ketidakstabilan harga dan pendapatan, dan (5) mengurangi biaya yang dikeluarkan konsumen untuk pangan atau meningkatkan konsumsi pangan. Norton (2004) mengemukakan kebijakan pertanian memiliki tujuan lebih spesifik: (1) memenuhi kebutuhan nutrisi dan kebutuhan pangan lainnya di daerah pedesaan dan perkotaan, dan (2) meningkatkan daya beli (purchasing power) rumah tangga pedesaan melalui harga riel produk pertanian yang dihasilkan. Peningkatan daya beli rumahtangga pedesaan akan menghasilkan efek permintaan multiplier terhadap produk non pertanian. Dalam konteks ekonomi perberasan Indonesia pada tahun 1960-1980, tujuan yang dicapai pemerintah: (1) mengendalikan tingkat inflasi, (2) meningkatkan stabilisasi harga domestik, (3)
60
mencapai harga beras domestik yang murah, (4) pendapatan petani padi, (5) meningkatkan kecukupan (self-sufficiency) pangan, dan (6) memperbaiki kebutuhan nutrisi. Rasahan (1983) dalam Satari, Karyno and Rasahan, 1986) Elis (1992) mengemukakan tujuan kebijakan pertanian berbeda dan beragam: (1) stabilitas sosial dan politik, (2) integrasi perekonomian nasional, (3) meningkatkan ketahanan pangan, (4) meningkatkan penerimaan dari ekspor, (5) mencegah kekurangan gizi, (6) pertumbuhan ekonomi, dan (7) kesempatan kerja dan lain sebagainya. Skope intervensi kebijakan pertanian dapat di tingkat lokal (meningkatkan pendapatan petani miskin), propinsi atau nasional. Elis (1992) mengelompokkan tujuan kebijakan pertanian menjadi dua tujuan utama yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan meningkatkan distribusi pendapatan (income distribution), yang sering dikenal sebagai tujuan efficiency dan equity. Dalam ekonomi neoklasikal, efisiensi merujuk terhadap peningkatkan output dengan menggunakan sumberdaya tertentu. Sedangkan equity, merujuk kepada pendistribusian total output diantara individu/kelompok dalam segmen masyarakat, tidak dipersoalkan siapa yang diuntungkan. Seperti diungkapkan Elis (1992) dan Hilman (2003), dalam pelaksanaannya ada konflik diantara tujuan efisiensi dengan equity. 3.1.1.3 Instrumen dan Kendala Kebijakan Bagian kedua teori kuantitatif kebijakan ekonomi yaitu klassifikasi variabel-variabel kebijakan, yaitu variable eksogen yang ditentukan di luar sistim, terdiri dari instrumen kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah dan “data.” Data terdiri dari konstrain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
61
62
Thorbecke dan
Hall (1982) memberikan contoh instrumen kebijakan
berdasarkan alokasi investasi publik berdasar wilayah, kategori infrastruktur dan proyek, perubahan nilai tukar dan tingkat suku bunga dan rasio marginal pajak pendapatan. Contoh ”data” seperti harga impor dalam suatu negara kecil, tingkat pendapatan diantara patner perdagangan antar negara dan cuaca. Instrumen kebijakan adalah metoda atau cara atau alat yang dipilih oleh pemerintah untuk mencapai tujuan. McCalla dan Josling, 1985; Colman dan Young, 1989 dalam Ellis (1992) mengelompokkan instrument terkait dengan kebijakan yang dilakukan: (1) apakah instrumen untuk mencapai efisiensi atau equity, (2) apakah instrumen diterapkan pada level produsen atau konsumen atau diterapkan pada saluran pemasaran atau antar negara, (3) apakah instrument terkait dengan harga, kelembagaan atau teknologi, (4) apakah sifatnya spesifik komoditi atau umum (kebijakan nilai tukar, atau upah minimum), dan (5) apakah instrument terkait kebijakan pasar komoditi seperti subsidi input, kebijakan perdagangan (tarif, quota, pajak ekspor) atau kebijakan makroekonomi (nilai tukar, suku bunga, penawaran uang dan lain-lain). Tomeck dan Robinson (1990) menambahkan instrumen yang digunakan mendukung atau meningkatkan harga komoditi: (1) menentukan harga penjualan, (2) dukungan pinjaman, (3) membuat jaminan atau harga yang dipatok, (4) subsidi ekspor langsung dan tidak langsung, (5) mengurangi jumlah komoditi yang ditawarkan, (6) program diversifikasi, (7) subsidi pangan domestik atau program distribusi pangan, dan (8) tarif, pajak, quota impor atau restriksi lainnya. Selanjutnya Ellis (1992) mengemukakan bahwa ketidakstabilan harga menjadi kendala dalam meningkatkan output usahatani kecil, karena itu
63
instrument stabilisasi harga usahatani seharusnya menjadi fokus dalam analisis kebijakan. Instrumen kebijakan irigasi diperlukan
untuk mengatasi kendala
sumberdaya air. Kendala yang tidak spesifik terkait kebijakan seperti iklim, curah hujan dan sumberdaya alam lainnya merupakan pertanian,
sedangkan
kendala
utama
kendala terhadap produksi
meningkatkan
produktifitas
yaitu
ketersediaan teknologi baru. Kendala yang tidak spesifik terkait lingkungan ekonomi untuk mencapai tujuan kebijakan yaitu nilai tukar mata uang asing, besarnya anggaran pemerintah, harga input dan output internasional. Kendala yang terkait lingkungan politik yaitu pertimbangan keamanan nasional, stabilitas pemerintahan menjalankan tugas kekuasaan, dan persaingan diantara pemegang kekuasaan. Kendala yang sifatnya di luar kendali pemerintah, seperti harga internasional dan curah hujan yang tidak cukup, dimana pemerintah perlu menciptakan varitas tanaman yang sesuai, harga beras internasional, dan harga bahan bakar minyak dunia. Dengan kata lain, kendala – kendala di dalam kebijakan ekonomi ada yang dapat dan tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Kendala yang dihadapi pemerintah dalam ekonomi perberasan pada tahun 1960-1980, diungkapkan oleh Rasahan (1983) dalam Satari, Karyno and Rasahan (1986), diantaranya: (1) parameter struktural penawaran beras domestik, (2) parameter struktural permintaan beras domestik, (3) goncangan yang tidak dapat diantisipasi terhadap penawaran dan permintaan domestik beras, (4) pergerakan dari harga beras dunia, (5) penerimaan pemerintah dan nilai tukar asing (6) peranan khusus terhadap ketertarikan politik dan ekonomi, dan (7) sistim pemasaran dan kelembagaan desa.
64
3.1.1.4 Variabel Target dan Efek Samping Dalam model ekonomi kebijakan terdapat dua variabel endogen yang ditentukan dalam sistim (model) yaitu target variabel dan irrelevant variable. Target variabel merefleksikan tujuan kebijakan, sedangkan irrelevant variable mengindikasikan pengaruh (effects) dari suatu kebijakan ekonomi. Perbedaan target dan irrelevant variable tergantung dari sifat alami permasalahan kebijakan dan pertimbangan pemerintahan. Dalam kasus pendapatan sebagai target variabel maka
konsumsi sebagai irrelevant variabel, pada kasus lain, kebijakan
meningkatkan standar hidup masyarakat sebagai target variabel,
maka
pendapatan sebagai variabel irrelevant. Elis (1992) mengemukakan perubahan skecil dalam kebijakan akan berdampak kepada kegiatan perekonomian lainnya, seperti kenaikan harga pangan akan menyebabkan perubahan di pasar komoditi, dan berdampak signifikan terhadap variabel makroekonomi seperti pengeluaran konsumen, upah, inflasi dan nilai tukar. Colman dan Young (1989)
dalam Ellis (1992) mengemukakan
dampak suatu kebijakan dapat diklassifikasikan dalam menjelaskan
analisis
kebijakan pertanian. Terdapat tujuh kategori pengaruh kebijakan yang diidentifikasi yaitu (1) price effects, (2) production effects, (3) consumption effects, (4) trade or balance payment effects, (5) budget effects, (6) income distribution effects, dan (7) social welfare effects. Gambar 3 menunjukkan bahwa data dan instrumen kebijakan secara bersama-sama mempengaruhi target dan irrelevant variabel. Fokus pembuat kebijakan adalah target variabel, yaitu kesejahteraan yang ditunjukkan oleh garis tebal. Disisi lain, pembuat kebijakan kurang berminat terhadap dampak yang
65
diakibatkan oleh garis kosong dan garis yang terputus terhadap irrelevant variabel, yaitu side effects terhadap variabel ekonomi lainnya. Tujuan utama analisis kebijakan yaitu
kesejahteraan sosial. Dalam
terminologi ekonomi kesejahteraan, kesejahteraan sosial adalah total volume dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat. Peningkatan kesejahteraan sosial selalu mengarah kepada konsumsi material dan sisi permintaan akhir dalam perekonomian. 3.1.1.5 Model Kebijakan Ekonomi Elemen ketiga teori kuantitatif kebijakan ekonomi yaitu membangun spesifikasi model. Model kebijakan dapat dalam bentuk beberapa persamaan linier yang simultan, dimana sejumlah persamaan yang dibangun
dalam bentuk
hubungan perilaku, teknis dan definisi. Hubungan perilaku seperti fungsi konsumsi, fungsi impor, fungsi pajak dan lainnya, hubungan teknis seperti fungsi produksi yaitu hubungan teknologi antara input dan output, sedangkan hubungan definisi melalui persamaan identitas. Selanjutnya persamaan yang telah dibangun diestimasi dengan least square atau dengan estimasi prosedur lain sebaliknya estimasi tidak dilakukan pada hubungan identitas . 3.1.2 Proses Kebijakan Pertanian Hakcroe et al. (1994) menyatakan kebijakan pangan dan pertanian dihasilkan melalui suatu proses dalam suatu sistim perekonomian pasar. Ada empat tahapan dalam membangun kebijakan yaitu: (1) mengidentifikasi permasalahan yang langsung mempengaruhi perekonomian kebijakan pangan dan pertanian, (2) menyadarkan kesadaran publik terhadap permasalahan, (3) membangun proposal kebijakan alternatif dan memprediksi konsekuensinya, dan (4) mencari keputusan publik dan tindakan implementasi.
66
Proses pendekatan pengambilan keputusan kebijakan dilakukan dengan linear policy cycle, yang terdiri dari dua tahap yaitu formulasi kebijakan dan tahap implementasi kebijakan, seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Tahap pertama adalah tentang tujuan yang akan dicapai. Tahap berikutnya adalah analisis teknis dan ekonomi dengan melakukan alternatif kebijakan untuk mencapai tujuan.
Phase I. Policy Formulation
Policy Goal Declared
Technical/Economic Analysis
Array of Policy Alternatives
Best Policy Chosen
Phase 2. Policy Implementation
Best Policy Implemented
Outcome of Policy
Evaluation of Policy
Lesson of Policy Start Analysis Next Policy Sumber : Ellis (1992) Gambar 4. Model Kebijakan Linier Tinbergen
67
Pembuat kebijakan akan mengambil keputusan setelah menghitung biaya dan keuntungan dari suatu kebijakan, selanjutnya memilih alternatif kebijakan yang paling baik. Tahap kedua yaitu implementasi suatu kebijakan. Kebijakan perlu diimplementasikan dengan baik sehingga tujuan kebijakan tercapai. Outcome suatu kebijakan perlu diukur, selanjutnya dilakukan evaluasi. Evaluasi suatu kebijakan akan membantu mengetahui kekuatan dan kelemahan kebijakan, selanjutnya menindaklanjuti kebijakan tersebut. Gambar 4 menunjukkan terdapat keterkaitan antara formulasi dengan implementasi kebijakan. Pemilihan kebijakan yang tepat akan menghasilkan implementasi kebijakan yang baik, sebaliknya kesalahan dalam memilih kebijakan akan menghasilkan implementasi yang salah. Sadoulet dan de Janvry (1991) mengemukakan bahwa
suatu paket
kebijakan dapat diterapkan dan berkelanjutan melalui uji kelayakan politis, efisiensi dan kesejahteraan yang seringkali bersifat trade off. Strategi yang dilakukan menurunkan trade off adalah: (1) meningkatkan fleksibilitas ekonomi, (2) meningkatkan derajad ekonomi, (3) melakukan pendekatan kepada publik, dan (4) memberikan kompensasi. Selanjutnya Hakcroe et al. (1994) menjelaskan lima variabel independen yang dapat membantu pembuat kebijakan dalam memutuskan suatu kebijakan publik dalam pangan dan pertanian. Pada Persamaan (1) ditunjukkan ke lima variabel yang perlu dipertimbangkan sebelum pembuat kebijakan mengeluarkan suatu kebijakan baru di bidang pangan dan pertanian. Pembuat kebijakan perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan pangan/perberasan yang ada sekarang. Salah satu variabel yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah mengeluarkan Inpres No 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan yaitu perkembangan
68
perekonomian nasional, sedangkan Inpres No 1 Tahun 2008 dan No 8 Tahun 2008 yaitu perkembangan nasional dan global di bidang pangan, khususnya perberasan. Kelima variabel independen tersebut, yaitu: PPFA = f(P, ES, K, VB, I) .................................................................................. (1) dimana: PPFA : Kebijakan publik untuk pangan dan pertanian P : Kebijakan yang ada sekarang ES : Situasi ekonomi dan sosial yang mempengaruhi kebijakan pangan dan pertanian K : Tingkat pengetahuan dari partisipan individu atau kelompok VB : Nilai dan keyakinan dari partisipan individu atau kelompok I : Pengaruh kelompok yang menaruh perhatian terhadap kebijakan Andersen (2005) memperkenalkan hubungan etika dengan
kebijakan
ekonomi pangan. Faktor etika seharusnya pertimbangan utama dalam menolong penduduk berpendapatan rendah, dimana manusia kehilangan potensi karena kemiskinan, kelaparan dan akhirnya meninggal. Starbird (2005) memperkenalkan kebijakan pengawasan dalam ketahanan pangan, seperti kegiatan yang dilakukan di bidang militer. Kebijakan pengawasan diperlukan karena adanya informasi yang tidak sempurna (imperfect information), mengurangi ketidakpastian dan memotivasi produsen menghasilkan pangan yang berkualitas. Innes (2003) memperkenalkan kebijakan asuransi tanaman sebagai suatu kebijakan alternatif dengan pendekatan kwantitatif. Ada tiga persyaratan yang dipenuhi sehingga kebijakan pertanian optimum yaitu: (1) asuransi penerimaan pemerintah yang dapat menjamin keuntungan petani (πI), (2) pemerintah mampu menciptakan selisih harga positip yang diterima oleh petani (Ps) dengan harga di pasar (Pm), dan (3) asuransi premium (I) yang harus dibayar petani, dimana I ≥ 0. Komponen asuransi merupakan syarat keharusan untuk mencapai kebijakan yang
69
optimal, dimana ada jaminan bahwa target penerimaan minimum petani sama dengan : πI + c(y) + I ...................................................................................................... (2) dimana πI merupakan keuntungan usahatani, c(y) estimasi biaya produksi dan I adalah asuransi premium. Ukuran efektifitas kebijakan menurut Ramdan et al. (2003): (1) efisiensi, suatu kebijakan harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya secara optimal, (2) adil; bobot kebijakan harus ditempatkan adil yakni kepentingan publik tidak terabaikan, (3) mengarah kepada insentif; suatu kebijakan harus mengarah atau mendorong adanya perbaikan dan peningkatan sasaran yang ditetapkan, (4) diterima oleh publik, karena diperuntukkan bagi kepentingan publik, dan (5) moral dimana suatu kebijakan harus dilandasi oleh moral yang baik. 3.1.3 Teori Permintaan Beras Permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dapat diturunkan dari fungsi kegunaan (utility function). Konsumen bertujuan memaksimumkan utilitinya dengan kendala anggaran (Koutsoyiannis, 1977; Nicholson, 1985; Henderson dan Quandt, 1980; dan Varian, 1992). Diasumsikan ada dua komoditi dikonsumsi konsumen yaitu beras dan non beras. Permintaan beras diturunkan dari fungsi kegunaan konsumen beras. Fungsi kegunaan yang digunakan ordinal utility function. Secara matematis fungsi kegunaan dituliskan sebagai berikut: U = f(Cb,Cnb) ................................................................................................... (3) dimana: U : tingkat utilitas konsumen dan konstan Cb: jumlah konsumsi beras
70
Cnb adalah jumlah konsumsi barang lain (non beras). Diasumsikan f (Cb, Cnb) adalah continious dan strictly quasi concave. Diasumsikan turunan parsial persamaan (3) adalah strictly positif. Total diferential dari persamaan fungsi utiliti persamaan (3), yaitu: δU = f1 δCb + f2 δCnb .................................................................................... (4) dimana f1 dan f2 adalah turunan parsial dari U terhadap Cb dan Cnb. Apabila perubahan total utiliti sepanjang kurva indefferen adalah nol, δU adalah nol, maka persamaan (3) berubah menjadi: f1 δCb + f2 δCnb = 0 ........................................................................................ (5) hasilnya diperoleh:
-
∂Cnb f1 = ∂Cb f2
............................................................................................. (6)
Slope kurva indifferen adalah δCnb/ δCb artinya jika seorang konsumen menginginkan lebih banyak mengkonsumsi beras, konsumen mengorbankan konsumsi non beras agar tingkat kepuasan yang diterima tetap sama. Slope negatif, - δCnb/ δCb adalah marginal rate of subtitution dari konsumsi beras terhadap non beras. Marginal rate of subtitution adalah tingkat dimana konsumen bersedia mengganti barang yang satu dengan barang lainnya (Mankiw, 2004). Konsumen bersikap rasional akan memilih kombinasi antara beras dan non beras yang memberikan tingkat kepuasan tertinggi, pada tingkat harga dan pendapatan tertentu. Pada tingkat harga beras Pb dan harga barang selain beras Pnb, serta pendapatan konsumen I, maka dapat dituliskan fungsi kendala anggaran konsumen sebagai berikut: I = Pb*Cb + Pnb*Cnb
...................................................................................
(7)
71
Persamaan (7) diubah menjadi: I - Pb*Cb - Pnb*Cnb = 0
..........................................................................
(8)
Untuk memperoleh fungsi permintaan konsumen terhadap komoditas beras, melalui
maksimisasi
kegunaan dengan kendala pendapatan
konsumen,
digunakan formula fungsi Lagrange (L) dan Lagrange multiplier (λ ) sebagai berikut: L = f (Cb, Cnb) + λ (I - Pb *Cb - Pnb * Cnb)
................................................ (9)
Fungsi permintaan beras akan diperoleh jika persamaan (9) memenuhi syarat First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC), yaitu turunan pertama parsial sama dengan nol dan determinan matrik Hessian bernilai positif. Selain itu, dari FOC diperoleh:
∂L = Cb − λ * Pb = 0 ∂Cb
atau f1 - λ Pb = 0 ………………......................... (10)
∂L = Cnb − λ * Pnb = 0 atau f2 - λ Pnb = 0 ………................................. ∂Cnb
(11)
∂L = I – Pb* Cb - Pnb* Cnb = 0 …………………………..................... ∂λ
(12)
Dengan mensubsitusikan (10) ke dalam (11) maka akan diperoleh:
λ=
Cb Cnb = Pb Pnb
atau
f1/f2 = Pb/Pnb …………............................
(13)
Untuk mencapai tambahan kegunaan yang maksimum maka rasio marginal utiliti harus sama dengan rasio harga.
λ=
Cb Pb = Cnb Pnb
atau λ= f1/Pb = f2/Pn ...............................................
(14)
72
Lagrange multiplier λ merupakan marginal utiliti dari pendapatan. Apabila
marginal utiliti beras dan non beras diasumsikan positif maka marginal utiliti dari pendapatan juga positip. Cb adalah marginal utiliti dari konsumsi beras, sedangkan Cnb adalah tambahan kegunaan dari konsumsi barang non-beras. Makna dari persamaan (14), bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi sejumlah barang akan maksimum, jika rasio tambahan kepuasan yang dihasilkan oleh barang tersebut sama dengan rasio harganya.
Second order condition diperoleh dengan melakukan turunan parsial kedua terhadap fungsi utiliti dengan f11, f22 dan turunan silang parsial kedua melalui f12 dan f21 sehingga diperoleh determinan bordered Hessian adalah positip.
f 11 f 12 -Pb f 21 f 22 -Pnb > 0 ................................................................................... (15) -Pb –Pnb 0
Dengan menggunakan teknik matriks, persamaan (15) menghasilkan 2 f12 PbPnb – f11 f22 – f22 f12 > 0 .................................................................... (16) Subtitusi Pb = f1/λ dan Pnb = f2/λ dari persamaan 10 dan 11 dan dikalikan dengan λ2 > 0, diperoleh 2 f12 f1 f2 – f11 f22 – f22 f12 > 0 ..................................................................
(17)
Second order condition tercapai apabila fungsi utiliti memenuhi asumsi strict quasi concavity. Dengan terpenuhi asumsi maka kurva indifferen adalah convex dan marginal rate of subtitution adalah decreasing pada titik keseimbangan.
73
Asumsi fungsi permintaan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan ordinary demand function yang juga dikenal dengan fungsi permintaan Marshalian yang menunjukkan jumlah komoditi beras yang dibeli pada tingkat harga dan pendapatan tertentu. Fungsi permintaan ordinari dikenal sebagai fungsi permintaan sederhana tetapi berbeda dengan analisis fungsi permintaan lainnya. Fungsi permintaan Hicksian menjelaskan sejumlah komoditi yang diperoleh pada tingkat utiliti tertentu dengan meminimalkan pengeluaran. Dengan mensubstitusikan persamaan (10) dan (11) ke dalam persamaan (12) akan menghasilkan fungsi permintaan beras dan barang non beras: qCb = I/2 Pb dan qCnb = I/2 Pnb
...........................................................
(18)
Ada dua propertis penting dari fungsi permintaan, Pertama, permintaan terhadap suatu komoditi (beras atau non beras) adalah fungsi
nilai tunggal dari
harga dan pendapatan. Properties yang pertama ini merupakan fungsi utiliti yang
strict quasi concavity; memiliki titik maksimum satu, kemudian ada kombinasi komoditi tunggal, yang berkaitan dengan sejumlah harga dan pendapatan. Kedua, fungsi
permintaan adalah homogenous derajad nol terhadap harga dan
pendapatan. Perubahan harga dan pendapatan dalam proporsi yang sama menyebabkan jumlah permintaan tidak berubah. Dalam konteks beras, perubahan harga beras dan pendapatan dalam jumlah yang sama tidak akan merubah jumlah permintaan beras. Asumsikan seluruh harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama, sehingga kendala anggaran menjadi: kI – kPb*Cb - kPnb*Cnb = 0 ......................................................................... (19)
dimana k adalah faktor proporsional. Persamaan (9) menjadi V = f (Cb, Cnb) + λ (kI - kPb *Cb - kPnb * Cnb)
...................................... (20)
74
First order condition menjadi f1 - λ kPb = 0 ……………….............................................................................. (21) f2 - λ kPnb = 0 ………........................................................................................
(22)
kI – kPb* Cb - kPnb* Cnb = 0 …………………………............................... (23) Persamaan 23 merupakan turunan parsial dari persamaan 20, dengan multiplier Langrange dapat ditulis dalam bentuk k(I – Pb* Cb - Pnb* Cnb) = 0 …………………………...............................
(24)
Oleh karena k tidak sama dengan nol, persamaan (24) menjadi I – Pb* Cb - Pnb* Cnb = 0 …………………………...................................
(25)
Dengan menghilangkan k dari persamaan (21) dan (22), dengan memindahkan λ Pb dan λ Pnb akan diperoleh persamaan:
f 1 Pb = f 2 Pnb ......................................................................................................
(26)
Persamaan (26) sama dengan persamaan (13). Kemudian fungsi pemintaan untuk satu set harga dan pendapatan (kPb, kPnb, kI) juga diturunkan dari persamaan yang sama seperti terhadap harga dan pendapatan (Pb, Pnb, I). Fungsi permintaan ordinari konsumen untuk beras dan non beras pada persamaan berikut: qCb = f(Pb,Pnb,I) .....................................................................................
(27)
qCnb = f(Pnb, Pb, I) .................................................................................
(28)
Dimana permintaan beras dipengaruhi oleh harga beras itu sendiri, harga komoditi non beras dan tingkat pendapatan. Asumsi pada persamaan (27), Pnb, I sebagai parameter yang given, sehingga permintaan beras dipengaruhi oleh harga beras itu sendiri, persamaan (27) berubah menjadi:
75
qCb = f(Pb) ..............................................................................................
(29)
dalam bentuk fungsi permintaan inverse, persamaan (29) dapat ditulis dalam bentuk : Pb = D-1(qCb ) ........................................................................................... (30) Grafik pada persamaan (30) harga beras menjadi garis vertikal sedangkan jumlah permintaan beras sebagai garis horijontal. Gambar 5 menunjukkan ada dua kurva permintaan beras yaitu kurva ordinari D dan kurva kompensate D1. Perpotongan kedua kurva pada Pbodan qCbo. Pada harga yang lebih tinggi dari Pbo, kompensasi pendapatan adalah positif. Harga beras pada kurva kompensasi (kurva Hicksian) lebih tinggi dari kurva ordinari (Marshalian). Pada harga yang lebih rendah dari Pbo, harga beras pada kurva Marshalian lebih tinggi dari Hicksian Pb
Pbo
D1
D
qCbo
Sumber: Varian(1992) Gambar 5. Kurva Permintaan Beras Ordinari dan Kompensasi Dalam studi ini, juga dilakukan analisis elastisitas, baik elastisitas harga dan pendapatan terhadap permintaan beras.
Faktor-faktor yang
menentukan elastisitas permintaan beras antara lain (1) tersedianya barang
76
subtitusi yang terdekat, (2) pertimbangan kebutuhan dengan kemewahan, (3) definisi pasar, dan (4) rentang waktu. Elastisitas permintaan terdiri dari elastisitas permintaan harga sendiri (own elasticity) disimbolkan dengan ε11 dan elastisitas permintaan harga barang lain (cross elasticity) dengan simbol ε dengan simbol
21
dan elastisitas pendapatan
η. Elastisitas harga beras adalah
persentase perubahan
jumlah beras dibagi dengan persentase perubahan harga beras.
ε11 =
∂ (ln Cb) Pb ∂Cb = ∂ (ln Pb) Cb ∂Pb
........................................................................ (31)
Asumsi persamaan (31), pola konsumsi dan barang-barang lain konstan. Elastisitas harga mempunyai tanda negatif sesuai dengan kurva permintaannya. Dengan mengetahui elastisitas harga beras, dapat diketahui efek dari perubahan harga beras terhadap belanja (pengeluaran) konsumen terhadap beras. Total pengeluaran konsumen untuk beras adalah CbPb. Perubahan pengeluaran konsumen terhadap beras karena perubahan harga beras yaitu:
∂ (CbPb) ∂Cb = Cb + Pb ∂Pb ∂Pb
= Cb
⎛ Pb ∂Cb ⎞ ⎜1 + ⎟ = Cb( 1 + ε11) .................... ⎝ Cb ∂Pb ⎠
(32)
Apabila ε11 > 1, permintaan beras elastis, maka kenaikan Pb menyebabkan Cb turun sehingga pengeluaran konsumen untuk beras menurun. Apabila ε11 = 1 (unitary elastis) maka kenaikan Pb menyebabkan Cb tidak berubah sehingga pengeluaran konsumen tidak berubah, selanjutnya ε11< 1 (inelastis), kenaikan Pb menyebabkan Cb turun sehingga pengeluaran konsumen untuk beras meningkat tapi dalam jumlah yang kecil.
77
Elastisitas silang menunjukkan tingkat responsif permintaan suatu barang sebagai akibat perubahan barang lain. Barang lain dalam hal ini dapat berupa barang subtitusi dan barang komplemen. Barang A dan B dikatakan subtitusi, artinya saling menggantikan. Dalam studi ini misalnya antara beras dengan jagung atau ubi kayu. Barang A dan B disebut komplemen karena sama-sama diperlukan. Elastisitas silang adalah persentase perubahan jumlah permintaan barang dibagi dengan persentase perubahan harga barang lain, dituliskan sebagai berikut: ε 21 = ∂ (ln Cnb) = Pb ∂Cnb ∂ (ln Pb) Cnb ∂Cb Tanda notasi ε
21,
.................................................................. (33) angka 2 menunjuk konsumsi non beras (Cnb)
dipengaruhi oleh konsumsi barang Cb sedangkan tanda angka 1 menunjukkan harga beras. Elastisitas silang dapat mempunyai nilai positif atau negatif. Apabila elastisitas silang positif (ε 21 > 0) maka diantara beras dan non beras mempunyai hubungan subtistusi atau kompetitif, apabila negatif (ε
21
< 0)
maka hubungannya komplemen. Apabila harga beras naik maka jumlah permintaan beras akan turun sehingga permintaan barang komplemen beras juga turun. Dengan melakukan total diferensial terhadap persamaan (7) diperoleh persamaan sebagai berikut: δI = Pb δCb + Cb δ Pb + Pnb δ Cnb + Cnb δ Pnb .......................................... (34) Apabila δI =δ Pnb = 0 maka persamaan (34) menjadi Pb δCb + Cb δ Pb + Pnb δ Cnb = 0 ............................................................
(35)
78
Dengan mengalikan persamaan (35) dengan
Pb Cb Cnb /I Cb Cnb δ Pb
diperoleh persamaan: α1 ε11 + α2 ε 21 = -α1 .................................................................................
(36)
Dimana α1 = Pb Cb/I merupakan proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk beras, α2 = Pnb Cnb/I merupakan proporsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang non beras. Persamaan (36) disebut kondisi agregat Cournot. Apabila ε11 diketahui maka ε 21 dapat juga diketahui.
Persamaan (27) dan (28) merupakan persamaan permintaan barang dari individu-individu konsumen. Untuk memperoleh persamaan permintaan pasar, harus dilakukan penjumlahan horizontal terhadap persamaan permintaan individu-individu dalam yurisdiksi pasar. Oleh sebab itu fungsi permintaan pasar selain dipengaruhi oleh ketiga faktor di atas juga dipengaruhi oleh jumlah populasi penduduk dalam suatu wilayah pasar. Selain itu, fungsi permintaan pasar selain dipengaruhi oleh harga barang tersebut, harga barang alternatif, pendapatan konsumen, juga dipengaruhi oleh selera konsumen (Koutsoyiannis, 1977). Oleh sebab itu fungsi permintaan pasar beras untuk keperluan konsumsi langsung dapat ditulis sebagai berikut: Dbd = f(Pb, Pnb, I, Pop, T) ...........................................................................
(37)
Persamaan (37) bermakna bahwa konsumsi beras secara langsung (Dbd) merupakan fungsi dari harga beras (Pb), harga bahan pangan selain beras (Pnb), pendapatan masyarakat (I), jumlah penduduk (Pop), dan trend waktu (T) sebagai proksi dari perubahan selera masyarakat. 3.1.4 Permintaan Masukan Produksi
Menurut Koutsoyiannis
(1977), bentuk umum dari fungsi produksi
merupakan hubungan teknologi antara jumlah input dengan jumlah output. Harga
79
input dan output tidak masuk dalam fungsi produksi. Harga input dan output digunakan hanya untuk keputusan produksi dari perusahaan atau produsen. Bentuk umum matematika dari fungsi produksi oleh Koutsoyiannis (1977) yaitu: Y = f ( L, K, R, S, ν, γ) ………………………………………….................. (38) dimana Y L K R S ν γ
: output : input kapital : input kapital : raw material : input lahan : skala pengembalian : parameter efisiens Hubungan antara raw material dengan output diasumsikan konstan pada
setiap tingkat produksi. Demikian juga input lahan diasumsikan konstan terhadap perekonomian secara menyeluruh, sehingga tidak dimasukkan ke dalam fungsi produksi agregat. Pada model Koutsoyiannis, input lahan bersama dengan mesin dan perlengkapannya dimasukkan ke dalam faktor K. Sehingga fungsi produksi dalam teori ekonomi tradisional diasumsikan dalam bentuk: Y = f ( L, K, ν, γ) …………………………………………........................
(39)
Faktor ν adalah return to scale, menunjukkan analisis jangka panjang dari suatu kegiatan produksi. Perbedaan analisis jangka pendek dengan jangka panjang terletak pada komponen-komponen dari faktor produksi yang digunakan. Dalam jangka pendek, komponen faktor produksi terdiri dari faktor dan fixed variabel, sedangkan dalam jangka panjang, semua faktor produksi menjadi faktor variabel. Dalam studi ini, analisis yang dilakukan menggunakan jangka pendek sehingga faktor ν tidak dimasukkan dalam fungsi produksi.
80
Di dalam literatur ekonomi, khususnya literatur ekonomi pertanian disamping lahan, tenaga kerja dan kapital sebagai faktor produksi, juga dimasukkan ketrampilan atau entrepreneurship. Pengembalian untuk lahan diukur dari rent atau sewa, tenaga kerja dengan upah dan kapital dengan suku bunga, sedangkan pengembalian entrepreneurship adalah profit. Entrepreneurship yang dimaksud yaitu bagaimana produsen menggunakan kombinasi dari ke tiga faktor produksi lain (lahan, tenaga kerja dan kapital untuk memperoleh keuntungan (profit). Oleh karena itu dalam studi ini
γ tidak dimasukkan dalam fungsi
produksi. Dengan penjelasan diatas maka persamaan (39) berubah menjadi persamaan berikut (40) dimana fungsi produksi adalah kontinius: Y = f ( L, K ) ……………………………………………….......................... (40) Diktum kebijakan perberasan nasional menjelaskan bahwa benih unggul bersertifikat, pupuk berimbang dan pasca panen merupakan instrumen untuk meningkatkan pendapatan petani. Benih, pupuk dan alat pertanian (pasca panen) masuk dalam variabel kapital dalam persamaan (40). Dalam studi ini diasumsikan bahwa pupuk berimbang dianalisis bukan dalam konteks budidaya tanaman tetapi dari pendekatan analisis ekonomi. Diferensial dari fungsi produksi pada persamaan (40) yaitu δY = f1δ L + f2 δK ......................................................................................... (41) Dimana f1 dan
f2 turunan parsial Y terhadap L dan K, yang menunjukkan
Marginal Product (MP) terhadap L dan K. Produk marginal dari suatu input adalah output tambahan yang bisa diperoleh dengan menambah input yang
81
bersangkutan 1 unit, sedang input lain dianggap konstan. Jika δY = 0 sepanjang kurva isoquant, maka 0 = f1δ L + f2 δK ........................................................................................... RTS = -
∂K f1 = ∂L f2
(42)
...................................................................................... (43)
Rate of technical subtitution (RTS) merupakan rasio antara MPL dengan MPK, dimana RTS adalah tingkat dimana tenaga kerja bisa disubtitusi dengan kapital sementara output tetap konstan di sepanjang kurva isoquant. Asumsikan bahwa tujuan akhir petani padi bukan untuk memaksimumkan output tetapi memaksimumkan keuntungan. Dengan diketahui harga dan output, kombinasi optimum dapat diketahui. Fungsi keuntungan sebagai berikut: Л = TR – TC ................................................................................................... (44) dimana: Л : Profit (Keuntungan) TR : Total Reveneu (Penerimaan Total) TC : Total Cost (Biaya Total) Total reveneu diperoleh dari perkalian dari harga gabah (Py) dengan fungsi produksi Y = f ( L, K ) sedangkan Total Cost merupakan penjumlahan dari Total Variable Cost dengan Total Fixed Cost. Persamaan (41) berubah menjadi persamaan: Л = Py * f ( L, K ) – (TVC + TFC) .............................................................. (45) TVC = w *L + r* K ...................................................................................... (46) TC = w *L + r* K + TFC ............................................................................ (47) Penentuan keputusan produksi dapat didasarkan atas pilihan (1) memaksimumkan keuntungan dengan kendala biaya, atau (2) meminumkan biaya dengan kendala output/produksi. Dalam konteks kebijakan perberasan nasional,
82
keputusan produksi pada pilihan pertama. Pada tingkat keputusan produksi maka variabel harga output dan input boleh dimasukkan dalam persamaan. Notasi pada persamaan (47) sedikit dimodifikasi, dimana TFC dengan notasi b. Dengan mensubtitusi persamaan (45) dan (46) ke dalam TC pada persamaan (47) diperoleh persamaan: C = w *L + r* K + b ................................................................................... (48) Keputusan produksi dengan memaksimumkan keuntungan dengan kendala biaya. Maksimisasi keuntungan dengan prinsip optimalisasi berkendala untuk kasus persaingan sempurna pada pasar keluaran dan pasar masukan dapat dilakukan dengan menurunkan fungsi kuntungan berikut: Л
= Py * f ( L, K ) - w *L - r* K - b ) ......................................................
(49)
FOC terhadap L, K, sehingga diperoleh persamaan (50) sampai (51), ∂π = Pyf1 – w = 0 atau f1Py = w .............................................................. ∂L
(50)
∂π ∂K
(51)
= Pyf2 - r = 0 atau f2 Py = r ...............................................................
Pada persamaan (50) dan (51), f1 adalah marginal produk terhadap input L, sedangkan f2 adalah marginal produk terhadap input K. Turunan partial terhadap L diperoleh f1Py yang menunjukkan Value Marginal Product (VMP) tenaga kerja dan terhadap K diperoleh f2 Py yaitu VMP kapital. Dari persamaan (50) dan (51) diperoleh bahwa VMPi = Pi ...................................................................................................... (52) dimana VMPi adalah nilai produksi marjinal dari masukan i. Fungsi permintaan untuk masukan i yaitu lahan (A), input benih (S), pupuk (F), pestisida (H) dan
83
mesin/peralatan (M) dengan Pi adalah harga masukan i, yang diturunkan dari persamaan (52), yaitu: A = a (Pa, Ps, Pf, Ph, Pm) ............................................................................. (53) S = s (Ps, Pa, Pf, Ph, Pm) . ............................................................................. (54) F = f (Pf, Pa, Ps, Ph, Pm) ............................................................................... (55) H = h (Ph, Pa, Ps, Pf, Pm) .............................................................................. (56) M = m (Pm, Pa, Ps, Pf, Ph) ............................................................................. (57) Fungsi permintaan masukan agregat pada pasar bersaing sempurna dalam suatu wilayah merupakan jumlah permintaan masukan oleh semua individu petani. Dengan mensubtitusikan persamaan (53) hingga (57) ke persamaan (58) maka dari pendekatan masukan produksi akan diperoleh persamaan penawaran berikut: Y = y (Pl, Pa, Ps, Pf, Pm) ............................................................................... (58) Fungsi total penawaran padi pada pasar persaingan sempurna dalam suatu wilayah merupakan jumlah total penawaran padi oleh individu produsen (petani), dengan penentu atau penjelas yang sama.
3.1.5 Teori Perdagangan Internasional
Menurut Krugman dan Obstfeld (1991) dan Nopirin (1997) perdagangan antar negara atau perdagangan internasional muncul karena adanya perbedaan harga komoditi diantara kedua negara. Perbedaan harga tersebut disebabkan karena perbedaan biaya produksi di kedua negara. Sulistyo (1981) mengatakan bahwa perdagangan antar dua negara muncul karena semakin intensifnya spesialisasi dalam proses produksi kedua negara tersebut.
84
Pada Gambar 6 ditunjukkan bahwa pada mulanya terjadi perbedaan harga beras antara negara A dan B, dimana masing-masing mempunyai keseimbangan EA untuk negara A dan EB untuk negara B. Pada titik keseimbangan tersebut negara A memperdagangkan beras dalam jumlah QEA dengan harga PEA, dan negara B memperdagangkan beras dalam jumlah QEB dengan harga PB. Perbedaan ini akan mendorong terjadinya perdagangan antara negara A dan B, yaitu dengan terciptanya permintaan impor dan penawaran ekspor di pasar dunia. Menurut Labys (1973); Krugman dan Obstfeld (1991), permintaan impor adalah kelebihan dari apa yang diminta konsumen atas apa yang ditawarkan oleh produsen domestik. Penawaran dari ekspor asing adalah kelebihan dari apa yang ditawarkan oleh produsen asing (negara lain) atas apa yang diminta oleh konsumen negara tersebut. Nampak dalam Gambar 6 bahwa kelebihan permintaan (exess demand) di negara B merupakan permintaan impor di pasar dunia Dw dan kelebihan penawaran (exess supply) di negara pengekspor (A) merupakan penawaran ekspor dari pasar dunia (Sw). Interaksi antara suplai ekspor dan permintaan impor menghasilkan keseimbangan di pasar dunia Ew, dengan harga dunia Pw dan total transaksi dunia Qw. Pada tingkat harga Pw konsumen di negara eksportir (A) meminta beras sebanyak QA, namun produsen menawarkan kelebihan penawaran sebesar Q1AQ2A, yang harus diekspor ke negara lain, sehingga merupakan penawaran ekspor di pasar dunia. Sementara di negara importir, pada tingkat harga Pw jumlah yang diminta oleh konsumen negara B adalah Q2B dan jumlah 'yang ditawarkan oleh produsen adalah Q1B. Dengan demikian terjadi kelebihan permintaan (exess demand) sebesar Q1BQ2B . Oleh sebab itu negara B harus mengimpor beras sebanyak Q1BQ2B
85
86
Uraian di atas menunjukkan bahwa ekspor suatu negara merupakan selisih antara penawaran domestik dengan permintaan domestik. Secara matematis persamaan ekspor dapat dituliskan sebagai berikut: Xt = St-Dt ...............................................................................................
(59)
dimana Xt adalah jumlah ekspor negara bersangkutan pada tahun t, St adalah jumlah penawaran pada tahun t, dan Dt adalah jumlah barang yang diminta pada tahun tersebut. Dalam pengertian yang lebih luas, ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik atau produksi barang atau jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen negara bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk stok (Labys, 1973; Kindleberger dan Lindert, 1982). Oleh sebab itu persamaan ekspor dapat juga dituliskan sebagai: Xt = St-Ct + STt-l
......................................................................................
(60)
dimana: Xt = jumlah ekspor beras pada lahun ke-t, St = jumlah produksi beras pada tahun ke-t, Ct = jumlah konsumsi beras pada lahun ke-t, STt-1 = jumlah stok beras pada tahun sebelumnya. Branson dan Litvack (1981) menyatakan bahwa penawaran ekspor suatu barang dipengaruhi oleh tingkat bunga dan nilai tukar valuta asing di negara pengekspor dan di negara importir. Sementara Krugman dan Obstfeld (1991) mengatakan bahwa penawaran ekspor suatu negara ditentukan oleh harga barang tersebut di negara asal, harga barang di negara importir. Selain itu kebijakan perdagangan seperti tarif, pembatasan ekspor/impor dapat juga mempengaruhi penawaran ekspor suatu barang dari suatu negara. Jika beberapa faktor tersebut digabungkan, maka akan diperoleh persamaan penawaran ekspor:
87
Xt = f(Pt, PNMt, ERt, Zt, QXt-1) ................................................................ (61) dimana: Pt PNMt ERt Zt Xt-1
= harga tahun ke-t, = harga beras di negara importir pada tahun ke-t, = nilai tukar mata uang asing tahun ke-t, = faktor lain yang mempengaruhi penawaran ekspor pada tahun ke-t, = jumlah ekspor beras tahun sebelumnya.
Komponen perdagangan internasional lainnya adalah permintaan impor. Menurut Labys (1973) permintaan impor suatu barang adalah kelebihan konsumsi yang tidak sanggup diproduksi di dalam negeri. Sementara Krugman dan Obstfeld (1991) menyatakan permintaan impor domestik merupakan kelebihan dari apa yang diminta konsumen atas yang ditawarkan oleh produsen domestik. Oleh sebab itu persamaan impor dapat dituliskan: Mt = Ct- St + STt-1 ....................................................................................... (62) dimana: Mt Ct St STt-l
= jumlah impor beras pada tahun ke-t, = jumlah konsumsi beras tahun ke-t, = jumlah produksi beras tahun ke-t, = jumlah stok beras tahun sebelumnya.
Bila stok beras di negara pengimpor diasumsikan tetap, maka permintaan impor beras negara pengimpor akan konsisten dengan pola konsumsinya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka fungsi permintaan impor dapat diturunkan dari fungsi konsumsi, sedangkan fungsi konsumsi dapat diturunkan dari fungsi utilitas. Seperti telah dijelaskan didepan, bahwa maksimisasi fungsi utilitas dengan kendala pendapatan akan menghasilkan fungsi konsumsi: Cb = f(Pb, Pnb, I, Pop) ................................................................................ dimana: Cb Pb
= jumlah konsumsi beras, = harga beras,
(63)
88
Pnb = harga non beras, Pop = jumlah penduduk Selain itu, permintaan impor juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, seperti tarif impor, tarif ekspor negara pengekspor, quota ekspor dan lain-lain (Krugman dan Obstfeld, 1991). Dengan menggabung dua rumusan tersebut, serta menggabung peubah Y dan POP menjadi GNPt negara pengimpor, maka fungsi permintaan impor dapat diturunkan sebagai berikut: Mt = f( PJt, PNJt, GNPt, GMt, GXt) ..........................................................
(64)
dimana: PJt = harga beras di negara pengimpor pada tahun ke-t, PNJt = harga barang substitusi beras tahun ke-t, GNPt = pendapatan nasional negara pengimpor pada tahun ke-t, GMt = kebijakan perdagangan pemerintah negara importir pada tahun ke-t, GXt = kebijakan perdagangan negara pengekspor tahun ke-t. 3.1.6 Hubungan Ekonomi Perberasan Nasional dengan Makroekonomi
Menurut Mankiv (2007), untuk menganalisis
kebijakan perekonomian
dalam konteks perberasan dunia maka Indonesia termasuk negara yang besar. Model ekonomimakro untuk menganalisis dampak perberasan Indonesia dengan negara lain diperlukan kombinasi logika perekonomian tertutup dari model ISLM dan logika perekonomian kecil dari Model Mundell-Fleming. Katakanlah keseimbangan Model IS-LM perekonomian Indonesia berada pada tingkat bunga r0 dan pendapatan Y0, seperti ditunjukkan pada bagian a. Bagian b, menunjukkan hubungan tingkat bunga dengan modal aliran neto, pada tingkat bunga r0 menentukan aliran modal keluar neto, CF0. Bagian c menunjukkan bahwa net capital outflow (aliran modal keluar neto) CF0 dan kurva ekspor netto NX menentukan kurs nominal e0.
89
Model IS-LM pada bagian (a) pengeluaran agregat E yang merupakan fungsi dari pendapatan agregat Y dengan tingkat suku bunga R. Diasumsikan bahwa komponen eksogen dari pengeluaran, yaitu: E = E + E (Y , R ),
0 < E y < 1, ER < 0 ………………………… ……. (65)
Turunan partial mengindikasikan bahwa apabila pengeluaran meningkat ketika pendapatan meningkat. Kondisi keseimbangan jika agregat suplai dan permintaan terhadap barang dan jasa adalah sama Y = E + E (Y , R ) ……………………………………………………............
(66)
Sekarang ada dua endogenous variabel yaitu Y dan R, dengan satu eksogenous variabel E tetapi baru satu persamaan, sehingga tidak dapat dicari solusi keseimbangan untuk variabel endogen. Dalam Gambar 7 bagian (a) digambarkan kurva IS, dengan slope negatif. Kurva IS menunjukkan hubungan antara R dengan Y.
Y − E − E (Y , R ) = 0 …………………………………………………........
(67)
Kemudian dilakukan diferensial parsial dari persamaan (67), sehingga diperoleh dR 1 − E y = < 0 …………………………………………………............. dY Er
(68)
Peningkatan eksogenous variabel (E) seperti pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk atau pembelian/pengadaan gabah/beras, akan menggeser kurva IS ke kanan. Turunan partialnya dengan asumsi Y tetap yaitu: dr dE
=−
1 > 0 ………………………………………………………....... ER
(69)
Kurva LM pada Gambar 7 bagian (a) menunjukkan permintaan uang di pasar uang, dengan persamaan
90
L = L(Y , R ),
Ly > 0, L R < 0 ………………………………….........
(70)
Keseimbangan di pasar uang apabila permintaan dan penawaran uang sama, dimana penawaran uang adalah konstan, diperoleh persamaan berikut L(Y , r ) − M = 0 ……………………………………………………...........
(71)
Persamaan (70) kondisi kedua yang menggambarkan hubungan antara R dan Y pada Gambar 6 bagian (a). Kurva LM adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara R dan Y, dengan slope positip.. Dengan melakukan turunan partial terhadap persamaan (71) diperoleh L dR = − y > 0 ………………………………………………………....... dY Lr
(72)
Dalam kurva LM, penawaran uang adalah eksogen. Untuk menunjukkan dampak dari perubahan penawaran uang terhadap kurva LM, dengan asumsi Y tetap, sedangkan R dan M adalah variabel dalam kondisi keseimbangan pasar uang. dR dM
=
1 < 0 …………………………………………………................. LR
(73)
Akhirnya diperoleh bahwa kenaikan penawaran uang menyebabkan penurunan tingkat suku bunga di pasar uang pada setiap tingkat pendapatan. Dari persamaan (67) dan (71) diperoleh keseimbangan antara LM dan IS pada pendapatan Y0 dan tingkat suku bunga ro Y * − E − E (Y *, R *) = 0 ……………………………………………............ (74) L(Y *, R *) − M = 0 ………………………………………………............... (75) Nilai Y* dan R* merupakan keseimbangan simultan pada pasar barang dan jasa dengan pasar uang. Seperti yang ditunjukkan Gambar 7 bagian (a), ada hubungan
91
antara kurva LM dan IS. Dalam analisis komparatif statis, perlu diketahui dampak dari dua variabel eksogen yaitu dan M, dalam kondisi keseimbangan Y* dan R*. Dalam kasus terjadinya perubahan, dilakukan dengan sistim linier
⎡(1 − E y ) − ( ER )⎤ ⎡∂Y * / ∂ E ⎤ ⎡1⎤ ………………………………........... (76) ⎥= ⎢ ⎢ L LR ⎥⎦ ⎢⎣∂R * / ∂ E ⎥⎦ ⎢⎣0⎥⎦ y ⎣ Dari persamaan (76) diperoleh determinan D sebagai berikut: D = (1 − E y )LR + Ly ( ER ) < 0 …………………………………..................... (77)
Dampak dari komparatif statis yaitu 1 − ( ER ) ∂Y * ∂E
∂R * ∂E
=
=
0
LR D
(1 − ER ) 1 Ly 0 D
=
LR > 0 ………………………………….................... (78) D
=−
Ly D
> 0 ………………………………..................... (79)
Dalam konteks kebijakan perberasan nasional maka peningkatan pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk, anggaran untuk pembelian gabah petani dan investasi untuk perbaikan saluran irigasi akan menggeser kurva IS ke kanan, sehingga pendapatan akan naik dan diikuti dengan kenaikan suku bunga. Oleh karena pertanian hanya salah satu sektor dari beberapa sektor perekonomian umum dan adanya keterkaitan dengan sektor lainnya, perubahan dalam kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi pendapatan di sektor pertanian (perberasan nasional)
melalui perubahan dalam pajak, pengeluaran
pemerintah dan penawaran uang. Kebijakan moneter terkait dengan penawaran
92
uang dan kredit, sedangkan kebijakan fiskal menyangkut pengeluaran pemerintah dan pajak. Perubahan dalam kebijakan moneter dan fiskal akan mempengaruhi baik produsen dan konsumen perberasan nasional. Kebijakan moneter ekspansif, seperti pembelian surat-surat berharga, menyebabkan peningkatan penawaran uang sehingga semakin banyak uang yang digunakan untuk kredit dan pinjaman. Peningkatan jumlah uang/kredit yang dipinjamkan kepada petani padi, cateris paribus, menyebabkan suku bunga menurun, sehingga meningkatkan pengeluaran investasi (Lipsey, 1974; Branson and Litvack, 1981 Dornbush and Fisher, 1987; Mankiv, 2007) Pemberian kredit kepada petani akan
menambah uang beredar, akan
menggeser kurva LM0 ke kanan menjadi LM1, seperti bagian (a). Tingkat pendapatan dan tingkat bunga turun menjadi r1. Asumsi tingkat harga (P) tetap. Gambat 7 bagian (b) menunjukkan bahwa pada perekonomian Indonesia, penurunan tingkat bunga dari r0 ke r1 menyebabkan aliran keluar modal neto meningkat dari CF0 ke CF1. Pada tingkat bunga yang lebih rendah, investor Indonesia akan meningkatkan pemberian pinjaman ke luar negeri. Peningkatan dalam aliran modal keluar neto, akan meningkatkan penawaran rupiah yang akan ditukar menjadi mata uang non-dollar di pasar valuta asing. Asumsikan kurs yang berlaku di Indonesia
adalah floating exchange rate (kurs mengambang).
Peningkatan penawaran rupiah tersebut menyebabkan kurs rupiah terdepresiasi, sebagaimana pada bagian (c) karena barang-barang di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan produk luar negeri, sehingga ekspor neto meningkat dari NX0 ke NX1. Bagian (d) kita turunkan dari perpotongan antara kurva IS0
93
dengan kurva LM0 dan LM1 dari bagian (a) sehingga terbentuk kurva aggregate demand (permintaan agregat) yang menunjukkan hubungan antara tingkat harga (P) dengan pendapatan (Y). Asumsikan kurva aggregate supply (penawaran agregat), yang digunakan model Keynesian. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk perberasan nasional menyebabkan kurva IS bergeser ke kanan, selanjutnya menggeser kurva permintaan agregat AD0 ke AD1, pendapatan Y0 menjadi Y1, sehingga dampak output perberasan nasional akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini diharapkan akan mengurangi jumlah pengangguran, selanjutnya mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia. Dalam perekonomian tertutup, dampak kebijakan fiskal sebagian dikurangi oleh desakan investasi (crowding out of investment) ketika tingkat bunga naik, investasi turun yang mengurangi pengganda kebijakan fiskal. Dalam perekonomian Indonesia, ketika tingkat bunga naik, aliran modal keluar neto turun, kurs dollar AS berapresiasi dan ekspor neto turun, sehingga pendapatan berkurang dari Y2 ke Y1. Dampak kebijakan fiskal tersebut tetap menyebabkan pertumbuhan ekonomi (Y0 ke Y1) meskipun diikuti dengan inflasi (dari P0 ke P1) yang disebabkan oleh demand pull inflation. Kenaikan harga dari sisi produsen akan menguntungkan karena harga jual produk di pasar bergeser dari P0 ke P1, tetapi dari sisi petani sebagai konsumen, kenaikan harga menyebabkan harga sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida dan alsintan mengalami kenaikan sehingga biaya produksi semakin meningkat. Pada tingkat petani, inflasi menyebabkan daya beli petani semakin rendah.
94
LM0
r
r
LM1
r0
r0 r1
r1
IS1 IS0
Y0 Y 1
Y2
CF0 CF1
Y
b. Aliran Modal Keluar Neto
a. Model IS-LM
e
P P0
e0
P1
e1
CF0
CF1
AD
NX (e)
Y 0 Y1
AD0
NX0 NX1
Y
c. Model Permintaan Agregat
P
CF
AD1
d. Pasar Valuta Asing
NX
AS
P1 P0
Y0 Y1 Y2
Y
e. Pergeseran Kurva Agregat
Sumber: Branson and Litvack (1981), Mankiv (2007) Gambar 7. Keterkaitan Kebijakan Perberasan dengan Ekonomimakro
Campur tangan pemerintah terhadap kebijakan perberasan melalui tersedianya anggaran pemerintah terhadap subsidi pangan, pupuk dan benih. Besarnya anggaran pemerintah untuk mendukung kebijakan perberasan bervariasi,
95
tergantung dari ketersediaan cadangan pangan nasional. Kenaikan anggaran pemerintah menyebabkan kurva IS akan bergeser ke kanan, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi diikuti dengan kenaikan harga-harga umum (inflasi). 3.1.7 Pareto Optimum dan Kriteria Pareto
3.1.7.1. Kondisi Pareto Optimum bagi Konsumen Asumsikan dalam perekonomian ada dua orang konsumen A dan B, dua produk, yaitu q1 (beras) dan q2 (non beras) yang dihasilkan dan didistribusikan diantara dua individu tersebut. Keadaan ini digambarkan oleh kotak EdgeworthBowley pada Gambar 8, dimana garis mendatar adalah jumlah q1 dan garis tegak adalah jumlah q2 dihasilkan. Setiap titik pada box menggambarkan distribusi q1 dan q2 diantara individu A dan B. Kurva indifferens konsumen A ditunjukkan dalam box dimana OA sebagai titik asal, dengan tiga kurva indifferens yaitu U1A, U2A, and U3A. Kurva indifferens konsumen B yaitu U1B dan U2B dimana OB sebagai titik asal dan bergerak dari atas ke bawah dan dari sisi yang berlawanan. Setiap titik pada kurva indiferens menunjukkan kesamaan dalam kesukaan konsumen A dan B terhadap kombinasi beras dan non beras yang berbeda-beda. Setiap titik pada kurva U3A menghasilkan kepuasan yang lebih besar daripada setiap titik pada kurva U1A, U2A dari sisi konsumen A. Setiap titik pada kurva U2B menunjukkan kepuasan yang lebih besar daripada setiap titik pada kurva U1B dari sisi konsumen B. Pada titik a, individu A mengkonsumsi q11 produk q1 dan q21 produk q2, sedangkan sisanya masing-masing, q1 – q11 dan q2 – q12, didistribusikan kepada individu B. Kurva Kontrak dibentuk dengan menghubungkan semua titik-titik (a dan b) diantara garis singgung kurva indifferens yang mempunyai slope sama
96
dengan kata lain ke dua konsumen memiliki rasio marginal subtitusi yang sama terhadap produk q1 dan q2. Pada titik c, marginal rate of substitution (MRS) q1 terhadap q2 untuk konsumen A, dimana MRSAq1q2 lebih besar dari MRS Bq1q2. Jika konsumen A ingin menambah jumlah q1 yang dikonsumsi sebesar ∆q1, maka konsumen A harus mengurangi konsumsi barang q2 sebesar ∆q2 untuk mendapatkan utilitas sama (titik c bergeser ke d), karena titik d berada pada kurva indifferens U2A yang sama. q2 q22
f
c d
1
q
U2B
a
2
qA
U1 B b U3 A
∆q1 U1 A
q11
e
U2 A
q 21
q1
Sumber: Just, et al. (1982) Gambar 8. Diagram Kotak Edgeworth dan Pareto Konsumen Bagi konsumen B, konsumsi barang q1 yang berkurang sebesar ∆q1 harus diimbangi dengan penambahan ∆q2 sebesar ef sehingga tetap pada tingkat kesejahteraan yang sama. Masih ada kelebihan q2 yang dikorbankan A untuk menambah q1 sebesar ed. Apabila ed dibagi diantara konsumen A dan B maka utilitas naik. Apabila semua ed diberikan kepada A, B tidak dirugikan, demikian juga jika ed diberikan ke B tidak ada yang dirugikan. Dari sisi konsumen A, pergeseran dari titik c ke d menguntungkan konsumen A tanpa merugikan konsumen B. Kondisi ini disebut dengan
perbaikan pareto atau Pareto
97
Improvement. Pergerakan titik c ke titik-titik di dalam area bayang-bayang terang disebut juga pareto improvement. Jika konsumen A ingin meningkatkan utilitas menjadi U3A, maka titik b merupakan kondisi dimana tidak dimungkinkan lagi terjadi perubahan karena jika terjadi perubahan maka salah satu konsumen akan dirugikan. Pada titik b kurva indefferens A dan B bersinggungan. Kondisi di titik d disebut dengan Pareto Optimum. Jika kondisi pareto optimum di titik a dan b dihubungkan akan terbentuklah kurva kontrak dan disepanjang kurva kurva kontrak ini kondisinya adalah pareto optimum. Setiap pergerakan dari titik c ke titik manapun pada daerah terang terjadi perbaikan berdasarkan kriteria Pareto. Oleh karena itu, semua titik dalam daerah terang adalah pareto superior terhadap titik c. Titik e adalah Pareto superior terhadap titik c, dimana konsumen A lebih baik (better off) dan B tidak lebih buruk (worse off). Sedangkan semua titik-titik pada daerah bayang-bayang gelap, jika dibandingkan dengan titik c adalah Pareto inferior, dimana paling sedikit satu individu dirugikan dan individu lain tidak lebih baik. Perbaikan kepada masyarakat dengan menggunakan kriteria Pareto dapat diidentifikasi hanya untuk kasus dimana seseorang diuntungkan atau setidaknya tidak ada yang dirugikan. Anggaplah bahwa masyarakat mulai bergerak dari titik c ke titik e untuk membuat perbaikan pareto (Pareto Improvement). Pada titik e, MRS
A
q1q2> MRS
B
q1q2 dan memperoleh keuntungan dari pertukaran yang
dilakukan. Dengan cara ini, titik pertukaran bergerak sepanjang kurva indifferen U1B sampai titik b tercapai. Pada titik b, jumlah q2 yang dikorbankan A untuk
98
menambah satu unit q1 adalah sama dengan jumlah q2 yang dikorbankan B untuk memperoleh satu unit q1. Pada titik b adalah Pareto optimum. Kondisi optimal pada titik b, dimana. MRS Aq1q2 = MRS Bq1q2 …………………………………………………… (80) Jadi dalam kasus pertukaran murni, setiap titik pada kurva kontrak adalah Pareto optimum; dimana tingkat subtitusi marginal diantara dua barang adalah sama untuk semua konsumen. Suatu Pareto dikatakan efisien apabila tidak bisa menghasilkan suatu barang tanpa mengurangi barang lainnya. 3.1.7.2. Kondisi Pareto Optimum bagi Produsen Asumsikan bahwa dalam perekonomian hanya terdapat dua orang produsen yang menghasilkan dua jenis barang (q1 dan q2), dengan menggunakan dua input yaitu x1 dan x2. Kurva isoquant q1 terdiri dari isoquant q11, q21 dan q31 dan kurva isoquant untuk q2 yaitu q12 dan q22 dengan titik awal Oq2. Kurva isoquant menunjukkan tempat kedudukan dari kombinasi x1 dan x2 yang memberikan hasil yang sama. Setiap titik dalam box menggambarkan alokasi input untuk menghasilkan q1 dan q2. Pada titik g, x11 dari x1 dan x12 dari x2 dialokasikan untuk menghasilkan q1. Input yang sisa yaitu x1 – x11 and x2 – x21 dialokasikan untuk menghasilkan q2. Titik g tidak menggambarkan effisiensi alokasi input karena pada titik g rate of technical subtitution (RTS) x1 terhadap x2 untuk menghasilkan q1 dimana RTS
q1
x1x2 lebih besar dari
RTS
q2
x1x2. Tingkat subtitusi teknis mengukur
dimana produsen bersedia menggantikan input yang satu dengan input lainnya pada tingkat isoquant yang sama. Perpindahan dari titik g ke c menunjukkan bahwa bagi produsen q1 perlu menambah input x1 sebesar ∆x1 dan mengurangi
99
input x2 sebesar ∆x2, sebaliknya bagi produsen q2 penggunaan x2 bertambah banyak sedangkan penggunaan x1 berkurang. Bagi produsen q2, penambahan input x2 sebesar ab lebih kecil dari pengurangan x2 sebesar ∆x2 supaya output q2 tetap pada isoquant awal q12. Titik
g adalah titik yang tidak efisien; karena output
q2 dapat
ditingkatkan tanpa menurunkan output q1. Jika input x2 sebesar bc dialokasikan ke q2 seperti ∆x1 dialokasikan ke q1 maka output q1 dan q2 meningkat. Titik b juga titik yang tidak efisien, karena output q1 dapat ditingkatkan tanpa menurunkan output q2. Output q1 dapat meningkat, dengan membiarkan q2 konstan, dengan realokasi input x1 ke q1 dan input x2 ke q2. Proses ini akan terus berlanjut sampai titik d tercapai. Pada titik d tidak mungkin meningkatkan output q1 tanpa mengurangi output q2, pada Titik d adalah efisien secara Pareto.
x2
O q2
q 12 g
x 12
a b
Δx2
c
d
f q 13 q 12
e
q 11 Δ x1
O q1
q 22
x11
Sumber: Just, et al. (1982) Gambar 9. Pareto Optimum Pada Produsen
x1
100
Apabila titik d dan e dihubungkan akan terbentuk kurva kontrak. Semua titik pada tempat yang efisien Oq1Oq2 adalah titik-titik output yang efisien secara Pareto. Garis singgung isoquants pada Gambar 9 menunjukkan bahwa RTS q1x1x2 = RTS q2x1x2 ……………………………………………………. (81) Pareto optimum dalam produksi menunjukkan bahwa RTS antara dua input adalah sama terhadap semua industri yang menggunakan kedua input tersebut. Kumpulan titik-titik Pareto-optimal Oq1Oq2 digambarkan pada ruangan output. Pada Gambar 10, kurva yang menghubungkan q1* dan q2* berhubungan dengan Oq1Oq2, pada Gambar 9 dimana q2* adalah output maksimum jika semua sumberdaya x1 dan x2 digunakan untuk menghasilkan q1, sedangkan q1* output maksimum jika semua sumberdaya x1 dan x2 digunakan untuk menghasilkan q2.
q2
o
q
2
Δq1
q 12
Δq 2 U
A 1
OB '
OB Δq 2
U 1B U 2B OA
U 1B ' Δq1 q11
q1o
Just, et al. (1982) Gambar 10. Kurva Kemungkinan Produksi Titik-titik pada kurva kontrak sepanjang Oq1Oq2 pada Gambar 9 dapat diterjemahkan ke dalam suatu kurva kemungkinan produksi (production possibility curve) yang menunjukkan semua titik produksi yang efisien menurut
101
Pareto. Kurva kemungkinan produksi menunjukkan jumlah barang yang dapat dihasilkan dengan penggunaan semua faktor produksi secara penuh. Titik g pada Gambar 9 adalah pareto inferior kelihatan pada Gambar 10. Perubahan kotak Edgeworth berhubungan dengan titik asal individu A pada OA dan individu B pada OB dengan output yang berhubungan dengan titik g pada Gambar 9 yang didistribusikan secara efisien pada titik k. Pergerakan ke titik f dalam Gambar 9 berhubungan dengan peningkatan ∆q1 dan ∆q2 pada Gambar 10, akan menggeser titik asal individu B menjadi OB’. Dengan demikian, kurva awal indifferen B dari U1B bergeser ke U1B’, dan konsumsi bergeser ke titik j. Peningkatan output ∆q1 + ∆q2 membuat individu A dan B menjadi lebih baik, maka titik g dalam Gambar 9 bukan Pareto optimum. Walaupun titik g pada Gambar 9 bukan Pareto optimum, dapat disimpulkan bahwa pergerakan dari titik g ke salah satu Pareto efisien produksi disebut Pareto improvement. Itu sebabnya, kriteria Pareto tidak dapat digunakan untuk membandingkan
titik-titik yang
berproduksi secara tidak efisien dengan titik lain yang berproduksi secara efisien. Pergerakan dari OB ke OB’ dalam Gambar 10 dapat terjadi dengan adanya distribusi output yang lebih banyak pada titik h, meskipun adanya pertukaran yang efisien. Pada titik tersebut individu A rugi sedangkan individu B lebih baik. Perbaikan Pareto untuk bundel barang yang banyak hanya terjadi jika seluruh individu diuntungkan dan tidak ada satupun yang dirugikan.
3.1.7.3 Kondisi Pareto Optimum Kasus Produk Campuran Kriteria Pareto tidak dapat digunakan menentukan urutan dari sekumpulan barang dimana sekumpulan barang lebih baik, kurang baik dibandingkan barang
102
lainnya tanpa mengetahui bagaimana barang tersebut didistribusikan. Pada Gambar
11, masyarakat menghasilkan
q11 barang
q1 dan q21 barang
Scitovsky indifference curve (SIC) SIC diberi tanda
q2.
C dalam Gambar 11
berhubungan dengan titik a pada kurva kontrak, dimana tingkat utilitas individu A diwakili oleh U1A dan U1B oleh individu B. Untuk menentukan SIC, dengan menahan OA dalam kondisi tetap, dengan demikian kurva indifferen individu A ditahan diam pada U1A. Pada saat yang sama, OB berpindah sehingga kurva indifferen B bergeser; sedangkan kurva indifferens individu B U1B
tetap
bersinggungan dengan kurva indefferen A pada U1A dengan sumbu datar untuk kedua barang paralel diantara individu. Jadi, C terdiri dari sekumpulan tempat dari semua bundel output dimana setiap anggota masyarakat yang berbeda, jika suatu bundel output awalnya didistribusikan pada titik a.
q2 q 12
OB
q 22 q 23
OB' U 3B
a
b
O B* U 2A
U 1B
a'
U
q 11
A 1
q 13 q 12
OB C ' p'C q1
Just, et al. (1982) Gambar 11. Kondisi Pareto Optimum Kasus Mix Produk
103
Gambar 11 mempertimbangkan perbandingan bundel output di OB yang didistribusikan diantara individu A dan B pada titik a, dengan bundel output di OB’ yang didistribusikan pada titik a'. Kurva
Scitovsky menghubungkan
distribusi pada titik a dan a' masing-masing C dan C’. Kurva Scitovsky C tidak bersinggungan dengan kurva kemungkinan produksi di OB sementara C’ bersinggungan di OB’. Kedua individu dapat dibuat lebih baik dengan memilih bundel pada OB’ karena C’ terletak diatas C dan output pada OB* (bukan OB’) didistribusikan pada titik a' yang dibutuhkan dalam menghasilkan tingkat utilitas yang sama seperti pada OB. Penambahan produk q21 – q31, q22 – q32 dapat dibagi sehingga individu lebih baik dengan bergerak dari OB* ke OB’. Meskipun C' terletak diatas C, kedua individu pada faktanya tidak lebih baik dengan pergerakan dari OB ke OB’ dalam Gambar 11. Itu artinya, bundel yang diwakili OB’ dapat didistribusikan pada titik b, dimana individu A dibuat lebih baik sedangkan individu B relatif lebih buruk pada bundel yang diwakili OB yang didistribusikan di titik a. SICs tidak dapat dengan tepat terhadap yang lain dan satu orang individu mungkin masih lebih buruk pada SIC yang lebih tinggi. Bagaimanapun juga, dimungkinkan mendistribusikan bundel output pada OB’ dimana seseorang
dapat
lebih baik daripada titik a dengan memilih suatu
distribusi produk pada OB’ dalam daerah bayang-bayang. Sekarang membandingkan bundel output di OB’ yang didistribusikan pada titik a’(SIC dilambangkan dengan C' bersinggungan dengan PP') dengan bundel output lainnya yang efisien
dengan semua kemungkinan yang dapat
didistribusikan. Karena tidak ada titik produksi yang layak diatas C’, karena tidak mungkin menghasilkan SIC yang terletak diatas C’. Artinya, jika seseorang mulai
104
di OB’ yang didistribusikan pada titik a', satu orang tidak dapat dibuat lebih baik tanpa membuat yang lain lebih buruk, dengan kata lain OB’ yang didistribusikan pada titik a’ adalah titik Pareto-optimum. Persyaratan persinggungan
SIC dengan kurva kemungkinan produksi
menetapkan tiga set marjinal yang sama untuk Pareto optimum dalam kasus produk campuran. Artinya, slope produksi frontier harus sama dengan
SIC
optimum, dimana slope kurva kemungkinan produksi negatif yaitu marginal rate of transformation dari q1 terhadap q2 (yang mengukur tingkat dimana output yang dapat dipertukarkan dengan jumlah input tetap), dinotasikan
dengan
MRTq1q2 dan slope SIC yang negatif adalah marginal rate of substitution dari q1 terhadap q2, untuk kedua individu A dan B adalah sama. Dengan demikian, produk campuran yang memenuhi persyaratan Pareto optimum dimana marginal rate of transformation sama dengan
tingkat transformasi marginal terhadap
konsumen, yaitu: MRT q1q2 = MRSA q1q2 = MRSBq1q2 …………………………………........ (82)
3.1.7.4 Pareto Optimum dan Keseimbangan Kompetitif Asumsikan
konsumen
memaksimalkan keuntungan,
memaksimumkan
utilitas
dan
produsen
konsumen dan produsen bertindak kompetitif,
dimana harga adalah konstan. Jumlah permintaan barang qk merupakan fungsi DA (pk) untuk individu A dan DB (pk) untuk individu B, dimana pk adalah harga barang qk, k = 1, 2. Penawaran barang qk merupakan fungsi penawaran Sk (pk), k = 1, 2. Asumsikan ada satu set harga
p1 dan p2 yang positif sehingga jumlah
permintaan adalah sama dengan jumlah penawaran untuk setiap komoditas, yaitu DA (p1) + DB (p1) = S1 (p1) dan DA (p2) + DB (p2) = S2 (p2).
105
Set harga p1 dan p2 memberikan keseimbangan yang kompetitif. Dengan demikian, keseimbangan kompetitif adalah sekumpulan harga pada semua pasar dimana tidak ada kelebihan permintaan atau kelebihan penawaran. Konsep ini mudah digunakan untuk kasus umum dimana ada banyak konsumen dan produsen,
dan
harga
produk
ditentukan
penawaran
dan
permintaan.
Keseimbangan yang kompetitif ditunjukkan (1) jika semua konsumen memiliki preferensi yang diwakili oleh kurva indifferen yang konveks ke titik asal, dan (2) jika tidak ada pengembalian yang meningkat dari setiap perusahaan. Hubungan terpenting antara keseimbangan kompetitif dengan Pareto optimum adalah ketika keseimbangan kompetitif terjadi maka terjadi kondisi pareto optimal. Hasil ini dikenal dengan Theorem Optimality yang merujuk kepada teori Adam Smith. Dalam The Wealth of Nation yang dipublikasikan tahun 1776, Smith mengemukakan bahwa kepentingan konsumen adalah memaksimumkan utiliti dan produsen fokus kepada profit, merupakan “best
possible state of affairs” dalam masyarakat. Konsumen memaksimumkan utilitas dengan kendala anggaran II’(Gambar 12) dengan pendapatan m. Konsumen A memilih bundel konsumsi q1 q2 yang memungkinkan untuk mencapai kurva indifferens yang tertinggi. Dengan demikian, konsumen memilih titik singgung antara II’ dengan kurva indifferen UA. Pada titik singgung tersebut, MRSAq1q2 = p1/p2, dimana slope kurva indifferens dan kendala anggaran adalah negatip. Pada pasar persaingan sempurna, semua konsumen diperhadapkan pada harga yang sama, Jadi bagi konsumen B, MRSBq1q2 = p1/p2, dengan demikian MRSBq1q2 = MRSAq1q2 ……………………………………………………. (83)
106
adalah kondisi pertukaran Pareto optimum yang diturunkan dari persamaan (80). Jika semua konsumen diperhadapkan dengan harga relatif yang sama dari dua barang maka marginal equivalen akan sama pada keseimbangan.
q2 m/p2 I
Slope = -MRSAq1q2
Slope = -p1/p2
q2
UA I’ m/p1
q1
q1
Just, et al. (1982) Gambar 12. Memaksimumkan Utilitas dengan Kendala Anggaran Perlu diketahui bahwa perusahaan tidak dapat memaksimumkan keuntungan pada setiap tingkat output tanpa perusahaan menghasilkan output pada biaya minimum. Itu berarti implikasi memaksimumkan keuntungan adalah meminimumkan biaya. Asumsikan
perusahaan
memaksimumkan
keuntungan,
dengan
menghasilkan output q1 (Gambar 13), biaya minimum untuk berproduksi pada harga input w1 dan w2 adalah tetap, dengan menggunakan input x1 dan x2. Biaya minimum dalam berproduksi tercapai pada perpotongan kurva isocost (dinyatakan dengan tingkat biaya C) dengan kurva isoquant yang ditunjukkan dengan output q1 = q1. Slope kurva isoquant dan isocost masing-masing negatif. Titik singgung jika tingkat subtitusi marginal x1 terhadap x2 sama dengan rasio harga input.
107
dengan slope negatip. Semua perusahaan memproduksi dengan menggunakan x1 dan x2 diperhadapkan dengan harga input yang sama: maka, RTSq2x1x2 = RTSq1x1x2 …………………………………………………….... (84) menghasilkan kondisi efisiensi produksi pada persamaan (81). x2
c/w2 C
x2
Slope = - RTSq
1
x1x2
q1 = q1 Slope = -w1/w2 C'
Oq1
x1
c/w1
x1
Just, et al. (1982) Gambar 13. Biaya Minimum dalam Berproduksi Untuk menetapkan bahwa kondisi produk campuran persamaan (82) dipenuhi, dengan cara menaikkan output q1 sebesar ∆q1 dan mengurangi output of q2 sebesar ∆q2, sepanjang kurva kemungkinan produksi. Perubahan ini menyebabkan adanya transfer satu unit x1 atau satu unit x2 dari q2 untuk menghasilkan q1. Peningkatan output sebesar q1 adalah sama dengan produk fisik marginal dari input xk untuk produksi q1, dimana ∆q1 = MPPq1xk. Demikian pula, penurunan output q2 adalah ∆q2 = MPPq1xk. Jumlah q2 yang dikorbankan untuk meningkatkan q1, dinyatakan dengan marginal rate of transformation diantara q1 dan q2. Dengan demikian, 3
MRTq1q 2
q Δq 2 MPPxk = = Δq1 MPPxqk1
………………………………………………….... (85)
108
Produsen yang meminimisasi biaya harus menyamakan marginal physical
product sama dengan per dollar yang dihabiskan untuk setiap input. Dengan demikian, kombinasi biaya terendah terhadap x1, x2 dalam Gambar 13 dicirikan oleh kondisi berikut:
MPPxaj2
=
w2
MPPxaj2 w1
,
j = 1,2 ………………………………………………. (86)
Marginal physical product dari input adalah sama dengan peningkatan output ∆qj dibagi dengan peningkatan input ∆xk
yang diperlukan untuk
meningkatkan output, sehingga MPPxkaj= ∆qj/ ∆xk. Dengan memasukkan hasil ini ke dalam persamaan (86), diperoleh hasil:
w
Δx1 Δx = w2 2 , Δx2 Δx j
j = 1,2
……………………………………………….. (87)
Dimana wk ∆xk/∆qj/ adalah marginal cost, dimana MCaj :
MCaj =
wk j MPPxqk
j = 1,2 ……………………………………………….. . (88)
Produsen yang memaksimumkan keuntungan pada pasar persaingan sempurna akan menyamakan marginal return dengan marginal cost, dengan mensubtitusi pj dengan MCaj dalam persamaan (88) dan membagi persamaan dengan j = 1 dan yang lain dengan j = 2 , hasilnya menjadi: 2
q p1 MPPxk = 1 p2 MPPxq k
................................................................................................... (89)
109
Dari persamaan (85) adalah sisi kanan persamaan (89) adalah MRTq1q2 dimana konsumen menghadapi harga komoditi yang sama, sehingga kondisi produk campuran pada persamaan (82). MRS qA1q 2 = MRTqB1q 2
…………………………………………………………. (90)
pada keseimbangan pasar yang bersaing. Dengan demikian pada pasar persaingan sempurna diperoleh kondisi keseimbangan dimana tidak mungkin
melakukan perubahan tanpa membuat
seseorang lebih buruk pada pasar kompetitif pada keadaan yang efisien menurut Pareto. Kesimpulan ini mungkin satu-satunya hasil yang paling kuat dalam teori ekonomi pasar dan secara luas digunakan oleh ahli-ahli ekonomi yang percaya bahwa pasar kompetitif dan pemerintah tidak perlu intervensi dalam aktifitas pasar. 3.1.8 Analisis Ekonomi Kesejahteraan pada Pasar yang Berorientasi Kebijakan 3.1.8.1 Kenaikan Harga Output dan Surplus Produsen
Instruksi Presiden tentang Kebijakan Perberasan
berada pada kondisi
Pareto Optimum jika ada pihak yang diuntungkan tanpa pihak lain dirugikan. Kebijakan perberasan yang berpihak kepada petani maka pihak yang diuntungkan adalah petani, sebaliknya kebijakan perberasan yang berpihak kepada konsumen maka pihak yang diuntungkan adalah konsumen. Apabila kebijakan perberasan hanya menguntungkan petani tetapi merugikan konsumen atau sebaliknya maka kebijakan tidak memenuhi persyaratan Pareto Optimum. Solusi terhadap kebijakan perberasan yang tidak memenuhi kriteria Pareto Optimum
apa yang disebut dengan dengan criteria kompensasi. Kriteria
110
kompensasi apabila ada sesuatu perubahan akibat suatu kebijakan yang membuat pihak yang diuntungkan memberi kompensasi ke pihak yang dirugikan maka perubahan dianggap layak. Surplus produsen yaitu luasan yang berada di atas kurva penawaran dan dibawah kurva harga, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Kurva penawaran untuk perusahaan pada pasar kompetitif adalah Marginal Cost (MC) yang berada diatas titik minimum Variabel Cost. Sebelum kenaikan harga (P1) surplus produsen yaitu P1 x Q1 dikurangi daerah b ( jumlah biaya variabel), yaitu daerah a.
P S B
P2 c
P1
A
e
a
b
d
S 0 Q1
Q2
Q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 14. Kenaikan Harga dan Surplus Produsen Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) naik yang ditunjukkan perubahan dari P1 ke P2. Perubahan harga tersebut menyebabkan efek akuntansi dan efek produksi. Efek akuntansi ditunjukkan dengan perubahan surplus produsen. Kenaikan HPP menyebabkan kenaikan produksi dari Q1 ke Q2,
111
sehingga surplus produsen Q2 x P2 dikurangi daerah b + d yaitu a + c + e yang diperoleh dari selisih a + b + c + d + e dengan b + d . Tambahan
surplus
produsen
dengan
kenaikan
Harga
Pembelian
Pemerintah diperoleh dari selisih antara sesudah dengan sebelum kebijakan, yaitu ( a + c + e) – (a) yaitu c + e. Apabila kurva penawaran inelastis maka daerah e semakin kecil dan sebaliknya kurva penawaran yang elastis menyebabkan daerah e semakin meningkat.
3.1.8.2 Penerapan Teknologi Baru dan Surplus Produsen
Besarnya surplus produsen tanpa teknologi yaitu
P1 x Q1 dikurangi
daerah b ( jumlah biaya variabel), yaitu daerah a. Penerapan teknologi baru menggeser
kurva penawaran
S ke S’. Besarnya surplus produsen. dengan
teknologi baru yaitu P1 x Q2 yaitu daerah a + b + c, yang diperoleh dari selisih surplus produsen dengan daerah d. Tambahan surplus produsen dengan kenaikan teknologi baru diperoleh dari selisih antara sesudah dengan sebelum teknologi baru diterapkan, yaitu ( a + b + c) – (a) yaitu daerah b + c, pada Gambar 15. Penerapan teknologi baru menyebabkan output naik dari Q1 ke Q2 dengan asumsi harga konstan dan diikuti dengan tambahan biaya. Tambahan output karena penerapan teknologi lebih besar dari tambahan biaya, sebesar daerah c. Apabila petani memilih berproduksi di Q1 pada kondisi penerapan teknologi baru pada kurva S’ menyebabkan tambahan surplus produsen sebesar daerah b, karena biaya yang dikeluarkan oleh produsen pada tingkat output Q1 lebih rendah dibandingkan pada kondisi kurva S. Dengan kata lain penerapan teknologi meningkatkan kesejahteraan produsen atau petani.
112
P S S’ P1 c
a b S
d S’ 0
Q1
Q
Q2
Sumber: Ellis (1992) Gambar 15. Dampak Teknologi Baru dan Surplus Produsen
3.1.8.3 Kebijakan Subsidi Input dan Surplus Produsen
Sebelum
kebijakan subsidi input diimplementasikan kepada petani,
surplus produsen yaitu P1 x Q1 dikurangi daerah b ( jumlah biaya variabel), yaitu daerah a. Kebijakan subsidi input dimana petani membeli input yang telah disubsidi
oleh pemerintah
per setiap unit input
akan
menggeser
kurva
penawaran S ke S’. Besarnya surplus produsen. dengan adanya kebijakan subsidi input yaitu P1 x Q2 yaitu a + b + c, yang diperoleh dari selisih a + b + c + d dengan daerah
d.
Tambahan surplus produsen dengan kebijakan subsidi
diperoleh dari selisih antara sesudah dengan sebelum subsidi input, yaitu ( a + b + c) – (a) yaitu b + c, ditunjukkan pada Gambar 16. Apabila petani memilih berproduksi di Q1 pada kurva S’ menyebabkan tambahan surplus produsen sebesar derah b. Dengan kata lain kebijakan subsidi
113
input menyebabkan biaya yang dikeluarkan oleh petani terhadap input berkurang sehingga surplus produsen naik sebesar daerah b. Kebijakan subsidi input menyebabkan tambahan output naik dari Q1 ke Q2 dengan asumsi harga konstan.
S
P
S’ P1 a
c
b
d S
0
Q1
Q2
Q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 16. Dampak Perubahan Surplus Produsen dan Subsidi Input Tambahan penerimaan kotor kenaikan output karena kebijakan subsidi lebih besar dari tambahan biaya yang dikeluarkan, sehingga tambahan output menghasilkan tambahan surplusdan produsen sebesar c. Dengan asumsi kebijakan subsidi input diimplementasi sesuai dengan tujuannya, akan berdampak terhadap perbaikan kesejahteraan produsen. 3.1.8.4 Dampak Stabilitas Harga terhadap Kesejahteraan
Pada musim panen raya harga gabah anjlok sehingga produsen dirugikan sebaliknya pada masa panceklik harga naik sehingga konsumen dirugikan. Masa
114
panceklik dapat terjadi karena kondisi gagal panen, pengaruh iklim dan bencana alam. Salah satu tujuan pemerintah
mengeluarkan Inpres tentang Kebijakan
Perberasan yaitu pentingnya stabilisasi ekonomi. Mengingat beras merupakan komoditi strategis, maka pemerintah berkepentingan menjaga stabilitas harga beras. Untuk menjaga stabilitas harga tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan harga. Salah satu diktum dalam Inpres tentang Kebijakan Perberasan yaitu keputusan pemerintah membeli gabah petani melalui Harga Pembelian Pemerintah baik di tingkat petani dan penggilingan.
P D
j P2
A a
b
Pe
d
c P1
g
i 0
e
Q2
f a
B
h Qe
D Q1
Q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 17. Dampak Stabilisasi Harga terhadap Kesejahteraan Harga P1 dan P2 adalah harga pasar pada saat panen gagal dan berhasil, sedangkan Pe adalah harga stabilisasi. Kurva penawaran pada Gambar 17 tidak kelihatan, tetapi terletak diantara titik A dan B. Pada kondisi gagal panen, produksi berkurang menjadi Q2, dengan harga yang lebih tinggi pada P2. Surplus
115
konsumen dalam kondisi panen gagal adalah daerah a, sedangkan surplus produsen daerah a + c + i. Surplus konsumen pada kondisi harga stabilisasi yaitu daerah a + b + j, sedangkan surplus produsen c + i. Untuk mempertahankan stabilitas harga tetap di Pe pada kondisi gagal panen maka pemerintah menjual stok sebesar d + g. Penjualan stok pada harga yang lebih rendah dari P2 menguntungkan konsumen, dimana surplus konsumen sebesar a + b + j sehingga keuntungan konsumen menjadi a + b, dari selisih surplus konsumen pada kondisi harga stabil (daerah a + b + j) dengan kondisi gagal panen (daerah j). Sebaliknya, produsen dirugikan sebesar daerah a, yang diperoleh dari selisih surplus produsen kondisi gagal panen (a + c + i) dengan kondisi harga stabil (c + i). Pada kondisi panen berhasil, produksi naik menjadi Q1, dengan harga yang lebih rendah pada P1. Surplus konsumen dalam kondisi panen berhasil adalah daerah a + b + c + d + e + j, sedangkan surplus produsen daerah g + h + i. Untuk mempertahankan stabilitas harga tetap di Pe pada kondisi panen berhasil maka pemerintah membeli gabah sebesar e + f + h. Pemerintah membeli gabah untuk keperluan stok pada harga Pe yang lebih tinggi dari harga pada kondisi panen berhasil, yaitu P1. Tindakan pemerintah membeli gabah sebesar Q1 menguntungkan produsen, dimana surplus produsen sebesar c + d + e + f + i + g + h sehingga keuntungan produsen menjadi c + d + e + f, dari selisih surplus produsen pada kondisi harga stabilisasi (daerah c + d + e + f + I + g + h) dengan kondisi panen berhasil (daerah g + h + i). Sebaliknya, konsumen dirugikan sebesar daerah c + d
116
+ e, yang diperoleh dari selisih surplus konsumen kondisi panen berhasil (a + b + c + d + e + j) dengan kondisi harga stabil (a + b + j). Apabila dibandingkan antara kondisi panen gagal dengan kondisi panen berhasil, diperoleh kesimpulan antara lain (1) penerimaan pemerintah dalam kondisi panen gagal, sebesar daerah d + g sama dengan pengeluaran pemerintah membeli gabah ketika panen berhasil, yaitu daerah e + f + h, (2) konsumen rugi sebesar daerah d, karena c + e sama dengan a + b, (3) produsen untung sebesar daerah d + e + f. Dengan menjumlahkan kerugian konsumen dengan keuntungan produsen, maka kesejahteraan bersih sebesar daerah e + f. Stabilisasi harga belum mencerminkan stabilisasi pendapatan, karena tergantung dari penawaran dan permintaan gabah, juga seberapa besar produk dijual produsen ke pasar. Pada kenyataannya, harga pembelian pemerintah dalam kondisi panen berhasil tidak selalu berada di Pe, karena persyaratan kualitas gabah yang harus dipenuhi oleh petani. Apabila persyaratan kualitas gabah dipenuhi, seperti kadar air dan kadar kotoran untuk Gabah Kering Panen maka harga beli pemerintah pada harga Pe. Pemerintah melalui Bulog membeli Gabah Kering Petani sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah jika kadar airnya maksimal 25 persen. Pemerintah melalui Inpres tentang Kebijakan Perberasan
telah
menetapkan instrument kebijakan pada kondisi panen gagal. Instrumen kebijakan tersebut antara lain penyaluran cadangan beras pemerintah dan melakukan impor beras. Pada kondisi panen gagal, produksi gabah/beras dalam negeri berkurang sehingga harga naik sehingga stabilisasi harga beras terganggu. Salah satu fungsi
117
penyaluran cadangan beras pemerintah untuk menstabilisasi harga beras di pasar melalui kegiatan operasi pasar murni. 3.1.8.5 Dampak Penerapan Teknologi terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 18 menunjukkan kurva penawaran dan permintaan masing-masing S0 dan D, sedangkan harga dan jumlah keseimbangan pada po dan qo. Sebelum penerapan teknologi, surplus konsumen adalah a sedangkan surplus produsen daerah b + e. Penerapan teknologi baru akan menggeser kurva penawaran ke S1, sehingga harga keseimbangan turun ke po sedangkan jumlah output meningkat menjadi q1.
p
S0 S1 a
p0 b p1
e
c d f
h
g
D q0
q1
q
Sumber: Ellis, F (1992) Gambar 18. Kesediaan Membayar Produsen dan Konsumen Dampak
penerapan
teknologi
baru
terhadap
kesejahteraan
menyebabkan surplus konsumen meningkat dari daerah a menjadi a + b + c + d dengan keuntungan sebesar b + c + d. Jika kurva permintaan merupakan
118
permintaan turunan dari industri yang memaksimalkan keuntungan, maka daerah b + c + d merupakan kesediaan membayar dari industri. Surplus produsen sebelum inovasi teknologi adalah daerah b + e dan e + f + g setelah inovasi, sehingga keuntungan industri adalah daerah f + g - b. Penerimaan kotor produsen pada qo adalah po x qo yaitu daerah b + c + e + f, sedangkan surplus produsen adalah penerimaan kotor (b + c + e + f ) dikurangi dengan jumlah biaya variabel (c + f) yaitu b + e. Jika produsen memutuskan menghasilkan output di qo dan menjual harga di po, pada kondisi penerapan teknologi baru, maka keuntungan produsen meningkat sebesar c + f. Tambahan keuntungan tersebut karena pergeseran kurva penawaran ke kanan menyebabkan biaya marginal berkurang, sehingga jumlah biaya variabel untuk menghasilkan qo berkurang. Jika produsen lebih mempertimbangkan peningkatan produksi yang memaksimalkan keuntungan tetapi kurang mempertimbangkan penyesuaian harga produk, maka keuntungan produsen meningkat sebesar c + d + f + g + h, tetapi diikuti dengan harga produk turun. Oleh karena itu, tingkat keuntungan produsen tidak selalu sama dengan c + d + f + g + h, karena harga output di pasar berada di p1. Dampak kesejahteraan seharusnya ditentukan pada kondisi harga dan kuantitas keseimbangan. Pergeseran kurva penawaran ke kanan menjadi S1 menyebabkan biaya marginal turun, disisi lain output bertambah menjadi q1. Penambahan output q menyebabkan permintaan input naik. Penerapan teknologi yang sifatnya kapital intensif menyebabkan permintaan tenaga kerja turun sehingga pengangguran bertambah, juga diikuti dengan upah buruh yang rendah. Dengan demikian,
119
kesejahteraan pekerja/buruh tani yang menurun berdampak terhadap kesejahteraan sektor lainnya. Dengan asumsi harga di pasar lainnya tidak dipengaruhi oleh suku bunga, masing-masing produsen tidak dapat mempengaruhi harga pasar, dan permintaan memiliki elastisitas harga silang yang kecil, maka dampak perubahan teknologi terhadap
kesejahteraan bersih dapat dihitung, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 18. Keuntungan bersih produsen dan konsumen dengan adanya perubahan teknologi adalah daerah c + d + f + g, yang menggambarkan perubahan daerah diatas kurva penawaran dan dibawah kurva permintaan, dimana semua produsen dan konsumen bersedia membayar. Perubahan teknologi menghasilkan surplus ekonomi yang positif yang dapat didistribusikan untuk mencapai Pareto Optimum. Pada kondisi Pareto Optimum kompensasi diberikan kepada pihak yang dirugikan. Jika daerah b > f + g, maka produsen dirugikan sedangkan konsumen diuntungkan. Seharusnya kriteria untuk melakukan perubahan (perubahan teknologi) yaitu baik produsen dan konsumen diuntungkan, atau setidaknya konsumen yang diuntungkan memberikan kompensasi kepada produsen. Sebagai contoh, jika produsen minus 10 dan konsumen untung 20, maka tanpa kompensasi perubahan tersebut tidak dibenarkan kecuali beban produsen tidak lebih dua kali dari beban konsumen. 3.1.8.6 Dampak Harga Maksimum, Harga Dasar dan Dukungan Harga Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Dalam Gambar 19, kurva permintaan dan kurva penawaran yaitu D dan S. Pada keseimbangan pasar, harga dan jumlah keseimbangan adalah po dan qo. Pada harga maksimum p1, produsen bersedia menawarkan q1 daripada qo sehingga
120
surplus produsen hilang sebesar d + e. Pada harga p1 konsumen bersedia membeli jumlah output pada q4, tetapi jumlah yang diproduksi adalah q1 sehingga jumlah output dikonsumsi terbatas. Dengan asumsi efisiensi (pasar bersedia membeli pada jumlah yang diproduksi), pengaruh surplus konsumen setara dengan harga naik ke p2, konsumen membayar (p2 – p1) q1. Dengan demikian, perubahan surplus konsumen sebesar daerah d – b. Dampak bersih produsen ditambah konsumen akan kehilangan sebesar b + e. Jika S dan D adalah kurva penawaran kompensasi dan kurva permintaan, yang mewakili konsumen/yang menawarkan sumberdaya, yang merupakan ukuran nyata dari Compensating Variations (CV) atau Equivalent Variations (EV). Compensating Variations adalah sejumlah uang yang dapat diambil dari produsen setelah adanya perubahan sehingga kesejahteraannya sama dengan sebelum adanya perubahan, sedangkan Equivalent Variations
adalah berapa
banyak uang perlu diberikan kepada produsen jika tidak terjadi perubahan agar kesejahteraan sama dengan jika terjadi perubahan. Perubahan yang dimaksud karena adanya campur tangan pemerintah melalui kebijakan harga maksimum, harga dasar, dukungan harga, pajak atau subsidi. Dengan demikian, skema kompensasi harus ada sehingga setiap orang lebih baik tanpa harga maksimum. Sebagai contoh, produsen yang kehilangan daerah d + e dapat hanya membayar daerah d ke konsumen dan konsumen memperoleh keuntungan daerah d tanpa menyerahkan derah b. Harga maksimum akan diberlakukan jika ada kelompok yang menerima keuntungan. Gambar 19 menunjukkan bahwa harga maksimum membantu konsumen jika daerah d > b.
121
Gambar 19 menunjukkan bahwa harga maksimum menyebabkan terjadi kekurangan jumlah output sebesar q4-q1 sehingga setiap individu tidak mungkin mengkonsumsi sebanyak yang diinginkan pada tingkat harga yang baru dan sebagian konsumen tidak memperoleh keuntungan pada tingkat harga yang lebih rendah.
p S p2 p3
a d
b e
p1
c
g f D
h
q1
q0 q3
q4
q
Just, et al. (1982) Gambar 19. Dampak Harga Maksimum, Harga Dasar dan Dukungan Harga Terhadap Kesejahteraan Jika harga dasar pada Gambar 19 adalah p2 maka konsumen hanya mampu membeli q1. Konsumen kehilangan daerah a + b, sementara keuntungan produsen daerah a – e. Kehilangan bersih karena harga dasar adalah daerah b + c. Dengan kompensasi setiap orang lebih baik tanpa harga dasar dibandingkan dengan harga maksimum. Melalui transfer lump-sum sebesar daerah a dari konsumen ke produsen pada harga dan jumlah keseimbangan po dan qo, produsen akan lebih baik pada daerah e dan konsumen akan lebih baik pada daerah b pada harga dasar.
122
Kadang harga dasar atau harga yang dikendalikan
oleh pemerintah
menimbulkan adanya halangan memasuki akses ke pasar. Tindakan pemerintah tersebut menimbulkan perbedaan dalam penawaran dan permintaan terhadap output. Asumsikan harga p2 pada Gambar 19 menunjukkan dukungan harga oleh pemerintah. Pemerintah menetapkan harga p2 dengan membeli jumlah output sebesar q3 – q1, yang membentuk perbedaan penawaran dan permintaan terhadap harga. Dampak dukungan harga terhadap
kesejahteraan adalah konsumen
kehilangan daerah a + b sedangkan keuntungan produsen menjadi a + b + c. Keuntungan produsen dan konsumen secara bersama-sama adalah daerah c pada keseimbangan pasar. Pemerintah mengeluarkan biaya untuk menutupi keuntungan tersebut dengan mengeluarkan anggaran sebesar p2 (q3 –q1) atau daerah b + c + e + f + g + h. Pengeluaran ini dibiayai oleh pembayar pajak dan menyebabkan kerugian bersih ketiga kelompok secara bersama-sama menjadi b + e + f + g + h. Jumlah output tersebut dibeli oleh pemerintah dan dapat dijual kembali ke pasar internasional atau disimpan untuk menutupi keku rangan. Dukungan harga berlaku dalam bidang ekonomi pertanian (dalam konteks Indonesia dukungan harga untuk gabah). Pada musim panen raya terjadi ekses penawaran, yang mendorong harga gabah turun, sehingga pendapatan produsen turun. Dukungan harga dibentuk untuk melindungi petani dari pendapatan yang tidak memadai karena sifat alami dari harga pertanian yang tidak stabil. Dari Gambar 19, transfer lump-sum sebesar daerah a dari konsumen ke produsen dan b + c dari pembayar pajak ke produsen menyebabkan keuntungan produsen lebih
123
besar, dengan kerugian konsumen lebih kecil dan pengeluaran yang kecil oleh pembayar pajak. 3.1.8.7 Dampak Pajak Ad Valorem dan Subsidi Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Pajak ad valorem adalah pajak yang dibayar per unit dari jumlah output, seperti pajak penjualan. Jika p adalah harga yang dikenakan pada produsen dan t adalah pajak ad valorem, maka pajak yang harus dibayar oleh konsumen untuk setiap unit barang yang dibeli adalah p + t. Dengan demikian efek pajak adalah menurunkan kurva permintaan efektif sehingga kurva permintaan menjadi D1. Harga keseimbangan po dan jumlah keseimbangan qo berubah menjadi keseimbangan baru yaitu harga keseimbangan p1 dan jumlah keseimbangan p1. Jarak harga p2 – p1 adalah sama dengan t sehingga p2 mewakili harga konsumen efektif. Dampak pajak terhadap kesejahteraan yaitu produsen kehilangan daerah d + e dan konsumen kehilangan a + b. Baik produsen dan konsumen kehilangan dari drive pajak karena perpotongan penawaran dan permintaan. Pemerintah memperoleh keuntungan dari pajak sebesar (p2 - p1) . q1 atau sebesar daerah a + d. Dampak kerugian yang diakibatkan oleh pajak disebut dengan deadweight loss yaitu daerah b + c. Pajak memiliki dampak distorsi sebab produsen didorong untuk menyesesuaikan dengan harga marginal yang berbeda dibandingkan dengan yang dialami oleh konsumen. Kemungkinan kondisi yang lebih baik yaitu memberlakukan pajak lump-sum kepada produsen dan konsumen masing-masing daerah d dan e, sehingga harga marginal tidak efektif. Dengan cara ini, harga
124
keseimbangan pada po dan jumlah keseimbangan qo masih tetap dapat dipertahankan, sehingga daerah b + e tidak perlu hilang. Kasus subsidi mirip dengan pajak ad valorem tetapi dengan arah yang berbeda. Apabila pemerintah ingin mendorong produksi
beberapa komoditas
(gabah), maka pemerintah melakukan tindakan subsidi. Misalkan subsidi, dinotasikan dengan s, yang dibayar kepada kas publik sebesar per unit output. Gambar 20 menunjukkan subsidi secara efektif akan menggeser kurva permintaan ke kanan menjadi Do, sehingga terjadi keseimbangan baru pada harga keseimbangan p2 dan jumlah keseimbangan q2. Dengan subsidi, harga produsen yang efektif pada p2 menyebabkan keuntungan produsen menjadi a + b + c, sedangkan keuntungan
konsumen adalah d + e + f. Jumlah subsidi yang
dibayarkan oleh pemerintah (p2 - p1). q2 yang mewakili kerugian sebesar a + b + c + d + e + f kepada pembayar pajak. Subsidi menyebabkan kesejahteraan bersih hilang sebesar daerah g.
p s t p2 p0 P1
S a d
b e
c
g
D0
f
D' q1
q0
q2
D q
Just, et al. (1982) Gambar 20. Dampak Pajak dan Subsidi Terhadap Kesejahteraan
125
Tanpa pertimbangan lain (ketahanan pangan melalui peningkatan produksi gabah), pendekatan yang lebih baik dalam membantu konsumen adalah mentransfer lump-sum sebesar a + b + c dari pembayar pajak ke produsen. Konsumen juga dapat lebih sejahtera tanpa subsidi
dengan cara melakukan
transfer lump-sum d + e + f dari pembayar pajak ke konsumen. Dengan demikian, pembayar pajak memperoleh daerah g, sementara produsen dan konsumen keadaannya lebih baik dengan subsidi. Disisi lain, jika faktor ketahanan pangan dengan peningkatan produksi gabah penting, maka analisis kesejahteraan ekonomi dapat memberikan informasi kepada pembuat kebijakan tentang biaya biaya yang diperlukan untuk mencapai peningkatan ketahanan pangan tersebut.
3.1.8.6 Dampak Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Ekonomi Kesejahteraan
Harga Pembelian Pemerintah terhadap harga gabah dan beras yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Inpres No 2 Tahun 2005, maka penetapan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) menurut keputusan Inpres No. 9 tahun 2001 tanggal 31 Desember 2001 tidak berlaku lagi. Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dikeluarkan oleh pemerintah dikarenakan sudah tidak mungkin lagi melaksanakan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG). Pelaksanaan HDG tidak dimungkinkan lagi karena anggaran pemerintah yang terbatas. karena tidak mungkin setiap terjadi kelebihan penawaran beras harus dibeli oleh pemerintah. Kebijakan HPP dimaksudkan agar pemerintah dapat merencanakan anggaran untuk pembelian beras dengan pasti. Dampak kebijakan
126
harga pembelian pemerintah terhadap surplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada Gambar 21. Apabila dilakukan
suatu
kebijakan dengan mengadakan
subsidi
positif terhadap output (harga pembelian pemerintah terhadap gabah), maka harga output akan menjadi lebih tinggi dan kurva permintaan akan bergeser ke sebelah kanan. Jika diasumsikan tidak ada perdagangan luar negeri, maka pada keadaan awal (Po dan Qo), maka surplus konsumen adalah sebesar PoCB dan surplus produsen sebesar PoCA.
Just, et al. (1982) Gambar 21. Dampak Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah Terhadap Surplus Konsumen dan Produsen Implikasi kebijakan Harga Pembelian Pemerintah terhadap Gabah Kering Panen atau Gabah Kering Giling dilakukan maka kurva permintaan akan bergeser ke sebelah kanan karena pemerintah membeli kelebihan penawaran sebesar stok yang telah ditetapkan yaitu sebesar delapan persen (Q2-Q1), hal ini dilakukan untuk melindungi produsen dari kerugian. Maka surplus konsumen menjadi PtFD
127
dan surplus produsen menjadi PtFA. Kebijakan ini akan menyebabkan produksi meningkat sebesar Q2 sedangkan jumlah yang diminta oleh konsumen sebesar Q1. Pengeluaran pemerintah akibat diberlakukannya kebijakan harga pembelian pemerintah sebesar Q1EFQ2. Surplus konsumen mengalami penurunan sebesar PoCEPt dan surplus produsen mengalami peningkatan sebesar P0CFPt. 3.2 Kerangka Berpikir Penelitian
Gambar 22 menunjukkan hubungan antara instrumen kebijakan dengan tujuan kebijakan perberasan, disisi lain instrumen kebijakan akan menciptakan efek samping. Implementasi kebijakan perberasan diperhadapkan dengan kendala, baik yang dapat dikendalikan maupun yang tidak dapat dikendalikan. Keempat variabel endogenous baik ketahanan pangan, stabilisasi ekonomi, ekonomi pedesaan dan pendapatan petani saling terkait. Tujuan kebijakan seperti peningkatan produktifitas padi, kualitas padi dan produksi beras akan meningkatkan ketahanan pangan. Tujuan kebijakan perberasan untuk meningkatkan pendapatan petani akan tercapai melalui peningkatan produktifitas didukung kualitas padi/gabah yang baik. Model ekonometrik kebijakan perberasan dibangun berdasarkan teori kuantitatif kebijakan ekonomi Timbergen, sehingga yang termasuk sebagai variabel endogen yaitu tujuan kebijakan dan efek samping, sedangkan instrumen kebijakan, kendala yang dapat dikendalikan tidak dapat dikendalikan bagian variabel eksogen. Merujuk Ellis (1992), di dalam analisis kebijakan ekonomi kemungkinan terjadi instrumen kebijakan berubah menjadi variabel endogen. Inpres tentang kebijakan perberasan, kedudukan impor beras dalam model ekonometrika bisa sebagai variabel eksogen dan endogen.
128
129
Impor beras sebagai instrumen kebijakan apabila produksi gabah/beras dalam negeri tidak dapat memenuhi permintaan pangan/beras, atau dalam rangka menjaga kepentingan petani dan konsumen. Kondisi demikian menempatkan impor beras sebagai variabel eksogen. Sebaliknya efek samping
instrumen
kebijakan perberasan menyebabkan produktitas padi/gabah naik sehingga produksi beras juga naik, dengan demikian mengurangi impor beras. Kondisi demikian menyebabkan impor beras dimasukkan sebagai varibel endogen. Stiglizt (2000) menyebutkan konsekwensi kebijakan pemerintah sering sangat sulit untuk diprediksi dengan akurat, dan meskipun suatu kebijakan sudah diimplementasikan, sering terjadi kontraversi karena dampak kebijakan pemerintah tersebut. Terkait pernyataan tersebut, dalam konteks kebijakan perberasan sering terjadi kontraversi terhadap kebijakan yang sudah dilaksanakan: (1) apakah perlu tidak melakukan impor beras jika produksi beras dalam negeri naik, (2) siapa yang diuntungkan dengan kebijakan perberasan, apakah produsen atau konsumen perberasan, dan (3) apakah petani perlu disubsidi atau tidak. Gambar 22 dikembangkan dari kebijakan perberasan yang terdapat dalam Inpres, tetapi kesejahteraan sosial sebagai tujuan kebijakan tidak secara eksplisit dinyatakan. Myles (1995) menyebutkan bahwa suatu kebijakan optimal adalah kebijakan yang fisibel yang menghasilkan tingkat kesejahteraan tertinggi. Oleh karena itu, Gambar 23 dikembangkan menjadi kerangka konseptual kebijakan perberasan untuk melengkapi Gambar 22. Pada gambar 22 tersebut ditunjukkan keterkaitan tujuan kebijakan, efek samping, kendala dan instrumen kebijakan. Kendala yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah yaitu harga pangan dunia dan perubahan iklim.
130
131
Efektifitas kebijakan perberasan apabila tujuan kebijakan seperti peningkatan pendapatan, peningkatan ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi tercapai. Gambar 23 menunjukkan indikator yang berhubungan dengan peningkatan pendapatan antara lain: (1) luas areal panen, (2) produktifitas, (3) produksi padi, (4) harga pupuk bersubsidi, (5) kadar air gabah, (6) nilai tukar petani padi, (7) harga gabah kering panen, (8) indeks harga diterima petani padi dan (9) indeks harga dibayar petani padi. Indikator yang berhubungan dengan peningkatan ketahanan pangan antara lain: (1) produksi beras, (2) tersedianya benih, (3) persediaan beras masyarakat, (4) persediaan beras Bulog, (5) persediaan akhir beras di Bulog, (6) persediaan akhir beras pemerintah, (8) surplus beras, dan (9) persediaan beras domestik. Sedangkan indikator stabilisasi ekonomi terdiri dari (1) harga beras di pengecer, (2) penyaluran beras Bulog, (3) penyaluran beras pemerintah, (4) penyaluran beras Raskin, (5) harga impor beras, dan (6) harga beras pembelian Pemerintah dari Bulog. Instrumen kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terdiri dari kebijakan sarana produksi pertanian (saprodi) terdiri dari HET pupuk bersubsidi, kebutuhan pupuk bersubsidi, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi. Kebijakan lainnya yaitu kebijakan harga pembelian pemerintah terhadap gabah kering panen, harga beras pembelian pemerintah dari Bulog, pengadaan beras oleh Bulog, dan jumlah rumah tangga penerima raskin. Efektifitas kebijakan pemerintah diukur dari tercapainya tujuan kebijakan dalam Gambar 23 diatas, dengan kata lain kebijakan pemerintah efektif apabila tujuan tercapai. Disamping itu, kebijakan pemerintah perlu dianalisis terhadap
132
kesejahteraan masyarakat, yang diukur dari besarnya surplus produsen dan konsumen. Besarnya surplus produsen dan konsumen memberikan informasi tentang siapa dan berapa besar manfaat dari suatu kebijakan, khususnya kebijakan perberasan. Instrumen kebijakan perberasan merupakan variabel eksogen yang mempengaruhi variabel endogen, disisi lain, side effects merupakan variabel endogen.
3.3 Hipotesis
Hipotesis penelitian yaitu: 1. Implementasi kebijakan perberasan seperti bantuan benih langsung, pupuk bersubsidi, perbaikan jaringan irigasi, harga pembelian pemerintah efektif pada tingkat petani. 2. Kebijakan perberasan efektif terhadap peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan dan stabilisasi ekonomi. 3. Kebijakan konsumen.
perberasan
meningkatkan
kesejahteraan
produsen
dan