56 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS Pada tataran konsep, Nakajima (1986) memandang pertanian sebagai industri menjadi tiga katagori utama, yaitu (1) karaktersistik teknologi produksi pertanian, (2) karakteristik rumahtangga petani (farm household) sebagai satu unit ekonomi, dan (3) karakteristik produk-produk pertanian sebagai komoditas.
Mempelajari perilaku
ekonomi rumahtangga petani berarti suatu kajian yang memfokuskan pada karakteristik kedua. Karakteristik tersebut sangat penting dipelajari mengingat sebagian besar sektor pertanian di dunia berkembang, termasuk Indonesia, dikuasai oleh rumahtangga petani tersebut. Sebelum mempelajari rumahtangga petani, perlu melihat konsep rumahtangga sebagai unit ekonomi atau sebagai entitas ekonomi. Secara teoritik rumahtangga dapat dipandang sebagai satu unit ekonomi yang perilakunya dapat dipelajari. Rumahtangga dipandang sebagai unit ekonomi yang mempunyai sejumlah tujuan yang ingin dipenuhi dengan memanfaatkan sejumlah sumberdaya yang tersedia. Analog dengan rumahtangga adalah perusahaan (firm) dalam teori ekonomi, merupakan organisasi ekonomi yang bertujuan memaksimumkan keuntungan dengan menggunakan sejumlah sumberdaya yang dikuasai perusahaan.
Adanya tujuan yang ingin dicapai dan adanya sejumlah
sumberdaya yang tersedia, perilaku rasional organisasi perusahaan dapat dipelajari. Sama halnya dengan unit rumahtangga, perilaku rasionalnya dapat dipelajari jika rumahtangga sebagai satu unit ekonomi mempunyai tujuan yang ingin dicapai dan ada sejumlah sumberdaya, yang tentunya terbatas, yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tersebut. Pada rumahtangga tujuan yang ingin dicapai adalah memaksimumkan fungsi kegunaan atau fungsi utilitas dengan memanfaatkan sejumlah sumberdaya rumahtangga.
57 Rumahtangga, dengan demikian, harus diasumsikan merupakan unit ekonomi yang mempunyai fungsi utilitas tertentu. Jika demikian, maka perilaku rasional rumahtangga adalah perilaku di dalam menuju titik keseimbangan yaitu maksimum utilitas. Keunikan rumahtangga sebagai unit ekonomi adalah adanya hubungan simultan antara perilaku produksi dan perilaku konsumsi, yang tidak terjadi pada organisasi perusahaan. Perusahaan sebagai suatu unit ekonomi akan dipandang sebagai organisasi yang hanya melakukan kegiatan produksi barang atau jasa untuk mencari keuntungan maksimum. Konsumsi biasa diturunkan dari perilaku individu yang perilaku rasionalnya adalah memaksimumkan kepuasan dengan kendala sejumlah anggaran tertentu, yang kemudian secara agregat melahirkan fungsi permintaan. Adanya hubungan simultan antara produksi dan konsumsi dalam rumahtangga menyebabkan perilaku rumahtangga memerlukan landasan teori ekonomi yang unik. 3.1. Teori Alokasi Waktu Becker Salah satu teori ekonomi rumahtangga dikemukakan oleh Becker (1965) atau Becker (1976). Becker memulai teorinya dengan menyoroti waktu yang tersedia bagi rumahtangga. Waktu menurut Becker merupakan suatu sumberdaya yang bersifat langka bagi rumahtangga. Hampir 50 persen waktu yang tersedia dalam kehidupan rumahtangga digunakan untuk kegiatan rumahtangga dalam bentuk istirahat, memasak, rekreasi, dan lain-lain. Begitu besar bagian waktu rumahtangga yang digunakan untuk kegiatan tersebut, sehingga
persoalan alokasi
dan efisiensi waktu menjadi penting dalam
mempelajari kesejahteraan rumahtangga. Rumahtanga diasumsikan akan mengkombinasikan waktu dengan sejumlah barang untuk menghasilkan suatu produk yang disebut barang Z yang secara langsung
58 akan menghasilkan utilitas tertentu. Konsep ini berbeda dengan teori konsumsi yang akan menghasilkan utilitas secara langsung dengan cara mengkonsumsi barang atau jasa tertentu. Manurut Becker, yang menghasilkan utilitas bukan barang atau jasa tersebut, tetapi suatu produk akhir yang disebut barang Z tersebut. Tentu saja secara praktis mengidentifikasi barang Z tidak semudah mengidentifikasi barang atau jasa yang biasa dihasilkan oleh kegiatan perusahaan.
Misalnya rumahtangga mengkombinasikan
sejumlah barang seperti sayuran dan bumbu dengan sejumlah waktu yang diperlukan untuk memasak dan menyajikan masakan akan menghasilkan barang Z untuk dinikmati rumahtangga. Contoh lain, menggunakan TV sebagai barang elektronik dikombinasikan dengan waktu menonton acara TV akan menghasilkan barang Z yang juga akan menimbulkan utilitas tertentu. Barang Z tersebut sifatnya abstrak, tetapi menimbulkan utilitas tertentu. Memproduksi barang Zi memerlukan tekonologi tertentu, sehingga Becker juga mengajukan bahwa rumahtangga mempunyai fungsi produksi tertentu yang dinyatakan dengan Zi = fi(Xi, Ti). Di sini barang Z ditentukan oleh input dalam bentuk vektor barang Xi, dan vektor waktu Ti. Menggunakan kosep ini, kegiatan rumahtangga dipandang sebagai unit ekonomi yang melakukan dua kegiatan sekaligus, yaitu kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi. Fungsi utilitas yang akan dimaksimumkan rumahtangga adalah mengkombinasikan berbagai barang Zi yang dapat dinyatakan dengan U= U(Zi, ..., Zm). Karena Zi = fi(Xi, Ti), maka U=(Xi, …, X m, Ti, …, T m). Di dalam memaksimumkan fungsi utilitas tersebut, rumahtangga dihadapkan pada kendala anggaran g(Zi, ..., Zm)=Z, dimana g adalah fungsi pengeluaran rumahtangga dan Z adalah maksimum sumberdaya rumahtangga.
59 Secara lebih praktis, memaksimumkan fungsi tujuan U=(Xi, …, X m, Ti, …, T m) dibatasi dengan kendala anggaran untuk pembelian barang dan kendala waktu yang tersedia di dalam rumahtangga. Nilai pembelian barang dapat dirumuskan dengan • piXi, dimana pi adalah harga barang ke-i. Nilai barang yang dibeli tersebut tentunya harus sama dengan nilai penerimaan rumahtangga yang diperoleh dari aktivitas kerja Tw*W, dimana W adalah penerimaan per unit T atau upah, dan penerimaan yang bukan karena aktivitas kerja, V. Secara matematik dinyatakan • piXi = I =Tw*W +V, dimana I adalah besaran nilai barang yang sama dengan nilai penerimaan uang rumahtangga. Kendala waktu dinyatakan dengan • T i=Te=T-Tw, dimana Te adalah jumlah waktu yang digunakan untuk kegiatan di dalam rumahtangga, T adalah total waktu yang tersedia di rumahtangga, dan Tw adalah waktu kerja untuk memperoleh pendapatan. Fungsi produksi Zi = fi(Xi, Ti), dapat dinyatakan juga sebagai Ti• tiZi dan Xi• biZi, dimana ti adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit barang Zi, dan bi adalah barang yang diperlukan untuk untuk menghasilkan satu unit Zi.
Memanfaatkan
hubungan T pada kendala waktu, maka kedua kendala tersebut dapat disederhanakan menjadi • piXi +• T iW = T*W +V• S. Di sini S oleh Becker disebut sebagai full income. Untuk menyederhanakan, disini W dianggap konstan. Full income adalah penerimaan rumahtangga jika waktu yang tersedia diukur dengan tingkat upah ditambah dengan penerimaan yang diperoleh dari bukan aktivitas kerja. Full Income dapat dibelanjakan untuk barang Z, baik secara langsung melalui pengeluaran • pibiZi atau secara tidak langsung melalui konsumsi waktu (tidak bekerja mencari pendapatan) • WtiZi. Adanya konsep full income memungkinkan substitusi antara konsumsi barang dan penggunaan waktu, termasuk waktu untuk kegiatan rumahtangga.
Di samping itu,
60 konsep full income juga memungkinkan substitusi antara pendapatan menurut konsep ekonomi dan pendapatan menurut konsep non-ekonomi.
Unit rumahtangga dapat
memilih untuk bekerja memperoleh pendapatan atau tidak bekerja dengan melakukan aktivitas rumahtangga atau bahkan memilih istirahat, dengan tujuan memaksimumkan utilitas.
Jika rumahtangga memang akan memaksimumkan utilitas, maka dapat
dirumuskan kondisi keseimbangan yang akan dicapai yaitu Ui=• U/• Zi= ëði, dimana ð= pibi+Witi dan ë diinterpretasikasebagai utilitas marginal pendapatan. Teori yang dikemukakan Becker dapat diperjelas dengan bantuan grafik seperti telihat pada Gambar1. Pada Gambar 1, sumbu vertikal menunjukkan jumlah barang Z yang dihasilkan oleh rumahtangga. Barang Z tersebut diasumsikan dihasilkan dengan mengalokasikan waktu yang tersedia di dalam rumahtangga. Waktu tersebut dinyatakan dalam sumbu horisontal. Total waktu yang tersedia misalnya sebesar T. Pada sumbu ini waktu rumahtangga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu waktu yang digunakan untuk kegiatan rumahtangga, waktu yang digunakan untuk bekerja memperoleh pendapatan, dan waktu untuk bersantai. Kurva PT adalah kurva produk total menghasilkan barang Z dengan memanfaatkan waktu kegiatan rumahtangga. Garis lurus S menggambarkan nilai tenaga kerja rumahtangga dinilai dengan tingkat upah riil w = W/p. Tingkat upah riil yang berlaku digambarkan dengan garis lurus putus-putus ww. Pada kondisi keseimbangan, yaitu dimana rumahtangga memaksimumkan utilitas, garis upah ww akan akan menyinggung kurva produk total PT dan kurva indiferen I1. Pada kondisi ini, tenaga kerja rumahtangga akan dialokasikan untuk santai sebanyak TT1, untuk kegiatan bekerja memperoleh pendapatan sebanyak T1-T2, dan untuk kegiatan rumahtangga sebanyak T2-O.
61
Z
Z w1
I2
I1 F
G
w B
C
S
PT A
E I w
H D
0
T3
T2
T4
T1
T
Gambar 1. Efek Perubahan Upah Pada Model Ekonomi Rumahtangga Becker Sumber: Ellis,1988 (dimodifikasi) Pada Gambar 1 juga diperlihatkan jika seandainya terjadi perubahan pada tingkat upah.
Perubahan tingkat upah dengan harga produk p konstan, maka akan terjadi
kenaikan upah riil yang ditunjukkan dengan perubahan kurva ww menjadi lebih curam ke w1. Adanya perubahan upah ini direspons oleh rumahtangga dengan merealokasi waktu yang tersedia.
Pada Gambar 1 diperlihatkan, perubahan terjadi dengan mengurangi
kegiatan untuk rumahtangga, dari T2-O menjadi T3-O. Titik keseimbangan diperoleh pada titik persinggungan antara kurva produk total PT dengan garis upah yang baru. Pengurangan kegiatan rumahtangga menambah ketersediaan waktu untuk bekerja memperoleh pendapatan dan waktu santai. Keseimbangan diperoleh pada titik singgung
62 garis upah yang baru dengan kurva indiferen I2. Titik keseimbangan ini tergantung pada bagaimana rumahtangga menilai waktu santai. Jika waktu santai merupakan barang normal, kenaikan pendapatan yang disebabkan oleh kenaikan upah kerja akan menyebabkan waktu santai rumahtangga meningkat.
Sebaliknya, jika waktu santai
dinilai sebagai barang inferior, maka peningkatan pendapatan tersebut akan menyebabkan waktu santai berkurang. Pada Gambar 1, diasumsikan bahwa waktu santai merupakan barang normal, sehingga keseimbangan baru dicapai dengan menambah waktu santai, yang berarti mengurangi waktu yang digunakan untuk bekerja. Kondisi seperti ini akan menghasilkan kurva penawaran tenaga kerja bersudut negatif, atau backward bending supply. 3.2. Model Rumahtangga Petani Chayanov Jika Becker berangkat dari pemikiran rumahtangga secara murni, maka Chayanov sudah mengarahkan pemikirannya pada rumahtangga petani. Ellis (1988) memandang perilaku rumahtangga petani model Chayanov ini sebagai perilaku rumahtangga yang menghindar dari kerja keras yang disebut
drudgery averse.
Pada model ini,
rumahtangga menganggap bekerja adalah sebagai suatu yang harus dihindari karena tidak menyenangkan. Pilihan rumahtangga adalah bekerja di usahatani untuk memperoleh pendapatan tetapi tidak menyenangkan atau bersantai (leisure) memperoleh kepuasan. Bisa juga pilihannya adalah bekerja di usahatani untuk memperoleh pendapatan untuk digunakan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi atau tidak bekerja dengan mendapatkan kesenangan waktu bersantai. Di dalam memilih harus ada kriteria tertentu yang menjadi patokan pengambilan keputusan.
Seperti halnya pada teori alokasi waktu yang dijelaskan di atas, model
63 Chayanov juga mengasumsikan bahwa rumahtangga petani berusaha memaksimumkan utilitas. Perbedaan utama dengan teori Becker adalah adanya pertimbangan subjektif rumahtangga didalam menentukan alokasi waktu. Menurut Ellis (1988) faktor utama yang menentukan pilihan alokasi waktu adalah struktur demografi rumahtangga. Struktur demografik tersebut dinyatakan dalam bentuk rasio antara jumlah anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi dengan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja, dinyatakan dengan rasio c/w. Semakin banyak anggota rumahtangga yang menjadi beban konsumsi relatif terhadap yang bekerja, rasio tersebut semakin besar. Ellis (1988) juga mencatat asumsi yang mendasari model Chayanov adalah: (1) tidak ada pasar tenaga kerja, tidak ada upah yang dapat diperoleh anggota rumahtangga yang bekerja di luar rumahtangga, (2) produk yang dihasilkan usahatani dapat digunakan untuk konsumsi atau dijual ke pasar pada tingkat harga pasar yang berlaku, (3) seluruh rumahtangga petani dapat mengakses lahan secara fleksibel untuk digunakan dalam proses produksi usahatani, dan (4) terdapat pendapatan minimum per-orang yang diterima sebagai norma masyarakat, dan konsekuensinya adalah adanya tingkat konsumsi minimum di rumahtangga Perilaku rumahtangga dalam model Chayanov dapat digambarkan sebagai memaksimumkan fungsi utilitas dengan kendala fungsi produksi, pendapatan minimum, dan maksimum waktu kerja. Secara matematik dinyatakan maksimumkan U=f(Y,H), dimana Y adalah pendapatan rumahtangga, dan H adalah waktu santai. Kendala untuk memaksimumkan fungsi tersebut adalah Y=Py.f(L); Y• Y
min;
L• L
maks,
dimana Y adalah
pendapatan, Py adalah harga produk, f(L) adalah fungsi produksi dengan L tenaga kerja sebagai input. Secara mudah, persoalan tersebut dapat diselesaikan dan akan diperoleh
64 keseimbangan (• U/•H)/(• U/•Y)=
(• Y/•H)=NPM
L.
Jadi pada kondisi keseimbangan
diperoleh bahwa substitusi marjinal waktu santai dengan pendapatan sama dengan nilai produk marjinal tenaga kerja rumahtangga. Kondisi ini tercapai jika memang kendala yang diajukan bersifat mengikat atau binding. Pada Gambar 2 disajikan kondisi keseimbangan rumahtangga menurut Chayanov dan juga diperlihatkan efek perubahan faktor demografik pada keseimbangan baru. Pada Gambar 2 terlihat sumbu vertikal menggambarkan nilai produk yang diperoleh dari kegiatan usahatani, sedangkan sumbu horizontal menunjukkan alokasi waktu kerja. Pada model ini jumlah waktu tersedia bagi rumahtangga sebesar L. Namun jumlah waktu yang dapat digunakan untuk bekerja terbatas sebesar Lmaks. Pada gambar tersebut juga terlihat juga fungsi produksi rumahtangga menghasilkan nilai produk total dengan menggunakan input tenaga kerja rumahtangga.
65 Y
I1
I2
NPT
B
Y1 Y2 min
Y
A
Y2 min
Y1 min
Y1 min
0
L1
L2
Lmaks
L
Gambar 2. Model Keseimbangan Rumahtangga Menurut Chayanov Sumber : Ellis,1988 Sesuai dengan asumsi yang dikemukakan di atas, pada model Chayanov terdapat kendala pendapatan minimum, yang pada Gambar 2 dinyatakan dengan garis lurus horizontal pada Y1min.
Adanya kendala pendapatan minimum pada tingkat tersebut
menyebabkan alokasi kerja berada pada keseimbangan di titik A, yaitu titik singgung antara kurva nilai produk total dengan kurva indiferen I1.
Pada kondisi keseimbangan
ini, tenaga kerja yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar O-L1, sisanya L-L1 dialokasikan untuk waktu santai. Selanjutnya diasumsikan terjadi perubahan struktur demografi pada rumahtangga, misalnya adanya tambahan beban konsumsi relatif terhadap jumlah yang bekerja. Perubahan struktur demografik ini meningkatkan pendapatan minimum dari Y1min ke Y2min. Pada rasio c/w, berarti perubahan hanya terjadi pada c. Perubahan tersebut tidak
66 mengubah fungsi produksi, namun menggeser kurva indiferen dari I1 ke I2.
Kurva
indiferen I2 digambarkan lebih landai dibandingkan dengan I1 untuk menggambarkan peningkatan marjinal utilitas pendapatan dan penurunan marjinal utilitas waktu santai. Peningkatan marjinal utilitas pendapatan karena adanya tekanan kebutuhan konsumsi. Keseimbangan baru tercapai pada titik B, yaitu pada titik singgung antara kurva produk total dengan kurva indiferen I2. Tenaga kerja yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani menjadi L2-O, lebih besar dibandingkan kondisi sebelumnya. Peningkatan jumlah waktu kerja yang dialoksikan untuk usahatani disebabkan adanya kebutuhan konsumsi yang meningkat. Mengingat kebutuhan ini hanya diperoleh dari kegiatan usahatani, maka setiap peningkatan kebutuhan konsumsi akan diikuti dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja.
Di sisi lain, peningkatan penggunaan tenaga kerja untuk usahatani
menurunkan alokasi waktu untuk santai. Dari model Chayanov ini terlihat ada hubungan antara karakteristik demografi dengan perilaku rumahtangga melalui perubahan relatif antara beban konsumsi dan yang bekerja. Implikasi dari model ini adalah bahwa setiap kebijakan yang mempengaruhi beban konsumsi keluarga dapat mempengaruhi keputusan rumahtangga. Keterbukaan terhadap pasar barang konsumsi yang meningkatkan kebutuhan konsumsi rumahtangga, dapat meningkatkan marjinal utilitas pendapatan, yang pada gilirannya akan dapat meningkatkan alokasi kerja ke usahatani.
Tentu sebaliknya bisa terjadi, dimana
rumahtangga berada di daerah yang kurang menyediakan kebutuhan konsumsi, akan menurunkan marjinal utilitas pendapatan. Rumahtangga akan lebih menghargai waktu santai dibandingkan dengan bekerja, karena marjinal utilitas waktu santai meningkat,
67 Ciri demografik yang mempengaruhi keputusan produksi, sering dijadikan indikator sejauh mana keterpisahan antara keputusan konsumsi dan keputusan produksi. Semakin kuat ciri demografi mempengaruhi keputusan produksi, menunjukkan semakin kuat hubungan antara produksi dan konsumsi. 3.3. Teori Ekonomi Rumahtangga Petani Nakajima Teori Nakajima (Nakajima,1986) tentang perilaku ekonomi rumahtangga petani lebih komprehensif dibanding teori Becker dan Chayanov seperti yang dikemukakan di atas.
Dasar teori yang digunakan adalah teori Becker dan Chayanov, namun
dikembangkan lebih lanjut, yaitu adanya pasar produk dan pasar tenaga kerja dan pasar input lainnya.
Ciri adanya keseimbangan subjektif masih tampak pada teori ini
mengingat perilaku rumahtangga tidak terlepas dari penggunaan tenaga kerja keluarga. Nakajima (1986) mengasumsikan bahwa rumahtangga berusaha memaksimumkan fungsi utilitas U = U(T, M) dengan mengkombinasikan penggunaan tenaga kerja T dan pendapatan uang M. Fungsi utilitas U akan dimaksimumkan dengan kendala fungsi produksi F = F(T,L), yaitu kegiatan produksi usahatani untuk menghasilkan satu jenis produk usahatani dengan memanfaatkan input tenaga kerja T sebagai input variabel dan lahan L sebagai input tetap. Dari kegiatan usahatani tersebut, rumahtangga memperoleh pendapatan uang M = Py.F(T,L), dimana Py adalah harga pasar untuk produk usahatani yang dihasilkan. Berdasarkan fungsi utilitas dan kendala yang ada, keseimbangan rumahtangga petani dapat dicari dan dihasilkan Py(• F/•T ) = -UT/UM, dimana UT = • U/• T , dan U •U/•M. Jika diperhatikan Py(• F/•T ) adalah nilai produktivit
M
=
as marjinal tenaga kerja
keluar, sedangkan -UT/UM merupakan substitusi marjinal tenaga kerja terhadap
68 pendapatan uang atau secara verbal merupakan nilai pendapatan yang dikorbankan setiap satu satuan tambahan tenaga kerja keluarga.
Nakajima menyebut -UT/UM sebagai
penilaian marjinal penggunaan tenaga kerja keluarga (marginal valuation of family labor). Penilaian tersebut bersifat subjektif, sehingga keseimbangan yang diperoleh juga merupakan keseimbangan subjektif. Hal tersebut sedikit berbeda dengan organisasi perusahaan, dimana perusahaan akan mencapai kondisi keuntungan maksimum jika nilai produktivitas marjinal penggunaan input tertentu akan sama dengan harga faktor produksi yang bersangkutan. Jika faktor produksi tersebut adalah tenaga kerja, maka pada tingkat upah W, akan terjadi keseimbangan pada Py(• F/•T )=W. Secara grafis kondisi keseimbangan pada ekonomi rumahtangga petani Nakajima disajikan pada Gambar 3. Pada gambar tersebut terdapat dua gambar utama dimana gambar bagian bawah merupakan turunan dari gambar di atasnya. Setiap kemiringan kurva yang ada di atasnya digambarkan menjadi jarak pada gambar di bawahnya. Pada Gambar 3 sumbu horizontal menunjukkan alokasi tenaga kerja rumahtangga. Diasumsikan rumahtangga mempunyai tenaga kerja maksimum sebesar T. Pilihannya adalah berapa yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani dan berapa yang dialokasikan untuk bersantai. Pada model dasar ini, diasumsikan tidak ada pasar tenaga kerja. Dengan demikian rumahtangga tidak dapat menyewa atau menjual tenaga kerja. M
I
H
NPT A
Y1
Y
Mo’
Mo 0
T1
T2
T VMT
69
Sumbu vertikal menggambarkan nilai uang pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari kegiatan usahatani Py.F(T,L). Secara implisit diasumsikan bahwa produk usahatani dapat dijual ke pasar dengan harga Py. Pada gambar juga diperlihatkan adanya garis minimum pendapatan untuk memenuhi kebutuhan subsisten keluarga atau disingkat menjadi kebutuhan minimum subsisten Mo-Mo’. Garis Mo-Mo’ bersudut positif untuk menunjukkan bahwa kurva indiferen selalu bersudut positif, sejajar dengan garis MoMo’, atau penilaian marjinal tenaga kerja keluarga selalu positif. Selanjutnya, pada tingkat harga produk usahatani sebesar Py, terdapat kurva penerimaan produk total NPT. Turunan dari kurva ini adalah kurva nilai produktivitas marjinal (NPMT) yang tertera pada gambar dibagian bawah. Kurva ini bersudut negatif, semakin menurun sejalan dengan peningkatan penggunaan tenaga kerja keluarga. Di sisi lain terdapat kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga (VMT) bersudut positif. Pada kondisi rumahtangga memaksimumkan utilitas U, keseimbangan diperoleh pada titik A, yaitu pada titik singgung antara kurva nilai produk total NPT dengan kurva indiferen I.
70 Pada kondisi ini, terjadi keseimbangan subjektif NPMT=VMT seperti telah dijelaskan di atas. Pada kondisi keseimbangan, tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OT2. Sisanya T2T dialokasikan untuk waktu santai. Selanjutnya, pada model rumahtangga petani Nakajima dapat dipelajari pula pengaruh perubahan harga produk usahatani Py. Pengaruh perubahan yang terjadi dapat diilustrasikan dengan grafik seperti terlihat pada Gambar 4. Gambar 4 identik dengan Gambar 3. Jika pada kondisi Gambar 3 kemudian diasumsikan terjadi kenaikan harga produk Py, maka yang akan terganggu adalah kurva NPT, karena NPT = Py.F(T,L) = M seperti telah dijelaskan sebelumnya. Harga produk pada kurva NPT menentukan sudut kemiringan kurva dari titik pusat tanpa mengubah bentuk kurva itu sendiri, karena fungsi produksi secara fisik tidak berubah.
Kurva NPT berubah menjadi NPT1 seperti
diperlihatkan pada Gambar 4. Perubahan juga terjadi pada kurva turunannya, yaitu pada kurva nilai produktivitas marjinal tenaga kerja (NPMT) dan kurva penilaian marjinal tenaga kerja keluarga (VMT). Setelah terjadinya kenaikan harga Py, titik keseimbangan baru terjadi pada titik B, yaitu titik singgung antara kurva indiferen I1 dengan kurva NPT1. Tenaga kerja keluarga kemudian dialokasikan untuk usahatani sebesar OT3, dan untuk waktu santai sebesar T3T. Pada kurva turunannya, titik keseimbangan terjadi pada titik potong antara NPMT1 dan VMT1, yaitu suatu titik keseimbangan subjektif baru. H
M
NPT1
I1 B
C
I A
Y Mo
NPT’ NPT
Mo’
71
Sumber: Becker,1986 Seperti halnya pada teori permintaan, efek perubahan harga produk dapat dipilah menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Pada model rumahtangga petani Nakajima, pemilahan yang sama dapat juga dilakukan. Pada Gambar 4 diperlihatkan kurva nlai produk total NPT’ dalam bentuk garis putus -putus sejajar dengan kurva nilai produk total NPT lama. Kurva NPT’ menunjukkan pergeseran nilai produk total yang lama tanpa mengubah sudut kemiringan dari titik pusat dan menyentuh kurva indiferen baru I1.
Perubahan dari NPT ke NPT’ merupakan efek pendapatan.
Sebenarnya,
fenomena ini bisa terjadi juga karena adanya perubahan pendapatan rumahtangga di luar kegiatan kerja, seperti pendapatan yang berasal dari penguasaan aset E, pada NPT = Py.F(T,L)+E = M. Karena E adalah suatu konstanta, maka perubahan E akan menggeser
72 kurva NPT sejajar menjadi NPT’. Karena itu, Nakajima menyebut efek pendapatan ini sebagai efek pendapatan aset (asset income effect). Alokasi tenaga kerja keluarga sebagai efek pendapatan diperlihatkan perubahan dari titik A ke titik C, atau dari sepanjang T4-T2 pada sumbu horizontal. Efek pendapatan pada model Nakajima ini dapat dipastikan menurunkan penggunaan tenaga kerja keluarga di usahatani. Adanya peningkatan harga produk usahatani, pendapatan rumahtangga meningkat dan kesejahteraan rumahtangga meningkat.
Peningkatan kesejahteraan
rumahtangga tersebut menyebabkan rumahtangga mengurangi alokasi tenaga kerja di usahatani dan memperbanyak waktu santai. Efek substitusi bekerja sebaliknya dengan efek pendapatan.
Pada model
Nakajima ini, adanya peningkatan harga produk usahatani menyebabkan peningkatan nilai produk marjinal tenaga kerja keluarga. Tenaga kerja keluarga mempunyai insentif lebih tinggi untuk bekerja di usahatani. Oleh karena itu, peningkatan harga produk akan mendorong rumahtangga mengalokasikan lebih banyak tenaga kerja di usahatani dengan mengurangi alokasi waktu untuk santai. Mengingat adanya arah yang berlawanan antara efek pendapatan dan efek substitusi, maka efek total adanya peningkatan harga produk pada alokasi tenaga kerja tidak dapat dipastikan. Jika efek pendapatan lebih besar dibanding dengan efek substitusi maka efek peningkatan harga produk akan menurunkan alokasi tenaga kerja di usahatani. Sebaliknya, jika efek substitusi lebih dominan dibandingkan dengan efek pendapatan, maka efek peningkatan harga tersebut akan meningkatkan alokasi tenaga kerja keluarga pada usahatani.
Pada Gambar 4, diasumsikan efek substitusi lebih dominan
dibandingkan dengan efek pendapatan, sehingga titik B berada di sebelah kanan titik A.
73 Model ekonomi rumahtangga petani Nakajima dapat diperluas dengan mengasumsikan adanya pasar tenaga kerja.
Rumahtangga petani pada kondisi ini
mempunyai kesempatan untuk menyewa tenaga kerja dari luar keluarga untuk kegiatan usahataninya, atau bisa juga bekerja di luar usahatani sendiri (menjual tenaga kerja) untuk memperoleh sejumlah pendapatan. Pada model ini perlu dipisahkan antara tenaga kerja keluarga yang bekerja di usahatani Tf, dan total tenaga kerja yang tersedia T. Diasumsikan rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitas U = U(T,M), dengan kendala fungsi produksi F = F(Tf,L). Jika diasumsikan harga produk usahatani adalah Py dan upah tenaga kerja adalah W, maka rumahtangga akan memperoleh pendapatan berupa uang M = PyF(Tf,L)+W(T-Tf). Jika ternyata Tf < T, berarti seluruh kebutuhan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri dipenuhi dari tenaga kerja dalam keluarga, sisa dari tenaga kerja yang tersedia digunakan untuk bekerja di luar usahatani sendiri. W(T-Tf) menjadi pendapatan yang diperoleh dari kegiatan di luar usahatani tersebut. Sebaliknya, jika T < Tf, berarti sebagian kebutuhan tenaga kerja di usahatani sendiri dipenuhi dengan tenaga kerja dari luar keluarga atau tenaga kerja upahan. W(T-Tf) pada kondisi ini menjadi biaya usahatani. Namun di dalam biaya tersebut terhitung juga penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang dinilai dengan tingkat upah yang berlaku. Berdasarkan asumsi di atas,
U maksimum dapat diperoleh dengan pada
keseimbangan Py(• F/•T f) = W, yaitu nilai produtivitas marjinal tenaga kerja di usahatani sama dengan tingkat upah yang berlaku. Keseimbangan ini merupakan kriteria yang sering digunakan pada organisasi perusahaan untuk memaksimumkan keuntungan. Kondisi keseimbangan seperti ini menunjukkan juga bahwa rumahtangga petani yang
74 dibicarakan diasumsikan berperilaku sebagai organisasi perusahaan yang berusaha memaksimumkan keuntungan. Di sisi lain, keseimbangan juga tercapai pada kondisi (• U/•T )/(• U/•M)
= •M/•T
= W. Keseimbangan tersebut menunjukkan bahwa penilaian
marjinal tenaga kerja keluarga sama dengan tingkat upah yang berlaku. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keseimbangan tersebut merupakan keseimbangan subjektif rumahtangga. Dari dua keseimbangan tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga mempunyai dua keputusan penting, yaitu keputusan produksi yang berusaha memaksimumkan keuntungan dan keputusan konsumsi yang berusaha memaksimumkan utilitas. Pada Gambar 5 disajikan grafik model keseimbangan rumahtangga petani untuk kasus menyewa tenaga kerja luar keluarga. Kasus menyewa tenaga kerja luar keluarga terjadi jika jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk kegiatan usahatani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang tenaga kerja yang tersedia di rumahtangga. Pada Gambar 5 bagian atas diperlihatkan garis upah W dengan sudut kemiringan tergantung tingkat upah yang berlaku. Semakin mahal tingkat upah, sudut kemiringan garis tersebut akan semakin curam karena setiap tambahan satu satuan tenaga kerja tertentu akan memerlukan tambahan biaya tenaga kerja yang lebih mahal.
Garis upah tersebut
menyentuh kurva nilai produk total usahatani NPT pada titik B. Titik ini merupakan titik keseimbangan rumahtangga untuk memaksimumkan keuntungan pada keputusan produksi, yaitu Py(• F/•T f) = W. Di sisi keputusan konsumsi, pada Gambar 5 diperlihatkan garis upah W menyentuh kurva indiferen pada titik A. Pada titik A terjadi keseimbangan subjektif rumahtangga, yaitu terpenuhinya kondisi (• U/•T )/(• U/•M)
= • M/•T
= W.
Alokasi
75 tenaga kerja rumahtangga menurut keseimbangan ini terlihat pada sumbu horizontal, yaitu sebesar OTfk digunakan untuk kegiatan di usahatani sendiri, TfkT digunakan untuk waktu santai.
M
H I
W
B
NPT
A
ð E
C D
W.Tf 0
Tfk
T
Tf
VMT
W NPMT 0
Tfk
T
Tf
Gambar 5. Keseimbangan Rumahtangga Petani Kasus Menyewa Tenaga Kerja Luar Keluarga Kegiatan usahatani sendiri memerlukan tenaga kerja sebanyak OTf, terdiri atas Sumber: Becker,1986 tenaga kerja keluarga sebesar OTfk dan tenaga kerja luar keluarga sebesar OTfkTf. Adanya keseimbangan subjektif pada rumahtangga menyebabkan jumlah tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang secara potensial tersedia di dalam rumahtangga.
76 Pada kondisi keseimbangan di atas, rumahtangga memperoleh pendapatan uang M dari kegiatan usahatani dan dari penilaian tenaga kerja keluarga yang dialokasikan untuk kegiatan usahatani.
Hasil dari kegiatan usahatani dinyatakan dalam bentuk
keuntungan ð = Py.F(Tf,L) – W.Tf. Pada Gambar 5 ditunjukkan dengan jarak BE, yang merupakan kondisi keuntungan maksimum seperti terjadi pada perusahaan.
Selain
pendapatan yang diperoleh dari keuntungan usahatani, rumahtangga juga memperoleh penerimaan dalam bentuk penilaian tenaga kerja keluarga pada tingkat upah yang berlaku. Jika M didefinisikan sebagai M = PyF(Tf,L)+W(T-Tf), dan ð = Py.F(Tf,L) – W.Tf, maka M = ð + WT.
Pada kondisi Tf > T, berarti terdapat sebagian dari Tf
merupakan tenaga kerja dalam keluarga, misalkan sebesar Tfk, Maka yang sebenarnya besar biaya tenaga kerja yang dibayarkan untuk usahatani sendiri adalah sebesar W(TfTfk).
Nilai penggunaan tenaga kerja dalam keluarga menjadi nilai penerimaan bagi
rumahtangga. Karena itu, M menjadi M = ð + WTfk, dimana WTfk nilai tenaga kerja usahatani yang berasal dari dalam keluarga. Pada Gambar 5, M digambarkan dengan jarak ATfk. Kasus lain dari model rumahtangga Nakajima adalah apabila rumahtangga berkesempatan menjual tenaga kerja di luar usahatani sendiri. Kasus ini terjadi jika penggunaan tenaga kerja di dalam usahatani sendiri ternyata lebih kecil dari jumlah tenaga kerja potensial yang ada di rumahtangga. Pada kondisi ini, rumahtangga dapat bekerja di luar usahataninya sendiri untuk memperoleh upah kerja, dan keperluan tenaga kerja di usahatani sendiri diperoleh dari tenaga kerja dalam keluarga. Kasus ini dapat dilihat pada Gambar 6. M
I B
H
W
77
Pada Gambar 6 diperlihatkan kurva nilai produk total NPT menyinggung garis upah W pada titik A. Pada titik tersebut tercapai keseimbangan Py(• F/•T f) = W, yaitu nilai produktivitas marjinal tenaga kerja keluarga sama dengan tingkat upah yang berlaku.
Pada titik ini pula rumahtangga memperoleh keuntungan maksimum pada
kegiatan produksi di usahatani sendiri.
Pada kondisi ini jumlah tenaga kerja yang
dialokasikan untuk kegiatan usahatani sebesar OTf, lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang tersedia di dalam rumahtangga sebesar OT.
Oleh karena itu, rumahtangga
mempunyai banyak tenaga kerja yang belum digunakan. Diasumsikan pada kasus ini,
78 rumahtangga mempunyai kesempatan untuk menjual tenaga kerjanya di pasar tenaga kerja dengan tingkat upah W. Keputusan ini menghasilkan keseimbangan dimana garis upah menyentuh kurva indiferen I pada titik B. Keseimbangan pada titik B merupakan keseimbangan subjektif rumahtangga, yaitu penilaian marjinal tenaga kerja keluarga sama dengan tingkat upah yang berlaku, atau (• U/•T )/(• U/•M)
= •M/•T
= W.
Berdasarkan titik-titik keseimbangan tersebut, alokasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani sendiri sebesar OTf, untuk kegiatan di luar usahatani sendiri sebesar TfTj, dan sisanya TjT digunakan untuk waktu santai. Keseimbangan di atas juga menghasilkan pendapatan rumahtangga M yang merupakan penjumlahan pendapatan dari kegiatan usahatani dan dari luar usahatani. Pendapatan dari kegiatan usahatani diperoleh sebesar keuntungan usahatani, yaitu ð = Py(• F/•T
f)-WTf,
merupakan keuntungan maksimum.
Namun mengingat Tf adalah
tenaga kerja dalam keluarga, maka WTf kembali menjadi penerimaan rumahtangga. Pendapatan dari luar usahatani sebesar jumlah tenaga kerja yang dijual dikalikan dengan tingkat upah yang berlaku, yaitu W(Tj-Tf). Total pendapatan rumahtangga sekarang menjadi M = Py(• F/•T
f)
+ W(Tj-Tf). Pada Gambar 6 M digambarkan dengan jarak BTj.
Adanya kesempatan rumahtangga menyewa tenaga kerja luar keluarga atau bekerja di luar usahatani sendiri, memungkinkan rumahtangga untuk merespons adanya perubahan upah di pasar tenaga kerja. Asumsi yang perlu diperhatikan adalah bahwa pasar tenaga kerja yang dihadapi rumahtangga adalah pasar tenaga kerja yang bersaing sempurna. Model ekonomi rumahtangga Nakajima akan sangat berbeda jika asumsi pasar tenaga kerja tersebut tidak bersaing sempurna. 3.4 . Model U mum E konomi R umaht angga
79 Model ekonomi rumahtangga petani yang dijelaskan di atas, yang umumnya menggunakan visual grafik, tentunya mempunyai keterbatasan. Salah satu keterbatasannya adalah bahwa rumahtangga hanya menggunakan satu faktor produksi variabel, yaitu tenaga kerja dan menghasilkan satu jenis produk usahatani. Asumsi tersebut bisa dilonggarkan dengan membuka kemungkinan rumahtangga menggunakan lebih dari satu jenis input dan menghasilkan atau mengkonsumsi lebih dari satu jenis produk usahatani.
Kondisi ini setidaknya
lebih mendekati kenyataan bahwa pada rumahtangga petani, terutama usahatani di daerah tropis yang berlahan sempit, umumnya sulit ditemukan rumahtangga petani yang hanya mengusahakan satu jenis komoditi.
Apalagi dalam
penggunaan input, tidak ada rumahtangga petani yang hanya menggunakan satu jenis input variabel.
Membahas model seperti ini tidak praktis jika
menggunakan penyajian grafik. Akan lebih praktis menggunakan penyajian matematik. Model yang dapat menangkap maksud tersebut dikemukakan oleh Strauss (1986). Dimisalkan rumahtangga mengkonsumsi
produk usahatani Xa, produk yang
dibeli dari pasar M, waktu santai anggota keluarga pria Rp, waktu santai keluarga wanita Rw. Jenis-jenis komoditi yang dikonsumsi tersebut bisa diperluas lebih lanjut dengan menganggap bahwa Xa, Rp. Rw, dan M sebagai kelompok komoditi, atau suatu vektor. Berdasarkan konsumsi tersebut, diasumsikan rumahtangga mempunyai fungsi utilitas sebagai berikut: U(Xa, Rp, Rw, M)
(1)
80 Fungsi utilitas di atas mempunyai ciri-ciri quasi-concave dengan turunan parsial positif.
Seperti
biasanya,
diasumsikan
bahwa
rumahtangga
berusaha
untuk
memaksimumkan fungsi utilitas dengan kendala anggaran (budget) yang tersedia. Anggaran rumahtangga didefinisikan sebagai jumlah pengeluaran rumahtangga untuk membeli barang-barang dari pasar M pada harga pm, atau total anggaran yang tersedia sebesar
pmM.
Besarnya pmM ini harus sama dengan seluruh pendapatan tunai
rumahtangga dari berbagai sumber, yang dapat dinyatakan secara sederhana sebagai berikut: pmM = pa(Qa –Xa) + pcQc – pvV – wp(Lp – Fp) – ww(Lw – Fw) + npNp nwNw+E
(2)
dimana Qa dan Qc adalah dua jenis atau kelompok komoditi pertanian yang diproduksi dari usahatani sendiri,
pa dam pc masing-masing adalah harga komoditi pertanian Qa
dan Qc. Diasumsikan bahwa seluruh produk Qc dijual ke pasar (commercial crop). Selanjutnya, pv adalah harga input variabel V; Lp dan Lw adalah penggunaan tenaga kerja pria dan wanita pada usahatani sendiri yang berasal dari dalam dan luar keluarga; Fp dan Fw adalah tenaga kerja keluarga pria dan wanita yang berkerja di sektor pertanian; Np dan Nw adalah tenaga kerja keluarga pria dan wanita yang bekerja di luar sektor pertanian; wp dan ww adalah tingkat upah tenaga kerja pria dan wanita di sektor pertanian; np dan nw adalah upah tenaga kerja pria dan wanita di luar sektor
pertanian; dan E adalah
pendapatan keluarga yang diperoleh dari bukan penggunaan tenaga kerja, misalnya dari sewa, bunga dan sejenisnya. Pada persamaan 2, (L p– Fp) dan (Lw – Fw) merupakan keseimbangan penggunaan tenaga kerja keluarga di sektor pertanian dengan penggunaan tenaga kerja di usahatani
81 sendiri. Jika (Lp – Fp) prositif, atau penggunaan tenaga kerja pria di usahatani sendiri (tenaga kerja keluarga dan luar keluarga) lebih besar dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja keluarga pria di sektor pertanian, berarti pada usahatani sendiri terdapat pengeluaran upah sewa tenaga kerja. Sebaliknya jika (Lp– Fp) negatif, atau penggunaan tenaga kerja keluarga pria di sektor pertanian lebih besar dari penggunaan tenaga kerja pria pada usahatani sendiri, berarti ada penerimaan upah kerja yang diterima keluarga dari sektor pertanian. Hal ini berlaku juga bagi tenaga kerja wanita. Kendala lain yang dihadapi oleh rumahtangga di dalam memaksimumkan fungsi utilitas adalah kendala ketersediaan tenaga kerja keluarga.
Di dalam hal ini bisa
dibedakan menjadi tenaga kerja pria dan wanita. Kendala tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: Tp = Fp + Np + Rp dan Tw=Fw+Nw+Rw
(3)
dimana Tp danTw, masing-masing adalah jumlah tenaga pria dan wanita potensial yang tersedia pada keluarga, Rp dan Rw masing-masing adalah tenaga kerja pria dan wanita potensial yang digunakan untuk santai. Np, Nw, Fp , dan Fw telah didefinisikan di atas. Jika Fp dan Fw pada persamaan 2 disubstitusikan dengan kendala tenaga kerja pada persamaan 3. pmM + paXa + wpRp + wwRw = Y = (paQa + pcQc – pvV – wpLp – wwLw) + (np-wp)Np+(nw–ww)Nw+wpTp+wwTw + E
(4)
Jika diperhatikan, sisi sebelah kiri persamaan 4 adalah penilaian dari komponenkomponen yang menyusun fungsi utilitas, yaitu terdiri atas nilai konsumsi barang yang dibeli dari pasar, nilai produk pertanian yang dihasilkan dari usahatani sendiri, dan nilai
82 waktu istirahat yang diukur dengan tingkat upah tenaga kerja di sektor pertanian. Di sisi sebelah kanan merupakan full income menurut konsep Becker (Becker, 1965). Pada bagian dalam kurung pertama merupakan nilai produksi dikurangi dengan biaya peubah usahatani atau keuntungan usahatani. Pada bagian di dalam kurung kedua dan ke tiga merupakan selisih nilai penggunaan tenaga kerja keluarga pria dan wanita pada sektor non pertanian jika diukur dengan tingkat upah sektor non-pertanian dan sektor pertanian. Karena sumberdaya waktu keluarga dinilai dengan tingkat upah sektor pertanian, maka jika tingkat upah sektor non pertanian lebih besar dari sektor pertanian, akan menambah besarnya full income, sebaliknya jika upah di sektor pertanian lebih besar dari sektor non pertanian akan mengurangi full income. Selanjutnya antara input dan output dihubungkan dengan suatu fungsi produksi, yang dalam bentuk implisit dinyatakan sebagai berikut: G(Qa,Qc,Lp,Lw,V,K)=0 dimana K adalah input tetap.
(5) Bentuk fungsi produksi ini bersifat umum yang
memungkinkan untuk memisahkan fungsi produksi untuk output yang berbeda, atau untuk produk bersama (joint product). Dari fungsi tujuan dan kendala-kendala yang ada tersebut di atas, jika rumahtangga akan memaksimumkan utilitasnya, maka pilihan rumahtangga dapat dimodelkan dengan model rekursif, walaupun dimensi waktu keputusan tersebut bersifat simultan (Jorgenson and Lau, 1969; Nakajima, 1969). Rumahtangga berperilaku seperti memaksimumkan sisi penerimaan dari full income dengan kendala fungsi produksi, dan kemudian memaksimumkan utilitas dengan kendala full income. Baik nilai waktu yang tersedia maupun pendapatan rumahtangga eksogenus keduanya tidak menjadi peubah
83 pilihan rumahtangga. Oleh karena itu memaksimumkan full income adalah sama dengan memaksimumkan nilai output dikurangi dengan input peubah (yang berarti keuntungan). Fungsi Lagrange yang dapat memaksimumkan fungsi utilitas dengan memperhatikan kendala-kendala yang ada adalah sebagai berikut: £ = U(Xa, Rp, Rw, M) + λ{(paQa + pcQc – pvV – wpLp – wwLw) + (np - wp)Np + (nw – ww)Nw + wpTp + wwTw + E – pmM – paXa – wpRp – wwRw}+ µG(Qa, Qc, Lp, Lw, V, K)
(6)
Syarat pertama yang harus dipenuhi agar fungsi Lagrange tersebut maksimum adalah turunan pertama fungsi tersebut harus sama dengan nol. Turunan parsial fungsi tersebut adalah sebagai berikut: ∂£/∂Xa=Ua-λpa=0
(7.1)
∂£/∂Rp = Up -λwp = 0
(7.2)
∂£/∂Rw = Uw -λww = 0
(7.3)
∂£/∂M = Um -λpm = 0
(7.4)
∂£/∂λ = (paQa + pcQc – pvV – wpLp – wwLw) + (np - wp)Np + (nw – ww)Nw + wpTp + wwTw + E – pmM – paXa – wpRp – wwRw = 0
(7.5)
∂£/∂Qa =λpa + µGa = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Qa) = pa + (µ/λ)Ga = 0
(7.6)
∂£/∂Qc =λpc + µGc = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Qc) = pc + (µ/λ)Ga = 0
(7.7)
∂£/∂V = – λpv + µGv = 0 atau (1/λ)(∂£/∂V) = – pv + (µ/λ)Gv = 0
(7.8)
∂£/∂Lp = –λwp + µGp = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Lp) = – wp + (µ/λ)Gp = 0
(7.9)
∂£/∂Lw = –λww + µGw = 0 atau (1/λ)(∂£/∂Lw) = – ww + (µ/λ)Gw = 0
(7.10)
∂£/∂µ = G(Qa, Qc, Lp, Lw, V, K) = 0
(7.11)
Penyelesaian secara simultan terhadap persamaan 7.1 sampai dengan persamaan
84 7.5 akan diperoleh fungsi permintaan rumahtangga terhadap barang dan waktu santai. Fungsi permintaan rumahtangga terhadap barang dan waktu santai merupakan fungsi dari harga barang dan tingkat upah, yang dapat dinyatakan sebagai berikut: Di = Di(pa, pc, wp, ww, pv, Y); i = Xa, Xc, Rp, Rw, dan M
(8)
Dengan diketahui fungsi permintaan rumahtangga tersebut, dapat juga dirumuskan fungsi penawaran tenaga kerja rumahtangga untuk usahatani dan luar usahatani. Penawaran tenaga kerja dari rumahtangga pada dasarnya merupakan total tenaga kerja keluarga dikurangi dengan waktu santai. Dengan demikian, fungsi penawaran tenaga kerja keluarga merupakan fungsi dari faktor-faktor yang sama dengan fungsi permintaan waktu santai pada persamaan 8, dinyatakan sebagai berikut: Sj =Sj (pa, pc, wp, ww, pv, Y); j = p, w
(9)
Dari persamaan 7.6 sampai dengan persamaan 7.11 akan diperoleh fungsi penawaran produk usahatani dan permintaan input usahatani. Baik fungsi penawaran produk maupun fungsi permintaan input usahatani, merupakan fungsi dari harga produk dan harga input. Fungsi penawaran produk usahatani yang tidak dikonsumsi keluarga dapat dinyatakan sebagai berikut: Qc = Qc(pa, pc, wp, ww, pv)
(10)
Fungsi penawaran produk yang sebagian dikonsumsi keluarga (Qa) merupakan marketed surplus produk tersebut. Fungsi marketed surplus dinyatakan sebagai berikut: MS = MS(pa, pc, wp, ww, pv,Y)
(11)
Fungsi permintaan input usahatani dapat dinyatakan sebagai berikut: Uk = Uk(pa, pc, wp, ww, pv,Y); k = Lp, Lw, V
(12)
Selanjutnya, untuk mengetahui perilaku rumahtangga pertanian akibat adanya
85 perubahan-perubahan peubah eksogen, perlu dilakukan analisis komparatif statik. Diferensial total terhadap persamaan 7.1 sampai dengan persamaan 7.10 akan diperoleh suatu sistem persamaan yang dapat disajikan dalam bentuk matriks seperti terlihat pada persamaan 13. Matriks pada persamaan tersebut membentuk blok diagonal, dimana blok sebelah kiri atas merupakan hasil diferensial total persamaan sisi konsumsi, yaitu persamaan 7.1 sampai dengan persamaan 7.5, sedangkan pada blok kanan bawah merupakan hasil diferensial total sisi produksi, yaitu persamaan 7.6 sampai dengan persamaan 7.10 Uaa Uap Uaw Uam –pa
0
0
0
0
0
0
dXa
λdpa
Upa Upp Upw Upm –wp
0
0
0
0
0
0
dRp
λdwp
Uwa Uwp Uww Uwm –ww
0
0
0
0
0
0
dRw
λdww
Uma Ump Umw Umm –pm
0
0
0
0
0
0
dM
–pa –wp –ww –pm
0
0
0
0
0
0
λdpm
dλ
Ψ
0
0
0
0
0
0
µ/λGaa µ/λGac µ/λGav µ/λGap µ/λGaw Ga
0
0
0
0
0
µ/λGca µ/λGcc µ/λGcv µ/λGcp µ/λGcw Gc
0
0
0
0
0
µ/λGva µ/λGvc µ/λGvv µ/λGvp µ/λGvw Gv
0
0
0
0
0
µ/λGpa µ/λGpc µ/λGpv µ/λGpp µ/λGpw Gp
0
0
0
0
0
µ/λGwa µ/λGwv µ/λGwp µ/λGwp µ/λGww Gw
0
0
0
0
0
Ga
Gc
Gv
Gp
Gw
0
dQa
= –dpa
dQc
–dpc
dV
dpv
dLp
dwp
dLw
dww
d(µ/
0
λ) (13) dimana: Ψ = – (Tp – Np – Lp – Rp)dwp – (Tw – Nw – Lw – Rw)dww – (Qa– Xa)dpa – Qcdpc + Vdpv – (np - wp)dNp– (nw – ww)dNw – Npdnp – Nwdnw – wpdTp – wwdTw – dE + Mdpm – µ/λ(GkdK).
86 Pada persamaan 13 terlihat blok kiri atas dan blok kanan bawah masing-masing terlihat membentuk Bordered Hessian Matrix sebagai konsekuensi dari maksimisasi fungsi utilitas terkendala dengan anggaran, dan maksimisasi fungsi keuntungan dengan kendala fungsi produksi.
Sesuai dengan asumsi bahwa harga-harga input dan harga
output yang berlaku pada model ekonomi rumahtangga ini adalah peubah eksogen, maka sistem persamaan 13 sebenarnya bersifat rekursif. Pada tahap pertama rumahtangga memaksimumkan keuntungan sehingga diperoleh keputusan produksi (input dan output) optimal.
Tahap kedua, setelah diperoleh keputusan produksi optimal, rumahtangga
memaksimumkan fungsi utilitas sehingga diperoleh keputusan konsumsi optimal. Dengan demikian, pada model ekonomi rumahtangga ini keputusan konsumsi sebenarnya terpisah dengan keputusan produksi. Sistem persamaan 13 dapat diselesaikan dengan aturan Cramer (Cramer Rule) dimana penentuan determinan matriksnya menggunakan metode Ekspansi Laplace. Dari penyelesaian sistem persamaan di atas dapat dipelajari perilaku ekonomi rumahtangga di dalam merespon perubahan-perubahan peubah-peubah eksogen, misalnya yang berkaitan dengan adanya kebijakan harga input dan harga output. 3.4.1. Perilaku Konsumsi Rumahtangga Pertanian Dari sistem persamaan 13 dapat dipelajari perubahan konsumsi Xa karena adanya perubahan harga Xa dirumuskan sebagai berikut: dXa/dpa=∂Xa/∂paU+(Qa–Xa)∂Xa/∂Y
(14)
Persamaan 9 menyatakan jika misalnya terjadi peningkatan harga Xa berakibat pada perubahan konsumsi Xa melalui dua komponen, yaitu efek subtitusi, ∂Xa/∂paU, dan efek pendapatan, (Qa– Xa)∂Xa/∂Y. Efek substitusi karena perubahan harga menurut
87 Teorema Slutsky akan selalu bertanda negatif (Koutsoyiannis, 1982), jika terjadi kenaikan harga Xa, untuk mempertahankan utilitas yang sama, konsumsi rumahtangga akan beralih kepada komoditi pengganti dan mengurangi konsumsi Xa. Efek pendapatan bisa bertanda positif atau bertanda negatif.
Jika Xa barang normal, maka kenaikan
pendapatan akan menigkatkan konsumsi Xa. Efek pendapatan pada persamaan 14 di atas dibobot dengan selisih antara yang diproduksi dengan yang dikonsumsi, atau bagian produksi yang dijual (marketed surplus). Jika ada bagian produk tersebut yang dijual (net seller), atau (Qa– Xa) positif, maka efek pendapatan akan bertanda positif, sebaliknya jika sebagian besar produk tersebut dikonsumsi, atau atau (Qa– Xa) negatif, maka efek pendapatan akan bertanda negatif. Hal tersebut berlaku jika Xa adalah barang normal. Adanya efek pendapatan pada persamaan 14 di atas lebih jelas jika dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut: dXa/dpaπ=∂Xa/∂paU–Xa(∂Xa/∂Y)
(15)
dan: dXa/dpa=∂Xa/∂paU–(∂Xa/∂Y)Xa +(∂Xa/∂Y)(∂π/∂pa)
(16)
Persamaan 15 menunjukkan bahwa efek total perubahan harga Xa terhadap konsumsi Xa dapat dinyatakan pada kondisi keuntungan tidak berubah. Pada kondisi seperti ini
kontribusi
efek pendapatan semakin jelas.
Persamaan 15 sebenarnya
merupakan persamaan Slutsky (Intriligator, 1971) yang biasa diturunkan pada teori permintaan rumahtangga konvensional (permintaan murni).
Efek pendapatan pada
persamaan 10 tergantung pada jenis komoditi seperti telah dijelaskan di atas. Jika keuntungan kembali dibiarkan berubah, maka persamaan 14 dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan 16. Di sini tampak bahwa efek total perubahan harga Xa
88 terhadap konsumsi Xa pada model ekonomi rumahtangga dapat dipisahkan menjadi efek substitusi, efek pendapatan, dan efek keuntungan. Ini menunjukkan bahwa persamaan Slutsky pada model ekonomi rumahtangga masih ditambah dengan efek keuntungan. Efek keuntungan timbul karena adanya kenaikan harga Xa menyebabkan petani lebih banyak menjual Qa, yang berakibat pada peningkatan keuntungan usahatani. Menurut persamaan 4, keuntungan merupakan komponen full income.
Dengan demikian, pada
model ekonomi rumahtangga ini kenaikan harga Xa bisa saja akan menyebabkan konsumsi Xa meningkat, walaupun Xa termasuk barang normal. Dari sistem persamaan 13 dapat juga dipelajari perilaku rumahtangga dalam mengkonsumi waktu santai. Perubahan konsumsi waktu santai pria, dirumuskan sebagai berikut: dRp/dwp=∂Rp/∂wpU+(Tp– Np – Lp – Rp)∂Rp/∂Y
(17)
Persamaan 17 menyajikan efek total perubahan upah tenaga kerja pria disektor pertanian terhadap konsumsi waktu santai pria. Efek total tersebut dipecah menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Seperti biasanya, efek subtitusi akan bertanda negatif. Efek pendapatan tampak dibobot dengan
(Tp – Np – Lp – Rp), yaitu selisih penawaran
tenaga kerja dengan permintaan tenaga kerja.
Strouss (1986) menyebutnya sebagai
marketed surplus of labor. Jika waktu santai merupakan barang normal, maka efek pendapatan yang dibobot dengan marketed surplus of labor akan bertanda positif. Jika besaran efek pendapatan ini melebihi efek substitusi, maka akan terjadi backward bending supply, perbaikan upah di sektor pertanian justru akan menyebabkan berkurangnya penawaran tenaga kerja keluarga. Perilaku permintaan keluarga terhadap komoditi yang dibeli di pasar yang diturunkan dari sistem persamaan 8 dirumuskan sebagai berikut:
89 dM/dpm = ∂M/∂pmU + M(∂M/∂Y)
(18)
Persamaan 13 menyajikan perubahan konsumsi barang yang dibeli dari pasar yang disebabkan oleh perubahan harga sendiri. Identik dengan perilaku konsumsi waktu santai yang diuraikan di atas, efek total perubahan konsumsi barang yang dibeli di pasar karena perubahan harga sendiri dibagi menjadi efek substitusi dan efek pendapatan. Karena komoditi M adalah komoditi yang tidak dihasilkan sendiri oleh keluarga, maka persamaan 18 sebenarnya merupakan persamaan Slutsky seperti pada teori permintaan murni.
Menurut persamaan 18, efek substitusi akan selalu negatif sejalan dengan
Teorema Slutsky.
Jika M adalah barang normal, maka efek pendapatan akan positif.
Efek total dari persamaan 18 akan tergantung pada besaran efek substitusi dan efek pendapatan. Perubahan konsumsi M dapat juga dipelajari karena adanya perubahan harga komoditi yang dihasilkan oleh usahatani, pa atau pc.
Perubahan konsumsi M karena
perubahan pa dan pc masing-masing dirumuskan sebagai berikut: dM/dpa = ∂Rp/∂paU + (Qa – Xa)∂M/∂Y
(19)
dM/dpc= Qc(∂M/∂Y)
(20)
dan
Persamaan 19 menyajikan efek total perubahan pa terhadap konsumsi M yang dipecah menjadi efek substitusi silang dan efek pendapatan yang dibobot dengan marketed surplus komoditi Qa. Efek substitusi silang bisa bertanda positif bisa negatif. Jika komoditi M dan Qa merupakan komoditi substitusi, maka efek substitusi silang akan bertanda positif, jika komoditi M dan Q merupakan komoditi komplemen, maka efek
90 substitusi silang akan bertanda negatif. Efek pendapatan, jika komoditi M merupakan komoditi normal, maka akan bertanda positif. Efek total perubahan konsumsi M karena perubahan pc (persamaan 20) sebenarnya identik dengan persamaan 19. Tetapi karena komoditi Qc seluruhnya dijual maka efek substitusi tidak ada. Perubahan konsumsi M seluruhnya terjadi melalui efek pendapatan.
Kenaikan pc menyebabkan keuntungan usahatani meningkat, maka
pendapatan meningkat. Jika M merupakan komoditi normal, efek pendapatan ini akan positif. Perubahan konsumsi M akibat perubahan peubah eksogen selalu terkait dengan perubahan pendapatan. Namun demikian, perubahan tersebut tidak selalu mengandung efek substitusi. 3.4.2. Penawaran Produk Usahatani Penawaran produk usahatani pada model ekonomi rumahtangga di atas bisa dianalisis pada dua komoditi usahatani, yaitu produk usahatani yang sebagian dikonsumsi dan sebagian dijual (Qa) dan produk usahatani yang tidak dikonsumsi atau produk usahatani komersial (Qc). Penurunan fungsi penawaran produk usahatani komersial tidak berbeda dengan fungsi-fungsi penawaran konvensional.
Lain halnya dengan
produk Qa, fungsi penawaran harus memperhatikan konsumsi. Oleh karena itu yang relevan dengan panawaran Qa adalah bagian produk yang tidak dikonsumsi atau marketed surplus (MS). Menurut model ekonomi rumahtangga di atas, fungsi penawaran Qa dapat diturunkan dari kondisi keseimbangan pada persamaan 7.6.
Fungsi penawaran Qa
merupakan fungsi dari harga produk dan harga input, termasuk tenaga kerja, serta peubah
91 penggeser lain, seperti input tetap. Bentuk umum fungsi penawaran pada model ekonomi rumahtangga ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Qi = Qi(pa, pc, pv, wp, ww); i = (a, c) Fungsi penawaran Qc
(21)
dapat dievaluasi untuk mengetahui perubahan-perubahan
penawaran yang terjadi akibat perubahan-perubahan pa, pc, wp, ww seperti yang dilakukan pada fungsi penawaran konvensional. Fungsi penawaran Qa harus dinyatakan dalam marketed surplus sebagai berikut: MSa = Qa – Xa
(22)
Berdasarkan persamaan 22 dapat dilakukan evaluasi perilaku penawaran Qa yang dilakukan rumahtangga pertanian dengan mempelajari perubahan Qa akibat perubahanperubahan faktor eksogen. Perubahan Qa karena adanya perubahan harga Qa (pa) dapat dinyatakan sebagai berikut: dMSa/dpa = ∂MS/∂paU + (∂π/∂pa)(∂MSa/∂Y) – Xa(∂MSa/∂Y)
(23)
Menurut persamaan 23 sisi sebelah kanan, marketed surplus produk Qa akan berespons positif terhadap pa. Namun besaran ini masih ditambah dengan perubahan MS melalui perubahan keuntungan dan pendapatan rumahtangga. Menarik untuk diperhatikan perubahan pa juga berakibat pada konsumsi Xa yang ditransmisi melalui perubahan pendapatan. Perubahan Xa akibat perubahan pendapatan tergantung pada jenis barang Xa. Perubahan MS dapat juga dievaluasi dengan adanya perubahan-perubahan peubah eksogen lainnya, seperti pc, pv, wp, ww, np, nw, dan K. 3.5. Model Ekonomi Rumahtangga pada Pasar Tidak Sempurna Sesuai
dengan
tujuan
penelitian,
yaitu
mempelajari
perilaku
ekonomi
rumahtangga pada kondisi ketidaksempurnaan pasar, maka perlu dirumuskan model dasar
92 yang menggambarkan adanya ketidaksempurnaan pasar tersebut. Ketidaksempurnaan pasar yang dihadapi oleh rumahtangga petani sangat mungkin terjadi karena berbagai sebab. Pada pasar tenaga kerja, ketidaksempurnaan pasar bisa terjadi karena adanya biaya transaksi, biaya supervisi, atau biaya mencari tenaga kerja, dan biaya tambahan dalam bentuk pelayanan di luar upah. Adanya biaya tersebut menyebabkan upah kerja yang dibayarkan tidak sama dengan upah kerja yang diterima. Adanya biaya supervisi dan biaya pelayanan tenaga kerja menyebabkan penilaian tenaga kerja dalam keluarga lebih besar dibandingkan dengan upah tenaga kerja yang berlaku. Dengan demikian, walaupun dalam kegiatan kerja terdapat pilihan antara menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan luar keluarga, pada dasarnya kedua jenis tenaga kerja tersebut tidak dapat bersubstistusi secara sempurna. Selain pada tenaga kerja, ketidaksempurnaan pasar bisa juga terjadi pada lahan. Fungsi lahan di negara sedang berkembang seperti Indonesia dengan tekanan jumlah penduduk yang tinggi mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai faktor produksi usahatani, sebagai areal industri dan pemukiman. Nilai ekonomi lahan tidak dapat diukur dari nilai faktor produksi usahatani, tetapi dilihat dari opportunity cost lahan dalam fungsi yang lebih luas. Oleh karena itu, harga lahan tidak lagi mencerminkan harga faktor produksi. Pada kondisi seperti ini, rumahtangga petani tidak mudah untuk memasuki pasar lahan, terutama rumahtangga petani berlahan sempit. Adanya ketidaksempurnaan dalam pasar tenaga kerja dan pasar lahan tersebut, secara teoritik akan mempengaruhi perilaku ekonomi rumahtangga. Secara teoritik dapat dijelaskan sebagai berikut: diasumsikan rumahtangga berusaha memaksimumkan fungsi utilitas U dengan mengkonsumsi produk usahatani Ca, produk yang dibeli dari pasar Cm,
93 produk yang dihasilkan dari kegiatan rumahtangga Cz, waktu santai pria dan wanita Lp dan Lw. Diasumsikan juga di dalam fungsi utilitas terdapat sejumlah faktor karakteristik rumahtangga A yang menjadi faktor penggeser. Secara matematik fungsi utilitas dinyatakan sebagai berikut: Maksimumkan U(Ca,Cm, Cz , Lp, Lw;A)
(24)
Di dalam memaksimumkan fungsi utilitas tersebut, rumahtangga dihadapkan pada kendala ketersediaan tenaga kerja keluarga dan anggaran. kegiatan usahatani dan kegiatan di luar usahatani.
Anggaran diperoleh dari
Tenaga kerja dalam keluarga
dialokasikan ke dalam empat kegiatan, yaitu untuk kegiatan di dalam usahatani sendiri Fp dan Fw, di luar usahatani sendiri Mp dan Mw, kegiatan produktif di dalam rumah Rp dan Rw, dipisah menurut pria dan wanita sebagai berikut: Tp= Lp + Fp + Rp+ Mp
(25.1)
Tw= Lw + Fw + Rw+ Mw
(25.2)
Kegiatan anggota keluarga pria dan wanita di dalam rumah dan sejumlah faktor lain B diasumsikan menghasilkan produksi komposit Cz sebagai berikut: Cz= Cz(Rp, Rw;B)
(26)
Produksi dinyatakan dalam bentuk fungsi produksi, menghasilkan produk usahatani Qa, input variabel V, tenaga kerja keluarga pria dan wanita Fp dan Fw, tenaga kerja luar keluarga Hp dan Hw, luas lahan garapan Lg, ketersediaan modal (capital stock) K, dan sejumlah faktor tetap D. Luas garapan dianggap variabel atau semi variabel dengan asumsi bahwa luas lahan garapan bisa diperluas dengan meningkatkan intensitas penggunaan lahan yang dikuasai per tahun. Luas lahan yang dikuasai dianggap tetap. Asumsi ini untuk menjelaskan bahwa pada usahatani perluasan lahan yang dikuasi relatif
94 sulit dan merupakan keputusan jangka panjang. Pada jangka pendek diasumsikan petani masih bisa memperluas lahan garapan dengan pengaturan pola tanam sepanjang tahun. Secara matematik dinyatakan sebagai berikut: Qa=G(Fp, Fw, Hp, Hw, V, Lg, K; D)
(27)
Diasumsikan kondisi kesempatan kerja di luar usahatani terbatas sehingga rumahtangga tidak dapat dengan leluasa memasuki lapangan kerja di luar usahatani. Ini berarti ada kendala dalam mengalokasikan tenaga kerja keluarga ke luar usahatani. Mp• 0, M w• 0 dan L g• 0
(28)
Kendala-kendala tersebut di atas dapat disederhanakan sebagai berikut: Kebutuhan konsumsi Cm memerlukan anggaran sebesar pmCm dimana pm adalah harga barang yang dibeli dari pasar.
Besar anggaran tersebut diperoleh rumahtangga dari
kegiatan usahatani dan kegiatan di luar usahatani. pmCm= pa(Qa-Ca) – pvV– hpHp–hpHp–lgLg–rK+mpMp+mwMw+E atau pmCm=paG(Fp,Fw,Hp,Hw,V,Lg,K;D)–paCa–pvV–hpHp–hpHp–lgLg– rK+mpMp+mwMw+E
(29)
dimana pa, pv, hp, hw, lg, r, mp dan mw masing-masing adalah harga produk Ca, harga input variabel, upah tenaga kerja pria, upah tenaga kerja wanita, sewa lahan, suku bunga modal, upah kerja di luar usahatani untuk tenaga kerja pria dan untuk tenaga kerja wanita. E adalah pendapatan lain di luar aktivitas tenaga kerja. Berdasarkan kendala-kendala di atas, maka dapat disusun fungsi Lagrange yang akan dimaksimumkan sebagai berikut: £ =U(Ca,Cm, Cz(Rp, Rw;B), Tp–Fp–Rp–Mp,Tw–Fw–Rw–Mw;A)+ ë{ paG(Fp,Fw,Hp,Hw,V,Lg,K;D)–paCa+pcQc–pvV–hpHp–hpHp–lgLg– rK+mpMp+mwMw+E– pmCm} + ì 1Mp+ ì 2Mw+ ç(L g)
(30)
95 dimana ë, ì 1, ì 2 dan ç masing-masing sebagai pengganda Langrange untuk masingmasing kendala. Syarat pertama yang harus dipenuhi agar fungsi Lagrange tersebut maksimum adalah turunan pertama fungsi tersebut harus sama dengan nol. Turunan parsial fungsi tersebut adalah sebagai berikut: • £/•C a =• U/•C
– ëpa =0
(31.1)
• £/•C m=•U/•C m– ëpm=0
(31.2)
a
• £/•R p=(• U/•C z)(•C z/•R p)–• U/• L • £/•R p=• U/•R p=•U/• L
w=• U/• L
atau (31.3)
p
• £/•R w=(• U/•C z)(• C z/•R w)–• U/• L • £/•R w=• U/•R
p=0
w=0
atau (31.4)
w
• £/•F p= –• U/• L
p+ ëpa(•G/• F
p)=0
• £/•F w= –• U/• L
w+ ëpa•G/• F
w
atau ëpa(• G/•F
=0 atau ëpa• G/•F
p)=• U/• L
w=• U/• L
w
p
(31.5) (31.6)
• £/•H p =pa(• G/•H p) –hp =0 atau pa(• G/•H p) =hp
(31.7)
• £/•H w=pa(• G/•H
(31.8)
w)–hw=0
atau pa(• G/•H
w)
=hw
• £/•V = pa(• G/• V)–pv=0 atau pa(• G/• V) =pv • £/• Mp= – • U/• L
p+
ëmp + ì 1=0 atau • U/• L
• £/• Mw= – • U/• L
w+
p=
ëmw + ì 2=0 atau • U/• L
• £/•K = pa(• G/•K) – r =0 atau pa(• G/•K) = r • £/•L g = ëpa(• G/• L pa(• G/• L
g) = lg
g) –ël g
(31.9) ëmp + ì
w=
(31.10)
1
ëmw + ì
2
(31.11) (31.12)
+ ç=0 atau
– ç/ë=l g*
(31.13)
Hasil turunan pertama di atas menghasilkan beberapa kondisi optimum keputusan konsumsi dan alokasi sumberdaya rumahtangga.
Pada sisi konsumsi terlihat pada
96 persamaan 31.1 dan 31.2 bahwa substitusi marjinal antara konsumsi Ca dan Cm ditentukan oleh rasio harga pasar masing-masing. Artinya, jika informasi harga kedua komoditi tersebut diperoleh maka perilaku rasional rumahtangga akan berusaha menyamakan rasio utilitas marginal masing-masing komditi dengan rasio harga komoditi tersebut. Prinsip ini berlaku seperti pada teori konsumsi biasa. Pada persamaan 31.3 dan 31.4 diperlihatkan pada kondisi optimum marjinal utilitas waktu santai pria dan wanita sama dengan nilai marjinal utilitas waktu untuk kerja di kegiatan rumahtangga. Keseimbangan ini tercapai tanpa adanya informasi harga atau upah kerja, yang menunjukkan adanya keseimbangan subjektif di dalam rumahtangga dalam mengalokasikan kegiatan rumahtangga dengan waktu santai. Pada kondisi optimum, keputusan rumahtangga dalam menggunakan tenaga kerja upahan terlihat pada persamaan 31.7 dan 31.8.
Menurut persamaan tersebut,
rumahtangga akan menggunakan tenaga kerja upahan sampai pada kondisi nilai produk marjinal tenaga kerja sama dengan nilai upah yang dibayarkan.
Kondisi ini juga
mengikuti prinsip maksimisasi keuntungan yang biasa terjadi pada perusahaan yang menghadapi pasar tenaga kerja bersaing sempurna. Hal ini berbeda dengan keputusan penggunaan tenaga kerja dalam keluarga yang tidak mengacu kepada upah tenaga kerja yang berlaku. Hal yang sama juga terjadi pada persamaan 31.9 untuk penggunaan input variabel V usahatani. Pada kondisi optimal, nilai produktivitas input variabel akan sama dengan harga input tersebut. Dari persamaan 31.5 , 31.6 , 31.10 dan 31.11 dapat diperoleh hubungan sebagai berikut: pa• G/•F
p=
mp+ì 1/ë=mp*
(33.1)
97 pa• G/•F
w=
mw+ì 2/ë=mw*
(33.2)
Persamaan 33.1 dan 33.2 menunjukkan bahwa pada kondisi optimum nilai produktivitas marjinal tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan usahatani tidak sama dengan tingkat upah yang berlaku dikegiatan luar usahatani sendiri, tetapi sama dengan harga bayangan tenaga kerja mp* atau mw*. Harga bayangan atau upah bayangan tenaga kerja dalam keluarga lebih besar dibandingkan dengan upah yang berlaku.
Menurut
kaidah slack komplementer (complementary slackness), harga bayangan tersebut akan muncul apabila rumahtangga tidak bekerja di luar usahatani (kendala tenaga kerja binding). Pada saat rumahtangga memutuskan untuk bekerja di luar usahataninya sendiri (berarti ì
1
atau ì
2
sama dengan nol), maka keseimbangan tercapai pada kondisi nilai
produk marjinal sama dengan upah yang berlaku. Memperhatikan kembali persamaan 31.3 dan 31.4 dapat disimpulkan bahwa pada kondisi optimum, nilai marjinal utilitas bekerja di rumahtangga sama dengan nilai marjinal utilitas waktu santai dan sama dengan harga bayangan bekerja di usahatani sendiri. Hal ini menunjukkan adanya hubungan simultan antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Di samping itu, secara praktis ini memudahkan dalam menilai waktu santai dan waktu untuk bekerja di rumahtangga, yaitu dengan cara menduga nilai produktivitas tenaga kerja di kegiatan usahatani. Catatan kegiatan di rumahtangga dan untuk waktu santai biasanya sulit diperoleh. Penggunaan modal kerja dapat dilihat pada persamaan 3.11, yaitu nilai produktivitas modal kerja di usahatani sama dengan tingkat suku bunga modal. Keseimbangan ini juga mengacu kepada prinsip maksimisasi keuntungan yang biasa digunakan oleh perusahaan. Pada model ini diasumsikan rumahtangga tidak terkendala
98 dalam memperoleh modal kerja, misalnya melalui pasar kredit.
Secara teoritik,
rumahtangga akan menggunakan kredit dimana nilai produktivitas marjinal modal yang diperoleh melalui kredit sama dengan tingkat suku bunga kredit yang berlaku. Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah persamaan 31.13 yang menunjukkan hubungan nilai produktivitas lahan sama dengan harga bayangan lahan, bukan sama dengan nilai sewa lahan sebagai cerminan harga lahan.
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa rumahtangga menghadapi kendala dalam mengakses pasar lahan, karena pasar lahan yang tersedia tidak hanya untuk faktor produksi tetapi untuk kepentingan yang lebih luas. Dengan adanya kendala dalam memasuki pasar lahan, maka pada kondisi optimum, penggunaan lahan akan mengacu kepada harga bayangan lahan, yaitu nilai produktivitas lahan. Dari persamaan 31.12 dapat diduga bahwa harga bayangan atau nilai produktivitas lahan usahatani lebih rendah dari harga sewa lahan yang berlaku. Hal ini untuk menjelaskan bahwa penilaian lahan pada pasar lahan lebih mahal dibandingkan dengan nilai lahan sebagai faktor produksi usahatani. Pada kondisi seperti ini, semakin terkendala rumahtangga dalam memperoleh lahan, akan cenderung meningkatkan penggunaan lahan dengan mengintensifkan penggunaan input non-lahan. Oleh karena itu, semakin sempit luas lahan yang dikuasai oleh rumahtangga, harga bayangan lahan akan semakin tinggi. Berdasarkan kondisi optimum di atas, selanjutnya dapat diturunkan permintaan dan penawaran rumahtangga terhadap produk yang dikonsumsi dan tenaga kerja, dan terhadap input usahatani. Dari persamaan 31.1 dan 31.2 dapat diturunkan fungsi permintaan rumahtangga terhadap Ca, Cm, yaitu komoditi yang dihasilkan dari usahatani dan yang dibeli dari pasar. Permintaan terhadap kedua komoditi tersebut dipengaruhi
99 oleh harga masing-masing komoditi, pendapatan dan karakteristik rumahtangga A dan B. Dalam bentuk matematik dinyatakan sebagai berikut: Ca =Ca(pa, pm, Y*;A)
(34.1)
Cm=Cm(pa, pm, Y*;A)
(34.2)
dimana Y* = ë*+E. Di dalam hal ini ë* merupakan keuntungan usahatani dengan memperhitungkan nilai tenaga kerja dalam keluarga yang dinilai dengan harga bayangan. Selanjutnya, dapat juga diturunkan fungsi penawaran tenaga kerja dalam keluarga untuk kegiatan usahatani dari persamaan 31.5, 31.6. Keistimewaan fungsi penawaran ini adalah bahwa penawaran tenaga kerja keluarga dipengaruhi oleh harga bayangan tenaga kerja seperti dirumuskan pada persamaan 33.1 dan 33.2. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah pendapatan yang dimana nilai tenaga kerja keluarga diukur juga dengan harga bayangan, harga produk, harga input variabel, dan karakteristik rumahtangga. Bentuk umum fungsi penawaran tenaga kerja dalam keluarga untuk pria dan wanita dinyatakan sebagai berikut: Fp=Fp(mp*,mw*,pa,pm,pv,Y*:A)
(35.1)
Fw=Fw(mw*, mp*, pa,pm,pv,Y*:A)
(35.1)
Fungsi permintaan rumahtangga terhadap tenaga kerja luar keluarga dapat diturunkan dari persamaan 31.7 dan 31.8. Fungsi permintaan rumahtangga terhadap input variabel V dapat diturunkan dari persamaan 31.9.
Ketiga fungsi permintaan
tersebut dipengaruhi oleh harga masing-masing input, harga produk, dan faktor tetap. Bentuk umum fungsi tersebut dinyatakan sebagai berikut: Hp=Hp(hp, hw, pa,pv,r, lg,Y*;D)
(36.1)
Hw=Hw(hp, hw, pa,pv,r,lg,Y*;D)
(36.2)
100 V =V(hp, hw, pa,pv,r,lg,Y*;D)
(36.3)
Selanjutnya permintaan rumahtangga terhadap lahan garapan dapat diturunkan dari persamaan 31.13. Melalui persamaan ini dapat diketahui fungsi permintaan lahan garapan merupakan fungsi harga bayangan lahan, harga produk, dan harga input lain, serta faktor tetap di usahatani. Bentuk umum fungsi permintaan lahan garapan dinyatakan sebagai berikut: Lg=Lg(lg*, pa, hp, hw, pv, r; D)
(37)
Model ekonomi rumahtangga yang diuraikan di atas, secara empirik masih perlu dikembangkan lebih lanjut. Model yang dikemukakan merupakan dasar pemikiran dalam membangun model empirik yang akan dipaparkan pada bagian metode dan konstruksi model.
Model empirik yang akan digunakan adalah model persamaan simultan.
Tujuannya adalah agar setiap hubungan yang terjadi antara variabel-variabel ekonomi yang menentukan perilaku ekonomi rumahtangga dapat diduga menggunakan model ekonometrika. 3.6. Harga Bayangan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asumsi kondisi pasar sangat menentukan perilaku ekonomi rumahtangga.
Asumsi pasar terkait dengan harga
diperlukan manakala rumahtangga dihadapkan pada pilihan menggunakan sumberdaya atau memilih komoditi untuk diproduksi atau dikonsumsi.
Jika misalnya tidak ada
pilihan, seperti dalam mengkonsumsi atau memproduksi komoditi tunggal, maka asumsi pasar menjadi tidak penting. Sebaliknya, jika rumahtangga dihadapkan pada lebih dari satu faktor produksi atau lebih dari satu jenis output untuk diproduksi atau dikonsumsi, maka pilihan yang rasional akan dapat dilakukan jika ada informasi harga. Pilihan seperti
101 ini terjadi misalnya pada prinsip biaya minimum (least cost) pada penentuan komposisi input, penerimaan maksimum pada kurva kemungkinan produksi (production possibility curve), dan pilihan kombinasi konsumsi barang pada kurva indiferen. Pilihan itu hanya bisa dilakukan jika terdapat informasi harga, dan harga yang dimaksud adalah harga pasar bersaing sempurna. Perbedaan antara kondisi pasar bersaing sempurna dengan kondisi pasar tidak sempurna pada perilaku ekonomi rumahtangga adalah dalam menentukan harga input dan harga output. Pada asumsi pasar bersaing sempurna, rumahtangga menjadi price taker. Harga input dan harga output merupakan faktor eksogen yang besarannya ditentukan oleh mekanisme pasar.
Pada pasar tidak sempurna, harga input atau harga output yang
dihadapi rumahtangga tidak lagi mengacu kepada harga pasar, tetapi ditentukan secara internal oleh rumahtangga sebagai harga bayangan (Sadoulet and de Janvry, 1995). Harga bayangan input atau faktor produksi bisa diartikan sebagai biaya yang diperhitungkan (imputed cost) atau bisa juga sebagai opportunity cost (Koutsoyiannis, 1980). Pada persoalan optimasi terkendala, seperti pada Linear Programming, harga bayangan input mempunyai arti berapa nilai tambahan fungsi tujuan setiap tambahan satu satuan input.
Pada optimasi terkendala, besaran pengganda Langrange (Lagrange
multiplier) juga diartikan sebagai harga bayangan, atau imputed cost (Silberberg, 1990, Sadoulet and de Janvry, 1995). Di dalam hal ini harga bayangan diartikan sebagai nilai satu unit sumberdaya diukur dengan kontribusinya terhadap tambahan nilai fungsi tujuan. Semakin langka ketersediaan sumberdaya relatif terhadap jumlah yang dibutuhkan, harga bayangan sumberdaya tersebut semakin tinggi.
Sebaliknya, semakin berlimpah
ketersediaan sumberdaya relatif terhadap kebutuhan, harga bayangan sumberdaya
102 tersebut semakin rendah. Pada kondisi ketersediaan yang berlebihan, harga bayangan tersebut menjadi nol. Pada teori ekonomi produksi, tambahan nilai output yang disebabkan oleh tambahan satu satuan sumberdaya disebut nilai produktivitas marjinal yaitu P*Fi, dimana P adalah harga produk dan Fi adalah produktivitas marjinal input ke-i. Merujuk kepada pengertian harga bayangan di atas, nilai produktivitas marjinal ini juga dapat diartikan sebagai harga bayangan faktor produksi. Oleh karena itu, pendugaan terhadap harga bayangan faktor produksi, termasuk tenaga kerja, bisa dilakukan dengan menduga nilai produktivitas marjinal. Pendugaan seperti ini dilakukan oleh Skoufias (1994), Sonoda and Maruyama (1999),
Rahr (2002), dan Barrett, Sherlund, and Adesina (2005).
Berdasarkan pendugaan ini, besarnya harga bayangan ditentukan oleh penggunaan input , produk dan harga produk. Nilai produktivitas marjinal juga tergantung pada bentuk fungsi produksi yang digunakan. Pendugaan harga bayangan yang lebih umum dilakukan oleh Bhattacharyya and Kumbhakar (1997). Harga bayangan pada model ini merupakan fungsi dari harga input dan harga output. Mengacu kepada pengertian harga bayangan input sebagai nilai produktivitas input, maka harga bayangan dapat dibandingkan dengan harga pasar yang berlaku, atau harga aktualnya.
Pada teori ekonomi produksi, panggunaan input pada kondisi
keuntungan maksimum akan diperoleh keseimbangan nilai produktivitas marjinal input (NPM) sama dengan biaya korbanan marjinalnya (BKM) atau harga pasar input itu sendiri.
Kondisi keseimbangan ini sering digunakan untuk memeriksa sejauh mana
produsen telah menggunakan input secara efisien, dalam hal ini efisiensi alokatif atau efisiensi ekonomi.
103 Indikator NPM dan BKM dapat juga diartikan sebagai indikator ketidak sempurnaan pasar yang dihadapi produsen atau di dalam penelitian ini rumahtangga petani. Agar rumahtangga petani dapat memutuskan penggunaan input secara efisien, petani memerlukan informasi harga input dan harga output, serta teknologi produksi, seperti yang disyaratkan pada kondisi pasar persaingan sempurna. Manakala informasi tersebut tidak diperoleh karena berbagai sebab, menyababkan rumahtangga petani tidak dapat mengalokasikan penggunaan inputnya secara efisien menurut harga pasar yang berlaku. Oleh karena itu, Bhattacharyya dan Kumbakar (1997) mencatat bahwa setiap ada perbedaan harga bayangan dengan harga pasar atau tingkat upah yang berlaku, dapat digunakan sebagai indakator adanya distorsi penggunaan sumberdaya yang disebabkan oleh berbagai kendala.
Pada penelitian ini, diasumsikan petani secara ekonomi
berperilaku rasional, jika terdapat perbedaan antara harga bayangan dengan harga pasar diterjemahkan sebagai adanya restriksi dalam penggunaan input.
Retriksi bisa
disebabkan oleh ketidak sempurnaan pasar yang dihadapi rumahtangga petani.
.