III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku berupa biji jintan hitam kering diperoleh dari Pasar Tanah Abang, Jakarta. Pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi meliputi aquades, heksana teknis, etil asetat teknis, metanol teknis, etanol teknis 96 % diperoleh dari CV. Panca Pratama Bogor. Kultur bakteri Staphylococus aureus,
Escherichia
coli,
Salmonella
Typhimurium,
Pseudomonas
aeruginosa, dan Bacillus cereus diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antimikroba dan uji fitokimia meliputi media Nutrient Broth (NB), media Nutrient Agar (NA), antibiotik amoxycillin, NaCl, Dimetil Sulfoksida (DMSO), HgCl2, Kalium Iodida, asam sulfat pekat, larutan FeCl3, kloroform, amoniak, gelatin, aquades, eter, asam asetat glasial. Bahanbahan lain yang dibutuhkan adalah parafilm, spiritus, alkohol 70 %, kertas saring Whatman No 1, aluminium foil, kapas, korek api, kertas label, gas N2, es batu, tissue, aluminium foil, dan plastik tahan panas (High Density Polietilen / HDPE). Peralatan yang digunakan meliputi alat refluks (tabung refluks, penangas air dan kondensor), alat penyaring vakum, alat rotavapor, oven vakum, oven, otoklaf, inkubator, refrigerator, hot plate, blender kering, neraca analitik, alat vorteks, gelas ukur, gelas piala, labu erlenmeyer, labu lemak, cawan petri, tabung reaksi tanpa tutup, tabung reaksi bertutup, botol berwarna gelap ukuran 150 ml, botol kecil berwarna gelap ukuran 10-25 ml, pipet mikron, pipet Mohr, pipet tetes, jangka sorong, sudip, sendok, bunsen, bulb, ose, mangkok, baskom, keranjang, loyang, dan spidol waterproof.
B. TEMPAT DAN WAKTU Pelaksanaan penelitian ini dimulai pada bulan Februari 2006 hingga bulan Agustus 2006 di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor dan di Laboratorium Kimia Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.
25
C. METODE PENELITIAN Dalam pelaksanaannya, penelitian ini dibagi dalam dua tahapan, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Tahapan penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 1. 1. Penelitian pendahuluan a. Penghitungan jumlah mikroba uji pada umur 24 jam (Metode Hitungan Cawan) Penghitungan jumlah mikroba uji pada umur 24 jam bertujuan untuk mengetahui jumlah sel dari satu ose kultur mikroba, setelah ditumbuhkan selama 24 jam dalam 10 ml Nutrient Broth. Setelah diketahui jumlah sel mikroba dalam 10 ml Nutrien Broth, dapat ditentukan pengenceran yang perlu dilakukan untuk memperoleh sekitar 105 sel per ml media agar. Kultur dari agar miring digores sebanyak satu ose dan dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah waktu inkubasi tercapai, diambil 1 ml dan dipindahkan ke dalam 9 ml NB steril kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ºC. Setelah waktu inkubasi tercapai, diambil 1 ml dan dipindahkan ke dalam 9 ml larutan pengencer steril. Seri pengenceran dibuat dari 1:101, 1:102, 1:103 hingga 1 : 108. Pada pengenceran ke-5, pengenceran ke-6, pengenceran ke-7 dan pengenceran ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril kemudian dituang agar. Agar digoyang pelan supaya sel mikroba menyebar rata di dalam agar. Setelah agar membeku, diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 48 jam. Setelah waktu inkubasi tercapai, dilakukan penghitungan jumlah mikroba. Proses persiapan kultur mikroba secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Ekstraksi komponen antimikroba secara ekstraksi tunggal Tahap ini bertujuan untuk mengekstrak komponen antimikroba yang terdapat dalam biji jintan hitam. Ekstrak yang ingin diperoleh dari proses ekstraksi tunggal adalah ekstrak air, ekstrak etanol dan minyak atsiri. Ekstrak air dan ekstrak etanol akan diperoleh dari proses ekstraksi
26
menggunakan pelarut dengan metode refluks, sedangkan minyak atsiri akan diperoleh dari proses distilasi uap. Proses ekstraksi menggunakan pelarut air dan pelarut etanol dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, sedangkan destilasi uap dilakukan di Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), Bogor. Setelah diperoleh ekstrak air, ekstrak etanol dan minyak atsiri, masing-masing ekstrak akan diuji aktivitas antimikrobanya dengan metode difusi agar terhadap bakteri Staphylococus aureus, Escherichia coli, Salmonella Typhimurium, Pseudomonas aeruginosa, dan Bacillus cereus. Ekstrak yang menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik, yaitu memiliki spektrum yang luas dan nilai diameter penghambatan yang besar, akan
diuji
lanjut
dengan
penentuan
nilai
Minimum
Inhibitory
Concentration (MIC) dan diidentifikasi komponen fitokimianya. Metode refluks dilakukan dengan mengkontakkan bahan secara langsung dengan pelarut, yaitu dengan memasukkan bahan dan pelarut ke dalam tabung refluks. Sebelum tabung refluks yang berisi bahan dan pelarut dipasang pada alat refluks, alat refluks dipanaskan mendekati suhu titik didih pelarut. Untuk pelarut air, alat refluks dipanaskan hingga mendekati suhu 100 oC (98-99 oC), sedangkan untuk pelarut etanol alat refluks dipanaskan hingga mendekati suhu 70 oC (68-69 oC). Pada saat suhu yang diinginkan sudah tercapai, tabung refluks yang berisi bahan dan pelarut dipasang pada alat refluks. Pelarut akan mengekstrak komponen antimikroba dari bahan. Pada saat titik didih pelarut tercapai, pelarut akan menguap. Untuk mengurangi kehilangan pelarut, kondensor dipasang di atas tabung refluks. Dengan demikian, saat pelarut yang menguap melewati kondensor yang dingin, pelarut tersebut akan jatuh kembali ke dalam tabung refluks. Ekstraksi dengan metode refluks ini dilakukan dua kali. Ekstraksi pertama dilakukan selama 3 jam, sedangkan ekstraksi kedua dilakukan selama 2 jam. Setelah waktu ekstraksi pertama tercapai (3 jam), tabung refluks diangkat dan cairan yang diperoleh disaring dengan kertas saring dan dituang ke dalam botol. Ampas dimasukkan kembali ke dalam tabung
27
refluks untuk diekstrak kedua kalinya. Ampas ditambah pelarut dengan jumlah yang sama seperti pada ekstraksi pertama. Tabung refluks dipasang kembali pada alat refluks dan dioperasikan selama 2 jam. Setelah waktu refluks tercapai, cairan yang diperoleh disaring dan digabungkan dengan filtrat pertama. Bahan yang digunakan dalam ekstraksi pertama dalam keadaan kering, sedangkan bahan yang digunakan pada ekstraksi kedua masih mengandung sebagian pelarut yang tersisa setelah ekstraksi pertama. Ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi pertama adalah 1:3. Jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi kedua sama dengan jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi pertama sehingga ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi kedua tidak tepat 1:3. Setelah proses refluks selesai dilakukan dua kali, filtrat yang diperoleh
dikurangi
jumlah
pelarutnya
dengan
cara
diuapkan
menggunakan rotavapor. Untuk filtrat air, penguapan pelarut dilakukan pada suhu 50 oC, sedangkan untuk filtrat etanol, penguapan pelarut dilakukan pada suhu 40-45 oC. Setelah di-rotavapor, sebagian pelarut masih tertinggal dalam ekstrak sehingga dilakukan penghembusan gas N2 untuk menguapkan seluruh pelarut. Penghembusan gas N2 dilakukan hingga ekstrak mencapai berat stabil, yaitu pengurangan bobot ekstrak kurang dari 0,001 g. Ekstrak yang diperoleh kemudian disimpan pada suhu kurang dari 4 oC (suhu refrigerator). Air sangat sulit diuapkan seluruhnya dari ekstrak. Walaupun telah dirotavapor pada suhu 50 oC dan dihembus gas N2, belum semua kandungan air dalam ekstrak menguap. Setelah dihembus gas N2 selama kurang lebih 3 jam, tidak diperoleh pengurangan bobot ekstrak yang cukup berarti. Oleh karena itu, khusus untuk ekstrak air, ekstrak yang digunakan tidak benarbenar pekat. Untuk mengetahui kepekatan ekstrak air secara kuantitatif, dilakukan pengukuran kadar air. Bagan proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut air dapat dilihat pada Gambar 8, sedangkan bagan proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol dapat dilihat pada Gambar 9.
28
Bubuk jintan hitam Ulangan
Direfluks dengan air (100 oC, 3 jam)
(100 ºC, 2 jam)
Ampas
`
Filtrat Dipekatkan (50 oC) Ekstrak air Dihembus N2 Disimpan dalam refrigerator (suhu 4oC) hingga proses analisis
Gambar 8. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut air
Bubuk jintan hitam Ulangan
Direfluks dengan etanol (70 oC, 3 jam)
(70 ºC, 2 jam)
Ampas
`
Filtrat Dipekatkan (40-45 oC) Ekstrak etanol Dihembus N2 Ekstrak etanol pekat Disimpan dalam refrigerator (suhu 4oC) hingga proses analisis
Gambar 9. Diagram proses ekstraksi tunggal menggunakan pelarut etanol
29
2. Penelitian Lanjutan Penelitian lanjutan dilakukan dengan mengekstraksi komponen antimikroba secara ekstraksi bertingkat. Ekstraksi bertingkat dengan pelarut organik akan memisahkan komponen antimikroba dalam jintan hitam secara lebih spesifik dan komponen antimikroba akan lebih terkonsentrasi. Dengan ekstraksi secara bertingkat, diharapkan diperoleh konsentrasi komponen antimikroba yang lebih tinggi lagi pada masing-masing ekstrak. Proses ekstraksi bertingkat dilakukan terhadap biji jintan hitam yang telah dihilangkan/diambil minyak atsirinya. Ampas hasil destilasi uap minyak atsiri diekstrak bertingkat secara refluks menggunakan tiga pelarut yang kepolarannya berbeda yaitu heksan, etil asetat dan metanol secara berurutan sehingga diperoleh ekstrak heksan, ekstrak heksan-etil asetat, dan ekstrak heksan-etil asetat-metanol. Selanjutnya, ekstrak heksan-etil asetat akan disebut sebagai ekstrak etil asetat dan ekstrak heksan-etil asetatmetanol akan disebut ekstrak metanol. Teknik refluks secara ekstraksi bertingkat pada dasarnya sama dengan teknik refluks yang dilakukan secara ekstraksi tunggal. Untuk setiap pelarut, ekstraksi dilakukan dua kali. Ekstraksi pertama dilakukan selama 3 jam dan ekstraksi kedua dilakukan selama 2 jam. Bahan yang digunakan dalam ekstraksi pertama dalam keadaan kering, sedangkan bahan yang digunakan pada ekstraksi kedua masih mengandung sebagian pelarut yang tersisa setelah ekstraksi pertama. Ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi pertama adalah 1:3. Jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi kedua sama dengan jumlah pelarut yang ditambahkan pada ekstraksi pertama sehingga ratio bahan dan pelarut pada ekstraksi kedua tidak tepat 1:3. Setelah proses refluks selesai dilakukan dua kali, filtrat yang diperoleh di-rotavapor untuk mengurangi jumlah pelarutnya. Setelah di-rotavapor, filtrat dihembus gas N2 untuk menguapkan seluruh pelarut. Ekstrak disimpan pada suhu 4 oC (suhu refrigerator) sampai proses analisis. Ekstrak siap diuji aktivitas antimikrobanya secara difusi agar. Selain itu, beberapa ekstrak terpilih akan diuji nilai MIC dan diuji secara kualitatif komponen fitokimianya.
30
Perbedaan antara proses refluks secara tunggal dan proses refluks secara bertingkat terletak pada suhu yang digunakan saat refluks, suhu yang digunakan saat rotavapor dan perlakuan terhadap bahan. Suhu yang digunakan saat refluks adalah 60
o
C dan suhu yang digunakan saat
o
rotavapor adalah 40 C. Perbedaan perlakuan pada ekstraksi bertingkat adalah ampas bahan setelah ekstraksi tidak dibuang melainkan digunakan kembali untuk ekstraksi menggunakan pelarut yang lain. Setelah ekstraksi kedua, ampas dikering-anginkan minimal selama satu malam dan di-oven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak kembali menggunakan pelarut yang berbeda. Gambaran lebih sederhana mengenai proses ekstraksi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 10. Ampas hasil destilasi uap Ulangan
Direfluks dengan pelarut heksan (60 oC, 3 jam)
(60 ºC, 2 jam)
Ampas Ulangan
`
Filtrat
Direfluks dengan etil asetat (60 oC, 3 jam)
(60 ºC, 2 jam)
Ampas Ulangan
Filtrat
(60 ºC, 2 jam)Direfluks o
dengan metanol (60 C, 3 jam)
Ampas
Dipekatkan (40-45 oC)
Filtrat
Ekstrak etil asetat
Dipekatkan
Dihembus gas N2
Ekstrak metanol Dihembus gas N2
Dipekatkan (40-45 oC) Ekstrak heksan
Dihembus gas N2 Ekstrak heksan pekat
Ekstrak etil asetat pekat
Ekstrak metanol pekat Gambar 10. Diagram proses ekstraksi bertingkat dengan metode refluks
31
Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan heksan adalah 60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak tersebut adalah 40 oC. Ampas sisa ekstraksi menggunakan heksan tidak dibuang, melainkan dikering-anginkan minimal selama semalam dan dioven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak kembali menggunakan pelarut etil asetat. Ampas dikering-anginkan untuk menguapkan heksan dari ampas. Ampas di-oven vakum untuk benar-benar memastikan bahwa seluruh heksan sudah menguap dari ampas. Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan etil asetat adalah 60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak tersebut adalah 40 oC. Ampas sisa ekstraksi menggunakan heksan tidak dibuang, melainkan dikering-anginkan minimal selama semalam dan dioven vakum minimal selama 30 menit pada suhu 40 oC sebelum diekstrak kembali menggunakan pelarut metanol. Tujuan ampas dikering-anginkan dan dioven vakum adalah untuk menguapkan etil asetat dari ampas. Suhu yang digunakan pada saat refluks menggunakan metanol adalah 60 oC dan suhu rotavapor yang digunakan untuk memekatkan ekstrak tersebut adalah 40 oC.
D. METODE ANALISIS 1. Analisis kadar air pada ekstrak air jintan hitam (Metode distilasi azeotropik) (Apriantono et. al., 1989) Analisis kadar air dilakukan dengan metode azeotropik karena sampel mengandung senyawa yang mudah menguap. Air akan dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu menggunakan pelarut immicible. Air akan terkumpul dalam labu Bidwel-Sterling dan akan selalu berada pada bagian bawah karena berat jenisnya lebih berat dari berat jenis pelarut. Pemanas berjaket, tabung penerima “Bidwel Sterling”, kondensor tipe “cold finger” dirangkai. Setelah alat selesai dirangkai, sebanyak 2 gram sampel dimasukkan ke dalam labu didih ataupun erlenmeyer yang sudah dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC. Kemudian ditambahkan pelarut
32
(toluena, silena ataupun pelarut lain). Labu didih ataupun erlenmeyer dirangkaikan pada alat distilasi azeotropik. Campuran bahan dan pelarut tersebut dipanaskan dengan pemanas listrik dan refluks perlahan-lahan dengan suhu rendah selama 45 menit. Setelah itu, dilanjutkan pada suhu yang lebih tinggi selama 1-1.5 jam. Setelah waktu distilsi tercapai, baca volume air yang terdistilasi pada Labu Bidwel-Sterling. Kadar air adalah perbandingan volume air yang diperoleh dengan jumlah sampel yang diambil, kemudian dikalikan 100. 2. Pengujian
aktivitas
antimikroba
(Garriga
et.
al.,
1993
yang
dimodifikasi) Sebelum diuji aktivitas antimikrobanya, ekstrak pekat diencerkan terlebih dahulu menggunakan DMSO hingga konsentrasinya sebesar 28 % (w/w). Kultur uji yang telah disiapkan, yaitu yang telah disegarkan dalam NB selama 24 jam, diinokulasikan sejumlah A (sesuai hasil yang didapat pada persiapan kultur pada Lampiran 2) ke dalam media NA. Campuran antara media dan kultur tersebut kemudian dituang ke dalam cawan petri dan ditunggu hingga membeku. Setelah agar membeku, dibuat lubang-lubang sumur dengan diameter sekitar 6 mm. Setiap cawan petri dibuat 6 sumur, 2 sumur diisi kontrol negatif (DMSO), 2 sumur diisi kontrol positif (Amoxycillin 0.01% w/v) dan 2 sumur lagi diisi ekstrak rempah, masingmasing sebanyak 50 µl. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam refrigerator selama kurang lebih satu jam untuk memberi kesempatan agar ekstrak meresap terlebih dahulu ke dalam agar. Setelah itu, diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam. Pengukuran uji aktivitas antimikroba dilakukan sebanyak dua kali ulangan dan duplo. Dua kali ulangan dengan pengertian ekstrak yang sama diuji aktivitas antimikrobanya pada 2 cawan yang berbeda, sedangkan duplo dengan pengertian dalam 1 cawan terdapat 2 lubang yang berisi sampel yang sama. Setelah waktu inkubasi selesai, diamati dan diukur zona/diameter penghambatan berupa areal bening di sekeliling sumur. Diameter penghambatan adalah selisih antara lebar areal bening dengan diameter sumur. Untuk menghilangkan pengaruh DMSO terhadap mikroba uji, ada
33
satu lubang yang hanya berisi DMSO sebagai kontrol negatif. Tahapan difusi agar secara lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada saat melakukan difusi agar, dilakukan juga penghitungan jumlah mikroba seperti pada persiapan kultur (pada Lampiran 2) sebagai uji konfirmasi untuk mengetahui jumlah mikroba yang benar-benar dimasukkan ke dalam media agar. 3. Penentuan nilai Minimum Inhibitory Concentration (modifikasi metode Bloomfield, 1991) Penentuan nilai MIC dengan metode Bloomfield (1991) dilakukan seperti uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi agar. Jumlah mikroba yang
harus
berada
dalam
agar,
penghitungan
zona
bening/zona
penghambatan dan cara pengerjaannya sama dengan ketentuan pada metode difusi agar. Perbedaannya hanya terletak pada konsentrasi ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur. Jika hanya ingin mengetahui aktivitas antimikroba, ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur terdiri dari satu konsentrasi. Jika ingin mengetahui nilai MIC, ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur terdiri dari beberapa konsentrasi. Pada penelitian ini dibuat konsentrasi, yaitu 10 %, 20 %, 30 %, 40 %, dan 50 %. Pengecualian untuk ekstrak metanol, hanya dibuat 3 konsentrasi yaitu 10 %, 20 % dan 28 %. Kultur uji yang telah disiapkan, yaitu yang telah disegarkan dalam NB selama 24 jam, diinokulasikan sejumlah A (sesuai hasil yang didapat pada persiapan kultur pada Lampiran 2) ke dalam media NA. Campuran antara media dan kultur tersebut kemudian dituang ke dalam cawan petri dan ditunggu hingga membeku. Setelah agar membeku, dibuat lubang-lubang sumur dengan diameter sekitar 6 mm. Setiap cawan petri dibuat 6 sumur, 2 sumur diisi kontrol negatif (DMSO), 4 sumur diisi ekstrak, masing-masing sebanyak 50 µl. Keempat sumur yang diisi ekstrak, setiap dua sumur diisi dengan konsentrasi yang sama. Setelah semua sumur terisi, cawan dimasukkan ke dalam refrigerator selama kurang lebih satu jam untuk memberi kesempatan agar ekstrak meresap terlebih dahulu ke dalam agar. Setelah itu, diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam.
34
Pengukuran uji aktivitas antimikroba dilakukan sebanyak dua kali ulangan dan duplo. Dua kali ulangan dengan pengertian ekstrak yang sama diuji aktivitas antimikrobanya pada 2 cawan yang berbeda, sedangkan duplo dengan pengertian dalam 1 cawan terdapat 2 lubang yang berisi sampel yang sama. Untuk menghilangkan pengaruh DMSO terhadap mikroba uji, ada sumur yang hanya berisi DMSO sebagai kontrol negatif. Pada saat penentuan nilai MIC, tetap dilakukan juga penghitungan jumlah mikroba seperti pada persiapan kultur (pada Lampiran 2) sebagai uji konfirmasi untuk mengetahui jumlah mikroba yang benar-benar dimasukkan ke dalam media agar. Setelah waktu inkubasi selesai, diamati dan diukur zona/diameter penghambatan berupa areal bening di sekeliling sumur. Diameter penghambatan adalah selisih antara lebar areal bening dengan diameter sumur. Setelah diukur diameter penghambatannya, ditentukan nilai MIC-nya. Penentuan nilai MIC dilakukan secara regresi linier. Dihitung nilai Ln dari masing-masing konsentrasi yang digunakan. Nilai Ln dari masingmasing konsentrasi akan dianggap sebagai nilai pada sumbu X. Besar diameter penghambatan yang diperoleh, dikuadratkan dan akan dianggap sebagai nilai pada sumbu Y. Setelah nilai pada sumbu X dan nilai pada sumbu Y diketahui (sumbu X dari Ln konsentrasi dan sumbu Y dari kuadrat besar diameter penghambatan), ditentukan persamaan regresinya. Setelah diketahui persamaan regresinya, dicari nilai X pada saat nilai Y=0. Setelah diketahui nilai X saat nilai Y=0, dilakukan ekponensial pada nilai X tersebut. Nilai X yang telah dieksponensialkan akan disebut sebagai nilai Mt. Nilai MIC adalah 0.25 x nilai Mt. Untuk lebih jelas, dapat dilihat contoh perhitungan pada Lampiran 7 hingga Lampiran 10. 4. Identifikasi komponen fitokimia secara kualitatif a. Uji golongan fenolik (Houghton dan Raman, 1998) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan FeCl3 1%. Terbentuknya warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapatnya komponen fenol.
35
b. Uji golongan tanin (Houghton dan Raman, 1998) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan gelatin 10%. Jika ekstrak menggumpal, berarti ekstrak mengandung tanin. c. Uji golongan flavonoid (Harborne, 1996) Sebanyak 1 ml ekstrak ditetesi Pb-asetat. Hasil uji positif untuk flavon bila terbentuk warna jingga atau krem. d. Uji golongan alkaloid (Houghton and Raman yang dimodifikasi, 1998) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan 10 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak, kemudian diasamkan dengan beberapa tetes asam sulfat 2 M. Akan terbentuk 2 fase, fase asam diambil dan dibagi ke dalam 3 buah tabung reaksi. Ke dalam tabung pertama ditambahkan 3 tetes pereaksi Dragendorf, ke dalam tabung kedua ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer, dan ke dalam tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Wagner. Hasil uji positif untuk uji dengan pereaksi Dragendorf jika terdapat endapan berwarna jingga. Hasil uji positif untuk uji dengan pereaksi Mayer jika terdapat endapan berwarna putih. Hasil uji positif untuk uji dengan pereaksi Wagner jika terdapat endapan berwarna merah kecoklatan. e. Uji golongan terpenoid dan steroid (Uji Lie-Bermann-Burchard) (Harborne, 1996) Sebanyak 1 ml ekstrak dilarutkan dalam 2 ml kloroform, kemudian ditambahkan 10 tetes asam asetat glasial dan 3 tetes asam sulfat pekat. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Hasil uji positif untuk terpenoid bila terbentuk warna merah atau ungu. Hasil uji positif untuk steroid bila terbentuk warna merah yang kemudian berubah menjadi biru atau hijau. f. Uji golongan saponin (Harborne, 1996) Sebanyak 1 ml ekstrak ditambahkan 10 ml air panas lalu didinginkan. Selanjutnya di-vorteks selama 10 detik. Bila ekstrak mengandung senyawa saponin, akan terbentuk buih yang mantap selama sekitar 10 menit. Buih dikatakan mantap jika tingginya 1-10 cm dan tidak hilang bila ditambah HCl 2 N.
36
E. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan percobaan faktorial dua faktor. Faktor yang digunakan adalah jenis ekstrak dan jenis mikroba. Faktor ekstrak terdiri dari enam taraf, sedangkan faktor mikroba terdiri dari lima taraf. Dalam percobaan faktorial ini, perlakuan yang ada merupakan komposisi dari semua kemungkinan kombinasi dari taraf. Dengan rancangan faktorial dapat diketahui respon dari taraf masing-masing faktor (pengaruh utama) serta interaksi antar dua faktor (pengaruh sederhana). Jika diplotkan pada diagram, dapat dilihat respon setiap faktor pada berbagai kondisi faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pada berbagai kondisi tertentu ke kondisi yang lain, faktor tersebut dapat dikatakan berinteraksi. Sedangkan jika tidak ada perubahan pola, dapat dikatakan tidak ada interaksi. Jika jenis ekstrak dianggap sebagai faktor A dan jenis bakteri sebagai faktor B, model linier aditif dari rancangan ini secara umum adalah sebagai berikut. Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Yijk adalah nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan ulangan ke-k; µ, αi, βj merupakan komponen aditif dari rataan, pengaruh utama faktor A dan pengaruh utama faktor B; (αβ)ij merupakan komponen interaksi dari faktor A dan faktor B; εijk merupakan pengaruh acak yang menyebar normal (0,σ2). Untuk mengetahui efektivitas setiap ekstrak dan juga untuk mengetahui ketahanan setiap bakteri uji, dilakukan analisis statistik dengan analisis ragam (ANOVA). Namun, karena ulangan yang digunakan pada setiap ekstrak tidak sama maka digunakan menggunakan metode General Linear Model (GLM) pada taraf nyata 0.05. Metode GLM merupakan suatu prosedur SAS yang didesain untuk keperluan yang lebih global. Metode GLM dapat digunakan untuk mengerjakan data yang tidak seimbang atau jumlah ulangan yang tidak sama (Mattjik dan Sumertajaya, 2000). Jika setelah diolah dengan metode GLM hasilnya berbeda nyata, dilakukan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 0.05. Analisis statistik dilakukan menggunakan program SAS (Statistical Analysis System).
37