II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Efisiensi Farrell (1957) menyatakan alasan pentingnya pengukuran efisiensi : (1) Masalah pengukuran efisiensi produksi suatu industri adalah penting untuk ahli teori ekonomi maupun pengambil kebijakan ekonomi; (2) Jika alasan-alasan teoritis efisiensi relatif dari berbagai sistem ekonomi harus diuji, maka penting untuk mampu membuat pengukuran efisiensi aktual; (3) Jika perencanaan ekonomi sangat terkait dengan industri tertentu adalah penting untuk meningkatkan output tanpa menyerap sumberdaya-sumberdaya tambahan atau menaikkan efisiensinya. Dalam teori ekonomi mikro yang standar, konsep fungsi produksi membentuk dasar untuk deskripsi hubungan input-output bagi petani. Jika diasumsikan faktor produksi homogen dan informasi lengkap tentang teknologi yang ada, fungsi produksi mewakili sejumlah metode untuk menghasilkan output. Untuk situasi tertentu, fungsi produksi akan memberikan gambaran tentang teknologi produksi. Penghitungan efisiensi selanjutnya dapat dibuat relatif terhadap fungsi produksi. Secara khusus, inefisiensi teknis akan ditentukan oleh jumlah penyimpangan dari fungsi produksi ini. Byerlee (1987), mengemukakan bahwa dalam istilah ekonomi, inefisiensi teknis mengacu pada kegagalan untuk beroperasi pada fungsi produksi tersebut. Penyebab potensial inefisensi teknis adalah informasi tidak sempurna, kapabilitas teknis yang rendah dan motivasi yang tidak memadai (Daryanto, 2000).
21 Farrell (1957) memperkenalkan metoda sederhana untuk mengukur efisiensi petani langsung dari data observasi, dalam kasus output tunggal, dengan melibatkan banyak input.
Efisiensi teknis didefinisikan sebagai kemampuan
petani mencapai output maksimum yang mungkin tercapai dari sejumlah penggunaan input pada teknologi yang tersedia. Lau dan Yotopoulus (1971) mengemukakan, seorang produsen lebih efisien secara teknis daripada produsen lainnya, apabila secara konsisten mampu menghasilkan produk yang lebih tinggi, dengan menggunakan faktor produksi yang sama. Sementara itu, efisiensi alokatif mengacu pada kemampuan petani merespon sinyal ekonomi dan memilih kombinasi input optimal pada harga-harga input yang berlaku. Farrell (1957) mengembangkan literatur untuk melakukan estimasi empiris untuk efisiensi teknis (tehcnical efficiency/TE), efisiensi alokatif (alocative efficiency/AE), dan efisiensi ekonomi (economic efficiency/EE).
Kemudian
penggunaannya lebih lanjut dilakukan oleh Tylor, et al., (1986), serta Ogundari dan Ojo, (2006). Efisiensi teknis (TE) didefinisikan sebagai kemampuan seorang produsen atau petani untuk mendapatkan output maksimum dari penggunaan sejumlah input. Efisiensi teknis (TE) berhubungan dengan kemampuan petani untuk berproduksi pada kurva batas isoquan (frontier isoquan).
Dapat juga
didefinisikan sebagai kemampuan petani untuk memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan input minimum pada tingkat teknologi tertentu. Efisiensi alokatif (AE) adalah kemampuan seorang petani untuk menggunakan input pada proporsi yang optimal pada harga faktor dan teknologi produksi yang tetap (given). Dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan petani
22 untuk memilih tingkat penggunaan input minimum di mana harga-harga faktor dan teknologi tetap.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa AE menjelaskan
kemampuan petani dalam menghasilkan sejumlah output pada kondisi minimisasi rasio biaya input. Gabungan kedua efisiensi ini disebut efisiensi ekonomi (EE), artinya bahwa produk yang dihasilkan baik secara teknik maupun alokatif efisien. Secara ringkas dapat dikatakan EE sebagai kemampuan yang dimiliki oleh petani dalam berproduksi untuk menghasilkan sejumlah output yang telah ditentukan sebelumnya. Secara ekonomik efisien bahwa kombinasi input-output akan berada pada fungsi produksi frontier dan jalur pengembangan usaha (expantion path). Pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi tingkat efisiensi teknis dalam perkembangan selanjutnya menggunakan fungsi stochastic production frontier (SPF). Berdasarkan artikel, ketiga pendekatan tersebut diperkenalkan secara lebih luas oleh Aigner, Lovell dan Schmidt (1977) maupun Meeusen dan Van den Broeck (1977). Terdapat empat implikasi kebijakan yang dapat dihasilkan dari bahasan tentang efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomis, yakni (Ellis, 1988; Ellis, 2003): (a) Jika petani memang dibatasi oleh teknologi yang tersedia, maka hanya perubahan teknologi maju yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani, (b) Dengan asumsi bahwa petani secara alokatif responsif terhadap perubahan harga, maka memanipulasi harga input dan output (skema kredit, subsidi pupuk) mungkin mempunyai pengaruh yang sama pada biaya yang lebih rendah, (c) Jika inefisiensi adalah akibat dari ketidaksempurnaan pasar, maka kinerja pasar
23 seharusnya diperbaiki, dan (d) Jika petani secara teknis adalah inefisien maka pendidikan petani dan penyuluhan pertanian perlu ditingkatkan. Selain itu, Ellis (1988) mengemukakan inefisiensi teknis juga dapat disebabkan oleh perilaku petani terhadap risiko produksi, pada petani yang berperilaku menghindari risiko roduksi (risk averse) maka alokasi penggunaan input semakin rendah, sehingga akan meningkatkan inefisiensi teknis.
2.2. Pengukuran Efisiensi Berorientasi Input dan Output Berbagai metode telah dicoba untuk mengukur efisiensi. Coelli et al., (1998) bahwa pengukuran efisiensi secara konseptual terdapat dua metode yaitu pengukuran berorientasi input (input-oriented measures) dan pengukuran berorientasi output (output-oriented measures). Konsep efisiensi frontier sudah sering dipakai, di mana deviasi dari frontier diasumsikan mewakili inefisiensi. Model frontier telah banyak dipakai dalam mengukur tingkat efisiensi produksi usahatani. Beberapa alasan penggunaan model frontier adalah : (1) Istilah frontier adalah konsisten dengan teori ekonomi perilaku optimisasi; (2) Deviasi dari frontier dengan tujuan efisiensi teknis dan perilaku unit ekonomi memiliki interpretasi alami sebagai pengukuran efisiensi; dan (3) Informasi tentang efisiensi relatif unit ekonomi memiliki banyak implikasi kebijakan yang dapat diimplementasikan (Bauer, 1990).
24 2.2.1. Pengukuran Berorientasi Input (Input-Oriented Measures) Untuk mengilustrasikan konsep efisiensi, Farrell (1957) dan Coelli et al., (1998) menggunakan contoh sederhana di mana petani hanya menggunakan dua input (x1 dan x2), untuk menghasilkan output tunggal (y). Produksi yang efisien (dengan asumsi diketahui) dapat ditulis sebagai :
y f x1 , x2 ..............................................................................................(1) Dengan asumsi constant return to scale (CRS), persamaan (1) dapat ditulis sebagai berikut : 1 f x1 , x 2 .......................................................................................(2) y y
Asumsi CRS memungkinkan teknologi untuk direpresentasikan dengan menggunakan unit isoquan. Pada kondisi pengukuran berorientasi input (inputoriented measures) persamaan (2) diwakili oleh SS’ yang menunjukkan kondisi yang efisien penuh atau unit isoquan yang efisien (eficient unit isoquant/EUI), pada Gambar 1. Unit isoquan yang efisien (EUI) menunjukkan kombinasi x1 dan x2 yang efisien secara teknis yang digunakan untuk memproduksi satu unit output y. Titik P dan Q mewakili dua petani berbeda yang menggunakan kombinasi input x1 dan x2 dengan proporsi yang sama. Keduanya terletak pada garis lengkung yang sama dari titik asal (O) untuk memproduksi satu unit y. Titik P terletak diatas unit isoquan, sedang titik Q mewakili petani yang secara teknis efisien (karena beroperasi pada frontier). Titik Q menunjukkan bahwa petani tersebut menghasilkan output yang sama seperti P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Jadi, rasio OQ/OP menunjukkan efisiensi teknis (TE) petani P yang
25 menunjukkan
proporsi
input
petani
P
bisa
dikurangi,
dengan
tetap
mempertahankan rasio input (x1/x2) konstan, sedangkan outputnya tetap sama. Nilai TE bervariasi antara 0 dan 1. Jika TE = 1 menunjukkan petani secara teknis efisien penuh (seperti petani Q). Jika harga input tersedia, efisiensi alokatif bisa ditentukan. Garis isocost, AA’, ditarik secara tangensial ke isoquan, SS’, pada titik Q’. Garis isocost berpotongan dengan garis OP pada titik R. Titik Q’ menunjukkan rasio input/output optimal yang meminimalkan biaya produksi pada output tertentu karena slope isoquan dan garis isocost sama. Titik Q adalah efisien secara teknis tetapi secara alokatif tidak efisien, karena produsen atau petani Q memproduksi dengan biaya lebih tinggi dibanding pada Q’. Efisiensi alokatif (AE) untuk petani yang beroperasi pada titik P didefinisikan menjadi rasio OR/OQ, karena jarak RQ mewakili pengurangan dalam biaya produksi yang akan terjadi jika produksi terjadi pada titik Q’ yang efisien secara alokatif (dan secara teknis), dan bukan pada titik Q yang efisien secara teknis tetapi tidak efisien secara alokatif. Total efisiensi ekonomi (EE) adalah sama dengan perkalian efsiensi teknis dengan efisiensi alokatif, yaitu: EE = TE x AE = (OQ/OP) x (OR/OQ) = OR/OP. Dapat disimpulkan bahwa efisiensi teknis dan alokatif bisa diukur dari segi fungsi produksi frontier dan asosiasi first order condition (FOC) atau dengan menggunakan dual fungsi biaya (Taylor et al., 1986).
26 x2/y S
A P
R
Q Q’ D S’
O A’
x1/y
Sumber : Coelli, et al., 1998 Gambar 1. Pengukuran Efisiensi Teknis dan Alokatif Berorientasi Input Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa TE tidak harus berimplikasi total EE, maupun minimisasi biaya. Petani bisa mencapai TE dengan menggunakan input tanpa mempertimbangkan harga input. Terlepas dari tingkat produksi yang relatif tinggi, produsen yang mengikuti strategi ini tidak akan mungkin meminimalkan biaya. Pengukuran efisiensi menurut Farrel semula sah untuk teknologi restriktif yang dicirikan oleh CRS atau homogenitas linier. Analisis Farrel tidak mempertimbangkan level produksi optimal karena skala produksi tidak terbatas pada CRS. Tetapi, pengukuran Farrel telah digeneralisir menjadi teknologi yang kurang restriktif (misalnya, dapat dilihat Fare and Lovell, 1978; Forsund and Hjalmarsson, 1979; dan Forsund, Lovell dan Schmidt, 1980).
27 2.2.2. Pengukuran Berorientasi output (Output-Oriented Measures) Metode pengukuran berorientasi output (output-oriented measures) seperti yang diilustrasikan Gambar 2 (Coelli et al., 1998), dijelaskan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier/PPF) yang direpresentasikan garis DD’. Garis ZZ’ adalah garis isocost yang ditarik secara tangensial ke kurva kemungkinan produksi.
Sementara itu, titik A
menunjukkan petani yang berada dalam kondisi in-efisien secara teknis. Garis AB menggambarkan kondisi yang in-efisien secara teknis, yang ditunjukkan oleh adanya tambahan output tanpa membutuhkan tambahan input. y2/x Z C D B’
B A
Z’ O D’
y1/x
Sumber : Coelli, et al., 1998 Gambar 2. Pengukuran Efisiensi Teknis dan Alokatif Beorientasi Output Berkenaan dengan kondisi tersebut, pada pendekatan ini rasio efisiensi teknis didefinisikan sebagai :
TE0 OA
OB
............................................................................................(3)
28 Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis isorevenue DD’ maka efisiensi alokatif dituliskan dalam bentuk :
AE0 OB
OC
..........................................................................................(4)
Sementara itu, kondisi efisien secara ekonomi ditujukkan oleh :
EE0 TE0 AE0 OA
OB
OB OC ...................................................(5)
Nilai rasio dari ketiga efisiensi tersebut berkisar antara 0 dan 1.
Namun
pendekatan ini mudah terkena kesalahan di dalam pengukuran (measurement errors), sedangkan dalam proses pengambilan data di lapang kesalahan sangat tinggi.
2.3. Pengukuran Efisiensi Parametrik Menurut Debertin (1986) fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis (technical relationship) antara sejumlah input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dalam proses produksi. Coelli, Rao dan Battese (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap penggunaan input. Apabila suatu kegiatan usahatani berada pada titik pada fungsi produksi frontier artinya usahatani tersebut efisien secara teknis. Jika fungsi produksi frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontier-nya. Pendekatan parametrik mengacu pada setiap metode frontier yang dikonstruksi adalah parametrik, misalnya fungsi produksi frontier Cobb-Douglas atau translog.
Pendekatan parametrik dapat dibedakan menjadi pendekatan
29 parametrik deterministik dan frontier stokastik (Bravo-Ureta dan Pinherio,1993), sedangkan Kumbhakar dan Lovell (2000) pendekatan parametrik untuk data cross-sectional dibedakan menjadi pendekatan parametrik deterministik, frontier stokastik, dan frontier distance. Pendekatan ini memerlukan spesifikasi eksplisit teknologi produksi. Sampai akhir 1960-an sebagaian besar studi menggunakan metodologi least-squares tradisional untuk mengestimasi fungsi produksi. Coelli (1995) dan Coelli et al., (1998) berpendapat bahwa mengestimasi fungsi produksi frontier memiliki dua keuntungan utama dibanding dengan mengestimasi fungsi produksi rata-rata. Pertama, estimasi fungsi produksi rata-rata hanya memberikan fungsi teknologi rata-rata petani, sedangkan estimasi fungsi produksi frontier sangat dipengaruhi oleh petani yang mempunyai kinerja terbaik yang mencerminkan teknologi yang digunakan.
Kedua, fungsi produksi frontier mewakili hasil
estimasi metode praktek terbaik di mana efisiensi petani dalam industri tersebut bisa diukur. Misalnya, proses produksi atau teknologi dituliskan sebagai berikut :
Yi f X i ; exp i ,
i 1,2,...., N ..................................................(6)
di mana Yi adalah tingkat produksi untuk petani contoh ke-i; f(.) adalah bentuk fungsi yang sesuai; Xi adalah vektor input untuk petani ke-i; β adalah vektor parameter tidak diketahui yang akan diukur; εi adalah variabel acak; dan N adalah jumlah petani. Fungsi produksi mewakili output maksimum yang mungkin tercapai pada kombinasi input tertentu. Tetapi, estimasi model di atas mengasumsikan εi~N(0, σs2) menghasilkan fungsi produki rata-rata. Untuk
30 pengukuran efisiensi, kita harus bisa menentukan standar atau fungsi produksi dari perilaku yang diamati bisa diukur. Dalam realita, petani mungkin tidak mencapai tingkat output maksimum, sebagai akibat terjadinya inefisiensi teknis. Muller (1974) melakukan modifikasi fungsi C-D dalam rangka melakukan studi empiris dalam upaya mengukur dampak informasi terhadap efisiensi teknis yang dikaitkan dengan fungsi produksi frontier. Perbedaan inefisiensi teknis yang terjadi pada petani disebabkan ketidakmampuan petani berproduksi pada fungsi produksi frontier. Beberapa alasan yang dikemukakan Muller (1974), disebabkan beberapa faktor, yaitu : (1) teknologi produksi yang digunakan oleh petani dapat berbeda, dengan demikian jika hal ini benar, maka tidak ada alasan kuat untuk membandingkannya; (2) perbedaan pengamatan yang dapat disebabkan gangguan acak, kemungkinan yang kedua ini jelas dan tidak sukar dijelaskan; dan (3) terjadi perbedaan efisiensi teknis, dalam hal situasi ini semua produsen telah menggunakan teknologi yang sama tetapi produsen yang satu lebih efisien menggunakannya daripada yang lain.
2.3.1. Frontier Parametrik Deterministik Disebut frontier parametrik deterministik karena output di batasi dari atas oleh fungsi produksi yang tidak bersifat stokastik. Di mana galad satu sisi (onesided error term) akan memaksa output (y) lebih kecil dari fungsi produksi frontier atau f(x). Hal ini berbeda dengan pendekatan non-parametrik karena teknologi yang ada diekspresikan dengan bentuk fungsi spesifik. Aigner dan Chu (1968) mengikuti pendapat Farrel (1957) menyarankan penggunaan bentuk fungsi
31 spesifik, berbentuk fungsi produksi Cobb-Douglas homogenus. Model ini ditulis sebagai berikut: Yi = f(Xi;β)exp(Ui),
i = 1, 2, ...., N ........................................................(7)
di mana: Yi = output petani ke-i; Xi = vektor input untuk petani ke-i; f(.) = bentuk fungsi Cobb-Douglas; β = vektor parameter yang tidak diketahui yang akan diukur; Ui = variabel acak non-negatif terkait dengan efisiensi teknis. Perlu dicatat bahwa Ui adalah galat satu sisi, yang mempunyai implikasi semua observasi terletak pada atau di bawah frontier, yaitu : Yi < f(Xi;β), i = 1, 2, ...., N. Dibuat dalam bentuk logaritma : k
ln Yi = β0 +
j ln Xji – Ui, Ui > 0 ..........................................................(8) j 1
di mana k merupakan jumlah input dalam fungsi produksi. Aigner dan Chu (1968) menyarankan parameter β fungsi frontier diukur dengan programasi linier atau kuadratik. Dalam aplikasi empiris, Aigner dan Chu (1968) menggunakan linier programing dimana parameter β fungsi frontier diestimasi dengan meminimalkan: N
U i1
i
dengan syarat Ui > 0, untuk semua i = 1, 2, ..., N. Efisiensi teknis dari petani ke-i dapat didefinisikan sebagai rasio aktual
output terhadap output frontier terkait : TEi = Yi / exp[f(Xi; β)] = exp(-Ui).................................................................(9) Ukuran efisiensi teknis ini menggunakan pendekatan berorientasi output. Keuntungan utama pendekatan ini dibanding pendekatan non-parametrik bahwa
32 lebih sedikit retsriksi yang di-impose
dan non-constant return to scale bisa
diakomodasi. Tetapi, salah satu kelemahan pendekatan ini adalah memiliki sensitivitas estimasi parameter terhadap pencilan (outlier) karena frontier jenis ini diestimasi berdasarkan subset data. Aigner dan Chu (1968) menyarankan bahwa tehnik programing dengan kendala peluang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah outlier, dengan membiarkan sebagian pengamatan berada di atas frontier estimasi. Saran ini dilakukan oleh Timmer (1971) untuk mendapatkan frontier probabilistik. Teknik ini dilakukan dengan mengestimasi parameter model dengan secara berurutan membuang persentase pengamatan (outlier) sampai perubahan estimasi parameter cukup kecil. Kelemahan pendekatan ini adalah bersifat acak dari seleksi pengamatan untuk dihilangkan dari sampel. Kelemahan lainnya adalah tidak adanya asumsi galat, hasil estimasi parameter tidak memiliki sifat statistik dan pengujian hipotesis tidak mungkin dilakukan.
2.3.2. Frontier Statistik Deterministik Membuat beberapa asumsi statistik tentang galat dalam persamaan (9) adalah motif pengembangan model ini. Dalam persamaan (2.8), Ui diasumsikan terdistribusi secara independen dan identik (iid) dan nilai Xi diasumsikan exogenous (independen dari Ui). Karena galat Ui adalah satu sisi, estimator OLS untuk parameter tidak bisa diterima untuk mengukur parameter di dalam model (10). Secara ringkas persamaan fungsi produksi frontier statistik deterministik dalam bentuk logaritma dapat diformulasikan sebagai berikut :
33 k
ln Yi = β0 +
j ln Xji –( Ui –ci), Ui > 0 ................................................(10) j 1
Metode ini menggunakan teknik statistika untuk mengestimasi frontier statistik determenistik.
Metode estimasi untuk frontier statistik deterministik
dapat dilakukan dengan corrected ordinary least Squares (COLS) dan parametric linier programming (PLP), Aigner dan Chu (1968). Richmon (1974) memberikan pendekatan alternatif untuk mengestimasi fungsi produksi frontier statistik deterministik yang dikemukakan oleh Afriat (1972). Pendekatan ini, yang disebut OLS terkoreksi (COLS), mudah diaplikasikan dan tidak memerlukan asumsi khusus tentang galat. Selanjutnya Kumbhakar dan Lovell (2000) memperluas metode estimasi untuk frontier statistik deterministik dapat dilakukan dengan goal programming (GP), corrected ordinary least Squares (COLS), dan modified ordinary least squares (MOLS). Afriat (1972) memodifikasi model Aigner dan Chu (1968) dengan mengasumsikan distribusi dua parameter beta untuk e-u di mana Ui adalah galat, dan diusulkan bahwa model diestimasi dengan maximum likelihood estimation (MLE). Richmon (1974) juga mengemukakan metode modifikasi OLS (MOLS), yang membuat asumsi tentang bentuk distribusi inefisiensi non-negatif (Ui). Asumsi paling populer adalah setengah normal, yang memerlukan estimasi satu parameter tambahan, varian distribusi normal yang terpotong diatas nol. Distribusi parameter tunggal lainnya yang sudah banyak digunakan adalah eksponensial. Menurut prosedur MOLS, model tersebut pertama diestimasi menggunakan OLS dan intersepnya dikoreksi dengan estimasi untuk mean Ui, diturunkan dari momen residual OLS, dan bukan mengadopsi prosedur penyesuaian COLS (Lovell, 1993).
34 Keuntungan dari penggunaan pendekatan frontier statistik deterministik adalah hasil analisis untuk model menggunakan data sampel yang memadai dapat diuji kelayakan statistiknya (Aigner dan Chu, 1968; Richmon, 1974; serta Scmidt, 1976). Scmidt (1976) mengemukakan bahwa pendekatan frontier statistik deterministik mempunyai kelemahan yang sama dengan pendekatan nonparametrik dan pendekatan parametrik deterministik, yaitu terletak pada diperlukannya bentuk fungsional tertentu dan semua penyimpangan dari frontier dikategorikan sebagai inefisiensi teknis. Pendekatan ini mempunyai asumsi implisit bahwa semua variasi acak adalah karena inefisiensi teknis dan tidak diperbolehkan adanya variasi acak diluar kontrol petani.
2.3.3. Frontier Statistik Stokastik Salah satu metode estimasi tingkat efisiensi teknis yang banyak digunakan adalah melalui pendekatan frontier statistik stokastik atau frontier stokastik, yang dalam implementasinya menggunakan stochastic production frontier (SPF). Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Aigner et al. (1977); dan dalam saat yang bersamaan juga dilakukan oleh Meeusen dan van den Broeck (1977). Pengembangan pada tahun-tahun berikutnya banyak dilakukan seperti oleh Battese dan Coelli (1988, 1992, 1995), Coelli et al., (1998), Waldman (1984), Kumbhakar (1990).
Pendekatan SPF juga pernah digunakan oleh Erwidodo
(1992a dan 1992b), Siregar (1987), Sumaryanto (2001), Sumaryanto et al. (2003), Wahida (2005) serta Sukiyono (2005).
35 Pendekatan frontier deterministik yang telah diuraikan terdahulu, ternyata belum mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bahwa kinerja usahatani dapat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang berada di luar kontrol petani. Dalam model frontier statistik stokastik atau sering hanya disebut frontier stokastik, output diasumsikan dibatasi dari atas oleh suatu fungsi produksi stokastik. Pada kasus Cobb-Douglas, model tersebut dalat dituliskan sebagai berikut : yi A a j xij (vi ui).......................................................................................... (11)
di mana : simpangan (vi - ui) terdiri atas dua bagian, yaitu : (1) komponen error simetrik yang memungkinkan keragaman acak dari frontier antar pengamatan dan menangkap pengaruh kesalahan pengukuran atau kejutan acak, dan (2) komponen kesalahan satu-sisi (one-sided error) dari simpangan yang menangkap pengaruh inefisiensi teknis. Pada kasus fungsi produksi translog dalam bentuk logaritma, model tersebut dalat dituliskan sebagai berikut : LnYjt 0 i LnXjit 1/ 2 i k ik LnXjit LnXjkt (vi ui)..................................... (12)
Pada setiap model frontier statistik stokastik, simpangan yang mewakili gangguan statistik (statistical noise) diasumsikan independen dan identik (iid) yang terdistribusi secara normal. Asumsi distribusi yang paling sering digunakan adalah setengah normal (half normal).
Jika dua simpangan (vi dan ui)
diasumsikan bersifat independen satu sama lain serta independen terhadap input
36 produksi (xi), dan dipasang asumsi distribusi spesifik (secara berturut-turut : normal dan setengah normal), maka fungsi likelihood (maximum likelihood estimators) dapat dihitung. Metode estimasi lain yang dapat digunakan adalah melalui estimasi model dengan OLS (Ordinary Least Square) dan mengkoreksi konstanta dengan menambahkan suatu penduga konsisten dari E(ui) berdasarkan momen yang lebih tinggi (dalam kasus setengah normal, digunakan momen ke dua dan ke tiga) dari residual kuadratik terkecil atau disebut CLOS (Corected Ordinary Least Square). Setelah model diestimasi, nilai-ninai (vi - ui) juga dapat diperoleh. Pada pengukuran efisiensi, penduga untuk uj juga diperlukan. Jondrow et al. (1982) menyarankan kemungkinan yang paling relevan adalah E(ui│vi - uj) yang dievaluasi berdasarkan nilai-nilai (vi - ui) dan parameter-parameternya. Dalam makalahnya, Jondrow et al., (1982) mengemukakan bahwa formula E(u│v - u) untuk kasus normal dan setengah normal. Struktur dasar model frontier statistik stokastik pada persamaan (11 dan 12) dapat diilustrasikan pada gambar 3. Keunggulan
pendekatan
frontier
stokastik
adalah
dimasukkannya
gangguan acak (disturbance term), kesalahan pengukuran dan kejutan eksogen yang berada di luar kontrol petani. Sementara itu, beberapa keterbatasan dari pendekatan ini adalah : (1) Teknologi yang dianalisis harus diformulasikan oleh struktur yang cukup rumit, (2) Distribusi dari simpangan satu-sisi harus dispesifikasi sebelum mengestimasi model, (3) Struktur tambahan harus dikenakan terhadap distribusi inefisiensi teknis, dan (4) Sulit diterapkan untuk usahatani yang memiliki lebih dari satu output.
37
Sumber : Coelli et al., 1998 Gambar 3. Fungsi Produksi Frontier Statistik Stokastik
Komponen yang pasti dari model frontier adalah f(xi;β) digambarkan dengan asumsi memiliki karakteristik skala pengembalian yang menurun (decreasing return to sclale). Kegiatan produksi dari dua orang petani diwakili dengan simbul i dan j. Dalam hal ini, petani i dalam kegiatan usahataninya menggunakan input produksi sebesar xi dan memperoleh output sebesar yi. Output frontier petani i adalah yi*, melampaui nilai output dari fungsi produksi deterministik yaitu f(xi;β). Hal ini dapat terjadi karena kegiatan produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan (misalnya : curah hujan yang cukup, sinar matahari yang memadai, tidak adanya serangan organisme pengganggu tanaman/OPT), sehingga variabel vi bernilai positif. Sementara itu,
38 petani j menggunakan input produksi sebesar xj dan memperoleh output sebesar yj, akan tetapi output frontier petani j adalah yj* yang berada di bawah bagian yang pasti dari fungsi produksi. Hal ini dikarenakan kegiatan produksi usahatani dipengaruhi oleh kondisi yang kurang menguntungkan (misalnya : curah hujan terlalu tinggi, kekeringan, atau serangan OPT), yaitu vi bernilai negatif. Output frontier yang tidak dapat diobservasi ini berada di bawah output dari fungsi produksi determisnistik yaitu f(xi;β). Pada kasus kedua, hasil produksi yang dicapai petani j berada di bawah fungsi produksi frontier f(xi;β).
2.4. Pengaruh Perubahan Teknologi Terhadap Efisiensi Produksi Terdapat tiga jenis sumberdaya utama yang menentukan produksi pertanian, yaitu lahan, tenaga kerja dan modal (Harianto, 2010).
Upaya
peningkatan produksi dan produktivitas pertanian tidak terlepas dari peningkatan ketiga faktor produksi tersebut.
Faktor produksi yang memungkinkan petani
untuk melakukan adopsi teknologi yang lebih maju adalah modal. Peningkatan kualitas tenaga kerja baik dari aspek keterampilan teknis maupun kapabilitas manajerialnya akan menentukan tingkat efisiensi dan produktivitas yang dicapai. Peningkatan luas lahan garapan kepada petani akan memberikan dampak nyata terhadap pertumbuhan produksi pertanian. Hick (1932) menulis buku yang terkenal “The theory of wages” mengemukakan bahwa perubahan teknologi yang bias terhadap pemakaian salah satu faktor produksi didorong (induced) oleh struktur harga faktor produksi tersebut. Perubahan harga relatif dari faktor masukan akan berpengaruh terhadap
39 arah penemuan (invention) dan perbaikan atau perubahan (innovation) teknologi. Teori induced innovation dari Hick bertitik tolak pada suatu keyakinan dan bukti empiris bahwa kenaikan harga relatif dari salah satu faktor produksi terhadap faktor produksi lainnya akan mendorong perubahan teknologi yang akan mengurangi penggunaan faktor produksi tersebut relatif terhadap faktor produksi lainnya. Pemikiran Hick tersebut merupakan dasar bagi teori An Induced Development Model (ID) yang diperkenalkan oleh Hayami dan Rutan (1985). Salah satu pertanyaan utama Hayami dan Rutan (1985) adalah bagaimana hubungan di antara perubahan-perubahan teknologi, kelembagaan dan ekonomi tersebut dapat menjamin kesinambungan proses pembangunan pertanian. Hayami dan Ruttan memberikan perhatian bagaimana mengidentifikasi kondisi yang mendukung pertumbuhan sektor pertanian yang berkesinambungan dalam proses pembangunan secara keseluruhan. Berdasar kajian tersebut, dalam penyusunan model ID, Hayami dan Ruttan (1985) mengemukakan hipotesis pokok yaitu : “Keberhasilan peningkatan produktivitas pertanian secara cepat ditentukan oleh kemampuan untuk menciptakan teknologi yang secara ekologis dan ekonomis dapat diterapkan dan dikembangkan di tiap negara atau wilayah pembangunan”. Hayami
dan
Ruttan
(1985)
juga
mengajukan
hipotesis
tentang
produktivitas pertanian yang tinggi di negara-negara berkembang, yaitu : (1) Perkembangan sektor non-pertanian, yang mampu memberikan dampak terhadap peningkatan produksi pertanian, disebabkan kemampuan sektor ini menyediakan
40 faktor produksi modern yang murah bagi sektor pertanian, seperti traktor dan pupuk buatan; (2) Kapasitas masyarakat pertanian dalam menciptakan inovasi teknologi yang berkesinambungan untuk meningkatkan permintaan input yang dihasilkan sektor industri.
Kondisi lingkungan yang kondusif (enable
environment), proses dan mekanisme, dan sistem dalam melakukan pembangunan pertanian akan sangat menentukan tingkat produktivitas pertanian. Semaoen (1992) mengemukakan terdapat empat macam karakteristik abstraksi teknologi, yaitu : (1) Efisiensi teknis yang ditunjukkan oleh intersep, (2) Skala operasi dari proses produksi, (3) Intensitas faktor masukan, dan (4) kemudahan substitusi antar faktor masukan yang dikenal dengan elastisitas substitusi. Dua macam karakteristik abstraksi teknologi yaitu efisiensi teknis dan perolehan terhadap skala (return of scale) adalah tidak tergantung pada ratio produktivitas marjinal dari faktor masukan. Tetapi elastisitas substitusi antar faktor (marginal rate of technical substitution/MRTS) adalah bergantung pada produktivitas marginal dari faktor masukan. Pengaruh perbaikan teknologi terhadap efisiensi produksi diteliti oleh Theingi dan Thanda (2005) dalam sebuah konferensi penelitian pertanian internasional untuk pembangunan.
Hasil penelitian dengan judul “Analisis
Efisiensi Teknis Sistem Produksi Beras Beririgasi di Myanmar” diperoleh temuan bahwa masalah yang dihadapi oleh petani antara lain adalah : harga pupuk yang tinggi, kekurangan air irigasi, keterbatasan investasi, minimnya pengetahuan tentang proteksi tanaman, serta sulitnya meperoleh benih yang berproduktivitas tinggi. Berdasarkan hasil estimasi dengan menggunakan fungsi produksi frontier
41 stokastik, menunjukkan bawa penggunaan tenaga kerja keluarga dan penggunaan pupuk berpengaruh positif dan nyata terhadap peningkatan produktivitas pada usahatani kecil. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tingkat pendidikan petani yang skala usahataninya menengah berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis. Petani dengan skala besar memiliki efisiensi teknis tertinggi yaitu sebesar 0.77 atau di atas petani skala menengah dan kecil. Implikasinya adalah pemerintah seharusnya melanjutkan dukungannya dalam investasi publik dan teknologi untuk meningkatkan efisiensi teknis dan tingkat produktivitas. Menurut Gathak dan Ingersent (1984), perbaikan teknologi dalam bidang pertanian akan memiliki dua karakteristik, yaitu : (1) Membentuk fungsi produksi yang baru yang lebih tinggi dari penggunaan sejumlah input yang jumlahnya tetap, dan (2) Dapat dihasilkan output yang sama dengan memberikan sejumlah input yang lebih sedikit, sehingga akan menurunkan biaya produksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan adanya perbaikan teknologi akan menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi produksi secara positif dan vertikal ke atas. Sumarno (2011) mengemukakan bahwa peran teknologi dalam meningkatkan produktivitas agregat nasional tidak semata-mata disebabkan oleh peningkatan daya hasil per hektar, tetapi juga disebabkan oleh adanya stabilitas dan kepastian hasil, terkendalikannya
hama-penyakit
tanaman,
adanya
pengurangan
senjang
produktivitas, perbaikan kualitas hasil, dan pengurangan kehilangan hasil panen. Secara grafik keterkaitan konsep efisiensi dan perubahan teknologi (yang direpresentasikan pergeseran fungsi produksi) dapat disimak pada Gambar 4 berikut.
42
Sumber : Coelli at. al., 1998 Gambar 4. Konsep Efisiensi berdasarkan Fungsi Produksi dengan Perbaikan Teknologi
Keterangan : TPP1 : kurva kemungkinan produksi teknologi unggul TPP2 : kurva kemungkinan produksi teknologi lebih rendah D
: inefisiensi teknis dan alokatif
B
: efisiensi teknis, inefisiensi alokatif
C
: inefisiensi teknis, efisiensi alokatif
A
: efisiensi teknis dan alokatif
Bebeberapa pakar (Byerlee, 1980, Rhoades, 1984, dan Watson, 1988) mengemukakan beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam proses pengembangan teknologi baru dan adaptasinya kepada pengguna di suatu wilayah adalah : (1) Apakah paket teknologi baru tersebut dapat memecahkan
43 permasalahan pokok yang dihadapi oleh pengguna, (2) Apakah pengguna teknologi mengetahui tentang teknik, cara, dan bahan yang digunakan, (3) Apakah pengguna mengetahui makna dan logika yang terkandung dalam paket teknologi tersebut, dan (4) Apakah paket teknologi tersebut mampu beradaptasi terhadap permasalahan alamiah dan sosial ekonomi yang dihadapi oleh pengguna.
2.5.
Konsep Risiko dan Ketidakpastian Risiko dan ketidakpastian pada awalnya digunakan secara bersama-sama
baik dalam jurnal maupun dalam beberapa tulisan lainnya. Henderson dan Quant (1980), Varian (1992), serta Samuelson dan Nordhaus (1993) menggunakan istilah ketidak pastian (uncertainty) terkait dengan peluang (probability). Knight (1921) adalah orang yang pertama-tama mampu memisahkan dengan jelas antara istilah risiko dan ketidakpastian.
Dikemukakan bahwa sesuatu peristiwa
lingkungan disebut ketidakpastian apabila hasil dari kejadian akhir yang kemungkinan terjadinya (possible outcome), dan kebolehjadian (possibility) untuk masing-masing peristiwa itu tidak diketahui. Sedangkan, dalam lingkungan yang mengandung risiko, baik keluaran (outcome) maupun kebolehjadian (possibility) terjadinya peristiwa itu dapat diketahui. Vlek dan Stallen (1981) mendaftar paling tidak ada enam definisi mengenai risiko, yaitu : (1) Risiko adalah peluang terjadinya kerugian; (2) Risiko adalah ukuran dari kemungkinan terjadinya kerugian; (3) Risiko adalah sebuah fungsi, sebagian besar produk dari peluang dan ukuran kerugian; (4) Risiko adalah sama dengan keragaman dari distribusi peluang pada semua konsekuensi dari
44 serangkaian aksi berisiko; (5) Risiko adalah semi-varian dari distribusi pada semua konsekuensi, hanya mengambil alih konsekuensi yang bersifat negatif, dan berkenaan dengan beberapa nilai referensi yang diadopsi; dan (6) Risiko adalah sebuah pembobotan kombinasi linier dari varian dan distribusi nilai yang diharapkan dari semua konsekuensi-konsekuensi kemungkinan. Debertin (1986) mengemukakan bahwa risiko sebagai suatu kejadian di mana hasil dari kejadian dan peluang terjadinya bisa diketahui secara pasti. Robinson dan Barry (1987) mengemukakan bahwa jika peluang suatu kejadian dapat diketahui oleh pembuat keputusan, yang didasarkan pada pengalaman maka hal tersebut menunjukkan konsep risiko. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam menganalisis risiko didasarkan pada teori pengambilan keputusan dengan berdasarkan pada konsep kepuasan yang diharapkan (expected utility). Dalam kaitannya dengan expected
utility sangat erat hubungannya dengan peluang
(probability). Robinson dan Barry (1987) memandang peluang sebagai frekuensi relatif dan digunakan dalam pengambilan keputusan. Kepuasan (utility) sangat sulit diukur sehingga umumnya didekati dengan pengukuran pendapatan (return). Indikator adanya risiko ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi dari return dengan asumsi faktor-faktor tertentu bersifat tetap. Menurut Ellis (1988) peluang berarti frekuensi yang diharapkan terjadi dari sebuah kejadian (jumlah seluruh kemungkinannya adalah satu).
Dengan
demikian risiko merupakan suatu hal yang obyektif dengan asumsi informasi tersedia cukup. Dalam prakteknya informasi tidak semata-mata menunjuk pada pengetahuan seseorang atas kejadian tertentu melainkan lebih pada derajat
45 personal pengambil keputusan. Dengan kata lain, seberapa besar kepercayaan orang tersebut pada setiap peluang yang mungkin terjadi, hingga batas ini risiko bergeser dari sudut pandang obyektif menjadi subyektif. Ellis (1988) mengemukakan ketidakpastian adalah suatu kejadian di mana hasil dan peluangnya tidak bisa ditentukan. Jadi ketidakpastian tidak berkaitan dengan peluang-peluang. Selanjutnya dikatakan, ketidakpastian merupakan diskripsi karakter dan lingkungan ekonomi yang dihadapi oleh petani, di mana lingkungan tersebut mengandung beragam ketidakpastian yang direspon oleh petani berdasarkan kepercayaan subyektifnya. Secara normal tidak ada satu orangpun yang mau masuk ke lingkungan yang penuh dengan risiko tanpa mengharapkan perolehan (return) yang lebih besar. Model risiko paling awal dikembangkan oleh Just dan Pope (1979). Model Just dan Pope pada awalnya digunakan untuk melihat risiko produksi pertanian. Beberapa peneliti (Just dan Pope, 1979; Bontems dan Thomas, 2000; serta Bokusheva dan Hockmann, 2005) menjelaskan bahwa dalam menganalisis sektor pertanian sangat penting untuk mempertimbangkan faktor risiko, khususnya risiko produksi. Apabila tidak memasukkan faktor risiko produksi akan membawa konsekuensi diperoleh kesimpulan yang tidak benar. Fungsi produksi model Just dan Pope terdiri atas fungsi produksi rata-rata (mean production function) dan fungsi produksi varian (variance production function). Dalam model ini, fungsi produksi rata-rata maupun varian dipengaruhi oleh variabel input seperti lahan, benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja, serta input-input lain. Selanjutnya diungkapkan bahwa beberapa input dapat menjadi
46 faktor yang bersifat meningkatkan risiko produksi (risk inducing factors) dan faktor pengurang risiko produksi (risk reducing factors). Secara matematis model Just dan Pope dapat diformulasikan sebagai berikut (Just dan Pope, 1979) :
n i y AXi e ................................................................................................... (13) i1 di mana y adalah output, Xi menunjukkan jenis input yang digunakan (Xi>0) dan adalah error term stokastik dengan E() =0 dan V() >0. Dampak tambahan penggunaan input terhadap variabilitas output adalah : n V ( y) A2 X i 2i V e .................................................................................................... (14) i1
Selanjutnya Juts dan Pope (1979) mengemukakan bahwa perubahan variabilitas produksi sebagai akibat perubahan input adalah : V ( y) 2iA2 n 2i X V e 0.................................................................................... (15) X i X i i1 i
Dengan mengasumsikan bahwa αi > 0 maka dampak kenaikan penggunaan input akan meningkatkan variabilitas output ketika αi > 0. Seharusnya dampak kenaikan input terhadap produk rata-rata tidak digabung dengan dampaknya terhadap variabilitas output.
Just dan Pope (1979) membuat model untuk mengatasi
keterbatasan ini, yaitu :
47
y f X h1/ 2 X ............................................................................................................. (16)
Dengan asumsi E() = 0 dan V() =1 maka E(y) =f(X), dan V(y)=h(X). Sehingga dampak perubahan input terhadap produk rata-rata dan variabilitas output dapat dijelaskan secara berbeda. Dari persamaan 16 dapat dengan mudah dijelaskan dampak perubahan input terhadap variabilitas output dan terhadap produk atau output rata-rata. V ( y) hi( X ).................................................................................................................... (17) Xi
1 y f ' X 1 h 2 X hiX .......................................................................................... (18) 2 Xi
Model Just dan Pope dapat disarikan sebagai berikut : (1) Difokuskan pada risiko produksi, (2) Risiko produksi diukur dari varian output, (3) Tidak menganalisis perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi, (4) Dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu input dapat menurunkan risiko produksi, (5) Memiliki kegunaan yang baik untuk manajemen risiko produksi, serta (6) Galad acak (error term) tidak memisahkan antara risiko produksi dan inefisiensi teknis. Kumbhakar (2002) mengungkapkan bahwa model Just dan Pope memfokuskan pada risiko produksi, yang diukur dari varian output, dan menyarankan menggunakan spesifikasi fungsi produksi yang memenuhi beberapa properties yang dibutuhkan. Fokus utama dari spesifikasi Just dan Pope adalah
48 alokasi input dapat menyebabkan kenaikan risiko atau penurunan risiko produksi. Dari beberapa aspek kebijakan, informasi bahwa
input tertentu itu dapat
meningkatkan atau menurunkan risiko produksi merupakan hal yang cukup bermanfaat terutama dalam manajemen risiko produksi. Beberapa keterbatasan kerangka pemikiran Just dan Pope adalah : pertama, tidak memperhitungkan perilaku produsen dalam menghadapi risiko produksi. Perilaku produsen dalam menghadapi risiko produksi sangat berpengaruh dalam membuat keputusan alokasi penggunaan input dan pengaruhnya terhadap penawaran output.
Dalam kenyataannya input-input
maupun output-output adalah variabel pilihan sehingga sangat penting untuk membuat sebuah model yang tidak hanya mempertimbangkan risiko produksi tetapi juga mempertimbangkan perilaku produsen dalam menghadapi risiko produksi. Kedua, Just dan Pope (1979) menganggap bahwa error term dalam fungsi produksi adalah risiko produksi, sedangkan menurut Aigner et. al. (1977) membagi dua kategori error term, yaitu : error term yang berasal dari risiko produksi dan error term yang berasal dari inefisiensi. Mengabaikan faktor inefisiensi dapat memperoleh kesimpulan efisiensi teknis yang tidak benar. Kumbhakar (2002) memperluas model yang telah dibuat oleh Just dan Pope, dan secara umum spesifikasi model teknologi produksi dapat ditulis sebagai berikut : y f ( x, z) g(x, z) q(x, z)u...................................................................................... (19)
49 di mana : y
= output
x
= vektor J variabel input
z
= vektor Q Quasi-fixed inputs
v
= error term, diasumsikan i.i.d. (0,1) yang merepresentasikan ketidak pastian produksi
u
= memiliki nilai >0 yang merepresentasikan inefisiensi teknis (jika u=0, produsen secara teknis efisien)
f(x,z)
= menunjukkan fungsi produk rata-rata
g(x,z) = menunjukkan fungsi risiko produksi q(x,z) = menunjukkan fungsi in-efisiensi teknis.
2.6.
Studi Efisensi pada Berbagai Usahatani Komoditas Pertanian Salah satu studi terbaru yang mencoba untuk melihat manfaat antar
metode yang digunakan dalam analisis efisiensi adalah studi dari Bravo-Ureta et al. (2007). Secara terperinci, studi tersebut mencoba mengkaji beberapa hal, yakni : (1) Apakah metode parametrik (baik deterministik maupun stokastik) menghasilkan nilai TE yang berbeda dengan metode non parametrik; (2) Apakah bentuk fungsi memiliki pengaruh atau efek pada TE; (3) Apakah model data panel menghasilkan nilai rata-rata (mean) TE yang sama dengan yang dihasilkan model frontier dengan data cross section; (4) Apakah nilai TE dari pendekatan primal berbeda dengan pendekatan dual; (5) Apakah model dengan ukuran contoh besar dan jumlah variabel (banyak atau sedikit) memiliki pengaruh pada nilai TE; (6) Apakah nilai TE bervariasi antar jenis komoditas yang dianalisis; (7) Apakah
50 lokasi geografis (negara) menghasilkan rata-rata TE yang spesifik; dan (8) Apakah tingkat pendapatan (negara) mempengaruhi nilai estimasi TE. Untuk mendapatkan atas jawaban tersebut, Bravo-Ureta et al., (2007) mengkaji sebanyak 167 hasil studi empiris dengan komposisi sebagai berikut : 42 studi menggunakan metode non parametrik, 32 studi menggunakan metode parametrik deterministik dan 117 menggunakan metode frontier parametrik stokastik. Hasil studi menyarankan bahwa tidak ada kesimpulan yang berkaitan dengan penggunaan berbagai bentuk fungsi.
Sementara itu, analisis lainnya
menyimpulkan bahwa nilai estimasi yang dihasilkan oleh model frontier parametrik stokastik lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh model parametrik deterministik. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa model frontier parametrik stokastik adalah metode yang banyak digunakan oleh para peneliti di bidang pertanian. Ada banyak aplikasi metodologi frontier terutama di negara-negara berkembang (Kalirajan, 1981; Kalirajan, 1984; Kalirajan dan Shand 1985; Kalirajan dan Shand, 1989; Kalirajan, 1990; Kalirajan, 1991; Bauer, 1990; Battese, 1992; Battese dan Coelli, 1992; Beck 1991; Bravo-Ureta et al., 2007). Beberapa peneliti juga mengkaji efisiensi teknis beberapa komoditas pertanian di negara maju (Wilson et al., 1998; Fogasari dan Latruffe, 2007; dan Lambarraa et al., 2007).
Battese (1992) memberikan ulasan komprehensif tentang aplikasi
frontier produksi parametrik untuk usaha pertanian, khususnya padi. Ogundari dan Ojo (2006) melakukan studi efisiensi teknis, alokatif dan efisiensi ekonomi untuk ubikayu di Osun State, Nigeria.
Sedangkan Qayyum dan Ahmad (2006)
51 melakukan analisis efisiensi dan keberlanjutan kelembagaan keuangan mikro di Asia Selatan (Pakistan, India dan Banglades). Sementara itu, Wilson et al., (1998) memberikan ulasan tentang aplikasi frontier produksi kentang di Inggris dengan menggunakan data sekunder dari Departemen Pertanian, Perikanan, dan Pangan. Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) menyampaikan ulasan komprehensif tentang aplikasi berbagai metode frontier untuk usaha pertanian negara berkembang. Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) menguji sebanyak 30 studi dari 14 negara. Survei mereka menunjukkan bahwa usahatani padi paling banyak diteliti di antara usaha pertanian. Coelli (1995) juga menyimpulkan hal yang sama dalam surveinya, bahwa terdapat 11 aplikasi frontier untuk produksi padi dari 38 makalah. Padi paling banyak mendapat perhatian karena perannya yang sentral bagi pasokan pangan dari berbagai negara di dunia. Battese (1992), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) dan Coelli (1995) menunjukkan bahwa frontier parametrik lebih populer dari frontier non parametrik. Fogasari dan Latruffe (2007) mengkaji efisiensi teknis dan teknologi pertanian di Eropa Timur (Hungaria) dan Eropa Barat (Perancis) dengan membandingkan komoditas pangan dan susu dengan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA).
Lambarraa et al. (2007)
menganalisis efisiensi usahatani jeruk di Spanyol dengan menggunakan pendekatan Total Factor Productivity dan Stochastic Frontier Model. Sementara itu, Bravo-Ureta et al. (2007) melakukan analisis TE di pertanian dengan analisis a meta regression yang bersifat lintas negara (negara berkembang dan negara maju) dan lintas komoditas.
52 Tabel 1 ditunjukkan bahwa dari 50 studi efisiensi, sebagian besar adalah efisiensi untuk usahatani padi (29) dan beberapa komoditas non padi (21) dengan komoditas yang beragam. Berdasarkan Tabel 1 hanya ditemukan 8 studi yang menggunakan frontier non-paramterik, sedangkan selebihnya (32) menggunakan berbagai frontier parametrik. Hal ini sesuai dengan gambaran banyaknya metode parametrik dalam literatur ekonomi pertanian yang ditunjukkan oleh Battese (1992), Bravo-Ureta dan Pinheiro (1993) dan Coelli (1995). Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa model frontier stokastik telah digunakan secara luas dalam analisis efisiensi terutama untuk usahatani padi, terutama di Asia, yaitu Banglades, Cina, India, Indonesia, Jepang, Pakistan, Filipina, dan Srilanka. Tampaknya di Indonesia aplikasi model frontier juga banyak dijumpai untuk usahatani padi. Beberapa studi oleh Tabor (1992), Erwidodo (1990), Erwidodo (1992a), Erwidodo (1992b) dan Trewin et al., (1995), Daryanto (2000), Sumaryanto (2001) dan Sumaryanto et al., (2003), serta Wahida (2005) menggunakan frontier stokastik untuk analisis efisiensi untuk usahatani padi. Studi Llewelyn dan William (1996) menggunakan analisis non-parametrik produksi tanaman pangan (termasuk padi) di Jawa Timur. Aplikasi model frontier untuk komoditas hortikultura masih jarang ditemukan di Indonesia, hanya dijumpai pada usahatani cabai di Kecamatan Selupu, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu dengan variabel teknis dan sosial-ekonomi yang terbatas (Sukiyono, 2004). Fauziyah (2010) menggunakan model fungsi produksi frontier stokastik yang memfokuskan pada pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input usahatani tembakau.
53 Studi produksi frontier stokastik yang ditampilkan pada Tabel 1 umumnya mengasumsikan
bahwa frontier produksi Cobb-Douglas (CD) atau Translog
adalah memadai dalam analisis data tingkat petani padi. TE usahatani padi sangat bervariasi dari 50 persen di India (Kalirajan, 1981), 76-85 persen untuk padi konvensional dan 87-94 persen untuk padi hibrida di Jiangsu China (Xu dan Jeffrey, 1998), 71,30 persen (Sumaryanto, et al., 2003) dan 76,00 persen (Wahida, 2005) di DAS Brantas, Jawa Timur, serta 91,86 persen untuk usahatani padi di lima daerah sentra produksi padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan (Kusnadi et al., 2011) pada input dan teknologi yang digunakan. Sementara itu, untuk komoditas non padi, seperti komoditas kentang di Inggris 0,90 (Wilson, Hadley, dan Kaltas, 1998), cabai merah di Rejang Lebong Bengkulu nilai TE 0.65-0.99 (Sukiyono, 2005), tembakau di Pamekasan, Jawa Timur 0.89 (Fauziyah, 2010). Dengan perbedaan tingkat inefisiensi antar petani padi dan beberapa komoditas non padi, adalah layak mempertanyakan mengapa sebagain petani relatif tinggi efisiensinya sedangkan yang lain secara teknis kurang efisien. Prosedur dua langkah telah banyak digunakan untuk eksplorasi faktor-faktor yang menerangkan inefisiensi (Tabel 2). Prosedur ini dikritik oleh beberapa penulis yang berpendapat bahwa variabel sosio-ekonomi harus dimasukkan secara langsung dalam model frontier produksi karena variabel tersebut mempunyai dampak langsung terhadap efisiensi.
54 Tabel 1. Studi-studi Empiris Model Frontier pada Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian Penulis
Lokasi
I. FRONTIER DETERMINISTIK a. Frontier non-parameterik Fare, Grabowski dan Filipina Grosskopf, padi (1985) c/ Llewelyn dan Williams , Madiun, Indonesia padi Andreu dan Grunewald, Kansas, Amerika biji-bijian dan Serikat peternakan (2006) Qayyum dan Ahmad, Pakistan, India, untuk Micro Finance Banglades (2006) Bravo-Ureta, Solis, Lintas Negara dan Lopez, Maripani, Thiam, lintas komoditas dan Rivas, beragam komoditas (2007) Fogasari dan Latruffe, Hungaria dan pangan dan susu (2007) Perancis
b. Frontier parametrik Ali dan Chaudry, padi (1990)3/ Caselli dan Coleman II, output total (2006) II. FRONTIER STOKASTIK a. Frontier penampang lintang Kalirajan, padi (1981)
Dunia
Tamilnadu, India
Kalirajan dan Finn, padi (1983) Kalirajan (1984)
Bicol, Pilipina
Taylor, Evan Drumond, dan Gomes, untuk kredit program (1986) Ekayanake, padi (1987)
Southeasttern, Minas Gerais, Brazil
Siregar, padi (1987)
Jawa Barat, Indonesia Punjab, Pakistan
Ali dan Flinn, padi (1989)
1
Punjab, Pakistan
Pilipina
Sri Lanka
Squires dan Tabor, padi (1991)c Dev dan Hossain, padi (1995) Tadesse dan Krishnamoorthy, padi (1997) Xu dan Jeffrey, padi (1998)
Jawa & Luar Jawa, Indonesia Banglades
Wilson, Hadley, dan Kaltas, kentang (1998) Hazarika dan Subramanian, teh (1999)
Inggris
Tamil Nadu
Jiangsu, China
Assam
Jml sampel & periode
Jml input yg digunakan
Bentuk fungsi1
Metode estimasi2
1948-56 77 (1994) 6100 1995-2004
7
-
LP
4
-
LP
10
-
DEA/LP
95
8
-
DEA/LP
68 1983-2005
16
-
DEA/LP
719 peternak susu dan 1183 petani pangan 2001-2004
7
-
DEA/LP
220 1984/85 52 (negara) 1988
6
CD
PR
11
CD
PR
70 (1978) 79 (1980/81) 81 (1979/80) 433 1981-1982
6
CD
MLE
4
CD
MLE
4
TL
MLE
3
CD
COLS MLE
124 (1984/85) 63 1982 120 (1982) 1080 (1983) 411 dan 825 1985 & 1990 129 1992-1993
3
CD
MLE
3
CD
7
TL
3
TL
OLS dan COL OLS dan MLE MLE
5
CD
MLE
7
CD
MLE
180 1985/86 140 1992 67 1997-1998
7
CD
MLE
12
CD
MLE
CD
MLE
CD = Cobb-douglas, TL = translog GLS = generalized least square estimator, LP = linear programming, PR = probabilistic frontier, MLE = maximum likelihood estimation 2
55 Tabel 1. Lanjutan Penulis
Lokasi
II. FRONTIER STOKASTIK a. Frontier penampang lintang Sumaryanto, padi (2001) Subang dan Cianjur, Jawa Barat serta Sidrap, Sulsel Kebede, padi (2001) Mardi Watershed in the Western Development Region of Nepal Kumbhakar, Subal C., Norwegia usahaikan salmon (2002) Ojo, S. O., ayam ras petelur Nigeria (2003.) Sumaryanto, padi (2003) Subang dan Cianjur, Jabar Sidrap, Sulsel Siregar dan Sumaryanto, DAS Brantas, kedelai (2003) Kediri, Jawa Timur, Indonesia Utama, Padi SLPHT (2003) Sumatera Barat, Indonesia Nufus, kedelai (2003) Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Indonesia Eggert dan Tveteras, Swedish West perikanan komersial (2004) Coast demersal trawl fishers Sukiyono, cabai (2005)
Wahida, padi (2005) Waridin, alat tangkap cantrang (2005) Myint dan Kyi, padi (2005) Ogundari K. Dan S.O. Ojo, ubikayu (2006)
Myanmar
Boshrabadi dan Fleming, Pistachio (2007)
Iran
Ajewole dan Folayan, sayuran daun (2008) Ray, industri (2008)
Ekiti State, Nigeria
Fauziyah, Elys
Pamekasan, Madura, Jawa Timur Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan
Kusnadi, et al., Padi (2011)
3 4
Rejang Lebong, Bengkulu, Indonesia DAS Brantas, Jawa Timur Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia
Osun State, Nigeria (ubikayu)
India
Jml sampel & periode
Jml input yg digunakan
Bentuk fungsi3
Metode estimasi4
150 1998/1999-1999
8
CD
MLE
200 2000
9
CD
OLS
216 1999 200
3
CD
MLE
7
CD
MLE
40-60/lokasi 1998/1999, 1999
21
CD
MLE
480 1999/2000
8
CD
MLE
216 1995, 1999 2002
10
CD
7
CD
OLS dan MLE MLE
3,762 1995
3
Just and Pope
60 2005
7
CD
Mean Standart Deviation (MS) OLS
480 1999/2000 100 2005
23
CD
MLE
8
TL
MLE
144 1997 200 Tidak ada informasi tahun pengumpulan data 475 2003-2004
9
CD
MLE
9
CD
MLE
7
TL
100
4
CD
Technology Gap Ratio (TGR) MLE
23 kelompok industri 1991, 1995, 2001 2010
28
TL
COL
6 -7
CD
MLE
6
CD
MLE
802 responden petani
CD = Cobb-Douglas, TL = translog GLS = generalized least square estimator, LP = linear programming, PR = probabilistic frontier, MLE = maximum likelihood estimation
56 Tabel 1. Lanjutan Penulis
Lokasi
b. Frontier data panel dan Pool Kalirajan dan Shand, padi (1989) Dawson dan Lingard, padi (1989)
Tnnevely, South India Central Luzon, Pilipina
Erwidodo, padi (1990)
Jawa Barat
Dawson, Lingard dan Woodford, padi (1991)
Central Luzon, Filipina
Battese dan Coelli, padi (1992) Battese dan Coelli, padi (1995) Erwidodo, padi (1992)
India
Erwidodo, padi (1992)
Jawa Barat
Trewin et al., padi (1995)
Jawa Barat
Ajibun, Battese dan Kada, padi (1996) Jaenicke dan Larson, tanaman penutup (2001)
Jepang
Bokusheva dan Hockman, pertanian Villano, O’Donnell dan Battese, padi (2005)
Aurepalle, India Jawa Barat
West Tennese dan Maryland’s Coastal Plain Rusia Pilipina
Jml input yg digunakan
Bentuk fungsi5
Metode estimasi6
4
TL
MLE
6
CD
MLE
15
CD, TL
GLS
8
CD
MLE
15
CD, TL
GLS
5
CD
MLE
17
CD
15
CD
OLS EGLS OLS GLS
171 1976/77, ’77, 1981/82, ‘82 470 1984-1994 1994-1997
4
CD
MLE
5
TL
MLE
7
TL
OLS dan MLE
443 1996-2001 46 1990-1997
4
Just dan Pope Fungsi Produksi Kuadratik dan fungsi risiko CD, TL, Kuadrat ik Quadrat ic cost and Translo g cost CD, TL, lainnya
MLE
CD
MLE
Jml sampel & periode
170 (1981 – 1983) 61, 57, 143 & 135 (1970, 1974, 1979, 1982) 171 1975/76, 1977 1976/77, 1977 22 1970, 1974, 1979, 1982, 1984 38 1975/76, 1976 125 1975/76-1984/85 171 (1975/1976, 1976, 1976/1977, 1983) 171 (1975/1976, 1976, 1976/1977, 1983)
5
Vilano dan Fleming, padi (2005)
Central Luzon, Pilipina
46 1990-1997
9
Andreu dan Grunewald, biji-bijian dan peternakan (2006)
Kansas, Amerika Serikat
6100 1995-2004
10
Bravo-Ureta, Solis, Lintas Negara 117 16 Lopez, Maripani, Thiam, dan lintas 1983-2005 dan Rivas, beragam komoditas komoditas (2007) Lambarraa, Gil, dan Serra, Spanyol 859 4 Jeruk (2007) 1995-2003 Sumber : Diadaptasi Daryanto (2000), dilengkapi dengan beberapa data dan informasi terbaru.
5 6
MLE
MLE
MLE
MLE
CD = Cobb-douglas, TL = translog GLS = generalized least square estimator, LP = linear programming, PR = probabilistic frontier, MLE = maximum likelihood estimation
57 Studi tentang sumber TE pada usahatani memperhatikan peran keputusan manajerial yang dipengaruhi oleh variabel-variabel sosio-ekonomi. Keputusan manajerial menentukan kemampuan seorang petani sebagai manajer untuk memilih kombinasi input produksi dan pola output usahatani yang dipandang tepat, seperti penggunaan varietas dan jumlah benih, dosis dan jenis pupuk, waktu aplikasi pemupukan dan pestisida, teknik berproduksi, sistem tanam, serta teknik panen dan pasca panen. Variabel sosioekonomi bukan bagian dari proses produksi fisik, tetapi mempunyai efek terhadap variabel keputusan manajemen. Variabel sosio-ekonomi paling banyak digunakan untuk menerangkan variasi tingkat usahatani baik padi maupun non padi dalam hal TE, yaitu ukuran lahan usahatani, pendidikan, umur dan pengalaman petani, kontak petani dengan petugas penyuluhan, pendapatan, ketersediaan dan aksessibilitas air irigasi, aksessibilitas terhadap kelembagaan koperasi, rotasi tanaman dan lain sebagainya (Tabel 2). Peranan ukuran usahatani adalah bermacam-macam. Xu dan Jeffrey (1998) menemukan hubungan signifikan antara inefisiensi teknis dan ukuran usahatani. Tetapi beberapa studi tidak menemukan hubungan seperti itu (Dev dan Hossain, 1998; Erwidodo, 1990; Squires dan Tabor, 1991). Kontak dengan pelayanan penyuluhan adalah penting dalam menerangkan inefisiensi teknis. Penyuluhan ternyata berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis dalam studi yang dilakukan oleh Kalirajan (1981), Kalirajan (1984), Kalirajan dan Flinn (1983), dan Kalirajan dan Shand (1989). Aksessibilitas terhadap kelembagaan koperasi berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada usahatani kentang di Inggris (Wilson et al., 1998). Demikian juga akses
58 terhadap kredit juga berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada usahatani padi (Kalirajan dan Shand, 1989).
Pendapatan non usahatani mempunyai
hubungan yang negatif dengan inefisiensi teknis usahatani (Xu dan Jeffrey, 1998), demikian juga pendapatan perkapita (Sumaryanto et al., 2003) dan pendapatan dari usahatani padi (2005). Pendidikan umumnya memiliki dampak positif dan nyata terhadap TE dan berhubungan negatif dengan inefisiensi teknis pada berbagai usahatani. Semua studi yang terdaftar dalam Tabel 2 menggunakan beberapa variabel teknis dan variabel sosial ekonomi. Beberapa variabel teknis yang sering dimasukkan sebagai variabel dummy yang diduga mempengaruhi inefisiensi teknis dan TE adalah jenis irigasi, musim tanam, varietas yang digunakan, penggunaan mekanisasi pertanian, pengetahuan teknik budidaya, sistem tanam, dan rotasi tanaman. Sementara itu, beberapa variabel sosial ekonomi
yang
diduga mempengaruhi inefisiensi teknis dan TE adalah variabel umur petani, pendidikan petani, pengalaman bertani, jumlah anggota rumah tangga, kontak dengan penyuluh pertanian lapang, sistem penguasaan lahan, ukuran luas lahan garapan, keikutsertaan dalam keorganisasian (kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi), aksessibilitas terhadap sumber-sumber kredit, aksessibilitas terhadap pasar input, aksessibilitas terhadap pasar output, pendapatan non usahatani. Secara terperinci faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis pada berbagai usahatani dan lokasi dapat disimak pada Tabel 2.
59 Tabel 2. Inefisiensi Teknis dan Faktor-Faktor yang Menentukan Inefisiensi Teknis Usahatani dalam Studi Frontier Stokastik
Kalirajan, padi (1981)
Lokasi/ Negara Tamilnadu, India
Kalirajan dan Flinn, padi (1983)
Bicol, Pilipina
50
Kalirajan, padi (1984) Ekayanake, padi (1987)
Pilipina
27
Srilangka
50
Ali dan Flinn, padi (1989)
Punjab, Pakistan
28
Kalirajan dan Shand, padi (1989) Erwidodo, padi (1990) Squires dan Tabor, padi (1991) Battese dan Coelli, padi (1995) Dev dan Hossain, padi (1995)
Tnnevely, South India Jawa Barat, Indonesia Indonesia
30
Aurepalle, India Banglades
Tdk ada informasi 16
Wilson, Hadley, dan Kaltas, untuk kentang (1998) Xu dan Jeffrey, padi (1998)
Inggris
10,47
Jiangsu, China
15-26 (hibrida) 6-13 (konvensional)
Penulis
Inefisiensi teknis 53
7 30
Faktor yang mempengaruhi inefisiensi Pendidikan (-), pengalaman (-)**, Pengetahuan (-)**, kontak penyuluhan (-)**, penggarap bagi hasil (+) Pendidikan (-), Umur (-), pengalaman ()**, kontak penyuluhan (-)**, metode tanam (-**) Pendidikan (-), kontak penyuluhan (-)*, pemilikan (-), umur, pengalaman (-)* Petani zona barat (-)*, literacy/kemmapuan baca-tulis (-)*, petani paruh waktu (+)*, kredit (-)*, petani terbelit utang (+), varietas berumur pendek yang mudah ditanam ()* Pendidikan (-)*, menyewa (-), pekerjaan off-farm (+)*, ketidaktersediaan kredit (+)*, ukuran lahan/usahatani (+), pemilikan sumur (-), penggunaan traktor (-), hambatan air/irigasi (+)*, tanam terlambat (+), terlambat memupuk (-)* Pendidikan (-)*, pengalaman (-)*, akses kredit (-)*, kunjungan penyuluhan (-)* Ukuran usahatani/lahan (tdk ada pengaruh) Ukuran usahatani/lahan (tdk ada pengaruh) Umur (+), pendidikan sekolah (-), tahun (-) Pendidikan (+), wilayah irigasi (-)*, banjir (+)*, kekeringan (+)*, ukuran lahan (+), wilayah/lahan sewa (+)**, umur (+), tekanan subsisten (+), waktu (-)* Proporsi lahan irigasi (-)*, keikutsertaan kelembagaan koperasi (-)*, rotasi tanaman (-)* Untuk produksi padi hibrida: Jiangsu Selatan Pendidikan (-)*, ukuran lahan (-)**, pendapatan non-usahatani (-)** Jiangsu Tengah Pendidikan (-)*, ukuran lahan (-)**, pendapatan non-usahatani (-) Jiangsu Utara Pendidikan (-)*, ukuran lahan (-), pendapatan non-usahatani (-)*
60 Tabel 2. Lanjutan Penulis Siregar dan Sumaryanto, kedelai (2003)
Lokasi/ Negara DAS Brantas, Jawa Timur
Inefisiensi teknis 20
Ojo, ayam ras petelur (2003) Sumaryanto, padi (2003)
Nigeria DAS Brantas, Jawa Timur, Indonesia
29
Utama, padi SLPHT (2004)
Sumatera Barat, Indonesia
36 (SLPHT 1995)
Sukiyono, cabai merah (2005) Myint dan Kyi, padi (2005)
Rejang Lebong, Bengkulu Myanmar
23,70
33 (SLPHT 1999) 35.14 (2003 dan 2004) 23 (skala kecil)
Faktor yang mempengaruhi inefisiensi Jumlah persil (-), lahan irigasi milik (-), lahan irigasai garapan (-), pendapatan perkapita (+), umur (-), pendidikan (-), indeks diversifikasi (+), jumlah ART dewasa (+), pendidikan ART dewasa (-). Lamanya sekolah (+), umur (+), dan pengalaman (+) Jumlah persil (-)*, Rasio persil garapan sakap/total (-)*, Rasio persil garapan sewa/total (-)*, Pendapatan per kapita ()*, Pangsa pendapatan dari usahatani padi (-)*, Umur petani (KK) (-)*, Indeks diversifikasi di blok tersier Indeks diversifikasi di blok tersier (-)* Tingkat pendidikan (+), jumlah ART (+), luas lahan (+)**, pendapatan (+)*, irigasi (-), penyuluhan (+), SLPHT (-), PHT (-) Tingkat pendidikan (-)***
-umur ART (+), tingkat pendidikan (-), kontak penyuluh (-) 26 (skala -umur (-), Tingkat pendidikan sedang) (-)*, kontak penyuluh (-) -umur ART (+), tingkat pendidikan (-), 36 (skala luas) kontak penyuluh (-) Villano dan Central 11 (Translog) -umur (+), pendidikan (-), rasio ART Fleming, padi Luzon, dewasa (-)**, pendapatan non pertanian (2005) Pilipina (+)** 23 (Quadratik) -umur (-), pendidikan (+)*, rasio ART dewasa (+), pendapatan non pertanian (+) Wahida, padi Jawa 24 (CobbJumlah anggota rumah tangga usia kerja (2005) Timur, Douglas) (+)*, aksessibilitas terhadap saluran Indonesia kuarter (-)*, umur tingkat pendidikan KK (-)*, total biaya usahatani (-)*, pendapatan dari sektor pertanian (-)* Ajewole dan Ekiti State, 38.5 (CobbJumlah anggota rumah tangga (-)*, Folayan (2008) Nigeria Douglas) pendapatan dari luar usahatani (+)*, akses terhadap kredit (-)*, kunjungan penyuluh (-)*. Fauziyah (2010) Pamekasan, 11 (CobbUmur (+)*, pendidikan (-)*, pendapatan Madura, Douglas) non pertanian (-)*, teknik budidaya (Jawa Timur )**, kelompok tani (-)*, penyuluhan pertanian (-)* Catatan: * dan ** masing-masing berbeda nyata 5 dan 10 persen Sumber : Diadaptasi dari Heny Daryanto (2000), dilengkapi dengan beberapa data dan informasi terbaru.
61 2.7. Studi Risiko pada Usaha Pertanian Just dan Pope (1979) telah mengkritisi fungsi produksi tradisional yang memiliki keterbatasan dalam melihat pengaruh perubahan penggunaan input terhadap produk rata-rata dan variabilitas output. Berdasarkan restriksi ini Just dan Pope membuat model dari fungsi produksi yang terdiri dari 2 (dua) komponen yaitu komponen pertama menjelaskan dampak input terhadap output yang diharapkan dan yang kedua menjelaskan dampak input terhadap variabilitas output. Dengan menggunakan data panel mereka menunjukkan bahwa pupuk nitrogen memiliki dampak meningkatkan variabilitas produktivitas artinya bahwa pemberian pupuk ini dapat meningkatkan risiko produksi (inducing risk). Beberapa kajian empiris menunjukkan petani pada umumnya berperilaku menghindari risiko produksi (risk averse), seperti yang diungkapkan oleh Binswanger (1980) serta Dillon dan Scandizzo (1978) pada kasus pertanian tradisional, juga pada kasus usahatani padi di Jawa Barat (Hutabarat, 1987). Perilaku tersebut mengindikasikan bahwa petani lebih menyukai perencanaan usahatani yang dapat memberikan rasa aman walaupun harus mengorbankan sebagian pendapatannya.
Perilaku petani tersebut sangat penting terutama
implikasinya terhadap usaha peningkatan efisiensi usahatani cabai merah. Hartoyo et al., (2004) menggunakan metode fungsi utilitas kuadratik untuk menganalisis risiko harga output pada usahatani padi di Cisarua dan Kemang, Bogor, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani padi di Cisarua memiliki kecenderungan bersifat penghindar risiko dalam harga output, sedangkan di Kemang petani bersifat netral terhadap risiko dalam harga output,
62 karena sebagian besar produksi padi untuk kasus di Kemang digunakan untuk konsumsi rumahtangga sendiri. Penelitian tentang perilaku petani padi dalam menghadapi risiko produksi di daerah Jawa Barat telah dilakukan oleh Hutabarat (1987). Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi dampak penggunaan masukan terhadap risiko produksi. Dengan menggunakan model Just dan Pope di peroleh hasil temuan bahwa luas areal lahan, benih, pupuk nitrogen dan pospat bersifat sebagai meningkatkan risiko produksi (risk inducing), sedangkan tenaga kerja manusia bersifat menurunkan risiko produksi (risk reducing). Syafaat
(1990)
melakukan
penelitian
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi efisiensi teknis relatif dan sikap petani dalam menghadapi risiko produksi pada usahatani padi di sawah beririgasi teknis di WKPP (Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian) Manyeti, Kabupaten Subang dengan pendekatan maksimasi kepuasan harapan (expected utiliy maximation). Hasil penelitian menyimpulkan petani yang sumber pendapatannya berasal dari pertanian dan dari luar pertanian bersikap sebagai berani mengambil risiko produksi (risk taker) dalam penggunaan pupuk, sedangkan petani yang sumber pendapatannya hanya bersumber dari pertanian saja bersikap penghindar risiko produksi (risk averser). Purwoto (1993) melakukan penelitian tentang sikap petani terhadap risiko produksi padi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Desa Boloh, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah dengan pendekatan model linier regresi berganda koefisien keengganan petani dalam menghadapi risiko produksi.
Hasil penelitian menyimpulkan secara umum petani bersikap
63 menghindari risiko produksi.
Faktor sosial-ekonomi yang berpengaruh nyata
terhadap sikap tersebut adalah sempitnya lahan dan tersebarnya lahan garapan. Petani dengan sikap menghindari risiko produksi cenderung membudidayakan varietas padi yang telah lama dikenal dan memiliki ketidakstabilan produksi relatif rendah.
Sementara itu, petani dengan sikap berani mengambil risiko
cenderung menggunakan varietas padi baru, meskipun memiliki ketidakstabilan produksi yang tinggi. Model Just dan Pope (1979) juga telah digunakan oleh Eggert dan Tveteras (2004) untuk menganalisis pilihan risiko produksi pada penggunaan Gear oleh Nelayan Komersial di Swedia. Fungsi penerimaan stokastik diestimasi dan digunakan untuk memprediksi rata-rata dan standar deviasi dari penerimaan untuk setiap perjalanan (trip) melaut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan bersifat menghindari risiko produksi (risk averter), hal ini bisa dilihat dari respon nelayan terhadap rata-rata nilai output yang dihasilkan setelah sandar bersifat positif ataukah bersifat negatif terhadap variabilitasnya. Kumbhakar (2002) telah mengembangkan Model Just dan Pope dengan menggunakan model frontier stokastik dengan struktur error yang bersifat heterokestisitas.
Kumbakhar
mencoba
mengembangkan
model
dengan
mengaitkan antara risiko produksi, pilihan terhadap risiko produksi dan inefisiensi teknis. Penelitiannya menggunakan data cross section dari budidaya Salmon di Norwegia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan bersifat penghindar risiko produksi. Pakan ikan memiliki potensi untuk
64 meningkatkan risiko produksi, sedangkan tenaga kerja manusia dapat menurunkan risiko produksi. Model yang dibuat oleh Kumbhakar telah digunakan oleh Bokusheva dan Hockmann (2005). Studi ini melihat dampak risiko produksi dan inefisiensi teknis dari produsen pertanian di Rusia. Hasil yang didapat dari analisis terhadap data panel sebanyak 443 menunjukkan bahwa inefisiensi teknis menjadi penyebab variabilitas produksi pertanian di Rusia. Selanjutnya risiko produksi juga memberikan kontribusi terhadap ketidakstabilan output pertanian Rusia. Hampir di semua usahatani pada semua lokasi (Krasnodar, Oroel, dan Samara) menunjukkan bahwa variabilitas output dapat dijelaskan oleh risiko produksi. Sehingga dengan mengabaikan risiko bisa menyebabkan estimasi efisiensi teknis menjadi bias. Selanjutnya, analisis menunjukkan bahwa respon usahatani terhadap risiko
produksi
sangat
lemah.
Sebagian
meningkatkan ketidakstabilan produksi.
besar
faktor-faktor
produksi
Ini berimplikasi bahwa pemberian
masukan yang tidak disesuaikan dengan kondisi produksi akan meningkatkan risiko usahatani. Penelitian tentang risiko produksi, preferensi terhadap risiko dan efisiensi teknis pada usahatani padi pada lahan sawah tadah hujan dataran rendah di Pilipina telah dilakukan oleh (Villano et al., 2005; serta Villano dan Fleming, 2006). Mereka menggunakan model fungsi produksi frontier stokastik dengan menambahkan struktur error yang heteroskedastik yang telah dibangun oleh Kumbhakar (2002). Dengan menggunakan data panel selama 8 tahun dari 46 petani padi, disimpulkan bahwa rata-rata efisiensi teknis produksi sebesar (0,88
65 atau 88 %) pada kajian pertama dan (0,79 atau 79 %) pada kajian yang ke dua. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat variabilitas yang cukup tinggi dalam estimasi efisiensi teknis dan dapat diartikan bahwa kondisi usahatani padi di dataran rendah dan pada saat musim hujan tidak stabil, di mana petani adalah berperilaku menghidari risiko produksi. Dikemukakan bahwa luas lahan, tenaga kerja dan jumlah pupuk yang digunakan bersifat meningkatkan risiko produksi, sementara herbisida yang digunakan memiliki kemampuan untuk menurunkan risiko. Hasil kajian Fauziyah (2010) memberikan beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut : (1) perilaku risiko produksi petani tembakau pegunungan yang menggunakan sistem kemitraan tergolong sebagai petani yang berani mengambil risiko produksi (risk taker); (2) Sedangkan pada petani tembakau pegunungan dengan sistem swadaya, petani tembakau tegal dengan sistem kemitraan, petani tembakau sawah dengan sistem kemitraan dan swadaya, semuanya berperilaku menghindari risiko produksi (risk averse); dan (3) Sementara itu, petani tembakau tegal sistem swadaya bersikap netral terhadap risiko produksi (risk neutral); serta (4) Semakin berani mengambil risiko produksi maka semakin besar alokasi penggunaan input dan semakin tinggi produktivitas yang dicapainya.