II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Standar, Standardisasi, dan Perumusan Standar Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Life cycle suatu standar Menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) diartikan sebagai rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk menyusun Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait. Perumusan standar pada umumnya melalui tahapan yang berbentuk siklus (life cycle). Life cycle suatu standar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Life Cycle Suatu Standar (BSN, 2009)
4
Perumusan suatu standar umumnya melalui tujuh tahap utama (BSN, 2009), yaitu: 1) Identifikasi perlunya suatu standar tertentu oleh para pemangku kepentingan; 2) Penyusunan program kolektif berdasarkan analisis kebutuhan dan penetapan prioritas oleh semua pihak berkepentingan disusul adopsi dalam program kerja badan/lembaga standardisasi nasional; 3) Penyiapan rancangan standar oleh semua pihak yang berkepentingan yang diwakili oleh pakar (termasuk produsen, pemasok, pemakai, konsumen, administrator, laboratorium, peneliti dan sebagainya) yang dikoordinasikan oleh panitia teknis; 4) Konsensus mengenai rancangan standar; 5) Validasi melalui public enquiry nasional mencakup semua unsur ekonomi dan pelaku usaha untuk memastikan keberterimaan secara luas; 6) Penetapan dan penerbitan standar, dan; 7) Peninjauan kembali (revisi), amandemen atau abolisi. Suatu standar dapat direvisi setelah kurun waktu tertentu (umumnya 5 tahun sekali) agar selalu sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan baru.
Prinsip dasar perumusan standar Prinsip
yang
harus
dipenuhi
dalam
proses
perumusan
maupun
pengembangan dalam menghasilkan dokumen standar adalah (BSN, 2009): 1.
Transparan (Transparent)
2.
Keterbukaan (Openness)
3.
Konsensus dan tidak memihak (Consensus and impartiality)
4.
Efektif dan relevan (Effective and relevant)
5.
Koheren (Coherent)
6.
Dimensi pengembangan (Development dimension)
Transparan. Transparan berarti prosesnya mengikuti suatu prosedur yang dapat diikuti oleh berbagai pihak yang berkepentingan dan tahapan dalam proses dapat dengan mudah diketahui oleh pihak yang berkepentingan. Keterbukaan. Terbuka bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mengikuti program pengembangan standar melalui kelembagaan yang terkait dengan
5
pengembangan standar, baik sebagai anggota PT (Panitia Teknis) / SPT (Sub Panitia Teknis) maupun sebagai anggota masyarakat. Hendaknya pihak yang berkepentingan dapat
terlibat untuk
memberikan masukan, menyatakan
persetujuan atau keberatan mereka terhadap suatu rancangan standar. Konsensus dan tidak memihak. Memberikan kesempatan bagi pihak yang memiliki kepentingan berbeda untuk mengutarakan pandangan mereka serta mengakomodasikan pencapaian kesepakatan oleh pihak-pihak tersebut secara konsensus (mufakat atau suara mayoritas) dan tidak memihak kepada pihak tertentu. Hal ini dilaksanakan melalui proses konsensus di tingkat Panitia Teknis, dan juga di rapat konsensus nasional serta di tingkat jajak pendapat dan pemungutan suara. Untuk menjamin hal ini harus ada prosedur konsensus yang tidak memihak. Efektif dan relevan. Untuk memenuhi kepentingan para pelaku usaha dan untuk mencegah hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan, maka standar nasional tersebut harus relevan dan efektif memenuhi kebutuhan pasar, baik domestik maupun internasional sehingga bila diadopsi standar akan dipakai oleh dunia usaha atau pihak pengguna lainnya. Selain itu juga harus memenuhi kebutuhan regulasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Sedapat mungkin standar nasional berlandaskan unjuk kerja daripada berdasarkan desain atau karakteristik deskriptif dan hasilnya dapat diterapkan secara efektif sesuai dengan konteks keperluannya. Koheren. Untuk menghindari ketidakselarasan di antara standar, maka Badan Standardisasi Nasional (BSN) perlu mencegah adanya duplikasi dan tumpang tindih dengan kegiatan perumusan standar sejenis lain. Agar harmonis dengan kegiatan perkembangan dan perumusan standar perlu ada kerjasama dengan badan standar lain baik regional maupun internasional. Pada tingkat nasional duplikasi perumusan antara Panitia Teknis dan antara tahun pembuatan harus dihindari. Dimensi pengembangan. Hambatan yang biasanya dialami oleh usaha kecil/menengah untuk ikut berpartisipasi dalam perumusan standar nasional harus menjadi pertimbangan. Dalam memfasilitasi keikut-sertaan Usaha Mikro, Kecil,
6
dan Menengah (UMKM) serta penyuaraan pendapat mereka ini, diperlukan upaya yang nyata. Pembinaan peningkatan kemampuan UMKM harus dikedepankan sehingga UMKM akan mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan pasar. Hal ini dimaksudkan agar UMKM dapat bersaing di pasar regional/internasional dan dapat menjadi bagian dari global supply chain. Dengan demikian standar yang dihasilkan akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dan negara. Menurut Winarno (2002) perumusan standar yang tergesa-gesa akan menimbulkan biaya tak terduga yang tidak dapat diprediksi. Dalam beberapa hal perumusan standar yang tetap harus melalui konsensus yang dapat dilaksanakan dengan cepat sepanjang ada alasan yang tepat dan hasilnya tetap objektif serta memberikan manfaat kepada semua pihak yang terkait. Pertanyaan yang perlu dijawab dalam merumuskan suatu standar adalah (i) Siapa yang memerlukan standar? (ii) Standar seperti apa yang diinginkan? (iii) Mengapa diperlukan standar? (iv) Dimana penerapannya? (v) Kapan standar tersebut diterapkan? (vi) Bagaimana cara perumusannya?.
2.2. Standar, SNI, dan Peraturan Keamanan Pangan Standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) disebut sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). Menurut PP No. 102/2000 tentang Standardisasi Nasional, SNI didefinisikan sebagai standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara nasional. SNI yang ditetapkan oleh BSN bersifat sukarela (voluntary), sedangkan instansi teknis dapat memberlakukan wajib (mandatory) SNI dalam bentuk peraturan melalui surat keputusan menteri atau kepala badan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia peraturan didefiniskan sebagai tataan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur (Kemendiknas, 2011). Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI sebagai salah satu instansi teknis dapat memberlakukan wajib sebagian atau keseluruhan ketentuan di dalam SNI yang telah ditetapkan oleh BSN. Pertimbangan utama BPOM RI di dalam
7
memberlakukan wajib SNI adalah faktor kesehatan masyarakat dan keamanan pangan.
BPOM RI memberlakukan wajib SNI dituangkan dalam bentuk
peraturan melalui surat keputusan (SK) kepala BPOM RI. Selain pemberlakuan wajib SNI tersebut, di dalam menjalankan fungsi pengawasan pangan, BPOM RI juga berwenang mengeluarkan peraturan lain dalam bentuk pedoman dan kode praktis. Untuk itu, pada pembahasan selanjutnya, peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM RI baik berupa pemberlakuan wajib SNI, pedoman, maupun kode praktis disebut sebagai peraturan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan mendefinisikan Keamanan Pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
BPOM RI
berwenang menetapkan peraturan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas pangan untuk menciptakan keamanan pangan pada produk pangan yang beredar di Indonesia. Peraturan BPOM RI yang memberlakukan wajib SNI dapat disebut sebagai standar keamanan pangan. Secara umum di dalam kerangka SNI dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu (i) awal, (ii) umum, (iii) teknis, dan (iv) tambahan. Bagian Awal dan Tambahan bersifat informatif, sedangkan bagian Umum dan Teknis bersifat normatif. Bagian umum umumnya terdiri atas unsur (i) judul, (ii) ruang lingkup, dan (iii) acuan normatif. Bagian teknis umumnya terdiri atas unsur (i) istilah dan definisi, (ii) simbol dan singkatan, (iii) klasifikasi, (iv) persyaratan, (v) pengambilan contoh, (vi) metode uji, (vii) penandaan, dan (viii) lampiran normatif. Secara lengkap bagian dan unsur yang terdapat di dalam SNI dapat dilihat pada Lampiran 1 (BSN, 2007b). Jika dilihat dari bagian dan unsur di dalam SNI, dapat dilihat bahwa unsur persyaratan pada bagian teknis merupakan unsur yang menggambarkan standar keamanan pangan. ketentuan
Pada unsur persyaratan di dalam SNI pangan terdapat
persyaratan
(mikro)biologi.
mutu
baik
yang
bersifat
fisik,
kimia,
maupun
Persyaratan mutu kimia dan mikrobiologi pada umumnya
dijadikan sebagai standar keamanan pangan yang diwajibkan (mandatory) oleh
8
BPOM RI. Contoh SNI (SNI 3141.1:2011 tentang Susu Segar – Bagian 1: Sapi) yang ditetapkan oleh BSN dengan bagian yang lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2 (BSN, 2011a). Contoh peraturan dalam bentuk surat keputusan (SK) BPOM RI yang memberlakukan wajib SNI (HK.00.05.5.1.4547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan Dalam Produk Pangan) dapat dilihat pada Lampiran 3 (BPOM, 2004). Untuk itu, definisi standar dan peraturan keamanan pangan di dalam tulisan ini mencakup: (i) parameter atau ketentuan di dalam SNI dari BSN yang memberikan persyaratan kimia dan mikrobiologi dan terkait dengan keamanan pangan dan (ii) peraturan yang ditetapkan melalui surat keputusan (SK) BPOM RI berupa pemberlakuan wajib standar (SNI), pedoman, dan kode praktis untuk menjalankan fungsi BPOM RI sebagai lembaga pengawas pangan guna menciptakan keamanan pangan produk pangan yang beredar di Indonesia. Sementara itu. peraturan keamanan pangan dari instansi teknis lain (misal Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Kehutanan) tidak dibahas secara lebih mendalam di dalam tulisan ini.
2.3. Perumusan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan dengan Pendekatan Ilmiah Perumusan dan pengembangan standar dan perturan keamanan pangan seharusnya mengikuti suatu prosedur yang berbasis ilmiah.
Perumusan dan
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan dapat dilakukan melalui pendekatan analisis risiko (risk analysis). Analisis risiko terdiri dari komponen kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko (CAC, 2007). Adapun keterkaitan antar komponen tersebut di dalam pendekatan analisis risiko dapat dilihat pada Gambar 2. Kerangka kerja analisis risiko memberikan sebuah proses secara sistematis dan transparan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang berkaitan dengan aspek ilmiah dan non-ilmiah mengenai bahaya kimia,
9
biologi, dan fisik yang kemungkinan terdapat di dalam pangan agar dapat memilih pilihan terbaik untuk mengatur berdasarkan risiko di dalam berbagai alternatif yang teridentifikasi (FAO/WHO, 2005).
Gambar 2. Keterkaitan Komponen dalam Analisis Risiko (FAO/WHO, 2005)
2.4. Potret Standardisasi Keamanan Pangan di Indonesia 2.4.1. Sistem Standardisasi Nasional Indonesia Sistem standardisasi di Indonesia telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Badan Standardisasi Nasional
(BSN)
adalah
lembaga
pemerintah
yang
berwenang
dalam
mengkoordinasikan sistem standardisasi nasional. Berbagai lembaga terlibat di dalam proses perumusan dan pengembangan standar. Selain BSN, lembaga yang terlibat dalam pengembangan standardisasi nasional di antaranya instansi teknis, pelaku usaha, masyarakat, lembaga perlindungan konsumen, dan pemerintah daerah. Di dalam menjalankan tugasnya, BSN berkoordinasi dengan Komite Nasional Standardisasi untuk Satuan ukuran (KSNSU) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN). Secara lengkap lembaga yang terlibat dan fungsinya dalam pengembangan sistem standardisasi nasional di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.
10
Gambar 3. Sistem Standardisasi Nasional Berdasarkan PP No. 102 Tahun 2000
11
Instansi teknis adalah Kantor Menteri Negara, Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang salah satu kegiatannya melakukan kegiatan standardisasi. Instansi teknis yang dimaksud misalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Kehutanan.
2.4.2. Dasar
Hukum
dan
Lembaga
Otoritas
Pembuat
Kebijakan
Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia A. Dasar Hukum Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia Di Indonesia ada beberapa lembaga pemerintah yang berwenang menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan standar keamanan pangan, di antaranya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Selain itu, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, dan Pemerintah Daerah juga berperan dalam pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada sistem keamanan pangan di Indonesia yang menganut sistem keamanan pangan terpadu. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan induk dan dasar hukum di Indonesia. Pengaturan pangan dan keamanan pangan merupakan amanah dari UUD 1945 terutama yang tersirat dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33. Pada peraturan di bawahnya telah ditetapkan undang-undang (UU) yang mewarnai sistem pengaturan keamanan pangan dan standardisasi di Indonesia, seperti UU No. 7 tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan WTO (World Trade Organization), UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait, misalnya PP No. 28 tahun 2004 tentang Mutu,
12
Keamanan dan Gizi Pangan, PP No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dan PP No. 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Di dalam PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000 dijelaskan bahwa keamanan pangan dan standardisasi nasional merupakan tanggung jawab dan tugas berbagai lembaga pemerintah. Kewenangan berbagai lembaga pemerintah yang berperan dalam pengembangan standar dan pengaturan keamanan pangan di Indonesia berdasarkan kedua PP tersebut (PP No. 28/2004 dan PP No. 102/2000) dapat dilihat pada Tabel 1.
B. Beberapa Lembaga Pemerintah yang Terlibat dalam Perumusan dan Pengembangan Standar Keamanan Pangan di Indonesia Pada bagian ini, secara khusus dibahas mengenai beberapa lembaga pemerintah yang terkait dengan perumusan dan pengembangan standar keamanan pangan di Indonesia.
Lembaga pemerintah yang sangat berpengaruh dalam
perumusan dan pengembangan standar dan peraturan tersebut adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan pada Tabel 1, tetapi pada bagian ini akan dibahas mengenai 2 lembaga pemerintah yang paling dominan yaitu BSN dan BPOM sebagai perwakilan lembaga pemerintah lainnya. Di dalam era otonomi daerah sekarang ini, sekiranya perlu juga dikaji mengenai peran dari pemerintah daerah (Pemda) dalam kebijakan pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan di Indonesia. Untuk itu, peran dari Pemda akan dikaji sesuai dengan dasar hukum yang berlaku saat ini. Hal ini dimaksudkan agar rekomendasi dari kajian ini dapat diaplikasikan oleh semua lembaga terkait, termasuk Pemda.
13
Tabel 1. Dasar Hukum Otoritas Pembuat Kebijakan Pengembangan Standar dan Peraturan Keamanan Pangan di Indonesia Lembaga Pemerintah yang Berwenang Instansi Teknis BSN PEMDA BPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut PP No. 28/2004 tentang Mutu, Keamanan dan Gizi Pangan 1. 21 Berwenang mewajibkan suatu standar dengan √ √ √ √ √ √ mempertimbangakan perjanjian TBT/SPS WTO 2. 29 Berwenang menetapkan standar mutu pangan yang dinyatakan √ sebagai SNI 3. 30 Berkoordinasi dengan BSN √ √ √ √ dalam menetapkan standar wajib 4. 31 Dapat menetapkan ketentuan mutu pangan di luar SNI untuk √ √ √ produk pangan berisiko keamanan tinggi 5. 32 Melakukan sertifikasi SNI yang diwajibkan atau persyaratan √ √ √ ketentuan mutu 6. 41 Berkoordinasi dengan BSN untuk mengupayakan saling pengakuan pelaksanaan √ √ √ penilaian kesesuaian dalam memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor No Nomor Tugas/Uraian Pasal Pasal
14
No Nomor Tugas/Uraian Pasal Pasal 7.
Lembaga Pemerintah yang Berwenang Instansi Teknis BSN PEMDA BPOM Kemenkes Kementan KKP Kemenperin Kemenhut
42-45
Pengawasan dan pembinaan mutu, keamanan, dan gizi pangan PP No. 102/2004 tentang Standardisasi Nasional 1. 4 Penyelenggara pengembangan dan pembinaan di bidang √ standardisasi 2. 5 Menyusun dan menetapkan Sistem Standardisasi Nasional √ dan pedoman di bidang standardisasi nasional 3. 12 Pemberlakuan SNI secara wajib 4. 22-23 Pembinaan dan Pengawasan terhadap penerapan SNI secara wajib Keterangan: BSN : Badan Standardisasi Nasional BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan Kemenkes : Kementerian Kesehatan Kementan : Kementerian Pertanian KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan Kemenperin : Kementerian Perindustrian Kemenhut : Kementerian Kehutanan PEMDA : Pemerintah Daerah
√
√
√ √ √
√
15
1. Tentang Badan Standardisasi Nasional Sejalan dengan perkembangan kemampuan nasional di bidang standardisasi dan dalam mengantisipasi era globalisasi perdagangan dunia, ASEAN Free Trade Area - AFTA (2003) dan APEC – Asia Pasific Economic Cooperation (2010/2020), kegiatan standardisasi yang meliputi standar dan penilaian kesesuaian (conformity assessment) secara terpadu perlu dikembangkan secara berkelanjutan khususnya dalam
memantapkan
dan
meningkatkan
daya
saing
produk
memperlancar arus perdagangan dan melindungi kepentingan umum.
nasional, Untuk
membina, mengembangkan serta mengkoordinasikan kegiatan di bidang standardisasi secara nasional menjadi tanggung jawab Badan Standardisasi Nasional (BSN, 2011c). Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001, merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia. Badan ini menggantikan fungsi dari Dewan Standardisasi Nasional (DSN).
Dalam
melaksanakan tugasnya Badan Standardisasi Nasional berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Standardisasi Nasional di bidang akreditasi dilakukan oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN mempunyai tugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Pelaksanaan tugas dan fungsi BSN di bidang Standar Nasional untuk Satuan Ukuran dilakukan oleh Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). KSNSU mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran. Sesuai dengan tujuan utama standardisasi adalah melindungi produsen, konsumen, tenaga kerja dan masyarakat dari aspek keamanan, keselamatan,
16
kesehatan serta pelestarian fungsi lingkungan, pengaturan standardisasi secara nasional ini dilakukan dalam rangka membangun sistem nasional yang mampu mendorong dan meningkatkan, menjamin mutu barang dan/atau jasa serta mampu memfasilitasi keberterimaan produk nasional dalam transaksi pasar global. Dari sistem dan kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk barang dan/atau jasa Indonesia di pasar global. Visi Badan Standardisasi Nasional tahun 2010–2014 adalah menjadi lembaga terpercaya dalam mengembangkan Standar Nasional Indonesia untuk meningkatkan daya saing perekonomian nasional sesuai dengan perkembangan iptek (BSN, 2011c).
Sejalan dengan visi tersebut, maka misi BSN adalah
memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi melalui : Mengembangkan
Standar Nasional Indonesia (SNI)
Mengembangkan
sistem penerapan standar dan penilaian kesesuaian
Meningkatkan
persepsi masyarakat dan partisipasi pemangku kepentingan dalam
bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian Mengembangkan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan standardisasi
dan penilaian kesesuaian Fungsi Badan Standardisasi Nasional adalah (BSN, 2011c): a. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang standardisasi nasional; b. koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN; c. fasilitasi dan pembinaan terhadap kegiatan lembaga pemerintah di bidang standardisasi nasional; d. penyelenggaraan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di bidang standardisasi; e. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga. Dalam menyelenggarakan fungsi tersebut, Badan Standardisasi Nasional mempunyai kewenangan : a. penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;
17
b. perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; c. penetapan sistem informasi di bidangnya; d. kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : 1) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang standardisasi nasional; 2) perumusan dan penetapan kebijakan sistem akreditasi lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium; 3) penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI); 4) pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidangnya; 5) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidangnya.
2. Tentang Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI Sebelum mengkaji kebijakan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (Direktorat Standardisasi Produk Pangan) berupa peraturan atau penetapan wajib standar, terlebih dahulu perlu diketahui mengenai profil lembaga ini. Hal ini diperlukan agar dalam mengkaji kebijakan yang dikeluarkannya lebih fokus dan terarah, sehingga dihasilkan suatu kajian yang efektif dan mudah diaplikasikan pada lembaga tersebut. Fungsi pengawasan keamanan pangan di Indonesia terutama dilakukan oleh BPOM RI. Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya adalah bagian yang berwenang untuk menyusun kebijakan berupa peraturan atau penetapan wajib standar untuk mendukung pelaksanaan fungsi pengawasan BPOM RI tersebut. A. Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI (BPOM, 2008) Tugas Pokok Direktorat Standardisasi Produk Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI adalah, sebagai berikut: menyiapkan perumusan kebijakan, menyusun pedoman, standar, kriteria prosedur, dan
18
melaksanakan pengendalian, bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk pangan Fungsi Direktorat Standardisasi Produk Pangan adalah: 1. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis; penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur; pengendalian dan pemantauan; pemberian bimbingan dan pembinaan, di bidang pengaturan dan standardisasi bahan baku dan bahan tambahan pangan, pangan khusus dan pangan olahan. 2. Penyusunan rencana dan program standardisasi produk pangan 3. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di standardisasi produk pangan 4. Evaluasi dan penyusunan laporan standardisasi produk pangan 5. Pelaksanaan tugas lain sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Output yang dihasilkan dari kegiatan Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah berupa standar. Standar yang dimaksud di sini terdiri atas Peraturan, Pedoman, Code of Practice, dan peran untuk mendukung posisi delegasi RI pada sidang Codex. B. Rencana Strategi BPOM RI (BPOM, 2008) Visi BPOM RI adalah menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kredibel dan diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat. Adapun misi BPOM RI adalah: 1. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional 2. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten 3. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini 4. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan makanan yang berisiko terhadap kesehatan 5. Membangun organisasi pembelajar (Learning organization) Grand strategis BPOM RI dalam kurun waktu lima tahun (2010–2014) adalah: Memperkuat sistem regulatory pengawasan obat dan makanan
19
Memperkuat sistem regulatory pengawasan pangan C. Sasaran (BPOM, 2008) Sasaran dari Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah: Seluruh standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional. Seluruh pangan harus memenuhi standar tersebut. Semua kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan wajib) dalam bentuk peraturan perundang–undangan. D. Indikator Keberhasilan (BPOM, 2008) Indikator keberhasilan program Direktorat Standardisasi Produk Pangan BPOM RI adalah: 100% standar pangan yang berlaku diakui secara nasional dan internasional 100% pangan harus memenuhi standar tersebut 100% kode praktis, pedoman dan standar di-mandatori-kan (diberlakukan wajib) dalam bentuk perundang–undangan
3. Tentang Peran Pemerintah Daerah dalam Standardisasi Keamanan Pangan Nasional Salah
satu
lembaga
yang
perlu
diperhatikan
peranannya
dalam
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan adalah pemerintah daerah (Pemda). Di dalam era otonomi daerah saat ini, partisipasi dan peran daerah sangat diperlukan untuk mewujudkan keamanan pangan melalui pemberlakuan peraturan-peraturan dan standar yang diwajibkan di bidang pangan. Pembagian peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan standardisasi di bidang pangan di Indonesia telah dijelaskan pada Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan, Sub Bidang 5 Penunjang, sub sub bidang 7 Standardisasi dan Akreditasi, menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam bidang standardisasi dan akreditasi. Secara lengkap pembagian peran tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
20
Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (PP No.38, 2007) Pemerintah Pusat 1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi.
Pemerintah Daerah Provinsi 1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 1. Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standardisasi sesuai pengalaman di daerah.
2. Penyusunan rencana dan penetapan program standardisasi sektor pertanian.
2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standardisasi sektor pertanian.
3. Koordinasi standardisasi nasional sektor pertanian. 4. Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI. 5. Penetapan pemberlakuan SNI wajib.
3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di provinsi. 4. Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.
2. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standardisasi di daerah. 3. Koordinasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 4. Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.
5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI. 6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian 6. Penerapan sistem manajemen mutu yang akan mengajukan akreditasi. kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi. 7. Penilaian kesesuaian terhadap pemohon 7. --akreditasi di sektor pertanian. 8. Penetapan sistem dan pelaksanaan 8. Penerapan sistem sertifikasi yang sertifikasi sektor pertanian. mendukung standardisasi sektor pertanian di provinsi.
5. Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI. 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota. 7. --8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
21
Tabel 2. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Standardisasi dan Akreditasi (Lanjutan) Pemerintah Pusat 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian. 10. Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian. 11. Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standardisasi di sektor pertanian. 12. Pengembangan dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian. 13. Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standardisasi sektor pertanian. 14. Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian.
Pemerintah Daerah Provinsi 9. ---
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 9. ---
10.Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi. 11.Kerjasama standardisasi dan penyampaian rekomendasi teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian. 12.Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di provinsi. 13.Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standardisasi di provinsi.
10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota. 11. Kerjasama standardisasi dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.
14.Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi.
12. Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standardisasi sektor pertanian di kabupaten/kota. 13. Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standardisasi di kabupaten/kota. 14. Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standardisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota.
22
Peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan kebijakan keamanan pangan di Indonesia juga dapat dilihat pada Lampiran PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan, Sub Bidang 4. Ketahanan Pangan, sub sub bidang 2. Keamanan Pangan menjelaskan pembagian peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah di bidang keamanan pangan. Secara lengkap pembagian peran tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pembagian Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Bidang Keamanan Pangan (PP No.38, 2007) Pemerintah Pusat 1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR). 2. Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan. 3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.
Pemerintah Daerah Provinsi 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi. 1. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota 1. Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota. 2. Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota.
2. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.
3. Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota. 4.a. —
4. a. Monitoring 3. a. Monitoring otoritas otoritas kompeten kompeten provinsi. kabupaten/kota. b. —
b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.
b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.
23
2.4.3. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BSN, BPOM, dan CAC Lembaga pemerintah di tingkat pusat yang bertanggung jawab untuk menyusun dan mengatur standar keamanan pangan paling tidak ada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Meskipun berbagai lembaga pemerintah berperan dalam kebijakan
pengembangan standar dan peraturan keamanan pangan seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya (Bagian 2.4.2.B pada Tabel 1), tetapi pada bagian ini akan dilihat mengenai 2 lembaga pemerintah yang paling dominan yaitu BSN dan BPOM sebagai perwakilan lembaga pemerintah lainnya. BPOM RI bertanggung jawab dalam pengawasan pangan yang beredar di Indonesia, sedangkan BSN bertanggung jawab dalam mengatur sistem standardisasi nasional.
Kedua
lembaga pemerintah tersebut sangat berperan dalam sistem standardisasi keamanan pangan di Indonesia.
Untuk membandingkan peran, bentuk
kelembagaan, dan sifat standar yang dihasilkan atau diberlakukan wajib dalam bentuk peraturan pada Tabel 4 diperlihatkan perbedaan kedua lembaga pemerintah tersebut. Sebagai pembanding, disandingkan juga kelembagaan dan sifat standar yang ditetapkan Codex Alimentarius Committee (CAC).
CAC merupakan
lembaga internasional yang menghasilkan standar sebagai acuan dalam perselisihan
perdagangan
Organization).
antar
negara
anggota
WTO
(World
Trade
24
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (BSN, 2011c; BPOM, 2011b; CAC, 2006) BSN No Karakter 1 Mandat/Pendirian Badan Standardisasi Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir dengan Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 Sebelumnya bernama Dewan Standardisasi Nasional 2 Tujuan BSN merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tugas pokok mengembangkan dan membina kegiatan standardisasi di Indonesia
BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan dibentuk dengan No. 178 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non Departemen Sebelumnya adalah Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan di bawah Departemen Kesehatan RI
CAC Didirikan berdasarkan sidang ke11 Konferensi FAO tahun 1961 dan sidang ke-16 Konferensi WHO tahun 1963
Tujuan utama BPOM RI: melakukan pengawasan obat dan makanan yang beredar di Indonesia, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberlakuan wajib standar pangan
Mempersiapkan standar pangan dan mempublikasikannya
25
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan) BSN BPOM CAC No Karakter 3 Struktur Komite BSN memiliki 3 Deputi: Bidang BPOM memiliki 3 Deputi: Bidang Pada bulan Agustus 2006, CAC Pengawasan Produk Terapetik dan memiliki 174 negara anggota Penelitian dan Kerjasama Standardisasi, Bidang Penerapan NAPZA, Bidang Pengawasan Obat dan 1 anggota organisasi (UE) Standar dan Akreditasi, dan Tradisional, Kosmetik dan Produk Terdiri atas: Bidang Informasi dan Komplemen, Bidang Pengawasan Komisi Pemasyarakatan Standardisasi Keamanan Pangan dan Bahan Komite Eksekutif Berbahaya Sekretariat Deputi Bidang Penelitian dan Badan subsidiary: Komite Deputi Bidang Pengawasan Kerjasama Standardisasi memiliki 3 Pusat, yaitu: Pusat Subjek Umum (General Keamanan Pangan dan Bahan Penelitian dan Pengembangan Berbahaya memiliki 5 Direktorat, Subject Committees), Komite Standardisasi, Pusat Perumusan yaitu: Dit. Penilaian Keamanan Komoditi (Commodity Standar, dan Pusat Kerjasama Pangan, Dit. Standardisasi Produk Committees), Komite Ad hoc Standardisasi Pangan, Dit. Inspeksi dan Satuan Tugas Antar Sertifikasi Pangan, Dit. Surveilan Pemerintah (Ad hoc BSN dibantu oleh: dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Intergovernmental Task Komite Akreditasi Nasional dan Dit. Pengawasan Produk dan Forces), dan Komite (KAN): menetapkan akreditasi Bahan Berbahaya Koordinasi (Coordinating dan memberikan pertimbangan Committees) serta saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi Komite Standardisasi Nasional Satuan Ukuran (KSNSU): memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran
26
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan) No Karakter 4 Sekretariat
BSN Perumusan standar dilakukan oleh Pusat Perumusan Standar, Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN
5
Pengaturan Prioritas
Dilakukan terutama oleh Pusat Perumusan Standar
6
Lembaga superordinate Luaran
Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi Standar Nasional Indonesia (SNI)
8
Jumlah peraturan atau standar yang telah dikeluarkan
7010 SNI (1970 hingga 1 Mei 2011)
9
Wilayah pemberlakuan standar/peraturan Lingkup standar Sifat standar/peraturan
Nasional
BPOM Perumusan standar pangan di bawah tanggung jawab direktorat Standardisasi Produk Pangan, Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Melalui target yang ditetapkan Direktorat Standardisasi Produk Pangan Presiden RI dibawah koordinasi Kementerian Kesehatan Peraturan kepala BPOM (misal batas cemaran kimia dan mikroba) Pedoman Kode praktis 29 Peraturan/Keputusan Ka. BPOM terkait pengawasan keamanan pangan yang diberlakukan untuk keluar organisasi BPOM (dari 2001 hingga Januari 2010) (lihat Lampiran 8) Nasional
Mutu dan keamanan pangan Sukarela
Keamanan pangan Wajib
7
10 11
CAC Komisi diganti setiap 2 tahun sekali, dan bertempat di kantor pusat FAO di Roma dan Markas WHO di Jenewa Dibuat oleh komite eksekutif FAO/WHO Codex standard Code of practices Guidelines 5342 Codex standards, guidelines dan codes of practice (1963 hingga Juni 2006) (CAC, 2006) Internasional Mutu dan keamanan pangan Sukarela
27
Tabel 4. Perbedaan Kelembagaan dan Sifat Standar atau Peraturan yang Ditetapkan BPOM, BSN, dan CAC (Lanjutan) No Karakter 12 Dasar perumusan standar/peraturan
BSN Meningkatkan mutu dan melindungi kesehatan masyarakat (kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan, dan pertumbuhan ekonomi nasional)
BPOM Melindungi kesehatan masyarakat
CAC Melindungi kesehatan masyarakat dan menjamin perdagangan dunia yang fair
Penyelesaian perselisihan perdagangan antar negara (WTO) yang terkait dengan Technical Barrier Trade (TBT) dan Sanitary and Phytosanitary (SPS) Codex committee: Pemerintah negara anggota dan NGO
13
o Jaminan mutu produk Manfaat bagi pengguna o Membantu penyelesaian dalam standar/peraturan masalah yang terkait TBT
Mendapatkan izin edar/mendaftar produk
14
Tim penyusun
BPOM, industri, konsumen, dan akademisi
15
Tim pengkaji risiko
Panitia teknis: Pemerintah (instansi teknis), industri, konsumen, akademisi; dan MASTAN Gugus kerja/Panitia teknis? (tidak eksplisit dijelaskan)
16
Target penyelesaian Waktu kaji ulang
19 bulan (berdasarkan PSN 012007) 5 tahun
Tidak eksplisit dijelaskan
17
Tim mitra bestari? (tidak eksplisit dijelaskan)
Tidak eksplisit dijelaskan
Joint FAO & WHO (misal JECFA - Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives, JEMRA - Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment, -JMPR - Joint FAO/WHO Meetings on Pesticide Residues) ≤ 5 tahun Maksimal 6 tahun (CAC, 2010)