II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Lahan Pertanian Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki
banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup, tempat mencari nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Lahan
mempunyai
arti
penting
bagi
para
stakeholder
yang
memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerinntah dalam memanfaatkan lahan. Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia. Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan
12
sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini. Salah satu lahan pertanian yang banyak terdapat di Indonesia khusunya Pulau Jawa adalah lahan sawah. Lahan sawah adalah suatu tipe penggunaan lahan yang untuk pengelolaannya memerlukan genangan air. Oleh karena itu, lahan sawah selalu memiliki permukaan datar atau yang didatarkan dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2003). Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto et al (2005) bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. 2.2
Alih Fungsi Lahan pertanian Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan
semakin
meningkatnya
taraf
hidup
dan
terbukanya
kesempatan
untuk
menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Dipihak lain jumlah lahan yang terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang seharusnya beralih ke penggunaan non-pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergatungan masyarakat terhadap sektor pertanian.
13
Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi 2005). Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa. Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia. Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3: (a) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti pembangunan rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini
14
terjadi disembarang tempat, kecil-kecil, dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan dengan pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonpertanian atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata. Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara. 2.3
Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terkonsentrasinya pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Di satu sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko et al (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain:
15
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. 2. Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial. 3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya. 4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun indusri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah. 5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya. Sumaryanto et al (2005) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem sawah, serta adanya
16
perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya kriminalitas. Menurut Firman (2005) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun dampak tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota. Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-petanian akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Menurut Ruswandi et al (2007) secara faktual alih fungsi lahan atau konversi lahan menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan tata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit. Furi (2007) menjelaskan bahwa konversi lahan atau alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan
dan
kesempatan
kerja
masyarakat
yang
menjadi
indikator
kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal).
17
2.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan
pembangunan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut Pakpahan (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi.
Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran lahan sawah. Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah.
18
Menurut Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah terjadi peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap perekonomian dapat mempercepat perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan. Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat terjadinya struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor non-pertanian lainnya.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain: 1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan. 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor nonpertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya. 3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah nonpertanian. 19
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu (1) Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian, (2) Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan lahan, dan (3) Faktor Kebijaksanaan Pemerintah. Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undangundang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakan hukum yang masih lemah. Menurut Winoto (1996) dalam hasil penelitiannya alih fungsi lahan sawah ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. Faktor luar sistem pertanian seperti industrialisasi dan faktorfaktor perkotaan menjelaskan 32,17 persen dan faktor demografis hanya menjelaskan 8,75 persen. 2.5
Peraturan Tentang Alih Fungsi Lahan Pertanian Dasar kebijaksanaan pertanahan adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang
dijabarkan lebih lanjut dalam UU No 5 tahun 1960 mengenai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pada pasal 2 ayat (1) UUPA ditegaskan lagi bahwa bumi,
20
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa hak menguasai dari negara memberikan wewenang untuk: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Menurut Widjanarko et al. (2006) ada tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian ialah: 1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi. 2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.
21
3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata. Landasan Hukum dan Kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. b. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undangundang ini merupakan penggantian dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
Tentang
Penataan
Ruang
yang
menyebutkan
bahwa
RTRW
mempertimbangkan budidaya tanaman pangan dimana perubahan fungsi ruang kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan, pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya memerlukan kajian dan penilaian atas perubahan fungsi ruang tersebut secara lintas sektor, lintas daerah, dan terpusat. c. Peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah. d. Peraturan pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar. Pasal 11 ayat (3b) yang berbunyi: ” tanah yang diperoleh dasar penggunaannya oleh orang-perseorangan yang tidak menggunakan tanah tersebut sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya atau tidak memelihara dengan baik atau tidak mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi ekonomi,
22
maka Kepala Kantor Pertanahan mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah agar kepada pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan pemberian haknya”. e. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi. Pasal 6 ayat 1 yang berbunyi: ”izin lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna tanah meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah”. 2.6
Penelitian Terdahulu Solihah (2002) dalam penelitiannya bahwa terjadi penurunan luas lahan
sawah sebanyak 2.946 hektar di Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang berpengaruh positif
penurunan luas lahan
jumlah penduduk, panjang jalan
kabupaten, dan sarana pendidikan. Serta faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap penurunan luas lahan adalah produktivitas tanaman padi sawah. Dalam menganalisis faktor-faktor ini menggunakan analisis regresi berganda. Kemudian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keputusan petani adalah pendidikan, kepala keluarga, jumlah tangungan, persentase pendapatan usaha tani padi terhadap pendapatan total petani, jarak lahan dari pusat pertumbuhan ekonomi, dan pengaruh tetangga yang melakukan alih fungsi lahan. Dalam menganalisis faktor-faktor di tingkat petani menggunakan analisis fungsi logit. Ruswandi (2005) dalam penelitianya bahwa terjadi konversi lahan pertanian di Kecamatan Lembang dan Parompong sebesar 3.134,39 hektar dengan laju sebesar 2,96 persen per tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi konversi
23
lahan pertanian adalah kepadatan petani pemilik 1992, kepadatan petani non pemilik 1992, jumlah masyarakat miskin, jarak desa ke kota kecamatan, luas lahan guntai dari luas wilayah desa tahun 1992, dan peningkatan persentase luas lahan guntai. Dalam menganalisis faktor-faktor ini digunakan analisis regresi berganda. Secara umum konversi lahan berpeluang menurunkan kesejahteraan petani yang dianalisis dengan metode logistik binari. Barokah et al (2010) dalam penelitiannya Dampak Konversi Lahan Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani Di Kabupaten Karanganyar menjelaskan bahwa terjadi perubahan alih fungsi lahan pertanian menyebabkan penurunan luas lahan pertanian di wilayah tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama kurun waktu 12 tahun dari 1998-2010 telah terjadi perubahan fungsi lahan sawah 0,120 hektar per rumah tangga petani, proporsi pendapatan usahatani berkurang 8,30 persen dari 42 persen menjadi 33,7 persen dan proporsi pendapatan luar usahatani meningkat 10,30 persen dari 54 persen menjadi 64,30 persen). Berdasarkan hasil analisis uji t dengan α = 5 persen menunjukkan pendapatan rumah tangga petani sebelum konversi tidak sama dengan sesudah konversi lahan pertanian (pendapatan bertambah Rp 1.482.000 per tahun). Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk melihat perubahan pendapatan digunakan uji beda rata-rata. Sitorus (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa telah terjadi konversi lahan sawah di Kabupaten Bogor sebesar 2.520,40 hektar dengan laju konversi 81,95 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah PDRB sektor bangunan dan harga GKG. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda.
24