II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Ubi Kayu
Ubi kayu atau ketela pohon atau Cassava sudah lama dikenal dan ditanam oleh penduduk dunia (Rukmana, 1997). Ubi kayu berasal dari Brazilia, tanaman ini mulai dibudidayakan di Indonesia sejak abad ke 17, namun baru memasyarakat pada tahun 1952 (Najiyati dan Danarti, 1999). Penyebaran pertama kali ubi kayu terjadi, antara lain, ke Afrika, Madagaskar, India, Tiongkok dan beberapa negara yang terkenal daerah pertaniannya. Dalam perkembangan selanjutnya, ubi kayu menyebar ke berbagai negara di dunia yang terletak pada posisi diantara 30o Lintang Utara dan 300 Lintang Selatan (Rukmana, 1997).
Menurut Danarti dan Najiati (1999), di Indonesia, ketela pohon menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Manfaat daun ketela pohon sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup tinggi, atau untuk keperluan yang lain seperti bahan obat-obatan. Kayunya bisa digunakan sebagai pagar kebun atau di desa-desa sering digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak. Dengan perkembangan teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan.
Ubi kayu mempunyai banyak nama daerah: diantaranya adalah ketela pohon, singkong, ubi jendral, ubi Inggris, telo puhung, telo jendral (Jawa), huwi jendaral
(Sunda), dan kasbek (Ambon). Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan ubi kayu di klasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
:
Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
:
Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi
:
Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas
:
Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo
:
Euphorbiales
Famili
:
Euphorbiaceae
Genus
:
Mahihot
Spesies
:
Manihot esculenta
Menurut Danarti dan Najiati. (1999), tanaman ubi kayu dapat tumbuh baik pada ketinggian 0-800 m dpl. Diatas ketinggian lebih dari 800 m dpl pertumbuhan akan lambat, daunnya kecil, dan umbinya pun kecil dan sedikit. Drainase harus baik, tanah tidak terlalu keras dan curah hujan 760-2.500 mm tahun-1, dengan bulan kering tidak lebih dari 6 bulan. Tanah yang paling sesuai untuk ketela pohon adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Untuk pertumbuhan tanaman ketela pohon yang lebih baik, tanah harus subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya. Bibit yang baik untuk bertanam ketela pohon harus memenuhi syarat yaitu ubi kayu berasal dari tanaman induk yang cukup tua (10-12 bulan), ubi kayu harus dengan pertumbuhannya yang normal dan sehat serta seragam, batangnya telah berkayu dan berdiameter + 2,5 cm lurus, dan belum tumbuh tunas-tunas baru.
Varietas ubi kayu unggul yang biasa ditanam, antara lain Adira 1, Adira 4, Adira 2, Darul Hidayah, Malang 1, Malang 2, Malang-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5. Sementara itu beberapa varietas ubi kayu dan keunggulannya dapat dilihat berikut. Adira 1
: Umur panen 215 hari, produksi 22 ton ha-1, serta tahan layu tungau merah.
Adira 2
: Umur panen 250 hari, produksi 21 ton ha-1, serta tahan layu dan tungau merah.
Adira 4
: Umur panen 240 hari, produksi 35 ton ha-1, dan tahan layu.
Malang 1
: Umur panen 270 hari, produksi 36,6 ton ha-1, tahan tungau merah, dan tahan bercak cokelat daun.
Malang 2
: Umur panen 240 hari, produksi 31,5 ton ha-1, tahan tungau merah, dan tahan bercak cokelat daun. : Umur panen 8 – 10 bulan, produksi 20 – 35 ton ha-1, kanopi
UJ-3
cepat menutup, dan kandungan pati 20 – 27%. : Umur panen 9 – 10 bulan, produksi 25 – 38 ton ha-1, kanopi
UJ-5
cepat menutup, dan kandungan pati 19 – 30%. Malang 4
: Umur panen 9, dan produksi 39,7 ton ha-1.
Malang 6
: Umur panen 9, dan produksi 36,41 ton ha-1.
Sumber : Direktorat Perbenihan, Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan.
Masing-masing varietas ubi kayu mempunyai deskripsi, berikut ini adalah deskripsi ubi kayu varietas UJ-5. Nama Varietas Kategori SK Tahun Asal Tetua Rataan hasil Pemulia
: : : : : : : :
Nama daerah Umur panen (bulan) Tinggi tanaman (m) Warna daun pucuk Warna petiole Warna kulit batang Warna batang dalam Warna umbi Warna kulit umbi Ukuran tangkai Umbi Type tajuk Bentuk umbi Rasa umbi Bentuk daun Kadar pati (%) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar serat (%) Ketahanan terhadap CBB
: : : : : : : : : : : : : : : : : : :
UJ-5 Varietas unggul nasional (released variety) 82/Kpts/TP.240/2/2000 2000 Rayon-50 Introduksi Thailand 25 – 38 ton ha-1 Palupi Puspitorini, Fauzan, Muchlizar Murkan, Syahrin Mardik, Koes Hartojo Rayon-50 9 -10 bulan > 2,5 Cokelat Hijau muda kekuningan Hijau perak Kuning Putih Putih kekuningan Pendek > 1 meter Mencengkram Pahit Menjari 19 – 30 60,06 0,11 0,07 Agak tahan
Sumber : Surat Keputusan Menteri pertanian No 82/Kpts/TP.240/2/2000
Pada tanaman ubi kayu perlu dilakukan pemangkasan tunas karena minimal setiap pohon harus mempunyai cabang 2 atau 3 cabang. Hal ini agar batang pohon tersebut bisa digunakan sebagai bibit lagi di musim tanam mendatang.
Pemupukan dilakukan dengan sistem pemupukan berimbang antara N, P, K dosis Urea=133–200 kg; TSP=60–100 kg dan KCl=120–200 kg. Pupuk tersebut diberikan pada saat tanam dengan dosis N:P:K= 1/3 : 1 : 1/3 (pemupukan dasar)
dan pada saat tanaman berumur 2-3 bulan yaitu sisanya dengan dosis N:P:K= 2/3 : 0 : 2/3.
Kondisi lahan ubi kayu dari awal tanam sampai umur + 4–5 bulan hendaknya selalu dalam keadaan lembab, tidak terlalu becek. Pada tanah yang kering perlu dilakukan penyiraman dan pengairan dari sumber air yang terdekat. Pengairan dilakukan pada saat musim kering dengan cara menyiram langsung akan tetapi cara ini dapat merusak tanah. Sistem yang baik digunakan adalah system genangan sehingga air dapat sampai ke daerah perakaran secara resapan. Pengairan dengan sistem genangan dapat dilakukan dua minggu sekali dan untuk seterusnya diberikan berdasarkan kebutuhan (Najati dan Danarti, 1999).
B. Tanah dan Konsep Lahan
Tanah dapat didefinisikan sebagai sistem 3 fase yang terdiri atas padatan, cairan, dan gas (Foth, 1994). Menurut Arsyad (2010), tanah adalah suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair, dan gas, dan mempunyai sifat dan prilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk dari hasil kerja interaksi antara iklim (i) dan jasad renik hidup (o) terhadap suatu bahan induk (b) yang dipengaruhi oleh relief tempatnya terbentuk (r) dan waktu (w), yang dapat digambarkan dalam hubungan fungsi sebagai berikut :
T
i, o, b, r , w
Dimana T adalah tanah dan masing-masing peubah adalah faktor-faktor pembentuk tanah tersebut di atas.
Lahan adalah wilayah dipermukaan bumi, meliputi semua benda penyusun biosfer bagi yang berada di atas maupun di bawahnya, yang bersifat tetap atau siklis (Mahi, 2004). Lahan merupakan bagian dari bentang alam (Landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia baik dimasa lalu maupun sekarang. Sebagai contoh aktivitas dalam penggunaan lahan pertanian, reklamasi lahan rawa, dan pasang surut, atau tindakan konservasi lahan pertanian, akan memberi karakteristik lahan yang spesifik (Djaenuddin dkk., 2000).
Penggunaan lahan merupakan suatu bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materi maupun spiritual (Arsyad, 2010). Penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan umum dan khusus atau tipe penggunaan lahan. Penggunaan lahan secara umum meliputi pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput pengembalaan, kehutanan, daerah rekreasi, dan sebagainya. Sedangkan tipe penggunaan lahan adalah penggunaan lahan yang lebih detil dengan mempertimbangkan sekumpulan rincian teknis yang didasarkan pada keadaan fisik dan sosial dari satu jenis tanaman atau lebih (Mahi, 2004).
C. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi Lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun untuk non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain yang mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau syarat tumbuh tanaman.
Untuk menentukan tipe penggunaan yang sesuai pada suatu wilayah, diperlukan evaluasi kesesuaian lahan lahan secara menyeluruh dan terpadu (intergrated), karena masing-masing faktor akan saling mempengaruhi baik faktor fisik, sosial ekonomi, maupun lingkungan (Sitorus, 1985). Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan atau komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut.
Tujuan evaluasi lahan adalah memprediksi segala konsekuensi yang mungkin terjadi bila ada perubahan penggunaan lahan (Mahi, 2004). Prediksi yang didasarkan atas kesesuaian lahan untuk berbagai bentuk produksi masukan dan pengelolaan yang diperlukan dengan konsekuensi perubahan-perubahan terhadap lingkungan akan memberi makna yang besar bagi keberlanjutan sumberdaya lahan.
Evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumber daya lahan untuk penggunaan tertentu, baik untuk pertanian maupun
untuk non pertanian. Kelas kesesuaian lahan suatu wilayah untuk suatu pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terrain yang mencakup lereng, topografi/relief, batuan di permukaan dan di dalam penampang tanah serta singkapan batuan (rock outcrop), hidrologi, dan persyaratan penggunaan lahan atau syarat tumbuh tanaman.
D. Tipe Evaluasi Lahan
Hasil evaluasi lahan dapat ditemukan dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif. Oleh karena itu dikenal tipe evaluasi lahan kualitatif dan kuantitatif. Evaluasi kualitatif adalah evaluasi kesesuaian lahan untuk berbagai macam penggunaan yang digambarkan dalam bentuk kualitatif, seperti sesuai, cukup sesuai, sesuai marjinal, dan tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Evaluasi kualitatif terutama digunakan dalam survai tinjau (reconnaissance) sebagai kegitan pendahuluan dalam rangka penelitian yang lebih detil (Mahi, 2004). Evaluasi kuantitatif dapat dilakukan sebagai evaluasi kuantitatif secara fisik dan ekonomi. Evaluasi kuantitatif secara fisik adalah evaluasi yang melakukan penilaian kuantitatif terhadap produksi atau keuntungan lain yang diharapkan. Evaluasi kuantitatif secara fisik seringkali digunakan sebagai dasar evaluasi ekonomi. Sedangkan Evaluasi kuantitatif secara ekonomi adalah evaluasi yang hasilnya diberikan dalam bentuk keuntungan atau kerugian masing-masing macam penggunaan lahan. Secara umum, evaluasi kuantitatif dibutuhkan untuk proyek khusus dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan investasi. Nilai uang digunakan pada data kuantitatif secara ekonomi yang dihitung dari biaya
input dan nilai produksi. Penilaian nilai uang akan memudahkan melakukan perbandingan bentuk-bentuk produksi yang berbeda. Hal ini memungkinkan karena dapat menggunakan satu harga yang berlaku atau harga bayangan dalam menilai produksi yang dibandingkan (Mahi, 2005).
E. Kualitas Lahan Dan Karakteristik Lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau atribute yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu (Djaenudin., 2000). Kualitas lahan dapat pula digambarkan sebagai faktor positif dan faktor negatif (Mahi, 2001). Kualitas lahan kemungkinan berperan positif atau negatif terhadap penggunaan lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif adalah yang sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan. Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena keberadaannya akan merugikan (merupakan kendala) terhadap penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat atau pembatas.
Setiap kualitas lahan pengaruhnya tidak selalu terbatas hanya pada satu jenis penggunaan. Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas lahan yang sama bisa berpengaruh terhadap lebih dari satu jenis penggunaan. Demikian pula satu jenis penggunaan lahan tertentu akan dipengaruhi oleh berbagai kualitas lahan. Sebagai contoh bahaya erosi dipengaruhi oleh keadaan sifat tanah, terrain (lereng) dan iklim (curah hujan).
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Contoh lereng, curah hujan, tekstur tanah, kapasitas air tersedia, kedalaman efektif, dan sebagainya (Djaenudin dkk., 2000). Setiap karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi biasanya mempunyai interaksi satu sama lainnya. Karenanya dalam interpretasi perlu mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Sebagai contoh ketersediaan air sebagai kualitas lahan ditentukan bulan kering dan curah hujan rata-rata tahunan, tetapi air yang diserap tanaman tentunya tergantung juga pada kualitas lahan lainnya, seperti kondisi atau media perakaran, antara lain tekstur tanah dan kedalaman zona perakaran tanaman yang bersangkutan.
F. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah kecocokan macam penggunaan lahan pada tipe lahan tertentu (Mahi, 2004). Kesesuaian lahan secara umum terbagi atas kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual masih dapat menerima perbaikan kecil pada sumber daya lahan sebagai bagian spesifikasi tipe penggunaan lahan. Sedangkan kesesuaian lahan potensial mengacu pada nilai lahan di masa datang apabila melakukan perbaikan lahan skala besar. Menurut FAO (1976) klasifikasi kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kategori, yaitu : 1. Ordo : menunjukkan macam kesesuaian yaitu sesuai atau tidak sesuai. 2. Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian di dalam kelas.
Tingkat kelas dibagi menjadi 5 yaitu : a. Kelas S1 (sangat sesuai) Lahan mempunyai faktor pembatas yang tidak berarti dan tidak mengurangi produksi secara nyata. b. Kelas S2 (cukup sesuai) Lahan mempunyai faktor pembatas yang cukup serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan dan memerlukan input. c. Kelas S3 (sesuai marjinal) Lahan mempunyai faktor pembatas yang besar atau serius dan memerlukan input yang lebih besar. d. Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini) Lahan mempunyai faktor pembatas yang lebih berat tetapi memungkinkan untuk diatasi. e. Kelas N2 (tidak sesuai permanen) Lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan tidak memungkinkan untuk diperbaiki karena sifatnya permanen. 3. Sub Kelas : menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas kesesuaian lahan.
4. Unit : menunjukkan sifat tambahan yang diperlukan untuk pengelolaan dalam tingkat sub kelas. Menurut Djaenudin dkk. (2000), deskripsi karakteristik lahan yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan dikemukakan sebagai berikut : a. Temperatur (t) Merupakan suhu tahunan rata-rata yang dikumpulkan dari hasil pengamatan stasiun klimatologi yang ada. Suhu berpengaruh terdahap aktivitas mikroorganisme dalam tanah, fotosintesis tanaman, respirasi, pembungaan, dan perkembangan buah. Menurut Rukmana (1997), tanaman ubi kayu membutuhkan kondisi iklim yang ideal yaitu daerah yang bersuhu minimum 10 0C. b. Ketersedian Air (w) Merupakan pengukuran curah hujan rata-rata yang diambil dari daerah penelitian dan penentuan bulan kering berdasarkan curah hujan bulanan setiap tahunnya. Pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada air tersedia dalam tanah. Daerah yang beriklim kering atau bercurah hujan rendah akan berpengaruh terhadap produksi ubi kayu yakni ubi kayu berserat dan berkayu, sebaliknya di daerah beriklim basah akan menyebabkan pertumbuhan ubi kayu cenderung ke arah vegetatif terus dan mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Air dibutuhkan tanamanan untuk membuat karbohidrat di daun, menjaga hidrasi protoplasma, mengangkut makanan dan
unsur mineral, dan mempengaruhi serapan unsur hara oleh akar tanaman (Nyakpa dkk., 1988). Tanaman ubi kayu tidak membutuhkan banyak air, tetapi untuk pertumbuhan dan produksi optimal tanah harus cukup lembab atau basah (Rukmana, 1997). c. Media Perakaran (r) Karakteristik lahan yang menggambarkan kondisi perakaran terdiri dari :
Kelas Drainase tanah dibagi menjadi 6 kelas, yaitu : sangat buruk, buruk, agak buruk, agak baik, baik, dan berlebihan. Menurut Arsyad (2010) Drainase yang baik akan berpengaruh terhadap peredaraan udara di dalam tanah, aktifitas mikroorganisme, serapan unsur hara oleh tanaman, dan pertumbuhan akar tanaman di dalam tanah.
Tekstur tanah dibagi menjadi 5 kelas, yaitu : halus, agak halus, sedang, agak kasar, dan kasar. Menurut Foth (1994), ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah. Lebih khasnya tekstur adalah perbandingan relatif pasir, debu, dan liat yang dinyatakan dalam persen (%).Menurut Huda (2010), tanah yang paling sesuai untuk tanaman ubi kayu adalah tanah yang berstruktur remah, gembur dan memiliki tekstur berpasir hingga liat, tetapi tumbuh baik pada tanah lempung berpasir yang cukup hara. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Untuk pertumbuhan tanaman ubi kayu yang lebih baik, tanah harus subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya.
Kedalaman tanah (cm), merupakan kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar. Menurut Djaenudin dkk. (2000), Bahan kasar yang terlalu banyak pada tanah akan menghambat perkembangan akar dan akan mengakibatkan kesulitan dalam pengolahan tanah, sehingga menghambat laju pertumbuhan tanaman.
Bahan kasar dengan ukuran > 2 mm, yang menyatakan volume dalam persen (%), merupakan modifier tekstur yang ditentukan oleh jumlah persentasi kerikil, kerakal, atau batuan pada setiap lapisan tanah. Bahan kasar dibedakan menjadi sedikit, sedang, banyak, dan sangat banyak.
d. Retensi Hara
KTK merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan (cation exchangable) pada permukaan koloid yang bermuatan negatif. Reaksi tanah (pH) merupakan salah satu sifat dan ciri tanah yang ikut menentukan besarnya nilai KTK. Selain KTK dan pH, kejenuhan basa serta C-organik juga mempengaruhi retensi hara (Madjid, 2007). Menurut Tan (1992), Pertukaran kation memegang peranan penting dalam penyerapan hara oleh tanaman, kesuburan tanah, retensi hara, dan pemupukan. Hara yang ditambahkan ke dalam tanah dalam bentuk pupuk akan ditahan oleh permukaan koloid dan untuk sementara terhindar dari pencucian, sedangkan reaksi tanah (pH) merupakan salah satu sifat dan ciri tanah yang ikut menentukan besarnya nilai KTK. Nilai KTK tanah yang rendah dapat ditingkatkan diantaranya melalui pemupukan baik dengan pupuk organik. Zubair
dkk. (1998) menyatakan bahwa pemberian bahan organik sepert Norganik cair dapat meningkatkan KTK tanah pada pertanaman ubi kayu. Meningkatnya KTK tanah akan berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara.
Kejenuhan basa merupakan perbandingan antara kation basa dengan KTK yang dinyatakan dalam persen (%). Kejenuhan basa suatu tanah dipengaruhi oleh iklim (curah hujan) dan pH tanah. Pada tanah beriklim kering KB lebih besar daripada tanah yang beriklim basah demikian pula pada tanah yang memiliki pH tinggi KB lebih besar daripada yang memiliki pH rendah. Kejenuhan basa yang tinggi dapat menyebabkan tanah lebih banyak ditempati oleh kation-kation basa yang sangat berguna bagi tanaman dan otomatis retensi hara pada tumbuhan tersebut menjadi dalam bentuk tersedia.
Reaksi tanah (pH) yang penting adalah masam, netral, dan alkalin. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh pH tanah melalui dua cara yaitu pengaruh langsung ion hidrogen dan pengaruh tidak langsung yakni tidak tersedianya unsur hara tertentu dan adanya unsur hara tertentu yang bersifat beracun, pH tanah yang rendah akan mempengaruhi retensi hara yang dapat menyebabkan tidak tersedianya unsur hara tertentu bagi tanaman.
e. Toksisitas
Toksisitas di dalam tanah biasanya diukur pada daerah-daerah yang bersifat salin. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka. (2007) salinitas berhubungan dengan kadar garam tanah. Kadar garam yang tinggi meningkatkan tekanan osmotik sehingga ketersediaan dan kapasitas penyerapan air akan berkurang. Daerah pantai merupakan salah satu daerah yang mempunyai kadar garam yang tinggi. f. Bahaya Sulfidik Kedalaman sulfidik hanya digunakan pada lahan bergambut dan lahan yang banyak mengandung sulfida serta pirit. Hidrogen sulfida (H2S) yang terbentuk di dalam tanah dapat bereaksi dengan ion-ion logam berat membentuk sulfidasulfida tidak larut. Dengan rendahnya kandungan unsur-unsur logam tersebut, H2S yang terbentuk dapat berakumulasi sampai pada tingkat meracun dan mengganggu pertumbuhan tanaman (Hakim dkk., 1986). g. Bahaya Erosi Bahaya erosi dapat diketahui dengan memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) pertahun dibandingkan tanah tererosi Hilangnya tanah tersebut dapat mengakibatkan penurunan produksi lahan, hilangnya unsur hara yang diperlukan tanaman, menurunnya kualitas tanaman, berkurangnya laju infiltrasi, dan kemampuan tanah menahan air, rusaknya struktur tanah, dan penurunan pendapatan akibat penurunan produksi (Hardjowigeno, 1995). Menurut Arsyad (2010), Apabila kepekaan erosi tanah (nilai K) sebesar 0,000,10 tingkat bahaya sangat rendah, nilai kepekaan erosi tanah sebesar 0,110,20 tergolong dalam tingkat bahaya erosi rendah, sedangkan yang tergolong
tingkat bahaya erosi sedang nilai kepekaan erosi tanah sebesar 0,21-0,32%, sementara nilai kepekaan erosi tanah sebesar 0,33-0,43 tergolong pada tingkat bahaya erosi agak agak tinggi, dan nilai kepekaan erosi tanah sebesar 0,440,55 tergolong pada tingkat bahaya erosi tinggi, serta nilai kepekaan erosi tanah sebesar 0,56-0,64 tergolong pada tingkat bahaya erosi sangat tinggi (Arsyad, 2010). h. Bahaya Banjir Bahaya banjir dapat diketahui dengan melihat kondis lahan yang pada permukaan tanahnya terdapat genangan air. Genangan air dalam kurun waktu yang cukup lama dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Air akan menjenuhi daerah perakaran sehingga mengakibatkan akar tanaman tidak mampu menyerap unsur hara secara optimal sehingga kurang mencukupi kebutuhan tanaman untuk proses metabolisme yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas tanaman. i. Penyiapan Lahan Penilaian penyiapan lahan didasarkan pada jumlah batu dan batuan yang tersebar di permukaan. Batu-batuan di atas permukaan tanah ada dua macam, yaitu batuan bebas yang terletak di atas permukaan tanah dan batuan yang tersingkap di atas permukaan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang terbenam di dalam tanah (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Batuan yang terlalu banyak pada lahan juga dapat menghambat perkembangan akar tanaman untuk menyerap unsur hara. Batuan lepas adalah batuan yang tersebar di permukaan tanah dan berdia-meter lebih dari 25 cm
(bentuk bulat) atau bersumbu memanjang lebih dari 40 cm (berbentuk gepeng). Singkapan batuan adalah batuan yang terungkap di permukaan tanah yang merupakan bagian batuan besar yang terbenam di dalam tanah. Batuan lepas dikelompokkan sebagai berikut. bo =
< 0,01% luas areal (tidak ada),
b1 =
0,01 sampai 3% permukaan tanah tertutup (sedikit); pengolahan tanah dengan mesin agak terganggu tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman,
b2 =
3 sampai 15% permukaan tanah tertutup (sedang); pengolahan tanah mulai agak sulit dan luas areal produktif berkurang,
b3 =
15 sampai 90% permukaan tanah tertutup (banyak); pengolahan tanah dan penanaman menjadi sangat sulit,
b4 =
> 90% permukaan tanah tertutup (sangat banyak); tanah sama sekalai tidak dapat digunakan untuk produksi pertanian.
Batuan tersingkap dikelompokkan sebagai berikut : bo =
< 2% permukaan tanah tertutup (tidak ada),
b1 =
2 sampai 10% permukaan tanah tertutup (sedikit); pengolahan tanah dan penanamam agak terganggu,
b2 =
10 sampai 50% permukaan tanah tertutup (sedang); pengolahan tanah dan penanaman terganggu,
b3 =
50 sampai 90% permukaan tanah tertutup (banyak); pengolahan tanah dan penanaman sangat terganggu,
b4 =
> 90% permukaan tanah tertutup (sangat banyak); tanah sama sekali tidak dapat digarap.
Menurut Djaenudin dkk. (2000), kriteria tanaman ubi kayu yaitu temperatur berkisar antara 20 sampai 35oC, yang optimum berkisar antara 22 sampai 28oC, dengan curah hujan antara 500 sampai 5000 mm tahun-1, dan yang optimum 1000 sampai 2000 mm tahun-1. Kedalaman tanah minimum 50 cm optimum > 100 cm, konsistensi gembur (lembab), permeabilitas sedang, drainase agak cepat sampai baik, tingkat kesuburan sedang, tekstur lempung berpasir sampai liat. Reaksi tanah (pH) antara 4,5 – 8,2 yang optimum 5,2 sampai 7,0 serta pengapurandiperlukan pada pH < 5,0. Penurunan hasil bias terjadi karena salinitas dengan daya hantar listrik mencapai (DHL) > 0,5 ds m-1. Penurunan hasil bisa mencapai 50% apabila DHL mencapai 3 ds m-1, dan tanaman tidak mampu berproduksi jika DHL mencpai 7 ds m-1 selengkapnya tersaji pada Tabel 1.
G. Analisis Finansial
Menurut Ibrahim (2003), dalam analisis finansial diperlukan kriteria kelayakan usaha, antara lain. Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Beneffit Cost Ratio (Net B/C), dan Break Even Point (BEP).
Tabel. 1
Persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman ubi kayu menurut kriteria Djaenuddin dkk. (2000).
Persyaratan Penggunaan/ Karakteristik Lahan Temperatur (tc) Suhu tahunan rata-rata (oC) Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Lama bulan kering (bln) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm) +dengan Sisipan/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) Kejenuhan basa (%) pH tanah (H2O) C-organik (%) Toksisitas (xc) Salinitasi (dS/cm) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Persiapan lahan (lp) Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)
SI
Kelas Kesesuaian Lahan S2 S3
N
22 - 28
22 - 30 28 - 30
18 - 20 30 - 35
< 18 > 35
1000 - 2000
600 - 1000 2000 - 3000 5-6
500 - 600 3000 - 5000 6-7
< 500 > 5000 <7
Baik sampai agak terhambat
Agak cepat
Terhambat
Sangat terhambat, cepat
ah, s < 15 > 100
h, ak 15 - 35 75 - 100
sh 35 - 55 50 - 75
k > 55 < 50
< 60 < 140 Saprik +
60 - 140 140 - 200 Saprik hemik +
140 - 200 200 - 400 Hemik Fibrik +
> 200 > 400 Fibrik
> 16 ≥ 20 5,2 - 7,0 > 0,8
≤ 16 < 20 4,8 - 5,2 7,0 - 7,6 < 0,8
< 4,8 > 7,6 -
-
<2
2-3
3-4
>4
-
-
-
-
> 100
75 - 100
40 - 75
< 40
<8 sr
8 - 16 r - sd
16 – 30 b
> 30 sb
F0
-
-
> F1
<5 <5
5 - 15 5 - 15
15 - 40 15 - 25
> 40 > 25
3,5 - 5
Sumber : Djaenuddin dkk. (2000) Keterangan : Tekstur, sh = sangat halus (tipe 2:1); h = halus; ah = agak halus; s = sedang; Ak = agak kasar + = gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral Bahaya erosi, sr = sangat ringan; r = ringan; sd = sedang; b = berat; sb = sangan berat
1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) sering diterjemahkan sebagai nilai bersih, merupakan selisih antara manfaat dengan biaya pada discount rate tertentu. Jadi Net Present Value (NPV) menunjukkan kelebihan manfaat dibanding dengan biaya yang dikeluarkan dalam suatu proyek (usaha tani). Suatu proyek dikatakan layak diusahakan apabila nilai NPV positif (NPV > 0). Secara matematis rumus untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut n
NPV =
( B C ) /(l i) n i l
Keterangan : B
= benefit (manfaat)
C
= cost (biaya)
i
= tingkat suku bunga bank yang berlaku
n
= waktu
Kriteria investasi : Bila NPV > 0, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila NPV < 0, maka usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila NPV = 0, usaha dalam keadaan break even point
2. Net Benefit /Cost Ratio (Net B/C)
Net Beneffit Cost Ratio (Net B/C) adalah perbandingan jumlah NPV positif dengan NPV negatif yang menunjukkan gambaran berapa kali lipat beneffit akan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Jadi jika nilai NPV > 0, maka B/C > 1 dan suatu proyek layak untuk diusahakan. Secara matematis rumus untuk menghitung Net B/C Ratio adalah sebagai berikut
n
( B C ) /(l i) n
yang bernilai positif
i l
Net B/C Ratio = n
( B C ) /(l i) n
yang bernilai negatif
i l
Keterangan : B
= benefit (manfat)
C
= cost (biaya)
i
= tingkat suku bunga bank yang berlaku
n
= waktu
Kriteria investsi : Bila Net B/C > 1, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila Net B/C < 1, maka usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila Net B/C = 1, usaha dalam keadaan break even point
3. Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah suatu tingkat bunga (dalam hal ini sama artinya dengan discount rate) yang menunjukkan bahwa nilai bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi usahatani atau dengan kata lain tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol (NPV = 0 ). Rumus yang digunakan adalah : IRR = i1 +
NVP1 NVP1 - NVP2
(i2 - i1)
Keterangan : i1
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV1
i2
= tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV2
NPV1
= NVP yang bernilai posotif
NPV2
= NVP yang bernilai negatif
Kriteria investasi : Bila IRR > tingkat suku bunga, maka usaha layak untuk dilanjutkan Bila IRR < tingkat suku bunga, usaha tidak layak untuk dilanjutkan Bila IRR = tingkat suku bunga, usaha dalam keadaan break even point