10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Perkembangan Kopi Indonesia 2. 1. 1. Budidaya Kopi Kopi di Indonesia telah dibudidayakan sejak abad ke-16 dan termasuk salah satu komoditi yang sangat berperan dalam ekspor nasional. Dari segi nilai ekspor, kopi menduduki urutan penting setelah produk-produk kayu dan karet. Adapun jenis tanaman kopi di perkebunan rakyat umumnya adalah jenis kopi Arabika (Coffea Arabica), Robusta (Coffea Canephora), Liberika (Coffea Liberica) dan hibrida, yaitu hasil persilangan antara 2 varietas kopi unggul. Diantara jenis kopi tersebut, yang terbanyak ditanam dalam perkebunan rakyat Indonesia adalah jenis kopi robusta karena produksinya tinggi namun resiko penanamannya kecil. Jenis kopi ini dominan dengan pangsa sekitar 90 persen dari seluruh jenis kopi yang ada Indonesia. Sisanya adalah kopi Arabika termasuk juga jenis kopi lainnya, yaitu Liberica dan excelso yang belum dibudidayakan secara khusus. Hampir semua wilayah di Indonesia dapat ditanami kopi dengan syarat-syarat tanaman yang baik, oleh karena itu budidaya tanaman kopi hampir menyebar di seluruh wilayah tanah air. Tanaman kopi merupakan tanaman tropis dan sangat cocok untuk iklim di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan komoditi kopi Indonesia memiliki keunggulan mutlak (absolute advantage) karena kondisi alam yang mendukung budidaya kopi. Kawasan tanah subur dengan sifat tanah berpasir dan tanah lempung sangat mendukung budidaya tanaman kopi. Selain itu, tanah yang cukup dengan humus dan keasaman tanah sekitar pH 5.5-6.5 akan memberikan hasil yang baik. Adapun unsurunsur tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman kopi adalah Nitrogen, Potasium, Asam Phosphor dan Kapur (Mawardi,1988; Siswoputranto, 1993).
11
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman kopi adalah ketinggian tempat tumbuh, curah hujan, sinar matahari, angin dan tanah (Tabel 2). Tabel 2. Persyaratan Lahan dan Iklim untuk Tanaman Kopi Persyaratan
Kopi Arabika
Kopi Robusta
1. Curah hujan
Minimum 1 300 mm/th; tanaman toleran thd curah hujan tinggi; masa bulan kering pendek, maksimum 4 bulan
Minimum 1 250 mm/th; optimum pada 1 550 2 000 mm/th; masa kering minimum 3 bulan atau lebih
2. Suhu
15 - 24°C
24 - 30°C
3. Ketinggian tempat
500 -1 800 m dpl
0 - 400 m dpl
1. Keasaman
pH 5.2 - 6.2
pH > 4.5; tanaman toleran thd kondisi netral dan basa
2. Kesuburan tanah
Baik
Baik
3. Sifat fisik
Kapasitas penambatan air tinggi dan kedalaman tanah cukup
Kapasitas penambatan air tinggi dan kedalaman tanah cukup
Iklim:
Tanah:
Sumber : Siswoputranto, 1993. Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan sehingga pohon kopi akan mulai menghasilkan biji kopi pada tahun ke-3. Umur ekonomis pohon kopi bisa sampai 20 tahun dan jika sudah menghasikan, petani dapat memanen biji kopi setiap tahunnya. Sebagian besar produksi kopi Indonesia dihasilkan dari perkebunan rakyat. Luas perkebunan kopi rakyat mencapai lebih dari 90 persen dari total perkebunan kopi nasional (Tabel 3), sehingga jumlah produksi untuk kebutuhan domestik dan ekspor sekitar 90 persen disuplai dari perkebunan rakyat.
12
Tabel 3. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Tanaman Kopi Menurut Jenis Pengusahaannya,Tahun 1995-2004. Perkebunan Rakyat Tahun
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta
Jumlah
1995
Produksi (ton) 429 569
L. Areal (Ha) 1 109 499
Produksi (Ton) 16 824
L. areal (Ha) 25 616
Produksi (ton) 11 408
L. Areal (Ha) 32 396
Produksi (Ton) 457 801
L. Areal (Ha) 1 167 511
1996
435 757
1 103 615
13 184
24 169
10 265
31 295
459 206
1 159 079
1997
396 155
1 105 114
21 050
32 232
11 213
32 682
428 418
1 202 291
1998
469 671
1 068 064
25 759
39 139
19 021
46 166
514 451
1 198 149
1999
469 940
1 059 245
26 208
39 316
11 539
28 716
524 687
1 165 024
2000
514 896
1 192 322
29 754
40 645
9 924
27 720
554 574
1 260 687
2001
541 476
1 258 628
18 111
26 954
9 647
27 801
569 234
1 313 383
2002
654 281
1 318 020
18 128
26 954
9 610
27 210
682 019
1 372 184
2003
658 252
1 327 521
18 205
26 954
9 862
27 255
686 319
1 381 730
2004
659 882
1 540 875
18 770
27 850
9 996
27 965
688 648
1 596 690
Sumber : Ditjen Perkebunan, 2005 2.1.2. Tataniaga Kopi Tataniaga kopi dimulai dari petani produsen hingga pabrik pengolahan kopi dan perusahaan eksportir. Saluran pemasaran kopi di Indonesia belum efisien sehingga hal ini menyebabkan rendahnya tingkat penerimaan petani. Berdasarkan bagan tataniaga pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa petani kopi dapat memasarkan biji kopinya langsung ke pedagang pengumpul atau lewat tengkulak. Biasanya petani yang memiliki mesin kupas (huller) juga berfungsi sebagai pedagang pengumpul di tingkat desa atau tingkat kecamatan. Pada beberapa
daerah
di Indonesia, petani
kopi telah memiliki kelompok
tani yang dapat memasarkan kopi hasil kebun petani langsung kepada eksportir. Hal ini sangat menguntungkan petani karena margin keuntungan yang diperolehnya akan lebih besar.
13
Petani Kopi Perkebunan Negara/Swasta
Tengkulak
Pemilik Huller
Pedagang Pengumpul
Pedagang Kabupaten
Agen tingkat Propinsi
Industri kopi
Eksportir
Tujuan Ekspor Tujuan Domestik
Sumber: Siswoputranto, 1993 Gambar 1. Bagan Saluran Tataniaga Biji Kopi
Sementara, pada perkebunan-perkebunan besar mereka memiliki unit khusus perdagangan ekspor. Perkebunan jenis ini pada umumnya mempunyai hubungan dengan pihak importir dan membina hubungan tersebut dengan baik. Seluruh eksportir kopi di Indonesia terdaftar sebagai anggota Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Badan ini mengusahakan agar kopi Indonesia mendapatkan harga optimal di pasar dunia. Asosiasi ini mewakili
14
lebih dari ribuan eksportir dengan 13 cabang di ibukota propinsi di Indonesia dan memiliki kantor perwakilan di luar negeri, yaitu New York, London dan Tokyo. Asosiasi ini mewakili anggota-anggotanya dalam hal promosi ekspor, koordinasi dan pembinaan kegiatan anggotanya, serta membina komunikasi yang baik antara eksportir dan importir di seluruh dunia.
2.1.3. Produksi dan Ekspor Kopi Indonesia Pada saat ini, Indonesia dikenal sebagai produsen terbesar kopi robusta dengan pertumbuhan yang relatif pesat. Pada dekade terakhir, areal dan produksi kopi Indonesia masing-masing meningkat dengan laju 1.94 % dan 2.21 % per tahun. Di sisi lain, daya serap pasar domestik masih rendah yaitu hanya sekitar 35% dari produksi. Sebagai konsekuensinya, pasar
kopi Indonesia
sangat tergantung pada pasar internasional (Herman, 2002). Indonesia merasakan keuntungan dan kerugian dari adanya kuota ekspor kopi yang ditetapkan oleh Organisasi Kopi Dunia atau International Coffee Organization (ICO). Sebagai salah satu komoditas yang didominasi oleh perkebunan rakyat, perkebunan kopi Indonesia berkembang pesat terutama pada tahun 1980-an dengan laju pertumbuhan 7.83% per tahun. Hal ini antara lain berkaitan dengan harga kopi yang cukup tinggi pada periode tersebut. Pertumbuhan tersebut didominasi oleh perkebunan rakyat yang arealnya meningkat dengan 8.26% per tahun. Di sisi lain, perkebunan besar milik negara (PTPN) dan perkebunan besar swasta arealnya berkembang masingmasing dengan laju 1.73% dan 2.27% per tahun. Sentra-sentra perkebunan kopi di Indonesia antara lain Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Aceh, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Timor Timur (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2005).
15
Pada dekade terakhir, laju perluasan areal kopi memang menurun yaitu hanya 1.94% per tahun, yang didominasi oleh perkebunan besar swasta. Di samping hal ini berkaitan dengan harga kopi yang mulai melemah sampai dengan tahun 1993, pemerintah juga mulai membatasi program perluasan dan lebih mengarahkan pada program peremajaan. Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kopi Indonesia juga mengalami perkembangan yang relatif tinggi yaitu 3.93% per tahun. Perkembangan paling pesat terutama terjadi pada periode 1976-1986 dengan laju 6.32% per tahun. Pada dekade terakhir, pertumbuhan produksi relatif menurun yaitu 2.21 % per tahun. Di samping mengandalkan pasar domestik, pasar kopi Indonesia masih sangat mengandalkan pasar ekspor. Bahkan, kopi merupakan salah sata produk perkebunan yang diandalkan untuk meraih devisa. Pada lima tahun terakhir, bagian produksi yang diekspor berkisar antara 64-100% dari total produksi. Tujuan ekspor kopi Indonesia umumnya masih mengandalkan kelompok negara-negara maju. Untuk kopi robusta tujuan utama ekspor Indonesia adalah Jepang, Jerman, Aljazair, Inggris, dan Polandia. Untuk kopi arabika, tujuan ekspor utama adalah Jepang, Amerika, Jerman, Singapura, Denmark dan Belanda. Indonesia juga sudah mulai mengekspor kopi bubuk dengan tujuan utama ke Jepang, Singapura, Jerman, Polandia, dan Amerika Serikat. Ekspor kopi Indonesia tidak bisa terlepas dan ketentuan perdagangan kopi yang ditetapkan oleh ICO. Periode 1962-1972, ICO menetapkan sistem kuota dan pada periode tersebut Indonesia mendapat jatah kuota sebesar 82 420 ton. Dengan variasi antara 65 ribu - 85 ribu ton. Untuk mengatasi masalah ini Indonesia berusaha menembus pasar non-kuota seperti Jepang. Singapura, Oman, Taiwan, Uni Soviet, dan Korea (Siswoputranro 1993). Oleh
16
karena adanya penyakit kopi dan frost di Brazil, produksi kopi Brazil menurun drastis sehingga harga melonjak tajam. Menghadapi situasi tersebut, ICO tidak memberlakukan sistem kuota sejak Oktober 1972. Ekspor kopi Indonesia melonjak mencapai sekitar 130 ribu ton per tahun. Pada akhir 1970-an, ekspor Indonesia bahkan mencapai sekitar 200 ribu ton. Pada Periode 1980 - 1985, harga kopi melemah sebagai akibat kelebihan produksi dan resesi ekonomi. ICO kembali melakukan sistem kuota. Jatah kuota ekspor Indonesia adalah sekitar 183 500 ton. Untuk itu, Indonesia kembali berusaha untuk memanfaatkan pasar-pasar di negara non-kuota. Pada tahun 1986, kembali terjadi kekeringan di Brazil sehingga harga kopi melonjak tajam. ICO tidak bisa lagi mempertahankan mekanisme kuota sehingga pasar kopi kembali dibebaskan. Masa bebas kuota ini berlangsung sampai dengan tahun 1990. Dengan
keberhasilan
Putaran
Uruguay,
pasar
kopi
domestik
diperkirakan mengalami persaingan yang semakin tajam. Seperti tercantum pada
komitmen
Indonesia
mengenai
kopi,
maka
Indonesia
harus
menurunkan tarif impor, termasuk tarif impor kopi. Untuk kopi biji, tarif impor harus diturunkan dari 100% menjadi 40%-50%, tergantung dari jenis kopi dan tingkat pengolahannya. Pemberlakuan
tarif tersebut tentunya akan
memperlemah daya saing kopi Indonesia di pasar domestik.
2.2. Tanaman Kopi Arabika Pada mulanya tanaman kopi belum dibudidayakan secara sempurna oleh penduduk, melainkan masih tumbuh liar di hutan-hutan dataran tinggi. Minuman kopi sangat digemari oleh bangsa Ethiopia karena berkhasiat menyegarkan badan. Oleh karena itu ketika mereka mengembara ke wilayah-wilayah lain, buah
17
kopi juga terbawa dan tersebar kemana-mana. Mula-mula penyebarannya ke berbagai wilayah cukup lambat karena minuman kopi pada waktu itu hanya dikenal sebagai minuman berkhasiat menyegarkan badan yang terbuat dari cairan daun dan buah segar yang diseduh dengan air panas. Namun semenjak ditemukan cara-cara pengolahan buah kopi yang lebih baik, ternyata minuman kopi menjadi minuman yang di samping berkhasiat juga mempunyai aroma harum khas dan rasanya nikmat akhirnya kopi arabika menjadi terkenal sehingga tersebar ke berbagai negara di Timur Tengah seperti Yaman, Turki, Ottoman, Syria, Eropa, Asia dan Amerika sebagai komoditi perdagangan (Najiyati dan Danarti, 1995). Di Indonesia, tanaman kopi diperkenalkan pertama kali oleh VOC pada tahun 1696. Penanaman tanaman ini mula-mula hanya bersifat coba-coba (penelitian), tetapi karena hasilnya memuaskan dan dipandang oleh VOC cukup menguntungkan sebagai komoditi perdagangan, maka VOC menyebarkan bibit kopi ke berbagai daerah-daerah pegunungan agar penduduk menanamnya, kemudian
VOC
mengeluarkan
peraturan
“CuItuur
Stesel”
yang
intinya
memaksakan sebagian penduduk khususnya di Jawa untuk menanam kopi. Perkebunan besarpun lalu didirikan dan akhirnya tanaman kopi menyebar ke daerah Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan berbagai daerah lain di Indonesia (AEKI, 2001). Pada perkembangan selanjutnya, perluasan tanaman kopi arabika meningkat terutama pada perkebunan rakyat.
Wilayah
Sulawesi
Selatan
sendiri pada awalnya mengenal dua macam kopi yaitu kopi robusta dan kopi arabika. Bibit kopi arabika di bawah oleh Bangsa Belanda kira-kira seratus tahun laIu (abad ke 19), pertama kali ditanam di Kabupaten Enrekang sekitar 30 Km dari Kalosi, kemudian tanaman tersebut menyebar ke wilayah Kabupaten Tanah Toraja dan Mamasa.
18
Menurut Mawardi dan Hulupi (1998) kopi arabika dapat tumbuh dan berproduksi pada ketinggian 700 – 1 000 meter di atas permukaan laut. Lahanlahan dengan ketinggian tersebut umumnya ditemukan di daerah-daerah pegunungan wilayah MADUTORA. Pertama kali Belanda menanam bibit kopi arabika bersama petani rakyat di daerah Gunung Sambua
yang terIetak di
Kabupaten Enrekang Gunung Sambua terIetak di Kabupaten Enrekang. Pada tahun 1920 lambat laun perkebunan kopi arabika mulai hilang menjadi hutan belukar. Pada tahun 1945 petani rakyat mengelola kembali lahan-lahan kopi arabika di daerah-daerah pegunungan untuk produksi. Pada tahun 1976 pemerintah Indonesia membuka kembali perkebunan kopi arabika dengan menunjuk PT. Sulotco untuk menangani sekaligus menghidupkan kembali cita rasa kopi khas Kalosi, sehingga kopi arabika pertama kali dikenal dengan nama “Kopi Kalosi Arabika” (AEKI,2001). Selain di daerah Gunung Sambua, kopi arabika juga dikembangkan di sekitar Gunung Pararang yang terletak di Kecamatan Pana dan Mambi Kabupaten Mamasa. Sedangkan di Tana Toraja kopi arabika dikenal sejak masa penjajahan Belanda dimana bangsa Belanda sendiri yang menanam bibit kopi tersebut di daerah-daerah pegunungan Pararang sekitar daerah Bittuang dan Panggala (Kecamatan Rinding Allo). Kemudian dikembangkan oleh masyarakat melalui budidaya tradisional. Kebiasaan masyarakat di sekitar pegunungan menanam kopi arabika untuk konsumsi sendiri terutama untuk diminum pada pertemuan-pertemuan adat dan pesta-pesta adat dalam acara sakral. Disamping wilayah sekitar Gunung Sambua dan Gunung Pararang, ditemukan juga lahan-lahan yang potensial untuk tanaman kopi arabika dan merupakan mata pencaharian masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah pegunungan dan mempunyai kebudayaan yang berbeda pula. Kabupaten Tana Toraja merupakan obyek wisata yang sangat menarik, mempunyai panorama
19
alam yang sangat indah dengan budaya yang sangat unik dan hasil kerajinan yang menarik membuat turis mancanegara senang berkunjung ke daerah lama Toraja terutama bila diadakan acara sakral atau pesta adat (Dinas Perkebunan Tator, 2002). Kecamatan Rinding Allo terdapat obyek wisata yang sangat menarik di daerah pegunungan terdapat beberapa villa, disekitar villa dikelilingi tanaman kopi arabika yang sangat subur, sehingga wisatawan mancanegara sangat tertarik dengan daerah yang bernama Batutumonga. Di Batutumonga itulah turis Mancanegara menyaksikan tanaman kopi sejak berproduksi sampai pengolahan menjadi bubuk yang diolah secara tradisionil. Akhirnya lama kelamaan turis mancanegara tidak mengenal lagi Kopi Kalosi Arabika akan tetapi yang dikenal adalah “Kopi Toraja Arabika”.
2.3. Kondisi Tanaman Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA Tanaman kopi di seluruh dunia terdapat sekitar 4.500 jenis yang dapat dibagi ke dalam empat kelompok besar yakni; Coffee Canephora, yang salah satu
varietasnya
menghasilkan
kopi
dagang
robusta,
Coffee
Arabica
menghasilkan kopi dagang Arabika; Coffee Excelasa menghasilkan kopi dagang Excelasa; Coffea Leberica menghasilkan kopi dagang Leberika. Dari segi produksi, yang menonjol kualitas dan kuantitasnya adalah jenis arabika, andilnya dalam perekonomian dunia tidak kurang dari 70 persen. Jenis robusta mutunya di bawah kopi arabika, dengan pangsa sebanyak 24 persen dari total produksi kopi dunia, sedangkan leberika dan excelasa masing-masing hanya tiga persen. Kopi arabika Iebih baik dari pada robusta karena rasanya lebih enak dan jumlah kafeinnya Iebih rendah sehingga kopi arabika Iebih mahal dari pada kopi robusta (Spillane, 1990).
20
Perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas kopi arabika di kabupaten Enrekang dan Tana Toraja, masing-masing dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Dari
data pada
Tabel 4
dapat dilihat bahwa rata-rata
peningkatan luas areal kopi arabika di kabupaten Enrekang dalam kurun waktu 1993 - 2005 adalah 31 persen. Sedangkan rata-rata perkembangan produktivitas pada tahun 1993 - 2005 adalah sebesar 3.51 persen/tahun. Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Prodiktivitas Kopi Arabika Daerah Enrekang,Tahun 1993-2005 Tahun 1993
LuasAreal (ha) 2 132
Produksi (ton) 1 393
Produktivitas (kg/ha) 653
1994
2 795
1 873
670
1995
3 569
2 426
680
1996
4 200
2 578
614
1997
4 435
2 696
608
1998
4 170
3 170
760
1999
6 618
4 937
746
2000
6 698
3 590
536
2001
6 205
3 143
507
2002
10 354
3 947
673
2003
10 444
5 830
754
2004
10 444
6 231
870
2005
10 721
6 871
951
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Enrekang (berbagai seri) Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa dalam periode 1999 - 2005, luas areal kopi arabika di Tana Toraja terus mengalami peningkatan rata-rata 5.78 persen/tahun, sedangkan produksi dan produktivitas masing-masing hanya meningkat rata-rata 7.93 persen/tahun dan 5.21 persen/tahun.
21
Tabel 5. Luas Areal dan Produksi Kopi Arabika Daerah Tator,Tahun 1999 -2005 Luas Areal
Produksi
Produktifitas
(ha)
(ton)
(kg/ha)
1999
11 604
3 555
310
2000
12 764
3 477
320
2001
15 010
3 146
370
2002
15 077
3 301
309
2003
15 980
3 310
370
2004
16 019
3 586
401
2005
16 299
3 837
423
Tahun
Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Tana Toraja (berbagai seri) Sedangkan perkembangan jumlah petani kopi arabika di dua wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tahun 1993 jumlah petani kopi arabika di Kabupaten Enrekang sebanyak 6.966 KK dan pada tahun 2005 sudah mencapai 16 215 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun terakhir sebesar 10.44 persen. Sedangkan untuk daerah Tator, pada tahun 1993 jumlah petani kopi sebanyak 15 300 KK dan pada tahun 2005 tercatat sebanyak 31 094 KK. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama sepuluh tahun terakhir sebesar 24.53 persen. Kontribusi daerah Enrekang dan Tator untuk penyerapan tenaga kerja (KK) kopi arabika terhadap Sulawesi Selatan masing-masing sebesar 14.7 persen (Enrekang) dan 33.2 persen (Tator). Tanaman kopi arabika di wilayah MADUTORA sebanyak 80 persen adalah tanaman kopi rakyat sebagian besar diusahakan sebagai kebun-kebun tertutup dan berpencar-pencar di daerah yang sangat luas. Banyak juga yang diusahakan sebagai tanaman pekarangan dan ditanam di sekeliling rumah. Tanaman kopi rakyat sebagian besar merupakan tanaman tua, tanaman semaian dari bibit tanaman lokal dan umumnya merupakan kegiatan usaha sampingan
22
Tabel 6. Jumlah Petani Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA,Tahun 1993-2005 Tahun
Enrekang (KK)
Tator (KK)
1993
6 966
15 300
1994
6 902
24 746
1995
6 599
25 521
1996
7 174
26 242
1997
10 450
27 467
1998
14 637
27 467
1999
15 625
27 467
2000
16 215
29 873
2001
16 772
29 873
2002
16 215
32 250
2003
12 461
32 263
2004
16 215
32 268
2005
16 215
31 094
Sumber : Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, 2006
selain ladang untuk padi dan sayuran. Pemeliharaan kebun-kebun kopi rakyat sangat berbeda di masing-masing daerah sehingga tingkat produktivitas tanaman juga berbeda. Dalam tahun-tahun terakhir ini produktifitas tanaman kopi rakyat hanya sekitar 400-450 ribu ton setiap tahunnya. Upaya untuk mengembangkan kopi arabika di wilayah MADUTORA dilaksanakan dalam berbagai kegiatan. Dalam jangka pendek pengembangan diarahkan kepada usaha pengembangan kemampuan produksi kebun rakyat dan kegiatan perbaikan mutu hasil produksi agar dapat bersaing di pasaran internasional. Kegiatan ini meliputi kegiatan rehabilitasi dan peremajaan serta
23
perbaikan
mutu
yang
dihasilkan.
Sedangkan
dalam
jangka
panjang
pengembangan tanaman kopi diarahkan untuk memperluas pertanaman kopi arabika, termasuk pemilihan lahan yang sesuai dengan tanaman kopi arabika. Dengan pertimbangan tersebut maka pengembangan kopi arabika di wilayah MADUTORA penyebarannya difokuskan pada tiga kabupaten dengan sasaran utama untuk meningkatkan luas areal, produksi dan produktivitas tanaman. Panen dilakukan satu kali dalam satu tahun, musim pemetikan (panen raya) pada umumnya dimulai pada bulan Juni sampai Agustus, sedangkan pada bulan ApriI biasanya sudah mulai panen tetapi baru dalam jumlah sedikit. Hasil panen pada bulan itu terutama dilakukan dalam rangka usaha pemberantasan hama bubuk pada buah kopi. Untuk bulan September biasanya pemetikan dilakukan secara rajutan atau pemetikan secara massal. Panen dilakukan dengan
menggunakan
tangan
sedangkan
alat
yang
dipakai
untuk
mengumpulkan buah adalah ember dan karung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan pascapanen itu menyangkut kegiatan pemetikan. Buah kopi yang masak berwarna merah, dipetik satu demi satu secara selektif dari tiap-tiap dompolannya dengan menggunakan tangan. Sistem pemetikan merah ini akan menghasilkan kopi biji bermutu tinggi dengan rendemen yang tinggi sekitar 20-22 persen. Untuk memperoleh hasil buah kopi yang bermutu tinggi, buah kopi harus dipetik setelah betul-betul masak yaitu saat kulit buah kopi sudah berwarna merah. Untuk mencapai tahap matang, kopi robusta memerlukan waktu dari kuncup bunga selama 8 sampai 11 bulan dan 6 sampai 9 bulan untuk kopi arabika (Najiyati dan Danarti, 1995). Pemetikan buah kopi secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut: (a) pemetikan pendahuluan, biasanya dilakukan pada bulan Februari sampai Maret untuk memetik buah yang terserang hama bubuk. Kopi yang terserang hama bubuk buah biasanya berwarna kuning sebelum berumur 8
24
bulan, (b) petik merah dan panen raya; biasanya berlangsung 4 sampai 5 bulan yang dimulai pada bulan Mei atau Juni, yaitu untuk memetik buah yang sudah berwama merah, dengan interval atau selang pemetikan 10 sampai 14 hari, dan (c) petik hijau dan petik rancutan; petik hijau dilakukan apabila ada buah tersisa di pohon sekitar 10 persen. Semua buah yang masih tertinggal baik yang berwama merah maupun yang wama hijau dipetik seluruhnya. Petani rakyat di wilayah MADUTORA tidak melakukan pemetikan buah kopi secara selektif. Jika terdapat 30 sampai 40 persen buah yang berwarna merah dalam tiap dompolan, petani langsung memetik secara racutan. Buah kopi yang masih berwarna hijau dan kuning yang turut terpetik dapat mempengaruhi mutu kopi yang berwarna merah. Akhirnya kopi biji yang dihasilkan oleh rakyat bermutu rendah, harganya murah dan mengakibatkan pendapatan petani rendah. Karena buah kopi berwarna hijau akan menghasilkan kopi biji yang berwama hitam, coklat dan mudah pecah dalam proses pengolahan. Alat yang dipakai petani waktu memetik adalah keranjang, tali plastik, bambu berukuran kecil, ember dan karung. Setelah kopi dipetik, kemudian diangkut dengan tenaga manusia atau kuda. Berdasarkan hasil uji cita rasa, biji kopi yang berwarna hitam mempunyai aroma sangat tidak menyenangkan, tidak ada sifat kopinya dan rasanya seperti kayu membusuk. Sedangkan kopi yang berwarna coklat rasanya asam dan bau apek seperti keju, sama sekali tidak memberi cita rasa kopi. Kopi gelondong seperti itu akan memberikan rasa tidak enak pada cup quality dengan rasa tajam dan rasa tanah. Buah kopi yang berwarna merah dapat menghasilkan mutu yang tinggi sehingga harga jualnya tinggi karena rasa dan aromanya nikmat dan enak. Pemetikan yang dilakukan oleh perkebunan swasta sifatnya selektif, yaitu hanya buah kopi yang berwama merah dan wama kuning yang dipetik satu per satu dengan tangan. Masa pungut buah kopi ini berlangsung 4 sampai 5 bulan.
25
Setelah buah kopi dipetik langsung ditakar untuk mengetahui berapa kilogram yang dipetik tiap orang dalam satuan kerja. Seorang tenaga yang terampil dapat memetik buah kopi 60 kg per hari atau rata-rata 40 kg tiap hari kerja. Buah kopi hasil petikan yang berwama merah, kuning dan hijau dipisahkan satu dengan Iainnya. Buah warna hijau adalah buah yang terikut pada saat memetik dompolan buah merah dan kuning Setelah selesai penakaran kemudian diangkut ke tempat pengolahan buah kopi. Pengolahan kopi pada dasamya dikenal dua macam cara yaitu, pengolahan kering dan pengolahan basah. Pengolahan basah mengalami proses penghilangan kulit buah dan lendir yang menempel pada cangkang biji sebelum biji dikeringkan. Serdangkan pengolahan kering dilakukan dengan tidak menghilangkan kulit. Ciri lain dalam pengolahan basah mempergunakan air yang cukup banyak pada beberapa tahap prosesnya, serta digunakan beberapa peralatan dari tingkat yang paling sederhana sampai yangmodern. Dengan demikian pengolahan buah kopi secara basah lebih bersifat padat modal dibandingkan pengolahan secara kering. Perkebunan kopi di Tana Toraja terdapat dua bentuk usaha perkebunan yaitu perkebunan kopi rakyat dan perkebunan swasta. Dalam hal pascapanen, terdapat perbedaan cara pengolahan kopi seperti dijelaskan berikut ini.
2.3.1. Pengolahan Kopi Perkebunan Swasta di Tana Toraja Perkebunan swasta melakukan pengolahan kopi secara basah melalui 6 tahapan yaitu: Pertama, sortasi buah kopi gelondong. Pada tahap ini kopi gelondong dilakukan penyortiran dengan memisahkan antara buah kopi yang jelek dan yang baik agar seragam. Penyeragaman tersebut biasanya dilakukan secara manual untuk memisahkan buah kopi yang berwana hijau, kuning dan merah. Buah kopi
26
yang berwarna merah ditampung dalam bak (konis), kemudian diisi air untuk memisahkan buah kopi bernas (tidak hampa) dengan yang hampa serta yang terserang bubuk. Buah kopi yang bernas dan masak akan tenggelam, selanjutnya dialirkan bersama air ke mesin pulper untuk memisahkan kulit dan bijinya. Buah kopi yang hampa, kering dan terserang bubuk mengembang di atas permukaan air dan diolah tersendiri. Sortasi buah gelondongan dimaksudkan untuk memisahkan buah merah yang berbiji sehat dengan kopi hampa dan terserang bubuk. Buah kopi warna yang sudah ditimbang dimasukan ke dalam alat yang disebut bak penerima atau bak sortasi. Bak ini diIengkapi dengan saringan serta kran pemasukan dan pengeluaran air. Setelah itu bak diisi air dengan cara membuka kran pemasukan air. Bila bak sudah hampir penuh, kemudian diaduk, buah kopi yang terserang bubuk dan hampa akan mengapung sedang yang sehat dan berisi akan tenggelam. Kedua, penghilangan kulit buah, Pada tahap ini dilakukan dengan alat yang biasa disebut mesin pulper. Lendir yang menempel pada kulit tanduk dihilangkan karena lendir tersebut menghambat proses pengeringan bila tidak dihilangkan. Khusus untuk kopi arabika, cara ini masih dianggap dapat memperbaiki mutu kopi biji fermentasi. Setelah kopi terkupas dari kulitnya, didiamkan selama 48 jam dan tidak boleh terkena air. Martamidjaja (1984) mengemukakan bahwa fermentasi adalah proses pemerahan buah kopi dengan tujuan untuk rnempermudah lendir keluar sehingga lebih cepat pencuciannya. Ketiga, pencucian. Setelah fermentasi kopi harus dicuci sampai bersih dari lendir. Cara pencucian secara buatan yaitu dibuatkan seperti saluran air (got) kemudian dimasukkan air secara terus menerus. Alat yang digunakan untuk menggosok sampai biji kopi terasa keras (tidak berlendir) terbuat dari kayu yang biasa disebut garu. Pencucian ini merupakan salah satu teknik seleksi biji kopi
27
yaitu biji kopi yang tenggelam dipisahkan dengan kopi yang terapung, Kopi yang tenggelam mutunya lebih baik daripada biji kopi terapung. Menurut Spillane (1990), pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan lendir yang masih melekat pada biji kopi. Dalam bak pencucian itu biji diremas-remas dengan tangan atau diinjak-injak dengan kaki sehingga bersih. Biji yang sudah bersih apabila dipijit tidak terasa licin lagi setelah pencucian biji kopi selesai. Keempat, pengeringan. Pengeringan biji kopi berkulit tanduk setelah lendir dihilangkan dapat dilakukan dengan cara menjemur melalui matahari dan mesin pengering. Penjemuran dilakukan di atas lantai yang terbuat dari semen, tebal tumpukan biji kira-kira 2-5 cm, bahkan bisa sampai 10 cm Selain penjemuran
dilakukan
pengadukan
untuk
mempercepat
proses
dan
penyeragaman hasil pengeringan. Waktu penjemuran biasanya tidak lebih dari 5 hari pada keadaan cuaca normal, akan menghasilkan kadar air biji kopi 8 -10 persen. Pengeringan dengan mesin dilakukan untuk mengatasi masalah cuaca yang tidak menentu yang sering rnenghambat proses pengeringan. Suhu udara pengeringan antara 80 - 1300C (kopi robusta) dan 40-600C (kopi arabika). Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air menjadi 8 - 10 persen. Dengan kadar air 10 persen kopi tidak mudah diserang cendawan dan tidak mudah pecah ketika digiling. Pengeringan biasa dilakukan melalui tiga cara yaitu cara alami, cara buatan, dan kombinasi antara cara alami dan cara buatan. Kelima, sortasi biji kopi olahan. Sortasi biji kopi olahan dilakukan dengan tujuan membuat biji kopi sesuai dengan kelas mutu yang ada dalam sistem perdagangan. Hal ini dilakukan karena biji kopi setelah dihilangkan kulit tanduknya tampak tidak seragam. Agar dapat memenuhi standar kelas mutu maka ukuran biji kopi harus diseragamkan dengan cara menyaring biji pada ayakan bergoyang. Lubang saringan mempunyai diameter 7.5 mm (ukuran besar); 6.5 mm (ukuran sedang); dan 5.5 mm (ukuran kecil). Sortasi selanjutnya
28
adalah memilih biji-biji kopi ukuran normal. Pemisahan biji cacat diatur sampai diperoleh biji kopi dasar dengan nilai cacat sesuai kelas mutu yang dikehendaki. Menurut
Najiyati
dan
Danarti
(1995),
sortasi
biji
dimaksudkan
untuk
membersihkan kopi olahan dari kotoran sehingga memenuhi syarat mutu dan penggolongan kopi tersebut menurut standar mutu yang telah ditetapkan. Keenam, pengepakan atau penyimpanan. Setelah biji kopi olahan disortir lalu dimasukkan ke dalam karung dengan berat 60 kg bersih. Tiap karung yang digunakan diberi tanda (label) seperti jenis kopi, kelas mutu, asal kopi dan nama perusahaan Penyimpanan biji kopi dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan mutu sebelum biji kopi dijual kepada konsumen.
2.3.2. Pengolahan Kopi Rakyat di Wilayah MADUTORA Kegiatan pasca panen kopi rakyat menyangkut kegiatan pemetikan buah, sortasi buah gelondongan, pengupasan kulit buah, fermentasi, penjemuran, sortasi kopi biji olahan dan pengemasan serta penyimpanan. Pascapanen kopi rakyat di wilayah MADUTORA dilakukan melalui pengolahan basah yaitu: 1.
Buah kopi yang sudah dipetik dikupas kulit buahnya dengan menggunakan lesung batu, gilingan kayu dan diputar dengan tangan manusia kemudian ditumbuk dan digiling hingga terpisah biji kopi dengan kulit buahnya dan dibersihkan secara manual berulang-ulang sampai semua buah kopi terpisah dari biji dan kulitnya, tetapi cara ini biasanya tidak melakukan sortasi buah sehingga menyebabkan biji kopi banyak cacat.
2.
Fermentasi, dilakukan secara alamiah yaitu biji kopi yang sudah dikupas kemudian dimasukkan ke dalam keranjang atau kotak yang terbuat dari papan yang sesuai dengan keberadaan petani dan fermentasi ini biasanya dilakukan selama 24 jam.
3.
Pencucian, dimaksudkan untuk menghilangkan lendir yang melekat pada
29
biji kopi dan mempercepat pengeringan agar tampilan fisik biji kopi menjadi lebih bersih dari kotoran dan kondisi tersebut akan menghambat serangan jamur pada waktu penyimpanan. 4.
Petani rakyat umumnya pada musim panas mengeringkan biji kopi secara alamiah yaitu menjemur dengan panas matahari, tetapi ada juga yang menjemur biji kopi langsung di atas tanah ataupun menggunakan alas seperti tikar, karung bekas atau plastik dan pada musim hujan petani mengeringkan biji kopi dengan cara mengasapi melalui dapur kayu.
5.
Setelah kering, biji kopi dimasukkan oleh petani ke dalam karung atau bakul
tanpa
melakukan
sortasi,
kemudian
disimpan
dengan
cara
menumpuk di tempat yang lembab untuk selanjutnya dijual, padahal cara ini tidak tepat karena dapat menurunkan mutu kopi yaitu cepat berjamur dan tampilan fisiknya kurang baik. Selanjutnya kopi arabika yang diperdagangkan oleh petani adalah kopi kering tanpa sortasi, dengan kadar air kira-kira 18 persen. Sedangkan yang diperdagangkan oleh pedagang pengumpul desa adalah kopi kering petani dengan sedikit sortasi dan dengan kadar air 18 persen; oleh pedagang pengumpul kecamatan adalah kopi kering dengan kadar air 15 persen. Baik petani
maupun
pedagang
pengumpul
desa
dan
pedagang
pengumpul
kecamatan, menjual kopi biji yang masih memiliki kulit tanduk/ari, sedang pedagang pengumpul kabupaten dan perusahaan exportir menjual kopi biji dalam bentuk kopi beras (kopi biji yang sudah dikupas kulit tanduknya atau kulit arinya) dengan kadar air 15 persen. Pada tahap selanjutnya, perusahaan eksportir akan membagi lagi kualitas kopi arabika yang telah diolah tersebut dengan nama kopi mutu satu dan mutu dua. Meski pemerintah sudah menyarankan agar petani menjual kopi yang sudah disortasi, tetapi kenyataannya petani tetap memilih komoditi yang tanpa sortasi karena dianggap lebih mudah dan cepat prosesnya selain karena desakan ekonomi.
30
2.4. Pemasaran Kopi Arabika di Wilayah MADUTORA Secara
umum
jaringan
pemasaran
kopi
arabika
MADUTORA
melibatkankan beberapa pelaku pasar yaitu: petani, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten, pedagang pengecer, eksportir, konsumen luar negeri dan konsumen domestik. Dalam pola tataniaga, petani kopi arabika memegang peranan besar sebagai produsen, sedang di ujung rantai pemasaran pihak eksportir yang berperanan menyerap produksi tersebut. Struktur tataniaga kopi rakyat relatif kurang efisien karena sifat pengusahaannya yang serba tradisional. Sejak awal pengelolaannya tidak dapat menyamai keterampilan manajemen perusahaan-perusahaan perkebunan besar yang bermodal besar dan modern (Spillane, 1990). Jaringan tataniaga kopi arabika MADUTORA mulai dari petani sampai eksportir memiliki rantai tataniaga yang panjang. Hal ini merupakan hasil dari kombinasi beberapa faktor alami dan non alami, antara lain: Pertama, faktor topografi dan letak wilayah penghasil kopi. Umumnya lahan yang sesuai untuk tanaman kopi adalah daerah berbukit sampai bergunung yang elevasi berkisar 400-800 m dari permukaan laut, Lokasi yang memenuhi persyaratan tersebut di atas umumnya berada di dataran tinggi dengan ketinggian tempat kurang dari 1 000 m dari permukaan laut. Kedua, faktor jauhnya jarak antara desa dengan
kota di wilayah
MADUTORA. Petani sebagai produsen di sentra produksi kopi arabika, harus membawa kopi melalui pusat kota kecamatan, kota kabupaten dan kota propinsi (eksportir). Jarak dari lokasi produksi ke tempat panjualan ini umumnya sangat jauh. Ketiga, faktor modal. Modal pedagang pengumpul desa berasal dari pedagang pengumpul kecamatan sebab umumnya mereka adalah kaki tangan pedagang pengumpul kecamatan walaupun ada pula yang mandiri. Sedangkan
31
pedagang kecamatan dan pedagang besar umumnya telah mempunyai hubungan tertentu dengan eksportir. Apabila mereka kekurangan modal kerja, maka eksportir biasanya akan membantu tanpa persyaratan bunga modal. Secara umum, sebagian besar petani menjual langsung hasil produksinya kepada pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa menjual ke pedagang pengumpul kecamatan setelah kopi disortir, selanjutnya pedagang pengumpul kecamatan menjual ke pedagang kabupaten. Sedangkan pedagang kabupaten menjual lebih lanjut ke eksportir untuk kemudian dipasarkan ke konsumen luar negeri. Selain itu ada juga pedagang kabupaten menjual juga ke pedagang pengecer untuk pasar konsumen domestik. Untuk memperjelas jaringan pemasaran atau tataniaga kopi arabika di wilayah MADUTORA dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Petani Pedagang pengumpul desa Pedagang pengumpul kecamatan Pedagang Besar (Kabupaten) Pedagang Konsumen Domestik
Eksportir Konsumen Luar Negeri
Sumber : Surono, 1996 Gambar 2. Saluran Pemasaran Kopi Arabika di Sulawesi Selatan 2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.5.1. Kopi Arabika Penelitian dan studi mengenai Kopi Arabika telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu, antara lain oleh Adri (1999), Karim (1999) dan Roza (2003).
32
Penelitian
Adri
(1999)
bertujuan
untuk
menganalisa
keragaan
(performance) kelembagaan dan ekonomi usahatani kopi Arabika Organik di kabupaten Aceh Tengah. Responden utama adalah petani kopi arabika organik, PD.Genap Mupakat, pedagang perantara, kepala desa, pemuka Adat dan Agama, KUD dan PPL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk koordinasi antara PD.Genap Mupakat dengan petani dalam peningkatan produktivitas dan kualitas kopi Arabika organik adalah berbentuk sistem kontrak. Usahatani kopi ini tidak memiliki asset spesifikasi yang khas dalam hal teknik budidaya, tapi mempunyai asset spesifikasi yang khas dalam penggunaan lahan. Spesifikasi yang khas dalam penggunaan lahan dikarenakan kopi arabika organik tidak dibenarkan untuk penggunaan bahan-bahan kimia, sedangkan bila pada lahan kopi ditumpangsarikan tanaman lain biasanya memerlukan bahan kimia seperti sayur-sayuran. Kopi arabika organik di Propinsi Aceh layak untuk diuasahakan baik dipandang dari sisi finansial maupun ekonomi. Harga kopi di tingkat petani pada kelembagaan kemitraan lebih tinggi dari kelembagaan tradisional. Respon harga di pasar internasional relatif kecil terhadap harga domestik, hal ini ditunjukkan oleh analisa elastisitas transmisi harga sebesar 0.47. Pada daerah yang sama Karim (1999) menganalisis tentang kelayakan finansial kopi arabika Catimor organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebun kopi organik di Aceh Tengah layak (feasible) untuk dikembangkan. Kelayakan tersebut diperoleh dari hasil analisis kriteria kelayakan finansial yang digunakan dengan menganalisis nilai NPV, tingkat suku bunga pinjaman pertahun, nilai payback period, BEP harga dan BEP produksi. Roza (2003) menganalisis tentang faktor-faktor produksi kopi arabika di PT. Indoarabica Lampung yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi kopi arabika glondongan dan kopi arabika hard skin serta mengetahui kombinasi input yang efisien untuk kedua
33
jenis kopi arabika tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan masih dapat meningkatkan produksi kopi arabika dengan menambah faktorfaktor produksi yang positif, namun untuk menentukan batas maksimal penambahan faktor produksi tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Perusahaan masih dapat meningkatkan pemakaian tenaga kerja untuk melakukan pemetikan kopi terutama pada musim panen, karena adanya hubungan yang sangat signifikan antara produksi kopi arabika glondongan dan tenaga kerja panen.
2.5.2. Pangsa Pasar Penelitian mengenai pangsa pasar telah dilakukan oleh Emirza (1997) dan Suryani (1997), dengan hasil sebagai berikut: Emirza (1997) meneliti tentang pangsa pasar dan strategi pemasaran produk ikan kaleng PT. Blambangan Raya. Analisis untuk pangsa pasar menggunakan metode Markov Chain sedangkan analisis strategi pemasaran digunakan metode SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan volume penjualan ikan kaleng yang diproduksi perusahaan tersebut maupun kompetitor. Berdasarkan perhitungan, pangsa pasar PT. Blambangan Raya diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2002 sehingga dibutuhkan strategi pemasaran yang kuat dalam menghadapi persaingan dengan para kompetitor. Hasil SWOT yang diperoleh adalah meningkatkan mutu produk, harga produk lebih murah dibandingkan dengan produk pesaing terdekatnya, diperlukan pemberian diskon kepada pelanggan yang membeli dalam jumlah besar, mempertahankan produktivitas distributor tunggal yang dipakai oleh perusahaan selama ini dan meningkatkan volume penjualan dan pangsa pasar perusahaan dengan memasang iklan di media massa, mengikuti pameranpameran serta membuat brosur mengenai produk.
34
Penelitian Suryani (1997) tentang pangsa pasar stasiun-stasiun tv di DKI Jakarta bertujuan untuk memberikan informasi mengenai dinamika pertelevisian dan melihat pangsa pasarnya. Data diperoleh dari SRI (Survey Research Indonesia) berbentuk tabel jumlah pemirsa stasiun-stasiun TV swasta pada tanggal 1 sampai 7 September 1996 dengan periode waktu menonton 15 menit dan 1 jam serta dianalisis menggunakan model rantai markov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode waktu 15 menit tidak terlihat adanya perubahan kepemirsaan televisi. Pada periode 1 jam baru terlihat dinamika kepemirsaan televisi, hal tersebut disebabkan karena periode kepemirsaan yang singkat. Pangsa pasar yang paling diminati oleh pemirsa adalah melalui program lokal sinetron dari stasiun RCTI dan SCTV.
2.5.3. Struktur - Perilaku - Kinerja Penelitian mengenai Struktur - Perilaku - Kinerja telah diteliti antara lain oleh Acharya (1998), Viaenne dan Gellynck (1995),
Vlachvei dan
Oustapassidis (1998) serta Hidayati (2000). Penelitian
mengenai
kinerja
ekonomi
dengan
menggunakan
pendekatan SCP dilakukan oleh Acharya (1998) pada pasar produk-produk pertanian di India. Penekanan dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh sebuah sistim pemasaran
produk
pertanian.
Sistim
pemasaran
diyakini
memegang
peranan penting dalam menentukan harga yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen, dan kemudian kinerja sistim ini sangat ditentukan oleh perilaku dan struktur pasar itu sendiri. Variabel-variabel
yang
diteliti
adalah
pengukuran
regulasi,
infrastruktur sistim pemasaran, harga yang ditetapkan oleh pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor-impor dan kebijakan ekonomi makro. Hasil
35
yang didapatkan adalah keseluruhan variabel yang diteliti berpengaruh nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik struktural pasar produk pertanian menunjukan dominasi lembaga-lembaga yang terorganisasi atas lembaga-lemabaga yang tidak terorganisasi dengan konsekuensi timbulnya potensi terciptanya praktek monopoli atau oligopoli. Saran sebagai basil dari penelitian ini adalah perlunya meningkatkan linkages antara petani dengan sektor ritel, pembangunan infrastruktur di pedesaan dan perlunya perhatian pada proses grading dan pengontrolan kualitas untuk meningkatkan kinerja pasar. Viaenne
dan
Gellynck
(1995)
menggunakan
SCP
untuk
mengevaluasi pertumbuhan dan situasi terkini industri makanan di Eropa, terutama perusahaan-perusahaan yang berada di Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Penelitian ini menggunakan variabel konsentrasi industri dan intensitas penggunaan tenaga kerja sebagai indikator struktur, nilai tambah dan investasi sebagai indikator perilaku, serta produktivitas, tingkat pertumbuhan dan profitabilitas sebagai indikator kinerja. Selain itu dievaluasi juga tahapan transformasi industri dari petani, industri bahan baku dan industri barang akhir. Hasil penelitian menunjukan Perancis memiliki struktur industri yang paling terintegrasi dibandingkan dengan negara yang lain, sementara Inggris dan Jerman mengalami pertumbuhan yang negatif. Namun Belanda dan Jerman memiliki tingkat profitabilitas yang tertinggi di antara negara yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa pasar makanan Eropa sangat ditentukan oleh keterkaitan struktur usaha, perilaku dan kinerja dalam industri tersebut. Vlachvei
dan
Oustapassidis
(1998)
melakukan
penelitian
untuk
membuat hipotesis mengenai hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pada industri makanan di Yunani. Tujuan penelitian ini adalah untuk
36
mengestimasi parameter tingkat profitabilitas yang dipengaruhi oleh konsentrasi industri dan iklan pada 38 manufaktur dalam industri pangan dengan menggunakan metode estimasi 3 SLS. Indikator struktur diwakili oleh indeks konsentrasi
perusahaan,
indikator
perilaku
diwakili
oleh
rasio
antara
pengiklanan dengan total penjualan, dan tingkat profitabilitas sebagai indikator kinerja. Hasil yang didapatkan adalah bahwa intensitas pemasangan iklan dan ekspor
berpengaruh
nyata
dalam
meningkatkan
tingkat
profitabilitas.
Selanjutnya kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi perusahaan, Pada tahap sebelumnya, konsentrasi tersebut sangat dipengaruhi oleh economies of scale perusahaan yang bersangkutan. Rekomendasi yang dinyatakan oleh peneliti adalah bahwa pengiklanan dan diferensiasi produk merupakan variabel utama yang sangat mempengaruhi profitabilitas. Hubungan antara pemasangan iklan dan tingkat konsentrasi menunjukan bahwa perusahaan yang memiliki pangsa produk yang besar lebih efektif untuk menggunakan media periklanan dibandingkan dengan perusahaan dengan pangsa yang kecil. Hidayati (2000) menganalisis tentang kerja sistem pemasaran dan lembaga penunjang pemasaran kaitannya dengan pengembangan produksi rumput laut di kabupaten Lombok Timur dengan tujuan untuk menganalisis kinerja usahatani, kinerja pemasaran serta kinerja lembaga penunjang pemasaran dan kebijakan yang berkaitan dengan produksi dan pemasaran rumput laut. Hasil penelitian yang dianalisis menggunakan SCP menunjukkan bahwa struktur pasar rumput laut di tingkat pedagang pengumpul I adalah oligopoli dengan konsentrasi pasar yang tinggi, karena pedagang yang beroperasi jumlahnya terbatas. Di tingkat pedagang pengumpul II maupun eksportir, struktur pasar adalah monopoli, oleh karena itu pasar rumput laut mengarah pada pasar persaingan sempurna. Nilai indeks hubungan pasar yang
37
diperoleh sebesar 0.043 menunjukkan bahwa ada keterpaduan pasar antara tingkat petani dengan tingkat eksportir. Petani kesulitan untuk melakukan perluasan usaha karena keterbatasan modal yang dimiliki, sementara itu lembaga keuangan yang dapat menyediakan bantuan modal belum ada. Kelompok tani yang terbentuk belum menunjukkan aktivitasnya, dengan demikian lembaga penunjang pemasaran masih belum cukup berperan dalam menunjang usaha pengembangan rumput laut. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini difokuskan pada pangsa pasar ekonomi usahatani petani kopi arabika serta struktur, perilaku dan kinerja dari lembaga tata niaga kopi arabika di Propinsi Sulawesi Selatan. Analisis yang digunakan untuk pangsa pasar adalah model rantai markov (markov chain). Analisis untuk mengetahui struktur, perilaku dan kinerja (SCP) berbeda dengan yang dilakukan oleh Acharya (1998), Viaenne dan Gellynck (1995),
dan
Vlachvei dan Oustapassidis (1998). Penelitian ini menganalisis tentang jumlah lembaga pemasaran, kondisi keluar masuk pasar, praktek penentuan harga, praktek pembelian dan penjualan, praktek dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran, marjin pemasaran, bagian harga yang diterima petani, elastisitas transmisi harga dan keterpaduan pasar. Efisiensi pemasaran dalam hal margin pemasaran, elastisitas transmisi harga serta keterpaduan pasar.