BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA
A. Pengertian Jaminan Fidusia
Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sudah sejak masa penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, yang semula berasal dari zaman Romawi. Istilah Fidusia dalam bahasa Belanda secara lengkap disebut dengan “Fiduciaire Eigendoms Overdracht” (FEO), dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Fiduciary Transfer of Ownership”. 1 Dalam hukum Romawi lembaga fidusia ini dikenal dengan nama fiducia cum contracta (artinya janji kepercayaan yang dibuat kreditor). Isi janji yang dibuat oleh debitur dengan kreditornya adalah debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda sebagai jaminan utangnya dengan kesepakatan bahwa debitur tetap akan menguasai secara fisik benda tersebut dan kreditor akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya sudah dibayar lunas. 2 Fidusia ini berasal dari kata fidusiair atau fides, yang artinya kepercayaan, yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan) bagi pelunasan piutang kreditor. 3 Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan antara pemberi fidusia (debitor) dan penerima fidusia (kreditor)
1
Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hal. 42 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 151 3 IbId, hal. 151 2
merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusa percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. 1 Menurut Tan Kamelo, 2 Fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda dengan hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Sedangkan pengertian jaminan fidusia adalah “Hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud dan bangunan/rumah diatas tanah orang lain baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya”. A. Hamzah dan Senjun Manulang mengartikan bahwa fidusia adalah “suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur), berdasarkan adanya perjanjian pokok kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridiselevering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur. Dari pengertian-pengertian diatas Fidusia mengandung unsur-unsur pokok sebagai berikut: 1
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 119 2 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni Bandung, 2006, hal.31
1. Adanya pengalihan/pengoperan 2. Pengalihan dari pemiliknya kepada kreditur 3. Adanya perjanjian pokok 4. Penyerahan berdasarkan kepercayaan. 1 Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-undang Jaminan Fidusia telah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Fidusia adalah “pengalihan hak kepemilikan suatu benda
atas
dasar
kepercayaan
dengan
ketentuan
bahwa
benda
yang
kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Dengan demikian, artinya bahwa dalam fidusia telah terjadi penyerahan dan pemindahan dalam kepemilikan atas suatu benda yang dilakukan atas dasar fiduciair dengan syarat bahwa benda yang hak kepemilikannya tersebut diserahkan dan dipindahkan kepada penerima fidusia tetap dalam penguasaan pemilik benda (pemberi fidusia). Dalam hal ini yang diserahkan dan dipindahkan dari pemiliknya kepada kreditor adalah hak kepemilikan atas suatu benda yang dijadikan sebagai jaminan, sehingga hak kepemilikan secara yuridis atas benda yang dijaminkan beralih kepada kreditor. Sementara itu hak kepemilikan secara ekonomis atas benda yang dijaminkan tersebut tetap berada di tangan atau dalam penguasaan pemiliknya. 2 Sedangkan pengertian Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia Pasal 1 butir 2 adalah “hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud 1 2
Supianto, Op Cit, hal. 35 Rachmadi Usman, Op Cit, hal. 152
dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan kepada penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya”. Dengan demikian, bahwa dari pengertian diatas ada beberapa prinsip utama dari jaminan Fidusia menurut Munir Fuady, antara lain 1 : 1. Bahwa secara riil, pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang jaminan saja, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya. 2. Hak pemegang fidusia untuk mengeksekusi barang jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitur. 3. Apabila hutang sudah dilunasi, maka objek Jaminan Fidusia harus dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia. 4. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia. Sehingga berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas, hak jaminan yang dapat dibebani secara Fidusia adalah benda bergerak baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia.
1
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Cetakan Kedua , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 4
Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana yang telah dipaparkan oleh para ahli diatas adalah karena ketentuan undang-undang yang telah mengatur tentang lembaga gadai mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat memenuhi perkembangan masyarakat. Hambatan itu meliputi: 1 1. Adanya asas inbezitstelling Asas ini mensyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada pemegang gadai, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1152 KUH Perdata. Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak berwujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk keperluannya. Terlebih jika benda tanggungan tersebut kebetulan merupakan alat yang penting untuk mata pencaharian sehari-hari, misalnya bus atau truk-truk bagi perusahaan angkutan, alat-alat rumah makan, sepeda bagi
pemilik
rekening dan
lain-lain.
Mereka itu
disamping
memerlukan kredit juga masih membutuhkan tetap dapat memakai bendanya yang dijaminkan untuk bekerja. 2. Gadai atas surat-surat piutang Kelemahan gadai atas surat-surat piutang ini karena: a. Tidak adanya ketentuan tentang carapenarikan dari piutangpiutang oleh si pemegang gadai; b. Tidak adanya ketentuan menganai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus dilaksanakan, misalnya mengenai cara 1
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.57
pemberitahuan tentang adanya gadai piutang-piutang tersebut kepada si debitur surat hutang, maka keadaan demikian tidak memuaskan bagi pemegang gadai. Dalam keadaan demikian, berarti finansial si pemberi gadai menyerahkan diri sepenuhnya kepada debitur surat piutang tersebut, hal mana dianggap tidak baik dalam dunia perdagangan. 3. Gadai kurang memuaskan, karena ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat berkedudukan lebih tinggi dari pemegang gadai. B. Asas-asas Umum Hukum Jaminan Fidusia Asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Jaminan Fidusia menurut Tan Kamello adalah 1 : Pertama, Asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas ini dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 2 UUJF. Lebih lanjut UUJF tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan kreditur yang diutamakan dari krediturkreditur lainnya. Namun, dibagian lain yakni pasal 27 UUJF dijelaskan pengertian tentang hak yang didahulukan terhadap kreditur-kreditur lainnya. Hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
1
Tan Kamello, Op Cit, hal. 159
Kedua, Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan “droit de suite zaaksgevolg”. Pengertian droid de suite dijelaskan sebagai the right of a creditor to pursue debtors property into the hands of third persons for the enforcement of his claim. Pengakuan asas ini dalam UUJF menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan
hak
kebendaan
(zakelijkrecht)
dan
bukan
hak
perorangan
(persoonlijkrecht). Dengan demikian, hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan berhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Hak kebendaan jaminan fidusia baru lahir pada tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Karena itu, konsekuensi yuridis adalah pemberlakuan asas droit de suite baru diakui sejak tanggal pencatatan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Maksud penegasan ini tidak lain adalah kalau jaminan fidusia tidak dicatatkan dalam buku daftar fidusia berarti hak jaminan fidusia bukan merupakan hak kebendaan melainkan memiliki karakter hak perorangan. Akibatnya, bagi pihak ketiga adalah tidak dihormatinya hak jaminan fidusia dari kreditur pemegang jaminan fidusia. Pemberlakuan asas droit de suite tidak berlaku terhadap semua objek jaminan fidusia, tetapi pengecualiannya yakni tidak berlaku bagi objek jaminan fidusia berupa benda persediaan. Pembentuk UJF tidak menjelaskan benda-benda apa saja yang termasuk dalam kategori benda persediaan. Hanya dijelaskan
dengan memberikan contoh tentang benda-benda yang tidak merupakan benda persediaan, antara lain mesin produksi, mobil pribadi atau rumah pribadi 1. Ketiga, Asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut dengan asas asesoritas. Asas ini mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain yakni perjanjian utama atau perjanjian principal. Perjanjian utama bagi jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang yang melahirkan hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam UUJF, asas tersebut secara tegas diutarakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok. Sesuai dengan sifat assesoir ini, berarti hapusnya jaminan fidusia juga ditentukan oleh hapusnya hutang pokok atau karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh kreditur penerima jaminan fidusia. Dengan demikian, perjanjian jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang. Keempat, asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas hutang yang baru akan ada. Dalam UUJF ditentukan bahwa objek jaminan fidusia dapat dibebankan kepada hutang yang telah ada dan yang akan ada. 2 Kelima, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Asas tersebut telah tertampung atau telah diakui setelah keluarnya UUJF yang intinya adalah jaminan fidusia dapat dibebankan atas benda yang akan ada. 3 Pengaturan asas ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis dan 1
Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UUJF Pasal 7 UUJF 3 Pasal 9 UUJF 2
sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang tidak terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujudan asas tersebut merupakan perjuangan citacita masyarakat dalam bidang hukum jaminan. Keenam, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horisontal. 1 Dalam pemberian kredit ban penegasan asas ini dapat menampung pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai hak atas bangunan/rumah. Biasanya hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemilik bangunan adalah perjanjian sewa. Ketujuh, asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek jaminan fidusia yang dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan fidusia yang dimaksudkan adalah data perjanjian pokok yang dijaminkan fidusia, uraian mengenai menjadi objek jaminan. Dalam ilmu hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan. 2 Kedelapan, asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia. Asas ini sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia bukanlah orang yang mempunyai wewenang untuk berbuat. Dalam UUJF, asas ini belum dicantumkan secara tegas. 1 2
Penjelasan Pasal 3 huruf a UUJF Pasal 6 UUJF
Kesembilan, asas bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut asas publikasi.
1
Dengan
dilakukannya pendaftaran akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan perjanjian jaminan fidusa adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi juga melahirkan adaya kepastian hukum dari jaminan fidusia. Kesepuluh, asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. 2 Dalam ilmu hukum disebut asas pengakuan. Kesebelas, asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor fidusia daripada kreditur yang mendaftar kemudian. 3 Keduabelas, asas bahwa pemberi jaminan fidusia tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik. Asa itikad baik di sini memiliki arti subjektif sebagai kejujuran bukan arti objektif sebagai kepatutan seperti dalam hukum perjanjian. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan menggadaikannya kepada pihak lain. Ketigabelas, asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi. 4 Kemudahan pelaksanaan eksekuasi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sertifikat jaminan 1
Pasal 12 UUJF Pasal 1 ayat (3) dan pasal 33 UUJF 3 Pasal 28 UUJF 4 Pasal 15 UUJF 2
fidusia. Dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga penjualan terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia, selain melalui titel eksekutorial, dapat juga dilakukan dengan cara melelang secara umum dan di bawah tangan. 1
C. Objek Jaminan Fidusia
Pada awalnya Objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak saja. Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 22 Maret 1950 Nomor 158/1950/Pdt dan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 372 K/Sip/1970, yang pada intinya menyatakan bahwa penyerahan hak milik secara fidusia hanya sah
sepanjang
mengenai
barang-barang
bergerak.
2
Namun
dalam
perkembangannya, objek jaminan fidusia tidak hanya mencakup benda bergerak saja tetapi juga mencakup benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Hal ini terdapat dalam pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa : “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan 1
Pasal 29 UUJF J. Satrio, Hukum Jaminan,Hak-hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.4 2
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.”
Dari pasal diatas dapat kita lihat bahwa objek jaminan fidusia adalah : 1. Benda bergerak yang berwujud; 2. Benda bergerak yang tidak berwujud; 3. Benda bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan Kemudian menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Jaminan Fidusia yang mengatur mengenai pengertian benda menyatakan bahwa, benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek. Menurut Rachmadi Usman, dari bunyi perumusan benda dalam pasal 1 angka 4 Undang-undang fidusia diatas, objek jaminan fidusia itu meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak tertentu yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotek, dengan syarat bahwa kebendaan tersebut “dapat dimiliki dan dialihkan”, sehingga dengan demikian objek jaminan fidusia meliputi: 1 1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum; 2. Dapat atas benda berwujud; 3. Dapat atas benda yang tidak berwujud, termasuk piutang; 4. Dapat atas benda yang terdaftar;
1
Rachmadi Usman, Op Cit, hal. 176
5. Dapat atas benda yang tidak terdaftar; 6. Benda bergerak; 7. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan; 8. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hipotek. Dengan kata lain, objek jaminan fidusia itu bisa: 1. Benda bergerak yang berwujud; 2. Benda bergerak yang tidak berwujud; 3. Benda bergerak yang terdaftar; 4. Benda bergerak yang tidak terdaftar; 5. Benda tidak bergerak tertentu, yang dapat dibebani dengan hak tanggungan; 6. Benda tidak bergerak tertentu, yang tidak dapat dibebani dengan hipotek; 7. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan. Objek jaminan Fidusia yang kita simpulkan dalam pasal 1 angka 2 Undang-undang Jaminan Fidusia dan sebagai yang ditentukan dalam pasal 1 sub 4 dan pasal 3 undang-undang jaminan Fidusia, mendapat penjabarannya lebih lanjut dalam pasal 9 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mengatakan, bahwa Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau jenis berbeda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.
D. Kedudukan Para Pihak Di Dalam Jaminan Fidusia Di dalam jaminan fidusia dikenal dengan asas pengakuan, dimana benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Jadi dari asas pengakuan tersebut telah diatur tentang kedudukan pihak pemberi fidusia sebagai
pihak debitur
maupun kedudukan pihak penerima fidusia sebagai kreditur. Apabila pihak pemberi fidusia sebagai kreditur dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, maka hal tersebut menjadikan fidusia sama seperti dengan jual beli dengan hak membeli kembali, dimana kalau penjual (debitur) tidak membeli kembali barangnya, maka pembeli (kreditur) menjadi pemilik dari barang yang telah dijual. 1 Seorang sarjana yaitu Dr. A. Veenhoven 2 menyetujui bentuk dari pada fidusia seperti bentuk di dalam jual beli dengan hak membeli kembali dengan syarat tambahan sebagai berikut : Hak milik di sini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu. Untuk pemilik fidusia, hak miliknya digantungkan pada syarat putus (ontbindende voorwaarde). Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi). Apabila pendapat dari pada Dr. A. Veenhoven tersebut, maka si pemberi fidusia sebagai kreditur dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sehingga hal tersebut bertentangan dengan asas pengakuan yang dianut di dalam fidusia serta bertentangan dengan asas yang dianut di dalam sistem hukum
1
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Cetakan pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta , 1984, hal. 47. 2 Ibid, hal. 47
jaminan pada umumnya, di mana di dalam hukum jaminan dikatakan bahwa seorang penerima jaminan sebagai kreditur tidak dibolehkan menjadi pemilik barang jaminan, bahkan setelah pemberi jaminan sebagai debitur cedera janji, maka penerima jaminan sebagai kreditur dilarang menjadi pemilik dari barang jaminan. Setelah pemberi jaminan sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan sebagai kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual objek yang menjadi jaminan secara umum (lelang) dan hasil dari lelang tersebut digunakan untuk membayar hutang dari pemberi jaminan sebagai debitur terhadap piutang dari penerima jaminan sebagai kreditur. Begitu juga di dalam pemberian jaminan fidusia, maka penerima jaminan fidusia
sebagai kreditur tidak dibolehkan menjadi pemilik barang jaminan,
bahkan setelah pemberi jaminan fidusia sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan fidusia sebagai kreditur dilarang menjadi pemilik dari barang jaminan fidusia. Setelah pemberi jaminan fidusia sebagai debitur cedera janji, penerima jaminan fidusia sebagai kreditur hanya mempunyai hak untuk menjual objek yang menjadi jaminan fidusia secara umum (lelang) dan hasil dari lelang tersebut digunakan untuk membayar hutang dari pemberi jaminanfidusia sebagai debitur terhadap piutang dari penerima jaminanfidusia sebagai kreditur. Atau dengan kata lain bahwa tujuan dari para pihak di dalam melakukan pemberian jaminan fidusia adalah bukan untuk menyerahkan hak milik dalam arti yang sesungguhnya, melainkan hanya mengadakan jaminan. Pendapat tersebut di atas juga dianut oleh Mahkamah Agung RI dalam Putusannya Nomor 1500 K/Sip/1978 yang pertimbangannya menyatakan 1 :
1
Ibid, hal. 47.
Menimbang, ……. Maka sekarang inikarena jelas penggugat asal sebagai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka tergugat asal dapat menggunakan ketentuan dalam ayat (9) Pasal VII PMK yang bersangkutan, dan seperti halnya dalam gadaian ia dapat melakukan penjualan-penjualan umum atas barang yang diikat dengan fiduciaire eigendoms overdracht tersebut untuk kemudian memperhitungkan dengan sisa penggugat asal.
Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut di atas, apabila pemberi fidusia sebagai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya atau lalai untuk memenuhi kewajibannya terhadap penerima fidusia sebagai kreditur, maka penerima fidusia sebagai kreditur tidak dapat memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia, penerima fidusia hanya dapat melakukan penjualan-penjualan umum (lelang) terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut sebagaimana penjualan-penjualan umum yang dilakukan di dalam gadai yang diatur di dalam Pasal 1155 KUH Perdata dan Pasal 1156 KUH Perdata. Akan tetapi jika selama pemberi fidusia sebagai debitur belum melakukan kelalaian memenuhi kewajibannya terhadap penerima fidusia sebagai kreditur, maka kedudukan penerima fidusia sebagai kreditur adalah hanya sebagai penerima jaminan fidusia saja dan belum dapat melakukan penjualan-penjualan umum (lelang) terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.
Sehingga berdasarkan pembahasan di atas, kedudukan penerima fidusia sebagai kreditur adalah sebagai pemegang jaminan fidusia dan kewenangannya adalah sebagai pemilik yang terbatas terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut, karena apabila pemberi fidusia tidak melakukan kelalaian terhadap kewajibannya, maka penerima fidusia tidak dapat melakukan penjualan umum terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut.
Selanjutnya mengenai kedudukan pemberi fidusia sebagai debitur di dalam jaminan fidusia, maka melalui penyerahan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia secara constitutum possessorium pemberi fidusia berkedudukan sebagai orang yang tetap menguasai benda yang dijadikan objek fidusia atas dasar penitipan yang diberikan oleh penerima fidusia kepada pemberi fidusia, karena pemberi fidusia hanya dapat menguasai benda yang dijadikan objek fidusia dan tidak boleh menjual atau mengalihkan benda yang dijadikan objek fidusia tersebut. Kalaupun pemberi fidusia akan menjual atau mengalihkan benda yang dijadikan objek fidusia, maka pemberi fidusia harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari penerima fidusia dengan ketentuan bahwa hasil penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut harus digunakan untuk membayar hutanghutang pemberi fidusia terhadap piutang penerima fidusia. Dengan demikian penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia yang dilakukan oleh pemberi fidusia kepada pihak ketiga dengan ijin dari penerima fidusia dengan ketentuan bahwa hasil penjualan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut harus digunakan untuk membayar hutang-hutang pemberi fidusia terhadap piutang penerima fidusia adalah sah, karena hak kepemilikan terhadap benda yang dijadikan objek fidusia tersebut berada di tangan penerima fidusia. Dengan keadaan seperti tersebut di atas,
kreditur
sebagai penerima jaminan menganggap bahwa debitur sebagai pemberi jaminan telah melakukan wanprestasi, sehingga kreditur dapat membatalkan perjanjian pemberian kredit dan mewajibkan kepada debitur melunasi semua hutangnya serta bunga yang telah diperjanjikan kepada kreditur.