BAB II TINJAUAN TERHADAP LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA
A. Sejarah dan Pengertian Lembaga Jaminan Fidusia Fidusia 28 menurut asal katanya berasal dari kata “fides” tabg berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitor (pemberi Fidusia) dan kreditor (penerima Fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi Fidusia percaya bahwa penerima Fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya, penerima Fidusia percaya bahwa pemberi Fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada pada kekuasaannya. Pranata jaminan Fidusia telah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum romawi. Ada dua bentuk jaminan Fidusia, yaitu, jaminan Fidusia cum creditore dan Fidusia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor, dikatakan bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditor sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihakn kembali kepemilikan tersebut kepada debitor apabila hutangnya sudah dibayar lunas. Kalah dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka dikatakan bahwa debitor mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada
28
Gunawan Widajaj dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 113-122
Universitas Sumatra Utara
kreditor untuk kepentingan kreditor sendiri (sebagai jaminan pemenuhan perikatan oleh kreditor). Timbulnya fiducia cum creditore disebabkan kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan. Pada waktu itu dirasakan adanya suatu kebutuhan akan adanya hukum jaminan ini yang belum diatur oleh konstruksi hukum. Dengan fiducia cum creditore maka kewenangan yang dimiliki kreditor akan lebih besar, yaitu sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitor percaya bahwa kreditor tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada kepercayaan dan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum. Debitor tidak akan berbuat apa-apa jika kreditor tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan itu. Hal ini merupakan kelemahan Fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum jaminan yang dikenal sekarang. Karena adanya kelemahan itu maka ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak-hak jaminan, Fidusia menjadi terdesak dan bahkan akhirnya hilang sama sekali dari Hukum Romawi. Jadi Fidusia timbul karena memang ada kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan dan kemudian lenyap karena dianggap tidak lagi dapat memenuhia kebutuhan tersebut. Masyarakat Romawi pada waktu itu menganggap bahwa gadai dan hipotek dianggap lebih sesuai karena adanya aturan tertulis sehingga lebih memberikan kepastian hukum. Gadai dan hipotik juga memberikan hak-hak yang seimbang antara kreditor dan debitor. Demikian pula hak-hak dari pihak ketiga akan lebih terjamin kepastiannya karena ada aturannya pula. Masyarakat Romawi juga mengenal satu pranata lain disamping pranata jamian Fidusia
di atas, yaitu
Universitas Sumatra Utara
pranata titipan yang disebut fiducia cum amino contracta yang artinya janji kepercayaan yang dibuat dengan teman. Pranata ini pada dasarnya sama dengan pranata “trust” sebagaimana dikenal dalam system hukum common law. Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus mengadakan perjalanan ke luar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan kepemilikan benda tersebut
kepada
temannya
dengan
janji
bahwa
teman
tersebut
akan
mengembalikan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya sudah kembali dari perjalanannya. Dalam fiducia cum amino contracta ini kewenangan diserahkan kepada pihak penerima akan tetapi kepentingan tetap ada pada pihak pemberi. Perkembangan selanjutnya adalah ketika hukum Belanda meresepsi hukum Romawi, dimana hukum Fidusia sudah lenyap Fidusia tidak ikut diresepsi. Itulah sebabnya mengapa dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan pengaturan tentang Fidusia. Seterusnya sesuai dengan asas konkordansi, dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia yang memberlakukan BW juga tidak ditemukan pengaturan tentang Fidusia. 1.
Di Belanda Dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda, pranata jaminan jaminan yang
diatur adalah gadai untuk barang bergerak dan hipotek untuk barang tidak bergerak. Pada mulanya kedua pranata jaminan dirasakan cukup memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu dalam bidang prekreditan. Tetapi karena terjadi krisis pertanian yang melanda Negara-negara Eropa pada pertengahan sampai akhir abad ke- 19, terjadi penghambatan pada perusahaan-perusahaan pertanian untuk memperoleh kredit. Pada waktu itu tanah sebagai jaminan kredit menjadi agak kurang popular, dan kreditor menghendaki jaminan gadai sebagai
Universitas Sumatra Utara
jaminan tambahan di samping jaminan tanah tadi. Kondisi seperti ini menyulitkan perusahaan-perusahaan pertanian. Dengan menyerahkan alat-alat pertaniannya sebagai jaminan gadai dalam pengambilan kredit sama saja dengan bunuh diri. Apalah artinya kredit yang diperoleh kalau alat-alat pertanian yang dibutuhkan untuk mengolah tanah sudah berada dalam penguasaan kreditor. Terjadilah perbedaan kepentingan antara kreditor dan debitor yang cukup menyulitkan kedua pihak. Untuk melakukan gadai tanpa penguasaan terbentur pada ketentuan 1152 ayat (2) BW yang melarangnya. Untuk mengaasi hal tersebut dicarilah terobosan-terobosan dengan mengingat konstruksi hukum yang ada, yaitu jual berli dengan hak membeli kembali dengan sedikit penyimpangan. Bentuk ini digunakan untuk menutupi suatu perjanjian peminjaman dengan jaminan. Pihak penjual (penerima kredit) menjual barangnya kepada pembeli (pemberi kredit) dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu tertentu penjual akan membeli kembali barang-barang itu dan yang penting barang-barang tersebut akan tetap berada dalam penguasaan penjual dengan kedudukan sebagai peminjam pakai. Untuk sementara hal ini dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi pada waktu itu. Tetapi hal itu bukan bentuk jaminan yang sebenarnya, tentu akan timbul keragu-raguan dalam prakteknya. Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai dikeluarkannya keputusan oleh Hoge Road (HR) Belanda tanggal 29 Januari 1929 yang terkenal dengan nama Bierbrouwerij Arrest. Kasusnya adalah sebagai berikut: NV Heineken Bierbrouwerij Maatschappij meminjamkan uang sejumlah f 6000 dari P. Bos pemilik warung kopi “Sneek”, dengan jaminan berupa hipotek keempat atas tanah
Universitas Sumatra Utara
dan bangunan yang digunakan Bos sebagai tempat usahanya. Untuk lebih menjamin pelunasan hutangnya, Bos menjual inventaris warungnya kepada Bierbrouwerij dengan hak membeli kembali dengan syarat bahwa inventaris itu untuk sementara dikuasai oleh Bos sebagai peminjam pakai. Pinjam pakai itu yang akan berakhit jika Bos tidak membayar utang pada waktunya atau bilamana Bos jatuh pailit. Ternyata Bos benar-benar jatuh pailit dan hartanya diurus oleh curator kepailitan (Mr. AW de Haan), termasuk inventaris tadi. Bierbrouwerij kemudian menuntut kepada curator kepailitan untuk menyerahkan inventaris tadi dengan sitaan revindikasi. Kurator menolak dengan alasan bahwa perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah tidak sah, karena hanya berpura-pura saja. Dalam gugatan rekonversi kurator kepailitan menuntut pembatalan perjanjian jual beli dengan membeli kembali tersebut. Dalam sidang pengadilan tingkat pertama, pengadilan Rechbank dalam putusannya menolak gugatan Bierbrouwerij dan dalam rekonversi mengabulkan gugatan rekonversi dengan membatalkan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut. Alasannya adalah para pihak hanya berpura-pura mengadakan perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali tersebut, yang sesungguhnya terjadi adalah perjanjian pemberian jaminan dalam bentuk gadai. Akan tetapi gadai tersebut adalah tidak sah karena barangnya tetap berada dalam kekuasaan pemberi gadai sehingga bertentangan dengan larangan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Perdata (1198 ayat (2) BW). Atas putusan ini Bierbrouwerij menyatakan banding yang keputusannya adalah menyatakan jual beli dengan hak membeli kembali tersebut adalah sah. Dengan demikian Kurator Kepailitan diperintahkan untuk menyerahkan inventaris
Universitas Sumatra Utara
warung kopi Bos kepada Bierbrouwerij. Atas keputusan ini Kurator Kepailitian menyatakan kasasi dan dalam putusannya Hoge Raad menyatakan bahwa yang dimaksud oleh para pihak adalah perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan dan merupakan title yang sah. Kurator Kepailitan diperintahkan untuk menyerahkan inventaris Bos kepada Bierbrouwerij. Hal ini telah melahirkan pranata jaminan dengan jaminan penyerahan hak milik secara kepercayaan yang dikenal dengan Fidusia. 2.
Pengaturan Di Indonesia Sebelum Diundangkannya UU. No. 42 Tahun 1999 Pada abad ke-19, krisis yang terjadi di Eropa membawa imbas pada
Indonesia sebagai Negara jajahan Belanda. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57). Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman hutang yang diberikan dengan jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan debitor. Seperti halnya di Belanda, keberadaan Fidusia di Indonesia diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum possessorium ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau diteliti dan dicermati, dalam hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi gadai). Dengan demikian pemberi gadai tetap menguasai
Universitas Sumatra Utara
tanah tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya keputusan HGH itu, Fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping gadai dan hipotik. Dalam perjalanannya, Fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan peneriman Fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima Fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja. Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai obyek Fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa Fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No.5 Tahun 1960 yang lebih dikenal dengan UUPA) perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah. Sistem hukum adat dan system hukum perdata barat sangan dominant mempengaruhi perkembangan hukum jaminan nasional, antara lain bahwa dalam Hukum Adat membedakan benda dalam dua golongan yaitu benda tanah dan benda bukan tanah, sedangkan hukum Perdata Barat yaitu hukum Perdata yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membagi benda dalam benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak berwujud, perbedaan
Universitas Sumatra Utara
tersebut sangat berpengaruh pada lembaga jaminan untuk jenis-jenis benda tersebut diatas. 29 Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Mochtar Kusuma Atmadja 30, bahwa dalam rangka pembentukan hukum, maka kesepakatan untuk menetapkan hukumhukum mana yang perlu diadakan menarik untuk dibicarakan, sebagian pakar hukum berpendapat bahwa hukum perikatan atau kontrak sudah sangat mendesak (urgent) untuk diganti, sebagian pakar hukum lainnya berpendapat disamping hukum perikatan juga sudah perlu diganti perihal hukum perorangan (Van Personem), hukum kebendaan (Van Zaken), hukum jaminan, dilain pihak ada yang menganggap bahwa hukum waris nasional sudah waktunya untuk digarap. Dalam
rangka
menjaga
terjadinya
kekosongan
hukum,
maka
dirumuskanlah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 31, dengan Pasal tersebut berlakulah diantaranya, hukum jaminan yang didasarkan pada hukum barat yang di atur dalam KUHPerdata dan hukum Jaminan yang didasarkan pada hukum adat, selain hukum jaminan yang didasarkan pada hukum Islam, akan tetapi dalam prakteknya pemakaian hukum jaminan didominasi oleh ketentuan yang diatur dalam Kitan Undang-undang Hukum Perdata Barat (BW), walaupun secara local di wilayah tertentu berlaku pula hukum jaminan yang didasarkan pada Hukum Adat setempat dan Hukum Islam, sehingga dalam perkembangan pembentukan hukum jaminan nasional pengaruh dari sistem hukum tersebut di atas mewarnai hukum jaminan di Indonesia. 29
Retnowulan Sutanto, “Lembaga Jaminan Kredit dan Pelaksanaannya secara Paksa”, makalah dalam seminar 150 Tahun Kitab Undang-undang Hukum Perdata, BPHN, Jakarta 1999, hal: 2 30 Mochtar Kusuma Atmadja, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional”, makalah Lokakarya, Jakarta: BPHN, Hal. 19 31 Amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002 Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 diubah menjadi Aturan Peralihan Pasal I UUD 1945, “Segala Peraturan Perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Universitas Sumatra Utara
Dalam hukum jaminan dikenal adanya jaminan secara umum dan secara khusus, jaminan secara umum yaitu jaminan yang timbul dari undang-undang, sedangkan jaminan secara khusus merupakan jaminan yang timbul dari suatu perjanjian baik berupa perjanjian kebendaan maupun perjanjian perorangan, perjanjian-perjanjian jaminan khusus tersebut sifatnya accessoir terhadap perjanjian pokoknya. Dengan adanya jaminan umum, maka hukum jaminan telah memberikan perlindungan berupa jaminan secara umu kepada kreditor bagi pelunasan utang debitor, akan tetapi untuk memberikan rasa aman (kepastian), maka dalam praktek sering dibuat perjanjian jaminan, baik berupa perjanjian jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan 32. Dilain pihak akselerasi perkembangan ekonomi dan dinamika global berpengaruh pula terhadap perkembangan hukum jaminan di Indonesia, maka dalam pembentukan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusuma Atmadja 33, perkembangannya lebih cenderung membuat Kodifikasi Partial (sebagian), sehingga pemikiran untuk mengadakan kodifikasi konprehensip sudah ditinggalkan, oleh karena itu dalam pembentukan dan pengembangan hukum jaminan arahnya mengikuti kodifikasi parsial tersebut. Selain itu dalam hubungannya dengan hukum jaminan, maka akan terkait dengan hukum benda tanha dan benda bukan tanah, sebagaimana dimaklumi bahwa dalam sistem hukum adat dianut asas pemisahan horizontal, pada asas pemisahan horizontal prinsipnya memisahkan kepemilikan benda tanah dan benda bukan tanah yang melekat pada tanah tesebut, sehingga pemilik tanah tidak selalu
32
Lihat Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Moctar Kusuma Atmadja “Peranan Hukum Dalam Perundangan Nasional”, lokakarya, Jakarta: BPHN, Hal. 19 33
Universitas Sumatra Utara
menjadi pemilik rumah, tanam-tanaman yang ada di atas tanah, 34 sehingga dalam hukum jaminan baik hukum jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan idealnya digabungkan dalam suatu Undang-undang, alasannya meskipun jaminan perorangan merupakan salah satu jenis perjanjian khusus, tetapi tetap merupakan bagian hukum jaminan, oleh karenanya dalam satu Undang-undang yang mengatur hukum jaminan akan diatur dan ditemui ketentuan jaminan umum dan jaminan khusus, sehingga secara teoritis dalam hukum jaminan akan tersusun secara sistematis adanya Ketentuan Umum, Lembaga Jaminan Kebendaan, Lembaga Jaminan Perorangan
dan Ketentuan Hukum
Acara. Perkembangan hukum nasional, dalam hal ini kaitannya dengan perkembangan hukum jaminan, khususnya perkembangan lembaga jaminan di Indonesia dapat diamati dari perubahan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan, hal ini terjadi karena pertimbangan kebutuhan hukum, akibat dari percepatan perekonomian, selain itu perubahan hukum diadakan karena negara-negara bekas jajahan memiliki kesadaran tinggi untuk memperbaiki sistem hukumnya, maka hukum jaminan dibutuhkan karena berkaitan dengan aspek ekonomi, juga untuk kepastian hukum. Dilain pihak perkembangan hukum jaminan, jika diamati dari sudut substansi hukum walaupun ada kalanya menguntungkan menggunakan model-model
asing
yang
berupa konsepsi,
proses-proses dan lembaga-lembaga hukumnya, pada isis lain ada juga yang menghambat karena mungkin saja tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat dimana hukum itu akan diberlakukan, oleh karena itu diperlukan 34
BPHN, “Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan tentang Hukum Benda, Hukum Jaminan dan Hukum Bertentangga”, (Jakarta:BPHN, 1996), hal. 70
Universitas Sumatra Utara
melakukan adopsi terhadap hukum asli dari masyarakat yang bersangkutan, oleh karenanya sangat perlu diadakan kombinasi konsepkonsep, prosedur dan lembagalembaga hukum tersebut, sehingga hukum jaminan di Indonesia, selain dapat diterima oleh masyarakat asli, juga dapat mengimbangan pergaulan International. Dengan demikian secara teoritis perkembangan hukum jaminan, khususnya lembaga jaminan di Indonesia akan mencakup antara lain; perkembangan substansi hukumnya; perkembangan lembaga jaminan; perkembangan obyek (benda-benda) dan subyeknya; perkembangan prosedurnya yang berkaitan dengan pendaftaran, masa berlaku, hapus dan eksekusinya serta berhubungan dengan perkembangan lembaga-lembaga penunjang hukum jaminan di Indonsia. Bentuk awal dari Fidusia yang dikenal sekarang ini ialah fiducia cum creditore. Penyerahan hak milik pada fiducia cum creditore ini terjadi secara sempurna, sehingga penerima Fidusia (kreditor) berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna juga. Sebagai pemilik tentu saja ia bebas berbuat apa pun terhadap barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban mengembalikan hak milik atas barang tadi kepada debitor pemberi Fidusia, apabila pihak yang belakangan ini telah melunasi utangnya kepada kreditor. Lebih daripada itu tidak ada pembatasan-pembatasan lain dalam hubungan fiducia cum creditore. Hak milik di sini bersifat sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu. Untuk pemilik Fidusia, hak miliknya digantungkan pada syarat putus (ontbindende voowaarde). Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi Fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi)
(A.
Veenhoven) 35 35
Tiong Oey Hoey, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 47
Universitas Sumatra Utara
Akan tetapi, pendapat tersebut tidak member kejelasan bagaimana kedudukan pemegang Fidusia selama syarat putus yang dimaksud belum terjadi. Meskipun demikian tidak ada bedanya dengan akibat dari jualbeli dengan hak membeli kembali, di mana kalau penjual (debitor) tidak membeli kembali barangnya maka pembeli (kreditor menjadipemilik barang yang telah dijual tadi. Lagi pula pendapat tersebut bertentangan dengan sistem hukum jaminan di mana dalam hukum jaminan tidak diperbolehkan seorang penerima jaminan (kreditor) menjadi pemilik dari barang jaminan, bahkan setelah debitor wanprestasi pun kreditor dilarang menjadi pemilik barang jaminan. Setelah debitor wanprestasi, kreditor hanya berhak menjual secara umum barang jaminan dan hasil penjualan itu dipergunakan untuk melunasi hutangnya. Pasal 1155 dan 1156 KHUPerdata mengenai pelaksanaan hak kreditor atas barang jarninan apabila debitor lalai memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, telah diakui pula bahwa dianalogkan ketentuanketentuan tentang gadai dapat dipergunakan bagi Fidusia. Maka kedudukan kreditor selama debitor belum lalai rnemenuhi kewajibannya ialah bahwa kreditor berkedudukan sebagai penerima jaminan, hanya saja karena dijaminkan berupa hak milik maka reditur dapat melakukan beberapa tindakan yang dipunyai oleh pemilik, seperti pengawasan atas barang jaminan. Hal yang demikian itu memang diperlukan, oleh karena kreditor sebagai penerima jaminan hak milik tidak menguasai sendiri barang jaminan melainkan dibiturlah yang menguasainya. Dengan demikian, kreditor sebagai orang yang berkepentingan atas barang jaminan akan tetapi kewenangan atas barang jaminan itu dikuasakan kepada
Universitas Sumatra Utara
debitor, sudah sepatutnya mempunyai hak melakukan pengawasan atas baranag jaminan. Penyerahan hak milik kepada kreditor dalam fiduciaire eigeidoms overdracht bukanlah suatu penyerahan hak milik dalam arti yang sesungguhnya seperti halnya dalam jualbeli dan sebagainya, sehingga kreditor tidak akan menjadi pemilik yang penuh (volle eigenaar), ia hanyalah seorang bezitloos eigenaar atas barang-barang jaminan, dan karena sesuai dengan maksud dan tujuan perjanjian tentang jaminan itu sendiri, kewenangan kreditor hanyalah setarap dengan kewenangan yang dimiliki oleh seorang yang berhak atas barangbarang jaminan. Bahwa kedudukan kreditor penerima Fidusia itu adalah sebagai pemegang jaminan, sedangkan kewenangan sebagai pemilik yang dipunyainya ialah kewenangan yang masih berhubungan dengan jaminan itu sendiri, oleh karena itu, dikatakan pula kewenangannya sebagai pemilik terbatas:
Pengawasa dari kreditor terhadap barang jaminan yang dikuasai oleh debitur, secara teoritis hal itu sulit dilakukan apalagi kalau debitornya ada beberapa seperti halnya pada bank. Terhadap Fidusia barang-barang yang difidusiakan dikuasai debitor untuk dipergunakan sendiri bukan untuk dipindahtangankan kepada pihak lain, sehingga jumlahnya tetap dan pengawasan terhadap barang-barang tersebut relatif lebih mudah dibandingkan pada Fidusia terhadap barang-barang perdagangan dimana jumlahnya selalu berubah karena pemindahantanganan. Akan tetapi, cara pengawasannya adalah sama, yaitu bahwa jumlah barang-barang yang ada pada tiap-tiap waktu tertentu (tiap bulan misalnya) harus lebih besar daripada sisa kredit yang menjadi tanggungan dibitur.
Universitas Sumatra Utara
Dalam
Fidusia,
debitor
melalui
penyerahan
secara
constutuutm
possessorium tetap menguasai barang jaminan. Mengenai penguasaan ini pun dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama kalau yang difidusiakan adalah barang-barang inventaris maka debitor menguasai barang jaminan, atas dasar perjanjian pinjam pakai dengan kreditor yang kedua kalau yang difidusiakan adalah barang-barang dagangan maka debitor menguasai barang jaminan atas dasar konsinyasi (consignatie) atau penitipan. Pada bentuk yang pertama (pinjam pakai) debitor tidak diberi kekuasaan untuk mengalihkan atau menjuai barang jaminan sedangkan pada bentuk yang kedua ia diberi kekuasaan untuk itu akan tetapi hasil penjualan sebagian atau seluruhnya (menurut yang diperjanjikan) harus disetorkan kepada debitur. Kedua bentuk ini logis sekali kalau diingat bahwapada barang inventaris diperlukan debitor untuk pakai saja sedangkan barang dagangan justru ia diperlukan untuk mengalihkan (misalnya dijual) sehingga sudah seharusnya kekuasaan untuk itu diberikan kepada debitor. Apabila terjadi penjualan atas barang inventaris yang dijaminkan secara
Fidusia maka pembeli dilindungi sesuai Pasal 1977
KUHPerdata. Oleh karena itu ia sebagai pihak ketiga boleh menganggap bahwa pihak yang menguasasi barang (bergerak) sebagai pemilik dan tidak ada kewajiban bagi pihak ketiga untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah benar pihak yang menguasai itu benar-benar pemilik. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan antara debitor dengan pihak ketiga adalah sah. Kreditor dalam hal demikian dapat dianggap wanprestasi dan selanjutnya ia dapat membatalkan perjanjian pemberian kredit serta mewajibkan debitor melunasi utangnya secara sekaligus. Jika debitor
Universitas Sumatra Utara
melakukan penyerahan seeara constitutum possessorium sekali lagi kepada pihak ketiga sehingga barang yang dikuasai oleh debitor dijaminkan secara Fidusia terhadap dua kreditor. Bahwa penyerahan barang bergerak yang dilakukan oleh bukan pemiliknya kepada seorang penerima yang berikad baik adalah sah. Akan tetapi suatu penyerahan tidak nyata (constitutum possessorium) dapat dibenarkan jika orang yang menyerahkan barang tersebut mempunyai kekuasaan untuk menyerahkannya atas dasar satu hubungan hukum dengan pihak lain 36. Kreditor dalam suatu perjanjian utang piutang dengan jaminan Fidusia dapat dikatakan tidak rnungkin untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah debitor benar-benar pemilik artinya orang yang dapat bertindak bebas atas barang-barang yang dijaminkan itu, terutama karena barang-barang yang dijaminkan itu berupa barang bergerak. Kreditur dalam pada itu hanya dapat meminta kepada debitor untuk berjanji bahwa ia adalah benar-benar orang yang berhak untuk berbut bebas atas barang yang dijaminkan itu. Selaku peminjam pakai suatu barang debitor secara umum berkewajiban memelihara barang jaminan artinya selaku seorang pemilik barang memelihara barangnya sendiri. Kewajiban lain ialah bahwa pada barang-barang inventaris ia harus menjaga agar jumlahnya tidak berkurang, sedangkan pada barang-barang perdagangan ia harus mcnjaga agar sisa barang tersebut melebihi nilai kredit yang masih tersesi, sampai jumlah tertentu sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Kadang-kadang, kreditor tentunya meminta agar barang-barang jaminan yang dikuasai debitor itu diasuransikan, atau mungkin pula kreditor yang
36
Ibid, hlm. 56
Universitas Sumatra Utara
mengasuransikan tetapi premi asuransi tetap dibayar oleh debitor. Kalau dilihat kewajiban-kewajiban tersebut di atas dapatlah dikatakn bahwa debitor berkewajiban menanggung semua biaya pengeloaan barang jaminan, kreditor hanya "terima bersih" saja. Kewajibankewajiban yang demikian itu dapat dimaklumi, karena secara social ekonomis debitorlah yang berkepentingan atas barang tersebut. Kreditor hanya berkepentingan atas pembayaran kembali apa yang telah dituangkan kepada debitornya. Kemungkinan yang paling banyak terjadi adalah kepailitan debitor dengan adanya kepailitan ini maka semua hutang si debitor menjadi dapat ditagih. Adanya kepailitan debitor, mewajibkan penyelesaikan hubungan hukum antara debitor dan kreditor, bukan hanya segi abligator juga segi zakelijk. Mengenai perjanjian Fidusia tersebut bersifat abligator atau zakelijk membawa serta akibat hukum dan cara penyelesaian yang berbeda, manakala terjadi kepailitan pada debitor. Jika berpegang pada pendapat bahwa perjanjian Fidusia menampakan perjanjian abligator, maka perjanjian tersebut hanya melahirkan hak-hak dan kewajibankewajiban yang dapat dipertahankan antara mereka saja, tidak berlaku atau tidak dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga. Maka konsekuensinya jika terjadi kepailitan debitor, maka benda-benda jaminan yang berada padadebitor, karena penyerahan secara canstitutum possessorium, berada di luar kepailitan. Kreditor mempunyai hak sepenuhnya terhadap benda tersebut untuk pemenuhan piutangnya. Kreditor mempunyai hak sepenuhnya terhadap benda tersebutuntuk pemenuhan piutangnya. Kreditor tidak terikat kepada ketentuan-ketentuan yang bersifat zakelijk sebagaimana berlakupada gadai dan hipotik.
Universitas Sumatra Utara
Cara pemenuhan piutangnya dan cara penyelesaian hubungan hukumnya dalam kepailitan tersbut tergantung pada ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diperjanjikan antara para pihak. Misalnya saja sikreditor dapat meanahan benda jaminan tersebut, kemudian diperhitungkan selisih harganya benda jaminan dengan jumlah piutangnya, atau menjual benda jaminan tersebut secara di bawah tangan atau dimuka umum, kemudian setelah diperhitungkan dengan piutangmya, sisanya dikernballikan pada debitor. Sedangkan bagi mereka yang berpendapat bahwa perjanjian Fidusia itu melahirkan hak yang zakelijk bagi kreditor, maka hak zakelijk tersebut dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, dan benda-benda jaminan yang berada pada debitor masuk dalam boedel kepailitan. Untuk pemenuhan piutangnya kreditor dapat bertindak terhadap benda-benda jamihan tersebut seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dia adalah "separatist" yaitu tergolong kreditor yang mempunyai kedudukan terkuat, seperti halnya pemegang gadai dan hipotik, yang pemenuhan piutang-piutangnya harus lebih didahulukan dari kreditor-kreditor yang lainnya. Menurut ketentuan undangundang, pemegang gadai dan hipotik, jika terjadi kepailitan dari debitor dapat ditetapkan melaksanakan haknya seperti seolah-olah tidak terjadi kepailitan.. Kedudukan, pemegang Fidusia dalam. kepailitan adalah sama dengan kedudukan pemegang gadai dan hipotik, yang melaksanakan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri terhadap benda-benda jaminan manakala debitor tidak memenuhi kewajibanya. Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-undang kepailitan, kreditor harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, terhitung sejak mulai insolvasi. Jika ketentuan tersebut tidak dilaksanakan oleh kreditor, maka
Universitas Sumatra Utara
curator kepailitan berhak menjual benda-benda jaminan tersebut dengan memperhitungkan piutang dari kreditor dari hasil penjualan tersebut. Kemungkinan benda-benda jaminan tidak mencukupi untuk pemenuhan piutang kreditor, maka dalam keadaan demikian seperti halnya dengan pemegang gadai, ia berhak untuk bagian piutang yang belum terpenuhi itu bertindak sebagai kreditor konkurent. Jika perjanjian Fidusia ini dianggap menimbulkan hal yang bersifat zakelijk, maka konsekuensinya adalah hak-hak atas benda jaminan itu dapat dipertahankan terhadap pihak ketiga, jadi juga terhadap curator kepailitan. Kurator kepailitan tidak dapat menarik benda-benda tersebut (revindikateai) dari kekuasaan debitor, selama debitor tetap emenuhi kewajibannya dengan baik, yaitu membayat hutang-hutangnya kepada kreditor. Debitor
masih
tetap
dapat
menguasai
bendanya,
memakainya,
mempertahankannya terhadap curator dan para kreditor si pailit. Benda-benda tersebut jatuh dalam boedel kepailitan. Pada saat terjadinya kepailitan kreditor, jika di debitor melunasi hutang-hutangnya, maka ia akan memperoleh kembali bendanya yang dipakai sebagai jaminan. Jika debitor pada saat kepailitan kreditor tidak melunasi hutang-hutangnya, maka kurator kepailitan dapat menjual bendabendanya,
kemudian
sisanya
setelah
diperhitungkan
dengan
hutangnya
dikembalikan kepada debitor. Pendapat lain yang beranggapan bahwa perjanjian Fidusia itu melahirkan hak-hak yang bersifat pribadi (personnlyk/obligatoir) dan merupakan perjanjian yang obligatoir, menyatakan bahwa kreditor adalah pemilik benda-benda jaminan. Pihak ketiga tidak berurusan dengan benda jaminan tersebut,
Universitas Sumatra Utara
Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian khusus yang berbeda dengan gadai. Cirriciri khusus yang ada dalam gadai tidak terdapat dalam Fidusia, oleh karena itu dalam kepailitan ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa tidak dapat diterapkan. Cirri khusus dari hak eigendom pada Fidusia,
yang
membedakannya dengan gadai ialah cara kreditor melaksanakan penahanan piutangnya terhadap debitor, ya.itu dapat menguasai/menahan bendanya dengan mengganti harga transaksi tersebut.
B. Ciri-ciri Lembaga Jaminan Fidusia Ketentuan Fasal 1 angka 2 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakarr bahwa jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Jaminan Fidusia yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia terhadap kreditor lainya. Ini berarti Undang-undang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan jaminan Fidusia adalah agunan atas kebendaan atas jaminan kebendaan (Zukelijke zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima Fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailatan dan atau likuidasi pemberi Fidusia 37. Dengan demikian, tidak alasan
37
Pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia
Universitas Sumatra Utara
untuk menyatakan bahwa jaminan Fidusia hanya merupakan perbankan obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat “persoonlijk" (perorangan) bagi kreditor. Dalam Pasal 4 Undang-undang Jaminan Fidusia juga secara tegas menyatakan bahwa jaminan Fidusia merupakan pajanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu
perjanjian
assesoir, perjanjian jaminan Fidusia memiliki sifat sebagai berikut: 1.
Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok
2.
Keabsahannya, semata-mata ditentukan oleh sab tidaknya perjanjian pokok.
3.
Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok tefah atau tidak dipenuhi.
C. Objek dan subjek Lembaga Jaminan Fidusia Sebelum bertakunya undang-undang Fidusia maka menjadi objek jaminan. Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory). Benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kenderaan bermotor. Tetapi dengan berlakunya undang-undang Fidusia, maka objek jaminan Fidusia diberikan pengertian yang luas: berdasarkan Pasal 1 butir 2 Undang-undang Fidusia, Objek jaminan Fidusia dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu: 1. Benda bergerak; baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud;
Universitas Sumatra Utara
Semua benda bergerak dagat dijatninkan dengan jaminan. kenderaan: bermotor, barang-barang persediaan, hasil tanaman dan Sedangkan
barang
bergerak
tidak
berwujud
contohnya
lainnya. adalah
piutang/tagihan. 2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. banguman yang tidak dibebani tanggungan disini maksudnya adalah banguman yang berdiri di atas tanah yang bukan tanah hak milik hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara. Sebagai contohnya yaitu bangunan seperti gedung yang berdiri di atas tanah milik orang lain, dimana gedung tersebut dijaminkan, akan tetapi tanahnya tidak, karena gadai, hipotik dan hak tanggungan tidak bisa menampung kebutuhan jaminan untuk itu, maka Fidusia bisa menjadi jalan keluarnya. Salah satu syarat penting lainnya adalah bahwa benda yang menjadi objek jaminan Fidusia harus bisa dimiliki dan dapat dialihkan. Meraurut Pasal 7 Undang-undang Fidusia, jaminan Fidusia dapat digunakan untuk menjamin pelunasan utang baik yang sudah ada maupun yang akan ada, baik yang jumlahnya sudah ditentukan maupun yang pada saat eksekusi nantinya dapat ditentukan.Ketentuan dalam Pasa1 7 Undang-undang Fidusia, dimaksudkan untuk menampung praktek yang selama ini banyak muncul, yaitu kredit-kredit yang menggunakan rekening Koran 38. Ketika pemberian jaminan Fidusia diberikan,
38
Menurut Mariam Darus Badruizaman dalam bukunya, Perjanjian Kredit Bank, Cet. 5 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), halk. 47, Rekening Koran artinya perhitungan pos debet dan kredit. Di dalam rekeningn Koran bank, pihak bank membukukan perhitungnan harian tentang pengambilan dan setoran dari pemegang rekening Koran, dalam buku tertentu. Dan dari hubungan rekening Koran ini ditentukan saldo yang dapat ditagih. Sedangkan Johanes Ibrahim dalam bukunya, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Komsumtif Dalam Perjanjian Kredit Bank (Prespektif Hukum dan Ekonomi), Bandung: Mandar Maju, 2004, ha. 73 memberikan defenisi Rekening Korang adalah fasilitas yang diberikan dengan menggunakan saranan piñata hokum berupa rekening Koran
Universitas Sumatra Utara
utang-utang tersebut belum ada, tetapi telah diperjanjiakan. Jadi, induk yang akan melahirkan utang itu sudah ada, tetapi utangnya belum ada. Pasal 9 Undang-undang Fidusia mengatakan bahwa: Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada ada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa objek jaminan Fidusia bisa hanya berupa satu benda atau lebih dari satu benda, misalnya lima kendaram bermotor. Benda jaminan itu bida merupakan benda tertentu atau disebutkan berdasarkan jenis, seperti Kopi Robusia A, beras Cianjur. Objek jaminan Fidusia juga dapat berupa benda bergerak tidak berwujud sepeati piutang/tagihan baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Selain itu untuk rnenghindarkan kesulitan dan keruwetan dikemudian hari, dalam PasaI 10 Undang-undang Fidusia diatetapkan bahwa jaminan Fidusia juga meliputi hasil dari benda jaminan Fidusia dan juga klaim asuransi. Sebelum berlakunya UU No. 42 tahun 1999, yang menjadi objek jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, Peralatan mesin dan kenderaan bermotor. 39 Tetapi dengan berlakunya UU No. 42 Tahun 1499, yang dapat menjadi objek jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 1 ayat 4, Pasal 10 dan Pasa120 UU No. 42 Tahun 1999, benda-benda yang menjadi objek jaminan objek Fidusia adalah : 40 1.
Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum;
2.
Dapat berupa benda berwujud;
39 40
Salim, Op. cit, hal. 64 Munic Fuady, Op. cit, hal. 23
Universitas Sumatra Utara
3.
Benda berwujud termasuk piutang;
4.
Benda bergerak
5.
Benda tidak bergerak yang tidak dapai diikat dengan Hak Tanggungan ataupun hipotek.;
6.
Baik benda yang ada ataupun akan diperoleb kemudian,
7.
Dapat atas satu satuan jenis benda;
8.
Dapat juga atas lebih dari satuan jenis benda;
9.
Termnasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan Fidusia;
10. Benda persediaan. Bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan di sini dalam kaitannya dengan rumah susun sebagaimana diatur dalarn undagg-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan yang dapat menjadi pemberi Fidusia adalah arang perorang atau koperasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan Fidusia, sedangkan penerirna Fidusia adaiah oranag-orang atau perorangan yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin pendaftaran jaminan Fidttsia.
D. Proses Terjadinya Lembaga Jaminan Fidusia Sebagaimana perjanjian jaminan hutang lainnya, seperti perjanjian gadai, hipotik, atau jaminan Fidusia, maka perjanjian Fidusia juga merupakan perjanjian assessoir (perjanjian ikatan). Maksudnya adalah perjanjian assessoir ini tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/ membuntuti perjanjian lainnya yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian hutang piutang. 41
41
Munir Fuady, Op. cit. hal. 19
Universitas Sumatra Utara
Ada beberapa tahapan formal yang melekat dalam jaminan Fidusia, di antaranya adalah: 42 1.
Tahapan pembebanan dengan pengikatan dalam suatu akta notaris.
2. Tahapan pendaftaran atas benda yang telah dibebani tersebut oleh penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya kepada kantor pendaftaran Fidusia, dengan melampirkan pernyataan pendaftaran. 3. Tahapan administrasi, yaitu pencatatan jaminan Fidusia dalam buku daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. 4. Lahirnya jaminan Fidusia yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam buku daftar Fidusia. Pembebanan kebendaan dengan jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia Yang merupakan alaa jaminan Fidusia. Dalam akta jaminan Fidusia selain dicantumkan hari tanggal, juga dicantumkan mengenai (jam) pembuatan akta tersebut. Akta jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat: 43 1. Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia Identitas tersebut meliputi nama lengkap, agama, tempat tinggal, atau tempat kedudukan dan tanggal 1ahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan pekerjaan. 2. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia, yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan Fidusia. 3. Uraian rnengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia. 42
Muhammad Jumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 417 43 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op. cit, hal. 142
Universitas Sumatra Utara
Uraian
mengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia cukup
dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut, dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya: jika benda selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan, haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda tersebut. 4. Nilai penjaminan 5. Nilai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia. Akta jaminan Fidusia harus dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang berwenang. Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para pengganti haknya. Itulah mengapa sebabnya Undang-undang Janinan Fidusia menetapkan perjanjian Fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Hutang
yang pelunasannya
dapat dijamin dengan jaminan
Fidusia
adalah: 44 1. Hutang yang telah ada 2. Hutang yang akan ada di kemudian hari, tetapi telah diperjanjian dan jumlahnya sudah tertentu. 3. Hutang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi. Misalnya, hutang kemudian.
44
Undang-undaang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Pasal 7
Universitas Sumatra Utara
Pasal 8 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa: "Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dari penerima Fidusia."' Kuasa adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari penerima Fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan jaminan Fidusia dari pemberi Fidusia. Sedangkan yang dimaksud dengan wakil adalah orang yang secara hukum dianggap sebagai mewakili penerima Fidusia dalam penerimaan jaminan Fidusia, misalnya Wali Amanat dalam rnewakili kepentingan pemegang obligasi. Pasal angka I Undang-undang Jaminan Fidusia menyebutkan bahwa: "Jaminan Fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jarninan diberikan maupun yang diperoleh kemudian". Hal ini berarti benda tersebut demi hukum akab dibebani dengan jaminan Fidusia pada saat tenda tersebut tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Khusus rnengenai hasil atau ikutan dari kebendaan yang menjadi objek jaminan Fidusia. Pasal 10 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa kecuali diperjanjikan lain: 1.
Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek. jaminan Fidusia.
2.
Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan Fidusia diasuransikan. Ketentuan tentang adanya kewajiban pendaftaran jaminan Fidusia dapat
dikatakan merupakan terobosan yangp penting, rnengingat bahwa pada umumnya objek jaminan Fidusian adalah benda bergerak yang tidak terdaftar sehingga sulit mengetahui siapa pemiliknva. T'erobosan ini akan lebih bermakna jika dikaitkan
Universitas Sumatra Utara
dengan ketentuan Pasal 1377 KUH Perdata yang menyatakan bahwa barang siapa yang menguasai benda bergerak, maka ia akan dianggap sebagai pemiliknya (bezitgelds als volkomen title). Untuk memberikan kepastian hukurn, Pasa1 11 Undang-undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa jaminan Fidusia didaftarkan pada kantor pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan Fidusia berada di luar Wilayah negara Republik Indonesia.
E. Hapusnya Lembaga Jaminan Fidusia Apabila terjadi hal-hal tertentu maka jaminan Fidusia demi hukuan dianggap telah hapus, kejadian-kejadian tersebut adalah:
45
1. Hapusnya Hutang yang dijamin oleh Jaminan Fidusia. 46 2. Pelepasan hak atas jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia. 47 3.
Musnahnya benda yang menjadi jaminan Fidusia. 48 Hapusnya jaminan Fidusia karena lunasnya hutang yang dijamin dengan
jaminan Fidusia adalah konsekwensi logis dari karakter perjanjian assessoir. Jadi
45
Lihat Pasal 25 ayat 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999. Bahwa jaminan Fidusia berakhir dengan hutang yang dijamin dengan Fidusia hapus adalah konsekuensi logis dari sifat jamian Fidusia sebagai perjanjian yang bersifat accessoir (Pasal 4 UU No. 42 Tahun 1999). Kata “Hutang” disini diartikan sesuai dengan Pasal 3 UU No. 42, yang pada asasnya bias berupa prestasi apa saja sesuai ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata, dinyatakan atau bisa dinyatakan dalam sejumlah uang. Jadi bila kewajiban prestasinya dalam perikatan pokok hapus, maka jaminan Fidusia yang diberikan untuk menjamin kewajiban tersebut dengan sendirinya turut hapus. Karena hapusnya terhadi demi hokum, maka pada asasnya dengan hapusnya perikatan pokok, Fidusia itu hapus tanpa pemberi Fidusia harus berbuat apa-apa, bahkan termasuk seandainya pemberi Fidusia tidak mengetahuai akan hapusnya perikatan pokok tersebut. 47 Dasar yang keuda disebutkan, pelepasan hak atas jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia. Hak jaminan yang diberikan kepada kreditor penerima Fidusia yang memperjanjikan hak tersebut karena jaminan Fidusia memberikan hak-hak tertentu untuk kepentingan penerima Fidusia, maka diberikan keluasan kepada pemilik hak untuk menggunakan atau tidak. Dengan demikian, bahwa hak untuk melepaskan hak jaminan Fidusia adalah kreditor penerima Fidusia. 48 Munir Fuady, Op. cit. hal. 304 46
Universitas Sumatra Utara
perjanjain hutang piutangnya tersebut hapus karena sebab apapun maka jaminan Fidusia tersebut menjadi hapus pula. Sementara itu hapusnya jaminan Fidusia karena pelepasan hak atas jaminan Fidusia oleh penerima jaminan Fidusia adalah wajar
karena
sebagai
pihak
yang
mempunyai
hak
itu
bebas
untuk
mempertahankan ataupun melepasakan haknya tersebut. Hapusnya jaminan Fidusia karena musnahnya barang jaminan Fidusia tersebut dapat dibenarkan karena tidak ada manfaat lagi Fidusia itu dipertahankan, jika barang objek jaminan Fidusia itu sudah tidak ada akan tetapi jika ada asuransi maka hal tersebut menjadi hak dari penerima Fidusia tersebut harus membuktikan bahwa musnahnya barang yang menjadi objek jaminm Fidusia tembut adalah diluar dari kesalahannya. 49 Prosedur yang harus ditempuh jika Jaminan Fidusia tersebut hapus, yakni dengan melakukan pencoretam (Roya) pencatatan jaminan Fidusia tersebut di kantor Pendaftaran Fidusia. Selanjutnya Pendaffaran. Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa sertifikat jaminan Fidusia tersebut tidak berlaku lagi, dalam hal ini dilakukan pencoretan jaminan Fidusia tersebut dari Daftar Fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia. 50
49
Ketentuan ini sejalan dengan Pasal 1444 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Jika hilang. Sedemikan rupa sehingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berhutang dan sebelumnya dial alai menyerahkannya.” Kalau diterapkan pada perjanjian Fidusia, maka perjanjian pemberian Fidusia ini dengan sendirinya menjadi hapus. Ini sesuai dengan ketentuan Pasalh 25 © UU No. 42 Tahun 1999. Ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata lebih luas jangkauannya, karena perikatan tidak luasnya hapus, kalau objeknya musnah tetapi juga kalau objeknya hilang atau tidak dapat diperdagangkan lagi. Dengan demikian ketentuan Pasal 25 © dimaksudkan adalah bahwa jaminan Fidusia yang hapus adalah jamian Fidusia atas benda jaminan yang musnah saja, benda yang musnah merupakan bagian dari sekelompoka benda jaminan Fidusia, maka untuk benda-benda jaminan selebihnya yang tidak musnah tetap berlaku. Lihat J. Sartrio, Op. cit, hal 304 50 Salim, Op. cit, hal. 89-90
Universitas Sumatra Utara
F. Ekseknsi Lembaga Jaminan Fidusia Sebelum adanya UU No- 42 Tahun 1999, seksekusi barang bergerak yang diikat dengan Fidusia umumnnya tidak dilakukan melalui lelang tetapi ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau debitor. 51 UU No. 42 tahun 1999 juga mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh Undang-undang Hak Tanggungan yaitu meialui penjualan barang jaminan secara lelang dan penjualan dibawah tangan, namun berbeda dengan eksekusi hak atas tanah maka eksekusi Jaminan Fidusia hanya mengenal tiga cara, yakni: 52 1. Pelaksanaan titel eksekutorial, yang mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Penjualan yang menjadi objek jaminan Fidusia atas kekuasaan penerima Fidusia sendiri melalui persidangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. 3. Penjualan di bawah tangan yang berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima Fidusia dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. 1. Eksekusi Jaminan Fidusia Dengan Parate Eksekusi Pengertian parate eksekusi adalah merupakan keuenangan yang diberikan oleh Undang-undang kepada kreditor urltuk melaksanakan sendiri secara paksa ini perjanjian apabila debitor wanprestasi atau cidera janji.
51
Bachtiar Sbarani, Aspek Hukkum Eksekusi Jaminan Fidusial”. (Makalah disampaikan pada Seminar Sosialisasi Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, (Jakarta: 9-10 Mei 2000), hal. 17 52 Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia
Universitas Sumatra Utara
Pelaksanaan atas hak eksekusi dengan parate eksekusi oleh penerima Fidusia mengandung dua persyaratan, yakni: 53 a. Debitor cidera janji b. Telah ada sertifikat Jaminan Fidusia yang mencantumkan "Demi Keadilan berdasarkan KeTuhan Yang Maha Esa". Eksekusi ini dilaksanakan oleh pemegang Fidusia, sebab eksekusi ini tidak dilaksanakan melalui atau berdasarkan bantuan maupun ikut campurnya Pengadilan Negeri, melainkan hanya berdasarkan Kantor Lelana Negara atau melalui balai-balai lelang swasta jika kreditnya bukan bank swasta. Parate eksekusi ini tidak didasarkan atas title atau judui eksekutorial, yang pelaksanaannya didasarkan atas Pasal 224 HIR/258 Rbg melainkan didasarkan Pasal 15 ayat 3 juncto Pasal 29 ayat l huruf (b) UU
No. 42 Tahun 1999.
Kemudian dalam pelaksanaan eksekusi jaminan Fidusia juga dikenal dalam gadai sebagaimana diatur dalam Pasal 1155 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hak Tanggungan sebagainana diatur dalan Pasal 6 Juncto Pasa12 Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1178 Kitab Undang-undangn Hukum Perdata. 54 Ketentuan Pasal 29 UU No. 42 tabun 1999 merupakan pelaksanaan dari Pasal 15 ayat 3 UU No. 42 Tabun 1999. Apabila kreditor melaksanakan eksekusi berdasarkan kekuasaan sendiri dengan menjual benda objek jaminan Fidusia maka berdasarkan parate eksekusi dan mengambil jalan selain melalui grosse akta 53
Salim, Op. cit, Hal. 90-91 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2006), hal 235. Dijelaskan lebih lanjut bahwa ketentuan eksekusi jamian Fidusia me-“recaptie” ketentuan-ketentuan eksekusi Hak Tanggungan dalam UU No. 4 Tahun 1996 Tentang UUHT dijelaskan secara logis bahwa eksekusi hak tanggungan berdasarkan kekuatan aksekutorial dari sertifikat hak tanggungan yang menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB/HIR)dan Pasal 258 Regelemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura 54 J. Satrio, Hukum Jaminan Kebendaan Fidusia, Cet. Ke-1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal.321 54
Universitas Sumatra Utara
sebagaimana diatur dalam Pasal 2?4 HJR. Pelaksanaan Parate eksekusi tidak melibatkan pengadilan maupun juru sita. Kalau terpenuhin syarat Pasal 29 ayat 1 buruf (b) UU No. 42 Tahun 1999, Kreditor dapat langsung menghubungi juru lelang atau pejabat lelang dan mengajukan permohonan agar barang yang menjadi objek jaminan Fidusia tersebut disita. Oleh karean dilaksanakan tanpa melibatkan pihak pengadilan maupun juru sita, maka kreditor sudah tentu memikul resiko, bawwa ia melaksanakan haknya secara keliru. Dengan akibat kreditor memikul resiko tuntutan ganti rugi, dari pemberian Fidusia. Adanya keputusan Mahkamah Agung Nomor 3210 K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 dan ketentuan dalam pedoman pelaksanaan Tugas
dan
Administrasi
Pengadilan
yang
mengatakan
untuk
menjaga
penyalahgunaan, maka penjualan lelang, juga berdasarkau Pasal 1178 KUH Perdata, selalu baru dilaksanakan setelah ada izin dari ketua Pengadilan, dapat juga sangat mempengaruhi. Berdasarkan penegasan hak parate eksekusi dalam Pasal 15 ayat (3) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf b UU No. 42 tabun 1999, untuk selanjutnya pelaksanaan parate eksekusi tidak mendapat hambatan lagi dan yang penting lagi adalah bahwa juru lelang tidak takut lagi untuk memenuhi permintaan kreditor untuk melaksanakan lelang berdasarkan kewenangan segerti itu. PeIaksanaan parate eksekusi dapat mengurangi kredit rnacet, karena parate eksekusi merupakan salah satu cara untuk melunasi kredit yang terhutang tanpa melalui pengadilan, dan dengan demikian akan mengurangi perkara di pengadilan. Penjualan melalui pelelangan umum pada dasarnya menjanjikan prospek jual yang lebih baik karena akan adan banyak penawaran. Namun tidak selalu
Universitas Sumatra Utara
demikian halnya dengan lelang eksekusi yang mengandung faktor terdesak, penjualan dan pembeli tidak pada posisi yang seimbang. Penjualan melalui lelang ini biasanya jauh dibawah nilai harga jual dipasaran yang sangat merugikan pihak debitor dan kreditor, karena adanya nilai likuidasi. Sejalan dengan perkembangan pembangunan dan teknologi, maka barang yang menjadi objek lelang juga telah atau perusahaan jasa penilai pada waktu belakangan ini rnenjadi suatu kebutuhan yang penting dalam menetapkan harga limit terendah barang yang akan dilelang. Kebutuhan akan jasa penilai ini menjadi sangat penting pada lelang eksekusi karena sangat terkait dengan rasa keadilan. dan kepastian hukum.
2. Eksekusi Objek Jaminan Fidusia dengan Penjualan di Bawah Tangan Apabila
menurut
perkiraan
penjualan
secara
lelang
tidak
akan
menghasilkan harga tertinggi, undang-undang Fidusia menetapkan pengecualian yaitu dapat dijual dibawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e. ketentnan undang-undang menetapkan persyaratan sebagai berikut: a. Penjualan tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan antara pemberi dengan penerima Fidusia. b. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh debitor kepada pihak-pihak yang berkepentingan. c. Telah diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.
Universitas Sumatra Utara
Dalam prakteknya pelaksanaan esekusi objek jaminan Fidusia kebanyakan dilakukan dengan penjualan di bawah tangan. Cara penyelesaian ini lebih menguntungkan debitor/pemberi Fidusia dan kreditor, sebab penyelesaian bisa lebih cepat dan biaya-biaya jauh lebih ringan, seperti biaya perkara, dan bea lelang tidak dikenakan dengan cara ini. Dengan penjualan dibawah tangan ini dapat diharapkan harga akan mencapai nilai yang sewajarnya, sehingga piutang kreditor dapat dilunasi dan apabila masih tersisa dari harga jual itu maka sisa pembayaran akan menjadi milik debitor.
Universitas Sumatra Utara