II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Guna Lahan Sumberdaya lahan didefinisikan sebagai lahan dimana ekstraksi sumberdaya
alam terjadi (dapat terjadi) seperti hutan, bahan tambang, atau pertanian (Lovering et al, 2001). Dengan demikian pengertian sumberdaya lahan lebih luas daripada tanah, yaitu suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, tanah, hidrologi dan vegetasi dimana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. Menurut Jayadinata (1999), konsep lahan atau tanah setidaknya mancakup (1) konsep ruang, (2) konsep tanah, (3) konsep faktor produksi, (4) konsep situasi, (5) konsep properti dan (6) konsep modal. Selanjutnya menurut Sutawijaya (2004), tanah merupakan sumber daya yang menyediakan ruangan (space) yang dapat mendukung semua kebutuhan makhluk hidup. Dikatakannya pula bahwa ruangan yang disediakan tersebut sangat terbatas, sedangkan kebutuhan akan tanah mempunyai kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam memenuhi kebutuhan perumahan, pertanian, industri dan lain lain. Hal inilah yang menuntut perkembangan teoritis nilai tanah. Guna lahan atau penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen ataupun secara siklus terhadap sekumpulan sumberdaya lahan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat dari lahan, guna mencukupi kebutuhan hidupnya, baik berupa kebendaan maupun spiritual ataupun keduanya (Sugiharto, 2006). Menurut Hubacek dan Jose Vazquez (2002), guna lahan dipengaruhi oleh tiga kelompok faktor. Kelompok pertama, terdiri dari faktor fisik, biologi dan teknik mencakup kuantitas, alam, ketersediaan dan karakteristik sumberdaya lahan, yang limit pastinya ditetapkan oleh apa yang dapat dilakukan operator dalam menggunakan sumber daya lahannya. Kelompok kedua, institusi, sebagai the “rules of the game” di masyarakat, membatasi orang dan secara tidak sadar menentukan kebiasaan orang dalam berinteraksi. Dan kelompok ketiga, secara terbatas merupakan kekuatan ekonomi, supply dan demand, sebagai pembentuk guna
13
lahan dewasa ini. Sedangkan Jayadinata (1999) menyatakan bahwa faktor yang menjadi penentu dalam pola guna lahan adalah (1) perilaku masyarakat (social behavior) dan (2) faktor ekonomi. Supply lahan dalam pandangan fisik selalu dipertimbangkan sebagai hal yang tetap dan terbatas. Namun supply lahan secara ekonomi tergantung pada supply fisik, faktor kelembagaan, ketersediaan teknologi, dan lokasinya. Supply ekonomi mungkin dibatasi sebagai unit lahan yang memasukan kekhususan dalam merespon terhadap rangsangan, seperti harga dan kelembagaan. Pemilik lahan dalam menentukan tipe dan intensitas penggunaan lahannya tergantung pada harga lahan yang akan diperoleh per hektar. Dewasa ini supply lahan menggambarkan praktek utilisasi, ketersediaan ekonomi sekarang, dan kemampuan beradaptasi terhadap kebutuhan demand (Hubacek dan Jose Vazquez, 2002). Berdasarkan kondisi tersebut, pada saat supply masih cukup luas, maka demand menjadi tidak terbatas. Menurut Hubacek dan Jose Vazquez (2002), demand lahan dibedakan atas dua kategori yang berbeda yakni direct demand dan derived demand. Direct demand lahan dikatakannya sebagai demand lahan yang digunakan langsung untuk konsumsi lahan, diarahkan oleh sinyal pasar bahwa konsumer menjadi land user, seperti petani, yang memberikan kepuasan terhadap demand bagi barang dan jasa sekarang. Namun demand kedua yakni derived demand, yang merupakan demand secara umum dimana konsumen meminta produk, sementara produser men-supply lahan sebagai faktor produksi. Mekanisme supply dan demand tersebut akan menentukan pola penggunaan lahan. Menurut Sugiharto (2006), pola guna lahan secara fisik yang dimaksud adalah upaya dalam meningkatkan pemanfaatan, mutu, dan penggunaan lahan untuk kepentingan penempatan suatu atau beberapa kegiatan fungsional sehingga dapat memenuhi kebutuhan kehidupan dan kegiatan usaha secara optimal ditinjau dari segi sosial ekonomi, sosial budaya, fisik, dan secara hukum.
B.
Hirarki dan Sistem Perkotaan Pembentukan kota, hirarki dan sistem perkotaan diawali dengan terbentuknya
wilayah pasar. Konsep dan model dasarnya merupakan perkembangan dari
14
pengorganisasian spasial dari wilayah pasar satu produk satu produsen (monopoli) sampai organisasi spasial dari produksi bermacam barang dan banyak produsen sehingga membentuk susunan hirarki spasial di suatu tempat terpusat (Dicken dan Lloyd, 1990). Kerangka konsep sederhana dalam menjelaskan proses terbentuknya wilayah pasar tersebut dikenal dengan Central Place Theory (CPT). Dasar memahami CPT sesungguhnya berasal dari konsep tentang aglomerasi ekonomi yang pengertian umumnya yang menurut Nugroho dan Dahuri (2004) sebagai perolehan keuntungan ekonomi akibat dua atau lebih produsen bergabung dan berdekatan secara spasial, dan menurut Nuryadin et al (2007), ekonomi aglomerasi merupakan daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi. Selanjutnya dikatakan Nugroho dan Dahuri (2004) bahwa setidaknya ditemukan dua gejala besar didalam aglomerasi berkaitan dengan wilayah pasar, yaitu (1) bertemunya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang berbeda, sehingga wilayah pasar setiap produsen cenderung menyatu, dan (2) bertemuanya dua atau lebih aktivitas ekonomi yang sama, sehingga memungkinkan terbentuknya pasar baru yang lebih besar. Kedua keadaan ini secara umum berimplikasi terhadap pembatasan tumbuhnya jumlah kota, penekanan kebutuhan infrastruktur, dan identifikasi dan pencarian mekanisme aglomerasi terhadap aktivitas ekonomi yang lain. Konsekwensi dari aglomerasi ini adalah terbentuknya hirarki yang tediri dari kota besar, kota sedang dan kota kecil. Sementara Dicken dan Llyod (1990) menyebutkan tipe aglomerasi dibedakan dalam dua hal yakni lokalisasi ekonomi dan urbanisasi ekonomi. Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), yang harus dicatat bahwa teori ini baru memperhitungkan tentang kegiatan dari industri tersier (pelayanan jasa) untuk menempatkan lokasi dari tempat sentral tersebut. Asumsi teori ini melalui penyederhanaan suatu dunia nyata, dimana wilayah pasar adalah datar (flat plane) dan sumberdaya alam dan penduduk tersebar dengan merata dan pekerjaan penduduk adalah semua petani (homogen). Dengan demikian menurutnya, CPT ini sulit diterapkan di wilayah dengan sistem perkotaan karena faktor-faktor yang mempengaruhinya lebih kompleks dari asumsi yang dijelaskan CPT, tetapi keadaan wilayah dan ekonomi perdesaan yang belum banyak tersentuh sektor modern (tipe wilayah homogen) tampaknya dapat dijelaskan oleh CPT. Adapun wilayah dengan
15
sektor modern yang dapat dianalisis oleh CPT adalah distribusi sektor jasa atau pusat perbelanjaan di kota. Selanjutnya Nuryadin et al (2007), mengatakan aglomerasi menghasilkan perbedaan spasial dalam tingkat pendapatan, semakin teraglomerasi secara spasial suatu perekonomian maka akan semakin meningkat pertumbuhannya, sehingga daerah-daerah yang banyak industri pengolahan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah-daerah yang hanya mempunyai sedikit industri pengolahan Menurut Sinulingga (2005), CPT dapat digunakan untuk merumuskan bagaimana hubungan antara tempat sentral dengan wilayah pengaruhnya (hinterland) serta merumuskan bagaimana hirarki dari tempat sentral. Dengan menggunakan CPT, menurut Sinulingga, Walter Christaler telah menentukan hirarki kota-kota dalam suatu wilayah dengan cara meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota. Untuk melakukan analisis sistem perkotaan dewasa ini yang lebih kompleks telah berkembang berbagai metode diantaranya metode survei, metode gravitasi, metode peringkat dan metode gugus. Yang membedakan keempat metode ini adalah cara pengamatan dan variabel yang diamati (Nugroho dan Dahuri, 2004). Selain keempat metode tersebut juga terdapat metode Purnomosidi yang dikembangkan oleh Dr. Purnomosidi yang menurut Sinulingga (2005) telah melakukan penelitian hirarki perkotaan di Indonesia dengan mengamati aliran barang dari kota ke kota. Dalam pembahasannya dinyatakan bahwa pada satuan wilayah pengembangan (SWP) terdapat hirarki kota-kota dengan sebutan orde kota yaitu orde 1, orde 2, dan seterusnya. Kota orde 1 adalah kota yang tidak berada dibawah subordinansi kotakota lainnya. Disamping itu kota orde 1 perlu menguasai fasilitas distribusi yang lengkap termasuk pelabuhan. Orde 2 berada dalam subordinasi orde 1, sedangkan orde 3 berada dalam subordinasi orde 2, demikian selanjutnya. Untuk kepentingan di Indonesia, ciri masing-masing orde kota dapat dijelaskan pada Tabel 2, susunan orde kota dalam satu SWP terdapat pada Gambar 3. Menurut Sinulingga (2005), manfaat mengetahui hirarki perkotaan ialah untuk deliniasi wilayah menjadi SWP-SWP yang mana dalam satu SWP kota orde I mempunyai wilayah pengaruh seluas SWP, sedangkan kota orde II mempunyai
16
wilayah pengaruh pada sebagian dari satu SWP yang dinamakan wilayah pengembangan partier (WPP). Tabel 2. Ciri-Ciri Orde Kota Orde Kota
Ciri-Ciri
(1)
(2)
Kota Orde I
Kota Orde II
Kota Orde III
Kota Oede IV
1. Kedudukan sebagai ibukota negara atau pusat-pusat pembangunan nasional atau ibukota provinsi 2. Jangkauan pelayanan 100 – 500 km 3. Jumlah penduduk 250 ribu sampai 5 juta 4. Terletak pada jalan nasional 5. Mempunyai fasilitas pelayanan yang lengkap termasuk pelabuhan laut 6. Terdapat kegiatan perindustrian yang besar dan modern, jasa perdagangan termasuk ekspor dan impor, perbankan internasional 7. Terdapat pelayanan-pelayanan lainnnya dalam sakala nasional seperti universitas, rumah sakit besar, dan sekaligus bandara nasional maupun internasional. 1. Ibukota propinsi, atau dan pusat pengembangan wilayah, atau kota besar 2. Jangkauan pelayanan 50 – 100 km 3. Jumlah penduduk 100 – 500 ribu 4. Berorientasi ke kota orde I dengan fasilitas yang kurang lengkap dibanding orde I 5. Terletak pada jalan nasional atau jalan provinsi 6. Memiliki terminal penumpang, memiliki perusahaan industri terutama agro industri 7. penyedia tenaga kerja, serta fasilitas jasa seperti perbankan dan pasar 8. memiliki pelayanan rumah sakit, dan sekolah-sekolah menengah umum, ataupun kadang-kadang universitas. 1. Ibukota kabupaten atau kota administratif 2. Jangkauan pelayanan 15 – 50 km 3. Jumlah penduduk 20 – 100 ribu 4. berorientasi ke kota ode II 5. terletak pada jalan propinsi atau jalan kabupaten sebagai kota 6. berfungsi penghubung perdesaan dan perkotaan, melayani kebutuhan perdesaan dan merupakan pusat wilayah perdesaan yang terbesar 7. memiliki beberapa pelayanan yang sering dilakukan walaupun tidak tiap hari seperti pasar, penyimpanan produksi, penyortiran produksi pertanian, juga termasuk jasa keuangan, perdagangan, pertukaran barang, jasa pengangkutan. 8. Jasa lain ialah pendidikan, kesehatan, sosial, dan administrasi 1. Ibukota kecamatan 2. Jangkauan pelayanan 7,5 – 15 km 3. Jumlah penduduk 5 – 20 ribu 4. berorientasi ke kota orde III 5. terletak pada jalan kabupaten
17
Tabel 2 (lanjutan) (1)
(2) 6. berfungsi sebagai pelayanan langsung jasa distribusi barang-barang kebutuhan perdesaan yang diperoleh dari kota orde di atasnya, dan tempat mengumpulkan hasil-hasil dari daerah perdesaan dan membawanya ke kota orde di atasnya 7. tersedia pasar kecil dan fasilitas penyimpanan sementara hasil-hasil pertanian. 8. terdapat fasilitas pendidikan formal ataupun informasl.
Sumber: Sinulingga, 2005
Orde pertama Orde kedua Orde ketiga Orde keempat Arus yang menunjukkan hubungan dominan
Gambar 3. Susunan Orde Kota Dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (Sinulingga, 2005) C. Pola Guna Lahan Kota Keberadaan orde kota, disamping kekuatan lainnya, mempunyai pengaruh pada pola persebaran jenis penggunaan lahan di kota. Interaksi yang berjalan antar berbagai elemen lingkungan telah menciptakan kekhasan pola. Yunus (2005) telah mengklasifikasikan 5 model pendekatan untuk melakukan kajian terhadap keadan
18
penggunaan lahan kota, yaitu (1) pendekatan ekologi, (2) pendekatan ekonomi, (3) pendekatan morfologi, (4) pendekatan sistem kegiatan dan (5) pendekatan ekologi faktorial. Keterkaitan dengan disertasi, maka akan dibahas 3 pendekatan saja yaitu pendekatan ekologi, pendekatan ekonomi dan pendekatan morfologi. Menurut Jayadinata (1999), penggunaan lahan kota didasarkan pada teori konsentrik, teori sektoral, dan teori pusat lipatganda. Selanjutnya dikatakan bahwa teori konsentrik dikembangkan oleh E.W. Burgess yang membagi kota kedalam pusat kota, jalur transisi, jalur perumahan buruh, jalur permukiman kaum menengah dan lajur penglaju. Sedangkan menurut Rustiadi et al (2009), teori konsentrik ini kemudian dikembangkan dan dimodifikasi oleh Sinclair seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4. 5
5
4
4
3
3
2
2
1
1. 2. 3. 4. 5.
2
3
4
5
Zona Bisnis Zona Transisi Zona Permukiman Pekerja Zona Permukiman yang lebih baik Zona Penglaju
a. Konsep Zona Konsentris Burgess 1925
1
2
3
4
5
1 Dikuasai para spekulator 2 Petani masa pendek/spekulan 3 Petani peralihan 4 Pemerahan susu 5 Lain-lain b. Konsep Zona Konsentris Sinclair 1967
Gambar 3. Dua pola penggunaan lahan konsentris (Rustiadi et al, 2009) Menurut Jayadinata (1999) dan Rustiadi et al (2009), teori sektoral dikembangkan oleh Homer Hoyt dari hasil pengamatannya di kota-kota di Amerika Serikat yang menggambarkan bahwa kota dapat tersusun dengan urutan (1) aktivitas pusat kota (CBD), (2) pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan
19
perdagangan, (3) kawasan perumahan untuk tenaga kerja, (4), permukiman dengan pendapatan menengah, dan (5) kawasan tempat tinggal golongan atas. Sementara itu teori lipatganda (multiple nuclei model) menurut Jayadinata (1999) dan Pontoh dan Kustiawan (2009) dikembangkan oleh Harris dan Ullman tahun 1945 yang mengemukakan bahwa pusat pertumbuhan kota yang bermula dari satu pusat menjadi ruwet bentuknya. Hal ini disebabkan oleh munculnya pusat-pusat tambahan yang masing-masing akan berfungsi menjadi kutub pertumbuhan. Di sekeliling nukleus-nukleus baru itu akan mengelompok tata guna tanah yang bersambungan secara fungsional. Keadaan seperti ini akan melahirkan struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. 1. Pendekatan ekologi Menurut Yunus (2005), prinsip dasar dari pendekatan ekologi adalah prosesproses ekologi pada masyarakat manusia mirip dengan apa yang terjadi pada masyarakat tumbuh-tumbuhan atau satwa. Proses impersonal ini antara lain (a) membutuhkan tempat
tinggal, (b) mengembangkan
keturunannya dan
(c)
membutuhkan tempat untuk mencari makan. Proses tersebut sangat jelas terlihat pada suatu kota melalui sistem sosial yang ada dan kemudian menghasilkan pola diferensial sosial dan pola diferensial penggunaan lahan. Dalam penjelasannya Yunus (2005) mengatakan bahwa sebagaimana dinamika ekologi dalam dunia tumbuhan, dalam pendekatan ekologi ini juga dikenal proses suksesi sampai klimaks melalui kompetisi ekologi yang kompleks hingga terjadinya dominansi kelompok sosial dan ekonomi tertentu membentuk suatu “natural area” dengan keseragaman sifat-sifat. Kunto (2008) mengidentifikasi namanama komplek permukiman di Kota Bandung seperti Babakan Surabaya, Kampung Jawa, Babakan Tarogong, Babakan Ciamis, Babakan Ciamis, Babakan Bogor, merupakan dominansi etnis tertentu dalam wilayah tersebut. 2. Pendekatan ekonomi (economic approach) Pontoh dan Setiawan (2009) menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi didasarkan pada pemahaman bahwa nilai lahan, rent dan cost mempunyai kaitan yang erat dengan pola penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dapat
20
menjelaskan perbedaan pola penggunaan lahan adalah Teori Sewa Lahan, dan Teori Nilai Lahan. Nilai pasar lahan adalah nilai sekarang dari aliran pendapatan sewa yang dihasilkan oleh lahan. Sedangkan rente adalah harga, atau income dari, lahan dan property lahan dihitung per satuan waktu. Konsep ini disebut the contract rent. Bagi penyewa, pembayaran contract-rent adalah biaya operasional. Dari sudut pandang investor, rente adalah return of investment diantara perbedaan kemungkinan investasi. Rente dibayar oleh user untuk real estates mengganti opportunity cost bagi investor, yang menggambarkan simpanan keuntungan mereka dari investasi alternatif (Hubacek dan Vazquez, 2002). Rente Lahan dalam pandangan klasik adalah pendapatan yang dihasilkan dari penjualan jasa suatu unit lahan, terlepas dari jasa modal atau buruh. Oleh karena itu rente lahan merupakan gambaran pertumbuhan keuntungan ekonomi lahan dalam kegiatan produksi. Perbedaan kapasitas rent-paying atau perbedaan kelas lahan seringkali digambarkan dalam terma perbedaan lokasi atau perbedaan kualitas lahan. Ukuran perbedaan lokasi terdiri atas kedekatannya terhadap air, infrastruktur, fasilitas-fasilitas, dan pusat budaya; sedangkan ukuran kelas laham meliputi tipe tanah atau faktor yang berkaitan dengan iklim, atau faktor buatan manusia seperti bangunan. Akhirnya, para ekonom seringkali memandang lahan sebagai bagian dari kapital, yang mana rente dibayar lebih dari harga supply. Dalam pandangan ini, rente didefinisikan sebagai surplus ekonomi dalam jangka pendek setelah semua faktor produksi dapat dibayar, oleh karena kondisi supply dan demand lahan yang tidak dapat diperluas. Dalam jangka panjang, dengan asumsi kompetisi sempurna, kondisi supply dan demand lahan akan menjadi seimbang, dan phenomena rente ekonomi lahan menjadi hilang. Tetapi perbedaan kapasitas guna lahan yang memberikan basis rente lahan tidak akan hilang dengan terjadinya keseimbangan supply dan demand tersebut (Wessel, 1967 dalam Hubacek dan Vazquez, 2002). Selanjutnya menurut Nasution (1997) dalam Sugiharto (2006), lahan mempunyai lima jenis rente yakni rente ricardian, rente lokasi, rente lingkungan, rente sosial, dan rente publik. Kaitannya dengan pola guna lahan rente lahan banyak didasarkan pada rente lokasi, dengan teori utama yang mendukung pendekatan ini adalah teori sewa lahan.
21
Menurut Yunus (2005) yang mengutip pendapat Haig (1926), bahwa sewa lahan ini merupakan bentuk pembayaran untuk aksesibilitas atau penghematan untuk biaya transportasi dan ini akan berkaitan dengan proses penawaran (bidding process) dalam menentukan siapa yang berhak untuk menempati suatu lokasi, sebagai upaya untuk minimasi friksi ruang yang meliputi biaya transportasi dan lokasi, yang digambarkan segitiga pada Gambar 5 berikut. Rente
Biaya Transportasi
Lokasi
Gambar 5. Konsep Segitiga Dalam Menentukan Minimasi Biaya Friksi Ruang (Yunus, 2005, hal. 65) Menurut Rustiadi et al (2009), dalam mekanisme pasar, kegiatan-kegiatan yang mempunyai nilai rente lahan yang lebih tinggi mampu menggeser kegiatankegiatan yang mempunyai rente lahan yang lebih rendah, hal ini karena rente lahan yang lebih tinggi memiliki posisi tawarnya (bergaining position) cenderung lebih tinggi, sehingga menimbulkan suatu land rent gradient. Dalam penggunaan lahan, adanya land rent gradient akan mempengaruhi dinamika penggunaannya, urutan nilai rente lahan dari yang tertinggi hingga terendah adalah perdagangan, industri, permukiman, pertanian intensif, pertanian ekstensif dan kehutanan (Gambar 6). Kondisi penggunaan model penentuan penggunaan lahan tersebut dapat digunakan dengan asumsi bahwa derajat aksesibilitas ke segala arah menunjukkan keseragaman, namun pada kenyataannya tidak demikian. Selain konsep di atas, dalam pendekatan ekonomi ini telah muncul lebih dulu model teori permintaan tanah yang dikembangkan pertama kali oleh Von Thunen pada tahun 1826. Menurut Sutawijaya (2004), model ini merupakan suatu model sewa tanah pada sektor pertanian yang menyatakan bahwa ada sebuah tempat sentral (kota) dengan dikelilingi oleh dataran luas, di mana kebutuhan makanan untuk kota tersebut disediakan oleh daerah-daerah
22
sekitarnya, dengan anggapan-anggapan yang dipakai dalam model ini adalah hanya ada satu kota yang tidak mempunyai dan tidak cukup untuk kegiatan pertanian, tanah di sekitar perkotaan hanya digunakan untuk pertanian dan mempunyai kurva penawaran tanah yang inelastis sempurna, biaya transportasi proporsional terhadap jarak dari kota, dan produksi pertanian mempunyai skala hasil yang tetap.
A: Jasa/komersil B: Industri manufaktur C: Perumahan D: Pertanian inetnsif E: Pertanian ekstensif
LR LRA
A B
LRB LRC
C LRD
D E
LRE
Pusat kota
dA
dB
dC
dD
Gambar 6. Model “Bid-Rent” dan Zone Penggunaan Lahan Kota (Rustiadi et al, 2009) Menurut hasil penelitian Sutawijaya (2004) di Kota Semarang, faktor-faktor yang mempengaruhi nilai lahan adalah kepadatan penduduk yang berpengaruh positif 0,299%. Faktor jarak memiliki pengaruh negatif terhadap nilai-nilai tanah sebesar 0,162% jika jarak meningkat sebesar 1% dari pusat kota. Lebar jalan akan memberikan dampak positif terhadap nilai tanah sebesar 0,402% jika pertambahan lebar jalan sebesar 1%. Kondisi jalan raya akan memberikan nilai lahan positif 0,208% jika ada fasilitas transit di lokasi objek. Sedangkan faktor terakhir adalah bebas dari banjir, yang memberikan efek positif pada nilai-nilai tanah sebesar 0,212% jika tidak ada banjir di lokasi objek.
dE
23
Menurut Konagaya (1998), model Von Thünen merupakan model normatif yang mana hanya ada satu guna lahan mendominasi di setiap areal, sehingga tidak dapat menyesuaikan dengan ratio data ril. Berdasarkan hal itu, kemudian Konagaya mengembangkan Model Thunen normatif menjadi suatu model yang disebut model GTM (Generelized Thunen Model) guna meningkatkan kinerja explanatory dan memiliki gabungan gambar instuitif dari ‘gerakan batas guna lahan’ dengan dasardasar teori eksakta, yang disediakan untuk memprediksi perubahan guna lahan di masa depan. Model ini telah diterapkan dalam memprediksi perubahan guna lahan di Sumatra dan Pula Jawa. Perbedaan antara Model Thünen (1826) dengan Model GTM (Konagaya, 1998) dapat dilihat pada Gambar 7.
Fungsi ratio guna lahan
Fungsi ratio guna lahan 1
1
Jarak dari kota
0
0
Jarak dari kota
Guna Lahan Kota Guna Lahan Pertanian
Guna Lahan Kehutanan
Lokasi Kota
Gambar a. Model Thünen (1826)
Gambar b. Model Generalized Thünen (GTM) (Konagaya, 1998)
Gambar 7. Perbandingan Model Thunen dan Model Generalized Thunen
24
Dengan menggunakan model GTM, Konagaya (2001) telah berhasil menggambarkan pergeseran batas guna lahan, dan memprediksi perubahan guna lahan di masa depan. Model GTM ini telah diaplikasikan untuk data di Indonesia dalam menggambarkan pengaruh dua regulasi dalam perubahan guna lahan di Sumatra, dan memprediksi profile guna lahan sampai 2025 di Jawa yang memperingatkan akan kehilangan hutan di ruas antara Jakarta dan Bandung. Kemudian Zhang dan Laband (2004), dengan menggunakan model Von Thunen telah melakukan penelitian tentang konsekwensi dari regulasi reforestasi di Amerika Serikat.; Venables dan Limao (1999) telah memodifikasi model von Thunen menjadi model Heckscher-Ohlin-Von Thunen dalam penelitian pola perdagangan dan produksi di berbagai negara dengan lokasi yang berbeda dari pusat kota.
3. Pendekatan morfologi kota (urban morphological approach) Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), pendekatan morfologi kota memfokuskan perhatian pada bentuk-bentuk fisikal kawasan perkotaan yang tercermin dari jenis penggunaan lahan, sistem jaringan jalan, dan blok-blok bangunan, townscape, urban sprawl, dan pola jaringan jalan sebagai indikator morfologi
kota.
Selanjutnya Smailes
(1955)
dalam
Yunus
(2005), telah
memperkenalkan lebih dulu 3 unsur morfologi kota yaitu (1) unsur-unsur penggunaan lahan, (2) pola-pola jalan dan (3) tipe bangunan . Pola-pola Jalan Pola-pola jaringan jalan akan membentuk sistem transportasi. Kaitannya dengan tata guna lahan, pergerakan lalu lintas merupakan fungsi dari tata guna lahan yang menghasilkan bangkitan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup (1) lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi, dan (2) lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi, seperti diilustrasikan pada Gambar 8 (Tamin, 2000).
25
i
d
Pergerakan yang berasal dari zona i
Pergerakan yang menuju ke zona d
Gambar 8. Bangkitan dan Tarikan Pergerakan (Tamin, 2000) Jenis tata guna lahan yang berbeda (permukiman, pendidikan, dan komersial) mempunyai bangkitan lalu lintas yang berbeda dalam jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil), serta lalu lintas pada waktu tertentu. Jumlah dan jenis lalu lintas yang dihasilkan oleh setiap tata guna lahan merupakan hasil dari fungsi parameter sosial dan ekonomi, seperti contoh di Amerika Serikat (Black, 1978 dalam Tamin, 2000):
1 ha perumahan menghasilkan 60 – 70 pergerakan per minggu
1 ha perkantoran menghasilkan 700 pergerakan kendaraan per hari, dan
1 ha tempat parkir umum menghasilkan 12 pergerakan kendaraan per hari.
Contoh lain (juga di Amerika Serikat) sebagaimana Tabel 3. Tabel 3. Bangkitan dan tarikan pergerakan dari beberapa aktivitas tata guna lahan Deskripsi aktivitas tata guna lahan
Rata-rata jumlah pergerakan kendaraan per 100 m2
Pasar swalayan Pertokoan lokal Pusat pertokoan Restoran siap saji Restoran Gedung perkantoran Rumah sakit Perpustakaan Daerah industri Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)
136 85 38 595 60 13 18 45 5
Jumlah kajian 3 21 38 6 3 22 12 2 98
26
Bangkitan pergerakan bukan saja beragam dalam jenis tata guna lahan, tetapi juga tingkat aktivitasnya. Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang tanah, semakin tinggi pergerakan arus lalulintas yang dihasilkannya. Salah satu ukuran intensitas aktivitas sebidang tanah adalah kepadatannya. Tabel 4 memperlihatkan bangkitan lalulintas dari suatu daerah permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan berbeda di Inggris (Black, 1978 dalam Tamin, 2000). Tabel 4. Bangkitan lalulintas, jenis perumahan dan kepadatannya Kepadatan permukiman (keluarga/ha) Permukiman di luar kota 15 Permukiman di batas kota 45 Unit rumah 80 Flat tinggi 100 Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000) Jenis perumahan
Pergerakan per hari 10 7 5 5
Bangkitan pergerakan per ha 150 315 400 500
Berdasarkan data di atas, walaupun arus lalu lintas terbesar yang dibangkitkan dari daerah permukiman di luar kota, bangkitan lalulintasnya terkecil karena intensitas aktivitasnya (dihitung dari tingkat kepadatan permukiman) paling rendah. Karena bangkitan lalu lintas berkaitan dengan jenis dan intensitas perumahan, maka hubungan antara bangkitan lalulintas dan kepadatan permukiman menjadi tidak linear (Tamin, 2000). Pola sebaran arus lalulintas antara zona i ke zona tujuan d adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalulintas, dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia dan/atau barang. Daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang dengan meningkatnya jarak (dampak pemisahan ruang). Tata guna lahan cenderung menarik pergerakan lalu lintas dari tempat yang lebih dekat dibandingkan dengan dari tempat yang lebih jauh. Pergerakan lalu lintas yang dihasilkan juga akan lebih banyak yang berjarak pendek daripada jarak yang berjarak jauh. Interaksi antar daerah sebagai fungsi dari intensitas setiap daerah dan jarak antar kedua daerah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
27
Tabel 5. Interaksi Antar Daerah Jauh
Interaksi dapat diabaikan
Interaksi rendah
Dekat
Interaksi rendah
Interaksi menengah
Intensitas menengah Interaksi sangat tinggi
Kecil – kecil
Kecil – besar
Besar - besar
Jarak
Intensitas tata guna lahan antara dua zona
Sumber: Black (1978) dalam Tamin (2000)
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengetahui jenis tata guna lahan dapat diketahui dari hasil analisis lalu lintas yang ada di suatu wilayah terutama dari komponen bangkitan dan tarikan pergerakan lalu lintas.
Penggunaan lahan sebagai deferensiator tata ruang regional Bentuk dasar morfologi kota di atas lebih ditekankan pada struktur keruangan kota lokal dalam artian bahwa struktur keruangan yang ditinjau terbatas pada areal kekotaan yang secara morfologis kompak dan bentuk penggunaan lahan seluruhnya berorientasi non-agraris. Kaitannya dengan penggunaan lahan untuk lahan kota dan desa, dilakukan melalui analisis “regional city” (kota regional). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009), untuk membedakan jenis penggunaan lahan kekotaan dan penggunaan lahan kedesaan, pada umumnya berkaitan dengan lahan pertanian, karena sebagian besar jenis (dominansi) penggunaan tanah kedesaan selalu berorientasi dengan kegiatan pertanian, sebaliknya di kota adalah berkaitan dengan penggunaan lahan non-pertanian. Permasalahan utama sebenarnya terletak pada daerah peralihan dari kenampakan “real urban” ke kenampakan “real rural”. Di daerah peralihan inilah masalah dominansi seakan-akan menjadi kabur. Proses perubahan penggunaan lahan kota ke penggunaan lahan di desa atau sebaliknya dinamakan diferensiasi penggunaan lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu cara perhitungan dominansi jenis penggunaan lahan kekotaan maupun kedesaan menggunakan metode segitiga penggunaan lahan desa-kota (rural-urban land use triangle) yang dikembangkan oleh Robin Pryor pada tahun 1971. Dalam teknik ini, dihitung persentase penggunan lahan kekotaan, persentase penggunaan lahan kedesaan dan persentase jarak dari lahan kekotaan utama (built-up-land) ke lahan kedesaan utama.
28
Subzone yang terbentuk terdiri dari (1) urban area, (2) urban fringe, (3) rural fringe dan (4) rural area. Kemudian Yunus (2005) mengembangkannya menjadi 5 subzone dengan subzona baru untuk diferensiasi subzone pada daerah yang terletak antara “urban fringe” dan “rural fringe”, yaitu menjadi (1) urban area, (2) urban fringe, (3) urral fringe, (4) rural fringe dan (5) rural area (Gambar 9). D
E Rural - Urban Fringe Urban Fringe 0
Urral Fringe
25
50
Rural Fringe 75
A
100
100 100
75
75
50 50 B
C
25 0
25
A B C D E
: : : : :
Persentase jarak lahan kota ke desa Persentase guna lahan kota Persentas guna lahan desa Batas areal built-up kota Batas areal desa
Gambar 9. Segitiga Penggunaan Lahan Desa – Kota (Yunus, 2005) Untuk memudahkan penetapan secara kuantitatif, maka batasan masingmasing subzone sebagai berikut (Yunus, 2005): Tabel 6. Ciri Zona Guna lahan Zona Guna lahan (1) Urban area Urban fringe area
Urral fringe area
Penjelasan (2) Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi kekotaan. Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kekotaan atau > 60% penggunaan lahannya urban land use, dan <40% penggunaan lahannya rural land use. Tereltak dari titik perbatasan “urban built up land) sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan walau tidak secepat urban area. Daerah yang persentase guna lahan kota seimbang dengan guna lahan desa berkisar antara 40 – 60%, dan dalam jangka pendek transformasi struktural penggunaan lahan akan terjadi walaupun tidak secepat pada subzone urban fringe.
29
Tabel 6 (lanjutan) (1) Rural fringe area
Rural area
(2) Daerah yang sebagian besar guna lahan didominasi oleh bentuk bentuk guna lahan kedesaan atau > 60% penggunaan lahannya rural land use, dan <40% penggunaan lahannya urban land use. Tereltak dari titik perbatasan rural sampai ke jarak 40% dari titik tersebut (jarak dihitung dari urban real sampai rural real). Terjadi perubahan transformasi struktural penggunaan lahan meskipun cukup lambat. Daerah dimana 100% penggunaan lahannya berorientasi agraris.
Pontoh dan Setiawan (2009) menyatakan urban area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya betul-betul berorientasi non pertanian, sedangkan rural area adalah daerah yang bentuk penggunaan lahannya berorientasi pertanian. Sementara itu rurral-urban fringe adalah zone transisi dalam penggunaan lahan, karakteristik dan sosial dan demografi, terteletak diantara (a) lingkungan terbangun perkotaan dan kawasan subperkotaan dari pusat kota; dan (b) kawasan penyangga kedesaan, dicirikan oleh hampir tidak ditemuinya permukiman tanpa lahan pertanian. Sedangkan Rustiadi et al (2009) menamakan daerah transisi tersebut sebagai kawasan spekulasi (Sinclair urban fringe), yang mana penggunaan lahan jangka pendek tergantung pada rencana pembangunan yang akan datang. Berdasarkan kondisi di atas, menurut Sinclair (2002) terkait dengan keberlanjutan pembangunan secara ekologi, rural area adalah sebagai sumber makanan dan serat (ekonomi), fitur keanekaragaman hayati dan alam (lingkungan), dan tempat tinggal dan bekerja (modal sosial). Menurut Pontoh dan Setiawan (2009) dan Russwurm (1980) dalam Yunus (2005) membagi zona antar real urban dan real rural ke dalam 3 subzona yaitu (1) inner fringe, (2) outer fringe, dan (3) urban shadow zone, seperti diilustrasikan pada Gambar 10.
D. Pasar Lahan Kaitan dengan perubahan penggunaan lahan, hal yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana kekuatan pasar mengatur konsumsi dan penggunaan lahan. Pertanyaan mendasar, apakah hukum supply dan demand menjamin alokasi lahan lebih efisien bagi masyarakat secara keseluruhan, yang merupakan total
30
keuntungan sekarang (net present benefits) dari alternatif penggunaan tersebut adalah maksimal. Keputusan tentang penggunaan lahan biasanya berpengaruh secara individu dalam masyarakat dengan cara yang berbeda dan apakah hal itu menguntungkan hanya untuk satu orang sementara yang lain dirugikan (Hubacek dan Vazquez, 2002). 2 6 5
10
3 7
8
9
1
4 11
Keterangan gambar: 1 2
: :
3 4 5
: : :
6
:
7
:
Ruang tempat akhir pekan dan musiman Penyebaran subsistem, ruang perkotaan atau daerah pinggiran kota Zona commuting maksimum Nodal perkotaan Kota terkonsentrasi atau pusat kawasan terbangun Pinggiran desa kota atau pinggiran perkotaan Pinggiran dalam
8 : Pinggiran luar 9 : Zona bayangan perkotaan 10 : Daerah penyangga perdesaan 11 : Perumahan terisolasi
Gambar 10. Model Struktur Keruangan dari Regional City (Pontoh dan Kustiawan, 2009) Secara potensial masyarakat bisa mendapatkan efisiensi alokasi sumberdaya lahan, tergantung pada seberapa besar rancangan kelembagaannya. Walaupun analisis ekonomi biasanya berasumsi bahwa operator lahan memiliki kebebasan yang tidak terbatas seperti berapa, kapan, dan apa sumberdaya yang digunakan dalam operasi, dalam kenyataannya kebebasan tersebut dibatasi oleh alam terhadap hak untuk
31
menggunakan lahannya. Property rights ini mengacu pada sebundel hak terkait dengan kepemilikan, keistimewaan, dan batasan penggunaan lahan sebagai suatu sumberdaya khusus. Oleh karena itu, property rights atau kepemilikan lahan adalah ditentukan oleh kekuatan pembatas kelembagaan yang mengarahkan operasi pada lahan dalam sistem ekonomi. Property rights membantu untuk menghadapi tiga kebutuhan dalam memfungsikan pasar yang baik. Pertama semua manfaat dan biaya dari penggunaan sumberdaya harus tumbuh untuk satu orang pemilik. Kedua, pemilik harus dapat menstransfer haknya sesuai keinginan mereka. Dan ketiga, penegakan hak harus di tempat yang pasti sesuai kondisi pertama dan kedua ditemui (Hubacek dan Vazquez, 2002). Oleh karena itu, menurut Hubacek dan Vazquez (2002) kekuatan bagi sistem pasar ditentukan oleh dirinya sendiri. Untuk memperoleh alokasi sumberdaya yang lebih efisien, sistem pasar memerlukan pendekatan hak kepemilikan yang didasarkan pada tiga kebutuhan tersebut. Dalam dunia nyata kebutuhan ini tidak ditemui pada semua hal. Khususnya kebutuhan pertama, eksklusif, seringkali dilanggar dalam prakteknya. Sementara tipikal analisis ekonomi berasumsi bahwa operator lahan memikul semua biaya dan manfaat dari aktivitasnya, aksi individual biasanya berpengaruh pada bagian ketiga. Untuk hal itu, jika developer tidak memasukan pertimbangan kehilangan kesejahteraan untuk masyarakat lain yang disebabkan oleh proyeknya, hal ini akan mempengaruhi keadaan eksternal. Suatu eksternalitas (atau eksternalitas negatif dalam kasus ini) itu ada ketika aksi satu individu berpengaruh negative kepada kesejahteraan yang lain, dan yang terakhir tidak menerima kompensasi untuk mengganti kehilangan tersebut. Eksternalitas sering terjadi pada situasi penggunaan lahan yang memberikan produk yang beragam dan biaya yang terkait dengan penggunaan sumberdaya lahan. Untuk hal itu, misalnya hutan dapat digunakan untuk produksi kayu, rekreasi, perlindungan DAS, dan kehidupan liar, dan seringkali tidak mungkin atau terlalu mahal untuk menghindari bercampurnya antara penggunaan yang berbeda. Hal ini merupakan karakter dari public good pada barangbarang lingkungan. Menurut Sadyohutomo (2008) publick good memiliki karakteristik berikut.
32
1. Nonexcludable, manfaat dari barang publik tidak khusus untuk seseorang atau kelompok masyarakat yang terbatas, tetapi untuk masyarakat secara luas. Seseorang atau kelompok orang akan sulit untuk menghalangi orang lain untuk mengakses barang publik (open access). 2. Nonrivalrous, yaitu pada batas tertentu tingkat konsumsi dari seseorang terhadap barang publik tidak mempengaruhi kesempatan orang lain untuk mengonsumsi barang publik yang sama. Juga, barang publik dikatakan bukan barang pesaing, dengan demikian satu orang mengkonsumsi barang tersebut tidak akan mengurangi penggunaan yang lain. Barang publik yang mempunyai kedua sifat di atas dikatakan sebagai barang publik murni. Akan tetapi, tidak semua barang publik sebagai barang publik murni. Apabila barang publlik bersifat nonexcludable, tetapi dalam pemakaiannya terjadi perebutan (persaingan) dengan pemakain lainnya maka dikelompokkan sebagai barang publik dengan biaya tambahan. Sedangkan apabila barang publik bersifat nonrivalrous,
tetapi
dalam
pemakaiannya
bisa
dibuat
excludable
maka
dikelompokkan sebagai barang publik excludable. Untuk lebih jelasnya dapat lihat pengelompokkan barang pribadi dan barang publik pada Tabel 7. Tabel 7. Pengelompokkan Barang Pribadi dan Barang Publik Excludable
Non Excludable
Rivalrous
Barang pribadi (milik)
Barang publik dengan tambahan biaya, misalnya jalan raya padat kendaraan, udara pada daerah padat aktivitas
Non Rivalrous
Bang publik excludable, misalnya TV kabel, jaringan telpon, dan jaringan listrik dengan kapasitas yang tersedia masih besar
Barang publik murni, misalnya siaran TV, siaran radio, jalan raya dengan kepadatan rendah, dan udara pada daerah aktivitas rendah
Sumber: Sadyohutomo (2008)
Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pasar lahan adalah pasar tidak sempurna. Kondisi ini menempatkan sumberdaya lahan pada posisi relatif tidak menguntungkan bagi pembangunan (Lovering et al, 2001). Menurut Nelson dan Duncan (1995) dalam Lovering et al (2001), penyebab ketidak-menguntungkan itu, seperti untuk pembangunan kota, adalah:
33
a. Overvaluation (penilaian berlebihan) lahan. Kebijakan pemerintah pusat dan lokal memainkan peranan dalam nilai pasar lahan. Sebagai contoh berupa konsesi pajak dan subsisdi konsesi atas utilisasi, tawaran perangsang bagi pembangunan industri dan perumahan, sementara kebijakan perencanaan mungkin menetapkan subsidi inefisiensi pembangunan di lokasi dengan kepadatan yang lebih rendah. Konsesi dan rangsangan ini menutupi nilai lahan riil untuk penggunaan sumberdaya, dan menghalangi perlindungannya. b. Dampak spillover. Dampak perluasan pembangunan ke areal perdesaan dan batas kota terhadap konversi lahan secara langsung, seperti konversi lahan pertanian, dan konsekwensi tidak langsung, dikenal sebagai spillover effect, dalam produktivitas sekitar lahan serta dampak lingkungan. c. Manfaat yang tidak bisa dihargai (unpriced benefits). Banyak manfaat sumberdaya lahan yang tidak dapat diukur di pasar lahan. Hal ini menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah uang yang akan merefleksikan nilai atas yang dapat dimanfaatkan. d. Impermanence Syndrome. Kombinasi over valuation sumberdaya lahan untuk pembangunan dan pembatasan produktivitas sebagai akibat dampak urban spillover sampai ke apa yang dikenal sebagai impermanence syndrome. Impermanence syndrome terjadi ketika pemilik sumberdaya mulai percaya bahwa di tempat tersebut sangat kecil aktivitas sumberdaya di masa depan di lahannya.
E. Tata Ruang Kota (Urban Spatial Structure) Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur (tata) ruang tertentu dalam rangka penyesuaian fungsinya untuk mencapai tingkat efisiensi pelayanan dan sekaligus kenyamanan lingkungan untuk permukiman. Menurut Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
34
masyarakat yang secara hirarki memiliki hubungan fungsional. Sementara pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Menurt Pasal 14 ayat (1) perencanaan tata ruang tersebut dilakukan untuk menghasilkan (1) rencana umum tata ruang dan (2) rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten /Rencana Tata Ruang Kota (Pasal 14 ayat 2). Sedangkan rencana rinci tata ruang terdiri dari (1) rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, (2) rencana tata ruang kawasan strategis propinsi dan (3) rencana detil tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata ruang kawasan stretegis kabupaten/kota. Elemen-elemen pembentuk struktur ruang kota adalah hampir sama dengan elemen-elemen yang membentuk suatu wilayah seperti yang telah diuraikan terdahulu, yaitu kumpulan pelayanan jasa, kumpulan industri sekunder dan perdagangan gorsir, lingkungan permukiman serta jaringan transportasi. Sementara itu pola ruang diwujudkan dalam bentuk tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya. Dalam implementasi penataan ruang seringkali mengalami kesulitan, sehingga produk rencana tata ruang belum dipakai sebagai acuan dalam penyusunan program pembangunan daerah. Menurut Setiobudi (2008), secara umum terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan implementasi penataan ruang diantaranya adalah rendahnya kualitas produk rencana tata ruang, belum adanya pedoman standar dan petunjuk teknis yang lengkap, desakan/tekanan pembangunan, rendahnya keterlibatan masyarakat dalam penataan raung, dan masih lemahnya law enforcement. Berdasarkan permasalahan tersebut, Setiobudi (2008) mengatakan bahwa dalam implementasi penataan ruang diperlukan seperangkat penunjang operasional yakni perangkat pemanfaatan dan pengendalian ruang, manajemen perkotaan dan partisipasi masyarakat. Terkait dengan permasalahan sulitnya mendapatkan lahan bagi pembangunan, maka pendekatan yang lebih popular adalah intervensi
35
pemerintah. Menurut Lovering et al (2001), ada 4 (empat) teknik pengendalian atau perlindungan guna lahan melalui intervensi pemerintah yaitu kebijakan perpajakan, right-to-farm laws, acquisition of development rights, dan metode zoning. Kebijakan pajak diadopsi dalam upaya untuk mejaga para petani tidak menjual lahannya kepada spekulan dan menjaga lahannya agar tetap berproduksi untuk periode waktu yang lebih panjang. Teknik perpajakan umum terkait tersebut adalah kebijakan insentif dan disinsentif. Right-to-farm laws ditujukan untuk mempersulit permukiman di sekitar lahan pertanian yang akan mengganggu produktivitas lahan pertanian. Akuisisi hak membangun ditujukan untuk menahan terjadi konversi guna lahan dari guna lahan pertanian menjadi guna lahan permukiman dengan cara membeli hak membangun lahan (purchas of developmentr rights). Ketiga teknik ini diharapkan dapat mengatasi para spekulan tanah dalam proses pembangunan. Menurut Walls dan McConnell (2007), pasar TDR bekerja sebagai alat perlindungan lahan ketika pemilik lahan bersedia dan dapat menjual hak membangun, dan pengembang tertarik untuk membeli haknya. Kekuatan relatif antara sisi supply dan demand dari pasar akan menentukan harga TDR yang dijual. Kesediaan mensupply untuk menyediakan TDR dan pengembang membeli hak membangunnya tergantung pada interaksi yang kompleks atas fitur rancangan program PDR, peraturan zoning, dan kondisi pasar rumah dan lahan di suatu lokasi. Adapun peraturan zoning yang mempengaruhi harga TDR adalah pembatasan kepadatan rumah yang menetapkan jumlah maksimum per hektar.
F. Kerjasama dan Koordinasi Pengelolaan DAS DAS dapat dianggap sebagai satu kesatuan ekosistem. Menurut Rodgers dan Zoofrano (2002), DAS adalah suatu sistem yang sangat rumit ketika dipandang semata-mata dalam terma fisik, dan akan lebih rumit lagi pada saat pola permukiman, aktivitas budidaya dan ekonomi juga ikut dipertimbangkan. Oleh karena itu menurut Asdak (2003), ekosistem DAS terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem DAS. Perlindungan ini, antara lain, dari fungsi dan stabilitas tata air. Oleh karenanya, perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus mengingat bahwa dalam suatu DAS,
36
daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas pembangunan yang mengubah tata guna lahan dan atau pembuatan bangunan, termasuk bangunan konservasi, yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah tengah dan hilir dalam bentuk perubahan. Dengan kata lain, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah tengah dan hilir DAS tidak bisa lepas dari pengelolaan lingkungan/sumberdaya alam di daerah hulu. Menurut Asdak (2003), di dalam bagian DAS sendiri juga merupakan suatu sistem yang memiliki keterkaitan antar satu wilayah dengan wilayah lain pada wilayah DAS tersebut, terutama kaitannya dengan ketersediaan dan kebutuhan air. Ketersediaan air merupakan total dari ketersediaan air hujan, air permukaan (mata air dan sungai), dan ketersediaan air bumi (dalam dan dangkal). Sedangkan kebutuhan air merupakan total kebutuhan air untuk rumah tangga, industri, dan pertanian untuk seluruh bagian DAS tersebut. Kebutuhan air tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi oleh ketersediaan air di satu wilayah dalam bagian DAS, sehingga harus dipenuhi dari wilayah lain baik secara alami maupun melalui distribusi air buatan. Oleh karena itu dalam bagian DAS sendiri memerlukan penggunaan secara konjungtif (bersama) dan dengan sistem pengelolaan sumberdaya terpadu. Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian Sugiharto (1995) di DAS Citarum Hulu bahwa total kebutuhan air di hulu DAS tersebut tidak akan dapat dipenuhi oleh ketersediaan air permukaan saja atau air bumi saja tetapi masih mungkin dipenuhi dari keduanya dengan penggunaan konjungtif (bersama) dan dengan sistem pengelolaan sumberdaya air terpadu. Perilaku atau kinerja DAS sangat dipengaruhi oleh aktivitas para stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada DAS tersebut. Aktivitas stekholders dapat dibedakan atas aktivitas yang mempengaruhi produksi air, aktivitas yang mempengaruhi kualitas air dan aktivitas dalam pemanfaatan air. Dengan diketahuinya stakeholders yang diperkirakan akan mendapatkan manfaat dan mereka yang akan dibebani ongkos, maka diharapkan dapat dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang telah mempertimbangkan mekanisme regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif-disinsentif terhadap stekholders, sesuai dengan kategori dan kedudukannya. Prinsip ini dikenal dengan cost-benefit sharing principles.
37
Pengelolaan terpadu DAS umumnya akan melibatkan banyak kelembagaan (sektoral dan non sektoral, pemerintah dan non pemerintah). Menurut Asdak (2003), pengalaman selama ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral, dan oleh karenanya, seringkali terjadi tabrakan kepentingan antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan, diperlukan klarifikasi dan identifikasi secara jelas tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam menjalankan fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan, masalah lain yang umum terjadi dalam pengelolaan sumberdaya yang melibatkan banyak lembaga adalah masalah kerjasama dan koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang akan mengatur mekanisme kerja antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan matang sehingga dapat menghasilkan pola kerjasama dan koordinasi yang optimal. Dalam pengelolaan DAS dewasa ini berkembang sistem terintegrasi pengelolaan air perdesaan yakni Integrated Rural Water Management, sebagai bagian dari prinsip umum:”Integrated Water Resources Management”, yang meliputi koordinasi perencanaan dan manajemen lahan, air, dan sumberdaya lingkungan lainnya untuk penggunaan yang pantas, efisien dan lestari (Prinz, 1999). Sementara Asdak (2003) mengatakan dalam konteks penyelenggaraan pengelolaan DAS, mekanisme kelembagaan umumnya dilaksanakan melalui tiga cara agar lebih berhasil dalam implementasinya di lapangan. Ketiga acara tersebut adalah: 1. Investasi publik secara langsung, mesalnya program penanaman pohon penghijauan di lahan masyarakat, investasi dalam pembuatan dan pengendali dan stabilitasi bantaran sungai, dan investasi dalam pembuatan hutan rakyat. 2. Regulasi dan prosedur yang akan memberikan panduan kepada perseorangan maupun kelompok, misalnya aturan pemanfaatan makanan ternak (rumput, daun) di lahan negara, aturan pembuatan jalan, aturan pemanenan hasil hutan, dan seterusnya. 3. Mekanisme insentif/pajak, misalnya pemberian subsidi dan/atau investasi dalam kaitannya dengan program-program rehabilitasi lingkungan (rumah yang dilengkapi sumur resapan, Pajak Bumi dan Bangunan dikurangi), subsidi silang
38
antara pelaksanan program pengelolaan DAS di daerah hulu dan penerima manfaat di daerah tengah/hilir DAS.
G. Insentif Ekonomi dalam Pengendalian Guna Lahan 1. Konsep-Konsep Kunci dan Definisi Insentif Regulasi publik terhadap keputusan penggunaan lahan milik telah menjadi isu lingkungan utama di America Serikat pada akhir-akhir ini. Dalam aktivitas konservasi, kebijakan pembatasan dan peraturan larangan sudah dipandang tidak populer lagi (Biot et al, 1995), karena hal ini mengarahkan pada penggunaan secara paksa, demikian juga melalui kekuatan proyek merupakan bentuk pemaksaan penerapan upaya konservasi. Di Amerika Serikat telah dilakukan berbagai upaya diantaranya melalui legal formal dengan melakukan berbagai amandemen undangundang untuk meningkatkan kewenangan intervensi pemerintah dalam penggunaan lahan milik untuk mengarahkan pada kegiatan konservasi. Namun dalam mengendalikan penggunaan lahan milik ini melalui undang-undang dan juga cara komunitas lokal, ternyata masih dipandang kurang efektif (Balsdon, 2003). Menurut Smith (1994) dalam Enters (1999), cara insentif bila salah penerapan juga menghasilkan ketergantungan yang berkelanjutan terhadap proyek dan program yang memberikan insentif. Dengan demikian insentif menurut Enters (1999) hanya sebagai instrumen, dan berfungsi sebagai spade, shovel, atau hoe, yang tidak hanya menghasilkan capaian jangka pendek, tetapi secara potensial dapat memompa target jangka panjang melalui praktek-praktek manajemen berkelanjutan, dengan kata lain insentif harus menjadi katalis untuk perubahan, dan bukan penyebab perubahan penggunaan lahan. Dalam penerapan insentif ini hal yang seharusnya diperhatikan adalah masalah terjadinya disperitas antara tujuan publik dan private dari penggunaan tanah. Menurut Meijerink (1997) dalam Enters (1999), insentif memang seharusnya hanya diaplikasikan untuk tujuan publik, namun pencapaian targetnya akan lebih baik lagi apabila mempertimbangkan tujuan private. Terjadinya divergensi antara tujuan private dan publik, terletak pada ketidak-seimbangan (imbalance) antara penambahan biaya pada tingkat lokal (on-site) dan masyarakat yang lebih luas (off-site). Menurut
39
Sander et al (1995) dalam Enters (1999), ketidakseimbangan ini diakibatkan oleh kegagalan pasar (market failure). Terjadinya degradasi karena tidak semua biaya dan manfaat dalam proses produksi pertanian atau lainnya direfleksikan dalam harga pasar. Biaya off-site, misalnya, dari pertanian di lahan curam, tidak direfleksikan dalam harga hasil pertanian, dan tidak juga dalam membuat keputusan petani. Namun di lahan perkotaan atau suburban, pasar akan merefleksikan nilai lingkungan lahan bergantung pada aksi publik terhadap kebutuhan mitigasi ruang terbuka (kawasan lindung), pengelolaan penggunaan lahan yang baik oleh kabupaten dan otoritas perkotaan (Balsdon, 2004). Dari perspekstif efisiensi ekonomi, secara ideal, sebenarnya tidak ada kasus penggunaan insentif dalam pengelolaan ruang terbuka, karena biaya ekonomi, sosial dan lingkungan dan manfaat konservasi akan direfleksikan melalui harga di pasar. Dengan demikian alokasi sumberdaya optimal dilakukan melalui keputusan individu pemilik lahan (Binning, 2004). Berdasarkan pemahaman di atas yang beragam, diperlukan pengertian insentif yang lebih jelas. Menurut Oxford Modern, insentif adalah suatu pembayaran atau konsensi untuk menstimulasi dalam memperbesar output tenaga kerja. Definisi lain, insentif adalah perangsang atau pemancing aktivitas, sebagai faktor motivasi dalam meningkatkan aksi, atau stimulan motivasi agar mengambil langkah ke arah yang diharapkan. Berdasarkan definisi ini, Huszar (1999) mendefinisikan insentif sebagai sesuatu jasa untuk membujuk atau mempengaruhi penerapan suatu etika. Kemudian menurut Sadyohutomo (2008), insentif merupakan salah satu bentuk kompensasi akibat rencana tata ruang selain kompensasi dalam bentuk pemberian uang tunai, transfer of development right/dispensasi untuk pembangunan lain, atau bentuk kompensasi lainnya. 2. Jenis dan Macam Insentif Menurut Enters (1999), insentif dapat dibedakan atas insentif langsung (direct incentives) dan insentif tidak langsung (indirect incentives) (Gambar 11). Keduanya adalah instrumen – dalam pandangan secara kasar – yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi keputusan produsen atau konsumen melalui pancingan finansial dan atau non-finansial. Dirancang untuk katalis perubahan dan berdampak segera pada perilaku individu dan komunitas, insentif langsung disediakan secara
40
langsung bagi pengguna sumberdaya. Sebagai contoh, pajak polusi dan cicilan pajak dalam konservasi tanah bermanfaat bagi pengguna tanah secara langsung dan memperkuat mereka untuk mengubah produksi kearah praktek-praktek yang lebih berkelanjutan. Insentif
Insentif Langsung
Insentif tidak langsung
Insentif Variabel
Insentif enabling
Insentif makroekonomi
Insentif sektoral
Gambar 11. Tipologi Insentif (Enter, 1999) Secara umum, insentif langsung terdiri dari (Enters, 1999): input-input pertanian, provisi infrastruktur lokal, bantuan dan subsidi, konsesi pajak untuk investasi dalam praktek-praktek konservasi, green funds, perbedaan fee, penghargaan dan hadiah, pinjaman dengan kredit berbunga rendah, dan pembagian biaya perencanaan (arrangement). Sedangkan insentif tidak langsung terdiri dari insentif variabel dan insentif enabling yang dibedakan sebagaimana Tabel 8. Tabel 8. Pembedaan Insentif Variabel dari Insentif Enabling Insentif Variabel Sectoral
Macro economic
Harga input dan output Pajak Subsidi Tarif
Nilai tukar Pajak Suku bunga Fiskal dan meneter
Insentif Enabling
Securitas lahan Aksesibilitas Pengembangan pasar Devolusi manajemen sumberdaya alam Desentralisasi pengambilan keputusan Fasilitas kredit Securitas nasional Sumber: IFAD (1996;1998) dalam Enters (1999)
41
Kemudian menurut Setiobudi (2008), terdapat 3 (tiga) kelompok perangkat/ mekanisme insentif dan disinsentif yaitu (1) pengaturan/regulasi/kebijakan, (2) ekonomi/keuangan sebagai penerapan dari pengenaan pajak dan retribusi, dan (3) pemilikan/pengadaan langsung oleh pemerintah atau swasta. Rincian jenis insentif dan disinsentif dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis Insentif dan Disinsentif Kelompok Perangkat/ Mekanisme Insentif dan Disinsentif (1) 1) Pengaturan/regulasi/ kebijaksanaan
Obyek Guna Lahan 1)
2) 3) 4) 5)
2) Ekonomi/Keuangan
1) 2) 3) 4) 5) 6)
(2) Pengaturan hukum pemilikan lahan oleh private. Pengaturan sertifikasi tanah. Amdal TDR Pengaturan perizinan: - Izin prinsip; izin usaha/tetap. - Izin lokasi. - Planning permit. - Izin gangguan - IMB. - Izin penghunian - bangunan (IPB). Pajak lahan/PBB. Pajak pengembangan lahan. Pajak balik nama/jual beli lahan. Retribusi perubahan lahan. Development Impact Fees. Betterment tax. kompensasi
Pelayanan Umum (3)
1) Pajak
Prasarana (4)
1) User kemacetan. charge/tool 2) Pajak for plan. pencemaran. 2) Initial cost 3) Retribusi for land conperizinan; solidation. - Izin prinsip; - izin usaha /tetap. - Izin lokasi. - Izin rencna. - Izin gangguan. - IMB. - Izin penghunian banguan (PB) 4) User charge atas pelayanan umum.
42
Tabel 9 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
(4)
5) Subsidi untuk
pengadaan pelayanan umum oleh pemerintah atau swasta 3)Pemilikan/ 1) Penguasaan lahan oleh 1) Pengadaan 1) pengadaan langsung pemerintah pelayanan oleh pemerintah umum oleh pemerintah (air bersih, 2) pengumpulan/ pengolahan sampah, air kotor, listrik, 3) telepon, angkutan umum). Sumber : Petunjuk Operasional RTRW Kota Bandung dalam Setiobudi (2008)
Pengadaan infrastruktur oleh pemerintah. Pembanguna n perumahan oleh pemerintah. Pembanguna n fasilitas umum 0leh pemerintah.
Menurut Binning (2004), karena pasar tidak menyediakan bagi nilai dan jasa lingkungan yang disediakan lahan konservasi, pendekatan alternatif dilakukan dengan mengidentifkasi biaya dan manfaat insentif yang didasarkan pada ukuran kegiatan konservasi di kawasan lindung (woodlands). Apabila biaya dan manfaat ini dapat dengan mudah dikuantifikasikan, dapat dijadikan dasar dalam pembagian manfaat. Pada Tabel 10 dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi biaya dan manfaat antara kawasan lindung di lahan milik dan kawasan lindung publik. Kemudian menurut EVA dan MAP (2001) insentif konservasi adalah penerapan finansial untuk mempengaruhi cara orang berfikir dan berbuat, dimana tujuannya bukan sebagai kompensasi bagi pemilik lahan untuk oportunitas kehilangan penggunaan lahan, tetapi lebih sebagai penyedia kontribusi untuk biaya mempertemukan ekspektasi konservasi komunitas, mencoba untuk mencakup komunitas dalam perlindungan sisa flora dan fauna dan untuk meningkatkan kelestarian praktek-praktek manajemen. Namun menurut Balsdon (2003), bahwa pada kenyataannya, banyak eksternalitas mirip “ the tragedy of the commons”, sehingga pemilik lahan tidak memperoleh manfaat konservasi habitat (atau kontrol erosi) secara pribadi, sehingga investasinya merugi.
43
Tabel 10. Biaya Dan Manfaat Kawasan Lindung di Lahan Milik dan Lahan Publik Biaya (Cost) Lahan Milik (landholders)
Publik
Opportunity cost sama dengan pelarangan penggunaan lahan (contoh untuk ladang penggembalaan) Tenaga kerja untuk konstruksi pagar pembatas (tata batas) Biaya pemeliharaan pagar pembatas (pal batas)
Kehilangan opsi penggunaan di masa depan
Bahan pembatas (pal batas) Jasa tambahan dan fasilitas
Manfaat (Benefits) Lahan milik Publik (landholders) Nilai kapital pagar Terlindunginya pembatas konservasi ekosistem
Memungkinkan meningkatkan manajemen pertanian Kesenangan
Meningkanya etika manajemen lahan Aliran dampak pada lahan milik lainnya
Biaya manajemen konservasi Administrasi masa depan program Nilai yang hilang dan nilai lahan Sumber: Binning, 2004
H. Contoh Penerapan Insentif Dalam Mendorong Mempertahankan Guna Lahan dan Adopsi Upaya Konservasi Penerapan insentif bagi pengguna lahan (land user) untuk kegiatan konservasi sumberdaya alam mulai banyak dilakukan oleh berbagai negara, khususnya di negaranegara Amerika dan Eropa. Ada dua bentuk insentif yang menonjol diberikan yaitu pembelian hak pembangunan di lahannya (purchase of development right, PDR) dan pembayaran jasa lingkungan dari penggunaan lahannya (payment ecosystem service, PES). Perbedaan mendasar dari kedua bentuk insentif tersebut adalah untuk PDR, insentif digunakan untuk mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan private dan lahan negara, contoh kasus di lahan peternakan, pertanian dan hutan Amerika Serikat Bagian Barat. Sedangkan PES digunakan untuk mendorong perilaku konservatif di lahan private guna memaksimalkan jasa lingkungan penggunaan lahannya, sebagai contoh PES untuk jasa konservasi keanekaragaman hayati di lahan peternakan di negara Colombia, Costa Rica, dan Nicaragua. 1. Purchase of Development Right (PDR) PDR dewasa ini telah populer dan menjadi suatu alat perlindungan lahan pertanian dan sumberdaya lainnya dari pembangunan. Menurut Stein et al (2001)
44
latar belakang penerapan PDR diawali oleh kekhawatiran publik Amerika Serikat akan hilangnya sumber pangan, daging dan serat yakni lahan pertanian yang luas di negara bagian western akibat tingginya permintaan permukiman perdesaan di negara bagian tersebut karena tertarik pada pemandangan, ruang terbuka yang luas, dan gaya hidup perdesaan. Sedangkan program PDR di Amerika Serikat Bagian Timur dimulai pada tahun 1970 ketika komunitas di wilayah tersebut merasakan kehilangan para petani yang mensupply makanan dan serat lokal, sehingga memutuskan untuk melakukan perlindungan terhadap lahan-lahan petani dan ruang terbuka yang tersisa dari kerusakan. Menurut Stein et al (2001), kecenderungan meningkatnya permintaan permukiman perdesaan oleh karena harga lahan yang murah tetapi berkualitas yang dicari customer dalam mana daerah Western telah menyediakan karakter unik bentang alam dan komunitas perdesaan Western. Demand permukiman perdesaan telah meningkatkan harga lahan, yang mengakibatkan terjadinya fragmentasi bentang alam yang luas yang dibutuhkan untuk mendukung rumah tangga petani, DAS yang sehat, serta tanaman dan hewan setempat. Dalam dua dekade terakhir, lebih satu juta are yang menuju kawasan Graeter Yellowstone telah dipisah-pisahkan dalam 200 arean atau kurang. Selanjutnya dikatakan bahwa orang-orang Western bertekad melakukan inovasi yang kuat dalam melakukan konservasi landscape tempat kerja dan lahan milik disaat opportunity telah tersedia. Pemilik lahan memerlukan alat yang luwes yang dapat membantu melindungi landscape tempat bergantung kehidupannya. Menurut Daniels (1990) dan Daniels (1998), perlindungan lahan pertanian sangat kompleks, sehingga tidak ada satupun teknik yang dapat mengatasi semua aspek, namun dikatakannya suatu program dapat digunakan minimal mencapai lima tujuan yaitu (1) melindungi lahan dari masa kritis, yakni sebagai dasar kecukupan dari tanah pertanian untuk mendapatkan dukungan bisnis untuk tetap ada, (2) menjaga harga lahan yang layak untuk pengembangan pertanian dan dimasuki oleh petani baru (muda), (3) dapat dipercaya sebagai program perlindungan jangka panjang, (4) efektivitas biaya perlindungan harus pada tingkat yang layak biaya relatif terhadap keuntungan, dan (5) secara terus menerus mendapat dukungan modal sosial dan dukungan politik publik dari pejabat pemerintah.
45
Selanjutnya Daniels (1990) dan Daniels (1998) mengatakan bahwa kesuksesan program perlindungan tanah pertanian dan kehutanan seharusnya mencakup sebagian besar atau semua hasil berikut: (1) pajak kekayaan dapat dipecahkan untuk petani dan pengelola hutan komersil; (2) perencanaan komprehensif di tingkat kabupaten atau multi kota, bersama-sama dengan zone pedesaan yang hanya mengijinkan kepadatan pembangunan perumahan yang rendah dan alokasi sangat kecil bagi pembangunan kegiatan komersil atau pembangunan industri; (3) penjualan atau pelepasan hak membangun ke pemerintah daerah atau pusat, mencerminkan komitmen untuk kegiatan pertanian; (4) perlindungan untuk petani dalam melawan gangguan penggunaan untuk bertani; (5) pembatasan pengembangan pengairan dan saluran air dan hanya dibatasi di perkotaan; (6) zona permukiman perdesaan ditempatkan pada tanah dengan mutu lebih rendah dan tidak mengganggu lahan pertanian komersil. Alat
yang
luwes
dan
diharapkan
memenuhi
ciri-ciri
keberhasilan
perlindungan tanah pertanian dan kehutanan di atas adalah transaksi program PDR. Menurut Daniels (1998), di Amerika, pemilik tanah sebenarnya memiliki sebundel hak terhadap tanah. Hak-hak tersebut meliputi hak atas air, hak atas udara, hak atas menjual lahan, hak untuk diwariskan, hak menggunakan, dan hak untuk mendirikan bangunan. Semua dari hak ini dapat dipisahkan dari sebundel hak tersebut dan dapat dijual, didermakan, atau pembebanan hak lainnya. Menurut Rielly (2000), program PDR dirancang untuk membatasi seseorang dalam membangun bukan penggunaan untuk pertanian di lahannya, suatu hak yang secara tradisionil melekat pada lahan milik. Selanjutnya Lovering et al (2001) mengatakan bahwa PDR mencakup penjualan hak membangun terpisah dari hak lainnya. Dengan demikian program PDR memberikan jalan keluar dari dilema yang dihadapi petani akibat meningkatnya harga lahan dengan pemberian kepada pemilik lahan suatu cara untuk merealisasikan nilai pembangunan lahannya dengan tanpa memiliki hak untuk membangunnya. Selanjutnya dikatakan hahwa pemilik lahan dapat menjual sebagian atau semua hak membangun atas propertynya dan menggunakan pendapatannya untuk berbagai kebutuhan individual untuk mata pencaharian keluarganya dari lahan. Sementara itu manfaatnya bagi peternak adalah pengurangan hutang dan pajak propertynya,
46
memperluas atau memodernisasi usaha peternakannya, pengembalian investasinya, dan/atau menempati lahannya dengan keuntungan PDR-nya. Menurut Daniels (1998), dibawah PDR seorang pemilik tanah pertanian dengan sukarela menjual hak membangunnya (juga dikenal sebagai consevation easement) ke lembaga pemerintah atau “private land trust” dan menerima kompensasi sebagai balasan untuk pembatasan penggunaan lahan. Petani tetap memegang peranan terhadap lahannya dan dapat menjual atau digunakan sepanjang masa, walau penggunaan di lahannya adalah terbatas pada kegiatan pertanian dan ruang terbuka. Suatu easement dicatat pada akta pemilikan tanah dan "melekat pada lahan," yang manapun untuk selamanya atau untuk periode waktu tertentu dalam dekomen easement. Easement melarang pembangunan permukiman tidak terkecuali untuk pemilik, anak-anak pemilik, atau buruh tani. Akses publik secara normal tidak diijinkan, atau pun melakukan pembuangan sampah atau memindahkan tanah. Praktek-praktek dan struktur pertanian normal diijinkan sepanjang mereka mematuhi ketentuan. Selanjutnya Stein et al (2001) menyampaikan bahwa komunitas di sana melembagakan finansial publik yang dapat mendanai dalam mengakuisi dan meniadakan hak-hak pembangunan dalam kerangka melindungi lahan-lahan pertanian supaya lestari. Anggota komunitas bekerja dengan kantor pemilihan umum setempat untuk tingkat kota, kabupaten, negara bagian, federal, dan secara khusus disponsori program PDR yang memungkinkan lahan milik untuk dapat bekerjasama dengan lahan publik dalam memelihara usaha pertanian sekaligus memelihara pemandangan indah, habitat hidupan liar, fungsi DAS, dan opportunitas rekreasi. Melalui program PDR, publik menyediakan pembayaran secara tunai untuk pemilik lahan untuk nilai hak membangunnya di setiap persil lahan. Pemilik tetap menjadi pemilik lahan, tetapi dikompensasi untuk melepaskan hak membangunnya sebagai real estate. Pertanian dan penggunaan lainnya dari lahan dapat berkelanjutan. Untuk publik, program PDR memungkinkan banyak mengurangi biaya koservasi lahan. Menurut Veslany (2002), ciri penting dari PDR ini adalah bahwa transaksi PDR merupakan bentuk sukarela dari pemilik lahan. Mereka melakukannya hanya ketika pemilik lahan percaya bahwa hal itu merupakan sesuatu yang terbaik untuk dilakukan. Tujuan transaksi PDR adalah untuk membantu pemilik lahan melindungi
47
tempat bekerjanya dan kepemilikan landscape lahan lainnya dari tekanan pembangunan melalui pendekatan kompensasi untuk konservasi. Dalam implementasi PDR terdapat dua persoalan mendasar yang dihadapi yakni bagaimana transaksi dilakukan dan bagaimana PDR didanai. Transaksi PDR berlangsung di suatu negara bagian melalui lembaga seperti land trust atau lembaga lainnya sebagai penghubung ke pemerintah lokal dalam membuat penawaran kepada pemilik lahan untuk membeli hak membangun lahannya. Pemilik lahan bebas untuk menolak, atau mencoba bernegosiasi pada harga tinggi (Lovering et al, 2001). Kesepakatan yang dibuat, memberikan secara permanen pembatasan yang dilekatkan pada property yang membatasi tipe aktivitas yang mungkin mengambil alih keberlanjutan lahan (Daubenmire dan Blaine, 2001). Melalui cara ini, negara bagian dapat membatasi atau mengatur penggunaan lahan di masa depan. Permasalahan dengan PDR adalah bahwa pembayaran pajak menjadi ganda untuk hak membangun (Lovering et al, 2001). Berikut disampaikan sumber-sumber dana PDR di Amerika Setikat yang berasal dari Federal dalam melindungi lahan peternakan, pertanian dan hutan milik sebagaimana disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Sumberdaya Federal Untuk PDR Pada Peternak, Pertanian dan Hutan Sumber dana
Jenis program dan Tujuan
Jumlah dana dan Hasil
(1)
(2)
(3)
the Farmland Protection Progam (FPP), 1996
Program Perlindungan Lahan Pertanian: untuk membantu peternak dan petani secara keuangan untuk menahan kepemilikan lahannya dan untuk meningkatkan kelangsungan ekonomi dari usaha pertaniannya
Sejak tahun 1996, FPP menyediakan total anggaran $59 juta dalam bentuk pendanaan Federal, menghasilkan perlindungan areal seluas 108.000 acre melalui PDR diberbagai tempat di AS.
Farm Bill 2002
program perlidungan lahan pertanian: perlindungan lapangan kerja pertanian dan peternakan di Barat
menyediakan $ 647 juta selama 6 tahun, dengan rincian sbb: Tahun 2002: $ 50 juta Tahun 2003: $150 juta Tahun 2004: $125 juta Tahun 2005: $125 juta Tahun 2006: $100 juta Tahun 2007: $ 97 juta
48
Tabel 11 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
the forest legacy program (FLP), 1997
Program pewarisan hutan (the Forest Lebacy Program): menjamin conservation easement di hutan produksi dari ancaman konversi lahan ke penggunaan non-hutan
Dalam sejarahnya FLP memnerima pendanaan terbesar. Setelah dimulai dengan dana $2juta tahun 1997, usaha dikonsentrasikan untuk meningkatkan pendanaan dari luar dan sukses, menghasilkan $65 juta untuk tahu 2002. Pada anggran tahun 2003, Presiden George W, Bush merekomendasikan $70 juta untuk FLP
untuk melindungi lahan pertanian produktif dan meningkatkan tujuan konservasi. Grasland Reserve Program baru telah dibuat, dimulai tahun 2002, untuk melindungi sebanyak 2 juta acre ekologi alamiah penting dan rehabilitasi padang rumput. propgram perlindungan lahan basah diadakan untuk pendanan pembelian secara permanen atau jangka easement 30 tahun lahan basah pertanian.
Program membutuhkan 60% pendanaan untuk pembelian secara permanen atau easement jangka 30 tahun. Sisanya 40% digunakan untuk perjanjian 10, 15 atau 20 tahun. meningkatkan luas areal dari 975.000 acres (2001) menjadi total 2.275.000 acre, dengan pendaftaran per tahun dibatasi sampai 250.000 acre. Selain itu, program perlindungan (the Conservation Reserve Program), keberadaannya dalam menyediakan pembayaran bagi petani dalam men-set lahan sensitif, didanai untuk 6 tahun. Direncanakan terjadi peningkatan menjadi 39.2 juta acre dari sekarang 36.4 juta acre.
Program konservasi lain dalam Farm Bill 2002
Sumber: Veslany (2002)
Stein et al (2001) menjelaskan seecara umum bahwa mekanisme pendanaan PDR di tingkat negara bagian di seluruh AS disediakan secara tahunan bersumber dari sumbangan atas keuntungan lotre, dan otorisasi obligasi langsung oleh legislatif atau pemilih referendum. Selanjutnya dilaporkannya bahwa beberapa contoh mekanisme pendanaan program PDR di berbagai negara bagian seperti diuraikan berikut:
Di negara Bagian Montanna menentapkan program a rancher-friendly didanai dengan fee lisensi untuk rekreasi pemancingan dan berburu, dan pemilih di Missoula dan Helena masing-masing menyediakan sekitar $5 juta dalam bentuk obligasi melalui pajak property, guna meningkatkan pendaaan untuk areal taman,
49
rekreasi, dan program ruang terbuka. Pada tahun 1999 Montana Agricultural Heritage Program telah dibentuk dengan alokasi pendaaan awal sebesar $1 juta.
Pada tahun 1996 Kabupaten Douglas, Colorado, satu kabupaten yang pertumbuhannya tercepat, menyetujui sekitar $25 juta dari keuntungan obligasi yang ditanggung oleh pajak pembelian/penggunaan untuk ruang terbuka.
Di Davis, California, para pengembang (developer) membayar untuk program PDR melalui program mitigasi keunikan lahan pertanian. Mereka diberi ijin untuk mengembangkan property di areal yang tepat jika mereka membantu membayar untuk mitigasi ruang terbuka hijau melalui pendanaan PDR di property lainnya.
Pada tahun 1998 di Kabupaten Bernalillo, New Mexico, para pemilih menyetujui selama dua tahun sebesar setengah dari 1 persen pajak penjualan, sehingga telah meningkatkan pendanaan kegiatan perlindungan ruang terbuka.
Pada tahun 1998 di Carson City, Nevada, para pemilih memberikan separuh dari 1 persen pajak penjualan/penggunaan ‘kualitas hidup” untuk perlindungan taman, jalan setapak, dan ruang terbuka.
Kentucky mengijinkan pemerintah kota untuk mendanai program PDR-nya dari pajak advalorem, fee lisensi dalam hak monopoli, penjualan dan profesi, pajak kamar, atau kombinasi, dipilih dalam referendum lokal.
Beberapa kabupaten di Maryland menggunakan pajak penjualan real-estate lokal ditambah dengan derma pendanaan umum untuk mendanai program PDR-nya.
Pennsylvania dari cukai rokok
Maine memiliki kartu kredit yang menyediakan dana untuk memperoleh lahan sumberdaya alam penting, termasuk lahan pertanian.
Virginia Beach, Virginia, menyediakan uang untuk program PDR-nya dari pajak telpon seluler, menyumbangkan meningkatkan pajak property lokal sebesar 1.5 persen, sumbangan dari pemerintah kota. Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pengembangan PDR di Amerika
Serikat seperti disajikan pada Tabel 12.
50
Tabel 12. Pengembangan Program PDR Di AS Bagian Timur Lokasi Tahun Di Negara bagian Colorado, 1992
Jenis Lembaga
Tujuan Pendirian
Keterangan
Great Outdoors Colorado (GOCO)
Merupakan a trust fund dengan sumber dana Colorador lotre sebesar $35 juta per tahun untuk mengakuisisi tempat rekreasi di luar gedung (outdoors), hidupan liar, dan ruang terbuka hijau Menghasilkan the Routt County Open Land Plan, disempurnakan dalam tahun 1993-1995, yang mencakup opsi-opsi perlindungan bagi areal peternakan dan menetapkan perluasan program PDR di seluruh kabupaten, pada tahun 1996. Mereka membentuk CCALT untuk menjadikan pertanian lokal agar memperhatikan masalah konservasi, partner bagi peternak Colorado dalam menghadapi pertumbuhan pembangunan dan tekanan ekonomi, dan untuk meningkatkan produksi pertanian secara terus menerus bermanfaat bagi setiap orang.
Sejak sumbangan pertama tahun 1994, GOCO telah membantu kegiatan konservasi mencapai 328.756 acre ruang terbuka hijau, termasuk 161.119 acre lahan pertanian.
Kabupaten Routt, 1992
Pendirian the Yampa Valley Land Trust (YVLT) Komite Perencanaan Ruang Terbuka (the Open Space Planning Commite)
Negara Bagian Colorado, 1995
the Colorado Cattlement Agricultural Land Trust (CCALT) telah dibentuk oleh Asosiasi Peternak Colorado. CCALT merupakan agricultural land trust pertama yang dibentuk di AS oleh mainstream produsen.
CCALT melengkapi proyek PDR pertama melindungi 21.500 acre dengan pendanaan dari GOCO, Yayasan Perikanan dan Hidupan Liar National, Gates Family Foundation, the Conservation Fund, Colorado Departement of Wildlife, The US Burreau of Land Management, dan U.S Forest Service.
Sumber: Stein et al (2001;2002)
Kemudian setelah kabupaten-kabupaten di Bagian Timur AS menciptakan program PDR, komunitas di bagian Barat mengembangkan program PDR menjadi lebih efektif, dimaksudkan untuk melindungi landscape tempat bekerja, dengan daftar berbagai program PDR dan Private Land Trust di berbagai negara bagian di Amerika Serikan Bagian Barat, sebagaimana tersaji pada Tabel 13.
51
Tabel. 13. Contoh Jenis-Jenis Program Beberapa Negara Bagian dalam Konservasi Lahan Pertanian Jenis Program Negara Bagian (1) ALASKA
ARIZONA
Program Negara Bagian
Program Lokal
(2) Negara Bagian menerima $ 400 juta hasil sitaan permukiman dari pengadilan dengan Exxon untuk curahan minyak tahun 1989, dan mendirikan the Exxon Valdez Oil Spill Trustee Council untuk mengelola dana sumbangan, bekerjasama dengan negera bagian dan pemerintah federal. Bagian hasilnya digunakan untuk melindungi lahan melalui conservation easement. Dewan ini telah melindungi 640.000 acre lahan milik negara bagian, menggunakan conservation easement satu tiga. Badan Taman Negara Bagian (The State Parks Board) mengelola dua program yang dapat digunakan untuk PDR. Program areal alami dibentuk dengan pendanaan dari the Arizona Heritage Initiative (ARS 41501) pada tahun 1990. Program ini mendapatkan persetase dari pendapatan Arizona Lottery setiap tahun untuk akuisisi lahan, termasuk conservation easement, untuk konservasi
(3) Great Land Trust (Anchorage), Interior Alaska (Fairbanks), Kachemak Heritage Land Trust (Homer), Kodiak Brown Bear Trust (Anchorage), Nushagak/Mulchatna -Wood/Tichik Land Trust (Dillingham), Southeast Alaska Land Trust (Juneau).
Kota Queen Greek akan menerapkan program PDR lokal pertama di negara bagian ini. Didanai dari fee pembangunan yang dikumpulkan dari setiap pembangunan rumah baru di Queen Greek, keuntungan diproyeksikan sampai $111 juta per tahun untuk 10 tahun berikutnya. Menunggu: Kabupaten Pima sekarang ini sedang
Private Land Trust (4)
Arizona Land Trust (Tucson), Balack Mountain Conservancy (Gave Greek), Cascabel Hermitage Association (Tucson), Central Arizona Land Trust (Prescott), Desert Foothills Land Trust (Gave Greek), Grand Canyon Trust (Flagstaff), Keep Sedona Beautiful
52
Tabel 13 (la jutan) (1)
(2) nilai keunikkan alami. Pemilih menetapkan the Arizona Growing Smarter Grant Program di tahun 1998 melalui Proposition 303, the Growing Smarter Act. Itu dialokasikan $220 juta untuk 11 tahun dari pendanaan umum untuk akuisi atau mengurangi lahan negara bagian atau area dekat kota. Dana tersebut dapat juga digunakan untuk pembelian hak mem-bangun di tanah negara. Dimulai tahun 1998, the Arizona Common Ground Roundtable mensponsori diskusi diantara berbagai kelompok seperti peternak, konservasionis, para ilmuwan, lembaga publik, dan mendukung secara antusias untuk memahami tantangan konservasi di negara bagian. Kelompok tersebut merekomendasikan berkenaan dengan pembangunan pada program PDR di seluruh negara bagian ke Governor Hull’s Growing Smarter Commision, bersidang pada tahun 1998 sebagai bagian the Growing Smarter Act. Berdasarkan rekomen-dasi komisi tersebut, pembuat undangundang melo-loskan the Growing Smarter Plus paket legislatif tahun 2000, yang memasukan kreasi program PDR diseluruh negara bagian, the Development Rights Retirement Fund. Badan ini
(3) mengembangkan Sonoran Desert (Habitat) Conservation Plan telah mempertimbangkan membuat program PDR sebagai bagian dari rencana implementasinya.
(4) (Sedona), Malpai Boderlands Group (Douglas), McDowellSonoran Land Trust (Scottscale), Oracle Land Trust (Oracle), Prescott Greeks Preservation Association (Prescott), Ribcon Institute (Tueson), Southeast Arizona Land Trust (Tuscon), Superstition Area Land Trust (Apache Junction).
53
Tabel 13 (lanjutan) (1)
(2) juga akan mengelola melalui Badan Taman Negara Bagian, tetapi mekanisme pendanaannya telah dikembangkan. Pada Juni 2002 Gubernur Jane D. Hull mengisyaratkan menetapkan the Arizona Agricultural Protection Act dan memfasilitasi penetapan agricultural easement untuk melindungi lahan pertanian atau peternakan. CALIFORNIA Program Konservasi Lahan Pertanian Kalifornia didirikan tahun 1996. program ini dikelola melalui Departemen Konservasi Divisi Perlindungan Sumber daya Lahan dan pendanaan dari sumbangan tahunan. Program menyediakan hibah bagi pemerintah lokal, distrik konservasi sumberdaya, organisasi non-profit, dan distrik ruang terbuka regional untuk proyek-proyek yang menggunakan conservation easement guna melindungi lahan pertanian. Proposition 12 Maret 2000, menyediakan $25 juta yang lain untuk hibah beberapa tahun terakhir. Dengan Proposition 20 Maret 2002, ditambah $75 juta disediakan untuk konservasi lahan pertanian. California juga mendaftar di USDA Forest Service’s Forest Legacy Program.
(3)
The Marin County Open Space District dibentuk 1972 dalam suatu pemilihan penduduk. Distrik telah melindungi 14.500 acres dari fee pembangunan dan 1.600 acree oleh conservation easement. Distrik juga telah berkontribusi mendekati $1 juta untuk the Marin Agricultural Land Trust (MALT) untuk membeli agricultural easement di lahan pertanian, MALT telah melindungi lebih dari 30.000 acre di 46 keluarga petani dan peternak. The Sonoma County Agricultural Preservation and Open Space District dibentuk tahun 1991 dan melindungi 55.449 acre termasuk 31.000 acre lahan pertanian. Pendanaan dari 0,25% pajak penjualan disetujui oleh pemilih di tahun 1990.
(4)
Ada sekitar 160 local land trust di California
54
Tabel 13 (lanjutan) (1)
(2)
(3) Kota Davis memberikan pajak perlindungan ruang terbuka selama 30 tahun untuk mengakuisisi, meningkatkan, memelihara ruang terbuka pada 7 November 2000. Perkiraan $17.5 juta dapat digunakan untuk PDR. Kabupatenkabupaten Marin, San Joaquin, dan Solano juga telah menggunakan distrik perpajakan khusus, dalam mana pemilik lahan dan pembeli rumah membayar pajak ekstra untuk mendanai perlindungan lahan pertanian. Pelunasan pajak keuntungan penjualan untuk meningkatkan dana bagi PDR.
(4)
Sumber: Stein et al (2001;2002)
2. PES untuk Jasa Konservasi Keanekaragaman Hayati di Lahan Pertanian di Negara Amerika Tengah dan Amerika Utara Dewasa ini daya tarik pembayaran untuk jasa lingkungan
(payment for
environmental services, PES) telah meningkat sebagai suatu mekanisme untuk menterjemahkan biaya eksternalitas, nilai bukan-pasar atas lingkungan ke dalam insentif finansial bagi sektor lokal untuk menyediakan jasa lingkungan. Dalam banyak kasus, terma PES digunakan sebagai suatu payung yang lebar untuk berbagai macam mekanisme berbasis pasar untuk konservasi, sebagai contoh, mekanisme seperti sertifikasi-ekologi dan pengenaan pembayaran bagi wisatawan (Engel et al, 2008). Secara teoritikal PES baru muncul beberapa dekade yang lalu, sementara implementasi praktek dari instrumen berbasis pasar ini untuk pengelolaan sumberdaya alam hanya baru-baru ini (Kosoy et al, 2007).
55
Logika dasar dari mekanisme PES seperti terlihat pada Gambar 12. Berdasarkan Gambar 12 tersebut, menunjukkan bahwa para pengelola ekosistem seperti konservasi hutan, hanya menerima sedikit manfaat dari penggunaan lahannya. Manfaat ini sering lebih rendah dari alternatif manfaat penggunaan lahan lainnya, seperti konversi menjadi lahan pertanian atau peternakan. Dipihak lain deforestasi memiliki dampak bagi penduduk di daerah hilir, yang telah lama mereka mendapatkan manfaat jasa seperti filtrasi air, dan reduksi karbon dioksida. Pembelian oleh pengguna jasa dapat membantu membuat opsi konservasi lebih baik bagi manajer ekosistem, sehingga mereka bersedia mengadopsi PES (Engel et al, 2008). Pagiola (2008) menyatakan bahwa Costa Rica sebagai pionir penggunan PES di negara berkembang secara formal, merupakan pengembangan dan perluasan (nasional) dari program Pago por Servicios Ambientales (PSA). Program ini berkembang berlandaskan pada Undang-Undang Kehutanan Costa Rica Tahun 1997 (Forest Law No.7575), dimana pengguna lahan (land user) dapat menerima pembayaran untuk penggunaan lahan tertentu, termasuk kegiatan penanaman tanaman baru atau konservasi hutan alam. Undang-undang tersebut menyediakan dasar pengaturan untuk kontrak pemilik lahan untuk jasa yang disediakan oleh lahannya, dan kemudian didirikan the National Fund for Forest Financing (Fondo Nacional de Financiamento Forestal, FONAFIFO). Menurut Pagiola (2008) bahwa pendanaan program PSA melalui FONAFIFO, sebesar 3,5% berasal dari pajak penjual bahan bakar fosil (sekitar US$ 10 juta per tahun). Pendanaan program PSA dari 2001 sampai 2006 didukung pinjaman (loan) dari Bank Dunia dan sumbangan (grant) dari the Global Environment Facility (GEF), melalui the Ecomarkets Project. Selain membiayai Ecomarkets Project tersebut, Bank Dunia dan GEF juga membiayai berbagai proyek PES lainnya (Pagiola et al, 2004). Secara lengkap, berbagai proyek PES yang didukung Bank Dunia tersebut dapat dilihat pada Tabel 14.
56
Gambar 12. Logika Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) (Engel et al, 2008)
Tabel 14. Dukungan Bank Dunia Untuk Payment for Environment Services Negara/Tem pat Proyek (1)
Nama Proyek
Deskripsi Proyek
(2)
(3)
Costa Rica
The Ecomarket Project dan Mainstreaming Market Based Instruments for Environmental Management (MMBIEM)
Proyek ini mendukung negara-negara program PES, memberikan loan sebesar US$32.6 juta dari Bank Dunia untuk membantu pemerintah menjamin kontrak jasa pada tingkat sekarang dan sebesar US$8 juta hibah dari the GEF untuk membantu program konservasi keanekaragaman hayati (World Bank, 2000); kemudian pada tahun 2007 mengembangkan proyek baru berupa Mainstreaming Market Based Instruments for Environmental Management (MMBIEM)
Guatemala
The Western Altiplano Natural Resources
Proyek ini termasuk komponen untuk mendukung pengujian dan percontohan mekanisme PES pada tingkat bawah dan mendukung pengembangan perumusan kerangka dan instrumen kebijakan national (World Bank, 2003a)
Venezuela
A GEF – financed project
Fokus Taman Nasional Canaima pada tahap persiapan, termasuk mekanisme mengkaitkan pembayaran konservasi DAS dibuat oleh produser pembangkit listrik tenaga air CVG-EDELCA
57
Tabel 14 (lanjutan) (1)
(2)
(3)
Mexico
-
Bank Dunia menyediakan dukungan teknis bagi usaha pemerintah untuk memantapkan program The Payment for Hydrological Environmental Service.
Dominican Republic, Ecuador, dan El Salvador
Pilot PES Programs
Percontohan program PES di negara-negara ini baru tahap pendahuluan.
South Afrika
The Cope Action Plan for the Environment (CAPE) BioCarbon Fund
Masi pada tahap pendahuluan, bertujuan untuk menggunakan pendekatan PES sebagai satu alat untuk meningkatkan konservasi di the Cape Floristic Region Berita yang dibuat BioCarbon Fund adalah pengujian potensial untuk pembelian jasa penyimpanan karbon yang dihasilkan oleh perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, satu rpopsal akan membayar penyimpanan karbon oleh sistem tanaman lindung kopi di upland Mexican
Sumber: Pagiola et al (2004)
Menurut Engel dan Palmer (2008), potensi penerapan mekanisme PES di Indonesia dalam pengusahaan hutan menunjukkan bahwa mekanisme PES di Indonesia merupakan suatu peraturan yang kompleks yang mana biaya untuk efektivitas penerapan sistem PES lebih tinggi dari fee pembalakan dewasa ini. Sementara itu penerapan PES telah berjalan di Costa Rica dan digunakan sebagai mekanisme pembayaran penggunaan jasa air, pembayaran keanekaragaman, dan pembayaran karbon (Pagiola, 2008). Kemudian Engel et al (2008) mengatakan bahwa terdapat perbedaan penerapan program PES tergantung pada karakteristik rancangan, terutama terkait siapa yang membayar, siapa yang membeli dan bagaimana mekanisme PES bekerja. Selanjutnya Kosoy et al (2007), berdasarkan hasil penelitian di tiga lokasi yakni di Jesus de Otoro, San Pedro dan Herdeia Amerika Tengah menyimpulkan bahwa karakteristik rancangan dibuat berdasarkan perbedaan opportunity cost, latar belakang dan persepsi pengguna. Kemudian MuñozPiña et al (2008) di Mexico melakukan penelitian tentang penggunaan PSAH (Pago de Servicios Ambientales Hidrológicos), untuk perlindungan hutan dalam mengatasi kelangkaan air.
58
Gutman (2007) mengatakan bahwa secara tradisional antara desa-kota adalah kompak, namun dewasa ini proses pertukaran produk barang dari desa dengan produk kota tidak berjalan sepenuhnya. Peningkatan marjinalisasi dan lingkungan alam telah meningkatkan kerusakan lingkungan di desa. Kekompakan desa-kota yang baru memerlukan pengakuan dari kota dan kesediaan kota membayar untuk kelestarian lingkungan desa. Dalam kekompakan desa-kota yang baru dapat dugunakan untuk menyediakan kesempatan lapangan kerja dan pendapatan lebih untuk areal desa, sementara kota akan mendapatkan manfaat dari supply produk desa secara berkelanjutan dan jasa lingkungan disediakan oleh restorasi lingkungan desa. Kemudian Herrador dan Dimas (2000) menggambarkan hubungan pertukaran jasa dan barang antar kota dan desa seperti tersaji pada Gambar berikut.
Jasa lingkungan
Barang
Perumahan dan Bisnis
Produsen Perdesaan
Pembayaran untuk barang
Pembelian untuk jasa lingkungan
Gambar 13. Hubungan pertukaran jasa dan barang antar kota dan desa (Herrador dan Dimas, 2000)