II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Karet Usahatani karet yaitu suatu bentuk usahatani yang dilakukan petani melalui pengusahaan karet. Banyak penelitian yang melakukan penelitian terkait dengan usahatani karet, baik berupa pendapatan petani ataupun dari sisi kelayakan pelaksanaannya ataupun system yang diterapkan pada usahatani. Penelitian yang dilakukan Batubara (2004) terkait dengan usahatani karet yaitu tentang usahatani karet rakyat yang dibina UPP TCSDP. Batubara (2004) meneliti usahatani yang dilakukan dapat memberikan keutungan atau tidak bagi petani. Analisis keuntungan usahatani karet yang dilakukan menggunakan alat analisis Net B/C, NPV, dan IRR. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat kegiatan usahatani dalam pembentukan modal untuk investasikan kembali pada intensifikasi dan perluasan kebun karet. Hasil penelitian menunjukkan pembentukan modal dari usahatani karet layak untuk diinvestasikan jika luas lahan karet mencapai 2 Ha. Nilai NPV yang diperoleh pada saat umur karet berumur 13 tahun yaitu Rp 15.378.976,00 diikuti dengan nilai IRR 15,00 persen dan Net B/C>1. Nilai-nilai tersebut diperoleh pada tingkat harga yang sama yaitu dengan nilai kurs US $ 1 (Rp 9.000,00/Kg). Tujuan lain dari penelitian Batubara (2004) yaitu untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh dari usahatani karet binaan UPP TCSDP. Keuntungan yang diterima dari hasil analisis diketahui lebih tinggi dibandingkan dengan upah minimum sektoral sektor pertanian dan perkebunan pada saat itu di Provinsi Sumatera Selatan. Upah standar minimum sektoral diperoleh dengan standar jam kerja 7 jam per hari kerja, sedangkan petani karet rata-rata memiliki jam kerja sekitar 5 jam kerja per hari. Hal ini data menandakan bahwa usahatani karet pada daerah binaan UPP TCSDP menguntungkan bagi petani dan petani masih mengandalkan karet untuk memenuhi kebutuhan mereka. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Batubara, Hendratno dan Amypalupy (2008) menggunakan alat analisis Break Event Point (BEP) dan imbangan penerimaan dan biaya (R/C) sebagai indikator penentuan buka sadap kebun karet dalam penelitiannya terkait dengan usahatani karet. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kebun karet dengan klon tertentu yang mampu
10
memberikan pendapatan usahatani karet yang menguntungkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat terjadi kondisi gejolak perekonomian yang ekstrim dilihat dari nilai R/C dan BEP, maka formula buka sadap kebun karet dengan jenis tanaman karet dari klon quick starter (klon PB 260) masih mampu memberikan keuntungan yang signifikan. Keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan formula tersebut yaitu berupa pengembalian investasi menjadi lebih awal dan biaya investasi selama masa Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dapat dikurangi. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan bibit karet yang unggul dapat memberikan keutungan yang lebih bagi petani dalam usahatani karet. Perkebunan karet yang biasanya dikelola oleh petani rakyat berbentuk perkebunan karet seperti hutan. Hal ini dapat dikarenakan kebiasaaan atau adat petani pada derah tersebut ataupun dikarenakan adanya kelebihan dengan pola penanaman karet yang dibiarkan tumbuh liar seperti di hutan. Pola tanam karet yang seperti itu dinamakan pengembangan karet dengan pola atau sistem wanatani. Penelitian yang dilakukan Suhatini et.al (2003) menyatakan bahwa pengembangan usahtani karet berbasiskan sistem wanatani merupakan salah satu upaya meningkatkan produktivitas karet rakyat dan pendapatan petani karet. Penulis membagi usahatani sistem wanatani karet di Kabupaten Sanggau menjadi tiga pola wanatani berbasis karet atau Rubber Agroforesty System (RAS). Pola pertama yaitu pola RAS 1 berupa hutan karet produktif. Pola ini memiliki tujuan untuk melakukan penghematan biaya sarana produksi dan efisiensi tenaga kerja serta upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Pola kedua yaitu pola RAS 2 berupa sistem wanatani kompleks yang memiliki tujuan untuk memanfaatkan tenaga kerja secara optimal serta melakukan diversifikasi komoditi. Pola yang terakhir yaitu pola RAS 3 yang merupakan reklamasi lahan alang-alang.
Pola terakhir ini bertujuan untuk menjaga kesuburan tanah dan
diversifikasi komoditi. Analisis data dalam penelitian tentang usahatani karet berbasiskan sistem wanatani dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan riil petani. Salah satu tujuan dari penelitian ini diantaranya yaitu untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi petani yang menerapkan sistem wanatani pola RAS 1, 2, dan 3. Hasil
11
penelitian menunjukkan bahwa melalui analisis pendapatan riil petani, pendapatan yang diperoleh dengan pola RAS lebih tinggi dibandingkan dengan yang di luar RAS. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari pola RAS 1, 2, dan 3 yaitu sebesar Rp5.301.392 per 0,5 ha per tahun, sedangkan pendapatan rata-rata di luar RAS yaitu sebesar Rp1.100.204 per 0,5 ha per tahun. Berdasrakan studi empiris yang sudah ada dapat disimpulkan, usahatani karet masih menguntungkan bagi petani. Usahatani karet dengan sitem wanatani dan penggunanaan bibit unggul dapat memberikan keuntungan yang lebih bagi petani karet. 2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Peremajaan Tanaman Tahunan Berdasarkan studi-studi empiris yang telah ditulis, penentuan peremajaan karet dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boerhendhy dan Amypalupy (2010) diketahui bahwa faktor-faktor yang memengaruhi peremajaan karet yaitu jumlah produksi dan nilai ekonomis. Faktor jumlah produksi dapat diketahui dari nilai produktivitas karet yang dihasilkan. Sedangkan nilai ekonomis dilihat dari harga pokok karet kering yang sedang berlaku. Boerhendhy dan Amypalupy (2010) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa petani harus melakukan peremajaan ketika produktivitas karet yang dihasilkan rendah yaitu sekitar 400-500 kg/ha/tahun.
Petani juga dianjurkan
untuk melakukan peremajaan pada saat harga pokok karet kering saat berada pada harga yang rendah yaitu sekitar Rp 7.000,00/kg, karena dinilai harga tersebut sudah tidak ekonomis lagi bagi petani. Jenahar (2003)
dalam penelitiannya tentang peremajaan optimum karet
menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat
menghambat dan
memengaruhi peremajan optimum dari karet. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor teknik, faktor ekonomi, dan faktor administrasi. Faktor teknik yang dapat memengaruhi dan menghambat pelaksanaan yaitu dari adanya ketersediaan bibit yang terjamin mutunya untuk digunakan petani. Faktor ekonomi yang dapat memengaruhi peremajaan optimum yaitu dari segi harga faktor produksi yang berfluktuasi. Harga yang berfluktuasi tersebut mengakibatkan biaya yang akan dikeluarkan tidak dapat atau tidak sesuai dengan
12
yang sudah dianggarkan dan direncanakan. Ketidaksesuaian anggaran biaya yang direncanakan dan dianggarkan dengan realisasi biaya yang dikeluarkan menjadi salah satu hal yang menghambat petani untuk melakukan peremajaan. Hal tersebut dikarenakan petani dapat menjadi kekurangan modal akibat dari biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada biaya yang sudah diperhitungkan sebelumnya. Faktor yang juga mampu memengaruhi dan menghambat peremajaan karet yaitu dari faktor administrasi. Faktor administrasi dapat menghambat dan memengaruhi dari segi perencanaan dan evaluasi dalam melakukan peremajaan kare. karakteristik petani di Indonesia yang masih kurang dalam melakukan pencatatan selama melakukan kegiatan usahatani mengakibatkan sulitnya mencari data serta informasi.
Kurangnya data serta informasi yang terkumpul dalam
inventarisasi pekerjaan-pekerjaan yang lalu menjadi hambatan dalam melakukan perencanaan dan evaluasi peremajaan. Sutarna (2000) dalam penelitiannya mengelompokkan faktor peremajaan optimal tanaman teh menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu merupakan faktor yang terdapat di dalam perusahaan teh itu sendiri seperti faktor tenaga kerja dan faktor lainnya yang masih mampu dikendalikan oleh perusahaan teh. Faktor eksternal yaitu merupakan faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan teh tersebut, seperti harga jual, perubahan nilai uang, iklim, serta tingkat suku bunga pinjaman untuk investasi. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari temuan studi-studi yang telah dilakukan, peremajaan karet lebih dipengaruhi oleh dua kelompok besar yaitu faktor ekonomi dan teknik. Faktor teknik terkait dengan budidaya seperti bibit, luas lahan, dan tenaga kerja. Sedangkan faktor ekonomi berhubungan dengan harga karet dan harga input karet serta perubahan atau flukuasi tingkat suku bunga. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani untuk melakukan peremajaan karet pada perekebunan karet rakyat. Hanya saja, penelitian sebelumnya yang dilakukan lebih banyak menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi penentuan optimum peremajaan karet. Penelitian yang dilakukan sebelumnya belum melihat kepada keputusan petani dalam melakukan peremajaan. Penelitian yang dilakukan juga
13
lebih cenderung pada perusahaan perkebunan karet besar. Sehingga untuk melihat faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan petani selain dari faktor teknis dan ekonomi, juga dilihat faktor dari karakteristik petani seperti usia, pendidikan, pengalaman, keluarga petani dan pendapatan petani baik yang dari karet atau pendapatan lain di luar usahatani karet. 2.3. Peranan Tanaman Sela dan Tumpang Sari dalam Peremajaan Terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi keputusan petani melakukan peremajaan karet, salah satunya yaitu adanya alternatif income atau pendapatan lain bagi petani apada saat karet diremajakan. Tanaman sela dapat menjadi salah satu alternatif income selama peremajaan bagi petani yang tidak mempunyai pendapatan lain selain dari karet.
Selain dalam memberikan
tambahan pendapatan bagi petani selama peremajaan, tanaman sela juga dapat memberikan manfaat langsung kepada tanaman karet yang diremajakan. Seperti pada penelitian yang dilakukan Rosyid (2007) yaitu tentang pengaruh tanaman sela terhadap pertumbuhan karet pada areal peremajaan di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Pada penelitiannya diketahui bahwa tanaman sela dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan karet yang sedang pada masa peremajaan. Pada penelitian diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan tanaman karet klon PB 260 yang menggunakan tanaman sela pada areal peremajaan karet di daerah tersebut sama dengan pertumbuhan klon pada tingkat penelitian. Manfaat tanaman sela lainnya juga disebutkan oleh Rosyid (2007) bahwa tanaman karet yang ditanami tanaman sela dapat tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan dengan karet yang tidak ditanami. Tanaman sela yang banyak ditanam oleh petani biasanya yaitu jenis tanaman musiman seperti jagung, padi, cabe, kacang panjang, sayuran dan kacang tanah.
Petani lebih cenderung untuk
memilih padi gogo sebagai tanaman sela salah satunya dikarenakan petani berpikir padi dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok untuk kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Pemenuhan kebutuhan pangan petani diperoleh dari tanaman sela yang ditanaman selama kebun karet diremajakan. Padi gogo hanya dapat ditanam minimal satu tahun sekali sebagai tanaman sela dikarenakan padi gogo hanya dapat ditanam pada saat bulan basah atau musim hujan (Tjasadihardja, et al 1995 : Gozali & Husni 1995). Sehingga dapat disimpulkan
14
dari uraian sebelumnya bahwa tanaman sela seperti padi dan sayuran lainnya memiliki manfaat dalam pemenuhan kebutuhan pangan petani pada saat kebun karet mereka diremajakan. Selain itu, tanaman sela kurang dirasakan manfaatnya apabila dilakukan penanaman ubi kayu dan tanaman sejenis lainnya yang satu family dengan tanaman karet. Hal ini dikarenakan tanaman sela tersebut mampu untuk menjadi inang berbagai penyakit karet seperti jamur akar putih, Odium dan lain-lain. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Djukri (2006), dimana tanaman sela tidak akan memiliki manfaat lagi pada saat tanaman karet sudah mencapai umur lebih dari 3 tahun setelah penanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman karet dapat membuat bobot basah umbi, bobot kering umbi serta produksi umbi per petak menjadi menurun pada tahun ke 2 dan ke 3 penanaman umbi talas. Tanaman karet dapat membuat intensitas cahaya yang diterima oleh umbi talas menjadi berkurang. Hal ini disebabkan pada tahun ke 2 dan ke 3 penanaman, tanaman karet sudah mulai tumbuh banyak daun sehingga menjadi lebih rindang dari sebelumnya. Menurut Tjasadihardja et al (1995) manfaat lain yang dapat diperoleh dari tanaman sela selama peremajaan yaitu dengan melakukan fungsi rotasi tanaman dengan pola tanam dari tanaman sela. Hal ini merupakan hal yang sangat penting karena tanaman sela dapat
menutup tanah sepanjang tahun dengan tanaman
produktif. Tanah yang ditutupi dapat membantu serta mengurangi gulma seperti alang-alang karena dapat dikendalikan bersamaan dengan pemeliharaan tanaman semusim yang ditanam. Hal ini juga dapat menandakan bahwa adanya tanaman sela, dapat membantu untuk mengurangi pertumbuhan gulma pada saat peremajaan dilakukan. Namun ditemukan pada penelitian yang dilakukan Rinaldi dan Kariada (2006) yang menunjukkan bahwa usahatani tanaman tahunan yang dilakukan dengan sistem tumpang sari membuat usahatani tersebut menjadi tidak layak untuk diusahakan. Hal ini menandakan bahwa penggunaan tanaman sela atau tumpang sari pada tanaman tahunan tidak memberikan manfaat selama tanaman diremajakan. Tanaman tahunan yang yang diteliti yaitu tanaman kakao, jeruk, kelapa, pisang, dan kopi. Hal ini dibuktikan dengan nilai Net B/C yang diperoleh
15
ketika tanaman tahunan tersebut dilakukan tumpang sari dengan tanaman lain maka nilai Net N/C yang didapat yaitu sebesar 0,96 atau Net B/C <1. Berdasarkan studi empiris terkait dengan manfaat tanaman sela terhadap peremajaan dan pendapatan yang diterima petani, tanaman sela memiliki pengaruh yang positif pada beberapa penelitian yang telah dilakukan. Tanaman sela tidak mengganggu pertumbuhan tanaman utama dan tanaman utama khususnya karet dapat berkembang lebih baik dibandingkan dengan tanaman yang tidak ditanami tanaman sela. Penerapan tanaman sela juga harus disesuaikan dengan kondisi komoditi dan lingkungan tempat petani melakukan peremajaan. 2.4. Peremajaan Optimum Tanaman Perkebunan Peremajaan merupakan salah satu hal yang penting dalam usaha untuk mempertahankan kontinuitas produksi tanaman perkebunan.
Umur penentuan
peremajaan untuk setiap tanaman perkebunan memiliki jumlah tahun yang berbeda-beda tergantung dari komoditinya.
Sudah banyak penelitian yang
dilakukan untuk menentukan saat optimum peremajaan tanaman perkebunan. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk menghitung umur atau saat optimum peremajaan, salah satunya yaitu metode Faris (Ismail & Mamat 2002; Sutarna 2000; Ernah 2010). Penentuan umur optimum peremajaan dengan metode Faris dilakukan dengan mencari nilai Marginal Net Revenue (MNR) sama dengan atau mendekati nilai Amortisasi Net Revenue (ANR) pada tahun yang sama. Metode ini dapat digunakan untuk tanaman perkebunan seperti kopi, kakao, teh, karet, atau kelapa sawit. Penelitian yang dilakukan Ismail dan Mamat (2002) yaitu menentukan saat optimum peremajaan tanaman kelapa sawit yang ada di Malaysia. Namun dalam penelitian yang dilakukan Ismail dan Mamat menggunakan metode Faris dengan mencari umur peremajaan optimum ketika nilai MNR sama atau menekati nilai AVNR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat optimum peremajaan kelapa sawit dipengaruhi oleh harga jual CPO. Saat harga jual CPO mengalami kenaikan maka saat optimum premajaan akan menjadi lebih pendek daripada saat harga jual sebelumnya. Hal ini terbukti ketika harga jual berada pada level RM 180 per ton, saat optimum peremajaan yaitu 27 tahun. Sedangkan pada saat harga naik menjadi
16
RM 200 dan RM 220 maka saat optimum peremajaan secara berurutan berubah menjadi 26 dan 25 tahun. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Ernah (2010) yaitu melakukan penentuan saat optimum peremajaan pada tanaman kakao. Penentuan saat optimum tanaman kakao tidak dipengaruhi oleh perubahan harga jual dari kakao. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perubahan harga yang dibuat tidak memengaruhi saat optimum peremajaan namun lebih dipengaruhi dari perubahan
nilai tingkat suku bunga yang terjadi. Semakin
rendah nilai tingkat suku bunga maka saat optimum peremajaan akan semakin cepat atau pendek. Hasil penelitian lain tentang saat optimum peremajaan tanaman perkebunan yaitu pada tanaman teh. Pada penelitian ini Sutarnah (2000) tidak melakukan uji sensitivitas seperti yang dilakukan pada kedua penelitian sebelumnya. Sutarnah (2000) hanya melihat saat optimum peremajaan teh melalui dua kondisi yaitu secara finansial dan secara ekonomi. Saat optimum peremajaan tanaman teh secara finansial ataupun ekonomi tidak mengalami perbedaan. Saat optimum peremajaan pada kedua keadaan tersebut didapat pada tahun ke 41 dari tahun nol penanaman teh.
Perbedaan antara kondisi finansial dan kondisi
ekonomi dari penelitian tersebut yaitu dari penggunaan harga jual teh. Harga jual teh pada perhitungan secara finansial menggunakan harga yang sebenarnya dan perhitungan secara ekonomi mengunakan harga bayangan dari teh. Berdasarkan hasil penelitian Sutarnah (2000) juga dapat disimpulkan bahwa perubahan harga pada tanaman teh juga tidak memengaruhi saat optimum peremajaan pada tanaman teh. Namun memang belum adaya penelitian lebih lanjut tentang faktor apa yang paling memengaruhi saat optimum dari tanaman perkebunan. Sehingga tidak dapat diketahui secara pasti
faktor yang
memengaruhi saat optimum peremajaan suatu tanaman perkebunan. Berbeda dengan ketiga penelitian sebelumnya, Jenahar (2003) mengitung saat optimum peremajaan tanaman karet dengan menggunakan penentuan titik optimal peremajaan Sutardi (1973) dalam Jenahar (2003) dan juga dengan menggunakan metode pengembangan dari metode Sutardi (1973) dalam Jenahar (2003). Metode pengembangan tersebt dikembangkan sendiri oleh Jenahar (2003).
17
Kedua metode tersebut tidak memiliki perebedaan dalam menentukan saat optimum peremajaan dan luas optimum peremajaan. Pada penelitiannya Jenahar (2003) menggunakan perubahan keadaan produksi karet yaitu pada keadaan produksi karet normal, pesimis, dan optimis. Kondisi karet pada keadaan normal, pesimis, dan optimis selain dari produksi karet juga dipengaruhi dari harga jual karet dan tingkat inflasi yang terjadi. Keadaan normal dan optimis yang dibuat menggunakan harga jual dan tingkat inflasi yang sama namun pada saat kondisi pesimis menggunakan harga jual dan tingkat inflasi yang lebih rendah dibandingkan dua kondisi sebelumnya. Perbedaan yang ada pada setiap kondisi menyebabkan perbedaan pada saat optimum peremajaan karet. Saat optimum peremajaan karet pada kondisi normal dicapai pada umur ekonomi 25 tahun. Sedangkan pada saat kondisi pesimis, saat optimum peremajaan karet berada pada umur ekonomis 24 tahun.
Keadaan
terakhir yaitu pada keadaan optimis, saat optimum peremajaan karet berada pada umur ekonomi 27 tahun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jenahar (2003) dapat disimpulkan bahwa saat optimum peremajaan karet dipengaruhi oleh perubahan harga jual, tingkat inflasi, dan perubahan produksi karet di setiap kondisi. Namun tidak dapat diketahui secara jelas perubahan apa yang paling memengaruhi saat optimum peremajaan dikarenakan perubahan tersebut dilakukan secara bersamaan dalam satu kondisi.
18