3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Produksi Jagung di Indonesia Jagung diperkenalkan di Indonesia pada abad ke-16 oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang sedang melakukan penjelajahan dari Amerika menuju Eropa, India, dan Cina. Sejak saat itu, terjadi peningkatan produksi jagung secara perlahan hingga abad 20. Petani Indonesia menanam jagung pada skala yang kecil. Para petani menggunakan benih yang telah diseleksi dari lahan mereka sendiri atau dari desa lain. Pada beberapa kondisi, petani membeli benih jagung dari pasar. Penggunaan benih yang berkelanjutan dari hasil produksi lahan sendiri menyebabkan pertambahan populasi tanaman jagung. Penanaman yang berkelanjutan atau berulang kali menyebabkan benih tanaman jagung berevolusi serta beradaptasi sesuai dengan lingkungan di Indonesia. Produksi jagung yang berasal dari benih lokal menghasilkan ciri yang diharapkan, seperti pematangan yang lebih cepat (matang saat berumur 70-80 hari), bulir jagung yang lebih keras, adaptasi, dan ketahanan terhadap Peronoslerospora maydis. Selama tiga dekade terakhir, benih baru telah diperkenalkan dan varietas jagung terbaru telah ditanam di Indonesia. Varietas baru ini menggantikan posisi benih lokal yang alami di Indonesia. Pada tahun 1990-1995, Indonesia memproduksi jagung sebanyak 7 juta ton, dimana 77 ribu ton diekspor. Akan tetapi di tahun yang sama Indonesia juga mengimpor jagung sebesar 493 ribu ton. Pada tahun 2002, produksi jagung di Indonesia telah mencapai 7987 ribu ton pada areal seluas 3624 ribu hektar dengan hasil rata-rata per hektar baru mencapai 2.20 ton. Hal ini masih rendah apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang telah mencapai rata-rata per hektarnya 3.40 ton (Biro Pusat Statistik, 1992). Jagung ditanam di berbagai provinsi di Indonesia. Provinsi yang paling banyak menanam jagung, antara lain : Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Petani biasanya menanam jagung pada bulan kering (sekitar 70%) sebelum bulan basah dimulai. Mereka memulai penanaman pada bulan Oktober dan memanen di bulan Januari atau Februari. Sekitar 30% jagung
4
ditanam di lahan basah (sawah) selama musim kering sebelum menanam padi. Hal ini telah dilakukan oleh petani di pulau Jawa terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada areal produksi jagung terbesar , petani menanam jagung dua kali dalam setahun pada musim kering, pertama ditanam pada awal musim basah di bulan Oktober dan kedua di bulan Februari. Tetapi di musim basah, jagung hanya ditanam sekali dalam setahun yaitu di bulan Mei menuju Juni, khususnya di Jawa Timur (Park, 2001).
2.2. Morfologi dan Karakteristik Jagung Manis Jagung manis (Zea mays saccharata) adalah tanaman sayuran yang memiliki kadar gula yang tinggi. Jagung manis termasuk keluarga Graminae dari suku Maydeae yang pada mulanya berkembang dari jagung tipe dent dan flint. Jagung tipe dent disebut juga jagung gigi kuda (Zea mays identata). Jagung ini mempunyai lekukan di puncak bijinya karena adanya pati keras pada bagian pinggir dan pati lembek pada bagian puncak biji. Jagung tipe flint disebut juga jagung mutiara (Zea mays indurata). Biji jagung ini berbentuk agak bulat dengan bagian luar yang keras dan licin. Bagian luar yang keras itu disebabkan oleh endosperm yang terdiri dari pati keras. Tinggi tanaman jagung manis tidak banyak berbeda dengan jagung biasa. Jagung manis termasuk tanaman berumah satu dengan bunga jantan berwarna putih krem. Tanaman ini memiliki jenis bunga yang bersifat monoecious. Bunga jantan mengandung banyak bunga kecil pada ujung batangnya yang disebut tassel. Bunga betina juga banyak mengandung banyak bunga kecil yang ujungnya pendek dan datar yang pada saat masak disebut tongkol. Setiap bunga betina mempunyai satu putik dengan sistem perkawinan umumnya menyerbuk silang. Menurut Koswara (1986), sifat manis pada jagung manis disebabkan oleh adanya gen su-1 (sugary), bt-2 (brittle) ataupun sh-2 (shrunken). Gen ini dapat mencegah pengubahan gula menjadi zat pati pada endosperm sehingga jumlah gula yang ada kira-kira dua kali lebih banyak dibandingkan jagung biasa. Secara fisik maupun morfologi, jagung manis sulit dibedakan dengan jagung biasa. Perbedaan antara kedua jagung itu umumnya pada warna bunga jantan. Bunga jantan jagung manis berwarna putih, sedangkan pada jagung biasa kuning
5
kecokelatan. Jagung manis mengandung lebih banyak gula dalam endospermnya dibanding jagung biasa dan pada proses pematangan kadar gula yang tinggi menyebabkan biji keriput. Keadaan keriput ini yang membedakan biji jagung manis dengan biji jagung biasa. Jagung manis sangat sesuai ditanam di daerah yang sejuk dan cukup dingin dengan ketinggian 3000 m dpl. Faktor-faktor iklim yang paling mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan dan suhu. Secara umum, jagung manis memerlukan air sebanyak 200-300 mm/bulan. Keadaan suhu yang baik untuk pertumbuhan jagung manis adalah 21-30 oC. Namun, pada suhu rendah sampai 16 oC dan suhu tinggi sampai 35oC, jagung manis masih dapat tumbuh. Suhu optimum untuk perkecambahan benih berkisar antara 21-27oC. (Anonim, 1992).
2.3. Latosol Latosol terbentang luas di seputar garis khatulistiwa atau di daerah tropis. Curah hujan yang banyak dan suhu yang tinggi di daerah tropis dan semi tropis mengakibatkan gaya-gaya hancuran bekerja dengan lebih cepat dan besar sehingga pengaruhnya lebih ekstrem daripada daerah sedang. Di daerah tersebut batuan dan regolit mengalami pelapukan yang sangat drastis. Hidrolisis dan oksidasi berlangsung sangat intensif dan mineral-mineral silikat cepat hancur. Di banyak tempat di daerah tropis musim basah dan kering yang silih berganti sering terjadi menyebabkan kegiatan kimia menjadi intensif, terutama yang berkaitan dengan bahan organik. Proses yang berperan dalam pembentukan tanah seperti ini disebut latosolisasi. Pada latosol, basa-basa seperti kalsium, magnesium, kalium, dan natrium cepat dibebaskan. Keadaan kemasaman rendah ini didampingi oleh cepatnya bahan organik membusuk dan pembebasan segera dari basa-basa yang terdapat dalam senyawa organik. Sebagai hasilnya, pelarutan silikat dirangsang, sedangkan pelarutan besi, aluminium, dan mangan dihambat. Bila drainase memuaskan maka berlangsung proses oksidasi yang sangat intensif. Jadi, dengan berlangsungnya hancuran terbentuklah bahan berwarna merah atau kuning yang kaya akan seskuioksida dan miskin akan silikat.
6
Proses latosolisasi berlangsung begitu intensif dan pencucian terjadi sempurna sehingga hidro-oksida liat yang terbentuk mempunyai jumlah basa dapat dipertukarkan yang sangat sedikit. Meskipun demikian, biasanya Latosol yang terbentuk di bawah vegetasi alamiah tidak terlalu masam. Walaupun basa yang ada rendah, Latosol dapat secara relatif mempertahankan persentase kejenuhan yang tinggi. Oleh karena itu pH tanah agak tinggi yakni berkisar antara 6-7. Umumnya terdapat warna merah atau kuning pada horizon B. Akan tetapi, bila lapisan atas tererosikan biasanya terdapat warna cokelat atau kelabu pada Latosol. Dalam kasus lain, warna merah atau kuning merupakan warna dominan lapisan permukaan tanah yang bahan induknya berupa basaltik. Pada tanah yang sering dipakai untuk pertanian (terutama yang tererosi) akan menyebabkan tanah pada lapisan dalam berwarna merah menyala atau kekuningan.
2.4. Prinsip Penyerapan Hara Penyerapan unsur hara oleh dapat dilakukan oleh akar, batang, dan daun. Pergerakan unsur hara ke permukaan akar terjadi melalui tiga cara yaitu intersepsi, aliran massa, dan difusi. Mekanisme intersepsi merupakan pertukaran langsung antara hara dengan akar. Semakin banyak akar bersentuhan dengan akar menyebabkan peningkatan hara yang dapat diserap oleh akar. Aliran massa terjadi ketika air mengalir ke akar atau melalui akar melalui proses transpirasi. Air tanah yang mengalir ini mengandung ion-ion unsur hara. Mekanisme ketiga terjadi akibat selisih konsentrasi yang terjadi di sekitar akar yang mengakibatkan hara akan berdifusi. Difusi akan berlangsung melalui selaput air yang ada dan oleh karena itu kecepatan berdifusi akan sangat bergantung kepada kadar air dalam tanah. Proses penyerapan hara terjadi pada akar rambut dimana akar dikelilingi oleh larutan tanah dan berhubungan dengan permukaan koloid tanah. Selanjutnya akar rambut akan mengabsorpsi unsur hara yang berada di sekitarnya. Proses penyerapan hara ini membutuhkan suatu carrier yaitu suatu usaha untuk membawa ion dari luar ke dalam sel akar tanaman. Sistem carrier dapat terjadi dengan syarat antara lain membran sel tidak permeabel terhadap ion-ion bebas,
7
perlu adanya transpor elektron, dan respirasi akar harus berjalan lancar sehingga pengambilan ion harus berhubungan langsung dengan metabolisme tanaman (Hakim,1986).
2.5. Nitrogen dalam Tanah dan Tanaman Unsur nitrogen banyak terdapat di udara, namun tidak dapat digunakan langsung oleh tanaman karena sukar mengkonversi bentuk N2 yang sangat stabil menjadi bentuk yang diperlukan tumbuhan. Hanya beberapa organisme tingkat rendah yang dapat melakukan perubahan tersebut dengan enzim nitrogenase, seperti Rhizobium pada bintil akar tanaman kacang-kacangan, bakteri Azotobakter, Clostridium, serta ganggang biru-hijau. Secara alamiah nitrogen yang terdapat di dalam tanah berasal dari air hujan, bahan organik dari tumbuhan, dan fiksasi oleh jasad renik. Air hujan diperkirakan memberikan 22.4 kg N/ha/tahun dan dari fiksasi diperkirakan antara 16.8-50.4 kg N/ha/tahun. Laju dekomposisi bahan organik sekitar 2% per tahun yang dapat memberikan 22-45 kg N/ha/tahun. Ketiga sumber ini tidak mencukupi kebutuhan tanaman sehingga diperlukan pupuk nitrogen buatan. Nitrogen merupakan unsur hara pupuk yang digunakan dalam jumlah terbesar di wilayah tropika. Sumber nitrogen pupuk yang paling umum digunakan di wilayah tropika adalah urea (CO(NH2)2) dan amonium sulfat. Sebaliknya, di wilayah iklim-sedang seperti Amerika Serikat, amonium nitrat, amoniak bebas air, dan amonium fosfat cenderung lebih banyak digunakan (Sanchez, 1992). Urea memiliki kandungan N sebesar 46 persen, biaya per satuan yang rendah, serta ketersediaannya banyak di pasar dunia.
Urea dapat langsung dimanfaatkan
tanaman, tetapi umumnya di dalam tanah akan diubah menjadi amonium dan nitrat melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi oleh bakteri tanah. Urea berbentuk granul lebih baik dibandingkan urea berbentuk prill atau pelet karena bentuk granul lebih tahan hancur. Untuk mengurangi sifat higroskopis dan penggumpalan digunakan bahan pelapis (coating agent) yang menyebabkan urea lebih tahan pelarutan oleh air hujan atau embun sehingga dapat menekan volatilisasi (kehilangan N dalam bentuk NH3), tidak peka api, dan bersifat kurang korosi. Pupuk nitrogen lainnya antara lain anhidrus amonia (NH3),
8
akua amonia (NH4OH), amonium sulfat ((NH4)2SO4), amonium klorida (NH4Cl), amonium nitrat (NH4NO3), dan lainnya. Tanaman membutuhkan nitrogen dalam jumlah besar, tetapi bila diberikan dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan tanaman mudah rebah, kualitas dan kuantitas produksi merosot, dan lainnya. Kekurangan nitrogen dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan dan daun-daun menjadi kering. Oleh sebab itu diperlukan pemupukan nitrogen dengan dosis yang optimum (Leiwakabessy et al., 2004).
2.6. Kalium dalam Tanah dan Tanaman Kalium diabsorpsi oleh tanaman dalam bentuk K + . Bentuk dapat ditukar atau bentuk yang tersedia bagi tanaman biasanya dalam bentuk pupuk K yang larut dalam air, seperti KCl, K2SO4, KNO3, dan pupuk-pupuk majemuk. Kalium tidak dijumpai di dalam bagian tanaman seperti protoplasma, lemak, dan selulosa. Kalium lebih sering disebut sebagai katalisator dalam proses hidup tanaman karena menjamin berlangsungnya reaksi kehidupan tanaman. Beberapa peranan kalium yang diketahui antara lain dalam pembelahan sel, fotosintesis (pembentukan karbohidrat), translokasi gula, reduksi nitrat dan sintesis protein, serta aktivitas enzim. Kalium juga merupakan unsur logam yang paling banyak terdapat dalam cairan sel yang berfungsi untuk mengatur tekanan osmotik dalam sel sehingga memungkinkan pergerakan air ke dalam akar. Tanaman yang kekurangan kalium akan mengalami kekeringan dibandingkan yang memiliki cukup kalium. Pupuk kalium klorida mengandung sekitar 33-51.5 % K atau 40-61.5% K2O. Kalium klorida diperoleh melalui proses pemurnian (refining) dari hasil tambang dengan dua macam proses yaitu flotasi dan kristalisasi. Pupuk K mudah terurai dan masuk ke dalam tanah sehingga pupuk K sebenarnya dapat ditempatkan di atas tanah. Kehilangan K melalui pencucian tidak besar kecuali pada tanah berpasir atau tanah-tanah dengan KTK sangat rendah serta yang bermuatan positif (Leiwakabessy et al., 2004).
9
2.7. Fosfor dalam Tanah dan Tanaman Fosfor merupakan salah satu unsur yang esensial bagi tanaman yang berperan dalam proses pemecahan karbohidrat untuk energi, menentukan pertumbuhan akar, mempercepat kematangan dan produksi buah dan biji, serta berperan dalam pembelahan sel. Tanaman umumnya menyerap unsur ini dalam bentuk ion monofosfat atau fosfat primer (H2PO4-). Mobilitas ion-ion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi. Oleh karena itu recovery rate dari pupuk P sangat rendah yaitu berkisar antara 10-30%, sisanya tertinggal dalam bentuk immobil atau terhilang karena erosi. Fosfat alam dapat berasal dari batuan beku, batuan sedimen atau batuan metamorf. Berdasarkan komposisi umum mineral penyusun yang ditemukan dalam tambang fosfat, fosfat alam dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kalsium fosfat, kalsium aluminium besi fosfat, serta besi dan aluminium fosfat. Geologi fosfat dari batuan sedimen berkaitan erat dengan geologi marine yaitu pembentukan endapan fosforit di dasar laut sebagai hasil proses kimia, fisik, dan biologi. Fosfat dari sumber batuan endapan tersebut merupakan sumber bahan pupuk P terbesar, memenuhi sekitar 80% dari produksi fosfat alam dunia, sedangkan yang berasal dari batuan beku sekitar 12%. Sumber fosfat yang lain adalah guano (kotoran burung laut dan kelelawar) tetapi bukan bahan baku untuk pembuatan pupuk P larut air. Pupuk P dinilai berdasarkan kelarutan pupuk tersebut dalam berbagai pelarut yang ditemukan dalam laboratorium. Pelarut yang digunakan antara lain air, amonium sitrat netral, asam sitrat, asam formiat, amonium sitrat alkalin, dan asam-asam pekat. Pupuk-pupuk fosfat larut air, antara lain Ordinary Superfosfat (OSP), Asam Fosfat, Triple Superfosfat (TSP), Polyfosfat, dan Asam Superfosfat. Pupuk-pupuk fosfat yang tidak larut air, antara lain Rhenania Fosfat, Thomas Fosfat, batu fosfat, dan lainnya. Efektivitas pupuk P dalam tanah ditentukan oleh sifat pupuk (bentuk P), sifat tanah, dan reaksi antara pupuk P dengan tanah. Semuanya akan menentukan jumlah P pupuk yang dapat diambil tanaman. Pupuk P larut air akan cepat larut dalam tanah dengan kelembaban sedang. Air atau uap air yang bergerak ke butiran pupuk melarutkan dan membentuk larutan jenuh yang terdiri dari ion-ion yang dibebaskan dari pupuk (Leiwakabessy et al., 2004).
10
2.8. Pupuk Organik Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006 yang membahas mengenai pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan hewan. Bahan ini telah melalui proses rekayasa berupa bentuk padat atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif mengalami degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Hal ini terkait dengan rendahnya kandungan C-organik dalam tanah, yaitu sekitar kurang dari 2%. Bahan dan pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tanaman dapat bervariasi (Simanungkalit et al., 2006). Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova, 1961). Stevenson (1991) menyatakan bahwa bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik tanah memainkan peranan penting dalam kesuburan tanah dan merupakan sumber hara terutama nitrogen untuk padi. Bahan organik tanah juga membantu memberikan kapasitas penyangga dari tanah
11
yaitu mencegah kekurangan hara atau mencegah pertumbuhan yang berlebihan akibat pemupukan berat pada tanaman. Sumber bahan organik juga dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang menggunakan bahan pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tanaman dan hewan hasil perombakan oleh fungi, aktinomisetes, dan cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tanaman hijau maupun hanya bagian dari tanaman seperti sisa batang dan tunggul akar setelah bagian atas tanaman yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Pupuk kandang merupakan kotoran ternak. Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang menggunakan bahan pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang dapat menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman. Pupuk dan bahan organik memiliki fungsi kimia yang penting, antara lain dapat menyediakan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro seperti Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe. Penggunaan bahan organik juga dapat mencegah kahat unsur mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang serta meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah (Simanungkalit et al., 2006).