II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peraturan Pelabelan Produk Pangan Label adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk tulisan, gambar atau kombinasi keduanya yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan, dicetak atau merupakan bagian kemasan (PP no. 69 1999). Tujuan utama pelabelan adalah memberikan informasi tentang identitas produk dalam kemasan sehingga konsumen dapat mengetahuinya tanpa harus membuka kemasan sehingga konsumen terlindung dari pangan yang kedaluarsa maupun yang mengandung bahan berbahaya termasuk allergen pangan. Tujuan lainnya adalah menarik minat pembeli dan sebagai alat komunikasi antara produsen dan konsumen. Dasar hukum peraturan perundangan tentang pelabelan pangan adalah Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996 Bab IV pasal 30-35, Peraturan Pemerintah no. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Surat Keputusan Kepala Badan POM RI no. HK 00.05.52.43.21 tanggal 4 Desember 2003 tentang Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan.
Selain itu UU Perlindungan
Konsumen Bab III pasal 4 juga menyatakan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan jasa. Pasal 7 menyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha diantaranya adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang.
Pasal 8
menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi barang yang tidak sesuai dengan janji di label, tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal seperti dalam label, tidak memasang label/membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, berat bersih, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat produsen. Kewajiban pelabelan pangan bagi produsen pangan telah dijelaskan dalam PP No. 69 tahun 1999 Bab II bagian pertama pasal 2 ayat 1. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Yang dimaksud
6
dengan setiap orang dalam PP Pelabelan (Bab I, Ketentuan Umum) adalah perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak. Namun tidak semua produk pangan termasuk produk IRTP wajib melakukan pelabelan pangan. Produk pangan yang tidak harus melakukan pelabelan pangan adalah : (1) pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan minimal pada label, (2) pangan yang dijual dan dikemas secara langsung di hadapan pembeli dalam jumlah kecil-kecilan, (3) pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah) (PP No. 69 1999 Bab VII pasal 63). Dalam penjelasannya, PP No. 69 1999 menyatakan bahwa produk pangan yang kemasannya terlalu kecil, tetap wajib mencantumkan nama dan alamat produsen.
Ketentuan produk yang dijual curah dalam jumlah besar adalah
minimal 500 lt atau 500 kg. Keterangan tentang keterangan minimal yang wajib dicantumkan pada label juga didapat dalam PP No. 28 tahun 2004 pasal 44 yang menyebutkan bahwa produk pangan yang masa simpannya kurang dari tujuh hari pada suhu kamar tidak harus memiliki nomor pendaftaran. Hal ini berarti produk tersebut tidak wajib mencantumkan nomor pendaftaran pada labelnya, jika produk tersebut tergolong dalam produk yang wajib melakukan pelabelan.
Produk
pangan lain yang tidak wajib memiliki nomor pendaftaran adalah produk yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan permohonan surat persetujuan pendaftaran, penelitian atau konsumsi sendiri. Kewajiban pelabelan bagi produk pangan juga diatur dalam UU Pangan Bab IV pasal 30 ayat 1. Persyaratan umum pelabelan adalah label harus jelas, mudah terlihat, dan berisi informasi yang benar, jujur dan akurat.
Sedangkan persyaratan teknis
pelabelan adalah dibuat cukup besar agar memuat informasi penting mengenai produk, tidak mudah lepas, luntur atau lekang oleh air, gosokan atau sinar matahari, dan jika ditempelkan dengan lem, lem tidak boleh mempengaruhi mutu kemasan (misalnya menyebabkan karat) dan mutu label. Keterangan minimal yang harus ada dalam label menurut PP no. 69 tahun 1999 dan Pedoman Umum Pelabelan Produk Pangan adalah : 1. Nama makanan dan/atau merek dagang 2. Komposisi
7
3. Berat atau Isi netto/bersih 4. Nama dan alamat perusahaan yang memproduksi atau yang mengedarkannya 5. Nomor pendaftaran, bagi produk pangan yang wajib memiliki nomor pendaftaran 6. Tanggal dan atau kode produksi 7. Keterangan kadaluarsa Keterangan atau peringatan yang disebutkan pada label tidak boleh menyesatkan konsumen.
Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 ini akan dikenai sanksi administratif berupa : 1. Peringatan secara tertulis (sebanyak tiga kali) 2. Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran 3. Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia 4. Penghentian produksi untuk sementara waktu 5. Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin produksi dan izin usaha.
2.2
Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah industri yang mengolah
pangan yang bertempat di rumah tempat tinggal dengan peralatan manual hingga semi otomatis (Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No : HK.00.05.5.1639, tahun 2003 dan PP no 28 tahun 2004). Definisi lain yang menjelaskan tentang industri rumah tangga adalah definisi oleh Badan Pusat Statistik (dalam Publikasi Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga/Small Scale and Household Industry Statistics, BPS, 2005) yang menggolongkan usaha industri pengolahan di Indonesia ke dalam empat kategori berdasarkan jumlah pekerja yang dimiliki oleh suatu usaha tanpa memperhatikan besarnya modal yang ditanam ataupun kekuatan mesin yang digunakan. Empat kategori tersebut adalah :
8
1. Industri kerajinan rumah tangga yaitu usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1-4 orang. 2. Industri kecil yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 5-19 orang. 3. Industri sedang yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 20-99 orang 4. Industri besar yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 100 orang atau lebih Selanjutnya, BPS menggolongkan jenis-jenis usaha seperti industri makanan minuman (golongan pokok 15), industri pengolahan tembakau (golongan pokok 16), industri tekstil (golongan pokok 17), industri pakaian jadi (golongan pokok 18), dll. Dalam hal ini IRTP masuk dalam golongan pokok 15. Buku publikasi Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga tahun 2005 jumlah industri kerajinan rumah tangga golongan 15/makanan minuman yang dipublikasikan adalah jumlah per golongan per Indonesia, tidak dirinci per propinsi, sehingga untuk mengetahui jumlah IRTP di suatu propinsi tidak dapat menggunakan data BPS ini. Namun demikian, data ini dapat digunakan sebagai gambaran kondisi jumlah IRTP di Indonesia. Jumlah Industri Kecil (IK) dan Industri Kecil Rumah Tangga (IKR) dari tahun 2003 hingga tahun 2005 di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Industri Kecil dan Industri Kecil Rumah Tangga di Indonesia golongan pokok usaha 15 (makanan dan minuman) Jumlah Usaha (Unit)
No Tahun IK
IKR
Total
1
2003
71.932
801.105
873.037
2
2004
67.822
802.555
870.377
3
2005
60.174
720.457
780.631
Sumber : Statistik Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga, BPS, 2005.Keterangan : IK = Industri Kecil, IKR = Industri Kerajinan Rumah Tangga
9
Definisi IRTP lainnya adalah berdasarkan UU RI No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil. Dalam UU ini dijelaskan bahwa yang dimaksud usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam UU. Sedangkan kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut : 1.
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau
2.
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
3.
Milik Warga Negara Indonesia
4.
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar
5.
Berbentuk orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi. Jika dilihat dalam definisi usaha kecil seperti pada UU RI No 9 tahun 1995
tersebut maka IRTP masuk dalam usaha kecil yang bergerak di bidang pangan.
2.3 IRTP di Propinsi DI Yogyakarta Propinsi DI Yogyakarta merupakan dataran tinggi dengan ketinggian dari 45-185 m di atas permukaan laut, terletak pada posisi 7.00 °, 33.00’ LS – 8.00 °, 12.00’ LS. Luas wilayah propinsi DI Yogyakarta berdasarkan SK Gubernur Nomor 1227 tahun 1989 adalah berupa daratan seluas 318.580 km2 dan berupa lautan 6.977,5 km2.
Wilayah administrasi Propinsi DI Yogyakarta terbagi
menjadi 4 wilayah kabupaten dan 1 kota yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo. Persentase luas wilayah menurut kabupaten/kota di Propinsi DI Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Luas wilayah, ketinggian, dan jarak lurus ke ibu kota propinsi menurut kab./kota di Propinsi DI Yogyakarta No Kabupaten/Kota Ibu kota Keting Luas Jarak Persentase gian (km2) (km) (%) 1 Yogyakarta Yogyakarta 75 32,5 2 1.02 2 Sleman Sleman 145 574,82 9 18.04 3 Gunungkidul Wonosari 185 1.485,36 30 46.62 4 Bantul Bantul 45 506,85 12 15.91 5 Kulon Progo Wates 50 586,27 22 18.4 Sumber : BPS DIY, 2006.
Wilayah administrasi Propinsi DI Yogyakarta di sebelah timur berbatasan dengan Klaten, di sebelah barat berbatasan dengan Purworejo, di sebelah utara berbatasan dengan Klaten dan di sebelah selatan berbatasan dengan lautan Indonesia. Pemerintah Propinsi DI Yogyakarta c.q. Dinas Kesehatan kabupaten/kota telah menyelenggarakan SPP-IRT sejak tahun 2003 hingga sekarang. Dari kegiatan SPP-IRT tersebut telah dihasilkan 596 IRTP yang telah mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dalam rangka SPP-IRT dan 163 IRTP telah diaudit sarana produksinya. Namun yang telah mendapatkan nomor P-IRT baru 117 IRTP. Selain BPS, pengelolaan data IRTP juga dilakukan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
PP no 28 tahun 2004 pasal 43
mengamanatkan pembinaan dan pengawasan pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga pada Bupati/ Walikota. Oleh karena itu penggunaan data IRTP di suatu propinsi untuk suatu penelitian tentang pengawasan pangan lebih tepat jika menggunakan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Jumlah
IRTP di Propinsi DI Yogyakarta yang mengikuti PKP dalam rangka SPP-IRT dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah IRTP yang mengikuti PKP dalam rangka SPP-IRT di Propinsi DI Yogyakarta tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 No
Jumlah (IRTP) per Tahun
Kab/Kota
Total
2003
2004
2005
2006
2007
1
Yogyakarta
72
30
30
19
30
181
2
Sleman
0
30
30
0
30
90
11
No
Jumlah (IRTP) per Tahun
Kab/Kota
Total
2003
2004
2005
2006
2007
3
Gunungkidul
0
30
35
0
30
95
4
Bantul
42
30
30
6
30
138
5
Kulonprogo
0
30
32
0
30
92
114
150
157
25
150
596
Total
Sumber : Laporan penyelenggaraan SPP-IRT oleh Dinas Kesehatan Kab./Kota di Propinsi DI Yogyakarta, 2003 hingga 2007. 2.4 Sanitasi Pangan Sanitasi adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman,
peralatan,
dan bangunan yang dapat
merusak pangan dan
membahayakan manusia (UU Pangan no. 7 tahun 1996). Program sanitasi meliputi sanitasi pekerja antara lain kesehatan umum, kebersihan dan perlengkapan umum, sedangkan program sanitasi pangan meliputi proses pengolahan pangan sampai dengan penanganan limbah & fasilitas umum. UU Pangan pasal 5 (1) menyebutkan bahwa sarana dan prasarana wajib memenuhi persyaratan sanitasi. Setiap orang yang berkaitan dengan pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi (ps. 6).
Orang perseorangan yang menangani
langsung atau berada langsung dalam lingkungan proses produksi wajib memenuhi persyaratan sanitasi (ps. 7). Peraturan Pemerintah no. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Bab II pasal 2 (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang berkaitan dengan pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi. Sumber kontaminasi mikroorganisme ke bahan pangan antara lain berasal dari pekerja pengolah pangan, hewan yang meliputi ternak besar, unggas, hewan peliharaan,
binatang
pengerat,
dan
serangga.
Sumber
kontaminasi
mikroorganisme lainnya adalah air buangan/limbah, tanah, udara, bahan pangan, dinding, lantai, dan langit-langit (Rahayu et al. 2003). Higiene pengolah pangan meliputi hal-hal antara lain penjagaan kebersihan badan pekerja pengolah pangan, penggunaan pakaian kerja yang bersih dan lengkap, penerapan prosedur mencuci tangan dengan benar, penghindaran terhadap kebiasaan pekerja yang tidak higienis dan kebiasaan buruk, dan
12
penjagaan kesehatan tubuh. Pekerja pengolah pangan sebagai salah satu sumber pencemaran mikroorganisme ke pangan harus dikelola sedemikian rupa sehingga terjadinya pencemaran ke pangan dapat diminimalisasi (Rahayu et al. 2003) Sanitasi
pangan
harus
mampu
mengurangi
menghilangkan mikroba berbahaya pada pangan.
jumlah
mikroba
atau
Sanitasi pangan meliputi
sanitasi pengolahan pangan, sanitasi peralatan, sanitasi air, sanitasi hama dan lingkungan, dan penanganan limbah. Sanitasi pengolahan pangan ditujukan untuk mengontrol pertumbuhan mikroba dalam pangan.
Metode untuk mengontrol
pertumbuhan mikroba dalam pangan dapat meliputi pengaturan suhu pemasakan selama pengolahan pangan (Food Control Handbook, BPOM RI 2003). Sanitasi peralatan dapat mengurangi jumlah mikroba sehingga memperkecil peluang terjadinya kontaminasi mikroba kepada pangan.
Sanitasi peralatan
dilakukan terhadap semua permukaan peralatan dan mesin yang kontak langsung dengan pangan. Sebelum peralatan disanitasi terlebih dahulu harus dibersihkan dari kotoran yang menempel pada peralatan tersebut. Sanitasi peralatan ditujukan untuk membunuh sel mikroba vegetatif yang tertinggal pada permukaan alat. Untuk membantu proses sanitasi, sering digunakan bahan sanitaiser seperti air panas, UV, ozon, dan bahan kimia yang meliputi antara lain klorin, iodin, dan quats (Rahayu et al. 2003). Sanitasi air merupakan salah satu aspek sanitasi di dalam sanitasi pangan yang penting untuk diperhatikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menangani air di industri pangan adalah air yang kontak langsung dengan produk pangan haruslah memenuhi persyaratan air minum (BPOM RI, 2003 dan CAC, Basic Text on Food Hygiene 2003). Air untuk keperluan khusus sebagai contoh air untuk industri pengalengan makanan yang secara rutin akan digunakan dalam proses-proses perendaman, pencucian, pengupasan, blansir, dan lain-lain juga memerlukan persyaratan tertentu, khususnya mengenai batas-batas kandungan kimianya seperti besi (Fe), sulfur (S), dan tingkat kesadahannya. Aktivitas sanitasi yang lainnya dalam sanitasi pangan adalah sanitasi hama. Hama dan serangga merupakan vektor terhadap pencemaran mikroba patogen dalam pangan. Oleh karena itu industri pangan harus memperhatikan terhadap masuknya hama ke dalam ruang pengolahan pangan, termasuk gudang
13
penyimpanan. Pengendalian hama terdiri dari usaha pencegahan agar hama tidak masuk ke dalam ruang pengolahan dan pembasmian hama di dalam ruang pengolahan. Hama dan serangga yang perlu diwaspadai diantaranya adalah tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk (CAC, Basic Text on Food Hygiene 2003). Limbah sebagai sisa pangan, akan menjadi daya tarik bagi hama dan serangga. Oleh karena itu limbah atau sampah harus selalu dibuang secara teratur, dikeluarkan dari ruang pengolahan secara teratur. Tempat sampah dan limbah harus dalam kondisi tertutup. Agar pelaksanaan praktek pembersihan dan sanitasi di industri pangan berjalan dengan tertib dan teratur, maka perlu dibuatkan jadwal pembersihan dan sanitasi
yang
meliputi
pembersihan
fasilitas
bangunan
dan
peralatan.
Pembersihan bangunan meliputi pembersihan dinding, lantai, dan langit-langit. Sedangkan pembersihan dan sanitasi permukaan peralatan dan mesin yang kontak dengan pangan meliputi peralatan yang kecil (portable) dan mesin yang tetap (fixed). Jadwal pembersihan dan sanitasi harus memuat apa yang dibersihkan, siapa petugas yang membersihkan, kapan pembersihan dilakukan dan bagaimana pekerjaan dilakukan. Dengan dibuatnya jadwal yang tetap, jika perlu dibuat juga prosedur pembersihan dan sanitasi, maka kegiatan/praktek higiene dan sanitasi di industri pangan khususnya di IRTP dapat berjalan dengan lebih tertib dan teratur (CAC, Basic Text on Food Hygiene 2003).
2.5 Program Pembinaan IRTP Program pembinaan IRTP utamanya dalam hal keamanan pangan yang dihasilkan oleh IRTP banyak dilakukan oleh Badan POM yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat.
PP no 28 tahun 2004 pasal 43
mengamanatkan pengawasan dan pembinaan IRTP kepada Bupati/ Walikota. Kepala Badan POM RI berkewajibkan menetapkan pedoman pembinaan IRTP dan melaksanakan pembinaan terhadap pemda dan masyarakat. Pembinaan teknologi dan peralatan/permesinan juga dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Pembinaan keamanan pangan oleh Badan POM bekerjasama dengan
14
Dinas Kesehatan diantaranya adalah penyuluhan keamanan pangan dalam rangka sertifikasi Produksi Pangan IRTP (SPP-IRT) (PP no 28 2004).
Penyuluhan
keamanan pangan ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan kepada penanggung
jawab
IRTP
agar
mempunyai
komitmen
dan
kompetensi
menghasilkan pangan yang aman dan bermutu bagi konsumen. Dalam hal ini Badan POM berperan sebagai fasilitator dengan cara membuat kurikulum pelatihan dan mencetak tenaga Penyuluh Keamanan Pangan di tingkat pusat, propinsi dan daerah kabupaten/kota. Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan ini bertugas menyuluh IRTP. Selain itu Badan POM juga mencetak tenaga District Food Inspector (DFI) atau tenaga pengawas pangan kabupaten/kota dari dinas kesehatan. Tenaga DFI ini yang nantinya berkompetensi untuk mengaudit sarana produksi IRTP agar memenuhi persyaratan keamanan pangan (SK Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.5.1640 tanggal 30 April 2003, tentang Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, Jakarta, 2003) Program lainnya adalah pemberian Piagam Bintang Keamanan Pangan oleh Badan POM kepada IRTP yang mau dan konsisten menerapkan prinsip-prinsip keamanan pangan. Tujuan program Piagam Bintang Keamanan Pangan adalah mendorong industri pangan khususnya IRTP untuk menerapkan sistem jaminan mutu keamanan pangan secara bertahap sehingga mampu memenuhi persyaratan internasional. Piagam Bintang Keamanan Pangan terdiri atas tiga tahap yaitu Piagam Bintang Satu, Dua, dan Tiga. Piagam Bintang Keamanan Pangan ini merupakan kerjasama antara Badan POM dengan pemerintah daerah cq. dinas kesehatan. Program pembinaan IRTP yang lain adalah mengenai aspek pendanaan, persaingan, prasarana, informasi, kemitraan, perizinan usaha dan perlindungan (UU RI No. 9 tahun 1995 Bab IV tentang Iklim Usaha). Walaupun
program-program
pembinaan
IRTP
sudah
dibuat
dan
dilaksanakan oleh pemerintah, tetapi IRTP masih menjumpai permasalahanpermasalahan dalam memproduksi pangan yang aman dan bermutu. Beberapa
15
kendala yang dijumpai IRTP adalah (Kebijakan dan Program Nasional Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga /IRT 2003) : 1.
Mutu produk yang kurang konsisten dan tidak seragam
2.
Masalah higiene dan sanitasi yang masih kurang konsisten dijalankan
3.
Masalah modal kerja yang terbatas sehingga mengurangi kemampuan berinvestasi
4.
Terbatasnya tempat usaha, sehingga alur kerja menjadi sumber masalah kontaminasi silang
5.
Kurangnya pemasaran produk jadi.
6.
Masalah pelabelan yang belum sesuai dengan persyaratan pelabelan seperti yang diatur dalam PP no. 69 tahun 1999.
2.6
Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) adalah salah
satu bentuk kebijakan pemerintah cq. Badan POM RI dalam mengatur, membina dan mengawasi pangan di Indonesia khususnya pangan hasil produksi Industri Rumah Tangga (IRT). Tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab, dan terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat (UU Pangan No. 7 tahun 1996 Ps. 3.) Pada tahun 2003, pemerintah cq. Badan POM RI telah menerbitkan Pedoman Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) yang tertuang dalam Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.5.1640 tanggal 30 April 2003. Dalam pedoman ini diatur cara penyelenggaraan sertifikasi produksi pangan IRTP dan tujuannya. Salah satu alasan penting mengapa perlu dilakukan SPP-IRT adalah bahwa setiap perusahaan wajib mengetahui dan mematuhi peraturan perundangundangan di bidang pangan. Upaya untuk memasyarakatkan higiene dan peraturan
16
perundang-undangan di bidang pangan perlu dilakukan baik melalui jalur pendidikan formal maupun informal (BPOM RI 2003). Secara nasional, SPP-IRT telah diselenggarakan sejak tahun 2003 hingga sekarang. Dari penyelenggaraan SPP-IRT tersebut dihasilkan 8076 IRTP telah mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dan 4254 IRTP telah diaudit sarana pengolahannya, namun yang telah mendapatkan nomor P-IRT baru 3952 IRTP (BPOM RI 2008).
2.7 Tata Cara Penyelenggaraan Sertifikasi Produksi Pangan Industri Rumah Tangga 2.7.1
Pengajuan Permohonan Permohonan untuk mendapatkan Sertifikasi Produksi Pangan
Industri
Rumah Tangga (SPP-IRT) diajukan kepada Pemerintah Daerah c.q. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Permohonan tidak dapat dipenuhi apabila pangan yang diproduksi berupa susu dan hasil olahannya, daging, ikan, unggas dan hasil olahannya yang memerlukan proses dan atau penyimpanan beku, pangan kaleng, pangan bayi, minuman beralkohol, air minum dalam kemasan (AMDK), pangan lain yang wajib memenuhi persyaratan SNI, pangan lain yang ditetapkan oleh Badan POM. Pemohon diwajibkan mengikuti penyuluhan keamanan pangan dan diperiksa sarana produksinya (BPOM RI 2003). 2.7.2
Penyelenggaraan dan Pelaksanaan
Penyuluhan
Keamanan
Pangan Penyelenggara Penyuluhan Keamanan Pangan dalam rangka SPP-IRT adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota c.q. Dinas Kesehatan. Pelaksanaan Penyuluhan Keamanan Pangan dapat dilaksanakan secara bersama-sama oleh beberapa Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Penyuluhan Keamanan Pangan bagi IRTP ini merupakan salah satu bentuk pembinaan dan pengawasan IRTP oleh Bupati /Walikota (PP no 28 2004). Tenaga Penyuluh Keamanan Pangan adalah adalah petugas yang telah memiliki Sertifikat Penyuluh Keamanan Pangan yang dikeluarkan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM. Sertifikat tersebut diperoleh melalui Pelatihan
17
Penyuluhan Keamanan Pangan yang diselenggarakan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM (BPOM RI 2003). Peserta Penyuluhan Keamanan Pangan adalah pemilik atau penanggung jawab Produsen Pangan IRT. Peserta yang telah lulus Penyuluhan Keamanan Pangan diberikan Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan. Materi
utama
Penyuluhan Keamanan Pangan adalah : •
Berbagai Jenis Bahaya (Biologis, Kimia, dan Fisik), Cara Menghindari dan Memusnahkannya.
•
Pengawetan Pangan.
Higiene dan Sanitasi Sarana Produsen Pangan-IRT
Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPBIRT).
Peraturan Perundang-undangan terutama tentang Keamanan Pangan, Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP), Label dan Iklan Pangan.
Materi pelengkap/pendukung dapat dikembangkan sesuai kebutuhan Perusahaan Pangan Industri Rumah Tangga, misalnya :
Pengemasan dan Penyimpanan Produk Pangan Industri Rumah Tangga
Pengembangan Usaha Perusahaan Pangan Industri Rumah Tangga, termasuk Etika Bisnis. Materi penyuluhan keamanan pangan
disampaikan dalam bentuk
ceramah,diskusi, demonstrasi/peragaan simulasi, pemutaran video dan cara-cara lain yang dianggap perlu. Jumlah waktu yang diperlukan untuk melaksanakan Penyuluhan Keamanan Pangan sekurang-kurangnya 2 (dua) hari kerja @ 5 (lima) jam . 2.7.3 Pemeriksaan/Audit Sarana Produksi Setelah melaksanakan Penyuluhan Keamanan Pangan, petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pemeriksaan ke sarana produksi produsen pangan IRT.
Petugas yang melakukan pemeriksaan sarana produksi harus
mempunyai Sertifikat Inspektur Pangan Kabupaten/Kota yang dikeluarkan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM. Sertifikat tersebut diperoleh melalui
18
Pelatihan Inspektur Pangan Kabupaten/Kota yang diselenggarakan oleh Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM. Pemeriksaan sarana produksi harus mengikuti Surat Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor
HK.00.05.5.1641 tanggal 30 April 2003 tentang Pedoman Pemeriksaan Sarana Produksi IRT. Hasil pemeriksaan sarana produksi IRT dengan hasil minimal cukup merupakan salah satu persyaratan utama untuk mendapatkan sertifikat produksi pangan IRT. Pemeriksaan sarana produksi IRT merupakan penilaian kesesuaian sarana produksi IRT terhadap pedoman Cara Produksi Pangan Yang Baik-Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Formulir/checklist yang digunakan untuk mengaudit/memeriksa sarana produksi IRTP dapat dilihat pada Lampiran 1. Parameter yang dinilai dalam CPPB-IRT adalah Lingkungan Produksi (Grup A), Bangunan dan Fasilitas (Grup B), Peralatan Produksi (Grup C), Suplai Air (Grup D), Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan
Sanitasi (Grup E),
Pengendalian Hama (Grup F), Kesehatan dan Higiene Karyawan (Grup G), Pengendalian Proses (Grup H), Label Pangan (Grup I), Penyimpanan (Grup J), Manajemen Pengawasan (Grup K), Pencatatan dan Dokumentasi (Grup L), dan Pelatihan Karyawan (Grup M). Masing-masing parameter dapat memiliki nilai 1 yang berarti Kurang (K), 2 yang berarti Cukup (C), dan 3 yang berarti Baik (B). Nilai sarana produksi IRTP dapat berupa huruf mutu B yang berarti sarana produksi IRTP dalam kondisi Baik, C berarti sarana produksi IRTP dalam kondisi Cukup dan K yang berarti sarana produksi IRTP dalam kondisi Kurang. Penilaian ini tergantung dari nilai audit 13 parameter dalam CPPB-IRT dimana jika 4 grup/parameter utama bernilai B dan maksimal 2 parameter lainnya bernilai K maka sarana IRTP mendapat nilai B. Jika 4 grup/parameter utama bernilai B atau C dan maksimal 4 grup/parameter lainnya bernilai K maka sarana IRTP mendapat nilai C, dan jika di bawah B dan C maka sarana IRTP mendapat nilai K. Yang dimaksud 4 Grup/parameter Utama adalah Suplai Air (Grup D), Pengendalian hama (Grup F), Kesehatan dan higiene Karyawan (Grup G), dan Pengendalian Proses (Grup H). Laporan penilaian sarana pengolahan pangan oleh inspektur pangan kabupaten/kota menunjukkan bahwa masalah utama dalam penerapan CPPB-IRT adalah diantaranya masalah
Pelabelan (Grup I)
seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Hal ini ditunjukkan dengan nilai parameter/group I
19
(pelabelan pangan) yang masih berada di bawah 2 (Cukup) seperti pada Gambar 1. Grafik Garis Nilai Rata-Rata 13 Parameter/Grup CPPB-IRT di 21 Propinsi tahun 2003-2005 3.5 Prov. Jambi Prov. Bali
3.0
Prov. Bant en Prov. DI Yogjakart a Prov. DKI Jakarta
2.5
Prov. Goront alo Prov. Jawa Barat
2.0
Nilai
Prov. Jawa Tengah Prov. Jawa Timur Prov. Kalimant an Barat
1.5 Prov. Kalimant an Tengah Prov. Kalimant an Timur
1.0
Prov. Lampung Prov. M aluku Prov. Nanggroe Aceh Darussalam
0.5
Prov. Nusa Tenggara Timur Prov. Sulawesi Barat Prov. Sulawesi Selat an
G ru p G A ru p G B ru p G C ru p D G ru p E G ru p G F ru p G G ru p H G ru p G I ru p G J ru p K G ru p G L ru p M
0.0
Grup
n = 4194
Prov. Sulawesi Ut ara Prov. Sumat era Barat Prov. Sumat era Ut ara
Gambar 1 Nilai 13 parameter/grup CPPB-IRT di 21 propinsi tahun 2003-2005. Form audit/pemeriksaan sarana produksi IRTP, untuk parameter Pelabelan hanya terdapat dua nilai yaitu B (Baik) jika memenuhi persyaratan Pelabelan dan K (Kurang) jika tidak memenuhi persyaratan Pelabelan. Persyaratan Pelabelan yang dimaksud adalah persyaratan minimal seperti yang dipersyaratkan oleh PP no 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Form audit/pemeriksaan sarana IRTP dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil audit sarana IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menunjukkan bahwa Industri Rumah Tangga Pangan di Propinsi DI Yogyakarta mengalami permasalahan pada parameter pelabelan (Group I) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
20
3 2,5 2 1,5 1
Gambar 2
Nilai Group M
Nilai Group L
Nilai Group K
Nilai Group J
Nilai Group I
Nilai Group H
Nilai Group G
Nilai Group F
Nilai Group E
Nilai Group D
Nilai Group C
Nilai Group A
0
Nilai Group B
0,5
Grafik nilai rata-rata 13 parameter/grup CPPB –IRT di Propinsi DI Yogyakarta tahun 2004, 2005, dan 2007 (N=157).
Berdasarkan hasil pemeriksaan/audit sarana produksi IRTP di Propinsi DI Yogyakarta dapat dilihat bahwa IRTP yang memiliki nilai K ( Kurang ) pada parameter I (Pelabelan) memiliki jenis pangan seperti pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis pangan IRTP yang memiliki nilai K (Kurang) pada parameter I (pelabelan) di Propinsi DI Yogyakarta sampai dengan tahun 2007 No Jenis Pangan Jumlah (Unit) 1 Daging dan hasil olahnya 4 2 Ikan dan hasil olahnya 1 3 Unggas dan hasil olahnya 3 4 Kelapa dan hasil olahnya 2 5 Tepung dan hasil olahnya 95 6 Minyak goreng 2 7 Gula, madu, kembang gula 5 8 Coklat, kopi, teh 2 9 Minuman Ringan, jus 9 10 Buah dan hasil olahnya 7 11 Biji-bijian dan umbi-umbian 16 12 Es 3 13 Tidak diketahui 3 Jumlah 152 Sumber : Laporan penyelenggaraan SPP-IRT di Propinsi DIY, BPOM, 2004,2005,2007
21
Sedangkan jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menurut jenis pangannya per kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah IRTP di Propinsi DI Yogyakarta menurut jenis pangannya sampai dengan tahun 2007 No Jenis Pangan Jumlah (Unit) 1 Daging dan hasil olahnya 5 2 Ikan dan hasil olahnya 4 3 Unggas dan hasil olahnya 8 4 Sayur dan hasil olahnya 2 5 Kelapa dan hasil olahnya 24 6 Tepung dan hasil olahnya 196 7 Minyak goreng 0 8 Jem dan sejenisnya 0 9 Gula, madu, kembang gula 15 10 Coklat, kopi, the 6 11 Bumbu 5 12 Rempah-rempah 4 13 Minuman ringan, jus 20 14 Buah dab hasil olahnya 15 15 Biji-bijian dan umbi-umbian 40 16 Es 3 17 Tidak diketahui 249 Jumlah 596 Sumber : Laporan penyelenggaraan SPP-IRT di Propinsi DIY, BPOM, 2004,2005,2007
2.8 Sistem Pendataan Dan Pelaporan Penyelenggaraan SPP-IRT harus dilaporkan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota kepada Badan POM c.q. Balai Besar/Balai POM setempat dengan melampirkan tembusan Sertifikat Penyuluhan Keamanan Pangan dan Sertifikat Produksi Pangan IRT dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi terkait selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah penyelenggaraan. Pencabutan/pembatalan sertifikat serta perubahan dan penambahan jenis produk pangan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota harus dilaporkan kepada Badan POM c.q. Balai Besar POM/Balai POM dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi terkait. Balai Besar / Balai POM melaporkan rekapitulasi penerbitan SPP-IRT kepada Badan POM.