5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pangan Fungsional Dewasa ini konsumen dalam memilih pangan tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan, atau memberi kenikmatan dengan rasanya
yang
lezat
dan
penampilan
yang
menarik.
Namun
juga
mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen yang dikandungnya. Peningkatan prevalensi penyakit pada beberapa dekade terakhir, telah mendorong perubahan sikap masyarakat, yaitu cenderung mencegah penyakit dan berusaha menjalani hidup sehat. Oleh sebab itu pangan fungsional menjadi lebih disukai dibandingkan dengan obat-obatan, karena efek psikologis yang menyehatkan tanpa mengkonsumsi obat, serta efek samping yang jauh lebih rendah. Badan Pengawas Obat dan Makanan mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang secara alamiah maupun telah mengalami proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi secara fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontra indikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya Namun akhir-akhir ini banyak beredar produk pangan dengan klaim kesehatan, disertai dengan promosi (iklan) yang sering bombastis, sehingga masyarakat awam sering mengartikan bahwa pangan fungsional identik dengan pangan modern. Padahal, banyak produk pangan tradisional khas Indonesia yang memenuhi persyaratan pangan fungsional, namun informasi yang masih terbatas mengakibatkan masyarakat belum banyak mengetahuinya. Minuman khas daerah yang berkhasiat untuk kesehatan dan kebugaran antara lain bir plethok dari Betawi, teh, wedang jahe, wedang ronde, sekoteng serbat, wedang secang, bir temulawak, kunyit asam, dadih (susu kerbau fermentasi khas Sumatra Barat), beras kencur, serta makanan khas tradisional dari kedelai dan bekatul (Sampoerno dan Fardiaz, 2001).
6
Pemanfaatan komponen-komponen fungsional aktif dari bahan-bahan pangan tradisional pada produk baru atau sebaliknya penambahan sifat-sifat fungsional pada produk tradisional, menciptakan produk-produk pangan baru yang lebih bervariasi tetapi tetap memiliki nuansa tradisional yang unik. Perbaikan bentuk, kecanggihan kemasan, peningkatan umur simpan dan kombinasi cita-rasa barat dan timur akan menciptakan produk makanan tradisional menjadi lebih praktis, aman, nyaman dan yang lebih penting adalah keberterimaan konsumen terhadap produk tradisional semakin meningkat dengan tetap mempertahankan sifat fungsionalnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian penggalian dan pengkajian sumber pangan tradisional fungsional dan peningkatan mutu, keamanan dan prestise pangan tradisional.
2.2. Beras Kencur Hingga saat ini jamu banyak diperjualbelikan oleh penjual jamu gendong dalam bentuk cair siap minum maupun di toko dan pasar swalayan dalam bentuk minuman instan (Gambar 1). Terdapat 27 jenis jamu, namun hanya 7 macam yang biasa dibuat dan dipasarkan oleh para penjual jamu yaitu beras kencur, cabe puyang, gepyokan, kudu laos, kunci, pahitan, dan sinom (Zuraina et al, 1990). Jamu beras kencur sangat populer karena memiliki rasa manis dan menyegarkan. Minuman beras kencur dikatakan oleh sebagian besar penjual jamu sebagai jamu yang dapat menghilangkan pegal-pegal pada tubuh. Selain itu, banyak pula yang berpendapat bahwa jamu beras kencur dapat merangsang nafsu makan, sehingga selera makan meningkat dan tubuh menjadi lebih sehat.
Gambar 1 Beberapa bentuk sediaan jamu beras kencur. Komponen utama beras kencur, adalah beras (yang dihaluskan) dan rimpang kencur serta beberapa rempah-rempah sebagai bahan tambahan pangan. Bahanbahan lain yang biasa dicampurkan ke dalam racikan jamu beras kencur adalah
7
biji kedawung, rimpang jahe, biji kapulogo, buah asam, temukunci, kayu keningar, kunir, jeruk nipis dan buah pala. Rasa manis pada beras kencur berasal dari gula merah (gula kelapa atau gula aren) atau gula pasir yang ditambahkan. Secara tradisional cara pembuatan minuman beras kencur tidak jauh berbeda, mula-mula beras dicuci dan dikeringkan, selanjutnya ditumbuk sampai halus. Bahan-bahan lain sesuai dengan komposisi racikan ditumbuk menggunakan lumpang (besi atau batu) atau diparut. Hasil tumbukan kemudian ditambahkan air matang sedikit demi sedikit sambil diremas remas dan kemudian disaring dengan kain bersih. Selanjutnya beras kencur yang telah diperas dimasukkan kedalam botol botol yang sudah bersih dan siap dihidangkan (Endang, 2000). Sampai saat ini informasi kandungan kimia dan fisik beras kencur terkait dengan sifat fungsional terutama khasiat antioksidan belum banyak diteliti. Sedangkan pengembangan
formulasi
minuman
menjadi
penting
untuk
keperluan
manufacturing sehingga dapat menghasilkan pangan fungsional yang bisa diterima oleh masyarakat dari segi sensorinya.
2.3. Beras Merah Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Timur, tersebar di negara-negara beriklim subtropis. Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat dua kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat. Kini di dunia lebih banyak dikenal dua kelompok varietas padi Oryza sativa yaitu: japonica dan indica (Winarno, 1984). Gabah adalah butir padi yang telah rontok dari malainya. Butir gabah terdiri dari satu bagian yang dapat dimakan disebut “Caryopsis” dan satu bagian lagi yang merupakan struktur kulit yang disebut sekam. Bagian sekam adalah 18 sampai 28 persen dari bobot gabah. Bagian butir beras terdiri dari lapisan pericarp, testa atau tegmen, lapisan aleuron, endosperm dan embrio (Juliano, 1972). Struktur gabah dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan bentuk selnya, pericarp dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu epicarp, mesocarp dan lapisan melintang (cross layer). Pericarp dengan tebal
8
dinding sel 2 µm banyak mengandung butir-butir protein dan lemak. Di bagian bawah pericarp terletak lapisan testa yang banyak mengandung lemak. Lapisan aleuron yang terdiri dari sel-sel parenkim merupakan pembungkus endosperm dan lembaga yang kaya protein, lemak dan vitamin. Bagian endosperm terdiri dari sel parenkim yang terdiri dari granula pati dan matrik protein. Tebal lapisan dinding sel endosperm adalah 0.25 µm. Dinding sel pericarp, aleuron dan endosperm beras bereaksi positif dengan pewarna protein, hemiselulosa dan selulosa (Juliano, 1972). Lapisan pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam, sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman.
Gambar 2 Struktur biji beras (Grist, 1975).
Beras merah merupakan beras dengan warna merah dikarenakan aleuronnya mengandung gen yang diduga memproduksi senyawa antosianin atau senyawa lain sehingga menyebabkan adanya warna merah atau ungu. Kadar karbohidrat tetap memiliki komposisi terbesar, protein dan lemak merupakan komposisi kedua dan ketiga terbesar pada beras. Karbohidrat utama dalam beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula. Pati berkisar antara 85-90% dari berat kering beras. Protein beras terdiri dari 5% fraksi albumin, 10% globulin, 5% prolamin, dan 80% glutein. Kandungan lemak
9
berkisar antara 0.3-0.6 % pada beras kering giling dan 2.4-3.9% pada beras pecah kulit (Indrasari dan Adnyana, 2006). Beras merah diduga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan beras putih. Salah satu keunggulan itu adalah adanya senyawa fenolik yang banyak terdapat pada beras merah. Senyawa fenolik memiliki spektrum atau jenis yang sangat banyak, mulai dari senyawa fenolik sederhana hingga yang senyawa komplek yang berikatan dengan gugus glukosa sebagai glikon. Salah satu kelompok senyawa fenolik yang memiliki manfaat sebagai antioksidan adalah kelompok senyawa flavonoid. Kelompok senyawa ini dibagi menjadi beberapa golongan
diantaranya
flavone,
flavon-3-ol,
flavonone,
flavan-3-ol
dan
antocyanidin. Kelompok senyawa flavonoid seperti antosianin (bentuk glikon dari antosianidin) merupakan salah satu kelompok bahan alam pada tumbuhan yang berperan sebagai antioksidan, antimikroba, fotoreseptor, visual attractors, feeding repellant, antialergi, antiviral dan anti inflamatory (Pietta, 2000). Senyawa inilah yang diduga bertanggung jawab sebagai zat yang memberikan warna pada beras merah. Zhang et al (2006) melaporkan beras hitam memiliki efek antioksidan dan penangkap radikal bebas yang tinggi serta sangat penting sebagai sumber pengembangan antioksidan alami. Chunk dan Shin (2007) melaporkan bahwa beras merah kaya akan metabolit sekunder terutama asam fenolat dan quinoline alkaloid, sedangkan Yawadio et al, (2007) menyatakan bahwa beras merah juga mengandung tokol (tokoferol dan tokotrienol). Beragamnya senyawa atau kelompok senyawa hasil metabolit sekunder diyakini memiliki berbagai macam fungsi yang menguntungkan bagi kesehatan diantaranya efek psikologis, pertahanan terhadap sitotoksisitas (Chen et al, 2005), aktivitas antineurogeneratif (Kim et al, 2005), inhibisi glikogen phosporilase (Jakobs et al, 2006) dan aktivitas antioksidatif (Kano et al, 2005; Nam et al, 2006). Melihat besarnya manfaat yang didapatkan dari mengkonsumsi beras merah sudah selayaknya beras merah ini menjadi perhatian dari semua stakeholder untuk mengembangkan beras merah ini. Terlebih lagi, Indonesia memiliki beberapa varietas beras merah lokal yang tersebar dibeberapa propinsi. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki 5 varietas lokal padi beras merah dan Propoinsi
10
Nusa Tenggara Timur memiliki tidak kurang dari 10 jenis padi beras merah dengan warna bervariasi dari merah hingga merah kecoklatan atau hitam. Propinsi Jawa Barat memiliki varietas halimun, Propinsi Bali memiliki satu beras merah unggulan yang ditanam di daerah Jati Luwih dengan nama beras merah jati luwih. Selain dari pada itu terdapat beberapa beras merah hingga hitam yang banyak terdapat di toko atau swalayan dengan berbagai nama, merk dan asal beras selain dari berbagai propinsi tersebut diatas. Balai Besar Padi yang berada di Sukamandi Jawa Barat juga berhasil mengembangkan varietas padi penghasil beras merah dengan nama Aek Sibundong. Namun, komposisi kimia dan kandungan bahan aktif beras merah terutama kandungan senyawa atau kelompok senyawa tertentu yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan belum banyak diketahui. Meningkatnya pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan diharapkan mampu menyadarkan masyarakat untuk mengkonsumsi beras merah. Indrasari dan Adnyana (2006) ini telah meneliti preferensi responden terhadap beras merah. Hasil dari penelitian ini menyatakan secara uji statistik menyatakan rasa nasi beras merah lebih baik apabila dibandingkan dengan nasi beras putih. Namun, rasa, aroma dan permukaan yang sedikit kasar dan kesat menjadi sedikit hambatan dalam mengkonsumsi beras ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan produk pangan berbasis beras merah seperti bubur beras merah, crakers dan makanan atau minuman tradisional yang kaya akan rasa dan manfaat bagi kesehatan seperti minuman beras kencur.
2.4. Kencur (Kaempferia galanga L.) Kencur (Kaempferia galanga L.) adalah salah satu jenis emponempon/tanaman obat yang tergolong dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae). Rimpang atau rhizoma tanaman ini mengandung minyak atsiri dan alkaloid yang dimanfaatkan sebagai stimulan. Nama lainnya adalah cekur (Malaysia) dan pro hom (Thailand). Kencur merupakan temu kecil yang tumbuh subur di daerah dataran rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur dan tidak terlalu banyak air. Rimpang pendek berwarna coklat, berbentuk jari dan tumpul, bagian luarnya seperti bersisik, daging rimpang tidak keras, rapuh, mudah patah dan bergetah (Gambar 3). Berbau harum dengan rasa pedas yang khas.
11
Rimpang digunakan sebagai obat gosok pada bengkak yang disebabkan oleh terkilir (keseleo) atau terpukul benda tumpul, serta untuk encok atau rematik. Selain itu juga digunakan untuk mengobati masuk angin (sebagai flatulens), radang lambung, kejang perut, mual, diare, penawar racun, serta sebagai obat batuk. Juga dipakai untuk mengobati infeksi telinga, sakit kulit, bisul dan sebagai roboransia. Komposisi volatil rimpang kencur berupa pinene, camphene, carvone, benzene, eucalyptol, borneol, methil cinnamate, pentadecane dan ethyl-pmethoxcycinnamate
(Tewtraktul,
2005).
Ethyl-p-metoksinamat
merupakan
senyawa penciri rimpang kencur sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia. Chan et al, (2008) menjelaskan bahwa kencur memiliki kandungan total fenol setara 146±9 mg asam galat dan antioksidan setara dengan 77± 7 mg ascorbic acid equivalent antioxidant capacity.
Gambar 3 Tanaman dan rimpang kencur (Kaemferia galanga L).
2.5. Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Tanaman jahe termasuk dalam famili zingiberaceae, merupakan tanaman berumur panjang dengan rimpang di dalam tanah yang bercabang-cabang dan ke atas mengeluarkan tunas serta batang-batang yang dibalut oleh pelepah daun, dengan tinggi tanaman yang dapat mencapai 0.4-0.6 meter (Wijayakusuma, 2002). Menurut Sutarno et al, (1999), dikenal 3 varietas jahe di Indonesia berdasarkan bentuk, ukuran dan warna rimpangnya, yaitu jahe besar (sering disebut jahe gajah atau jahe badak), jahe kecil (jahe emprit) dan jahe merah (jahe sunti).
12
Rimpang jahe bercabang-cabang tidak teratur, berserat dan berbau khas aromatik (Gambar4). Rimpang jahe berasa pedas karena mengandung minyak atsiri 0.25-3.3% yang terdiri dari zingiberene, curcumene, philandren. Selain itu, rimpang jahe mengandung oleoresin sebanyak 4.3-6.0% yang terdiri dari gingerols dan shogaols (hasil dehidrasi gingerol). Oleoresin pada jahe juga menimbulkan rasa pedas atau pungent (Sutarno et al, 1999).
Gambar 4 Rimpang jahe gajah, jahe emprit dan jahe merah. Menurut Bhattarai et al (2001), gingerol merupakan komponen aktif utama dalam rimpang jahe segar dan teridentifikasi dalam bentuk [6]-gingerol [5hydroxy-1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl) decan-3-one]. Diketahui bahwa [6]gingerol memiliki efek farmakologis dan fisiologis, termasuk analgesic, antipyretic, gastroprotective, cardiotonic, aktivitas antihepatotoxic dan memiliki efek penghambatan dalam biosintesis prostaglandin (Bhattarai et al, 2001). Gingerol bersifat labil terhadap panas atau suhu tinggi, sehingga mudah terdehidrasi menjadi shogaol (Bhattarai et al, 2001). Senyawa 6-shogaol atau [1-(4-hydroxy-3-methoxyphenyl)decan-4-ene-3one] yang merupakan produk dehidrasi dari gingerol juga memiliki karakter citarasa yang pedas (pungent). Shogaol lebih banyak terdapat pada simplisia kering maupun dalam bentuk serbuk. Stabilitas kedua komponen tersebut di dalam tubuh, terutama bagian perut mampu memberikan sifat bioavailabilitas secara keseluruhan. Dalam suasana asam (sekitar pH 4.0), kestabilan gingerol dan shogaol mencapai puncak dan menjadi faktor penting dalam menelusuri efek farmakologis pada berbagai produk obat-obatan dan kesehatan berbasis jahe lainnya (Bhattarai et al, 2001). Diketahui bahwa gingerol memiliki kinetika kimia yang bersifat reversible menjadi shogaol dan sebaliknya (Gambar 5).
13
Gambar 5 Degradasi gingerol dalam suasana asam (Bhattarai et al, 2001).
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Firmansyah (2003), diketahui bahwa jahe memiliki aktivitas antioksidan (metode ransimat) tertinggi (3.39), bila dibandingkan dengan kayu secang (3.12) dan pala (1.63). Chen et al, (2008), melaporkan kandungan senyawa fenol total pada jahe setara dengan 291 ± 18 mg asam galat dan antioksidan setara dengan 96 ± 7 mg ascorbic acid equivalent antioxidant capacity. Rimpang jahe juga dikenal memiliki banyak khasiat kesehatan, antara lain sebagai peluruh kentut (carminative), perangsang (stimulant), pemberi aroma atau bumbu, melancarkan sirkulasi darah, menurunkan kolesterol, peluruh keringat (diaphoretic), antimuntah (antitussive), antiradang (anti-inflamantory) dan menambah nafsu makan (stomachica) (Wijayakusuma, 2002).
2.6. Asam Jawa (Tamarindus Indica L) Asam jawa dihasilkan oleh pohon yang bernama ilmiah Tamarindus indica, termasuk ke dalam suku Fabaceae (Leguminosae). Spesies ini adalah satu-satunya anggota marga Tamarindus. Tanaman ini cocok tumbuh di daerah kering sampai agak basah yakni di dataran rendah sampai 1000 meter dari permukaan laut (Danoesastro, 1976). Nama lain asam jawa adalah asam (Mly.), asem (Jw.), sampalok (Tagalog), ma-kham (Thai), dan tamarind (Ingg.). Buah asam jawa umumnya mudah rusak dalam penyimpanan, maka untuk menghindari hal tersebut asam jawa sering diolah menjadi asam kawak yang lebih awet dan dapat digunakan sama halnya seperti buah segar (Gambar 6).
14
Daging buah asam jawa mengandung rata-rata 5,27 % kalium bitartrat, 6,63 % asam tartrat dan 2,20 % asam sitrat. Hampir lebih dari setengah berat buah asam terdiri dari daging buah yang memiliki rasa manis dan mengandung kadar gula 30-40%. Daging buah asam jawa yang telah matang mengandung 17.8-35.8 g air, 2-3 g protein, 0.6 g lemak, 2.9 g serat, 41.1-51.1 g karbohidrat, 2.6-3.9 abu, 34-78 mg kalsium, 34-78 mg fosfor, 0.2-0.9 mg besi, 0.33 mg tiamin, 0.1 mg riboflavin, 1 mg niacin, dan 44 mg vitamin C (Soemardji, 2007) . Hasil pengujian kromatografi, buah asam jawa mengandung asam malat dan asam tartarat dengan konsentrasi masing masing sebesar 1.37 mg/ml dan 10.63 mg/ml. Hasil pengujian aktifitas antioksidan menunjukkan kapasitas absorbansi radikal oksigen (ORAC) dan total komponen fenolik sebesar 59.1 sampai dengan 60.3 µmol trolok ekuivalen (TE) perberat kering dan 626.6 sampai dengan 664.0 mg asam garlic ekuivalen (GAE) per 100 gram berat kering (Soemardji, 2007). Asam jawa memiliki beberapa manfaat kesehatan antara lain sebagai immunomodulator pada tubuh, antioksidan pada penyakit mata (mata kering), antidiabetes, antikolesterol, antihipertensi, antiinflamantori dan laksatif (anticonstipation).
Gambar 6 Asam jawa (Tamarindus Indica L).
2.7. Antioksidan Salah satu perhatian utama para ilmuwan pangan adalah reaksi autooksidasi yang dapat terjadi secara autokatalitik melalui senyawa perantara radikal bebas yang umumnya diinisiasi oleh senyawa logam dan peroksida sebagai pengotor pada sistem pangan sehingga dapat menurunkan kualitas dan nilai gizi. Oksidasi akan menjadi masalah jika aliran elektron menjadi tidak berpasangan menghasilkan radikal bebas Reactive Oxygen Species (ROS) seperti superoksida (O2*), peroksida (ROO*), alkoksil (RO*), hidroksil (HO*) dan oksida nitrat
15
(NO*). Waktu paruh (half-life) yang sangat pendek (hidroksil 10-9 detik) demikian pula alkoksil (beberapa detik) menyebabkan kedua jenis radikal bebas ini sangat reaktif dan secara cepat menyerang molekul pada sel-sel terdekat menyebabkan kerusakan yang mungkin tidak dapat diperbaiki oleh sistem sel. ROS bahkan dapat sangat merusak, terutama karena mampu menyerang lipid pada membran sel, protein jaringan atau enzim, karbohidrat dan DNA sehingga menyebabkan kerusakan membran sel, enzim dan DNA. Reaksi oksidatif ini telah dianggap ikut berperan dalam proses penuaan dan berbagai penyakit degeneratif seperti serangan jantung, katarak, disfungsi kemampuan kognitif dan kanker (Pietta, 2000). Antioksidan dalam pandangan ilmu pangan berfungsi untuk menghambat ketengikan pada makanan dengan menghambat inisiasi oksidasi lemak melalui reaksi pengkelatan ion logam atau mereduksi peroksida dan atau menghentikan reaksi berantai radikal bebas melalui penangkapan radikal bebas. Sedangkan menurut pandangan ilmu biologi dan nutrisi, antioksidan dapat berfungsi secara in vivo untuk menghambat oksidasi dari beberapa target biologis termasuk pengkelatan ion logam untuk menghambat pembentukan spesies oksigen/nitrogen reaktif, reaksi langsung dengan penangkapan spesies oksigen/nitrogen reaktif, menghambat oksidasi enzim (contoh cyclooksigenase), atau menginduksi aktivitas enzim antioksidan (Liangli Yu, 2008). Namun antioksidan pada konsentrasi tinggi dapat bersifat sebaliknya yaitu sebagai prooksidan atau meningkatkan oksidasi (Schuler, 1990). Antioksidan pada makanan dapat berperan pada peningkatan perlawanan oksidasi dari serangan singlet oksigen, menurunkan konsentrasi oksigen, mencegah rantai inisiasi pertama dengan mengikat radikal bebas, mengikat ion sebagai katalis, dekomposisi produk utama, dari oksidasi menjadi produk
non
radikal
dan
memecah
rantai
substansi
untuk
mencegah
bersambungnya abstraksi hidrogen substrat. Jenis antioksidan dapat dibedakan atas antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik yang banyak digunakan di antaranya adalah butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), propyl gallate (PG) dan tert-butylhydroquinone (TBHQ). Namun, dewasa ini mulai berkembang kesadaran masyarakat akan bahaya karsinogen dari bahan-bahan sintetik ini. BHA dan
16
TBHQ tidak lagi diijinkan untuk digunakan pada bahan pangan di Jepang, Kanada dan beberapa negara Eropa (Shahidi, 2000). Dengan demikian, terdapat keinginan dari masyarakat umum untuk mengganti antioksidan sintetik dengan antioksidan alami. Antioksidan alami dapat berfungsi tunggal atau lebih seperti sebagai senyawa pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkompleks logam, prooksidan, dan quencer dari bentuk singlet oksigen. Senyawa-senyawa ini umumnya merupakan golongan fenol atau polifenol yang berasal dari tanaman. Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavonon), turunan asam sinamat, kaumarin, tokoferol dan asam organik polifungsional. Antioksidan alami yang paling aktif adalah golongan senyawa fenolik dan polifenolik. Sebagai contoh senyawa flavonoid, turunan senyawa fenolik, seperti flavones, isoflavones, antosianin dan katekin yang merupakan komponen senyawa buah-buahan dan sayuran memiliki aktifitas antioksidan yang tinggi (Cao et al, 1996; Wang et al, 1997). Antioksidan pada tanaman tingkat tinggi telah diuji secara in vitro, mampu memberikan perlindungan dari kerusakan akibat oksidasi, menghambat serta mengikat radikal bebas dan oksigen reaktif. Asam fenolat fenilpropanoid dan flavonoid pada pangan dapat ditemukan dalam bentuk bebas dan juga dalam bentuk terikat secara glikosidik dengan berbagai jenis gula, terutama glukosa. Gula yang terikat tidak memiliki aktivitas antioksidan, tetapi lebih berperan sebagai fungsi transpor dalam cairan tubuh (Shahidi dan Naczk, 1995).
2.8. Senyawa Polifenol Senyawa fenolik yang terkandung dalam pangan merupakan salah satu hasil metabolisme sekunder tanaman. Istilah senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang mempunyai ciri khas sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa ini cenderung mudah larut dalam air dikarenakan berikatan dengan senyawa gula sebagai glikosida. Senyawa fenolik dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk asam fenolik, flavonoid, lignan, stillbene, caumarin dan tanin. Sedangkan istilah polifenol digunakan untuk
17
kelompok senyawa yang ditemukan pada tumbuhan memiliki lebih dari satu unit fenol setiap molekulnya. Polifenol umumnya dibagi menjadi dua yaitu tannin terhidrolisis dan polipropanoid seperti lignin, flavonoid dan tannin terkondensasi. Senyawa fenolik pada tanaman memiliki fungsi penting untuk pertumbuhan dan reproduksi, senyawa antipatogen, serta berperan dalam pembentukan pigmen. Senyawa fenolik memiliki efek yang penting pada stabilitas oksidasi dan keamanan mikrobiologi pangan, seperti aktivitas biologis yang berhubungan dengan efek penghambatan pada mutagenesis dan pembentukan karsinogen. Beberapa tanaman seperti biji-bijian, minyak, legum, rempah-rempah dan teh telah lama dikenal mengandung senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan. Golongan terbesar senyawa polifenol adalah flavonoid, terdiri dari ribuan senyawa diantaranya golongan flavonol, flavon, katekin, flavonon, antosianidin, dan isoflavonoid. Flavonoid dibentuk dalam tumbuhan dari asam amino aromatik fenilalanin dan tirosin, serta malonat melalui shikimate pathway (Pascual-Teresa, 2008). Struktur dasar flavonoid adalah inti flavan yang mengandung 15 atom karbon yang tertata dalam tiga cincin (C6-C3-C6) dengan label A untuk cincin C6 sebelah kiri dan label B untuk cincin C6 sebelah kanan (Gambar 7). Cincin A merupakan kombinasi oksigen heterosiklik dari 5 atom (aurone) atau 6 atom yang terbentuk dari kondensasi 3 molekul asam asetat, sedangkan cincin B merupakan cincin C6 yang terbentuk dari hasil derivatisasi gula dari shikimate pathway. Terdapat berbagai klas flavonoid, bergantung pada tingkatan oksidasi dan pola subtitusi dari cincin A dan B.
Gambar 7 Struktur dasar flavonoid (Pokorny et al, 2001). Flavonoid dapat membantu reaksi redoks terhadap fungsi vitamin C pada pembuluh darah dan sebagai antioksidan yang aktivitasnya tergantung pada struktur, dosis, sistem enzim dan deoksidasinya. Senyawa flavonoid dapat
18
digolongkan menjadi empat yaitu (1) senyawa yang dapat menangkap radikal oksigen (misal kaemferol, naringenin, apigenin, dan naringin), (2) senyawa yang dapat menghilangkan pengaruh radikal oksigen (misalnya miricetin, delpinidin atau quercetin), (3) senyawa yang bersifat sebagai antioksidan atau prooksidan tergantung pada konsentrasinya (misal phoretin, sianin, katekin dan morin), serta (4) senyawa yang bersifat inaktif (misalnya rutin dan phyloridin) (Pratt, 1992). Flavonoid pada umumnya terdapat di tanaman dalam bentuk turunan glikosilat, dan nampak dengan aneka warna seperti biru, merah muda dan orange baik pada daun, bunga maupun buah. Flavonoid juga ditemukan pada umbiumbian serta biji-bijian. Jenis-jenis flavonoid yang sangat sering ditemukan pada sereal adalah flavon apigenin dan luteolin (Pietta, 2000). Beberapa penelitian menyebutkan flavonoid memiliki aktivitas bioogis termasuk antialergi, antiviral, anti-inflamasi, hepatoprotektif, antitrombosis, antivirus, antikarsinogenik dan yang terpenting adalah kemampuan mengurangi formasi radikal bebas dan kemampuan menangkap radikal bebas (Miler 1996, Pieta 2000, Mojzisova and Kuchta 2001, Kneekt et al 2002). Peran utama dari flavonoid dalam bahan pangan terutama berkaitan dengan warna, citarasa dan antioksidan. Khusus antosianin dilaporkan bahwa beberapa jenis antosianin memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Wang et al, (1997), membuktikan bahwa dari 14 jenis antosianin yang dicobakan, kuromanin (cyanidin-3-glucosida) memberikan nilai oxygen radical absorbance capacity (ORAC) 3,5 kali lebih tinggi dari Trolox (analog vitamin E), sedangkan aktivitas antioksidan terendah dimiliki oleh pelargonin yang setara dengan nilai ORAC dari Trolox. Selain sebagai antioksidan, penelitian lain memperlihatkan bahwa antosianin memiliki efek yang menguntungkan bagi kesehatan di antaranya perlindungan terhadap penyakit jantung atau cardiovascular, antikanker, antitumor, antimutagenik, anti diabetes, melindungi hati, mencegah kerusakan saluran
pencernaan,
antimikroba,
anti
virus
dan
menurunkan
laju
neurodegenerative (Pascual-Teresa dan Sanchez-Balesta, 2008). Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah
19
penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak, merah, merah senduduk, ungu dan biru dalam daun bunga dan buah pada tumbuhan tinggi. Antosianin banyak ditemukan pada tanaman spesies vaccinium seperti blueberry dan cranberry, cerry, egg plant peel, red wine dan violet petal. Black rice atau yang dikenal dengan nama beras hitam juga memiliki senyawa antosianin Abdelaal et al, (2006). Antosianin adalah molekul yang bersifat polar, oleh karena itu pelarut yang umum digunakan adalah campuran etanol, metanol dan air (Kahkonen et al, 2001). Kapasakalidis et al (2006) melaporkan penggunaan metanol asam merupakan metode yang paling efisien dalam mengekstraksi antosianin apabila dibandingkan dengan penggunaan etanol dan air. Namun metode ini berimplikasi pada co-ekstraksi dari senyawa non fenol seperti gula, asam organic, dan protein. Penggunaan asam kuat juga akan berimplikasi pada terhidrolisisnya gula apabila matrik sampel yang digunakan mengandung banyak karbohidrat seperti pada beras.
2.9. Evaluasi Sensori Uji atau evaluasi sensori untuk menilai kualitas dari suatu barang telah banyak dipraktekkan sejak adanya kehidupan manusia. Evaluasi sensori mulai berkembang pesat sejak munculnya sistem perdagangan, dimana pembeli akan menilai komoditi yang akan dibelinya berdasarkan mutu sensorinya. Oleh karena itu, para pedagang kemudian menetapkan harga barang yang dijual berdasarkan kualitas sensorinya (yang meliputi penampakan fisik, warna, konsistensi dan tekstur maupun citarasa). Penggunaan istilah Grading digunakan dalam penilaian kualitas bahan makanan, seperti minuman anggur (wine), teh, kopi, tembakau dan sebagainya. Grading memunculkan orang-orang yang profesional dalam menguji kualitas suatu komoditi berdasarkan indera sensorinya terutama di dalam industri makanan dan minuman sekitar awal tahun 1900-an (Meilgaard et al, 1999). Sebuah literatur memunculkan penggunaan istilah ”uji organoleptik” (Pfenninger, 1979 seperti dikutip oleh Meilgaard et al, 1999) untuk menunjukkan hasil pengukuran obyektif terhadap atribut sensori suatu bahan pangan.
20
Teknologi yang terus berkembang mampu menghasilkan instrumen atau alat canggih yang dapat digunakan untuk mengukur atau menilai suatu parameter dari produk tertentu. Meskipun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua hasil ciptaan manusia mampu digunakan sebagai alat bantu untuk mengukur kualitas suatu produk, misalnya mutu sensori bahan pangan. Indera manusia telah dilengkapi oleh Tuhan dengan sensor yang paling canggih. Oleh karena itu, penggunaan subyek manusia sebagai instrumen dalam mengevaluasi atribut sensori dalam bahan pangan menjadi sangat penting. Meskipun demikian, dalam kenyataannya pengujian organoleptik seringkali bersifat subyektif, karena jumlah panelis yang terlalu sedikit, dan penilaian yang mengakibatkan munculnya praangapan terhadap suatu produk yang sedang diuji (Meilgaard et al, 1999). Evaluasi sensori didefinisikan sebagai satu disiplin keilmuan yang digunakan untuk mengukur, menganalisis karakteristik suatu bahan pangan dab material lain serta menginterpretasian reaksi yang diterima oleh panca indra manusia (penglihatan, pencicipan, penciuman, perabaan dan penginderaan (Adawiyah dan Waysima, 2009). Evaluasi sensori memiliki keunikan dan kekhasan tertentu dibandingkan dengan jenis analisis yang lain diantaranya produk sensori produk sulit dideskripsikan, penggunaan manusia sebagai instrumen memberikan kekhasan karena sulitnya dikalibrasi dan sangat dipengaruhi oleh kondisi fisiologis maupun psikologis, melibatkan kaidah-kaidah psikologis dan melibatkan banyak variabel yang harus dikontrol untuk menghindari bias untuk menghindari proses penginderaan yang diinginkan. Berbagai jenis metode uji sensori telah dikenal untuk menilai dan mengevaluasi karakteristik sensori dari produk pangan. Secara garis besar uji sensori dapat diklasifkasikan menjadi 3 yaitu uji pembedaan (difference test), Uji deskriptif (deskriptif test) dan uji afektif (acceptence and preference test). Uji pembedaan dan deskriptif dilakukan untuk tujuan analitis dan diinginkan respon pengujian yan obyektif (walaupun menggunakan penelis tidak terlatih), sedangkan metode uji afektif sifatnya sangat subjektif dan respon yang diinginkan juga merupakan respon yang subjektif (Adawiyah dan Waysima, 2009). Uji afektif dapat juga disebut sebagai uji konsumen, yang memiliki tujuan utama untuk mengetahui respon pribadi (penerimaan atau preferensi) konsumen
21
atau pelanggan terhadap suatu produk, gagasan suatu produk atau karakteristik tertentu suatu produk. Hasil pengujian memberikan gambaran indikasi preferensi atau kesukaan antara satu produk dengan produk yang lain, tingkat kesukaan (suka atau tidak suka) atau penerimaan (terima atau tolak). Uji afektif memiliki dua pendekatan yaitu pengukuran preferensi (uji paired-preference dan uji rangking/peringkat kesukaan) dan pengukuran penerimaan (uji rating/skala hedonik). Uji skala hedonik atau kesukaan merupakan uji yang paling dikenal untuk melihat status kesukaan atau status afektif dari suatu produk. Skala 5, 7 atau 9 merupakan skala umum yang digunakan dalam uji afektif. Respon pengujian ini mencakup respon sangat disukai sampai sangat tidak disukai dengan skala tengah merupakan respon netral. Jenis-jenis skala yang digunakan pada uji rating/skala hedonik dapat berupa skala verbal, skala kategori maupun gambar (anak-anak). Tingkat keberhasilan uji konsumen dipengaruhi oleh pemilihan lokasi pengujian maupun jumlah panelis yang digunakan. Beberapa lokasi yang dapat digunakan sebagai uji konsumen adalah laboratorium (sensory laboratory tests), pusat konsumen berkumpul seperti pasar, sekolah dan kafetaria (central-location tests) dan di rumah tempat tinggal panelis (home-use tests). Masing-masing lokasi uji memiliki keunggulan dan kelemahan yang berbeda-beda terhadap hasil yang diperoleh. Sebagai contoh sensory laboratory test memiliki keunggulan dalam hal lingkungan laboratorium yang terkontrol baik (seperti bau, faktor pencahayaan, dan kondisi pengujian yang kondusif), panelis yang mudah didapatkan (bila menggunakan karyawan), dan perolehan data yang cepat Jumlah panelis atau konsumen juga menetukan tingkat keberhasilan pengujian afektif. 8-12 orang digunakan untuk ukuran panelis fokus group yang dipilih berdasarkan kriteria spesifik yang mewakili target. Sensory laboratory tests menggunakan 25-50 responden agar dapat diolah secara statistik, namun penggunaan 50-100 panelis secara statistik akan menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kisaran 50-100 panelis setiap produk biasanya digunakan pada central location tests, sedangkan home use test digunakan 50-100 panelis per produk dan 70-300 bila dilakukan pengujian multicity (3-4 kota).
22
Pemilihan metode uji dan pemilihan lokasi yang tepat serta jumlah panelis yang sesuai sangat menentukan tingkat keberhasilan dalam pengujian sensori. Hasil evaluasi sensori dengan tingkat validitas tinggi terhadap produk pangan dapat menjadi landasan penting dalam pengambilan keputusan manajemen industri pangan berkaitan dengan sifat sensori yang dimiliki produk tersebut.
2.10. Mixture experiment (Me) Penggabungan beberapa ingredien atau bahan baku dilakukan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang dapat dinikmati, contohnya formulasi dalam pembuatan kue yang tersusun atas campuran baking powder, shortening, tepung, gula dan air. Hasil akhir produk tersebut tentunya dipengaruhi oleh persentase atau proporsi relatif masing-masing ingredien yang ada dalam formulasi. Alasan lain penggabungan beberapa ingredien dalam mixture experiment adalah untuk melihat apakah pencampuran dua komponen atau lebih tersebut mampu menghasilkan produk akhir dengan sifat yang lebih diinginkan, dibandingkan dengan penggunaan ingredien tunggalnya dalam menghasilkan produk yang sama (Cornell, 1990). Apabila diamati lebih lanjut, terdapat relasi fungsional antar ingredien penyusun dan dengan adanya perubahan proporsi relatif ingredien tersebut akan menghasilkan produk dengan respon yang berbeda. Kombinasi ingredien yang dipilih tentunya adalah kombinasi ingredien yang dapat menghasilkan produk dengan respon maksimal sesuai yang diharapkan oleh perancang. Penggunaan Mixture Experiment dalam merancang suatu percobaan untuk mendapatkan kombinasi yang optimal dirasakan mampu menjawab permasalahan dilihat dari segi waktu (mengurangi jumlah trial and error rancangan) dan biaya (Cornell, 1990). Menurut Cornell (1990), Mixture Experiment (ME) merupakan suatu metode perancangan percobaan kumpulan dari teknik matematika dan statistika dimana variabel respon diasumsikan hanya bergantung pada proporsi relatif ingridien penyusunnya dan bukan dari jumlah total campuran ingridien tersebut. Salah satu tujuan penggunaan perancangan percobaan ini adalah untuk mengoptimalkan respon yang diinginkan (Cornell, 1990). Oleh karena itu dapat
23
dikatakan bahwa variabel respon merupakan fungsi dari proporsi relatif setiap komponen atau bahan penyusun dalam suatu formula (Cornell, 1990). Menurut Cornell (1990), ME terdiri dari enam tahap utama. Tahap pertama yaitu menentukan tujuan percobaan (misalnya untuk optimasi formula), memilih ingridien penyusun yang dianggap memberikan pengaruh nyata terhadap variabel respon produk akhir, menentukan batas atas dan batas bawah berupa proporsi relatif masing-masing ingredien penyusun campuran, menentukan variabel respon yang diinginkan, membuat model yang sesuai untuk mengolah data dari respon, dan memilih disain percobaan yang sesuai. ME seringkali digunakan untuk menentukan dan menyelesaikan persamaan polinomial secara simultan. Persamaan tersebut dapat dipetakan dalam suatu contour plot, baik berupa gambar dua dimensi (2-D) maupun grafik tiga dimensi (3-D) yang dapat memberi gambaran bagaimana variabel uji mempengaruhi respon, hubungan antar variabel uji, dan menentukan bagaimana kombinasi seluruh variabel uji mempengaruhi respon. Menurut Cornell (1990), persamaan polinomial ME dapat memiliki berbagai macam ordo, seperti mean, linier, kuadratik, kubik dan spesial kubik. Namun model persamaan polinomial yang sering digunakan dalam formulasi adalah model ordo linier dan kuadratik. Model ordo linier dengan dua variabel uji digambarkan pada persamaan (1), sedangkan model ordo kuadratik dengan dua variabel uji digambarkan pada persamaan (2). Y = b0 + b1X1 + b2X2…................................................(1) Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b11X12 + b22X22 + b12X1X2......(2) Persamaan dengan model ordo linier seringkali memberikan deskripsi bentuk geometri (3-D) respon permukaan yang kurang memadai. Oleh karena itu, dalam formulasi lebih diharapkan menggunakan model persamaan polinomial ordo kuadratik (Cornell, 1990).
24