II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pangan Fungsional Ada berbagai macam definisi atau pengertian mengenai pangan fungsional. Istilah pangan fungsional bukanlah istilah gizi biasa, tetapi ada berbagai istilah yang digunakan untuk menyatakan pangan fungsional, seperti nutraceuticals, medical foods, atau designer foods (Guo 2000). Menurut ILSI Europe, sebuah forum yang mewakili industri, akademisi, dan pemerintahan, pangan fungsional adalah suatu pangan yang dapat memberikan manfaat bagi satu atau lebih fungsi dalam tubuh, melebihi manfaat gizi biasanya dari suatu pangan, dalam kaitannya dengan kesehatan dan/atau dalam mengurangi risiko dari suatu penyakit (Arnoldi 2000). Pangan fungsional dapat dikonsumsi seperti pangan pada umumnya dan memiliki penampakan seperti pangan pada umumnya (Guo 2000). Indonesia sudah memiliki ketentuan pangan fungsional, yaitu Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional yang ditetapkan melalui Peraturan Kepala Badan POM No. HK.00.5.52.0685 tahun 2005. Menurut ketentuan tersebut, pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan, dan bermanfaat bagi kesehatan. Kelompok komponen pangan fungsional adalah vitamin, mineral, gula alkohol, asam lemak tidak jenuh, asam amino, serat pangan, prebiotik, probiotik, kloin, lesitin dan inositol, karnitin dan skualen, isoflavon, fitosterol dan fitostanol, dan polifenol.
2.2. Sirih Merah Tanaman sirih termasuk dalam famili Piperaceae, tumbuhan jenis ini merambat dan bersandar pada batang pohon lain (Duryatmo dan Nyuwan 2005). Salah satu jenis sirih yang termasuk ke dalam famili Piperaceae adalah sirih merah. Berdasarkan kajian ilmiah sirih merah termasuk : kingdom Plantae, subkingdom Tracheobionta, super divisi Spermatophyta, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Piperales, famili Piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper crocatum. Tanaman sirih merah tumbuh menjalar seperti halnya sirih hijau keunguan dan tidak berbunga. Daun bertangkai membentuk jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata, dan permukaannya mengkilap atau tidak berbulu. Panjang daunnya dapat mencapai 15 -20 cm. Warna daun bagian atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan. Bagian bawah daun berwarna merah hati cerah. Daunnya berlendir, berasa sangat pahit, dan beraroma wangi khas sirih. Batang tanaman bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm dan disetiap buku tumbuh bakal akar. Tanaman sirih merah dapat tumbuh baik ditempat yang teduh dan tidak telalu banyak terkena sinar matahari (Sudewo 2005). Menurut Salim (2006) rebusan daun sirih merah mengandung alkaloid, flavonoid, dan tanin, serta tidak bersifat toksik bagi hewan coba dan dapat menurunkan kadar glukosa darah pada dosis 20 g/kg BB. Penurunan kadar glukosa darah tersebut terjadi melalui perbaikan kelenjar endokrin pankreas tikus yang rusak akibat aloksan (Safithri et al. 2006).
2
2.3. Jahe Jahe adalah umbi dari pohon Zingiber officionale Roscoe yang termasuk dalam famili Zingiberaceae. Tanaman ini tergolong tanaman herba, tegak, dan dapat mencapai ketinggian 40100 cm. Akarnya sering disebut rimpang jahe, bercabang tak beraturan, berserat kasar, menjalar mendatar, dan bagian dalam rimpang berwarna kuning pucat (Koswara 2006). Jahe mengandung minyak atsiri dan oleoresin yang menyebabkan aroma harum dan rasa pedas. Kandungan minyak atsiri sebesar 1-3 persen dengan kandungan utama berupa zingiberen dan zingiberol. Komponen oleoresinnya terdiri atas gingerol dan zingiberen, shagaol, minyak atsiri, dan resin. Pemberi rasa pedas utama adalah zingerol. Jahe diketahui mengandung antioksidan yang membantu menetralkan efek merusak dari radikal bebas di dalam tubuh (Koswara 2006). Jahe ini juga diketahui memiliki potensi antihiperglikemia dengan dosis sebesar 500 mg/kg BB pada tikus yang diinduksi diabetes dengan streptozotocin (STZ) (Al-amin et al. 2006).
2.4. Kayu Manis Kayu manis merupakan tumbuhan berdaun rimbun yang tingginya mencapai 16 m. Tumbuhan ini termasuk famili Lauraceae. Kayunya agak pejal dan berat tetapi tidak keras serta berwarrna coklat atau merah muda. Daunnya berwarna merah atau hijau (Syukur dan Hernani 2002). Minyak atsiri kayu manis dari Indonesia digolongkan dalam cassia oil karena kesamaan kandungan sinamiladehidanya dalam tanaman dan memiliki aroma yang disukai masyarakat, sehingga banyak digunakan sebagai flavor makanan (Wuri et al. 2004). Salah satu potensi ekstrak kayu manis bagi kesehatan adalah sebagai antihiperkolesterolemia yang terbukti dapat menurunkan kolesterol total serum (Azima et al. 2004). Potensi lain kayu manis adalah sebagai antioksidan karena kandungan senyawa tannin dan eugenolnya (King 2000). Sinamaldehid pada minyak kayu manis diketahui dapat menghambat enzim -glukosidase dengan konsentrasi penghambatan sebesar 93,29% pada konsentrasi 50 ppm (Ngadiwiyana et al. 2011).
2.5. Jeruk Nipis Jeruk nipis (Citrus aurantifolia) merupakan tumbuhan yang diduga berasal dari dataran Cina dan menyebar luas ke berbagai negara di dunia. Jeruk nipis tumbuh optimal pada dataran rendah sampai dataran tinggi dengan suhu udara berkisar 25 oC–30oC. Buah yang dihasilkan berbentuk bundar, pada waktu muda berwarna hijau namun setelah tua (matang) berubah menjadi kuning cerah. Cita rasa buah sangat masam dan berbau sedap dengar kadar asam sitrat ±6%. Daging buah berwarna putih, berair asam, wangi, dan kadar vitamin C-nya tinggi. Komposisi minyak atsirinya antara lain limonen, α-pinen, mirsen, β-pinen, sabinen, dan isokamfen yang termasuk golongan hidrokarbon monoterpen; geraniol, linalol, neral, nerol, geranial, geranil asetat, α-terpineol, sitronelol, dan neril asetat yang termasuk golongan monoterpen teroksigenasi; serta βkariofilen yang termasuk golongan hidrokarbon siskuiterpen (Dongmo et al. 2009).
3
Kandungan vitamin C yang tinggi dari jeruk nipis sangat berguna sebagai antioksidan dan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga kuman-kuman patogen dapat dimatikan oleh tubuh. Kandungan buah jeruk nipis dalam tiap 100 g dapat dilihat pada Tabel 1 (Trisbiantara 2008).
Tabel 1. Kandungan buah jeruk nipis Kandungan Vitamin C Kalsium Fosfor Hidrat arang Vitamin B1 Zat besi Lemak Kalori Protein Air
Jumlah 27 mg 40 mg 22 mg 12.4 g 0.04 mg 0.6 mg 0.1 g 37 g 0.8 g 86 g
2.6. Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas dapat diredam (Sunarni 2005). Antioksidan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan primer yang dapat bereaksi dengan radikal bebas membentuk produk yang lebih stabil dan antioksidan sekunder atau antioksidan pelindung yang berperan dalam mereduksi kecepatan rantai inisiasi melalui berbagai macam mekanisme dan berperan dalam memperlambat laju autooksidasi lemak dengan cara mengikat ion logam, memecah hidroperoksida menjadi spesies non radikal, menyerap radiasi ultraviolet, dan menginaktifkan oksigen singlet (Winarti 2010). Ada berbagai macam antioksidan yang ditawarkan pada masyarakat, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Menurut Sofia (2006), antioksidan alami dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa endogenous dari satu atau lebih komponen makanan, (b) substansi yang terbentuk dari hasil reaksi selama pengolahan, dan (c) bahan tambahan makanan yang diisolasi dari sumber alami. Sebagian besar antioksidan alami berasal dari tanaman. Beberapa sumber umum antioksidan alami berasal dari tanaman. Beberapa sumber umum antioksidan alami dari tanaman adalah alga, serealia, produk kokoa, sitrus, tanaman bumbu dan rempah, legume, bijibijian berminyak, ekstrak tanaman, protein hidrolisat, resin, lada, bawang merah dan bawang putih, dan zaitun. Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara seperti (a) sebagai senyawa pereduksi, (b) sebagai penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam prooksidan, dan (d) quencher dari bentuk singlet oksigen. Senyawa-senyawa ini umumnya dari kelompok fenolik atau polifenolik dari sumber tanaman. Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, dan flavonol), derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam organik polifungsional (Sofia 2006). Diabetes mellitus (DM) adalah sebuah kerusakan metabolisme yang ditandai dengan gejala hiperglikemia yang disebabkan kurangnya sekresi insulin atau kerja insulin yang kurang baik. DM yang tidak terkontrol dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada berbagai jaringan dan sistem
4
pembuluh darah atau mempercepat artesoklorosis (Miyamoto et al. 2010). DM terlibat dalam proses pembentukan radikal bebas (Droge W 2002) melalui autooksidasi glukosa, glikasi protein, dan aktivasi jalur metabolisme poliol yang selanjutnya mempercepat pembentukan senyawa oksigen reaktif. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut dapat meningkatkan modifikasi lipid, DNA, dan protein pada berbagai jaringan (Ueno et al. 2002). Modifikasi molekuler pada berbagai jaringan tersebut mengakibatkan ketidakseimbangan antara antioksidan protektif (pertahanan antioksidan) dan peningkatan produksi radikal bebas. Hal itu merupakan awal kerusakan oksidatif yang dikenal sebagai stres oksidatif (Sofia 2006). Untuk meredam kerusakan oksidatif tersebut diperlukan antioksidan. Peningkatan suplai antioksidan yang cukup akan membantu pencegahan komplikasi klinis diabetes mellitus.
2.7. Enzim Alfa Glukosidase Enzim α-glukosidase dengan nama kimia α-D-glukosida glukohidrolase terletak dalam permukaan membran dalam sel usus (Gao et al. 2008). Enzim ini merupakan enzim utama pemecah karbohidrat menjadi glukosa dalam usus kecil (Lee et al. 2007). Enzim α-glukosidase diketahui merupakan enzim yang dapat mengkatalisis pemecahan ikatan 1,4 α-glukosida dan ikatan 1,6 α-glukosida. Kerja enzim ini adalah melanjutkan kerja dari enzim α-amilase yakni menghidrolisis α-limit dekstrin menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Enzim α-glukosidase terlibat dalam degradasi glikogen dan memiliki pH optimum 7. Enzim ini sering digunakan untuk mengetahui potensi tumbuhan sebagai antidiabetes secara in vitro dengan mekanisme penghambatan. Penghambatan kerja enzim ini dapat menunda penyerapan glukosa ke dalam darah setelah adanya asupan makanan (Elya et al. 2012). Semakin besar potensi tumbuhan sebagai antidiabetes, semakin tinggi pula penghambatan aktivitas enzim ini (Azizah 2005).
2.8. Pembotolan dan Pasteurisasi Pengemasan pangan adalah salah satu proses terakhir dalam suatu rantai produksi pangan. Pengemasan pangan ini bertujuan untuk melindungi produk pangan dari berbagai pengaruh luar yang memungkinkan kerusakan pada produk pangan, mempermudah dalam proses pengangkutan produk pangan, dan berguna dalam memberikan informasi mengenai komposisi dan informasi gizi bagi konsumen (Coles et al. 2003). Ada berbagai bahan pengemas yang umum digunakan, yaitu kaca, logam, plastik, dan karton. Pemilihan bahan pengemas yang tepat akan dapat memperpanjang umur simapn suatu produk pangan (Marsh dan Bugusu 2007). Berbagai macam pangan dapat dikemas dalam kemasan kaca, contohnya adalah kopi instan, rempah, makanan bayi, produk susu, selai, sirup, bir, wine, air mineral, dan lain-lain (Coles et al. 2003). Keuntungan dari bahan pengemas kaca adalah tidak berbau, tahan terhadap bahan kimia, tidak tembus gas dan uap, tahan terhadap suhu tinggi, dapat diproduksi dalam berbagai bentuk, serta dapat digunakan kembali dan dapat didaur ulang. Bahan pengemas kaca dapat pula diproduksi dalam berbagai warna maupun transparan (Marsh dan Bugusu 2007). Komposisi bahan pengemas kaca ini bervariasi tergantung pada warna kemasan tetapi pada dasarnya tersusun atas soda (Na2O), kapur (CaO), dan silika (SiO2). Kemasan botol kaca transparan tersusun atas silika (72%) yang berasal dari pasir kemurnian tinggi, kapur 12% dari batu kapur, soda (12%) dari abu soda, alumina (Al2O3), magnesium (MgO), dan potasium (K2O).
5
Pada kemasan kaca tidak transparan atau berwarna terdapat bahan tambahan lain yang ditambahkan, seperti besi oksida (Fe2O3) yang memberikan warna hijau pucat, kromium oksida (Cr2O3) yang menghasilkan warna biru kehijauan yang halus, penambahan besi oksida dan kromium oksida menghasilkan warna hijau tua, penambahan karbon dan peleburan komposisi yang mengandung besi oksida pada kondisi reduksi menghasilkan warna coklat, serta penambahan cobalt pada kaca dengan kandungan besi yang rendah menghasilkan warna biru (Coles et al. 2003). Dalam pembuatan suatu produk pangan, sering dilakukan proses pemanasan. Proses pemanasan bertujuan untuk menginaktifkan mikroorganisme patogen atau perusak. Proses pemanasan dapat mempengaruhi fisik dari suatu produk atau menyebabkan perubahan karena reaksi kimia pada produk pangan, contohnya adalah reaksi pencoklatan. Proses ini berlangsung dengan memberikan panas pada produk dan ditahan selama jangka waktu tertentu untuk menginaktifkan mikroorganisme sebelum kemudian didinginkan (Lewis dan Heppell 2000). Salah satu faktor yang paling penting untuk diperhatikan dalam proses pemanasan adalah tingkat keasaman dari produk pangan. Berdasarkan tingkat keasaman ini, produk pangan dapat dibagi menjadi dua, yakni pangan berasam tinggi (pH < 4.5) dan pangan berasam rendah (pH >4.5). Pembagian ini didasarkan pada viabilitas dari bakteri Clostridium botulinum. Bakteri ini biasa tidak aktif dan tidak bereproduksi pada pH di bawah 4.5. Tujuan proses pemanasan pada produk berasam tinggi adalah untuk menginaktivasi kapang dan khamir. Nilai pH umumnya akan menurun selama proses pemanasan sebesar kurang lebih 1 unit pH tetapi dapat kembali mendekati nilai awalnya setelah proses pendinginan (Lewis dan Heppell 2000). Pasteurisasi adalah salah satu cara pengawetan panas yang ringan untuk menginaktivasi mikroorganisme yang tidak tahan panas, seperti bakteri vegetatif, kapang, dan khamir yang dapat menyebabkan kerusakan produk pangan ataupun keracunan pangan (Lewis dan Heppell 2000). Prinsip pasteurisasi adalah pemanasan produk dalam waktu yang singkat sampai mencapai kombinasi suhu dan waktu tertentu yang cukup untuk membunuh semua mikroorganisme patogen, tetapi hanya menyebabkan kerusakan sekecil mungkin terhadap produk akibat panas. Proses pengawetan dikatakan ringan karena jumlah kerusakan secara kimia maupun perubahan karakteristik sensori yang dihasilkan sangat minimal. Lewis dan Heppell (2000) mengatakan bahwa proses pasteurisasi yang dipadukan dengan pendinginan secara cepat dan penyimpanan pada suhu rendah umumnya akan menghasilkan produk yang lebih bertahan lama. Namun, penting pula untuk menjaga agar tidak terjadi rekontaminasi setelah proses pasteurisasi dilakukan atau dikenal dengan PPC (postpasteurization contamination). Menurut Fellows (2000), berdasarkan kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi metode pasteurisasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. pasteurisasi dengan suhu tinggi dan waktu singkat (High Temperature Short Time/HTST), yaitu proses pemanasan susu selama 15 detik pada suhu 72oC 2. pasteurisasi dengan suhu rendah dan waktu lama (Low Temperature Long Time/LTLT) yakni proses pemanasan susu pada suhu 63oC selama 30 menit.
2.9. Umur Simpan Salah satu faktor terpenting dalam pembuatan produk pangan adalah umur simpan produk. Umur simpan adalah selang waktu antara saat produksi hingga produk masih berada dalam kondisi
6
yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, nilai gizi, serta layak dikonsumsi (Robertson 2010). Hasil dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima (Robertson 2010). Faktor yang mempengaruhi umur simpan dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan eksternal (Robertson 2010). Faktor internal merupakan karakteristik produk akhir, misalnya aktivitas air (aw), pH, nilai gizi, penggunaan bahan pengawet dan biokimia alami produk (enzim dan komponen kimia). Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi produk selama pengiriman hingga diterima konsumen. Faktor eksternal diantaranya adalah suhu penyimpanan, RH penyimpanan, RH proses, RH pengiriman, komposisi udara dalam kemasan dan penanganan selama di konsumen. Umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Storage Studies (ASS). ESS sering juga disebut sebagai metode konvensional yaitu penentuan tanggal kadaluarsa dengan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari dan dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga mencapai tingkat kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun memerlukan waktu yang panjang dan analisa parameter mutu yang relatif banyak. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai kadaluarsa kurang dari 3 bulan (Arpah 2001). Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) atau metode akselerasi digunakan untuk mempercepat waktu penurunan umur simpan. Kondisi penyimpanan pada metode ini diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah 2001). Penggunaan metode akselerasi disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan. Model yang diterapkan pada penelitian akselerasi ini menggunakan pendekatan semi empiris dengan bantuan persamaan Arrhenius, yaitu suatu cara pendekatan yang menggunakan teori kinetika yang pada umumnya mempunyai ordo reaksi nol atau satu untuk bahan pangan.
7