II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan kelautan, kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri, melainkan merupakan paket
kebijakan
yang
komponen-komponennya
saling
melengkapi
dan
menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu: Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga pasar. Hal ini selanjutnya akan mampu memberikan sinyal-sinyal dan insentif yang tepat (sesuai dengan kepentingan sosial dan ekonomi), bukan hanya kepada para konsumen, tetapi juga kepada produsen dan pemasok sumberdaya. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan, distribusi asset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Kebijakan semacam ini tidak hanya berlaku pada aspek ekonomi, tetapi menjangkau keseluruhan aspek kehidupan, yakni sosial, kelembagaan, budaya, lingkungan dan politik. Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif. Kemudian dana pajak tersebut digunakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, baik secara langsung maupun melalui penyediaan berbagai macam bantuan kesejahteraan dan tunjangan langsung (social security), maupun melalui upaya penyediaan barang konsumsi dan peningkatan jasa pelayanan yang dibiayai pemerintah. Oleh karena itu, menurut Kusumastanto (2003) agar bidang kelautan menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan
sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legeslatif. Dalam konteks ini, kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama. Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut tidak hanya sampai pembentukan departemen tersebut, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan kelautan (ocean policy). Seiring dengan
adanya otonomi daerah, sebagaimana diisyaratkan
dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang kewenangan mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya laut dan pesisir. Oleh karena itu bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang basar utamanya pesisir dan kelautan, berkesempatan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin dihadapi adalah
untuk untuk pembangunan. Permasalahan utama yang
jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi
pada
pertumbuhan ekonomi, maka akan berdampak pada konsekuensinya menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana
untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat (social well being) (Kusumastanto 2003). Untuk itu maka kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus di pertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi demi tercapai kesejateraan dan disisi lain bisa dimanfaatkan secara berkeberlanjutan (sustainaibility). Salah satu negara yang telah menerapkan ocean policy dalam kegiatan perencanaan pembangunannya adalah Australia. Dalam Commonwelth of Australia (1999) menyebutkan bahwa visi dari ocean policy adalah menjaga keberlanjutan laut melalui kepedulian, kepahaman dan pemanfaatan secara bijak bagi keuntungan semua pihak baik generasi sekarang dan masa depan. Oleh karena itu sebuah kebijakan kelautan harus memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. Melindungi hukum dan wilayah kekuasaan seluruh laut, termasuk sumberdaya yang ada di lautan. 2. Menerapkan hukum internasional serta menjaga dari ancaman dari
negara
lain. 3. Mengetahui dan melindungi keanekaragaman sumberdaya laut dan menjaga keberlanjutan lingkungan dan ekologinya. 4. Mempromosikan pembangunan ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan dan menciptakan lapangan perkerjaan. 5. Menciptakan perencanaan dan perancangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. 6. Mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat pesisir. 7. Meningkatkan keahlian dan kemampuan dalam pengelolaan laut baik dalam aspek manajemen, keilmuan, teknologi dan mesin. 8. Mengidentifikasi dan melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya laut. 9. Meningkatkan kepedulian dan kepahaman masyarakat terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan. Menurut Kusumastanto (2003), untuk menjabarkan OCEAN POLICY menjadi sebuah mainstream pembangunan ekonomi, kebijakan ini harus dikembangkan dalam kerangka pemikiran ekonomi yang disebut sebagai
OCEANOMICS. Secara definisi, OCEANOMICS adalah ilmu atau pemikiran ekonomi yang dipakai dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan sebagai basis dalam
mendorong
pertumbuhan
dan
pemerataan
pembangunan
guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Secara filosofis, oceanomics menjadi signifikan karena keterbukaan dalam perekonomian dunia. Artinya terminologi ini tidak mengesampingkan paham archipelago (wawasan nusantara) yang sudah dicanangkan sejak Deklarasi Juanda, tetapi justru paham archipelago dan ocean harus saling memperkuat satu dengan lainnya. Oleh karena itu, paham oceanic dan paham wawasan nusantara menjadi kekuatan Indonesia secara internal maupun secara proaktif sebagai trend setter dalam percaturan komunitas internasional yang semakin kompetitif. Agar
bidang
kelautan
menjadi
sebuah
sektor
unggulan
dalam
pembangunan nasional, diperlukan kebijakan yang terintergasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan dalam sebuah tata kelola pemerintahan kelautan (ocean governance). Oleh karena itu, diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan nasional (national ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang akan menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan publik. Secara skematis, pilar-pilar yang menopang kebijakan pembangunan kelautan nasional dijelaskan pada Gambar1.
Gambar1. Pilar Pembangunan Kelautan Sumber: Kusumastanto (2003)
2.2 Potensi Ekonomi Bidang Kelautan Menurut Colgan (2003) ekonomi kelautan adalah kegiatan ekonomi yang memanfaatkan semua atau sebagian input sumberdaya dari laut atau perairan yang luas sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi ini mencakup dari kegiatan industri maupun secara geografis berada di pesisir dan lautan. Kildow dan Colgan (2005) juga menambahkan bahwa ekonomi kelautan merujuk kepada semua kegiatan penciptaan barang dan jasa yang dipengaruhi oleh sumberdaya laut. Sehingga ekonomi kelautan merupakan kumpulan seluruh kegiatan perekonomian yang dilaksanakan baik di laut maupun di daratan yang masih terkait dengan sumberdaya laut itu sendiri. Kildow dan Colgan (2005) mengklasifikasi beberapa sektor dan industri yang merupakan bagian dari ekonomi kelautan. Sektor dan industri tersebut terbagi ke dalam 6 sektor yaitu: (1) bangunan kelautan, (2) sumberdaya hidup seperti penangkapan ikan, pembenihan dan budidaya, serta pengolahan perikanan, (3) penambangan mineral ( pasir, batu, minyak dan gas), (4) pembuatan kapal dan bangunan kelautan, (5) rekreasi dan pariwisata seperti wisata pantai, menyelam, sport fishing, hotel dan restoran, (6) transportasi laut, baik angkutan barang maupun manusia. Kusumastanto (2006) menambahkan bahwa definisi bidang kelautan terbagi menjadi 7 sektor yaitu sebagai berikut: 1. Sektor Perikanan Sektor perikanan adalah sektor kelautan yang berhubungan dengan sumberdaya hayati yang ada di laut. Sektor ini mencakup kegiatan-kegiatan penangkapan ikan, pembenihan ikan, budidaya ikan dan biota air lainnya yang berada di wilayah pesisir maupun di lautan. Sektor ini juga termasuk industri yang terkait dengan produk perikanan seperti industri pengolahan hasil perikanan hasil produksi dari pesisir dan lautan. 2. Sektor Pariwisata Bahari Sektor pariwisata bahari merupakan sektor kelautan yang mencakup kegiatan pariwisata yang dilakukan di pesisir dan lautan. Selain itu, sektor ini juga termasuk jasa penunjang pariwisata bahari seperti hotel dan penginapan, restoran
dan rumah makan, jasa penunjang pariwisata bahari lainnya seperti toko cindera mata dan lain sebagainya. 3. Sektor Pertambangan Sektor pertambangan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan pencarian (eksplorasi) kandungan minyak dan gas bumi, penyiapan pengeboran, penambangan, penguapan, pemisahan serta penampungan bahan-bahan mineral yang dilakukan di wilayah pesisir atau lautan untuk dipasarkan. Sektor ini juga meliputi pengambilan dan persiapan pengolahan lanjutan benda padat, baik di di bawah maupun di atas permukaan bumi serta seluruh kegiatan lainnya yang yang bertujuan untuk memanfaatkan bijih logam dan hasil tambang lainnya. Selain itu sektor ini mencakup juga penggalian pasir dan batu-batuan dari pesisir dan lautan. 4. Industri Kelautan Industri kelautan adalah sektor kelautan yang mencakup industri yang menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan lautan. Industri yang dimaksud adalah industri galangan kapal dan jasa perbaikan (docking), industri bangunan lepas pantai, dan industri pengolahan hasil pengilangan minyak bumi, serta industri LNG. 5. Angkutan Laut (Transportasi Laut) Sektor transportasi laut adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan pengangkutan barang maupun penumpang dengan menggunakan kapal laut yang beroperasi di dalam (domestik) dan ke luar wilayah Indonesia (internasional). 6. Bangunan Kelautan Bangunan kelautan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan penyiapan lahan sampai kontruksi bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal. 7. Jasa Kelautan Jasa kelautan adalah sub kelautan yang meliputi segala kegiatan yang bersifat menunjang dan memperlancar kegiatan pengangkutan yang meliputi jasa pelayanan pelabuhan, jasa pelayanan keselamatan pelayaran, dan kegiatan yang memanfaatkan kelautan sebagai jasa seperti perdagangan, pendidikan, penelitian dan lain-lain.
Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah laut terbesar adalah negara yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya kelautan. Menurut Kusumastanto (2006) potensi sumberdaya kelautan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia terdiri atas dua jenis yaitu: pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti sumberdaya perikanan (perikanan tangkap, budidaya) dan kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, dan jasa lingkungan. Bidang ekonomi yang berbasis sumberdaya alam adalah bidang ekonomi yang cenderung dapat bertahan dari krisis. Hal ini dibuktikan ketika negara Indonesia diterjang krisis tahun 1998, sektor ekonomi dari bidang kelautan merupakan sektor yang menyumbangkan kontribusinya bagi perekonomian nasional. Disaat sektor lain mengalami keterpurukan, bidang kelautan tidak mengalami kemunduran, bahkan mengalami peningkatan pada saat krisis. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1998. Pada tahun 1995 kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional atas harga berlaku sebesar 12,38%, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 20,06%. Apabila dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya, bidang kelautan mengalami kenaikan yang cukup besar hampir meningkat 62% selama kurun waktu 4 tahun (Kusumastanto 2006). Dengan mengetahui kontribusi bidang kelautan terhadap nilai GDP suatu daerah, diharapkan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya kelautan akan semakin diperhatikan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah mekanisme perhitungan terhadap sumberdaya kelautan sehingga jumlahnya dapat diidentifikasi secara tepat. Menurut Colgan (2003), langkah yang harus dilakukan dalam mengukur kontribusi bidang kelautan terhadap pendapatan nasional adalah: 1. Perhitungan harus didasarkan dari semua data dalam satu waktu dan wilayah tertentu, termasuk menghitung jumlah total dari nilai output suatu wilayah dari suatu negara atau daerah tertentu.
2. Perhitungan harus detail yang menunjukkan nilai output dari semua tingkat industri yang ada. 3. Perhitungan harus bisa menggambarkan karakteristik industri yang memanfaatkan sumberdaya kelautan seperti pariwisata dan rekreasi.
2.3 Karakteristik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut Charles (2001), tiga komponen fishery system ini adalah natural system, management system, dan human system. Natural system yang dimaksud terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik. Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca panen dan konsumen, rumah tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir. Management system merupakan sistem pengelolaan perikanan yang terdiri perencanaan dan kebijakan perikanan, pembangunan dan pengelolaan perikanan dan penelitian di bidang perikanan. Keterkaitan antar sistem perikanan ini dapat digambarkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Keterkaitan Antar Sistem Perikanan Sumber: Charles A ( 2001)
2.4 Pengertian Depresiasi Sumberdaya Pesisir dan Lautan Pengelolaan sumberdaya pesisir utamanya sumberdaya perikanan yang kurang mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan hampir telah terjadi di seluruh wilayah pesisir Indonesia, terutama pada wilayah yang padat penduduk dengan tingkat pembangunan yang intensif. Hal ini menjadikan beberapa daerah telah menunjukkan kondisi sumberdaya yang cenderung mengalami penurunan (depresiasi). Kerusakan sumberdaya yang terjadi baik pada ekosistem laut maupun ekosistem darat dan lainnya memang dapat dipicu oleh bebagai faktor. Namun secara umum dua faktor pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure ) (Fauzi 2005). Istilah depresiasi sumberdaya terkait dengan dua istilah lain yang mendahuluinya yaitu deplesi dan degradasi. Terkadang pengertian depresiasi, degradasi dan deplesi sumberdaya diartikan sama saja. Padahal ketiga istilah tersebut
memiliki
pengertian
yang
berbeda,
walaupun
pada
dasarnya
menunjukkan tujuan yang hampir sama. Menurut Fauzi dan Anna (2005) deplesi diartikan sebagai tingkat atau laju pengurangan stok dari sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharukan (nonrenewable resources). Sementara degradasi mengacu pada penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbaharukan untuk bergenerasi sesuai dengan kemampuan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi karena disebabkan secara alami maupun akibat pengaruh aktivitas manusia. Pada sumberdaya alam pesisir dan lautan, kebanyakan degradasi terjadi akibat aktivitas ulah manusia (anthropogenic), baik berupa aktivitas produksi (penangkapan ataupun eksploitasi), maupun karena aktivitas non produksi seperti pencemaran limbah domestik atau rumah tangga maupun industri. Pada degradasi dan deplesi lebih mengutamakan pada indikator besaran fisik, terminologi depresiasi sumberdaya lebih ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga dapat diartikan sebagai pengukuran deplesi dan degradasi yang dirupiahkan. Moneterisasi ini mengacu kepada pengukuran nilai riil, artinya untuk
menghitungnya harus selalu mengacu pada beberapa indikator yakni perubahan harga, inflasi, indeks harga konsumen, dan sebagainya (Fauzi dan Anna, 2005). Fauzi dan Anna (2005) menambahkan terjadinya depresiasi sumberdaya pesisir dan lautan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam maupun manusia, faktor eksogenus maupun endogenus, dan juga kegiatan yang bersifat produktif maupun non-produktif. Depresiasi ini diperparah pula dengan adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran, overfishing, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, konflik penggunaan ruang dan sebagainya) dikawasan-kawasan
pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas
pembangunannya. Sementara itu, kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk pesisir juga menjadi akibat sekaligus penyebab kerusakan lingkungan kawasan pesisir dan lautan. Selanjutnya adalah mengaitkan nilai depresiasi sumberdaya alam tersebut terhadap pengukuran nilai kesejahteraan suatu bangsa. Dengan adanya perhitungan kerusakan sumberdaya, maka dapat diperoleh nilai output sebenarnya dari suatu negara.
Selama ini perhitungan ekonomi suatu negara yaitu nilai
Growth Domestic Product (GDP) dan PDRB dikritik memiliki kelemahan tidak menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya karena tidak memasukkan nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi di negara tersebut. Sehingga angka GDP/PDRB yang tinggi disebuah negara belum tentu menggambarkan kinerja ekonomi yang sebenarnya secara keseluruhan (Hartwick, 1990). Integrasi antara perhitungan depresiasi sumberdaya dengan nilai GDP suatu negara sangatlah penting dilakukan. Terlebih bagi negara yang masih tergantung pada sumberdaya alamnya (resource dependent economies) seperti Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan memberikan arahan yang keliru dalam mengelola sumberdaya alamnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan keuntungan pendapatan yang semu dalam jangka pendek dan melahirkan kehilangan kesejahteraan nasional yang permanen dalam jangka panjang. Akan tetapi, dengan memasukkan nilai depresiasi sumberdaya dalam perhitungan GDP/PDRB, diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi penyusun strategi kebijakan yang lebih tepat.
Disinilah urgensi analisis perhitungan kerusakan lingkungan, berkaitan dengan depresiasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pesisir dan lautan. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya pesisir laut kita, sehingga akhirnya kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat ditentukan (Fauzi dan Anna, 2005). Sumberdaya pesisir dan lautan merupakan natural capital yang menjadi bagian dari proses produksi yang menghasilkan output (GDP). Oleh karena itu, kita patut memperhatikan penurunan barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam. Salah satu cara yang menjembatani keterbatasan tersebut adalah dengan pengukuran deplesi dan degradasi sumberdaya alam agar dapat menghitung the truth national well being/ real GDP/ Green GDP. Dengan mengetahui kondisi GDP/PDRB hijau yang sebenarnya, kita tidak terbuai oleh nilai tingkat pertumbuhan yang semu dan dapat menjadi early warning system serta dapat mencari jawaban permasalahan-permasalahan pembangunan yang kita alami selama ini (Fauzi dan Anna, 2005).
2.5 Model Input Output Menurut Badan Pusat Statistik (2000) pengertian Tabel Input-Output adalah suatu tabel yang menyajikan informasi tentang barang dan jasa yang terjadi antara sektor ekonomi dalam bentuk penyajian sebuah matrik. Isian sepanjang baris Tabel Input-Output menunjukkan pengalokasian output yang dihasilkan oleh suatu sektor untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Disamping itu isian pada baris nilai tambah menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah sektoral. Pada isian sepanjang kolomnya menunjukkan struktur input yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam proses produksi, baik yang berupa input antara maupun input primer. Sebagai metode kuantitatif, tabel ini memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu negara atau wilayah tertentu. Gambaran yang dapat terlihat dari Tabel I-O antara lain: struktur ekonomi suatu wilayah yang mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor dan struktur input antara yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektor-sektor produksi. Selain
itu juga mencakup truktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam negeri maupun barang impor atau yang berasal dari luar wilayah tersebut serta struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor. Format dari Tabel Input-Output terdiri dari suatu suatu kerangka matriks berukuran “n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap format Tabel Input-Output dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Input-Output Alokasi Output Struktur Input
Permintaan Antara
Permintaan
Jumlah
Sektor Produksi
Akhir
Output
1
2
3
Input
Sektor
1
X11
X12
X13
F1
X1
Antara
Produksi
2
X21
X22
X23
F2
X2
3
X31
X32
X33
F3
X3
Input Primer
V1
V2
V3
Jumlah Input
X1
X2
X3
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung (2005) Tabel 1 menunjukkan isian angka-angka sepanjang baris (bagian horizontal) memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagian lagi dipakai untuk memenuhi permintaan akhir (final demand). Isian angka menurut garis vertikal (kolom) menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi suatu sektor. Dalam analisis Input-Output, sistem persamaan di atas memegang peranan panting yaitu sebagai dasar analisis ekonomi mengenai keadaan perekonomian suatu wilayah. Selanjutnya secara umum matrik dalam Tabel Input-Output dapat dibagi menjadi 4 kuadran yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Isi dan pengertian masing-masing kuadran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kuadran I (Intermediate Quadran) Setiap sel pada kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan informasi mengenai saling ketergantungan antar sektor produksi dalam suatu perekonomian. Dalam analisis Input-Output, kuadran ini memiliki peranan yang sangat penting karena kuadran inilah yang menunjukkan keterkaitan antar sektor ekonomi dalam melakukan proses produksinya. b. Kuadran II (Final Demand Quadran) Menunjukkan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektorsektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir adalah output suatu sektor yang langsung dipergunakan oleh rumah tangga, pemerintah, pembelian modal tetap, perubahan stok dan ekspor. c. Kuadran III ( Primary Input Quadran) Menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran ini terdiri dari pendapatan rumah tangga (upah/gaji), pajak tak langsung, surplus usaha dan penyusutan. Jumlah keseluruhan nilai tambah ini akan menghasilkan produk domestik bruto yang dihasilkan wilayah tersebut. d. Kuadran IV(Primary Input-Final Demand Quadran) Merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang menunjukkan transaksi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara. Menurut BPS (2000), suatu Tabel Input Output memiliki tiga asumsi dan kelemahan dasar yaitu: 1. Keseragaman (Homogenitas) Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana output hanya dihasilkan secara tunggal, yang berarti bahwa setiap sektor ekonomi hanya memproduksi satu jenis barang dan jasa dengan susunan input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda.
2. Kesebandingan (Proportionality) Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana hubungan antara output dan input pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier, artinya kenaikan dan penurunan output suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan dan penurunan input yang digunakan oleh sektor tersebut. 3. Penjumlahan (Additivitas) Suatu asumsi bahwa total efek dari kegiatan produksi berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada masing-masing. Sebagai suatu sistem data kuantitatif, persoalan pokok yang dihadapi dalam menyusun Tabel Input-Output adalah bagaimana mencatat dan menyajikan berbagai kegiatan ekonomi yang tentunya sangat beraneka ragam baik sifatnya, cara berproduksi serta cara melakukan transaksi ke dalam suatu tabel yang lengkap dan komprehensif.
2.6 Analisis Input-Output Menurut BPS (2000) dalam melakukan analisis terhadap suatu Tabel Input-Output, terdapat dua metode analisis yang dapat dilakukan. Metode analisis tersebut adalah analisis deskriptif dan analisis dampak. Macam dari metode analisis-analisis tersebut adalah : 1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis yang memberikan gambaran umum keadaan perekonomian suatu negara atau wilayah. Kemudian dilanjutkan dengan bermacam analisis dampak akibat kenaikan permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, kebutuhan impor dan kebutuhan tenaga kerja. Dalam melakukan analisis deskriptif ini, beberapa variabel atau indikator yang dilihat yaitu: a) Analisis Struktur Penawaran dan Permintaan Analisis tentang struktur penawaran dan permintaan akan barang dan jasa yang terjadi di suatu wilayah dapat menunjukkan peranan produksi domestik dan impor untuk memenuhi permintaan barang dan jasa baik domestik maupun luar negeri. Dilihat dari sisis permintaan, produksi barang dan jasa tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir domestik (konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal dan perubahan stok) dan digunakan untuk ekspor. Jika dilihat dari sisi penawaran,
barang dan jasa ditawarkan di suatu wilayah bisa berasal dari produksi domestik maupun dari luar wilayah (impor). b) Analisis Struktur Output Analisis struktur output ini menggambarkan peranan output sektoral dalam perekonomian. Output merupakan nilai produksi yang dihasilkan sektor-sektor ekonomi di suatu wilayah. Oleh karena itu, dengan menelaah besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor, berarti akan diketahui pula sektor-sektor mana yang mampu memberikan sumbangan yang besar dalam membentuk output secara keseluruhan di daerah tersebut. c) Analisis Struktur Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi. Dalam tabel I-O, nilai tambah ini dirinci menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa, bunga dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung neto. Besarnya nilai tambah di tiap-tiap sektor ditentukan oleh besarnya output yang dihasilkan dan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Oleh karena itu, suatu sektor output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar juga, karena masih tergantung pula pada seberapa besar biaya produksinya. d) Analisis Struktur Permintaan Akhir Barang dan jasa selain digunakan oleh sektor produksi juga digunakan untuk memenuhi
permintaan
oleh
konsumen
rumah
tangga,
pemerintah,
pembentukan modal, ekspor dan perubahan stok. Penggunaan untuk konsumen akhir inilah yang dimaksud dengan permintaan akhir dalam terminologi tabel I-O. Jika permintaan akhir ini dikurangi dengan jumlah impornya, maka nilai tersebut akan disebut Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). e) Analisis Keterkaitan Antar Sektor Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian. Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi keterkaitan kebelakang (backward lingkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam pembelian terhadap total input yang digunakan
untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward lingkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam penjualan terhadap total penjualan output yang dihasilkan. Berdasarkan konsep ini, dapat diketahui besarnya pertumbuhan suatu sektor yang dapat menstimulir pertumbuhan sektor lainnya melalui mekanisme induksi. Keterkaitan langsung antara sektor perekonomian dalam pembelian dan penjualan input antara ditunjukkan oleh keofisien langsung, sedangkan keterkaitan langsung dan tidak langsungnya ditunjukkan dari matrik kebalikan Leontief. 2. Analisis Dampak a. Analisis Dampak Output Dampak output dihitung dalam unit perubahan output sebagai efek awal (initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter. Setiap elemen dalam matrik kebalikan Leontief (matrix inverse) α menunjukkan total pembelian input baik tidak langsung maupun langsung dari sektor i yang disebabkan karena adanya peningkatan penjualan dari sektor i sebesar satu unit satuan moneter ke permintaan akhir. Matrik invers ini dirumuskan dengan persamaan: α = (I-A)-1 = [α] Dengan demikian matrik α mengandung informasi penting tentang struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefisien dari matrik invers ini menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas dari suatu sektor yang akan mempengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain. b. Analisis Dampak Pendapatan Dampak pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel Input-Output, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga. Pengertian pendapatan disini tidak hanya mencakup beberapa jenis pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga tetapi juga deviden dan bunga bank.
c. Analisis Dampak Tenaga Kerja Dampak tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak diperoleh dari elemen-elemen dalam Tabel Input-Output seperti multiplier output dan pendapatan, karena dalam Tabel Input-Output tidak mengandung elemenelemen yang berhubungan dengan tenaga kerja. Untuk memperoleh multiplier tenaga kerja maka pada Tabel Input-Output harus ditambahkan baris yang menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-masing sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Penambahan baris ini untuk mendapatkan koefisien tenaga kerja (ei). cara untuk memperoleh koefisien tenaga kerja adalah dengan membagi jumlah tenaga kerja setiap masing-masing sektor perekonomian di suatu negara atau wilayah dengan jumlah total output dari masing-masing sektor tersebut. Koefisien tenaga kerja (ei) menunjukkan efek langsung ketenagakerjaan dari setiap sektor akibat adanya perubahan output sektor ke-i. Efek langsung dan tidak langsung ditunjukkan dengan αij ei untuk setiap sektor, dan ∑iαij ei untuk semua sektor dalam perekonomian suatu negara atau wilayah. Sedangkan efek total ditunjukkan dengan αij * ei.
2.7 Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada (Dunn 2003). Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat deskriptif dan informasi yang nyata (faktual) mengenai sebab akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan. Quandun dalam Dunn (2003) juga menegaskan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang
mencakup tidak hanya pengujian kebijakan saja, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai. Menurut Partowidagdo (1999) analisis kebijakan mempunyai tujuan yang bersifat penandaan (designative) berdasarkan fakta, bersifat penilaian dan anjuran. Prosedur analisis berdasarkan waktu dan letak hubungannya dengan tindakan dibagi dua yaitu ex ante dan ex post. Prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil atau untuk masa datang (ex ante), sedangkan deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi atau dari masa lalu (ex post). Analisis ex post berhubungan dengan analisis kebijakan retrospektif yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli ilmu sosial dan politik, sedangkan analisis ex ante berhubungan dengan analisis kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli ekonomi, sistem analisis, dan operations research. Analisis kebijakan biasanya terdiri dari perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan kesimpulan. Bentuk-bentuk analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 3.
Retrospektif (Ex Post): Apa yang akan terjadi dan perbedaan apa yang dibuat
Gambar 3. Bentuk-Bentuk Analisis Kebijakan Sumber: Dunn (2003)
Prospektif (Ex Ante): Apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan
Ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu: pendekatan empiris, pendekatan evaluatif, dan pendekatan normatif. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Dan pendekatan normatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan. Menurut Parsons (2005) analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan; pengetahuan untuk (for) proses kebijakan; dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, dan analisis untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat; dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan dan advokasi terhadap kebijakan. Dalam merumuskan sebuah kebijakan, permasalahan yang sering dihadapi adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan (policy model) adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspekaspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut adalah model deskriptif, model verbal, model normatif, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif. Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester, seorang ahli model kebijakan
dalam Dunn (2003) bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Dalam merumuskan kebijakan kelautan pada penelitian ini, model yang dipakai adalah mengunakan model deskriptif melalui analisis pengambilan keputusan dengan MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). Untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir dan lautan tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan harus memperhatikan empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomi-budaya, (3) aspek politis dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani 2000).
2.8 Studi Terdahulu Analisis Input-Output dalam menentukan kontribusi sektor-sektor kelautan secara komprehensif bagi perekonomian suatu daerah memang belum banyak dilakukan. Biasanya analisis sektor-sektor tersebut secara terpisah telah dilakukan oleh beberapa penelitian. Begitu juga penelitian yang berusaha mengaitkan kontribusi sektor tersebut terhadap dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas pembangunan seperti terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya (degradasi atau deplesi sumberdaya). Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah: 1. Umran (1996) menjelaskan bahwa
sektor pariwisata memiliki nilai yang
strategis bagi pengembangan wilayah provinsi Riau. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai keterkaitan antar sektor baik keterkaitan ke belakang (backward lingkage) maupun keterkaitan ke depan (forward lingkage). Sektor pariwisata memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi terhadap sektorsektor pendukung lainnya seperti sektor restoran, sektor perhotelan, sektor komunikasi. Untuk keterkaitan ke depan, sektor ini memiliki nilai di atas rata-
rata pada sektor angkutan laut dan sungai, sektor perdagangan, sektor jasa penunjang angkutan dan pergudangan. 2. Menurut Sihombing (2004) yang melakukan internalisasi dampak pencemaran ke dalam Tabel Input-Output terhadap sektor kehutanan di Provinsi Riau. Menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB Riau terjadi penurunan yang sangat signifikan sebagai akibat terjadinya pencemaran di wilayah tersebut. Angka negatif sektor kehutanan pada berbagai analisis pencemaran menunjukkan bahwa sektor ini telah melebihi daya dukung alami (carrying capacity) dan tingkat produksi lestari (maximum sustainable yields). Dengan kata lain kegiatan pengusahaan sektor kehutanan mengalami kondisi ‘usaha memakan modal’ (capital downgrade) sehingga kegiatan sektor kehutanan justru menurunkan kesejahteraan. 3. Dariah (2007) menyimpulkan bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung pengembangan sektor-sektor perekonomian yang tidak atau sedikit menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. 4. Pesoth. 2001. Telah merancang sebuah Tabel I-O yang menginternalisasi faktor lingkungan yang disebut Tabel I-O Lingkungan. Melalui Tabel I-O Lingkungan ini, maka diperoleh suatu perhitungan yang lebih wajar dan lebih mendukung upaya pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa internalisasi beban lingkungan ke dalam perhitungan output di Kota Bogor akan mengakibatkan total output terkoreksi dari Rp. 3.528,5 milyar menjadi Rp. 3.251,7 milyar, atau menjadi lebih rendah sekitar 8 persen.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Kelautan (Ocean Policy) Bagi Pembangunan Ekonomi Kelautan
Dalam merumuskan suatu kebijakan sebagai payung bagi pembangunan kelautan, kebijakan tersebut tidak boleh berdiri sendiri, melainkan merupakan paket
kebijakan
yang
komponen-komponennya
saling
melengkapi
dan
menunjang. Todaro (1997) menyatakan bahwa suatu kebijakan yang sifatnya komplementer, terpadu dan saling mendukung harus mencakup tiga unsur fundamental, yaitu: Pertama, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus guna mengoreksi berbagai macam distorsi atau gangguan atas harga-harga relatif dari masing-masing faktor produksi demi lebih terjaminnya harga-harga pasar. Hal ini selanjutnya akan mampu memberikan sinyal-sinyal dan insentif yang tepat (sesuai dengan kepentingan sosial dan ekonomi), bukan hanya kepada para konsumen, tetapi juga kepada produsen dan pemasok sumberdaya. Kedua, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk melaksanakan perubahan struktural terhadap distribusi pendapatan, distribusi asset, kekuasaan, dan kesempatan memperoleh pendidikan serta penghasilan (pekerjaan) yang lebih merata. Kebijakan semacam ini tidak hanya berlaku pada aspek ekonomi, tetapi menjangkau keseluruhan aspek kehidupan, yakni sosial, kelembagaan, budaya, lingkungan dan politik. Ketiga, adanya satu atau serangkaian kebijakan yang dirancang secara khusus untuk memodifikasi ukuran distribusi pendapatan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi melalui pajak progresif. Kemudian dana pajak tersebut digunakan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, baik secara langsung maupun melalui penyediaan berbagai macam bantuan kesejahteraan dan tunjangan langsung (social security), maupun melalui upaya penyediaan barang konsumsi dan peningkatan jasa pelayanan yang dibiayai pemerintah. Oleh karena itu, menurut Kusumastanto (2003) agar bidang kelautan menjadi sebuah sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat terintergrasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan. Dalam rangka mengarahkan pembangunan tersebut maka diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan (ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang nantinya menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan yang bersifat publik. Penciptaan payung ini
dibangun oleh sebuah pendekatan kelembagaan (institutional arrangement) yang lingkupnya mencakup dua dominan dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legeslatif. Dalam konteks ini, kebijakan kelautan dan perikanan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama. Kebijakan pemerintah membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) merupakan suatu keputusan ekonomi politik dari perubahan mendasar di tingkat kebijakan nasional. Tetapi, keputusan politik tersebut tidak hanya sampai pembentukan departemen tersebut, melainkan harus ada sebuah visi bersama pada semua level institusi negara yang dituangkan dalam bentuk kebijakan kelautan (ocean policy). Seiring dengan
adanya otonomi daerah, sebagaimana diisyaratkan
dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur tentang kewenangan mengatur daerah dengan batasan pengelolaan wilayah laut provinsi dalam batasan 12 mil laut yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, pemerintah kabupaten/kota mengelola sepertiganya atau 4 mil laut. Sementara Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang pada prinsipnya pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya laut dan pesisir. Oleh karena itu bagi daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang basar utamanya pesisir dan kelautan, berkesempatan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin dihadapi adalah
untuk untuk pembangunan. Permasalahan utama yang
jika kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi
pada
pertumbuhan ekonomi, maka akan berdampak pada konsekuensinya menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi ekologi maupun ekonomi yang berakibat pada gejolak sosial. Kebijakan kelautan (ocean policy) adalah kebijakan yang dibuat oleh policy makers dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejateraan masyarakat (social well being) (Kusumastanto 2003). Untuk itu maka kebijakan yang dibuat dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan harus di pertimbangkan berbagai aspek antara lain aspek ekologi dan ekonomi, sehingga dapat bermanfaat
secara optimal, artinya disatu sisi dapat menyokong pembangunan ekonomi demi tercapai kesejateraan dan disisi lain bisa dimanfaatkan secara berkeberlanjutan (sustainaibility). Salah satu negara yang telah menerapkan ocean policy dalam kegiatan perencanaan pembangunannya adalah Australia. Dalam Commonwelth of Australia (1999) menyebutkan bahwa visi dari ocean policy adalah menjaga keberlanjutan laut melalui kepedulian, kepahaman dan pemanfaatan secara bijak bagi keuntungan semua pihak baik generasi sekarang dan masa depan. Oleh karena itu sebuah kebijakan kelautan harus memiliki beberapa tujuan yaitu: 10. Melindungi hukum dan wilayah kekuasaan seluruh laut, termasuk sumberdaya yang ada di lautan. 11. Menerapkan hukum internasional serta menjaga dari ancaman dari
negara
lain. 12. Mengetahui dan melindungi keanekaragaman sumberdaya laut dan menjaga keberlanjutan lingkungan dan ekologinya. 13. Mempromosikan pembangunan ekologi dan ekonomi secara berkelanjutan dan menciptakan lapangan perkerjaan. 14. Menciptakan perencanaan dan perancangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu. 15. Mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan masyarakat pesisir. 16. Meningkatkan keahlian dan kemampuan dalam pengelolaan laut baik dalam aspek manajemen, keilmuan, teknologi dan mesin. 17. Mengidentifikasi dan melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya laut. 18. Meningkatkan kepedulian dan kepahaman masyarakat terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan. Menurut Kusumastanto (2003), untuk menjabarkan OCEAN POLICY menjadi sebuah mainstream pembangunan ekonomi, kebijakan ini harus dikembangkan dalam kerangka pemikiran ekonomi yang disebut sebagai OCEANOMICS. Secara definisi, OCEANOMICS adalah ilmu atau pemikiran ekonomi yang dipakai dalam mendayagunakan sumberdaya kelautan sebagai basis dalam
mendorong
pertumbuhan
dan
pemerataan
pembangunan
guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan. Secara filosofis,
oceanomics menjadi signifikan karena keterbukaan dalam perekonomian dunia. Artinya terminologi ini tidak mengesampingkan paham archipelago (wawasan nusantara) yang sudah dicanangkan sejak Deklarasi Juanda, tetapi justru paham archipelago dan ocean harus saling memperkuat satu dengan lainnya. Oleh karena itu, paham oceanic dan paham wawasan nusantara menjadi kekuatan Indonesia secara internal maupun secara proaktif sebagai trend setter dalam percaturan komunitas internasional yang semakin kompetitif. Agar
bidang
kelautan
menjadi
sebuah
sektor
unggulan
dalam
pembangunan nasional, diperlukan kebijakan yang terintergasi antar institusi pemerintah dan sektor pembangunan dalam sebuah tata kelola pemerintahan kelautan (ocean governance). Oleh karena itu, diperlukan sebuah kebijakan pembangunan kelautan nasional (national ocean development policy) sebagai bagian dari ocean policy yang akan menjadi “payung” dalam mengambil sebuah kebijakan publik. Secara skematis, pilar-pilar yang menopang kebijakan pembangunan kelautan nasional dijelaskan pada Gambar1.
Gambar1. Pilar Pembangunan Kelautan Sumber: Kusumastanto (2003) 2.2 Potensi Ekonomi Bidang Kelautan Menurut Colgan (2003) ekonomi kelautan adalah kegiatan ekonomi yang memanfaatkan semua atau sebagian input sumberdaya dari laut atau perairan yang
luas sebagai kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi ini mencakup dari kegiatan industri maupun secara geografis berada di pesisir dan lautan. Kildow dan Colgan (2005) juga menambahkan bahwa ekonomi kelautan merujuk kepada semua kegiatan penciptaan barang dan jasa yang dipengaruhi oleh sumberdaya laut. Sehingga ekonomi kelautan merupakan kumpulan seluruh kegiatan perekonomian yang dilaksanakan baik di laut maupun di daratan yang masih terkait dengan sumberdaya laut itu sendiri. Kildow dan Colgan (2005) mengklasifikasi beberapa sektor dan industri yang merupakan bagian dari ekonomi kelautan. Sektor dan industri tersebut terbagi ke dalam 6 sektor yaitu: (1) bangunan kelautan, (2) sumberdaya hidup seperti penangkapan ikan, pembenihan dan budidaya, serta pengolahan perikanan, (3) penambangan mineral ( pasir, batu, minyak dan gas), (4) pembuatan kapal dan bangunan kelautan, (5) rekreasi dan pariwisata seperti wisata pantai, menyelam, sport fishing, hotel dan restoran, (6) transportasi laut, baik angkutan barang maupun manusia. Kusumastanto (2006) menambahkan bahwa definisi bidang kelautan terbagi menjadi 7 sektor yaitu sebagai berikut: 1. Sektor Perikanan Sektor perikanan adalah sektor kelautan yang berhubungan dengan sumberdaya hayati yang ada di laut. Sektor ini mencakup kegiatan-kegiatan penangkapan ikan, pembenihan ikan, budidaya ikan dan biota air lainnya yang berada di wilayah pesisir maupun di lautan. Sektor ini juga termasuk industri yang terkait dengan produk perikanan seperti industri pengolahan hasil perikanan hasil produksi dari pesisir dan lautan. 2. Sektor Pariwisata Bahari Sektor pariwisata bahari merupakan sektor kelautan yang mencakup kegiatan pariwisata yang dilakukan di pesisir dan lautan. Selain itu, sektor ini juga termasuk jasa penunjang pariwisata bahari seperti hotel dan penginapan, restoran dan rumah makan, jasa penunjang pariwisata bahari lainnya seperti toko cindera mata dan lain sebagainya. 3. Sektor Pertambangan
Sektor pertambangan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan pencarian (eksplorasi) kandungan minyak dan gas bumi, penyiapan pengeboran, penambangan, penguapan, pemisahan serta penampungan bahan-bahan mineral yang dilakukan di wilayah pesisir atau lautan untuk dipasarkan. Sektor ini juga meliputi pengambilan dan persiapan pengolahan lanjutan benda padat, baik di di bawah maupun di atas permukaan bumi serta seluruh kegiatan lainnya yang yang bertujuan untuk memanfaatkan bijih logam dan hasil tambang lainnya. Selain itu sektor ini mencakup juga penggalian pasir dan batu-batuan dari pesisir dan lautan. 4. Industri Kelautan Industri kelautan adalah sektor kelautan yang mencakup industri yang menunjang kegiatan ekonomi di pesisir dan lautan. Industri yang dimaksud adalah industri galangan kapal dan jasa perbaikan (docking), industri bangunan lepas pantai, dan industri pengolahan hasil pengilangan minyak bumi, serta industri LNG. 5. Angkutan Laut (Transportasi Laut) Sektor transportasi laut adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan pengangkutan barang maupun penumpang dengan menggunakan kapal laut yang beroperasi di dalam (domestik) dan ke luar wilayah Indonesia (internasional). 6. Bangunan Kelautan Bangunan kelautan adalah sektor kelautan yang meliputi kegiatan penyiapan lahan sampai kontruksi bangunan tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal. 7. Jasa Kelautan Jasa kelautan adalah sub kelautan yang meliputi segala kegiatan yang bersifat menunjang dan memperlancar kegiatan pengangkutan yang meliputi jasa pelayanan pelabuhan, jasa pelayanan keselamatan pelayaran, dan kegiatan yang memanfaatkan kelautan sebagai jasa seperti perdagangan, pendidikan, penelitian dan lain-lain. Indonesia sebagai negara yang memiliki wilayah laut terbesar adalah negara yang kaya akan keanekaragaman sumberdaya kelautan. Menurut Kusumastanto (2006) potensi sumberdaya kelautan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia terdiri atas dua jenis yaitu: pertama, sumberdaya yang dapat
diperbaharui seperti sumberdaya perikanan (perikanan tangkap, budidaya) dan kedua, sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, dan jasa lingkungan. Bidang ekonomi yang berbasis sumberdaya alam adalah bidang ekonomi yang cenderung dapat bertahan dari krisis. Hal ini dibuktikan ketika negara Indonesia diterjang krisis tahun 1998, sektor ekonomi dari bidang kelautan merupakan sektor yang menyumbangkan kontribusinya bagi perekonomian nasional. Disaat sektor lain mengalami keterpurukan, bidang kelautan tidak mengalami kemunduran, bahkan mengalami peningkatan pada saat krisis. Hal tersebut ditunjukkan dengan peningkatan kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1998. Pada tahun 1995 kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional atas harga berlaku sebesar 12,38%, dan pada tahun 1998 meningkat menjadi 20,06%. Apabila dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya, bidang kelautan mengalami kenaikan yang cukup besar hampir meningkat 62% selama kurun waktu 4 tahun (Kusumastanto 2006). Dengan mengetahui kontribusi bidang kelautan terhadap nilai GDP suatu daerah, diharapkan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya kelautan akan semakin diperhatikan. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah mekanisme perhitungan terhadap sumberdaya kelautan sehingga jumlahnya dapat diidentifikasi secara tepat. Menurut Colgan (2003), langkah yang harus dilakukan dalam mengukur kontribusi bidang kelautan terhadap pendapatan nasional adalah: 4. Perhitungan harus didasarkan dari semua data dalam satu waktu dan wilayah tertentu, termasuk menghitung jumlah total dari nilai output suatu wilayah dari suatu negara atau daerah tertentu. 5. Perhitungan harus detail yang menunjukkan nilai output dari semua tingkat industri yang ada. 6. Perhitungan harus bisa menggambarkan karakteristik industri yang memanfaatkan sumberdaya kelautan seperti pariwisata dan rekreasi.
2.3 Karakteristik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Menurut Charles (2001), tiga komponen fishery system ini adalah natural system, management system, dan human system. Natural system yang dimaksud terdiri dari sumberdaya ikan itu sendiri, ekosistem, dan lingkungan biofisik. Human system adalah aspek yang menyangkut aktivitas kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang terdiri atas nelayan, sektor pasca panen dan konsumen, rumah tangga dan komunitas nelayan, serta kondisi sosial ekonomi budaya dan lingkungan di masyarakat pesisir. Management system merupakan sistem pengelolaan perikanan yang terdiri perencanaan dan kebijakan perikanan, pembangunan dan pengelolaan perikanan dan penelitian di bidang perikanan. Keterkaitan antar sistem perikanan ini dapat digambarkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Keterkaitan Antar Sistem Perikanan Sumber: Charles A ( 2001) 2.4 Pengertian Depresiasi Sumberdaya Pesisir dan Lautan Pengelolaan sumberdaya pesisir utamanya sumberdaya perikanan yang kurang mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan hampir telah terjadi di seluruh wilayah pesisir Indonesia, terutama pada wilayah yang padat penduduk dengan tingkat pembangunan yang intensif. Hal ini menjadikan beberapa daerah
telah menunjukkan kondisi sumberdaya yang cenderung mengalami penurunan (depresiasi). Kerusakan sumberdaya yang terjadi baik pada ekosistem laut maupun ekosistem darat dan lainnya memang dapat dipicu oleh bebagai faktor. Namun secara umum dua faktor pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure ) (Fauzi 2005). Istilah depresiasi sumberdaya terkait dengan dua istilah lain yang mendahuluinya yaitu deplesi dan degradasi. Terkadang pengertian depresiasi, degradasi dan deplesi sumberdaya diartikan sama saja. Padahal ketiga istilah tersebut
memiliki
pengertian
yang
berbeda,
walaupun
pada
dasarnya
menunjukkan tujuan yang hampir sama. Menurut Fauzi dan Anna (2005) deplesi diartikan sebagai tingkat atau laju pengurangan stok dari sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharukan (nonrenewable resources). Sementara degradasi mengacu pada penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Dalam hal ini, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbaharukan untuk bergenerasi sesuai dengan kemampuan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi karena disebabkan secara alami maupun akibat pengaruh aktivitas manusia. Pada sumberdaya alam pesisir dan lautan, kebanyakan degradasi terjadi akibat aktivitas ulah manusia (anthropogenic), baik berupa aktivitas produksi (penangkapan ataupun eksploitasi), maupun karena aktivitas non produksi seperti pencemaran limbah domestik atau rumah tangga maupun industri. Pada degradasi dan deplesi lebih mengutamakan pada indikator besaran fisik, terminologi depresiasi sumberdaya lebih ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Depresiasi juga dapat diartikan sebagai pengukuran deplesi dan degradasi yang dirupiahkan. Moneterisasi ini mengacu kepada pengukuran nilai riil, artinya untuk menghitungnya harus selalu mengacu pada beberapa indikator yakni perubahan harga, inflasi, indeks harga konsumen, dan sebagainya (Fauzi dan Anna, 2005). Fauzi dan Anna (2005) menambahkan terjadinya depresiasi sumberdaya pesisir dan lautan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam maupun manusia, faktor eksogenus maupun endogenus, dan juga kegiatan yang bersifat
produktif maupun non-produktif. Depresiasi ini diperparah pula dengan adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan (termasuk pencemaran, overfishing, abrasi pantai, kerusakan fisik habitat pesisir, konflik penggunaan ruang dan sebagainya) dikawasan-kawasan
pesisir yang padat penduduk serta tinggi intensitas
pembangunannya. Sementara itu, kemiskinan yang masih melilit sebagian besar penduduk pesisir juga menjadi akibat sekaligus penyebab kerusakan lingkungan kawasan pesisir dan lautan. Selanjutnya adalah mengaitkan nilai depresiasi sumberdaya alam tersebut terhadap pengukuran nilai kesejahteraan suatu bangsa. Dengan adanya perhitungan kerusakan sumberdaya, maka dapat diperoleh nilai output sebenarnya dari suatu negara.
Selama ini perhitungan ekonomi suatu negara yaitu nilai
Growth Domestic Product (GDP) dan PDRB dikritik memiliki kelemahan tidak menggambarkan nilai ekonomi sebenarnya karena tidak memasukkan nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang terjadi di negara tersebut. Sehingga angka GDP/PDRB yang tinggi disebuah negara belum tentu menggambarkan kinerja ekonomi yang sebenarnya secara keseluruhan (Hartwick, 1990). Integrasi antara perhitungan depresiasi sumberdaya dengan nilai GDP suatu negara sangatlah penting dilakukan. Terlebih bagi negara yang masih tergantung pada sumberdaya alamnya (resource dependent economies) seperti Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan maka akan memberikan arahan yang keliru dalam mengelola sumberdaya alamnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan keuntungan pendapatan yang semu dalam jangka pendek dan melahirkan kehilangan kesejahteraan nasional yang permanen dalam jangka panjang. Akan tetapi, dengan memasukkan nilai depresiasi sumberdaya dalam perhitungan GDP/PDRB, diharapkan akan menjadi bahan pertimbangan bagi penyusun strategi kebijakan yang lebih tepat. Disinilah urgensi analisis perhitungan kerusakan lingkungan, berkaitan dengan depresiasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya pesisir dan lautan. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya pesisir laut kita, sehingga akhirnya
kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat ditentukan (Fauzi dan Anna, 2005). Sumberdaya pesisir dan lautan merupakan natural capital yang menjadi bagian dari proses produksi yang menghasilkan output (GDP). Oleh karena itu, kita patut memperhatikan penurunan barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam. Salah satu cara yang menjembatani keterbatasan tersebut adalah dengan pengukuran deplesi dan degradasi sumberdaya alam agar dapat menghitung the truth national well being/ real GDP/ Green GDP. Dengan mengetahui kondisi GDP/PDRB hijau yang sebenarnya, kita tidak terbuai oleh nilai tingkat pertumbuhan yang semu dan dapat menjadi early warning system serta dapat mencari jawaban permasalahan-permasalahan pembangunan yang kita alami selama ini (Fauzi dan Anna, 2005).
2.5 Model Input Output Menurut Badan Pusat Statistik (2000) pengertian Tabel Input-Output adalah suatu tabel yang menyajikan informasi tentang barang dan jasa yang terjadi antara sektor ekonomi dalam bentuk penyajian sebuah matrik. Isian sepanjang baris Tabel Input-Output menunjukkan pengalokasian output yang dihasilkan oleh suatu sektor untuk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Disamping itu isian pada baris nilai tambah menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah sektoral. Pada isian sepanjang kolomnya menunjukkan struktur input yang digunakan oleh masing-masing sektor dalam proses produksi, baik yang berupa input antara maupun input primer. Sebagai metode kuantitatif, tabel ini memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu negara atau wilayah tertentu. Gambaran yang dapat terlihat dari Tabel I-O antara lain: struktur ekonomi suatu wilayah yang mencakup output dan nilai tambah masing-masing sektor dan struktur input antara yaitu transaksi penggunaan barang dan jasa antar sektor-sektor produksi. Selain itu juga mencakup truktur penyediaan barang dan jasa, baik berupa produksi dalam negeri maupun barang impor atau yang berasal dari luar wilayah tersebut serta struktur permintaan barang dan jasa, baik permintaan oleh berbagai sektor produksi maupun permintaan untuk konsumsi, investasi dan ekspor.
Format dari Tabel Input-Output terdiri dari suatu suatu kerangka matriks berukuran “n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap format Tabel Input-Output dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tabel Input-Output Alokasi Output Struktur Input
Permintaan Antara
Permintaan
Jumlah
Sektor Produksi
Akhir
Output
1
2
3
Input
Sektor
1
X11
X12
X13
F1
X1
Antara
Produksi
2
X21
X22
X23
F2
X2
3
X31
X32
X33
F3
X3
Input Primer
V1
V2
V3
Jumlah Input
X1
X2
X3
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung (2005) Tabel 1 menunjukkan isian angka-angka sepanjang baris (bagian horizontal) memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan, sebagian untuk memenuhi permintaan antara (intermediate demand) sebagian lagi dipakai untuk memenuhi permintaan akhir (final demand). Isian angka menurut garis vertikal (kolom) menunjukkan pemakaian input antara maupun input primer yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi suatu sektor. Dalam analisis Input-Output, sistem persamaan di atas memegang peranan panting yaitu sebagai dasar analisis ekonomi mengenai keadaan perekonomian suatu wilayah. Selanjutnya secara umum matrik dalam Tabel Input-Output dapat dibagi menjadi 4 kuadran yaitu kuadran I, II, III, dan IV. Isi dan pengertian masing-masing kuadran tersebut adalah sebagai berikut: a. Kuadran I (Intermediate Quadran) Setiap sel pada kuadran I merupakan transaksi antara, yaitu transaksi barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Kuadran ini memberikan informasi mengenai saling ketergantungan antar sektor produksi dalam suatu
perekonomian. Dalam analisis Input-Output, kuadran ini memiliki peranan yang sangat penting karena kuadran inilah yang menunjukkan keterkaitan antar sektor ekonomi dalam melakukan proses produksinya. b. Kuadran II (Final Demand Quadran) Menunjukkan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektorsektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir adalah output suatu sektor yang langsung dipergunakan oleh rumah tangga, pemerintah, pembelian modal tetap, perubahan stok dan ekspor. c. Kuadran III ( Primary Input Quadran) Menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Kuadran ini terdiri dari pendapatan rumah tangga (upah/gaji), pajak tak langsung, surplus usaha dan penyusutan. Jumlah keseluruhan nilai tambah ini akan menghasilkan produk domestik bruto yang dihasilkan wilayah tersebut. d. Kuadran IV(Primary Input-Final Demand Quadran) Merupakan kuadran input primer permintaan akhir yang menunjukkan transaksi langsung antara kuadran input primer dengan permintaan akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara. Menurut BPS (2000), suatu Tabel Input Output memiliki tiga asumsi dan kelemahan dasar yaitu: 1. Keseragaman (Homogenitas) Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana output hanya dihasilkan secara tunggal, yang berarti bahwa setiap sektor ekonomi hanya memproduksi satu jenis barang dan jasa dengan susunan input tunggal (seragam) dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda.
2. Kesebandingan (Proportionality) Keseragaman yaitu suatu prinsip dimana hubungan antara output dan input pada setiap sektor produksi merupakan fungsi linier, artinya kenaikan dan
penurunan output suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan dan penurunan input yang digunakan oleh sektor tersebut. 3. Penjumlahan (Additivitas) Suatu asumsi bahwa total efek dari kegiatan produksi berbagai sektor merupakan penjumlahan dari efek pada masing-masing. Sebagai suatu sistem data kuantitatif, persoalan pokok yang dihadapi dalam menyusun Tabel Input-Output adalah bagaimana mencatat dan menyajikan berbagai kegiatan ekonomi yang tentunya sangat beraneka ragam baik sifatnya, cara berproduksi serta cara melakukan transaksi ke dalam suatu tabel yang lengkap dan komprehensif.
2.6 Analisis Input-Output Menurut BPS (2000) dalam melakukan analisis terhadap suatu Tabel Input-Output, terdapat dua metode analisis yang dapat dilakukan. Metode analisis tersebut adalah analisis deskriptif dan analisis dampak. Macam dari metode analisis-analisis tersebut adalah : 1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah analisis yang memberikan gambaran umum keadaan perekonomian suatu negara atau wilayah. Kemudian dilanjutkan dengan bermacam analisis dampak akibat kenaikan permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, kebutuhan impor dan kebutuhan tenaga kerja. Dalam melakukan analisis deskriptif ini, beberapa variabel atau indikator yang dilihat yaitu: f) Analisis Struktur Penawaran dan Permintaan Analisis tentang struktur penawaran dan permintaan akan barang dan jasa yang terjadi di suatu wilayah dapat menunjukkan peranan produksi domestik dan impor untuk memenuhi permintaan barang dan jasa baik domestik maupun luar negeri. Dilihat dari sisis permintaan, produksi barang dan jasa tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi akhir domestik (konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal dan perubahan stok) dan digunakan untuk ekspor. Jika dilihat dari sisi penawaran, barang dan jasa ditawarkan di suatu wilayah bisa berasal dari produksi domestik maupun dari luar wilayah (impor). g) Analisis Struktur Output
Analisis struktur output ini menggambarkan peranan output sektoral dalam perekonomian. Output merupakan nilai produksi yang dihasilkan sektor-sektor ekonomi di suatu wilayah. Oleh karena itu, dengan menelaah besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor, berarti akan diketahui pula sektor-sektor mana yang mampu memberikan sumbangan yang besar dalam membentuk output secara keseluruhan di daerah tersebut. h) Analisis Struktur Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi. Dalam tabel I-O, nilai tambah ini dirinci menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa, bunga dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung neto. Besarnya nilai tambah di tiap-tiap sektor ditentukan oleh besarnya output yang dihasilkan dan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Oleh karena itu, suatu sektor output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar juga, karena masih tergantung pula pada seberapa besar biaya produksinya. i) Analisis Struktur Permintaan Akhir Barang dan jasa selain digunakan oleh sektor produksi juga digunakan untuk memenuhi
permintaan
oleh
konsumen
rumah
tangga,
pemerintah,
pembentukan modal, ekspor dan perubahan stok. Penggunaan untuk konsumen akhir inilah yang dimaksud dengan permintaan akhir dalam terminologi tabel I-O. Jika permintaan akhir ini dikurangi dengan jumlah impornya, maka nilai tersebut akan disebut Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). j) Analisis Keterkaitan Antar Sektor Konsep keterkaitan biasa digunakan sebagai dasar perumusan strategi pembangunan ekonomi dengan melihat keterkaitan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian. Konsep keterkaitan yang biasa dirumuskan meliputi keterkaitan kebelakang (backward lingkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam pembelian terhadap total input yang digunakan untuk proses produksi dan keterkaitan ke depan (forward lingkage) yang menunjukkan hubungan keterkaitan antar sektor dalam penjualan terhadap total penjualan output yang dihasilkan.
Berdasarkan konsep ini, dapat diketahui besarnya pertumbuhan suatu sektor yang dapat menstimulir pertumbuhan sektor lainnya melalui mekanisme induksi. Keterkaitan langsung antara sektor perekonomian dalam pembelian dan penjualan input antara ditunjukkan oleh keofisien langsung, sedangkan keterkaitan langsung dan tidak langsungnya ditunjukkan dari matrik kebalikan Leontief. 2. Analisis Dampak a. Analisis Dampak Output Dampak output dihitung dalam unit perubahan output sebagai efek awal (initial effect), yaitu kenaikan atau penurunan output sebesar satu unit satuan moneter. Setiap elemen dalam matrik kebalikan Leontief (matrix inverse) α menunjukkan total pembelian input baik tidak langsung maupun langsung dari sektor i yang disebabkan karena adanya peningkatan penjualan dari sektor i sebesar satu unit satuan moneter ke permintaan akhir. Matrik invers ini dirumuskan dengan persamaan: α = (I-A)-1 = [α] Dengan demikian matrik α mengandung informasi penting tentang struktur perekonomian yang dipelajari dengan menentukan tingkat keterkaitan antar sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Koefisien dari matrik invers ini menunjukkan besarnya pengaruh aktivitas dari suatu sektor yang akan mempengaruhi tingkat output dari sektor-sektor lain. b. Analisis Dampak Pendapatan Dampak pendapatan mengukur peningkatan pendapatan akibat adanya perubahan output dalam perekonomian. Dalam Tabel Input-Output, yang dimaksud dengan pendapatan adalah upah dan gaji yang diterima oleh rumah tangga. Pengertian pendapatan disini tidak hanya mencakup beberapa jenis pendapatan yang umumnya diklasifikasikan sebagai pendapatan rumah tangga tetapi juga deviden dan bunga bank.
c. Analisis Dampak Tenaga Kerja Dampak tenaga kerja menunjukkan perubahan tenaga kerja yang disebabkan oleh perubahan awal dari sisi output. Multiplier tenaga kerja tidak diperoleh dari elemen-elemen dalam Tabel Input-Output seperti multiplier output dan pendapatan, karena dalam Tabel Input-Output tidak mengandung elemenelemen yang berhubungan dengan tenaga kerja. Untuk memperoleh multiplier tenaga kerja maka pada Tabel Input-Output harus ditambahkan baris yang menunjukkan jumlah dari tenaga kerja untuk masing-masing sektor dalam perekonomian suatu wilayah atau negara. Penambahan baris ini untuk mendapatkan koefisien tenaga kerja (ei). cara untuk memperoleh koefisien tenaga kerja adalah dengan membagi jumlah tenaga kerja setiap masing-masing sektor perekonomian di suatu negara atau wilayah dengan jumlah total output dari masing-masing sektor tersebut. Koefisien tenaga kerja (ei) menunjukkan efek langsung ketenagakerjaan dari setiap sektor akibat adanya perubahan output sektor ke-i. Efek langsung dan tidak langsung ditunjukkan dengan αij ei untuk setiap sektor, dan ∑iαij ei untuk semua sektor dalam perekonomian suatu negara atau wilayah. Sedangkan efek total ditunjukkan dengan αij * ei.
2.7 Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan permasalahan kebijakan yang ada (Dunn 2003). Ruang lingkup dan metode-metode analisis sebagian bersifat deskriptif dan informasi yang nyata (faktual) mengenai sebab akibat kebijakan sangat penting untuk memahami masalah-masalah kebijakan. Quandun dalam Dunn (2003) juga menegaskan bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka. Kata “analisa” digunakan dalam pengertian yang paling umum yang secara tidak langsung menunjukkan penggunaan intuisi dan pertimbangan yang
mencakup tidak hanya pengujian kebijakan saja, tetapi juga merencanakan dan mencari sintesa atas alternatif-alternatif baru. Aktivitas ini meliputi sejak penelitian untuk memberi wawasan terhadap masalah atau issue yang mendahului atau mengevaluasi program yang sudah selesai. Menurut Partowidagdo (1999) analisis kebijakan mempunyai tujuan yang bersifat penandaan (designative) berdasarkan fakta, bersifat penilaian dan anjuran. Prosedur analisis berdasarkan waktu dan letak hubungannya dengan tindakan dibagi dua yaitu ex ante dan ex post. Prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil atau untuk masa datang (ex ante), sedangkan deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi atau dari masa lalu (ex post). Analisis ex post berhubungan dengan analisis kebijakan retrospektif yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli ilmu sosial dan politik, sedangkan analisis ex ante berhubungan dengan analisis kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli ekonomi, sistem analisis, dan operations research. Analisis kebijakan biasanya terdiri dari perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan kesimpulan. Bentuk-bentuk analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 3.
Retrospektif (Ex Post): Apa yang akan terjadi dan perbedaan apa yang dibuat
Gambar 3. Bentuk-Bentuk Analisis Kebijakan Sumber: Dunn (2003)
Prospektif (Ex Ante): Apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan
Ada tiga pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu: pendekatan empiris, pendekatan evaluatif, dan pendekatan normatif. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dari beberapa kebijakan. Dan pendekatan normatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan. Menurut Parsons (2005) analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum ilmu pengetahuan dalam (in) proses kebijakan; pengetahuan untuk (for) proses kebijakan; dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Secara kontinum, proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan terdiri atas tiga variasi yaitu analisis kebijakan, monitoring dan evaluasi kebijakan, dan analisis untuk kebijakan. Analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan yaitu analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan dibuat; dan isi kebijakan yang merupakan deskripsi tentang kebijakan tertentu dan hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Monitoring dan evaluasi kebijakan berfokus pada pengkajian kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Analisis untuk kebijakan mencakup informasi untuk kebijakan dan advokasi terhadap kebijakan. Dalam merumuskan sebuah kebijakan, permasalahan yang sering dihadapi adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan (policy model) adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspekaspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut adalah model deskriptif, model verbal, model normatif, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif. Setiap model kebijakan yang ada tidak dapat diterapkan untuk semua perumusan kebijakan, sebab masing-masing model memfokuskan perhatiannya pada aspek yang berbeda. Menurut Jay Forrester, seorang ahli model kebijakan
dalam Dunn (2003) bahwa persoalannya tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, akan tetapi yang menjadi persoalan adalah pada pemilihan diantara berbagai alternatif yang ada. Dalam merumuskan kebijakan kelautan pada penelitian ini, model yang dipakai adalah mengunakan model deskriptif melalui analisis pengambilan keputusan dengan MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). Untuk merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan, maka diperlukan arahan dan kebijakan secara terpadu. Hal ini disebabkan tingginya keterkaitan antar sektor yang ada di wilayah pesisir dan lautan tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah kebijakan pembangunan kelautan harus memperhatikan empat aspek utama yaitu: (1) aspek teknis dan ekologis, (2) aspek sosial ekonomi-budaya, (3) aspek politis dan (4) aspek hukum dan kelembagaan (Indrawani 2000).
2.8 Studi Terdahulu Analisis Input-Output dalam menentukan kontribusi sektor-sektor kelautan secara komprehensif bagi perekonomian suatu daerah memang belum banyak dilakukan. Biasanya analisis sektor-sektor tersebut secara terpisah telah dilakukan oleh beberapa penelitian. Begitu juga penelitian yang berusaha mengaitkan kontribusi sektor tersebut terhadap dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas pembangunan seperti terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya (degradasi atau deplesi sumberdaya). Beberapa studi penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah: 5. Umran (1996) menjelaskan bahwa
sektor pariwisata memiliki nilai yang
strategis bagi pengembangan wilayah provinsi Riau. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya nilai keterkaitan antar sektor baik keterkaitan ke belakang (backward lingkage) maupun keterkaitan ke depan (forward lingkage). Sektor pariwisata memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi terhadap sektorsektor pendukung lainnya seperti sektor restoran, sektor perhotelan, sektor komunikasi. Untuk keterkaitan ke depan, sektor ini memiliki nilai di atas rata-
rata pada sektor angkutan laut dan sungai, sektor perdagangan, sektor jasa penunjang angkutan dan pergudangan. 6. Menurut Sihombing (2004) yang melakukan internalisasi dampak pencemaran ke dalam Tabel Input-Output terhadap sektor kehutanan di Provinsi Riau. Menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan pada nilai PDRB Riau terjadi penurunan yang sangat signifikan sebagai akibat terjadinya pencemaran di wilayah tersebut. Angka negatif sektor kehutanan pada berbagai analisis pencemaran menunjukkan bahwa sektor ini telah melebihi daya dukung alami (carrying capacity) dan tingkat produksi lestari (maximum sustainable yields). Dengan kata lain kegiatan pengusahaan sektor kehutanan mengalami kondisi ‘usaha memakan modal’ (capital downgrade) sehingga kegiatan sektor kehutanan justru menurunkan kesejahteraan. 7. Dariah (2007) menyimpulkan bahwa meningkatnya degradasi lingkungan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung pengembangan sektor-sektor perekonomian yang tidak atau sedikit menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. 8. Pesoth. 2001. Telah merancang sebuah Tabel I-O yang menginternalisasi faktor lingkungan yang disebut Tabel I-O Lingkungan. Melalui Tabel I-O Lingkungan ini, maka diperoleh suatu perhitungan yang lebih wajar dan lebih mendukung upaya pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa internalisasi beban lingkungan ke dalam perhitungan output di Kota Bogor akan mengakibatkan total output terkoreksi dari Rp. 3.528,5 milyar menjadi Rp. 3.251,7 milyar, atau menjadi lebih rendah sekitar 8 persen.