DEWAN KELAUTAN INDONESIA
KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA BUKU I
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN SEKRETARIAT JENDERAL SATKER DEWAN KELAUTAN INDONESIA TAHUN 2012
KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 mencantumkan 8 (delapan) misi pembangunan nasional untuk mencapai Visi “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Salah satu misi tersebut adalah “Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”. Strategi pembangunan nasional yang digunakan untuk mencapai visi dan misi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang tersebut adalah pembangunan yang berkelanjutan dengan semangat yang pro-poor, pro-growth, pro-job dan pro-environment. Namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki suatu kebijakan kelautan. Padahal Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesian Ocean Policy) tersebut dapat dijadikan “framework” atau rujukan bagi semua “stakeholders” yang sangat peduli terhadap pembangunan kelautan di Indonesia. Dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) disusun berdasarkan 5 pilar kebijakan yakni Budaya Bahari (Ocean Culture), Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance), Pertahanan, Keamanan dan Keselamatan di Laut (Maritime Security), Ekonomi Kelautan (Ocean Economic), dan Lingkungan Laut (Marine Environment). Arahan kebijakan dari masingmasing pilar tersebut antara lain: 1.
Budaya Bahari : menjadikan laut sebagai ruang hidup dan ruang juang, tempat berkarya, bekerja, berolah raga, bersukaria dan masyarakat Indonesia mencintai, memelihara, mengembangkan, mengelola, mengolah dan memanfaatkan sumberdaya laut secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
2.
Tata kelola laut: menciptakan sistem tata kelola kelautan nasional yang komprehensif, terintegrasi, efektif, dan efisien.
3.
Pertahanan, Keamanan dan Keselamatan di Laut: menegakkan kedaulatan dan hukum di laut yuridiksi nasional, demi terwujudnya kesatuan wilayah NKRI, serta terjaminnya keamanan dan keselamatan pelayaran, dan keamanan sumber daya hayati dan sumber daya alam laut yang kuat dan terkoordinasi.
4.
Ekonomi Kelautan: mewujudkan industri kelautan yang kokoh, mandiri, berdaya saing, dan terkemuka di dunia, serta memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
5.
Lingkungan Laut: menjadikan pesisir dan laut Indonesia sebagai tempat hidup masyarakat yang sehat dan terlindung dari bencana, serta sekaligus dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat dan bangsanya.
i
Peluang-peluang pengembangan kelautan bagi pembangunan nasional perlu dipayungi dengan Kebijakan Kelautan Indonesia yang mampu mensinergikan setiap potensi kelautan yang dimiliki, serta mampu mensinergikan lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat. Kebijakan Kelautan Indonesia disusun berdasarkan pada kekuatan-kekuatan yang dimiliki bangsa, tantangan dan isu strategis baik nasional, regional maupun global, dengan didasari aspek legal dan searah dengan kebijakan yang sudah ada. KKI diharapkan mampu membangun kebersamaan para pemangku kepentingan agar dapat memberikan sumbangsih pemikirannya bagi kemampuan bangsa dan negara dalam memanfaatkan, mengelola, dan mengembangkan laut dari segala aspeknya. KKI yang disusun diupayakan semaksimal mungkin mampu mendasari pembangunan kelautan di segala lapisan pembangunan sehingga dapat dioperasionalkan guna meningkatkan martabat bangsa, penguasaan iptek, kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kelestarian laut dan kemakmuran bangsa. Dewan Kelautan Indonesia menyadari bahwa Kebijakan Kelautan Indonesia ini masih belum sempurna. Oleh karenanya masih banyak membutuhkan masukan dan perbaikan. Kami berharap kiranya Kebijakan Kelautan Indonesia ini dapat menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Akhir kata, Dewan Kelautan Indonesia mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak atas bantuan berbagai informasi, ijin penggunaan sumber informasi, pikiran dan tenaga yang telah diberikan dalam penyusunan dokumen Kebijakan Kelautan Indonesia. Semoga bermanfaat.
Menteri Kelautan dan Perikanan Selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia
Sharif C. Sutardjo
ii
TIM PENYUSUN NASKAH KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA
POKJA KEBIJAKAN BUDAYA BAHARI : Ketua : Laksma TNI (Purn) Drs. Bonar Simangunsong, M.Sc / Tenaga Ahli Anggota : 1. Ir. Abdul Alim Salam / Tenaga Ahli 2. Dr. Ir. Sugianto Halim, M.si / STP 3. Dr. Ir. Anton Leonard, MM / Asosiasi 4. Ukay Karyadi, SE., ME./ Staf Khusus Men.KP 5. Ir. Herman Suherman, M.M / BPSDM KKP 6. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, MSc / IPB 7. 8.
Prof.Dr. Ibrahim Bafadel / Kemdikbud Dr. Supratikno Rahardjo, M.Hum / UI
POKJA KEBIJAKAN TATA KELOLA KELAUTAN Ketua : Prof. Dr . Kuntoro, SH, MH / Tenaga Ahli Anggota : 1. Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA / Pakar 2. Prof. Dr Etty R Agoes, SH, L.LM / UNPAD 3. Dr. Ir Son Diamar, M.Sc / Pakar 4. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si /IPB 5. Drs. H. Ahmad Mujib Rahmad /Staf Khusus Men. KP 6. Ir. Moh Andus Nurhidajat, M.Si / Dir. Produksi Ditjen PB, KKP 7. Dr. I Rizari, MBA, M.Si/Dir. Kawasan dan Pertanahan Ditjen PUM Kemdagri 8. Rachmat Budiman / Dir Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Kemlu POKJA KEBIJAKAN EKONOMI KELAUTAN Ketua : Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.Sc / Anggota DEKIN Anggota : 1. Prof Dr. Ir Daniel Monintja / Pakar 2. Dr. Ir. Enday Kusnendar, MS / Pakar 3. Djodie Supriatman / Asosiasi 4. Syarif Syahrial, SE, ME / Staf Khusus MKP 5. Ir. Syafril Fauzi, M.Sc /DJP2HP KKP 6. Ir. Tyas Budiman, MM/Dir. Pelabuhan Perikanan, KKP 7. Dr.Ir. Sri Yanti Widjana/ Bappenas 8. Ir. Hanggoro Budi Wiyawan /Kepala Pusat Kajian Kemitraan dan Pelayanan Jasa Transportasi Kemhub
iii
POKJA KEBIJAKAN PERTAHANAN, KEAMANAN DAN KESELAMATAN DI LAUT Ketua : Laksdya TNI (Purn) Abu Hartono / Anggota DEKIN Anggota : 1. Ir. Abdul Rivai Ras, MM, MS, Msi / Kemhan 2. Laksda TNI (Purn) I Gede Artjana / Pakar 3. Dr. Ir. Dicky Munaf, M. Sc. / Bakorkamla 4. Dr. Ir. Yulistyo, M.Sc / DJPSDKP KKP 5. Imran Azis, SH / Pakar 6. Capt. H. Rubianto, M.Mar / Pakar Keselamatan Laut 7. Kolonel Laut (P) R. Achmad Rivai / Paban I Renstra Srenal TNI-AL 8. Kombes Triyono / Mabes POLRI POKJA KEBIJAKAN LINGKUNGAN LAUT Ketua : Dr Elly Rasdiani Soedibyo / Tenaga ahli Anggota : 1. Dr. Ir. Hikman Manaf, M.Sc / Tenaga Ahli 2. Dr. Ir. Setyo Sarwanto Moesidik / UI 3. Dr. Udi Syahnudi Hamzah / Pakar 4. Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus.It / Dir. Pesisir dan Laut DJKP3K KKP 5. Ir.Arief Yuwono,MA / Deputi Bid. Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, KLH 6. Drs. Nursiwan Taqim, M.Si/Asisten Deputi Pengendalian Kerusakan Lingkungan / Pesisir dan Laut KLH 7. Ir. Hari Purwanto, M.Sc.DIC / SAM Menristek Bid. Pertahanan dan Keamanan Kemen Ristek 8. Kepala Pusat PPPGL KESDM Tim Sekretariat Dewan Kelautan Indonesia 1. Dr. Ir. Dedy H. Sutisna , MS 2. Dr. Ir. Syahrowi R. Nusir, MM 3. Drs. Tomo HS, M.Si 4. Budi Sampurno, SE 5. Synthesa Praharani Ksatrya, SIK 6. Jatu Nugrohorukmi,S. Kel
iv
DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR ....................................................................................................
i
TIMPENYUSUN ..........................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................
viii
I
II
III
PENDAHULUAN .................................................................................................
1
1.
Umum ..........................................................................................................
1
2.
Maksud dan Tujuan .....................................................................................
2
3.
Ruang Lingkup dan Tata Urut.......................................................................
2
4.
Metode dan Pendekatan ..............................................................................
3
5.
Sistemetika .................................................................................................
3
6.
Pengertian ...................................................................................................
4
LANDASAN PEMIKIRAN ...................................................................................
6
1.
Umum ..........................................................................................................
6
2.
Paradigma Nasional ....................................................................................
7
3.
Rencana pembenagunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional .................
12
4.
Pokok-pokok Teori yang Melandasi Kebijakan Kelautan Indonesia ............
16
KONDISI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA SAAT INI ..............................
19
1.
Umum ..........................................................................................................
19
2.
Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia saat ini ...........................................
20
3.
Implikasi Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Pertumbuhan
4.
Ekonomi dan Ketahanan Nasional ..............................................................
64
Permasalahan yang Dihadapi .....................................................................
67
v
IV
V
PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS ..............................................
70
1.
Umum ..........................................................................................................
70
2.
Pengaruh Perkembangan Lingkungan Global ............................................
70
3.
Pengaruh Perkembangan Lingkungan Regional ........................................
75
4.
Pengaruh Perkembangan Lingkungan Nasional .........................................
87
5.
Peluang dan Kendala ..................................................................................
81
KONDISI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA YANG DIHARAPKAN .....................................................................................................
86
1.
Umum ..........................................................................................................
86
2.
Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang Diharapkan ...........................
87
3.
Indikator Keberhasilan Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Bidang Kelautan ..........................................................................................
4.
93
Kontribusi Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja .................................................
96
KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA ...............................................................
98
1.
Umum ..........................................................................................................
98
2.
Visi, Misi dan Kebijakan ...............................................................................
99
3.
Strategi .........................................................................................................
102
4.
Upaya-upaya ...............................................................................................
110
VII PENUTUP ...........................................................................................................
147
VI
DAFTAR PUSTAKA
vi
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3.
Hasil Survei Tentang Wawasan Kelautan Tahun 2009 dan 2010 .......... Kontribusi Sektor Perikanan terhadap GDP di Kawasan ASEAN ......... Perkiraan ketersediaan dan kebutuhan Pelaut dalam pelayaran Domestik Indonesia sampai dengan 2015 (orang) ............... Jumlah Lulusan Pendidikan Kedinasan Kementerian KKP selama 6 Terakhir .................................................................................. Institusi Negara yang Berkaitan dengan Pembangunan Bidang Kelautan .................................................................................... World Vital Chokepoint .......................................................................... Satuan Tugas Patroli Laut berdasarkan Instansi Tahun 2011 ............... Jumlah Kapal Milik TNI AL Tahun 2011 ................................................. Jumlah Kapal Milik Kepolisian Negara RI Tahun 2011 .......................... Jumlah Kapal Ditjen Bea dan Cukai Tahun 2011 ..................................
20 21
Tabel 3.10. Jumlah Kapal Patroli KPLP Tahun 2011 ................................................
39
Tabel 3.4. Tabel 3.5. Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
3.5 3.6. 3.7. 3.8. 3.9.
Tabel 3.11.
23 24 26 34 36 36 38 38
Kapal Pengawas milik Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011 ............................................................................................ 39 Tabel 3.12. Jumlah Kapal Patroli Direktorat Imigrasi Tahun 2011 ............................ 40 Tabel 3.13. Jumlah Kapal Milik BASARNAS Tahun 2011 ........................................ 40 Tabel 3.14. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Bidang Kelautan periode tahun 2001 - 2005 ..................................................................... 44 Tabel 3.15 Produk Domestik Bruto (PDB) Bidang Transportasi Laut Berdasarkan Harga Berlaku, 2002-2011 (dalam Milyar Rupiah) ........... 46 Tabel 3.16 Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional untuk Angkutan Laut Luar Negeri........................................................... 47 Tabel 3.17 Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional untuk Angkutan Laut Dalam Negeri........................................................ 47 Tabel 3.18 Jenis-Jenis Kapal Produksi Dalam Negeri ............................................ 48 Tabel 4.1. Undang-Undang dan Konvensi yang terkait dengan Bidang Kelautan Nasional................................................................................... 78 Tabel 6.1 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy) ..................... 111 Tabel 6.2 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy) ............... 115 Tabel 6.3 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy) .............. 119
vii
Tabel 6.4 Tabel 6.5
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy) ....................... 124 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy) .............. 133
DAFTAR GAMBAR Gambar 3.1
ALKI di Wilayah Perairan Indonesia .....................................................
33
Gambar 3.2. Kawasan unggulan potensi terumbu karang dan tujuan wisata bahari (dikompilasi dari berbagai sumber) ................................
viii
56
Bab 1 1.
PENDAHULUAN
Umum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kepulauan (archipelagic
state) terbesar di dunia dan secara geografis memiliki posisi yang sangat strategis, yaitu berada pada persilangan 2 benua (Australia dan Asia) dan 2 samudera (Hindia dan Pasifik). Selain itu, sebagian besar atau hampir 70% wilayah NKRI merupakan perairan laut yang luasnya mencapai 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km. Kondisi obyektif ini sesungguhnya merupakan suatu anugerah yang tak terkira nilainya, dan juga sangat logis bila bangsa Indonesia seharusnya mengoptimalkan potensi kelautannya sebagai salah satu penghela pertumbuhan perekonomian dan pembangunan nasional. Hal ini mengingat nilai ekonomi potensi dan kekayaan laut Indonesia diperkirakan hampir mencapai US $ 160 milyar/tahun (ADB, 1996; PKSPL-IPB, 1997; PIT-IAGI, 1999; DEPBUPAR, 2000; dan DMI, BAPPENAS, DEPHUB, 2003). Namun sayangnya, hingga kini keunggulan geografis dan potensi yang dimiliki tersebut masih belum secara signifikan memberikan peran yang optimal bagi pertumbuhan perekonomian dan peningkatan kemakmuran serta kualitas hidup rakyat Indonesia. Sejarah telah mencatat, bahwa Indonesia “pernah” memiliki puncak kejayaan pada jaman Sriwijaya dan Majapahit sebagai Negara Maritim yang besar dan kuat pada masanya, dengan menguasai jalur perdagangan dan perhubungan laut diseluruh wilayah nusantara, bahkan sampai ke bagian Afrika Selatan dan Madagaskar. Namun sejarah pula yang menggoreskan bahwa telah terjadi rekayasa sosial pada masa penjajahan Belanda, sehingga menyebabkan pergeseran kultur dan struktur bangsa dari Bangsa Bahari ke Bangsa Agraris. Peristiwa sejarah selama ratusan tahun ini telah menggiring pemahaman tentang ruang hidup dan cara hidup bangsa yang lebih berorientasi dan bergantung hanya pada wilayah daratan, bahkan cenderung apriori terhadap laut, sehingga tidaklah heran bahwa paradigma pembangunan nasional pun masih lebih berbasis daratan (land base oriented) dan mengabaikan potensi kelautan yang dimiliki. Laut sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa harusnya dapat dijadikan sebagai salah satu pilar utama untuk membantu mengakselerasi terwujudnya kemakmuran dan kejayaan bangsa Indonesia. Tambahan pula, laut bagi NKRI juga memiliki makna dan fungsi yang sangat strategis, yaitu laut sebagai: (1) wilayah kedaulatan bangsa, (2) lingkungan dan sumberdaya, (3) media kontak sosial, ekonomi, dan budaya, (4) geostrategi, geopolitik,
1
geokultural, dan geoekonomi negara, dan (5) sumber dan media penyebar bencana alam. Namun demikian, karena bidang kelautan hingga kini belum menjadi arus utama dan bersinergi dengan bidang lainnya dalam pembangunan nasional, maka besarnya sumberdaya laut yang dimiliki bangsa ini belum dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Disamping itu, pada kenyataan di lapangan, pembangunan kelautan Indonesia juga belum dilaksanakan secara terpadu, dimana masih sektoral, parsial dan fragmented, yang mengakibatkan sering terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan dan pengelolaannya. Hal ini dapat dicermati dengan belum adanya grand design pembangunan bidang kelautan Indonesia yang disepakati oleh semua stakeholders yang terlibat. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan sumberdaya laut yang dimiliki guna mengakselerasi pembangunan nasional agar Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur segera terwujud, maka diperlukan sebuah Ocean Policy (Kebijakan Kelautan) yang kuat dan tepat. Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) merupakan tuntutan yang sangat mendesak untuk memayungi pembangunan bidang kelautan yang sifatnya lintas sektoral dan institusional, serta terintegrasi dengan daratan. Selain itu pula, diharapkan dengan adanya KKI dapat mengatasi berbagai rintangan yang dihadapi dalam mengembangkan bidang kelautan, baik rintangan teknis operasional maupun rintangan yang bersifat regulasi.
2.
Maksud dan Tujuan Penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia ini dimaksudkan untuk memberikan
gambaran tentang Kebijakan Kelautan Indonesia dalam konteks mengoptimalkan sumberdaya laut yang dimiliki guna memacu pembangunan nasional dan sekaligus memperkokoh ketahanan nasional, sedangkan tujuannya adalah untuk merumuskan Kebijakan Kelautan Indonesia yang komprehensif dan terpadu antar sektor dalam mengelola, memanfaatkan, menjaga serta memelihara laut secara optimal dan berkelanjutan.
3.
Ruang Lingkup Ruang lingkup pembahasan dalam tulisan ini adalah Kebijakan Kelautan Indonesia
dalam konteks pembangunan bidang kelautan dalam keterkaitannya dengan pembangunan semesta Indonesia untuk jangka waktu pendek, menengah, dan panjang yang meliputi 5 pilar utamanya, yakni: kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan lingkungan laut (marine environment policy).
2
4.
Metode dan Pendekatan Metode penulisan yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif-analisis secara
komprehensif integral dengan pendekatan analisis kebijakan (policy analysis approach) dan aspek asta gatra dalam Ketahanan Nasional. Data dan informasi diperoleh dari Dewan Kelautan Indonesia dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan bidang kelautan ditambah dengan penelusuran studi pustaka (desk study) dari berbagai sumber terkait lainnya. Secara ringkas, alur dan pola pikir metode dan pendekatan untuk penyusunan tulisan ini dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
5.
Sistematika Sistematika penyusunan tulisan ini adalah sebagai berikut:
a)
Bab I
Pendahuluan, berisi latar belakang permasalahan secara umum, maksud dan tujuan penyusunan tulisan ini, ruang lingkup, metode dan pendekatan penulisan, dan sistematika penulisan serta beberapa pengertian terkait dengan makalah ini. Bab ini melandasi penulisan pada Bab-bab selanjutnya.
b)
Bab II
Landasan Pemikiran, berisi landasan yang digunakan dalam penulisan meliputi: Paradigma nasional terutama pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional; Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan semua sektor termasuk bidang kelautan; dan Pokok-pokok teori yang melandasi kebijakan kelautan dan pembangunan berkelanjutan.
c)
Bab III
Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia Saat Ini, berisi uraian kondisi nyata kebijakan kelautan Indonesia yang dicerminkan pada kondisi sektor-sektor utama bidang kelautan saat ini (hingga tahun 2010). Kemudian implikasi kebijakannya terhadap perekonomian dan pembangunan nasional, dan berbagai permasalahan yang dihadapi terutama permasalahan aktual dan faktual.
d)
Bab IV
Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis, berisi uraian perkembangan lingkungan global, regional dan nasional yang terkait dengan kebijakan kelautan Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung. Dari analisis lingkungan strategis tersebut, selanjutnya diidentifikasi peluang dan kendalanya.
e)
Bab V
Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang Diharapkan, berisi uraian tentang kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan, indikator keberhasilannya, dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
3
f)
Bab VI
Kebijakan Kelautan Indonesia, berisi uraian tentang kebijakan, strategi dan upaya-upaya untuk membangun bidang kelautan yang terpadu dan sinergi dengan bidang lain serta berkelanjutan. Dalam bab ini diuraikan secara rinci kebijakan yang dijabarkan ke dalam beberapa strategi dan tiap strategi dirumuskan upaya-upayanya.
g)
Bab VII Penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran sebagai rekomendasi kepada Pemerintah.
6.
Pengertian
a)
Asta Gatra dalam Ketahanan Nasional adalah gatra geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.
b)
Kebijakan adalah suatu peraturan yang mengubah suatu kondisi ke kondisi yang lebih baik (Murtadi, 1999).
c)
Kebijakan Kelautan Indonesia adalah kebijakan pembangunan Nasional dibidang kelautan yang meliputi : kebijakan kelautan dibidang Kebudayaan, Kebijakan kelautan dibidang Tatakelola Pemerintahan, kebijakan kelautan dibidang Pertahanan, Keamanan, dan Keselamatan di laut, kebijakan kelautan dibidang Ekonomi, dan kebijakan kelautan dibidang Lingkungan Hidup.
d)
Kebijakan Publik adalah suatu keputusan untuk mengatasi masalah tertentu, kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang secara formal dituangkan dalam berbagai peraturan atau perundangan (Mustodidjaja, 1992)
e)
Kelautan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati, nir-hayati, dan jasa lingkungan di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilaksanakan dalam suatu pengelolaan yang terpadu
f)
Ketahanan Nasional Indonesia adalah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasionalnya (Pokja Geostrategi & Tannas Lemhannas R.I., 2006).
g)
Pembangunan Nasional adalah segala upaya pembangunan di semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan serta menuju perubahan yang lebih baik, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4
h)
Perekonomian nasional adalah kondisi perekonomian bangsa yang ditunjukkan dengan segala upaya untuk membangun sistem ekonomi sebagai bagian penting dari pembangunan nasional.
i)
Sumberdaya kelautan adalah semua potensi unsur, baik biotik maupun abiotik, yang berada didalam lingkungan laut dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Sumberdaya kelautan terdiri dari sumberdaya dapat pulih (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources).
j)
Perairan Indonesia adalah semua perairan yang berada di antara dan di sekitar pulaupulau kepulauan Indonesia yang meliputi Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan, dan Laut Teritorial sebagai mana yang diatur dalam UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
k)
Perairan dalam Yuridiksi Nasional adalah wilayah laut yang meliputi wilayah laut, dibawah kedaulatan penuh yaitu Perairan Pedalaman, Perairan Kelpulauan, dan Laut Teritorial; wilayah laut yang berada dibawah hak-hak berdaulat dan yuridiksi tertentu yaitu Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen.
5
Bab 2 1.
LANDASAN PEMIKIRAN
Umum Wawasan Nusantara merupakan pandangan bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 tentang diri dan lingkungannya yang berbentuk kehidupan sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam (pertahanan dan keamanan) dalam satu ruang kehidupan, yaitu seluas perairan laut dengan pulau-pulau didalamnya beserta udara di atasnya karena dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pandangan ini akan selalu menjiwai bangsa Indonesia dalam hidup dan kehidupan nasionalnya maupun kehidupan internasionalnya. Rumusan Wawasan Nusantara secara formal pertama-tama dikemukakan dan dikenal dalam TAP MPR IV/1973 dan seterusnya berturut-turut dicantumkan dalam TAP MPR 1978, 1983 dan 1988 yang ditetapkan sebagai wawasan untuk mencapai tujuan Pembangunan Nasional yang menyeluruh dan berkehendak mewujudkan NKRI ini dalam satu kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial budaya dan kesatuan hukum. Berdasarkan doktrin dasar Wawasan Nusantara, bangsa Indonesia harus dapat menggunakan wilayah lautnya sebagai bagian dari ruang hidup bangsa guna mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupannya. Penyusunan kebijakan kelautan Indonesia yang dilakukan bertujuan untuk mendukung percepatan Pembangunan Nasional dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia melalui pembangunan bidang kelautan. Selain itu, dengan penyusunan kebijakan kelautan Indonesia ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang tujuan, sasaran, strategi, dan upaya serta penanggung jawabnya. Hal ini dimaksudkan, agar kebijakan kelautan yang dibuat akan lebih efektif dan sinergis dijalankan oleh setiap instansi/lembaga yang terkait dengan pembangunan bidang kelautan. Pembangunan bidang kelautan dianggap identik dengan pembangunan sektor-sektor utamanya, yaitu: perikanan, industri dan jasa maritim, energi dan sumber daya mineral, perhubungan laut, pendidikan dan penelitian kelautan, pariwisata bahari, lingkungan laut, dan hukum dan tata kelautan. Secara umum, potensi dari kedelapan sektor utama tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan dengan optimal. Selain itu, bidang kelautan juga memiliki permasalahan yang kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor dan bidang,
6
dan juga sensitif terhadap interaksi dengan lingkungan, mempunyai implikasi yang tinggi terhadap perekonomian dan kondisi sosial, dan memerlukan penanganan nasional yang komprehensif karena berkaitan dengan hubungan antar negara dan dunia internasional. Oleh karenanya, tidak mungkin perumusan konsep kebijakan kelautan Indonesia hanya melihat dari sisi internalnya saja, namun harus mempertimbangkan keterkaitannya secara komprehensif dan integral dengan semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, diperlukan pemahaman dan landasan berpikir yang sama dalam satu paradigma nasional. Disamping itu, perlu justifikasi landasan teori yang kuat dalam melandasi perumusan konsep solusi.
2.
Paradigma Nasional Dunia sekarang ini cenderung ke arah persaingan antarbangsa dan negara, yang
dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, karena setiap negara sedang berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga bangsanya. Dalam era yang seperti ini, kedudukan ideologi nasional suatu negara akan berperan dalam mengembangkan kemampuan bersaing negara yang bersangkutan dengan negara lainnya. Pancasila sebagai ideologi memiliki karakter utama sebagai ideologi nasional. Ia adalah cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya. Oleh karenanya, diperlukan komitmen kuat segenap komponen bangsa untuk mengaktualkan Pancasila kehidupan nyata, utamanya harus diteladankan oleh para pemimpin negeri ini. Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara modern yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Dengan ideologi nasional yang mantap seluruh dinamika ekonomi, sosial, budaya, dan politik dapat diarahkan untuk menciptakan peluang positif bagi pertumbuhan kesejahteraan bangsa. Kemudian, pembangunan nasional sebagai upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Artinya, pembangunan nasional harus melibatkan segenap komponen bangsa sebagai pelaku dan sekaligus sasaran pembangunan itu sendiri. Pembangunan nasional termasuk di dalamnya pembangunan bidang kelautan harus dapat mewujudkan kesejahteraan bangsa dengan tetap berlandaskan ideologi Pancasila, yakni memberikan kebebasan beragama dan beribadah, menghormati hak asasi
7
manusia secara adil dan beradab, menjaga persaudaraan dan persatuan, melaksanakan demokrasi dengan musyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial. Selanjutnya, pembangunan nasional juga harus mengacu kepada UUD 1945, karena UUD 1945 merupakan nilai dasar bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasal 25 UUD 1945 melandasi pemikiran dalam pembangunan bidang kelautan, karena disana dinyatakan secara eksplisit bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan. Demikian pula dengan pasal 33 yang secara implisit mengamanatkan bahwa sumber daya alam (termasuk sumber daya laut) harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pembangunan bidang kelautan harus menjamin bahwa rakyatlah yang akan menikmati hasilnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Perumusan kebijakan kelautan Indonesia dalam pembangunan bidang kelautan harus menggambarkan keberpihakan kepada masyarakat luas. Pada awal kemerdekaan, Indonesia masih menggunakan beberapa peraturan hukum yang ditinggalkan Pemerintahan Hindia Belanda, termasuk landasan hukum bidang kelautan, yakni “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939” (TZMKO). Namun, penggunaan ordonansi ini menyebabkan wilayah Indonesia menjadi tidak utuh, karena perairan diantara kelima pulau besar Indonesia terdapat perairan bebas (high seas). Keadaan ini dinilai dapat mengancam keutuhan NKRI. Atas dorongan semangat tinggi dan kebulatan tekad yang luar biasa di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, dengan berani dan secara sepihak mengeluarkan suatu deklarasi keutuhan wilayah Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957, yang dikenal dengan Deklarasi Djoeanda. Pada dasarnya konsep deklarasi ini memandang bahwa kepulauan Indonesia merupakan wilayah pulau-pulau, wilayah perairan, dan dasar laut di dalamnya sebagai suatu kesatuan historis, geografis, ekonomis, dan politis. Dengan adanya konsep ini, maka wilayah perairan nusantara yang tadinya merupakan wilayah laut lepas kini menjadi bagian integral dari wilayah Indonesia yang berada di bawah kedaulatan NKRI. Deklarasi Djoeanda merupakan salah satu dari tiga pilar utama bangunan kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia, yaitu: Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928; Kesatuan Kenegaraan dalam NKRI yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945; dan Kesatuan Kewilayahan (darat, laut, dan udara) yang diumumkan H. Djoeanda, 13 Desember 1957. Kemudian, Deklarasi ini diperkuat secara yuridis melalui Undang-Undang No. 4. Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU ini, pokok-pokok dasar dan pertimbanganpertimbangan mengenai pengaturan wilayah perairan Indonesia pada hakikatnya tetap sama dengan Deklarasi Djoeanda, walaupun segi ekonomi dan pengamanan sumberdaya alam
8
lebih ditonjolkan. Kemudian, dalam perkembangan sejarah selanjutnya, telah memungkinkan Indonesia menyempurnakan luas wilayahnya melalui UU No. 5 tahun 1983 tentang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) termasuk di dalamnya integrasi Timor Timur, yang disempurnakan lagi dengan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dan UU No 61 tahun 1998 tentang penutupan Kantung Natuna dan keluarnya Timor Timur. Pada tahun 1982, 119 negara di dunia, termasuk Indonesia, telah menandatangani Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). Konvensi tersebut di dalamnya memuat 9 buah pasal mengenai perihal ketentuan tentang prinsip “Negara Kepulauan”. Salah satu pasal dalam prinsip Negara Kepulauan tersebut menyatakan bahwa laut bukan sebagai alat pemisah, melainkan sebagai alat yang menyatukan pulau-pulau yang satu dengan lainnya, yang kemudian diimplementasikan oleh Indonesia dengan istilah Wawasan Nusantara. Pengakuan dunia internasional ini, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HUKUM LAUT 1982. Ratifikasi ini merupakan tindaklanjut dari gagasan negara kepulauan yang pada 25 tahun lalu dicetuskannya Deklarasi Djoeanda pada tanggal 13 Desember 1957. Sejak itu, Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, dan UU No.17 tahun 1985 ini, selanjutnya harus dijadikan pedoman dalam penyusunan rencana pembangunan nasional, utamanya pembangunan dibidang kelautan, dan pada REPELITA ke 5 (1993 – 1998) konsep pembangunan kelautan akhirnya masuk kedalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Namun, akibat makin seriusnya kasuskasus di wilayah perbatasan laut Indonesia dan sekaligus guna mengimplementasikan konsep pembangunan kelautan yang tertuang di GBHN, maka Presiden Soeharto mengeluarkan perintah pada tanggal 1 Januari 1996, yakni: “Mengembalikan Jiwa Bahari Dengan Melalui Pembangunan Kelautan Indonesia”. Selanjutnya, diteruskan dengan pembentukan Dewan Kelautan Nasional (DKN) melalui Keppres No.77 Tahun 1996, yang memiliki tugas dan fungsi: a)
Memberikan pertimbangan, pendapat maupun saran kepada Presiden mengenai peraturan, pengelolaan, pemanfaatan, pelestarian, perlindungan dan keamanan kawasan laut, serta penentuan batas wilayah Indonesia.
b)
Melakukan koordinasi dengan departemen dan badan yang terkait, dalam rangka keterpaduan perumusan dan penetapan kebijakan mengenai masalah laut. Paradigma nasional selanjutnya adalah Deklarasi Bunaken yang dicetuskan tanggal
26 September 1998 pada masa pemerintahan Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie. Deklarasi ini pada dasarnya secara tegas menyatakan dua hal pokok yaitu kesadaran bangsa Indonesia
9
akan geografik wilayahnya dan kemauan yang besar dari bangsa Indonesia untuk membangun kelautan. Kesadaran geografik adalah kesadaran bangsa Indonesia untuk memahami dan menyadari akan kondisi obyektif wadah kepulauan Indonesia yang 2/3 (dua per tiga) bagian wilayahnya adalah merupakan laut. Kesadaran bangsa Indonesia akan geografik wilayahnya menjadi sangat penting bagi keberhasilan bangsa dalam melaksanakan pembangunan kelautan yang mempunyai arti strategis dalam mengembalikan kondisi ekonomi nasional yang sedang menyelesaikan berbagai krisis ini. Inti dari Deklarasi Bunaken adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Deklarasi Bunaken merupakan pernyataan politis strategis pemerintah atau sebagai komitmen bangsa yang memberikan peluang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan pembangunan bidang kelautan. Melalui Deklarasi Bunaken, pemerintah juga akan mengorientasikan Pembangunan Nasional ke laut dengan memberikan perhatian dan dukungan optimal terhadap pembangunan kelautan. Deklarasi Bunaken dapat juga dikatakan sebagai kunci pembuka babak baru pembangunan nasional yang berorientasi ke laut karena mengandung komitmen bahwa: Pertama, Visi pembangunan dan persatuan nasional Indonesia harus juga berorientasi ke laut dan Kedua, Semua jajaran pemerintah dan masyarakat hendaknya juga memberikan perhatian untuk pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan potensi kelautan Indonesia. Kemudian, pada masa pemerintahan, tumbuh kesadaran bahwa potensi dan kekayaan yang ada di laut merupakan sumber ekonomi utama Negara. Laut adalah kehidupan masa depan bangsa. Atas pemikiran ini, maka Presiden Abdurrahman Wahid membentuk kementerian baru yakni Departemen Eksplorasi Laut dengan Keputusan Presiden No.355/ M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999. Dalam perjalanannya, namanya berubah-ubah dan akhirnya saat ini menjadi Kementrian Kelautan dan Perikanan berdasarkan Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid juga dibentuk Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang bertugas untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan program pembangunan kelautan di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2001, tepatnya tanggal 27 Desember 2001, bertempat di Pelabuhan Rakyat Sunda Kelapa Jakarta, Presiden RI Megawati Sukarnoputri telah mencanangkan “Seruan Sunda Kelapa”. Pada intinya seruan tersebut mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama membangun kekuatan maritim/kelautan, dengan berlandaskan pada kesadaran penuh bahwa bangsa Indonesia hidup di negara kepulauan terbesar di dunia, dengan alam laut yang kaya akan berbagai sumberdaya alam. Pada Seruan Sunda Kelapa menyatakan meliputi 5 pilar program pembangunan kelautan, yaitu:
10
1.
Membangun kembali wawasan bahari,
2.
Menegakkan kedaulatan secara nyata di laut,
3.
Mengembangkan industri dan jasa maritim secara optimal dan lestari bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat,
4.
Mengelola kawasan pesisir, laut dan pulau kecil, dan
5.
Mengembangkan hukum nasional di bidang maritim. Dengan lahirnya Seruan Sunda Kelapa diharapkan menimbulkan kesadaran dan
mengarahkan kembali bangsa Indonesia ke wawasan bahari. Dengan demikian, Seruan Sunda Kelapa merupakan paradigma nasional untuk membangkitkan ekonomi kelautan nasional untuk memberi kontribusi nyata bagi pertumbuhan perekonomian nasional, membangkitkan kembali kekuatan armada niaga nasional, mempercepat penggapaian masa depan bangsa, dan sekaligus memperkuat tali kehidupan bangsa. Dan paradigma nasional yang terkini, yakni pada masa pemerintahan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, adalah mengganti nomenklatur Dewan Maritim Indonesia (DMI) menjadi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) melalui Keppres No.21 Tahun 2007 dan menyelengarakan konferansi kelautan dunia atau World Ocean Conference (WOC) di Manado pada tanggal 11 – 15 Mei 2009 dengan tema “Dampak perubahan iklim terhadap laut dan dampak laut terhadap perubahan iklim”. Kegiatan ini merupakan inisiatif Indonesia dalam forum internasional yang ditujukan bagi para pemimpin dunia dan pengambil keputusan untuk mengembangkan kolaborasi internasional dan membuat komitmen bersama dalam menghadapi isu kelautan dunia dan sekaligus masalah perubahan iklim global. Penyelengaraan WOC 2009 didukung oleh 123 negara yang tergabung dalam The Eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea dan dalam pelaksanaannya dihadiri oleh 423 delegasi yang berasal dari 87 negara dan organisasiorganisasi antar negara. Agenda utama dalam WOC 2009 adalah (1) Pertemuan antar pemerintah atau Senior Officials Meeting yang dimaksudkan untuk mengerucutkan perumusan Manado Ocean Declaration yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran negara partisipan WOC 2009 terhadap peran penting laut dalam perubahan iklim, dan (2) Kesepakatan Coral Triangle Initiative atau CTI dalam bentuk CTI Regional Plan of Action oleh 6 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste, untuk meningkatkan perlindungan terhadap sumber daya laut dan pantai yang berada di wilayah coral triangle dalam wilayah laut 6 negara tersebut. Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) yang menjadi menjadi salah satu output utama dari WOC 2009 ini merupakan tonggak sejarah dan dokumen penting untuk menyelamatkan planet bumi dan kelangsungan hidup generasi penerus dimasa akan
11
datang, sehingga dokumen tersebut akan diperjuangkan oleh wakil tetap pemerintah Indonesia di PBB untuk dimasukan dalam agenda resmi dan dibahas dalam Meeting of the States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea. Selain itu, output lainnya, yakni CTI Regional Plan of Action yang dilakukan oleh 6 negara, juga merupakan hal penting dalam menyelamatkan keanekaragaman sumber daya hayati laut dunia, utamanya ikan dan terumbu karang. Dengan demikian, WOC 2009 dapat dinyatakan sebagai komitmen Bangsa Indonesia dalam upaya mengembangkan, mengelola, dan melestarikan sumber daya laut nasional dan internasional secara berkelanjutan.
3.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan
yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu, dalam 20 tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional. Dengan ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional dan diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional sangat diperlukan. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang memerintahkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional yang menganut paradigma perencanaan yang visioner, maka RPJP Nasional hanya memuat arahan secara garis besar. Kurun waktu RPJP Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun. Pelaksanaan RPJP Nasional
12
2005-2025 terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam periodisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan, yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional I Tahun 2005-2009, RPJM Nasional II Tahun 2010-2014, RPJM Nasional III Tahun 2015-2019, dan RPJM Nasional IV Tahun 2020-2024. Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Namun demikian, masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan, salah satu yang utama adalah pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara lain: (1) belum adanya penataan batas maritim; (2) adanya konflik dalam pemanfaatan ruang di laut; (3) belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di laut; (4) adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan; (5) adanya keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya kelautan; dan (6) belum adanya dukungan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan. Padahal berdasarkan fakta dan dinyatakan pula dalam UUD 1945 perubahan Pasal 25A bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan laut. Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia, tantangan yang akan dihadapi dalam 20 tahunan mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah: INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR Kemudian, untuk mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut: 1)
Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila. 2)
Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing.
3)
Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum.
4)
Mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu.
5)
Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan.
13
6)
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari.
7)
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
8)
Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional. Dari 8 misi yang diemban tersebut, terdapat satu misi yang terkait langsung dengan
pembangunan kelautan nasional, yakni: “Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”. Pencapaian sasaran pokok misi ini ditandai oleh hal-hal berikut: 1)
Terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia.
2)
Meningkat dan menguatnya sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3)
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara.
4)
Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan meng-optimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
5)
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut. Pembangunan bidang kelautan pada masa yang akan datang di arahkan pada pola
pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi. Selanjutnya, untuk mencapai terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional, arah pembangunan kelautan nasional selama kurun waktu 20 tahun mendatang adalah sebagai berikut: 1)
Membangkitkan wawasan dan budaya bahari, antara lain, melalui (a) pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang dapat diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) melestarikan nilai-nilai budaya serta wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang kelautan; dan (c) melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi.
2)
Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan yang diwujudkan, antara lain, dengan (a) mendorong jasa pendidikan dan pelatihan yang berkualitas di bidang kelautan untuk bidang-bidang keunggulan yang diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja dan (b) mengembangkan standar kompetensi sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan
14
dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan sistem informasi kelautan. 3)
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1986 sehingga mempunyai kewajiban, antara lain, (a) menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumber daya kelautan berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; (b) menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen); (c) menyelesaikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut; (d) menyampaikan laporan data nama geografis sumber daya kelautan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di sisi lain, Indonesia juga perlu pengembangan dan penerapan tata kelola dan kelembagaan nasional di bidang kelautan, yang meliputi (a) pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan yang mendukung ke arah terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan serta (b) pengembangan sistem koordinasi, perencanaan, monitoring, dan evaluasi.
4)
Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi (a) peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; (b) pengembangan sistem monitoring, control, and survaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan sumber daya, lingkungan, dan wilayah kelautan; (c) pengoptimalan pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan; dan (d) peningkatan koordinasi keamanan dan penanganan pelanggaran di laut.
5)
Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan.
6)
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a) pengembangan sistem mitigasi bencana; (b) pengembangan early warning system; (c) pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di laut; (d) pengembangan sistem pengendalian hama laut, introduksi spesies asing, dan organisme laut yang menempel pada dinding kapal; serta (e) pengendalian dampak sisa-sisa bangunan dan aktivitas di laut.
7)
Meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan lapangan kerja lebih luas kepada keluarga miskin
15
Berdasarkan arah pembangunan kelautan nasional diatas dan sekaligus untuk menyatukan seluruh modal dasar, potensi dan kekuatan nasional dalam rangka pencapaian misi pembangunan nasional, untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”, maka secara garis besar terdapat 5 (lima) pilar utama yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pembangunannya, yakni: 1)
Budaya Kelautan (Ocean Culture)
2)
Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance)
3)
Keamanan Laut (Maritime Security)
4)
Ekonomi Kelautan (Ocean Economic)
5)
Lingkungan Laut (Marine Environment)
4.
Pokok-Pokok Pikiran yang Melandasi Kebijakan Kelautan Indonesia Alasan utama mengapa perlu menyusun kebijakan kelautan Indonesia adalah sebagai
berikut. Pertama, Indonesia memiliki sumberdaya laut yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitasnya. Kedua, Sumberdaya laut sebagian besar bersifat sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), sehingga akan bertahan dalam jangka panjang asal diikuti dengan kebijakan yang tepat dan kuat. Ketiga, Industri di bidang kelautan memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan industri-industri lainnnya, sehingga dapat menciptakan multiplier effects yang tinggi. Keempat, Jumlah penduduk yang cenderung meningkat dan ketersediaan lahan yang semakin terbatas, sehingga perlu alternatif ruang untuk menjaga ketahanan pangan. Kelima, Dengan memanfaatkan sumber daya laut, utamanya di wilayah perbatasan negara, secara tidak langsung akan menjaga keutuhan dan kedaulatan wilayah NKRI. Oleh karena itu, dalam melakukan penyusunan kebijakan kelautan untuk melaksanakan pembangunan bidang kelautan tersebut, seyogyanya diarahkan pada berbagai upaya terobosan yang berpihak kepada masyarakat dan industri dalam negeri serta bertumpu kepada empat grand strategi pembangunan nasional yaitu: pro-growth strategy (pertumbuhan ekonomi); pro-job strategy (penyerapan tenaga kerja), pro-poor strategy (pengentasan kemiskinan), dan pro-environment strategy (pembangunan yang ramah lingkungan). Dengan demikian, pembangunan bidang kelautan Indonesia juga harus bertumpu pada empat grand strategi tersebut, mulai dari tingkat hulu hingga ke hilir dan dari skala kecil (rumah tangga) hingga skala besar (industri). Selain itu, pembangunan bidang kelautan Indonesia harus berkelanjutan, yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi yang akan datang. Menurut Munasinghe (2002), konsep pembangunan berkelanjutan pada prinsipnya adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial.
16
Perhatian dunia terhadap kondisi ekosistem laut dan pesisir menjadi isu utama pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Rio+20 di Brazil, Juni 2012, dimana berbagai negara dan organisasi dunia mulai menyerukan adanya perhatian lebih serius terhadap kondisi ekosistem laut dan pesisir yang semakin terdegradasi akibat pemanfaatan yang cenderung berlebihan dan dampak perubahan iklim. Terdapat 19 poin kesepakatan, yang terkait langsung dengan bidang kelautan. Penekanannya terutama pada perlunya konservasi dan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan, ketahanan pangan, dan mata pencaharian, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada momen ini pula, Presiden RI, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan Blue Economy sebagai pendekatan dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Blue Economy merupakan paradigma baru model pembangunan ekonomi yang menyatukan pembangunan laut dan daratan secara optimal, efisien, dan berkelanjutan dengan memperhitungkan daya dukung sumberdaya dan lingkungannya. Melalui pendekatan Blue Economy, pembangunan bidang kelautan diharapkan mampu menjadi motor penggerak utama pembangunan nasional dan sumber pertumbuhan baru. Blue Economy tidak hanya diharapkan dapat memacu pembangunan berkelanjutan tetapi juga dapat menjaga kesehatan lingkungan melalui perekonomian rendah karbon (low carbon economy). Berdasarkan hal tersebut diatas, maka prinsip-prinsip utama yang harus dikandung dalam pembangunan bidang kelautan nasional adalah sebagai berikut: 1) terintegrasi dengan pembangunan daratan, 2) pemanfaatan sumber daya kelautan yang efisien dan sesuai dengan kapasitas daya dukung, 3) bersifat rendah karbon dan nir-limbah (zero waste), 4) berorientasi pada kesejahteraan seluruh masyarakat (social inclusiveness), 5) berkelanjutan, dan 6) investasi kreatif dan inovatif. Selanjutnya, Adrianto dan Kusumastanto (2004) menyatakan sedikitnya ada tiga hal yang menjadi penyebab ketidakseimbangan dalam pembangunan kelautan Indonesia, yaitu: (1) masih rendahnya muatan teknologi, (2) lemahnya pengelolaan, dan (3) masih kurangnya dukungan ekonomi-politik. Oleh karena itu, agar tercipta pembangunan bidang kelautan yang optimal, efisien, dan berkelanjutan, maka diperlukan penyusunan kebijakan kelautan Indonesia yang tepat dan kuat. Suatu keputusan pemerintah untuk mengelola dan memecahkan masalah-masalah negara atau masyarakat di suatu sektor dapat diidentikan dengan bentuk kebijakan. Kebijakan kelautan dapat didefinisikan sebagai suatu keputusan atau tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan kelautan guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional (Simatupang, 2001). Dengan melihat definisi ini, maka kebijakan kelautan harus dipandang dalam konteks untuk pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir saja, tetapi juga kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa kebijakan kelautan termasuk kedalam kategori kebijakan publik, yang harus dilakukan oleh
17
pemerintah, karena berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Wilayah laut Indonesia yang begitu luas dengan potensinya yang besar, memungkinkan berbagai jenis kegiatan berlangsung di dalamnya, seperti: perikanan, pelayaran, industri maritim, pariwisata, pertambangan dan energi, dan lain sebagainya. Potensi yang besar tersebut akan mampu menghasilkan devisa negara untuk mencapai kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun demikian, dalam pengelolaan dan pemanfaatannya tidak boleh serta merta hanya berprinsip eksploitasi secara maksimal semata, tetapi harus mengacu pada prinsip-prinsip utama pembangunan kelautan nasional, agar dapat berjalan secara optimal, efisien, dan berkelanjutan. Pada prinsipnya semua kegiatan di laut, seperti: perikanan, pelayaran, industri maritim pariwisata, pertambangan dan energi, harus dapat berjalan secara sinergi, efisien, dan berkelanjutan, serta diatur dengan regulasi sedemikian rupa yang mampu melindungi dan menjamin kelestarian lingkungan ekosistem lautnya.
18
Bab 3 1.
KONDISI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA SAAT INI
Umum Sebagai bidang yang relatif baru diperhatikan dan difokuskan dalam khazanah
pembangunan nasional, bidang kelautan tentu masih menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan besar, seperti: aspek prasarana dan sarana, kelembagaan dan organisasi, sumberdaya manusia, manajemen, anggaran dan dana pembangunan. Disisi lain, kalangan swasta, organisasi profesi dan lembaga non pemerintah (LSM) di bidang kelautan juga belum memiliki kemampuan yang setara dengan organisasi sejenis di bidang lain. Secara umum, stakeholder bidang kelautan masih memiliki keterbatasan, utamanya dalam hal pengelolaan dan penguasaan IPTEKS. Terlebih, bila melihat kehidupan masyarakat pesisir yang menjadi subyek utama pembangunan bidang kelautan, kondisinya hingga kini sebagian besar masih penuh dengan keterbelakangan ekonomi, politik maupun sosial budaya. Keadaan ini jelas mencerminkan bahwa kebijakan pembangunan bidang kelautan nasional dapat dinyatakan masih belum tepat dan berjalan optimal. Namun demikian, dalam lima tahun terakhir ini, setidaknya landasan dan kerangka dasar kebijakan nasional untuk membangun bidang kelautan telah diletakkan, yakni dalam UU No.17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional. Kebijakan tersebut, tentu memberikan hasil yang positif dan cukup baik bagi pembangunan bidang kelautan, walaupun belum optimal. Hasil positif yang dapat dilihat dalam pembangunan bidang kelautan nasional adalah adanya peningkatan kinerja bidang ini dari waktu ke waktu, yang ditunjukkan dari beberapa aspek, diantaranya adalah kontribusi produk domestik bruto (PDB) bidang kelautan, penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan, dan penerimaan devisa dari hasil ekspor produk kelautan. Hasil pembangunannya juga telah dirasakan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, seperti adanya perbaikan taraf hidup atau kesejahteraan dari sebagian masyarakat pesisir, seperti: nelayan dan pembudidaya ikan, serta mulai tertata dan terpeliharanya kelestarian lingkungan laut dan pesisir. Meskipun demikian, hasil yang dicapai tersebut belum memberikan manfaat yang optimal bagi bangsa dan masyarakat Indonesia, utamanya bagi masyarakat pesisir, serta tantangan yang dihadapi ke depan juga masih besar, sehingga Pemerintah perlu mengakselerasi pembangunannya melalui Kebijakan Kelautan Indonesia yang komprehensif dan terpadu, agar dapat mempercepat terwujudnya bangsa Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur.
19
2.
Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia Saat Ini Gambaran umum kondisi kebijakan kelautan Indonesia saat ini, dapat dilihat dari capaian
hasil pembangunan bidang kelautan yang telah dilaksanakan dalam kaitannya dengan pembangunan nasional. Berikut ini adalah uraian tentang gambaran kondisi kebijakan kelautan Indonesia saat ini yang direpresentasikan dari 5 (lima) pilar utamanya, yakni: Budaya Kelautan (Ocean Culture), Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance), Keamanan Laut (Maritime Security), Ekonomi Kelautan (Ocean Economic), dan Lingkungan Laut (Marine Environment).
1)
Budaya Kelautan (Ocean Culture) Membangun bidang kelautan seyogianya diawali dengan kebulatan persepsi bagi seluruh anak bangsa akan kondisi fisik laut, fungsi dan peran laut bagi kehidupan negara, pemahaman tersebut dikenal sebagai wawasan kelautan. Memahami wawasan kelautan merupakan modal dasar dalam pembangunan bidang kelautan Indonesia, karena bagaimana mungkin kita mampu mengelola sumberdaya kelautan yang kita miliki tanpa diimbangi dengan adanya pemahaman terhadap wilayah laut yang kita punyai dengan segala sumberdaya kelautan yang tersimpan didalamnya. Apabila wawasan kelautan telah tersebar merata diseluruh anak bangsa, pemimpin pemerintahan dan masyarakat di pusat maupun daerah, maka diharapkan pembangunan kelautan akan berhasil baik, sehingga akhirnya bidang kelautan akan menjadi pilar ekonomi utama bagi kehidupan NKRI sekaligus sebagai senjata mutahir untuk membasmi kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat. Dalam kenyataannya sebagaimana hasil kajian yang dilakukan Dewan Kelautan Indonesia pada tahun 2009 dan 2010 pemahaman wawasan kelautan sangat minim, seperti data yang disajikan dibawah ini: Tabel 3.1 Hasil Survei Tentang Wawasan Kelautan Tahun 2009 dan 2010
Tahun
Pemahaman tentang Wawasan kelautan (%)
Kebijakan PEMDA yang berpihak pada bidang kelautan (%)
Paham
Tidak
Sudah
Belum
2009
38.3
51.2
11.7
76.9
2010
47.4
52.4
38.8
54.6
Sumber: Dewan Kelautan Indonesia
20
Tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia belum paham benar tentang laut, apalagi fungsinya sebagai pilar ekonomi negara. Data diatas diperoleh dari 33 provinsi dan 20 kabupaten/kota, sehingga hasil survei dapat memberikan gambaran. Kenyataan itu tentunya menyedihkan bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan. Adanya wawasan kelautan yang masih terbatas inilah yang diperkirakan mempengaruhi kontribusi nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sektor-sektor di bidang kelautan masih relatif kecil, bila dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya. Padahal PDB merupakan salah satu indikator keberhasilan kebijakan bidang kelautan dalam pembangunan Indonesia. Nilai kontribusi tersebut apabila dibandingkan dengan negaranegara di kawasan Asia, terlihat masih relatif jauh tertinggal. Sebagai ilustrasi salah satu sektor di bidang kelautan yakni sektor perikanan di Indonesia yang hanya mencapai sekitar 2,9 % jauh dibawah kontribusi sektor perikanan terhadap PDB/Gross Domestic Product (GDP) Kamboja, untuk perikanan tangkap sebesar 11.4% dan perikanan budidaya sebesar 1.3%, sedangkan Vietnam untuk perikanan tangkap sebesar 9.5% dan perikanan budidaya sebesar 16.0%, Myanmar untuk perikanan tangkap sebesar 9.9%, dan perikanan budidaya 8.8%, Filipina untuk perikanan tangkap sebesar 3.0% dan perikanan budidaya sebesar 1.5 %, tetapi di Indonesia kontribusi sektor perikanan baru mencapai 1.9% bagi perikanan tangkap dan 1.0% bagi perikanan budidaya, seperti ditunjukkan pada tabel dibawah ini. Tabel 3.2 Kontribusi Sektor Perikanan terhadap GDP di Kawasan ASEAN No.
Nama Negara
Kontribusi GDP (%)
Total (%)
Perikanan Tangkap
Perikanan Budidaya
1
Vietnam
9.5
16.0
25.5
2
Myanmar
9.9
8.8
18.7
3
Kamboja
11.4
1.3
12.7
4
Filipina
3.0
1.5
4.5
5
Indonesia
1.9
1.0
2.9
Sumber: FAO, 2006
21
Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kontribusi ekonomi bidang kelautan masih relatif rendah yang diduga akibat masih minimnya wawasan kelautan di kalangan pengambil kebijakan. Kondisi yang sama juga terjadi pada beberapa sektor lainnya di bidang kelautan yang kontribusi ekonominya masih relatif rendah pula apabila dibandingkan dengan potensi yang dimilikinya, seperti: a) sektor perhubungan, yang kondisi armada pelayarannya masih didominasi kapal-kapal asing, b) sektor pariwisata bahari, yang belum berkembang optimal karena masih menghadapi hambatanhambatan yang serius tentang perijinan (seperti: clearance approval for Indonesian territory, custom, immigration, quarantine,and port clearance dan infrastruktur (port of entry/exit, marina, mooring buoys, dll), c) sektor energi dan sumber daya mineral, yang belum menyentuh potensi mineral di dasar laut dan di tanah bawah laut maupun potensi energi dari lautnya, e) sektor bangunan kelautan, yang belum berfungi optimal dan kalah bersaing dengan pelabuhan laut negara-negara tetangga, dan f) sektor industri maritim, yang belum berkembang baik jika dibandingkan dengan negara lain di dunia (seperti: industri perkapalan, industri mesin kapal, industri bioteknologi, industri farmasi laut dan industri garam). Kemudian, riset ilmiah kelautan juga mempunyai peranan penting dalam menggali potensi kekayaan sumberdaya kelautan yang kemudian harus dioptimalkan bagi pembangunan nasional, sehingga Indonesia tidak hanya bangga pada status sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumberdaya alam yang besar, tetapi harus benarbenar dapat memanfaatkan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan rakyat dan keunggulan bangsa. Oleh karena itu, penyediaan anggaran yang cukup, pembenahan kerjasama dan koordinasi yang baik, serta peralatan yang memadai antara instansi yang terkait mutlak diperlukan dalam melaksanakan riset ilmiah kelautan Indonesia. Selain itu, unsur yang paling utama dalam pembangunan bidang kelautan adalah sumberdaya manusia (SDM). Unsur ini tentu harus dituangkan kedalam kebijakan kelautan. Sebab daya dukung serta kemampuan manusia dalam mengoperasikan asetaset kelautan seperti armada pelayaran dan industri maritim sangat menentukan keberhasilan program pembangunan. Dalam rapat-rapat Dewan Kelautan Indonesia dengan para pemangku kepentingan di laut, terungkap dari Badan Kerjasama Pendidikan Tinggi Maritim Swasta Indonesia (BKS PMSI), bahwa sumberdaya manusia di sektor transportasi laut yaitu menyangkut dengan awak kapal, awak industri perkapalan dan awak kepelabuhanan. SDM akan bermutu jika pendidikan yang handal sesuai dengan kompetensi, sehingga SDM yang dihasilkan berkualitas internasional (Standar IMO) SDM untuk transportasi khususnya pengawakan kapal, pada saat ini pelayaran Nasional maupun Internasional membutuhkan ratusan ribu Perwira. IMO (Internasional Maritime Organization) meminta
22
Indonesia menyiapkan (mensuplai) perwira untuk pelayaran niaga sebanyak, 24 ribu orang perwira/tahun. Sedang menurut BIMCO/ISF total kebutuhan pelaut tahun 2010 yaitu perwira 637.000 dan bawahan/anak buah kapal 747.000 orang. Ini merupakan tantangan dan peluang bagi bangsa Indonesia. Lembaga pendidikan pemerintah dan swasta yang telah berpengalaman bertahun-tahun dalam membina pendidikan, mempunyai produktivitas yang masih kecil untuk meluluskan perwira/crew kapal niaga dengan standard IMO. Ada 19 lembaga pendidikan tingkat Akademi/ Perguruan Tinggi Maritim dan 7 Lembaga Pendidikan Maritim Negeri serta 70 SMK Pelayaran. Keseluruhan lembaga pendidikan tersebut hanya mampu mencetak 1.300 Perwira kapal Niaga. Kementerian perhubungan memiliki pusat pendidikan dan latihan, yang sesungguhnya badan ini menyiapkan tenaga atau awak kapal bagi pelayaran niaga. Namun demikian badan ini tidak mampu menyiapkan tenaga yang diharapkan untuk memenuhi permintaan internasional. Sampai tahun 2010 badan ini hanya menghasilkan pendidikan pembentukan sebanyak 1.228 orang, pendidikan penjejangan sebanyak 13.962 orang sedang pelatihan ketrampilan khusus pelaut hanya berjumlah 115.030 orang. Dengan demikian kegiatan pendidikan dan pelatihan awak kapal sangat rendah produknya setiap tahun, padahal permintaan pasar dunia sangat besar. Ditambah lagi, daya saing sumberdaya manusia pelayaran Indonesia, baik pelaut maupun SDM di industri pelayaran, relatif masih dibawah beberapa negara lain. Data yang diperoleh dari Organisasi Pelaut/Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), ternyata jumlah pelaut untuk dalam negeri pun belum terpenuhi. Secara rinci perkiraan ketersediaan jumlah pelaut dan kebutuhan sampai dengan 2015 disajikan pada tabel berikut. Tabel 3.3. Perkiraan ketersediaan dan kebutuhan Pelaut dalam pelayaran Domestik Indonesia sampai dengan 2015 (orang) Jabatan
Ketersediaan
Kebutuhan
Selisih
Perwira
7.200
19.500
(-) 12.300
Bawahan
10.300
25.200
(-) 14.900
Total
17.500
44.700
(-) 27.200
Sumber: Kesatuan Pelaut Indonesia, 2010
23
Kementerian Kelautan dan Perikanan juga memiliki Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Perikanan Tangkap, serta sekolah-sekolah kejuruan perikanan di Indonesia, menyelenggarakan pendidikan profesi bersertifikat Nasional dan Internasional, sampai tahun 2011 telah meluluskan sebanyak 7.696 orang. Data rinci lulusan sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 3.4, rata-rata lulusannya 1.283 orang per tahun. Terdiri dari tingkat sarjana 317 lulusan, program D3 sebanyak 83 lulusan, sedang tingkat sekolah menengah 780 lulusan, dan hasil pendidikan pelatihan 380 lulusan. Tabel 3.4. Jumlah Lulusan Pendidikan Kedinasan Kementerian KKP selama 6 Terakhir No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Satuan pendidikan
Sekolah Tinggi Perikanan Akademi Perikanan Sidoarjo Akademi Perikanan Bitung Akademi Perikanan Sorong SUPM N. Ladong SUPM N. Pariaman SUPM N. KotaAgung SUPM N. Tegal SUPM N. Pontianak SUPM N. Bone SUPM N. Waiheru SUPM N. Sorong SUPM N. Kupang SUPM N. Dumai SUPM N. Muh. Tuban Jumlah
Tahun Lulus
Jumlah
2006
2007
2008
2009
2010
2011
296
309
335
304
327
331
1902
106
78
100
100
99
97
580
66
59
97
86
55
90
453
48 42 78 85 131 82 84 80 84
78 29 80 71 114 52 113 67 74
81 24 96 71 118 76 113 96 83
84 107 80 72 136 94 110 104 92
75 113 90 78 131 85 78 69 84
77 66 81 72 129 79 82 74 86 44 69 70
443 381 505 449 759 468 580 490 503 44 69 70
1.182 1.124
1.290 1.369 1.284 1.147 7.696
Sumber. Badan Pengembangan SDM Kementerian KP, 2011
Untuk menghasilkan awak kapal perikanan yang berkualitas seperti yang dituntut oleh Konvensi Internasional mengenai STCW-F 1995, maka penyelenggaraan pendidikan
24
dan pelatihan awak kapal perikanan harus memenuhi standar yang ditentukan. Kuantitas SDM perikanan memang dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun dari sisi kualitasnya, SDM perikanan hingga kini masih tetap memprihatinkan. Sebagai gambaran pada tahun 2011 jumlah nelayan perikanan laut di Indonesia tercatat sebanyak 2.237.640 orang, sedangkan jumlah pembudidaya ikan (marikultur dan tambak) sebanyak 1.051.326 orang. Dari jumlah yang besar tersebut ternyata sebagian besar (sekitar 60%) tingkat pendidikannya hanya tamat SD. Disamping itu juga, mereka umumnya tidak memiliki skill atau ketrampilan dengan kualifikasi tertentu. Hal ini jelas menggambarkan bahwa kualitas SDM perikanan Indonesia masih terbatas tingkat profesionalitasnya, sehingga jumlah SDM yang besar tersebut masih menjadi salah satu kendala dalam mengembangkan dan mengoptimalkan sektor perikanan. Akibat lain dari rendahnya kualitas SDM perikanan ini menyebabkan kegiatan usaha perikanan di Indonesia sebagian besar belum efisien dan profesional, sehingga baik langsung maupun tidak langsung hal tersebut akan memberikan dampak terhadap, daya saing produk yang dihasilkan.
2) Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance) Bidang kelautan saat ini dilihat dari perspektif tata kelola dan politik sudah menunjukkan komitmen pada tataran perundangan yang cukup kuat, hal ini terbukti dengan lahirnya beberapa Undang-Undang (UU) yang mendukung bidang kelautan, diantaranya adalah UU No.1/1973 tentang Landas Kontinen, UU No.5/1983 tentang ZEEI, UU No.17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU No.31/2004 jo UU No.45/2009 tentang Perikanan, UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No.17/2008 tentang Pelayaran. Namun demikian, Implementasi UU tersebut masih dilakukan secara terkotak-kotak atau fragmented, sehingga pengembangan bidang kelautan berjalan secara sektoral, bahkan tidak sedikit terjadi perebutan kewenangan dan tumpang tindih dalam program pembangunannya. Kemudian, kemauan politik (political will) pada tataran kebijakan nasional juga relatif belum kuat, terutama agar pembangunan kelautan dapat terencana dan berjalan secara sinergis dan terpadu. Hal ini dapat dilihat dari sulitnya merealisasikan peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang dapat mengatur pelaksanaannya agar berjalan lebih efektif, efisien, dan terpadu. Semua institusi negara yang berkepentingan dengan laut umumnya membuat kebijakan lebih bersifat sektoral. Belum ada suatu mekanisme atau aransemen kelembagaan yang mampu mensinergikan dan memadukan peningkatan keamanan di laut. Akibatnya, tidak sedikit terjadi
25
perbedaan penafsiran tentang pengelolaan dan kewenangan di wilayah laut yang berdampak seringkali menimbulkan konflik kepentingan ketimbang solusi integral. Terdapat sekurang-kurangnya 14 instansi negara yang berkaitan dengan pembangunan di bidang kelautan, yaitu: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi Sumberdaya Mineral, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tabel 3.5. Institusi Negara yang Berkaitan dengan Pembangunan Bidang Kelautan No.
Institusi Negara
Kewenangan/Tanggungjawab
Cakupan Teritorial Laut
1
Kementerian Dalam Negeri
• Implementasi otonomi daerah di wilayah laut • Penataan aransemen kelembagaan otda di daerah • Penataan ulang masalah perbatasan daerah di wilayah laut
Kabupaten/Kota yang memiliki wilayah laut, Provinsi yang memiliki wilayah laut
2
Kementerian Luar Negeri
• Wilayah perbatasan NKRI • Ratifikasi hukum-hukum laut internasional • Jalur pelayaran internasional • Perbatasan dengan negara tetangga
Laut territorial, Perairan ZEEI, Alur laut kepulauan Indonesia (ALKI)
3
Kementerian Pertahanan
Kebijakan pertahanan di wilayah laut
Seluruh wilayah laut
4
Kementerian Keuangan
Perumusan kebijakan pembiayaan pembangunan kelautan
Seluruh wilayah laut
5
Kementerian Perhubungan
• Transportasi Laut • Kepelabuhanan Syahbandar
Seluruh wilayah laut dan sungai
6
Kementerian Energi • Pertambangan Minyak dan dan Sumberdaya Gas lepas pantai Mineral • Pertambangan Mineral dan golongan C di pantai dan lepas pantai
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,Perairan lepas pantai
7
Kementerian Hukum • Penyusunan dan penataan dan Hak Asasi hukum-hukum kelautan Manusia • Penyidikan, penyelidikan hukum di laut
Laut territorial, Perairan ZEEI
26
No.
Institusi Negara
Cakupan Teritorial Laut
Kewenangan/Tanggungjawab
8
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
• Pengembangan Sumber Daya Kabupaten/Kota yg Manusia (SDM) di Bidang Kelautan memiliki wilayah • Budaya Bahari laut, Provinsi yang memiliki wilayah laut
9
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Wisata Bahari (diving, snorkeling, atraksi laut, surfing, dll)
Perairan pesisir dan pulau-pulau kecil
10
Kementerian Kelautan dan Perikanan
• Perikanan tangkap • Perikanan budidaya (laut dan darat) • Aransemen kelembagaan perikanan (hukum-hukum perikanan nasional) • Pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil
Perairan pantai, Perairan lepas pantai,Perairan ZEEI,Perairan terrestrial/tawar
11
Kementerian Negara Perencanaan pembangunan nasional Seluruh wilayah Perencanaan lintas sektoral, maupun institusi Negara Pembangunan negara Nasional / Bappenas
12
Kementerian Negara • AMDAL pesisir dan pulau-pulau Lingkungan Hidup kecil • Perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan pesisir, laut dan pulau kecil
Perairan pesisir termasuk muara sungai,Perairan laut nasional
13
Tentara Nasional Angkatan Laut
Seluruh perairan Indonesia, termasuk ZEEI
14
Kepolisian Negara Penyidik, penyelidikan, keamanan Republik Indonesia di laut (Polair)
• Pengamanan wilayah laut dan wilayah perbatasan NKRI • Patrol dan Penegakkan hukum di laut
Perairan pantai
Sumber: Kusumastanto, 2003 yang telah disesuaikan
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tanggung jawab/ kewenangan di bidang kelautan melibatkan berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak mungkin pembangunan bidang kelautan hanya akan dapat dilakukan oleh sebuah institusi negara saja yang kewenangannya terbatas atau derajat institusionalnya sejajar dengan lembaga negara yang lainnya. Pembangunan bidang kelautan dapat maju dan berkembang pesat, apabila dilaksanakan secara bersama dan terpadu yang dilandasi oleh persepsi dan pemahaman yang sama tentang kepentingan nasional.
27
Koordinasi antar sektor secara konsep dan teori terlihat mudah untuk dilaksanakan, seperti dibentuknya Menteri Koordinator (Menko) yang berfungsi untuk mengkoordinir antara sektor terkait tersebut. Namun, pada prakteknya dalam mengkoordinasikan satu masalah penting untuk diputuskan secara bersama dalam rangka mendorong pembangunan kelautan, masih sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh praktik sistem politik pemerintahan dalam Kabinet Presidentil kurang memberikan peluang adanya sistem koordinasi yang efektif dan sulit menghasilkan produk hukum bersama antar Menteri. Dalam pandangan hukum, Menko dan Menteri memiliki kedudukan yang relatif sama, tidak merupakan superior dan inferior, kewenangan memerintah Menteri hanya ada pada Presiden. Disamping itu, sistem perundangan yang bersifat pengaturan pelaksanaan pembangunan di Indonesia masih menganut azas sektoral. Artinya suatu produk UU pada umumnya hanya mengatur suatu sektor tertentu saja, kemudian dijabarkan oleh PP, Perpres dan Permen yang sifatnya juga sektoral. Suatu masalah yang memerlukan konsolidasi kewenangan antar Lembaga setingkat kementerian, seharusnya dapat diatur dalam PP, Perpres atau SKB Menteri, namun pada prakteknya hal tersebut sulit untuk dilaksanakan, karena masih sangat menonjolnya sifat ego sektoral dari setiap lembaga atau institusi kementerian. Tata kelola kelautan adalah sebuah proses interaksi antara sektor publik dan sektor privat yang dilakukan untuk memecahkan persoalan kelautan dan menciptakan kesempatan sosial-ekonomi di bidang kelautan, seperti peningkatan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, pelestarian sumberdaya dan lain sebagainya. Konsepsi ini menunjukkan bahwa tata kelola memiliki spektrum yang lebih luas di mana persoalan kelautan merupakan persoalan publik yang harus diselesaikan melalui interaksi komprehensif antara sektor publik dan privat, dimana sektor publik biasanya menjadi domain pemerintah, sedangkan sektor privat menjadi domain pelaku pemanfaatan sumberdaya kelautan. Secara umum dapat dinyatakan tata kelola bidang kelautan saat ini belum berjalan baik, terintegrasi, efektif, dan efisien. Uraian ringkas dibawah ini mengemukakan kondisi tata kelola kelautan saat ini diltinjau dari setiap bidangnya: a)
Tata Kelola di Bidang Budaya Kelautan Kebudayaan merupakan ciri kehidupan masyarakat dari suatu bangsa yang dibentuk oleh sejarah dan terus berlangsung dalam waktu yang lama. Secara umum nilai-nilai budaya kelautan sangat langka ditanamkan kepada masyarakat, baik melalui sistem pendidikan maupun kegiatan kemasyarakatan. Dengan latar belakang sejarah bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim, dimana pelaut memiliki jiwa: pemberani, egaliter (tidak bersifat “monarchy”), dan toleransi/
28
kerjasama yang tinggi, seharusnya terpatri pada karakter pemimpin bangsa dan sekaligus dijadikan sebagai jati diri bangsa. Saat ini cerminan budaya bahari di masyarakat Indonesia telah berkurang. Nilai dan perilaku bangsa, terutama generasi muda saat ini sudah tidak berjiwa bahari. Padahal kondisi obyektif bangsa Indonesia adalah Negara kepulauan, sehingga sudah sepatutnya menanamkan jiwa bahari pada setiap generasi bangsa agar tujuan pembangunan nasional cepat terwujud dan NKRI tetap hidup ditengah bangsa-bangsa lain di dunia. Kemudian, tata kelola SDM kelautan di Indonesia juga belum baik, hal ini disebabkan belum adanya koordinasi antar instansi yang terkait masalah SDM kelautan. Selain itu, saat ini belum tercipta grand design untuk dapat menghasilkan SDM kelautan yang berkualitas dan berkompetensi. Muatan kurikulum pendidikan nasional, baik pada pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi, yang terkait dengan bidang kelautan juga masih minim. Kebijakan pendidikan nasional masih disusun oleh unit kerja terkecil secara fragmented, tanpa lintas fungsi. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kelautan yang menjadi salah satu faktor penentu bagi keberhasilan pembangunan kelautan nasional juga belum dikuasai dengan baik. Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini keterbatasan IPTEK kelautan merupakan kendala dalam pengelolaan sumberdaya kelautan secara optimal. Permasalahan dalam pengembangan IPTEK kelautan, antara lain: berkaitan dengan keterbatasan alokasi dana, tenaga ahli, teknologi, dan sistem pendidikan yang belum berpihak kepada IPTEK Kelautan. Tambahan pula, berbagai hasil riset kelautan dari pelbagai badan penelitian dan pengembangan suatu kementerian maupun universitas, dalam kenyataan hanya disimpan pada instansi yang melakukannya. Sesungguhnya, hasil kajian dari berbagai kementerian maupun universitas-universitas harus ada bank data dalam suatu badan/lembaga, agar informasi ilmiah tidak membuat kebingungan bagi para penguna data tersebut. Disamping itu, data hasil riset seharusnya “link” dengan dunia industri. Dengan demikian, secara umum kondisi tata kelola budaya kelautan saat ini belum berjalan baik, sehingga perlu diatur dan dikelola lebih baik lagi, agar pembangunan kelautan nasional dapat berjalan secara maksimal. b)
Tata Kelola di Bidang Pemerintahan Bidang kelautan adalah wilayah kerja yang sangat luas, berbagai kementerian maupun swasta terlibat dalam memanfaatkan laut, baik mengestraksi sumberdaya alam laut maupun laut sebagai media penghubung. Sampai saat ini, hubungan
29
antar lembaga di pusat dalam menata bidang kelautan belum berjalan harmonis dan sinergis, malah masih kental dengan kepentingan ego sektoralnya. Masingmasing lembaga masih mengutamakan kepentingan lembaga mereka sendiri. Hal ini, menyebabkan pengelolaan dan pemanfaatan laut hingga sekarang belum terpadu dan terintegrasi. Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah pun juga tidak sedikit yang mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di periaran laut, baik antar wilayah, antara pusat dan daerah, serta antar pengguna. Masih sering terjadi ketidakpaduan antara regulasi daerah dengan regulasi pemerintah pusat, yang juga menjadi salah satu penghambat berkembangnya bidang kelautan nasional. Sebagai salah satu contoh yang terkini (2012) adalah terhalangnya kapal tongkang pengangkut batubara untuk merapat ke dermaga khusus pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) oleh ribuan pelampung keramba budidaya di Bolok-Kupang, NTT. c)
Tata Kelola di Bidang Keselamatan, Keamanan dan Penegakkan Hukum di Laut Saat ini pelayaran sebagai salah satu transportasi masal yang umum digunakan masyarakat Indonesia, banyak diselenggarakan oleh pihak swasta. Namun sayangnya, keselamatan pelayaran terkadang menjadi hal yang dianggap tidak penting oleh operator kapal, terutama pada pelayaran rakyat serta pelayaran antar pulau dengan jarak yang dekat. Sarana penting lainnya dalam sistem keselamatan pelayaran adalah ketersediaan stasiun radio pantai (SROP). Saat ini jumlah SROP mengalami penurunan jumlah yang cukup signifikan, yakni dari 222 unit pada tahun 2007 menjadi 155 unit pada tahun 2011. Padahal kebutuhan ideal adalah sebesar 302 unit, yang terdiri dari 84 unit SROP dengan GMDSS dan 218 unit SROP dengan mobile device. (Kementerian Perhubungan, 2012). Selanjutnya, kemampuan arrmada TNI angkatan laut Indonesia juga masih jauh dari harapan untuk dapat menjadi armada angkatan laut yang kuat dan tangguh. Saat ini kapal perang yang dimiliki angkatan laut tidak sebanding dengan luasnya wilayah lautan yang harus dijaga. Belum lagi kapal-kapal perang yang dimiliki Indonesia rata-rata berumur diatas 50 tahun dan merupakan kapal perang bekas Uni Soviet di era perang dingin. Demikian halnya juga dengan kapal selam, yang jumlahnya kini tinggal 2 unit kapal selam, jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Malaysia yang memiliki wilayah lautan yang lebih sempit dari wilayah Indonesia.
30
Kemudian kekuatan armada polisi air juga sangat terbatas, bahkan biaya operasionalnya pun juga relatif terbatas. Bagaimana mungkin keamanan dan keselamatan di laut yang wilayah jangkauannya luas bisa tercapai berhasil baik. Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas, yaitu Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan Laut Cina Selatan menjadi jalur pelayaran yang sangat penting bagi jalur perdagangan dan pelayaran dunia. ALKI yang menjadi jalur pelayaran bagi perekonomian dunia menjadikannya rentan terhadap kriminalitas yang terjadi di laut. Selat Malaka menjadi jalur yang berbahaya bagi setiap kapal niaga yang melewatinya. Hingga saat ini banyak terjadi kriminalitas yang dilakukan perompak terhadap kapal-kapal dagang dan kapal yang bermuatan ekonomis lainnya. Meskipun telah dilaksanakan kerjasama antar angkatan laut Indonesia dengan angkatan laut negara lain, akan tetapi kasus perompakan masih sering terjadi. Hal ini dikarenakan luasnya lautan serta minimnya kapal patroli untuk menumpas para perompak. Perdagangan manusia (human trafficking) juga masih menjadi permasalahan, perdagangan manusia lebih banyak dipekerjakan pada sektor informal seperti di tempat hiburan. Hal ini tentunya dapat menurunkan martabat bangsa Indonesia. Umumnya perdagangan manusia dilakukan melalui laut, karena dianggap laut lemah dalam hal pengawasan dari aparat keamanan. Selain perdagangan manusia (human trafficking), narkoba juga masih menjadi pekerjaan bagi aparat keamanan untuk dapat diatasi. Umumnya peredaran narkoba juga melewati perairan laut. Tata kelola dibidang keselamatan, keamanan dan penegakkan hukum di laut, dapat dikatakan belum berjalan efektif dan sinergis, padahal potensi dan kejadian kasus kriminal dan transaksi ilegal yang terjadi di wilayah yurisdiksi perairan laut Indonesia cukup besar. Untuk itu, tata kelola di bidang keselamatan, keamanan dan penegakkan hukum di laut perlu dibenahi secepat mungkin, agar wilayah laut kita aman dari segala kondisi berbahaya. d)
Tata Kelola di Bidang Ekonomi Kelautan Sektor pembangunan sebagai pemasok ekonomi negara bersumber dari laut, yaitu perikanan, pelayaran, energi dan mineral laut, wisata bahari, industri maritim, bangunan kelautan, dan jasa kelautan. Agar setiap sektor tersebut dapat berkembang dibutuhkan adanya dukungan yang kondusif dari berbagai sektor lainnya, seperti: perbankan, infrastruktur, sistem logistik dan perdagangan dan lain-lain. Namun, dalam kenyataan hingga saat ini masih belum terwujud suatu sistem tata kelola ekonomi kelautan yang mampu memadu-serasikan lintas sektor secara memadai. Hal ini salah satunya, diakibatkan dari tiadanya kesamaan
31
wawasan kelautan dalam pencabaran visi dan misi pembangunan nasional sebagaimana yang dirumuskan dalam RPJP Nasional 2025. Umumnya sektor-sektor yang diuraikan diatas, tata kelolanya sampai saat ini masih belum berjalan sinergi dan optimal, sehingga diperlukan penataan dan regulasi, agar semua kegiatan pembangunannya dapat terintegrasi, terpadu, dan sesuai dengan visi dan misi pembangunan nasional dalam RPJP Nasional 2025, serta harmoni dengan pembangunan yang ada di daratan. e)
Tata Kelola di Bidang Lingkungan Laut Ekosistem laut dan pesisir sering menerima ancaman pencemaran dan perusakan lingkungan, baik dari daratan maupun di laut, seperti tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal tanker maupun air ballast. Ancaman ini berpengaruh besar terhadap kehidupan hayati di laut. Belakangan ini tiga habitat pantai (terumbu karang, padang lamun dan bakau) telah terjadi kerusakan berat akibat aktifitas di pesisir pantai. Sisi lain, wilayah Indonesia rawan bencana sebagai akibat gerakan lempengan Eurasia dan Australia yang bergerak terus mengakibatkan wilayah pantai rentan dengan kerusakan, ditambah lagi oleh adanya gelombang dan arus dibawah permukaan mengakibatkan pengikisan pantai, sehingga mengancam ekosistem pesisir. Selain pertimbangan tersebut, ekosistem laut dan pantai memiliki kemampuan sebagai pengendali efek rumahkaca (adanya kandungan karbon dioksida), sehingga kedua ekosistem itu perlu dijaga dan dikontrol. Ancaman lingkungan yang diuraikan diatas sampai saat ini belum diatur tata kelolanya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan belum tertatanya pembangunan wilayah pesisir dengan baik, bahkan hampir sebagian besar kota dan desa di wilayah pesisir Indonesia masih terkesan kumuh, kotor, dan rentan terhadap pencemaran dan bencana alam.
3)
Keamanan Laut (Maritime Security) Sebagai negara kepulauan terbesar didunia dengan 2/3 wilayahnya merupakan laut, sudah pasti laut memiliki arti penting bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Minimal terdapat 4 (empat) faktor penting yaitu: a.
Laut sebagai sarana pemersatu wilayah NKRI
b.
Laut sebagai sarana transportasi dan komunikasi
c.
Laut sebagai sumberdaya alam untuk pembangunan ekonomi
d.
Laut sebagai medium pertahanan (untuk proyeksi kekuatan)
32
Oleh karena itu, Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar dalam hal keamanan maritim yang tujuannya harus diarahkan untuk mencapai dan menciptakan kondisi yang aman dari ancaman pelanggaran wilayah dari pihak luar, aman dari bahaya navigasi pelayaran, aman dari eksploitasi illegal sumber daya alam serta pencemaran lingkungan dan aman dari tindakan pelanggaran hukum. Dari sudut pandang ekonomi, terdapat beberapa fakta empiris yang menjadi perhatian khusus berkaitan dengan keamanan di laut, yaitu: a)
Alur pelayaran transit Selat Malaka dewasa ini dilewati oleh 60.000 kapal berbagai jenis per tahun, merupakan 1/3 volume perdagangan dunia dengan jumlah $ 390 milyar.
b)
Selat Lombok dilewati 3.900 kapal/tahun dengan nilai $ 40 milyar.
c)
Selat Sunda, 3.500 kapal/tahun dengan nilai $ 5 milyar.
d)
Jika seandainya ketiga selat ini ditutup, kerugian akibat pengalihan rute akan mencapai $ 8 milyar per tahun.
e)
Tahun 2015 ekonomi China, India, dan Jepang akan sebesar 2(dua) kali AS dan 4 (empat) kali Eropa ($ 19.8 triliun : $ 14 triliun : dan $ 11.6 triliun).
Kemudian, wilayah laut NKRI berbatasan dengan 10 negara tetangga (India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, Filipina, Palau, Papua New Guinia, Australia dan Timor Leste). Hal ini tentu membawa sebuah konsekuensi bahwa laut menjadi kawasan perbatasan atau tapal batas dengan beberapa negara tetangga tersebut. Disamping itu, sesuai konvensi internasional, wilayah Indonesia pada alur pelayaran tertentu dapat dilewati oleh kapal asing yang dikenal sebagai Alur Kepulauan Laut Indonesia (ALKI) seperti ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 3.1 ALKI di Wilayah Perairan Indonesia
33
Dalam peta perdagangan dunia, wilayah Indonesia menyediakan jalur perdagangan terdekat melalui chokepoints yang menghubungkan antara negara-negara di belahan bumi Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Lima dari enam chokepoint vital dalam perdagangan dunia di kawasan Asia Pasifik berada di Indonesia (Tabel 3.5). Dalam teori strategi maritim, blokade Angkatan Laut dapat berbentuk distant blockade, bisa pula berupa close blockade. Dewasa ini, isu blokade masih tetap dikhawatirkan oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan jauh dari wilayah nasionalnya. Tabel 3.5 World Vital Chokepoint Eastern Mediterranian And Persian Gulf
Eastern Pacific
Europe
Bosporus
Malacca Strait* Great Belt
Dardanelles
Sunda Strait*
Suez Canal
Lombok Strait* Dover Strait
Strait of Hormuz Luzon Strait Bab el-Mandab
Africa
The Americas
Mozambique Panama Channel Canal
Kiel Canal Gibraltar Strait
Singapore Strait* Makassar Strait*
Cabot Strait Florida Strait Yucatan Channel Windward Passage Mona Passage
*) Chokepoint yang terdapat di wilayah perairan Indonesia
Wilayah perairan Indonesia juga berfungsi sebagai life line pelayaran baik nasional maupun internasional, yang tunduk pada berbagai pengaturan internasional khususnya yang berkaitan dengan teknis pelayaran dan perlindungan lingkungan yang menjadi mandat dari International Maritime Organization (IMO), antara lain Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) 1973 beserta Protokolnya, Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974 beserta Amandemennya, Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA) 1973 dan International Convention on Maritime Search and Rescue (SAR Convention) 1998. Dalam waktu akhir-akhir ini, penciptaan keamanan di laut menjadi kian rumit dengan maraknya berbagai kejahatan, seperti perompakan di laut (sea piracy), perompakan bersenjata (armed robbery), dan terorisme (maritime terrorism), serta kejahatan lintas negara atau transnational organised crime (TOC). Hampir seluruh kejahatan yang
34
termasuk kategori TOC dapat dilakukan di laut atau menggunakan laut sebagai medianya seperti pencurian ikan (illegal fishing), pencurian kayu (illegal logging), peredaran obat terlarang (illicit drug trafficking) penyelundupan/perdagangan manusia (trafficking in person) dan penyelundupan senjata (arm smuggling). Wilayah-wilayah yang terbuka, terlebih yang berhimpitan dengan choke points dan ALKI ini sangat mudah menjadi sasaran. Bahkan lebih buruk lagi bisa terjadi benturan antara freedom of navigation dan isu kedaulatan di daerah-daerah yang berhimpitan atau menjadi choke points dan ALKI tersebut. Dalam perspektif defence proper, keberadaan ALKI berarti pembagian Indonesia kedalam beberapa kompartemen strategis yang sangat potensial rawan terhadap berbagai ancaman, yang bersumber pada masalah (a) Sea Lines of Communication (SLOC) dan Sea Line of Oil Trade (SLOT), (b) klaim pemilikan pulau-pulau terluar Indonesia, sesuai data ada 92 pulau-pulau kecil dan sekaligus menjadi titik terluar wilayah RI, dimana 12 pulau diantaranya diperkirakan dapat menjadi sumber konflik dengan negara tetangga, dan (c) kehadiran kekuatan Angkatan Laut Asing di Perairan Indonesia, khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapura. Hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan pada beberapa persoalan besar di laut, yakni: a)
Masalah perbatasan laut dengan 10 (sepuluh) Negara tetangga yang belum ada kesepakatan batas-batas yang jelas, bahkan berpotensi menimbulkan konflik antar Negara.
b)
Belum mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengontrol seluruh perairan guna menanggulangi kejahatan transnasional seperti terorisme, perompakan, penyelundupan senjata api, penjualan manusia (human trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), penyelundupan narkotika dan obat terlarang, illegal fishing, illegal logging, penyelundupan elektronik, penyelundupan bahan bakar minyak, penyelundupan otomotif dan sebagainya.
c)
Mengamankan 3 buah ALKI (ALKI Barat, ALKI Tengah dan ALKI Timur) dari kemungkinan penyalahgunaan hukum laut internasional yang dapat merugikan Indonesia.
d)
Bertanggung jawab dalam upaya keamanan nasional-regional (Asia Tenggara)
e)
Terdapat 15 instansi pemerintah yang terkait dalam penegakkan hukum, keamanan dan keselamatan di laut, namun berjalan secara sinergis dan terpadu.
Berdasarkan keberadaan satuan tugas patroli laut yang dimiliki, maka terdapat dua kategori instansi yang terkait dalam penegakkan hukum, keamanan dan keselamatan di laut, yaitu: instansi yang memiliki satuan tugas patroli di laut dan instansi tanpa satuan tugas patroli di laut, seperti disajikan pada tabel berikut
35
Tabel 3.6. Satuan Tugas Patroli Laut berdasarkan Instansi Tahun 2011 Instansi Terkait dengan Satgas Patroli Laut
Instansi Terkait tanpa Satgas Patroli Laut
1. Kementerian Keuangan - Ditjen Bea dan Cukai
1. Kementerian Lingkungan Hidup 2. Kementerian Pertanian
2. Kementerian Perhubungan - Ditjen Perhubungan Laut (KPLP)
3. Kementerian Kehutanan 4. Kementerian Kesehatan
3. Kementerian Hukum dan HAM - Ditjen Imigrasi 4. Kementerian Kelautan dan Perikanan - Ditjen Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan 5. Tentara Nasional Indonesia (TNI) - TNI Angkatan Laut 6. Kepolisian Negara Republik Indonesia - Direktorat Polisi Perairan 7. Badan Koordinasi Keamanan Laut 8. Badan SAR Nasional
5. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 6. Kejaksaan Agung 7. Mahkamah Agung
Kondisi saat ini, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh instansi terkait bidang keamanan laut antar instansi yang satu dengan yang lain sangat berbeda baik mengenai jumlah maupun kualitas, dan secara umum sarana prasarana tersebut belum memadai jika dibandingkan dengan wilayah perairan yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Berikut ini adalah gambaran umum sarana dan prasarana yang dimiliki oleh instansi yang terkait dengan bidang keamanan laut, sebagai berikut: a)
Sarana dan prasarana yang dimiliki TNI AL terkait upaya penegakkan keamanan di laut berupa beberapa jenis kapal yang usianya telah lebih dari 20 tahun dan hanya 46% yang memiliki kondisi teknis siap operasi. Jumlah kapal yang dimiliki oleh TNI AL sebanyak 147 unit, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.7. Jumlah Kapal Milik TNI AL Tahun 2011
No.
Jenis Kapal
Jumlah
1
Kapal Markas (MA)
1 unit
2
Kapal Perusak Kawal (PK)
15 unit
3
Kapal Perusak Kawal Rudal (PKR)
14 unit
36
No.
Jenis Kapal
Jumlah
4
Kapal Selam (KS)
2 unit
5
Kapal Cepat Rudal (KCR)
4 unit
6
Kapal Cepat Torpedo (KCT)
2 unit
7
Kapal Patroli Cepat (PC)
46 unit
8
Kapal Penyapu Ranjau (PR)
4 unit
9
Kapal Buru Ranjau (BR)
2 unit
10
Kapal Angkut Tank (AT)
28 unit
11
Kapal Angkut Serba Guna (ASG),
2 unit
12
Kapal Tanker (BCM)
5 unit
13
Kapal Tunda Samudra (BTD)
1 unit
14
Kapal Hidro-Oceanografi (BHO)
5 unit
15
Kapal Bantu Umum (BU)
3 unit
16
Kapal Bantu Angkut Personel (BAP)
3 unit
17
Cepat Angkut Pasukan (CAP)
3 unit
18
Kapal Latih (LAT)
2 unit
19
Kapal Bantu Rumah Sakit (BRS)
1 unit
20
landing Platform Dock (LPD)
4 unit
21
Pesawat NOMAD N-22/24
19 unit
TOTAL
b)
166 Unit
Sarana dan prasarana yang dimiliki Direktorat Polisi Perairan terkait upaya penegakkan keamanan di laut berupa kapal yang terdiri dari berbagai jenis sebanyak 120 unit. Tabel berikut ini menunjukan jenis dan jumlah kapal yang dimiliki Ditpolair Baharkam Polri.
37
Tabel 3.8. Jumlah Kapal Milik Kepolisian Negara RI Tahun 2011 NO
JENIS KAPAL
JUMLAH
1.
Kapal Kelas A2
2
2.
Kapal Kelas A3
9
3.
Kapal Kelas B2
18
4.
Kapal Kelas B3
14
5.
Kapal Kelas C1
10
6.
Kapal Kelas C2
4
7.
Jet Sky
2
8.
Perahu Karet
61
TOTAL
120
Sumber : Ditpolair Baharkam Polri, 2011
c)
Hingga tahun 2011, sarana dan prasarana yang dimiliki Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan dalam proses penegakkan keamanan di laut berupa kapal patrol sebanyak 43 unit, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 3.9. Jumlah Kapal Ditjen Bea dan Cukai Tahun 2011
No
d)
Jenis Kapal
Jumlah
1
Kapal Patroli berukuran 28-38 meter
33 unit
2
Kapal Patroli berukuran 16 meter
10 unit
TOTAL
43 unit
Sarana dan Prasarana yang dimiliki Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) - Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan untuk penegakkan keamanan di laut berupa kapal patroli sebanyak 457 unit dengan rincian sebagai berikut:
38
Tabel 3.10. Jumlah Kapal Patroli KPLP Tahun 2011
No
e)
Jenis Kapal
Jumlah
1
Kapal Patroli ADPEL
236 unit
2
Kapal Patroli KANPEL
221 unit
TOTAL
457 unit
Sarana dan prasarana yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk penegakkan hukum dan keamanan di laut berupa kapal pengawas sebanyak 25 unit kapal dengan rincian sebagai berikut : Tabel 3.11.
No
Kapal Pengawas Surveillance Vessel
Jumlah
1
KP. Barracuda
2 unit
2
KP. Hiu
10 unit
3
KP. Hiu Macan
6 unit
4
KP. Todak
2 unit
5
KP. Takalamongan
1 unit
6
KP. Padaido
1 unit
7
KP. Catamaran
1 unit
8
KP. Hiu Macan Tutul
1 unit
9
KP. Akar Bahar
1 unit
Jumlah
25 unit
Kapal Pengawas milik Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011 f)
Sarana dan Prasarana yang dimiliki Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berupa kapal patroli sebanyak 3 unit dengan rincian sebagai berikut :
39
Tabel 3.12. Jumlah Kapal Patroli Direktorat Imigrasi Tahun 2011
No
g)
Kantor Imigrasi
Jumlah Kapal
1
Kantor Imigrasi Batam
1 unit
2
Kantor Imigrasi Dumai
1 unit
3
Kantor Imigrasi Nunukan
1 unit
TOTAL
3 unit
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Badan Search And Research Nasional BASARNAS terkait dengan upaya keselamatan di laut sebanyak 75 unit, yang terdiri dari rescue boat dan rigid inflatable boat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3.13. Jumlah Kapal Milik BASARNAS Tahun 2011
No
Kantor SAR
Rescue Boat
Rigid Inflatable Boat
1.
Medan I
1
2
2.
Jakarta II
1
1
3.
Surabaya III
1
1
4.
Denpasar IV
1
2
5.
Makassar V
2
2
6.
Biak IV
1
1
7.
Banda Aceh VII
1
3
8.
Padang VIII
1
1
9.
Pekanbaru IX
2
2
10.
Tj. Pinang X
1
2
11.
Palembang XI
2
3
12.
Semarang XII
2
2
40
No
Kantor SAR
Rigid Inflatable Boat
13.
Mataram XIII
1
1
14.
Kupang XIV
1
2
15.
Pontianak XV
1
1
16.
Banjarmasin XVI
3
2
17.
Balikpapan XVII
1
2
18.
Kendari XVIII
1
3
19.
Manado XIX
2
4
20.
Ambon XX
2
2
21.
Sorong XXI
1
1
22.
Jayapura XXII
1
1
23.
Timika XXIII
1
1
24.
Merauke XXIV
1
1
32 Unit
43 Unit
TOTAL
h)
Rescue Boat
Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang memiliki fungsi sebagai koordinator terhadap 14 instansi yang memiliki kewenangan dalam proses penegakkan keamanan di laut, belum memiliki sarana dan prasarana berupa kapal ataupun sarana lainnya, namun saat ini BAKORKAMLA sedang membangun 1 unit kapal patroli dan direncanakan pada tahun 2012 akan mulai dioperasikan.
Jika membandingkan antara luas wilayah perairan RI dengan jumlah kapal yang menangani penegakkan hukum dan keamanan di laut, yaitu = Luas Wilayah (5.800.000 km2) : Jumlah kapal (870 unit) = 6.666 km2/kapal. Artinya rata-rata setiap 1 kapal patroli harus mengawasi luas wilayah perairan laut seluas 6.666 km2. Ditambah lagi dengan kesiapan pangkalan utama dan pangkalan aju yang masih jauh dari kebutuhan untuk mendukung operasi kapal. Melihat gambaran kasar tentang fakta ini, terlihat bahwa proses penegakkan keamanan di wilayah laut yurisdiksi NKRI masih menghadapi tantangan dan kendala yang cukup besar Kemudian, untuk membantu penegakkan keamanan di laut melalui dukungan udara dengan kekuatan alutsista TNI AU, juga tidak jauh berbeda dengan kekuatan di laut,
41
khususnya jumlah pesawat tempur TNI AU sangat terbatas, disamping kemampuan pangkalan dukungan operasional masih juga terbatas. Saat ini sarana dan prasarana yang dimiliki TNI AU untuk membantu menegakkan keamanan di laut, antara lain: 16 pesawat SU-27 sebanyak 1 squadron di tempatkan di pangkalan Makassar, 1 squadron F-16 di tempatkan di pangkalan utama madiun bersama sama dengan 1 squadron PSE (Tiger), 1 squadron Hawk di pangkalan Pekanbaru, dan 1 squadron Hawk di pangkalan Pontianak. Terlihat kekuatan TNI AU tersebut masih jauh dari kemampuan penguasaan kedaulatan udara. Namun, secara bertahap sedang diadakan penambahan jenis dan jumlah pesawat tempur, antara lain pesawat tempur baru jenis Stucano sebagai pengganti dari pesawat tempur ringgan jenis Ovi-10. Dengan keterbatasan jumlah dan kemampuan operasional dalam menjaga kedaulatan dan keamanan wilayah NKRI, sebenarnya masih dapat dibantu dan didukung kemampuan operasi dan jelajahnya dengan mengunakan sistem Monitoring, Controling, and Surveilance (MCS). Namun, kondisi sistem MCS saat ini masih berbatas pada satuan masing-masing dan belum diintegrasikan, karena masih membutuhkan penambahan peralatan yang canggih dan mahal. Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 pasal 9 b yang menyatakan bahwa TNI AL memiliki tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional maupun internasional. Kewenangan atas telah tertuang dalam UNCLOS 1982 dan beberapa perundangan nasional bahwa wilayah kewenangan tersebut berlaku tidak hanya di laut teritorial (12 mil), namun berlaku hingga perairan zona tambahan (24 mil), ZEE (200 mil) dan bahkan di laut lepas (>200 mil). Selain TNI AL Institusi penyelenggara penegakkan hukum dan keamanan laut diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla). Unsur-unsur yang dikoordinasikan dalam Bakorkamla adalah unsur-unsur dari badan/lembaga lain memiliki kewenangan penegakkan hukum di laut berdasarkan UU yang dimilikinya, yaitu: Kepabeanan, Keimigrasian, Pelayaran, Perikanan, Karantina, Lingkungan Hidup, dan Kepolisian, dan kewenangannya hanya mencakup batas wilayah teritorial (12 mil). Sifat koordinasi yang dilaksanakan oleh Bakorkamla sesuai dengan UU No. 6 Tahun 1996 pasal 23 dan Perpres No. 81 Tahun 2005, tetapi hingga saat ini sifat koordinasi dari Bakorkamla belum didukung sepenuhnya oleh unsur-unsur dari badan/lembaga lain yang memliki kewenangan penegakkan hukum di laut berdasarkan UU yang dimikinya. Badan/lembaga tersebut secara sendiri-sendiri melaksanakan operasi penegakkan hukum di laut, sehingga di lapangan terdapat berbagai-bagai satuan penegakkan hukum di luar Bakorkamla, sehingga operasi penegakkan hukum di laut belum dilaksanakan secara integratif dan terpadu dalam satu kesatuan dan satu
42
komando. Kondisi tersebut mengakibatkan tidak efektif dan tidak efisien, hal tersebut juga menimbulkan persaingan kewenangan atau kepentingan antar instansi, yang kesemuanya merugikan output pelaksanaan penegakkan hukum dan merugikan pengguna jasa kelautan serta kepentingan nasional umumnya. Penyelenggaraan operasi penegakkan hukum dan keamanan di laut, seperti tersebut di atas membawa akibat bahwa masing-masing badan/lembaga melaksanakan pelaporan deteksi, identifikasi dan penindakan (MCS) belum dapat berfungsi sebagai informasi Operasi Keamanan di Laut untuk Pusat Komando Pengendali Bakorkamla. Sehingga informasi keamanan secara umum atau khususnya penegakkan hukum dan keamanan di laut belum tergambar secara nasional.
4)
Ekonomi Kelautan (Ocean Economic) Dalam rangka mencermati pembangunan kelautan Indonesia, maka sepatutnya mengkaji kembali bagaimana posisi bidang ekonomi kelautannya yang terdiri beberapa sektor, yakni: perhubungan atau transportasi laut, industri maritim, perikanan, wisata bahari, energi dan sumberdaya mineral, bangunan kelautan, dan jasa kelautan, berperan di masa lalu dan bagaimana seharusnya bangsa Indonesia meletakkan dasar yang kuat bagi pembangunan negara kepulauan yang dapat memakmurkan rakyat nusantara (Kusumastanto, 2007). Secara empiris, pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir kurang mendapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai pinggiran (periphery) dalam pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir 70% wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar, sehingga sebagai negara yang merupakan “the largest archipelagic country in the world” (negara kepulauan terbesar didunia), ternyata memang belum memiliki keberpihakan politik maupun ekonomi dalam pembangunan ekonomi kelautan, sehingga sampai saat bidang kelautan tersebut belum memberikan sumbangsih optimal bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Bila dilihat dari kontribusi bidang kelautan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2005 sebenarnya sudah mengalami peningkatan walaupun belum optimal jika melihat membandingkannya dengan potensi yang ada. Pada tahun 2001 kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional sebesar 20,15 %, tahun 2002 sebesar 20,71%, tahun 2003 sebesar 20,77%, tahun 2004 sebesar 20,83%, dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 22,42%. Pada Tabel 3-3, dapat dilihat peningkatan persentase kontribusi bidang kelautan tersebut beserta masing-masing ketujuh sektor ekonominya.
43
Tabel 3.14. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Bidang Kelautan periode tahun 2001 - 2005 No.
Persentase ( %) Produk Domestik Bruto
Bidang Kelautan
2001
2002
2003
2004
2005
0,74
1,39
1,67
1,49
1,48
- Pengilangan Minyak Bumi
2,09
2
2,01
2,05
2.10
- LNG
1,2
1,11
1,13
1,12
1,14
- Industri maritim lainnya
0,51
0,7
0,71
0,51
0,53
3.
Perikanan
2,43
2,56
2,59
2,66
2,79
4.
Wisata Bahari
1,47
1,56
1,52
1,51
1,52
5.
Energi dan Sumberdaya Mineral
9,29
9,32
9,36
9,38
9,13
6.
Bangunan Kelautan
0,96
0,96
0,5
0,77
1,01
7.
Jasa Kelautan
1,46
1,2
1,28
1,34
1,32
20,15
20,71
20,77
20,83
22.42
1.
Perhubungan Laut
2.
Industri Maritim
Jumlah PDB Sektor Kelautan (5)
Sumber : data BPS diolah.
Nilai kontribusi ini tentu jauh belum optimal, bila membandingkannya dengan negaranegara lain yang memiliki laut lebih sempit dibanding Indonesia, misalnya saja Cina yang hanya memiliki luas laut kurang dari separuh Indonesia, bidang kelautannya memberikan kontribusi 48,40% terhadap PDB nasionalnya, Korea dengan luas laut yang jauh lebih kecil memberikan kontribusi 37%, dan Jepang yang juga lautnya lebih kecil dari Indonesia memberikan kontribusi 54%. Sehingga Indonesia yang memiliki laut lebih luas, harusnya bidang kelautan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dari saat ini, apalagi mengingat potensi serta posisi geopolitis Indonesia yang sangat strategis. Besarnya potensi ekonomi kelautan yang dimiliki Indonesia, diperkirakan mencapai US$ 171 miliar per tahun atau dengan kurs US$ 1 = Rp 9.500, setara dengan nilai Rp 1.624,50 trilyun per tahun (sumber: Institut Pertanian Bogor, 1997; Asian Development Bank, 1997; Departemen Pariwisata dan Kebudayaan 2000; Ikatan Ahli Geologi Indonesia 1999; Badan Perencana Pembangunan Nasional 2000; dan Departemen Perhubungan 2000). Nilai perkiraan potensi ini setara dengan nilai RAPBN Indonesia
44
tahun 2013. Diestimasi bangsa Indonesia baru memanfaatkannya sebesar 20% dari nilai potensi ekonomi kelautan tersebut. Padahal, jika potensi kelautan Indonesia ini dapat dimanfaatkan secara optimal, maka cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri, maju, adil dan makmur segera dapat terwujud. Selanjutnya, kondisi saat ini dari ke 7 (tujuh) sektor ekonomi bidang kelautan tersebut, secara singkat dideskripsikan pada uraian berikut: a)
Perhubungan Laut Badan Perencana Pembangunan Nasional dan Departemen Perhubungan mengestimasi bahwa nilai potensi ekonomi nasional dari aktivitas transportasi laut adalah sebesar US$ 20 miliar per tahun, sementara sampai tahun 2011 tercatat PDB sektor transportasi laut sebesar Rp 18.5 milyar (US$ 1,95 milyar) atau baru sekitar 9,7 % dari nilai potensi. Kondisi ini menggambarkan bahwa kebijakan sektor perhubungan laut belum optimal memacu pertumbuhan ekonomi aktivitas transportasi laut nasional. Untuk menggairahkan transportasi laut perlu diupayakan berbagai kebijakan yang mendukung. Misalnya menetapkan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai international hub port (pelabuhan pengumpul internasional) yang diharapkan bisa mengurangi cost akibat transit di Singapura. Diperkirakan peng-hematan bisa mencapai US$ 500 juta per tahun. Menurut data statistic, Indonesia mempunyai peti kemas sebesar 5,3 juta twenty feet equivalent unit’s (TEU’s) per tahun. Sebanyak 90% dari jumlah tersebut dikirim ke Singapura terlebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan ke Negaranegara tujuan ekspor. Untuk impor barang pun berlaku hal yang sama. Artinya ada sekitar 9,4 juta TEU’s yang keluar dan masuk Indonesia setiap tahunnya. Dalam periode waktu tahun 2002-2011, PDB sektor transportasi laut terus mengalami peningkatan, walaupun belum memberikan kontribusi yang optimal bagi perekonomian nasional. Perkembangan PDB sektor transportasi laut dan total transportasi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
45
Tabel 3.15 Produk Domestik Bruto (PDB) Bidang Transportasi Laut Berdasarkan Harga Berlaku, 2002-2011 (dalam Milyar Rupiah)
Kontribusi terhadap Total Transportasi
Transportasi Laut
Total Transportasi
2002
10.625,0
72.234,0
14,7%
2003
11.997,6
62.627,0
19,2%
2004
12.328,3
88.310,3
14,0%
2005
13.974.4
110.271,2
12,7%
2006
16.120,7
142.980,0
11,3%
2007
16.043,4
149.973,5
10,7%
2008
16.019,2
171.246,8
9,4%
2009
15.812,7
182.908,2
8,6%
2010
16.929,9
217.311,2
7,8%
2011
18.504,0
254.427,0
7,3%
Tahun
Kalau diperhatikan dari tabel diatas, terlihat bahwa kontribusi sub-sektor transportasi laut masih relatif kecil dan bahkan cenderung menurun. Nilai kontribusi ini masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi sub-sektor transportasi darat (55,3%), padahal kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar merupakan lautan. Kendala utama yang dihadapi oleh para pengusaha transportasi laut adalah masalah peraturan. Saat ini belum ada peraturan pelayaran nasional yang memadai, sehingga selama ini peraturan internasional dijadikan sebagai acuan. Peraturan internasional tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu, peraturan di pusat dan masing-masing daerah juga belum ada keseragaman, terlebih sejak pemberlakuan otonomi daerah. Selain itu, sampai tahun 2011 sebesar 90% muatan angkutan laut ke luar negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing. Akibatnya setiap tahun Indonesia membayar kapal asing sekitar Rp 100 Triliun dan menghasilkan defisit pada transaksi berjalan, yaitu membayar jasa kepada kapal luar negeri lebih besar ketimbang mendapat penerimaan dari komoditi yang diekspor. Kemudian, ditinjau dari segi daya saing,
46
pangsa muatan armada kapal nasional untuk angkutan laut luar negeri juga relatif masih sangat rendah (sekitar 10%). Namun, hal yang cukup menggembirakan adalah armada kapal nasional mulai dapat menguasai pangsa muatan untuk angkutan dalam negeri secara penuh (99%). Hal ini, menandakan bahwa azas cabotage sudah mulai berjalan. Walaupun demikian, biaya angkutan barang dalam negeri masih belum efisien atau masih mahal, sebagai contoh, ongkos pengapalan peti kemas dari Padang ke Jakarta mencapai US$ 600, sedangkan ongkos pengapalan serupa dari Singapura ke Jakarta hanya US$ 185 (Kompas, 21 Desember 2012). Tabel 3.16 Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional untuk Angkutan Laut Luar Negeri.
No.
Pelayaran
Tahun 2008
2009
2010
2011
1.
Nasional
7%
9%
9%
10%
2.
Asing
93%
91%
91%
90%
Sumber : Kementerian Perhubungan, 2012 yang telah diolah
Tabel 3.17 Perkembangan Pangsa Muatan Pelayaran Nasional untuk Angkutan Laut Dalam Negeri.
No.
Pelayaran
Tahun 2008
2009
2010
2011
1.
Nasional
79%
90%
98%
99%
2.
Asing
21%
10%
2%
1%
Sumber : Kementerian Perhubungan, 2012 yang telah diolah
Tambahan pula, sebanyak 75% kapal-kapal Indonesia yang berlayar di perairan nusantara sudah berumur tua, walaupun masih laik pakai untuk pelayaran (Hartoto, 2012). Selain itu, infrastruktur pelabuhan di Indonesia juga belum mampu melayani kapal-kapal berteknologi terkini. Hartoto, (2012) mengatakan kapal-kapal berteknologi terkini membutuhkan pelabuhan dengan kedalaman tinggi, sedangkan
47
pelabuhan-pelabuhan di Indonesia rata-rata dangkal sehingga Indonesian National Shipowner Association (INSA) belum bisa menggunakan kapal-kapal teknologi terkini. Dengan melihat kondisi saat ini tersebut, maka sektor perhubungan laut, utamanya pelayaran nasional, sangat memerlukan dukungan kebijakan yang tepat agar dapat tumbuh secara efisien dan mampu bersaing dengan pelayaran asing utamanya untuk membawa produk-produk nasional ke negara-negara tujuan ekspor. b)
Industri Maritim Industri maritim adalah salah satu sektor kelautan yang dapat menjadi sumberdaya ekonomi potensial utama sebagai penyumbang penerimaan devisa negara. Menurut Asian Development Bank/ADB (1997), diperkirakan potensi aktivitas ekonomi di wilayah pesisir Indonesia adalah sebesar US$ 56 miliar per tahun. Kegiatan ekonomi industri maritim adalah mencakup industri-industri yang menunjang kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan juga perairan laut, seperti: industri galangan kapal dan jasa perbaikannya (docking), industri pengolahan hasil pengilangan minyak bumi, dan industri gas alam cair (LNG). Industri maritim sangat berpotensi dalam menjawab tantangan-tantangan masa depan dan memberi nilai tambah yang cukup tinggi untuk produk-produk transportasi laut yang menghasilkan tambahan devisa negara. Saat ini, terdapat industri galangan kapal nasional yang telah mampu membuat berbagai jenis kapal di Indonesia, baik yang merupakan proses alih teknologi maupun kerjasama dengan pihak luar negeri. Tabel berikut menyajikan jenis kapal yang telah diproduksi di Indonesia. Tabel 3.18 Jenis-Jenis Kapal Produksi Dalam Negeri
No
Jenis Kapal
1
Kapal barang dan semi peti kemas 1500 DWT dan 3650 DWT
2
Kapal barang dengan kombinasi layar dan mesin 1000 DWT
3
Tanker kimia 16000 DWT
4
Tanker minyak 1500 DWT, 3500 DWT, 6500 DWT, 17000 DWT
5
Kapal penumpang & trailer roro 18900 GT
6
Kapal penumpang & mobil roro 200 - 600 GT dan 5000 GT
48
No
Jenis Kapal
7
Kapal pemasok anjungan lepas pantai 3000 HP
8
Kapal pesiar penumpang FRP
9
Kapal patrol cepat 8000 HP / 57 m / 30 knot
10
Kapal patrol cepat 2440 HP / 28 m / 30 knot
11
Kapal penangkap ikan 150 GT, 300 GT
12
Kapal tunda 800 HP - 4200 HP
13
Kapal penangkap ikan tuna long-line
14
Kapal penangkap ikan tuna pool & line
15
Kapal penumpang PAX-500
16
Kapal curah (bulk carrier) sampai ukuran 42.000 DWT
17
Kapal LPG kapasitas 5.600 Cbm (cubic meter)
18
Pusher Tug/ Fire Fitting Tug Boat ukuran 4,200 HP
19
Kapal keruk ukuran 12.000 Ton
20
Reparation floating storage ukuran 150.000 DWT
21
Kapal kontainer (Container Carrie) 600 TEU & 1600 TEU
22
Floating repair 150.000 DWT (Cinta Natomas)
Potensi galangan kapal di Indonesia saat ini tercatat ada sekitar 240 galangan kapal, yang sebagian besar adalah galangan kapal dalam skala kecil dan 4 buah galangan kapal milik pemerintah yaitu: PT Dok & Perkapalan Kodja Bahari, PT PAL Indonesia, PT Dok dan Perkapalan Surabaya, dan PT Industri Kapal Indonesia. Dimana total investasi di sektor industri kapal ini sejumlah kurang lebih 1.426 juta US Dollar dengan menyerap tenaga kerja sebesar 35.000 tenaga kerja, dengan fasilitas yang dimiliki antara lain: 1)
Building Berth ukuran sampai 50.000 DWT
2)
Graving Dock ukuran sampai 50.000 DWT
3)
Footing Dock ukuran sampai 6.500 TLC
4)
Slipway ukuran sampai 6.000 DWT
5)
Shiplift ukuran sampai 300 TLC
49
Sebaran 240 perusahaan galangan dalam negeri tersebut adalah sebagai berikut: 37% berada di pulau Jawa, 26% di Sumatra, 25% di Kalimantan dan 12% berada di Kawasan Timur Indonesia. Kapasitas total galangan kapal nasional terpasang sebesar 140.000 GT per tahun. Namun, galangan kapal nasional yang berkapasitas antara 1001-30.000 GT masih terbatas, yakni sebesar 10%, sementara galangan kapal nasional yang berkapasitas antara 501 - 1000 GT sebanyak 25%, dan sisanya (65%) yang merupakan dominasi galangan kapal nasional adalah yang berskala kecil dengan kapasitas sampai dengan 500 GT. Sebenarnya potensi pasar galangan kapal dalam negeri sangatlah besar. Namun, karena galangan kapal nasional kalah bersaing dengan galangan kapal asing, maka walaupun perusahaan pelayaran nasional menguasai angkutan laut dalam negeri, namun kapal-kapal laut yang digunakannya sebagian besar merupakan kapal impor, bukan kapal buatan dalam negeri. Hal ini menjadi ironis, disatu sisi harus meng-implementasikan azas cabotage, namun disisi lain memenuhinya dengan cara menggunakan kapal-kapal impor. Hal ini terjadi karena ketidaksiapan galangan kapal nasional untuk memenuhi permintaan yang tinggi akan kapal-kapal berskala besar dengan harga yang kompetitif. Ditambah lagi, dalam konteks pemeliharaan, galangan kapal Indonesia belum mampu melakukan perbaikan kapal dengan ukuran lebih besar dari 20.000 DWT, karena ukuran docking domestik sangat terbatas. Selain industri galangan kapal, terdapat juga industri penunjang yang dapat memberikan kontribusi ekonomi nasional, yaitu pengembangan industri penunjangnya, seperti pabrikasi bahan-bahan pembangunan kapal, permesinan, peralatan dan komponen lainnya seperti pelat baja, rantai jangkar, tali kabel, jangkar, mesin utama kapal, genset, main switch boards, radio, mesin kulkas, hatch cover, heat exchargers, cat kapal, dan lain sebagainya. Secara makro, kontribusi nilai tambah galangan kapal dalam negeri bagi PDB Indonesia baru mencapai 0,034 % dari total PDB. Dengan total nilai investasi sekitar Rp 2,3 triliun dan total nilai produksi kapal sekitar Rp 700 milyar, maka kontribusi tersebut relatif masih rendah. Sebagai bahan perbandingan, industri sepeda dan komponennya yang relatif tidak memerlukan teknologi canggih dan investasi besar saja mampu memberikan kontribusi sekitar 0,023 % dari total PDB. Melihat kondisi diatas dapat dinyatakan bahwa industri galangan kapal Indonesia masih belum berkembang baik. Padahal peranan industri ini sangat besar karena mempunyai rantai hulu-hilir yang panjang. Identifikasi akar masalah industri perkapalan, menunjukkan bahwa pajak masih terlalu besar dibandingkan negara tetangga terdekat, seperti Singapura dan Malaysia. Kemudian, dukungan perbankan terhadap pengembangan industri perkapalan pun masih sangat rendah,
50
misalnya dikenakan suku bunga yang relatif tinggi terhadap kredit investasi dan kredit modal kerja. Di tataran kebijakan pun sama saja, belum mampu mendorong tumbuhnya industri galangan kapal berikut industri penunjangnya. Sektor lainpun, belum memberikan dukungan optimal, padahal industri perkapalan merupakan bagian integral dari keseluruhan industri maritim. Kemudian, dalam dekade belakangan ini, perhatian besar negara-negara industri, seperti Jepang, Jerman dan Cina, sudah melirik ke laut untuk pengembangan industri farmasi laut, lebih populer dengan istilah “drugs from the sea”. Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki keaneka ragaman hayati berlimpah sehingga dapat dijamin di laut Indonesia terdapat ribuan senyawa bioaktif dan biotoksin. Berdasarkan penelitian, potensi ekonomi hanya dari farmakologi laut saja diperkirakan sebesar US$ 4 milliar/tahun. Potensi tersebut hanya didasarkan pada senyawa murni yang dapat diskreening dari bahan hayati laut. Nilai potensi tersebut dapat berlipat ganda apabila senyawa dikembangkan lewat sintesa lanjut. Institut Pertanian Bogor (1997) mengestimasi nilai potensi ekonomi dari pengembangan industri bioteknologi kelautan dapat mencapai US$ 40 miliar per tahun. Namun demikian, potensi tersebut belum termanfaatkan. Kedepan, industri farmasi laut dapat merupakan terobosan ekonomi kelautan yang dapat diharapkan sebagai pemasok utama devisa negara. Wilayah Indonesia juga memiliki banyak perairan dalam, seperti di Laut Banda, Perairan sekitar Aceh, di Laut Arafura, Perairan sekitar Kalimantan Timur, di Perairan Sulawesi Utara (dekat Filipina) dan di bagian selatan Pulau Sumatera. Kawasan-kawasan itu dapat dijadikan sumber air mineral berkualitas sangat baik untuk kebutuhan air minum manusia, dan produk sampingannya menghasilkan garam dapur dengan kandungan mineral cukup banyak. Kondisi sekarang baru satu industri air minum mineral bersumber dari laut dalam, yaitu berada di Bali. Sesungguhnya potensi kawasan itu di Indonesia cukup banyak, diperkirakan bisa mendidirikan 25 pusat industri air minum bermineral tinggi c)
Perikanan Sumber daya perikanan nasional sampai saat ini belum memberikan manfaat dan kontribusi yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat dan bangsa Indonesia. Padahal, menurut Institut Pertanian Bogor (1997), diperkirakan nilai potensi perikanan Indonesia adalah sebesar US$ 32 miliar per tahun. Nilai PDB perikanan nasional pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp 41,42 triliun atau setara dengan US$ 4,36 miliar, yang berarti secara keseluruhan Indonesia baru memperoleh manfaat sebesar 13,6% dari nilai potensi perikanan nasional.
51
Kemudian, sebagai gambaran, pada subsektor perikanan tangkap, walaupun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan diperkirakan telah lebih dari 80% dari potensi lestarinya, tetapi sebagian besar (sekitar 95%) struktur armada penangkapannya masih tergolong dalam skala kecil (dibawah 30 GT) yang daya jelajahnya hanya terbatas di perairan pantai dengan tingkat produktivitas dan efisiensi usaha yang relatif rendah. Hal ini mencerminkan konsentrasi pusat penangkapan ikan saat ini bertumpu pada wilayah-wilayah perairan pantai saja. Kenyataan ini menunjukkan, adanya ketidak-seimbangan dalam pemanfaatan potensi sumber daya ikan yang ada, sehingga mengakibatkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan di wilayah tertentu atau overfishing, namun disisi lain ada wilayah yang masih under fishing. Akibat langsung dari adanya ketidakseimbangan pemanfaatan tersebut adalah di wilayah-wilayah perairan yang overfishing umumnya akan terjadi degradasi lingkungan, kemiskinan, dan rawan konflik pada kawasan tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada perikanan budidaya yang diperkirakan tingkat pengusahaannya masih dibawah 20% dari luas lahan potensial yang tersedia. Konsentrasi usaha budidaya ikan umumnya berada di kawasan-kawasan yang berdekatan dengan konsentrasi penduduk, sehingga masih menimbulkan permasalahan tersendiri, utamanya permasalahan konflik pemanfaatan ruang dengan sektor-sektor lainnya. Hal ini terjadi karena lemahnya kebijakan yang ada pada saat ini, utamanya dalam masalah pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut. Produksi perikanan budidaya Indonesia masih jauh dari optimal, sebagai contoh: pada tahun 2011 total produksi perikanan budidaya (laut, tambak, dan air tawar) Indonesia baru mencapai 6.976.750 ton, sementara negara China produksi total perikanan budidayanya pada tahun 2007 saja sudah mencapai sekitar 32.444.000 ton. Padahal, bila luas potensi lahan kegiatan budidaya di wilayah pesisir dan laut yang diperkirakan mencapai sekitar 10,4 juta hektar dapat diberdayakan dan dengan asumsi produktivitas moderat saja sebesar 2 ton/ha/ tahun, maka produksi potensial budidaya di wilayah pesisir dan pantai saja dapat mencapai 20,8 juta ton per tahun. Pengelolaan sumberdaya perikanan juga mendapat permasalahan tersendiri, dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang salah satu pasalnya mengamanatkan pengaturan kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut. Dalam UU tersebut diatur bahwa kewenangan Pemda Provinsi adalah wilayah laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pantai, sedangkan Pemda Kabupaten/ Kota adalah sepertiga lebar wilayah Provinsi atau 4 mil diukur dari garis pantai. Sayangnya hingga kini, masih ada pejabat daerah maupun masyarakat yang salah
52
tafsir menerapkan UU ini dalam kewenangan mengelola dan memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanannya. Akibatnya masih dijumpai konflik horisontal antar daerah atau kelompok masyarakat. Kemudian, kuantitas SDM perikanan memang dari tahun ke tahun cenderung meningkat, namun dari sisi kualitasnya, SDM perikanan hingga kini masih tetap memprihatinkan. Sebagai gambaran pada tahun 2011 jumlah nelayan perikanan laut di Indonesia tercatat sebanyak 2.237.640 orang, sedangkan jumlah pembudidaya ikan (marikultur dan tambak) sebanyak 1.051.326 orang. Dari jumlah yang besar tersebut ternyata sebagian besar (sekitar 50%) tingkat pendidikannya hanya tamat SD. Disamping itu juga, mereka umumnya tidak memiliki skill atau ketrampilan dengan kualifikasi tertentu. Hal ini jelas menggambarkan bahwa kualitas SDM perikanan Indonesia masih terbatas tingkat profesionalitasnya, sehingga jumlah SDM yang besar tersebut masih menjadi salah satu kendala dalam mengembangkan dan mengoptimalkan sektor perikanan. . Selain itu, penyebaran SDM perikanan di Indonesia belum menyebar secara merata di seluruh wilayah NKRI, artinya masih terjadi konsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu saja, umumnya lebih 50% terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia, utamanya di Pulau Jawa dan Sumatera. Hal ini tentu merupakan suatu kendala tersendiri dalam upaya membangun sektor perikanan secara merata di seluruh pelosok nusantara. Tidak sedikit daerah yang memiliki sumberdaya perikanan yang potensial tetapi di wilayah tersebut jumlah SDM yang ada sangat terbatas, bahkan juga ada yang tidak berpenghuni, utamanya di daerah-daerah perbatasan dan remote area. Wilayah-wilayah ini tentu rawan terhadap kegiatan-kegiatan illegal dari negara asing. Pembangunan sektor perikanan, seperti sektor lainnya, masih berjalan secara sektoral dan bahkan seringkali program pembangunannya tidak dapat berjalan optimal, karena kurangnya dukungan dari sektor lain. Dukungan sektor lain yang merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan perikanan antara lain: dukungan fiskal dan perpajakan, sarana dan prasarana (pelabuhan dan irigasi tambak), perdagangan luar negeri, kesyahbandaran dan perkapalan, penegakkan hukum, perindustrian (pabrikasi dan galangan kapal), konservasi sumber daya ikan dan lingkungan. Walaupun demikian, berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), selama tiga tahun terakhir nilai ekspor produk perikanan Indonesia mengalami peningkatan yakni dari 2,17 miliar dollar AS pada tahun 2009 meningkat menjadi 2,71 miliar dollar AS pada tahun 2011. Hal ini tentu cukup menggembirakan, karena
53
berarti telah terjadi upaya perbaikan mutu dan nilai tambah yang signifikan pada sektor perikanan. Tambahan pula, selama periode tahun 2009 – 2011, kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional, naik, dari 2,77% pada tahun 2009 menjadi 3,11 pada tahun 2011. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara makro pembangunan sektor perikanan mulai memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Tantangan yang paling mendasar bagi Indonesia untuk membangun sektor perikanan sebagai pilar ekonomi kelautan adalah menyediakan dana investasi yang cukup agar dapat tumbuh secara cepat. Dalam situasi keuangan negara yang relatif terbatas seperti sekarang ini, kiranya sulit mengharapkan pemerintah untuk menjadi investor utama untuk menggerakkan roda perikanan nasional. Alternatifhya adalah mendorong peran para pengusaha nasional dan investor mancanegara dalam pembangunan sektor perikanan. Bagi pengusaha atau investor, persyaratan dasar untuk melakukan penanaman modal di suatu perekonomian adalah adanya iklim investasi yang kondusif. Ikiim investasi yang kondusif merupakan resultante dari berbagai faktor, seperti kemudahan perizinan, jaminan keamanan hak kepemilikan dan perlindungan HAM, serta ketersediaan infrastruktur bisnis d)
Wisata Bahari Secara umum pembangunan pariwisata bahari, merupakan bagian dari pembangunan kelautan yang terdiri dari berbagai sektor. Kepuiauan nusantara memiliki potensi wisata bahari cukup besar. Saat ini belum digarap dan dikembangkan bagi peningkatan perekonomian nasional. Ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna yang tersebar di kepuiauan nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan memberi kontribusi pada pendapatan negara sektor industri pariwisata. Tetapi pada kenyataanya, potensi ini belum dilirik oleh kalangan pengusaha. Sebagian dari mereka belum yakin bahwa bisnis yang dijalankan dengan basis sektor pariwisata ini menjadi peluang bagus dan potensial mendulang uang di masa datang. Potensi obyek wisata bahari ditawarkan dalam bentuk taman nasional laut, taman wisata laut, suaka alam laut, suaka margasatwa laut, dan situs peninggalan budaya bawah air tersebar di wilayah perairan seluas 5,6 juta hektar dan ribuan pulaupulau kecil. Selain itu wisatawan bahari dengan menggunakan kapal layar pribadi maupun komersial dapat menjangkau pulau-pulau kecil ynag tidak mungkin dijangkau lewat darat atau udara. Hal ini tentu sangat membantu dalam meningkatkan ekonomi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, yang banyak tersebar di seluruh pelosok nusantara. Oleh karenanya pariwisata bahari dapat dijadikan piranti
54
kebijakan untuk percepatan pembangunan utamanya pada wilayah yang bercorak gugus pulau-pulau kecil. Hingga saat ini dukungan pemerintah bagi pariwisata bahari masih sangat kurang, akibatnya usaha wisata bahari di hampir semua wilayah perairan Indonesia belum berkembang dengan baik. Akibatnya, kontribusi wisata bahari terhadap dunia pariwisata di Indonesia secara umum masih sangat minim. Padahal, nilai potensi wisata bahari Indonesia sebenarnya cukup besar, diestimasi sebesar US$ 2 miliar per tahun (Departemen Pariwisata dan Kebudayaan, 2000). Ini berbeda dengan negara tetangga, seperti Malaysia, dimana industri wisata bahari mampu menyumbang 60% terhadap sektor kepariwisataan karena dukungan pemerintah setempat yang maksimal. Sebagai negara maritim dengan 75% wilayahnya adalah laut yang terdiri dari ribuan pulau, diperkirakan sekitar 10.000 buah di antaranya tidak berpenghuni (Prof. J. Rais, pers.com, April 2009). Indonesia berpotensi sebagai salah satu negara tujuan atau destinasi wisata bahari kelas dunia. Dengan banyaknya pulau yang sangat indah seharusnya dapat menarik wisatawan dunia yang ada. Artinya, pulau-pulau tersebut ditetapakan sebagai pulau pariwisata bahari karena memiliki keindahan dan estetika laut yang unik. Kekayaan kawasan pantai Indonesia sebagai bagian dari komponen lingkungan laut memiliki sekitar 950 spesies terumbu karang yang hidup dalam kawasan seluas 75.000 km2; 8500 spesies ikan tropis, 18 spesies padang lamun serta kumunitas masyarakat pantai dengan multi budaya. Kemudian, guna memperoleh nilai tambah, telah ditetapkan 13 kawasan laut sebagai destinasi unggulan Kawasan Wisata Bahari Kepulauan (Kurnia, 2009), yaitu: Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Kupulauan Padaido, Biak (Papua), Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur), Kupulauan Selayar-Takabonarate (Sulawesi Selatan), Pulau Nias dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Utara), Kepulauan Raja Empat (Papua Barat), Kepulauan Ujung Kulon dan Anak Krakatau (Banten), Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur), Teluk Tomini dan Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah), Kepulauan Bali dan Lombok, Pulau Batam-Rempang-Galang (Kepulauan Riau), Kepulauan Seribu (DKI. Jakarta) dan Kepulauan Bunaken (Sulawesi Utara) - (Gambar 3.2).
55
Gambar 3.2. Kawasan unggulan potensi terumbu karang dan tujuan wisata bahari (dikompilasi dari berbagai sumber)
Ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna serta tanaman laut yang tersebar di kepulauan nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan memberi kontribusi pada pendapatan negara sektor industri pariwisata. Tetapi pada kenyataanya, potensi ini belum dilirik oleh kalangan pengusaha. Sebagian dari mereka belum yakin bahwa bisnis yang dijalankan dengan basis sektor pariwisata ini menjadi peluang bagus dan potensial mendulang uang di masa datang. Potensi obyek wisata bahari ditawarkan dalam bentuk taman nasional laut, taman wisata laut, suaka alam laut, suaka margasatwa laut, dan situs tinggalan budaya bawah air tersebar di wilayah perairan seluas 5,6 juta hektar. Tetapi banyak hal perlu dipersiapkan lebih jauh terkait dengan kesiapan Indonesia menuju negara industri wisata bahari. Saat ini pulau-pulau kecil tersebut sedang diposisikan untuk menjadikannya sebagai “masa depan” pembangunan, dimana berbagai potensi yang dimilikinya dipandang sebagai peluang untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi sehingga berperan dalam mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rencana tersebut merupakan suatu tantangan yang “tidak” kecil, karena banyak sekali faktor yang mempengaruhinya dan hingga saat ini belum ditemukenali secara jelas. Memang komitmen pemerintah baru digulirkan tahun 2007 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, yang
56
menyatakan pemerintah akan mengembangkan kegiatan wisata bahari di pulaupulau kecil terutama yang berada di wilayah perbatasan dengan negara lain. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah munculnya berbagai pertanyaan yang sangat mendasar, yakni layakkah pulau-pulau kecil untuk dikembangkan dan dijual atau dipromosikan? Memang dalam upaya membangun dan mengembangkan pulau-pulau kecil di Indonesia dibutuhkan suatu pendekatan pemikiran yang agak sedikit “meloncat”. Pendekatan dan pemikiran yang terjadi saat ini dinilai tidak akan mampu untuk menjawab ke arah perkembangan pulau-pulau kecil tersebut. Jika hanya berdasarkan atas kekuatan faktor internal saja, kiranya tidak ada daya untuk dapat menjawab tantangan yang dihadapi. Akan tetapi dengan bantuan derivative factor eksternal kiranya dapat diperoleh peluang-peluang pengembangan di masa yang akan datang. Dalam kaitan ini, pemahaman terhadap peluangpeluang “pasar” menjadi sangat penting dalam menentukan produk “barang atau jasa” yang seyogyanya harus dihasilkan oleh pulau-pulau kecil tersebut. e)
Energi dan Sumberdaya Mineral Sekitar 70% produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam yang di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan potensinya sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik (Dahuri, 2009). Kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan mineral, seperti emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Belum lama ini ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan gas biogenik di lepas pantai barat Sumatera dan selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan potensi yang sangat besar (Richardson, 2008). Nilai potensi energi dan sumberdaya mineral di wilayah yurisdiksi perairan laut Indonesia diestimasi sebesar US$ 21 milyar per tahun (Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1999). Hingga akhir tahun 1990-an, kebutuhan bahan energi primer dunia sebanyak 85% disuplai oleh bahan bakar fosil, yakni minyak bumi sebesar 40%, batubara 25%, dan gas bumi 20%. Adapun sisanya dipenuhi dari tenaga hidro dan lain-lain. Penyediaan BBM dalam negeri sebagian besar diperoleh dari kilang dalam negeri (sekitar 72%), sedangkan sisanya diperoleh dari pasar impor. Disamping impor dalam bentuk BBM, Indonesia juga mengimpor minyak mentah untuk diolah di kilang-kilang dalam negeri. Saat ini impor minyak mentah mencapai sekitar 360 ribu barrel per hari (hampir 50% dari produksi). Bila konsumsi bahan bakar minyak (BBM) Indonesia diperkirakan naik sekitar 56% setiap tahunnya, maka pada awal
57
abad baru nanti Indonesia diperkirakan akan menjadi negara importir neto BBM. Keadaan ini mesti diantisipasi dengan melakukan diversifikasi energi guna mengurangi ketergantungan sumber energi pada BBM dengan memanfaatkan sumber energi alternatif misalnya gas bumi, batu bara, panas bumi, dan air, serta sumber energi nir-konvensional dari lautan seperti OTEC, air pasang, gelombang arus, atau perbedaan salinitas perairan. Oleh karena itu perlu dipikirkan teknologi pemanfaatan sumber energi alternatif lainnya terutama sumber energi dari laut. Kondisi kini sumber energi dari OTEC, gelombang, arus laut maupun angin belum dieksploitasi. Kekayan mineral di dasar dan tanah bawah laut yang terikat dalam “nodules” sangat besar potensinya untuk dimanfaatkan menjadi “high technology industries” seperti: bahan bakar peluncuran setelit ke angkasa luar dan kebutuhan industri “mikro elektri”. Saat ini belum belum ada upaya pemerintah Indonesia untuk eksplorasi dan eksploitasinya. f)
Bangunan Kelautan Indonesia memiliki keunggulan dan keunikan yang tidak dimiliki oleh negara lain. Berdasarkan letak geografisnya, kepulauan Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dengan hampir 90% perdagangan internasional mempergunakan laut untuk jalur logistiknya, Indonesia berada di posisi strategis dalam sistem logistik dunia karena 40% nya melalui perairan Indonesia. Selain itu, 2/3 minyak dunia berasal dari lepas pantai dan setengahnya dikirimkan ke kilang-kilang minyak juga melalui laut dengan menggunakan kapal tanker. Tambahan pula, Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat besar, yakni seluas 5,8 juta km2, yang terdiri dari 2,7 juta km2 perairan teritorial dan 3,1 juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Berdasarkan data empiris tersebut, menunjukkan bahwa bila bidang kelautan tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal lestari melalui kebijakan pembangunan yang tepat, maka bukan mustahil bidang ini akan menjadi prime mover perekonomian nasional dan sekaligus juga akan mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran nasional. Namun demikian, kebijakan yang diterapkan dalam pembangunan bidang kelautan sampai saat ini dirasakan belum berjalan optimal dan masih bersifat parsial serta tidak komprehensif. Hal ini dapat dilihat dengan ketimpangan hasil pembangunan nasional, sebagai salah satu contohnya adalah kemajuan pembangunan sarana dan prasarana (bangunan) di wilayah daratan jauh lebih baik dan lengkap dibandingkan dengan di wilayah pantai atau laut (bangunan kelautan), belum lagi bila melihat perbedaan kemajuan wilayah antara Indonesia bagian barat dengan
58
Indonesia bagian timur, yang memang terpisah oleh lautan. Kemudian ditambah pula, bahwa pengembangan wilayah yang dititik beratkan pada keserasian dan keseimbangan antara pembangunan wilayah hulu dengan hilir; wilayah daratan (mainland) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan); serta antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya, di Indonesia juga masih sangat kurang. Pola-pola pembangunan kawasan pesisir belum dilaksanakan secara terintegrasi dengan pola pengembangan “integrated coastal management”. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Kondisi infrastruktur di Indonesia pada tahun 2010 jika dikomparasikan dengan negara-negara di dunia, maka Indonesia berada pada peringkat ke 82 dari 139 negara. Hal ini menandakan bahwa infrastruktur di Indonesia masih sangat tertinggal. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap biaya produksi Infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktifitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makro ekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia, umumnya hanya berperan sebagai cabang atau ranting dari Singapura atau lainnya. Sistem pelabuhan Indonesia masih tidak efisien, tidak aman, dan tidak produktif. Daya saing sumber daya manusia pelayarannya pun relatif rendah, baik itu pelaut maupun di industri pelayaran. Persoalan yang dihadapi sistem pelabuhan Indonesia, antara lain: kurang dari separuh pelabuhan di Indonesia, yang sudah memperoleh sertifikat International Ship and Port Facilities Security (ISPS), port days kapal-kapal nasional masih terlalu tinggi, terdapat kegiatan yang tidak ada pelayanan tetapi dikenakan biaya, dan belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi pemerintah (regulator) dan fungsi pengusahaan (operator). Juga belum terjadi kompetisi antar terminal dan antar pelabuhan, lemahnya pengawasan, penegakan hukum belum efektif, dan belum tersedia terminal khusus karena rendahnya arus barang. Tambahan pula, 2 (dua) pelabuhan laut utama di Indonesia telah dioperasikan oleh swasta asing, yakni terminal peti kemas di Tanjung Priok oleh perusahaan Hongkong dan pelabuhan peti kemas di Tanjung Perak, Surabaya, oleh perusahaan
59
Australia. Kehadiran asing di Tanjung Perak tak pernah menimbulkan kontroversi. Namun, tidak demikian halnya dengan keberadaan asing di Tanjung Priok. Sejak proses awal privatisasi hingga kini sering menimbulkan kontroversi. Setelah lebih dari satu dasawarsa, ternyata privatisasi dan kehadiran asing tak memberikan banyak maslahat. Juga tak banyak mengubah peta dunia pelayaran nasional. Arus keluar-masuk peti kemas masih saja lewat Singapura dan lebih dari 90% diangkut oleh kapal-kapal asing. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia tetap saja tidak efisien dengan tarif efektif jasa pelabuhan yang relatif sangat mahal. Sementara itu, PT Pelindo praktis jalan di tempat sehingga kinerja pelabuhanpelabuhan Indonesia kian tertinggal dari pelabuhan-pelabuhan negara tetangga. Tanpa pembenahan mendasar, pelayanan pelabuhan di Tanah Air akan semakin kewalahan melayani arus ekspor dan impor yang terus naik. Dampak lain akibat tidak optimalnya pelayanan pelabuhan dan infrastruktur pendukungnya, sektor industri manufaktur dan sektor pertanian tentu akan sulit berkembang secara optimal dalam bertarung di kancah pasar global. Industri manufaktur akan tersingkir dari pola jaringan produksi global yang mensyaratkan keandalan sistem logistik dan supply chain. Pembenahan kepelabuhanan dan pelayaran harus dilakukan secara terintegrasi. Titik pijak dalam melakukan pembenahan ialah mewujudkan visi negara kelautan yang tangguh dan mengokohkan Indonesia sebagai negara kesatuan bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat. Semua pemangku kepentingan yang terkait dengan usaha kepelabuhanan dan pelayaran harus tunduk pada visi tersebut. Boleh saja mengedepankan dimensi bisnis, tetapi jangan sampai merapuhkan kedaulatan negara. Kemampuan armada pelayaran nasional harus terus dikedepankan dan menikmati porsi yang kian besar dalam lalu lintas barang, terutama dalam pelayaran nusantara/nasional. g)
Jasa Kelautan Jasa kelautan meliputi aktivitas pendidikan dan pelatihan, penelitian, arkeologi laut dan benda muatan kapal tenggelam, perdagangan, pengamanan laut serta jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengolahan limbah secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih dapat membangkitkan aktivitas sosial, ekonomi maupun budaya. Pengembangan aktivitas tersebut tentu akan memberikan kontribusi pada produk domestik bruto maupun penyerapan lapangan kerja.
Jasa lingkungan yang diperoleh dari pelestarian sumberdaya pesisir dan laut juga memberikan dorongan terhadap berkembangnya jasa pendidikan dan penelitian
60
dibidang jasa lingkungan terkait dengan konservasi sumberdaya. Maraknya degradasi sumberdaya pesisir dan laut yang terjadi membutuhkan penanganan yang lebih ekstra agar tidak terjadi degradasi yang semakin parah. Kemampuan sumberdaya pesisir dan laut, seperti hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang untuk memberikan kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat pesisir sangat signifikan dibutuhkan. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya khusus agar daya dukung lingkungan sumberdaya pesisir dan laut tersebut tetap terjaga, seperti melalui upaya perlindungan, pelestarian, reboisasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. Jasa kelautan lainnya, adalah benda muatan kapal tenggelam memiliki potensi yang besar dana harus dikelola dengan baik sehingga tidak menghancurkan nilai sejarah dari benda-benda purbakala. Pendidikan dan riset kelautan diharapkan mendorong sektor-sektor ekonomi dapat dikembangkan oleh tenaga terampil dan terdidik sehingga dihasilkan terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan memberikan nilai tambah ekonomi bidang kelautan. Kemudian, jasa lainnya adalah jasa lalu lintas perhubungan laut nasional. Namun saat ini, jasa lalu lintas perhubungan laut nasional belum didukung dengan infrastruktur sistem navigasi yang handal, seperti vessel traffic services (VTS). Salah satu akibat, ketiadaan sistem navigasi yang handal tersebut adalah terjadinya kecelakaan laut, yakni tabrakan antara kapal ferry nasional Bahuga Jaya dengan kapal MT Norgas Cathinka berbendera Singapura di Selat Sunda pada tanggal 26 September 2012.
5)
Lingkungan Laut (Marine Environment) Kebijakan lingkungan laut Indonesia saat ini disusun berdasarkan arahan strategis dan komprehensif dari implementasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Undang-Undang No. 17 tahun 2009 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan undang-undang dimaksud, maka pengembangan lingkungan laut Indonesia diarahkan pada pembangunan kelautan berkelanjutan berdasarkan daya dukung lingkungan alami, berbasiskan pada keseimbangan ekosistem pantai dan laut dengan berorientasi pada pengembangan sumberdaya manusia, ekonomi, iptek, sosial budaya, kelembagaan, politik, pertahanan keamanan, dalam rangka mencapai kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
61
Secara alamiah, lingkungan pantai dan laut sebagai daerah rendahan di bumi sehingga merupakan lokasi akhir dari aliran berbagai polutan dan sedimen asal darat. Kondisi ini menyebabkan lingkungan pantai dan laut sangat rentan terhadap kerusakan. Di samping itu daya tarik lingkungan pantai dan laut, menyebabkan terjadinya urbanisasi ke arah pesisir dan eksploitasi yang menyebabkan degradasi lingkungan. Bahkan, kondisi sebagian besar kota dan desa pesisir saat ini di Indonesia terkesan kumuh, kotor, dan rawan bencana. Oleh sebab itu, penataan ruang lingkungan pesisir dan laut berdasarkan undang-undang di atas merupakan langkah penting dalam penyelamatan lingkungan laut. Perencanaan dan pemanfaatan tata ruang dalam rangka kelestarian lingkungan laut juga harus memperhatikan dampak yang ditimbulkan akibat perubahan iklim seperti terjadinya pemanasan global (global warming) saat ini. Bagi wilayah pesisir, pemanasan global dapat mengakibatkan kenaikan muka air laut, sehingga dapat mengakibatkan perubahan arus laut, terjadinya rob, kerusakan mangrove, serta secara tidak langsung berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang dan pembangunan wilayah harus memperhatikan keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, dengan menerapkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development). Selain berdampak terhadap kenaikan permukaan air laut, pemanasan global juga meningkatkan curah hujan. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan terjadinya erosi, dimana endapan erosi yang masuk ke laut akan menyelimuti berbagai organisme laut, termasuk tumbuhan karang. Penurunan tingkat salinitas air juga akan menimbulkan efek yang merugikan terhadap species-species laut yang tidak toleran. Peningkatan permukaan air laut secara langsung akan mempengaruhi geomorfologi pantai. Daerah banjir pada dataran rendah merupakan daerah-daerah yang pertama kali akan mengalami dampak peningkatan air laut ini. Terjadinya banjir tergantung pada kemiringan dan konfigurasi garis pantai, dimana keduanya akan berubah bila permukaan air laut meningkat. Aspek lain yang penting adalah tinggi rendahnya pasang surut, di mana daerah-daerah yang mempunyai tingkat pasang surut kecil akan lebih terpengaruh daripada daerah-daerah yang mempunyai tingkat pasang surut besar. Keadaan seperti tersebut di atas ditambah dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pola arus, akan mengakibatkan tingkat pengendapan dan erosi pantai meningkat sedemikian rupa, sehingga merubah geomorfologi pantai. Kondisi ini diperburuk oleh hilangnya ekosistem alam, yang pada akhirnya mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk melindungi garis pantai.
62
Perubahan pada suhu udara, curah hujan dan permukaan laut, secara langsung memiliki dampak sosial-ekonomi pada wilayah pesisir Timur Sumatera, pesisir Utara Jawa dan pesisir Barat Kalimantan, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan serta sebagian dari Papua. Sebuah studi tentang skenario perubahan iklim yang dilakukan oleh CSIRO Australia (1992,1993) untuk kawasan regional, diperkirakan terjadi perubahan suhu, curah hujan dan permukaan laut pada tahun 2010, 2019 dan tahun 2070. Studi CSIRO menunjukan bahwa permukaan laut naik di kawasan Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia menjadi 15 cm pada tahun 2010, 25 cm pada tahun 2019, dan 90 cm tahun 2070 berdasarkan skenario kenaikan permukaaan laut dalam. Prediksi lain, dari naiknya permukaan air laut pada kawasan Selatan dan tenggara Asia disajikan oleh Panel Internasional untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang memprediksi tingkat maksimum mencapai 110 cm pada tahun 2070, dan oleh UNEP diperkirakan kenaikan permukaan laut mencapai 1 meter pada tahun 2090 pada kawasan Asia tenggara. Bahkan dengan skenario yang konservatif terjadi kenaikan 45 cm atas permukaan air laut di tahun 2070. Hasil ini hampir serupa dengan dua penelitian baik model CSIRO maupun IPCC. Jika perkiraaan ini tepat, banyak daerah yang berpopulasi padat dan kota industri yang berada di tepi pesisir menghadapi permasalahan yang serius. Masalah ini menjadi semakin buruk berdasarkan kenyataan bahwa daerah-daerah tersebut kondisinya merupakan daerah berpenduduk sangat padat, dibandingkan tempat lain di Indonesia. Diperkirakan lebih dari 2 juta orang di Indonesia bertempat tinggal di ketinggian 2 meter dari permukaan laut dan di sepanjang pesisir. Dengan demikian diperkirakan terdapat 3,3 juta orang yang mungkin perlu diungsikan segera karena banjir dan air pasang pada tahun 2070. Biaya rehabilitasi untuk masalah ini ditaksir mencapai US$ 8 juta (Indonesia Country Report from Climate Change in Asia). Lebih jauh akibat naiknya 60 cm permukaan laut, diperkirakan 800 ribu ha sawah beririgrasi, dan 20% dari 5,5 juta ha gambut yang dipergunakan bagi budidaya padi pasang surut serta 300 ribu ha tambak di sepanjang pesisir akan lenyap, yang secara keseluruhan dapat mencapai 3,4 juta ha. Kerugian masyarakat ini diperkirakan mencapai US$ 11,3 juta setiap tahunnya. Kemudian, fakta lain yang masih terjadi saat ini dan menyebabkan kerusakan lingkungan laut adalah memanfaatkan sumberdaya kelautan dengan cara yang merusak, seperti: penangkapan ikan dengan menggunakan racun atau bom ikan. Kegiatan semacam ini tentunya memberikan dampak sangat negatif bagi terumbu karang. Penangkapan ikan dengan racun sianida ke daerah terumbu karang, akan membunuh atau membius ikanikan. Sementara itu, karang yang terkena racun sianida berulang kali akan mengalami pemutihan dan kematian. Pengeboman ikan dengan dinamit atau bom rakitan lainnya,
63
dapat menghancurkan struktur terumbu karang, dan dapat membunuh ikan secara masal, termasuk anak-anak ikan yang sebenarnya penting bagi regenerasi kehidupan ikan dan spesies lainnya. Penangkapan ikan dengan menggunakan racun maupun bom tentunya dapat mengganggu kelestarian lingkungan, serta merugikan sektor ekonomi dan pariwisata. Selanjutnya, karena letak Indonesia di posisi silang dan strategis menjadi jalur pelayaran yang penting bagi kapal-kapal internasional, maka tak urung jika perairan Indonesia cukup padat bagi lalu lintas pelayaran kapal, termasuk kapal tanker yang mengangkut minyak. Kondisi yang paling sering terjadi saat ini adalah proses bongkar muat air ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar-muat air) dalam kapal yang ternyata masih mengandung minyak, sehingga turut menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan laut.
3.
Implikasi Pembangunan Bidang Kelautan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Nasional Secara umum, implikasi kebijakan bidang kelautan saat ini dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi bangsa dirasakan belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari keragaan beberapa aspek utamanya, yakni aspek manfaat ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta kedaulatan negara di laut. Beberapa implikasi masih lemahnya kebijakan bidang kelautan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a.
Implikasi terhadap pertumbuhan ekonomi Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) mengestimasi (2007) nilai ekonomi potensi sumber kekayaan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebesar 156.582.651.400 dollar AS per tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.000 per 1 dollar AS, nilai ini setara dengan Rp 1.409 triliun. Potensi laut Indonesia tersebut, antara lain berasal dari sektor perikanan sebesar 31.939.651.400 dollar AS, dari wilayah pesisir sebesar 56 miliar dollar AS, dari sektor bioteknologi kelautan sebesar 40 miliar dollar AS, dari sektor pariwisata bahari sebesar 2 miliar dollar AS, dari sektor minyak bumi lepas pantai sebesar 6,643 milyar dollar AS, dan dari sektor transportasi laut sebesar 20 miliar dollar AS. Jika dianalogikan secara sederhana, nilai ekonomi potensi kekayaan laut yang Rp 1.409 triliun tersebut, nilainya setara dengan nilai APBN Indonesia saat ini (tahun 2012). Hal ini berarti, hanya dengan mengoptimalkan pemanfaatan potensi kekayaan sumberdaya laut saja, Indonesia sebenarnya sudah sanggup menjalankan roda pemerintahan secara mandiri dan mensejahterakan rakyatnya.
64
Namun kenyataannya, kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional ternyata masih relatif rendah. Menurut catatan PKSPL (2004), pada tahun 2002 bidang kelautan menyumbang kontribusi 22,63% dari pangsa PDB nasional, dimana sebagian besar disumbangkan oleh sub-sektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut sebesar 41,44 % dari total PDB Kelautan. Dan diperkirakan hingga saat ini kontribusi bidang kelautan tersebut belum mencapai 30% dari PDB nasional. Belum lagi bila melihat data historis pertumbuhan PDB bidang kelautan dari tahun 1995 hingga tahun 2002, rata-rata pertumbuhannya sangat kecil, yakni sekitar 1,58%. Bila hal tersebut dihadapkan dengan angka inflasi nasional rata-rata sekitar 8% saja per tahun, maka berarti bidang kelautan belum memberikan sumbangan kepada pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa potensi kekayaan sumberdaya laut Indonesia yang sangat besar tersebut masih disia-siakan dan belum dioptimalkan pemanfaatannya. Berbeda dengan negara lain, seperti Jepang, Republik Rakyat China, Korea Selatan dan Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas 30% terhadap PDB nasional mereka. Semestinya, kelautan Indonesia dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dari negara-negara tersebut, karena memiliki luas wilayah laut yang relatif lebih luas. Indonesia sebaiknya tidak terlena dan hanya bangga memiliki kekayaan laut yang melimpah, tetapi seharusnya cepat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal demi mengakselerasi kemakmuran bangsa. Hal tersebut diatas dapat menyatakan bahwa kebijakan bidang kelautan nasional saat ini belum mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal dengan pertumbuhan ekonomi yang mantap selain akan meningkatkan pendapatan masyarakat Indonesia juga akan memperkokoh ketahanan nasional. Oleh karena itu, agar bidang kelautan dapat memberikan kontribusi yang lebih nyata bagi pertumbuhan ekonomi bangsa, perlu suatu kebijakan kelautan Indonesia yang komprehensif, sinergis, dan terintegrasi.
b.
Implikasi terhadap penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh adanya kegiatan usaha dari hulu sampai ke hilir. Di bidang kelautan, umumnya semua sektornya memiliki daya serap tenaga kerja yang relatif tinggi. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa untuk kegiatan usaha bidang kelautan belum mampu menyerap tenaga kerja tinggi, meskipun sudah mulai menunjukkan kecenderungan yang positif. Sebagai gambaran angka ILOR (index of labor output ratio) untuk bidang perikanan adalah sekitar 7,8, artinya tiap pertumbuhan investasi 1% baru berdampak kepada
65
penambahan tenaga kerja langsung sebesar 7,8%. Berdasarkan hal ini dan juga informasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyatakan bahwa pertumbuhan investasi sektor perikanan di Indonesia hingga kini masih relatif rendah, maka dapat dinyatakan bahwa penyerapan tenaga kerja baru pada sektor perikanan belum optimal. Kondisi ini kini makin diperparah lagi dengan harga BBM yang cenderung meningkat dan banyaknya industri pengolahan ikan di dalam negeri yang kekurangan bahan baku. Akibat sulitnya mendapatkan pasokan bahan baku ikan, industri pengolahan ikan yang ada rata-rata hanya berproduksi sebesar 30% dari kapasitas terpasang. Bila hal ini terus dibiarkan terjadi, niscaya banyak industri di sektor perikanan dan turunannya yang mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Kondisi ini lambat laun tentu akan memperlemah kesatuan dan persatuan bangsa yang ada. Oleh karenanya, pemerintah harus segera membuat suatu terobosan kebijakan yang tepat, komprehensif, dan terintegrasi, utamanya untuk mendukung tumbuhnya industri-industri atau kegiatan-kegiatan usaha bidang kelautan serta menjamin kelangsungan usahanya.
c.
Implikasi terhadap ketahanan nasional Kebijakan pembangunan bidang kelautan sampai saat ini diakui belum dapat mengentaskan kemiskinan secara signifikan. Sebagian besar masyarakat pesisir masih tergolong miskin dan mereka umumnya hanya dapat sekedar memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya saja. Indikator kemiskinan tersebut dapat dilihat dari pendapatan per kapita yang sebagian besar masih dibawah pendapatan per kapita rata-rata nasional, kondisi perumahannya pun masih relatif kumuh dan tingkat kemampuan inovasi dan adopsi mereka terhadap teknologi maju juga relatif rendah. Kondisi diatas, tentu lambat laun akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dan akhirnya juga akan memperlemah ketahanan nasional. Diperkirakan kondisi ini terjadi karena implikasi masih lemahnya kebijakan bidang kelautan yang ada sekarang, utamanya yang berpihak dan melindungi masyarakat pesisir dalam kegiatan usaha dan kehidupannya.
d. Implikasi terhadap kelestarian lingkungan Secara umum kondisi kondisi lingkungan pesisir dan laut Indonesia kini mengalami degradasi karena polusi oleh limbah perkotaan, dan limbah industri, siltasi dan sedimentasi yang diakibatkan pemanfaatan dan penataan ruang wilayah hulu yang lemah. Kondisi lingkungan laut semakin rusak disebabkan, antara lain oleh: (1) Land based pollution, terutama akibat limbah rumah tangga yang berasal dari kotakota besar dan pemukiman disepanjang daerah aliran sungai dan sepanjang pesisir.
66
(2) Sea based pollution, yang memberikan kontribusi pada pencemaran laut sebesar 30%, terutama pencemaran akibat limbah industri, tumpahan dan ceceran minyak, dan limbah bahan berbahaya lainnya. Selain itu, terjadi pula pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak ramah lingkungan (misalnya: penambangan pasir, dan Iain-lain) dan penebangan hutan mangrove yang menyebabkan meningkatnya proses abrasi dan erosi pantai sehingga menimbulkan kerugian yang besar. Tambahan pula, terjadi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara illegal (IUU Fishing) dan tidak ramah lingkungan yang juga menyebabkan kerusakan sumberdaya ikan dan terumbu karang. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada sumberdaya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga belum dipahami dengan baik. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya laut dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
4.
Permasalahan yang dihadapi.
Secara garis besar permasalahan umum yang dihadapi dalam bidang kelautan adalah sebagai berikut: a)
SDM Kelautan yang berkarakter kuat dan profesional masih terbatas Political will dari pemerintah untuk mengembangkan SDM kelautan memang sudah ada. Hal ini dapat dilihat dalam UU No.17 Tahun 2007 tentang RPJPN dalam misi yang ke 7. Namun, sebagai tindak lanjut dari realisasi misi ke 7 tersebut belum terlihat jelas. SDM kelautan saat ini juga masih terbatas, karena masih belum optimalnya institusi pendidikan yang menyelenggarakan program profesional kelautan. Komitmen pemerintah untuk memajukan pembangunan kelautan tentunya perlu didukung dengan SDM kelautan yang handal. Untuk meningkatkan SDM kelautan tersebut, salah satunya dengan memasukkan wawasan kelautan dalam kurikulum pendidikan nasional untuk berbagai tingkatan dari SD hingga perguruan tinggi.
b)
Tata Kelola Pemerintahan yang masih fragmented dan parsial Bidang kelautan yang mencakup banyak sektor memerlukan pengelolaan yang terpadu. Apalagi, untuk wilayah laut Indonesia yang luas dengan potensi yang begitu besar. Keterpaduan pengelolaan ini dimaksudkan agar tidak ada tumpang tindih (overlapping) kewenangan antar pemangku kepentingan. Jika kita lihat saat ini, tata kelola pemerintahan di laut di Indonesia masih terkesan fragmented dan parsial Pelayanan di laut tidak terkoordinasi, dimana masing-masing lembaga menangani fungsinya secara terpisah, sehingga seringkali suatu kasus bergerak dari satu fungsi ke fungsi yang lain. Ditambah lagi dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka seolah-olah pemerintah daerah diberi kewenangan seluas-luasnya tanpa adanya control dari pusat.
67
c)
Sarana dan sistem prosedur pertahanan dan keamanan yang terbatas dan fragmented Letak Indonesia yang strategis di posisi silang jalur perdagangan dunia menyimpan potensi kejahatan dan tindakan kriminal lain. Pencurian kekayaan laut Indonesia, perampokan, penyelundupan senjata dan barang-barang illegal merupakan contoh kejahatan yang sering terjadi. Tetapi permasalahan yang lebih membahayakan lagi adalah klaim atas suatu wilayah oleh negara tetangga akibat masih belum selesainya sengketa batas wilayah di beberapa wilayah perbatasan. Alutsista yang masih terbatas, sehingga sulit untuk melaksanakan pengawasan yang optimal terhadap seluruh wilayah yurisdiksi perairan laut Indonesia. Ditambah lagi, sistem prosedur pertahanan dan keamanan yang masih minim dan fragmented, dimana hanya tergantung pada TNI, yang merupakan suatu kelemahan dalam melindungi kedaulatan wilayah NKRI. Tugas untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI seharusnya merupakan kewajiban setiap warga negara dan juga pemerintah.
d)
Kegiatan usaha bidang kelautan yang masih terbatas dan fragmented Berbagai kegiatan usaha di bidang kelautan seperti apa yang dijelaskan diatas, masih banyak menghadapi permasalahan dan kendala. Permasalahan tidak hanya menyangkut dampak dari kegiatan itu terhadap lingkungan laut, yang pada umumnya menimbulkan pencemaran, tetapi juga menyangkut lingkup kegiatan yang masih terbatas dan pengelolaan yang fragmented. Lingkup kegiatan yang terbatas itulah yang kemudian membuka celah bagi pihak asing untuk menguasai kegiatan-kegiatan tersebut. Sementara itu, egosektoral dari masing-masing instansi yang berwenang, menyebabkan ketidakterpaduan dalam pengelolaan. Hal ini yang kemudian menjadi kelemahan bagi pembangunan kelautan Indonesia.
e)
Entrepreneurship bidang kelautan yang langka Saat ini SDM kelautan Indonesia yang berkecimpung dan mampu mengelola usaha bidang kelautan dengan baik, masih sangat minim. Sementara itu, wujud nyata komitmen dari pemerintah untuk memajukan pembangunan kelautan juga belum maksimal. Padahal, wilayah laut Indonesia yang luas memerlukan pengelolaan yang terpadu. Selain itu, perlu adanya entrepreneurship sehingga potensi laut Indonesia dapat dikelola secara optimal. Saat ini, penyelenggaraan entrepreneurship dari pemerintah masih sangat jarang.
f)
Penataan ruang wilayah pesisir dan laut yang belum berjalan baik Penataan ruang dalam perencanaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia saat ini belum berjalan baik. Hal ini, ditunjukkan dengan gambaran sebagian besar pertumbuhan kota dan desa di wilayah pesisir Indonesia terkesan kumuh, kotor, dan rentan terhadap bencana. Permasalahan lainnya yang juga terjadi terkait dengan penataan ruang ini
68
adalah adanya potensi konflik kepentingan, tumpang tindih (overlaping), dan kekosongan (gap) yang tidak hanya terjadi antar sektor (pemerintahan, masyarakat setempat, maupun swasta), namun juga antar penggunaan. Di pihak Pemerintah sendiri terdapat konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir berupa konflik antar wilayah, sebagai contoh adalah dalam pengelolaan tata ruang laut, dimana sering terjadi konflik kewenangan antara Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu, konflik kepentingan juga terjadi dengan pemerintah daerah seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah. Saat ini sasaran pembangunan masih lebih terfokus pada aspek-aspek ekonomi dan politik serta lebih memperhatikan produksi komoditas dan skala wilayah pemerintahan, tanpa memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan karakteristik ruang hidup tersebut. Oleh karena itu, kedepan, sebaiknya dalam menyusun penataan ruang wilayah pesisir dan laut perlu adanya pendekatan ecoregion. Penetapan wilayah ecoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan: karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, flora dan fauna, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat, dan hasil inventarisasi lingkungan hidup. Dengan penyusunan tata ruang pesisir dan laut yang tepat, selain akan menjaga kelestarian lingkungan, juga akan mencegah timbulnya konflik kepentingan antar sektor atau kegiatan. Selain itu, pertumbuhan aktivitas usaha di bidang kelautan juga akan berkembang dengan optimal dan berkelanjutan.
69
Bab 4 1.
PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
Umum
Perkembangan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional, sangat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan kelautan nasional. Perkembangan global atau internasional dapat mempengaruhi banyak hal, seperti: aturan main atau persyaratan dalam perdagangan dunia, tatacara pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan, dan perkembangan ilmu dan teknologi dunia. Hal yang sama juga terjadi pada kondisi lingkungan regional, seperti di lingkungan negara-negara Asia Tenggara atau ASEAN dan lingkungan negara-negara Asia Pasifik atau APEC. Lingkungan nasional pun sangat pasti mempengaruhi perkembangan dan kemajuan bidang kelautan di Indonesia, yang tentunya tidak terlepas dari perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam dalam negeri. Perkembangan lingkungan strategis yang semakin dinamis tersebut merupakan perkembangan penting yang harus sejak dini diantisipasi dalam Kebijakan Kelautan Indonesia.
2.
Perkembangan Global
Liberalisasi perdagangan merupakan ciri utama dari era globalisasi. Globalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks dan kompetitif tersebut menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Dampak dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam kualitas produk dan jasa. WTO (World Trade Organization) merupakan suatu wadah dalam sistem perdagangan di dunia. Kini anggotanya mencapai lebih 90% dari total seluruh negara di dunia. Ketentuan WTO dilandasi oleh prinsip perdagangan bebas dalam bentuk persaingan bebas dan kawasan perdagangan bebas. Umumnya negara-negara maju yang menjadi anggota WTO menginginkan dengan segera adanya pasar yang terbuka di seluruh dunia dan memberikan peluang persaingan yang sama bagi seluruh negara anggota. Namun hal tersebut bagi Indonesia tentu akan menjadi suatu ancaman, karena kapasitas atau kemampuan Indonesia untuk bersaing masih terbatas dan juga belum mampu secara optimal memanfaatkan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan WTO. Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO sangat penting, karena akan melindungi dari persaingan yang tidak sehat dan juga mengamankan kepentingan perdagangan Indonesia di dunia internasional. Indonesia masuk WTO tahun 1995, kemudian membentuk komite anti dumping-nya tahun 1997. Hingga kini, sudah ada 30 kasus dumping yang ditangani oleh komite ini dalam rangka menyelamatkan produk Indonesia.
70
Akibat perkembangan global, perekonomian nasional, termasuk bidang kelautan, dihadapkan kepada dua masalah utama, yaitu hambatan tarif dan hambatan non-tarif. Padahal, seharusnya dengan globalisasi perekonomian dunia, masalah hambatan tarif dan non--tarif tersebut dapat diminimalkan. Namun, disinilah letak permasalahan yang dihadapi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yakni munculnya hambatan tarif dan nontarif yang diberlakukan oleh negara-negara maju yang terkadang sering merupakan bagian dari upaya mereka dalam melindungi industri dan kepentingan ekonomi domestiknya. a.
Hambatan Tarif Hambatan tarif yang kini diberlakukan negara maju sangat bervariasi. Disamping itu, tingkat tarif bea masuk yang diberlakukan juga biasanya sangat tergantung dari jenis komoditi hasil laut dan bentuk olahannya. Secara umum, tingkat tarif yang diberlakukan oleh Uni Eropa adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya seperti: Jepang dan Amerika Serikat. Walaupun beberapa negara Uni Eropa ada yang memberikan fasilitas GSP (Generalized System of Preference) terhadap beberapa komoditi hasil laut yang diimpor dari negara berkembang termasuk Indonesia, namun fasilitas GSP tersebut saat ini sudah mulai secara bertahap dikurangi. Sebagai gambaran, tarif impor udang segar beku dari Indonesia dinaikkan menjadi sekitar 8 %, sedangkan untuk udang rebus beku naik menjadi 16 %. Secara umum terlihat, Uni Eropa cenderung memberlakukan tarif bea masuk yang paling tinggi, diikuti oleh Jepang dan Amerika Serikat. Tarif bea masuk biasanya akan semakin tinggi bagi “value added product”. Disamping tingkat tarif yang tinggi, Uni Eropa juga memberlakukan tarif secara diskriminatif, dimana negara-negara bekas jajahan Uni Eropa yang tergabung dalam kelompok ACP (Africa, Carribea and Pacific countries) mendapatkan keringanan atau dibebaskan dari kewajiban membayar tarif bea masuk dengan alasan untuk membantu perekonomian bagi “least developed countries”. Dengan tingginya tarif bea masuk impor produk perikanan ke Uni Eropa, juga melemahkan daya saing komoditi hasil laut Indonesia, khususnya ikan tuna kalengan. Hal ini disebabkan karena tarif bea masuk ikan tuna yang diberlakukan adalah sebesar 24 %. Padahal komoditi serupa dari negara anggota ACP, tidak ada tarif atau bea masuk 0 %. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi pergeseran dominasi ekspor ikan tuna kalengan dari negara-negara ASEAN ke negara-negara anggota ACP utamanya dari Benua Afrika. Tambahan lagi, posisi tawar Indonesia yang cenderung lebih lemah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya utamanya Thailand dan Vietnam. Seperti diketahui, walaupun mulai awal tahun 2000 Thailand sudah tidak mendapatkan fasilitas GSP dari
71
Uni Eropa, namun daya saingnya di pasar Uni Eropa sangat kuat. Bahkan saat ini Thailand adalah merupakan eksportir produk perikanan terbesar ke Uni Eropa dan dunia.
b.
Hambatan Non Tarif Seperti pada hambatan tarif, jenis dan tingkat hambatan non tarif yang diberlakukan negara-negara di dunia juga sangat variatif, tergantung pada jenis produk dan negara pengimpor. Negara-negara berkembang umum-nya semakin khawatir terhadap meningkatnya hambatan non tarif ini dalam perdagangan global, walaupun “Agreement on Non-Tariff Barriers” secara tegas menyatakan bahwa “setiap anggota WTO yang menggunakan hambatan non tarif harus benar-benar mengikuti kaidah-kaidah perjanjian yang telah disepakati, antara lain harus transparan, terukur, dan secara prosedural mudah diikuti oleh para eksportir. Uni Eropa adalah pihak yang paling banyak menerapkan hambatan non tarif dibandingkan negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Sebagai gambaran, hambatan non tarif yang sering diberlakukan oleh negara-negara maju terhadap salah satu sumberdaya laut utama, yakni komoditi perikanan adalah sebagai berikut: (1) Harmonisasi: yaitu hanya “approved packers” dari negara-negara yang telah masuk dalam kategori “harmonized countries” yang diizinkan untuk mengekspor komoditi perikanan ke negara terkait. (2) Health Certificate: setiap ekspor produk perikanan diwajibkan untuk dilengkapi dengan sertifikat mutu (quality certificate) dan sertifikat kesehatan (health certificate). Namun untuk ekspor ke Uni Eropa, maka bahasa yang dipergunakan dalam sertifikat harus sesuai dengan bahasa nasional di pelabuhan masuk dan ditandatangani oleh inspektur yang telah terakreditasi. (3) Standar Sanitasi: masalah utama yang dikeluhkan para eksportir adalah pemberlakuan standar sanitasi yang tidak transparan atau diskriminatif (menggunakan standar ganda). Misalnya: dalam peraturan Uni Eropa -tidak ada peraturan yang menyebutkan bahwa udang beku (kecuali udang rebus beku) harus bebas dari bakteri Salmonella. Namun dalam peraturan nasional yang diterapkan masingmasing negara anggota Uni Eropa dengan tegas mempersyaratkan bahwa semua ekspor udang beku harus bebas dari bakteri patogen. Uni Eropa juga mempersyaratkan bahwa semua kerang-kerangan yang diekspor ke negara-negara anggota Uni Eropa harus bebas dari E. coli dan bakteri patogen. Sementara kerangkerangan sejenis yang diproduksi/dipanen dari wilayah Uni Eropa, walaupun tercemar E. coli, masih boleh dijual di pasaran asalkan diberi label “B-area product”.
72
(4) Standar Mutu: walaupun standar mutu yang dipakai oleh negara-negara pengimpor relatif lebih lunak dibanding dengan standar sanitasi, namun pengujian mutu secara organoleptik masih merupakan cara konvensional yang lazim dipakai untuk menentukan kualitas dan penerimaan suatu produk di pelabuhan masuk. Padahal uji ini tidak mempunyai nilai ukuran mutlak, bahkan kadangkala unsur subyektivitas dapat mempengaruhi hasil penilaiannya. Oleh karena itu, ekspor produk perikanan negara berkembang seringkali ditolak karena tidak lolos uji organoleptik. (5) Isu Lingkungan: masalah “dolphin issue”, yang digunakan Amerika Serikat untuk memblokir impor ikan tuna serta embargo terhadap udang ekspor dalam kaitannya dengan isu penggunaan TED/BED (turtle excluder device l by-catch excluder device) beberapa tahun terakhir ini, secara jelas menunjukkan adanya penggunaan isu lingkungan sebagai hambatan teknis terhadap ekspor komoditi perikanan dari negara berkembang. Demikian pula embargo Uni Eropa terhadap ikan tuna yang diimpor dari Belize dan Equatorial Guinea adalah merupakan indikasi bahwa hanya ikan-ikan yang ditangkap dari sumber daya yang lestari yang boleh diperdagangkan di pasar internasional. (6) Rapid Alert System: untuk mengawasi standar sanitasi dan mutu produk perikanan impor, Uni Eropa menerapkan Rapid Alert System (RAS), sedang Amerika Serikat dan Australia masing-masing menggunakan “automatic detention” dan “holding order”. Penerapan RAS, automatic detention maupun holding order ini cenderung mengganggu kelancaran ekspor produk perikanan dari Indonesia. Disamping hal diatas, terdapat juga beberapa perjanjian internasional yang berpengaruh langsung dan mengatur mekanisme perdagangan komoditi hasil laut di pasar internasional. Secara garis besar beberapa perjanjian internasional tersebut dapat dikelompokkan kedalam 3 kategori, yakni: (1) Perjanjian internasional yang terkait dengan kelestarian sumberdaya perikanan, seperti Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang dikeluarkan FAO (1995), International Convention for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT) dan Agreement on Straddling Stocks and Highly Migratory Fish Species. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka ikan-ikan komersial penting yang dijual di pasar internasional harus ditangkap dari sumber daya ikan yang lestari. Selain itu, Committee on Fisheries FAO telah menyepakati tentang International Plan of Action (IPOA) on Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang mengatur mengenai (1) praktek ilegal seperti pencurian ikan, (2) praktek perikanan yang tidak dilaporkan atau laporannya salah, atau laporannya di bawah standar, dan (3) praktek perikanan yang tidak diatur sehingga mengancam kelestarian stok ikan global.
73
(2) Perjanjian internasional yang terkait dengan perlindungan satwa yang terancam punah, seperti CITES (Convention on Intemational Trade of Endangered Species). Melalui perjanjian ini, maka beberapa jenis fauna, termasuk komoditi fauna laut dibatasi pemasarannya karena populasinya dikhawatirkan akan punah. Jenis-jenis satwa yang ekspornya dibatasi atau dilarang oleh CITES antara lain: penyu, corral, kerang Tridacnid, dan ikan cucut. (3) Perjanjian internasional yang terkait dengan perdagangan, seperti Perjanjian GATT/ WTO, termasuk di dalamnya Perjanjian SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures) dan Agreement on Technical Barriers to Trade. Perjanjian GATT/WTO mempunyai implikasi yang sangat besar terhadap perdagangan global komoditi perikanan, karena sektor perikanan belum secara resmi dimasukkan dalam perjanjian WTO, sehingga graduasi tingkat tarif komoditi perikanan nampaknya masih mengalami kesulitan. Selain itu, terdapat pula beberapa standar internasional yang harus dipatuhi, misalnya mengenai pembinaan sumberdaya manusia kelautan yang harus sesuai ketentuan IMO (International Maritime Organization), yakni para pelaut niaga dituntut untuk memenuhi persyaratan Standard Training Certification and Watchkeeping for Seaferer (STCW) 1995, sedangkan untuk pelaut kapal perikanan dituntut untuk memenuhi persyaratan Standard Training Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnels (STCW-F) 1995. Wilayah perairan Indonesia juga berfungsi sebagai life line pelayaran baik nasional maupun internasional, yang tunduk pada berbagai pengaturan internasional khususnya yang berkaitan dengan teknis pelayaran dan perlindungan lingkungan yang menjadi mandat dari International Maritime Organization (IMO), antara lain Convention for the Prevention of Pollution from Ships (MARPOL) 1973 beserta Protokolnya, Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974 beserta Amandemennya, Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA) 1973 dan International Convention on Maritime Search and Rescue (SAR Convention) 1998. Kemudian, isu internasional lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah Clean Development Mechanism atau lebih dikenal dengan CDM, adalah salah satu mekanisme pada Kyoto Protokol yang mengatur negara maju yang tergabung dalamAnnex I dalam upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme CDM ataudiistilahkan sebagai Mekanisme Pembangunan Bersih ini merupakan satu-satunya mekanisme yang terdapat pada Protokol Kyoto yang mengikutsertakan Negara berkembang dalam upaya membantu negara maju dalam menurunkan emisinya. Selain membantu negara maju, diharapkan pula melalui mekanisme CDM ini akan memungkinkan adanya bantuan keuangan, transfer teknologi, dan pembangunan berkelanjutan dari negara maju ke negara berkembang. Kesepakatan internasional ini memberikan kesempatan bagi Indonesia. Di sektor energi
74
Indonesia memiliki kesempatan untuk mengembangkan energi hijau yang mencakup pemanfaatan energi terbarukan, teknologi yang efisien dan teknologi energi bersih. Terkait dengan keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas laut lebih dari 3,1 juta km 2 atau sekitar 63% dari total wilayah, Indonesia memiliki kesempatan untuk memasukan laut dalam perdagangan emisi disamping hutan, pada perundingan internasional tentang kebijakan iklim global. Luas laut dan sebaran terumbu karang di Indonesia memiliki potensi dalam menyerap dan menyimpan gas karbon dioksida (CO2). Dan perkembangan lingkungan global yang terkini (2012) adalah Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan yang dikenal juga sebagai Pertemuan Rio 2012 atau Rio+20 sebagai bentuk dari tindak lanjut atas Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan atau KTT Bumi yang pernah diselenggarakan di kota yang sama pada tahun 1992. Konferensi ini secara khusus diadakan oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB bersama tuan rumah Brasil di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22 Juni 2012 Konferensi ini memiliki tiga tujuan, yaitu (1) memperbaharui komitmen politik atas pembangunan berkelanjutan, (2) mengidentifikasi kesenjangan antara progres kemajuan dan implementasi dalam mencapai komitmen-komitmen lama yang telah disetujui, serta (3) mengatasi berbagai tantangan baru yang terus berkembang. Tema yang diusung dalam konferensi ini adalah: (1) Ekonomi Hijau dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan dan Pemberantasan Kemiskinan atau Green Economy in the Context of Sustainable Development and Poverty Eradication, dan (2) Kerangka Kerja Kelembagaan untuk Pembangunan Berkelanjutan atau Institutional Framework for Sustainable Development. Kesepakatan dari konferensi ini adalah bahwa negara-negara didunia didorong untuk melaksanakan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dengan program pembangunan yang berkelanjutan dan sekaligus untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Dari 283 poin kesepakatan, terdapat 19 poin yang terkait langsung dengan bidang kelautan. Penekanannya terutama pada perlunya konservasi dan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan, ketahanan pangan, dan mata pencaharian, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
3.
Perkembangan Regional Pada tingkat regional, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan tersendiri, seperti
AFTA (pasar bebas ASEAN) yang sudah berlaku sejak tahun 2003, dan APEC (pasar bebas Asia Pasifik) yang akan berlaku tahun 2010 bagi negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang. Sebagai gambaran, kini sudah mulai terjadi persaingan yang ketat diantara negara-negara ASEAN maupun Asia untuk menembus pasar produk sumberdaya laut, utamanya komoditi perikanan di berbagai negara di dunia. Berbagai upaya telah dilakukan
75
oleh beberapa negara Asia untuk mempertahankan segmen pasarnya, seperti dumping yang dilakukan oleh Negara Cina dan Vietnam untuk produk udangnya serta lobby bilateral yang dilakukan oleh Thailand untuk mendapatkan keringanan tarif bea masuk di Jepang dan Amerika. Melihat hal diatas, maka Indonesia pun harus segera mengantisipasi persaingan tersebut dengan negara lain melalui peningkatan kemampuan daya saing dan kerjasama yang saling menguntungkan. Selain itu, bidang kelautan nasional ditingkat regional juga dihadapkan kepada kaidahkaidah yang telah ditetapkan melalui organisasi/komisi-komisi regional. Sebagai contoh, pada sektor perikanan adalah IOTC (Indian Ocean Tuna Comission) dan CCSBT (Convention for Conservation of Southern Bluefin Tuna) yang mengatur penangkapan tuna di perairan Samudera Hindia dan merupakan organisasi-organisasi yang dibentuk di dalam melaksanakan amanat Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) di wilayah geografis tertentu maupun jenis ikan tertentu. Indonesia sudah menjadi anggota IOTC maupun CCSBT, karena wilayah perairan internasional yang dikelola oleh dua komisi regional ini, berbatasan langsung dengan wilayah perairan laut Indonesia. Konsekuensi logis dari keikutsertaan dalam keanggotaan komisi-komisi regional tersebut adalah terkait dengan partisipasi dalam pengelolaan sumber daya dan kuota penangkapan ikan di wilayah perairan tersebut. Hal tersebut berimplikasi bahwa Indonesia sudah semestinya wajib turut serta mengelola dan menjaga sumber daya ikan tuna di perairan tersebut dan juga menjaga tingkat produksinya, yakni harus sesuai dengan nilai kuota yang telah ditentukan bersama. Kemudian, terdapat pula beberapa bentuk kerjasama regional lainnya yang juga menentukan dalam pengembangan bidang kelautan diantaranya, adalah: a.
Pengembangan Kerjasama Laut Tertutup dan Separuh Tertutup yang melingkupi Indonesia : 1). Pengembangan kerjasama Laut Cina Selatan 2). Pengembangan Kerjasama Laut Sulawesi 3). Pengembangan kerjasama Laut Arafura 4). Pengembangan kerjasama Laut Timor 5). Pengembangan kerjasama Selat Malaka
b.
Pengembangan Kerjasama Samudera Hindia 1). IOR-ARC (Indian Ocean Rim Association for Regional Cooperation) 2). IOMAC (Indian Ocean marine Affair Cooperation) 3). Conference (US PACOM MILOPS)
76
c.
Pengembangan Kerjasama Samudera Pasifik 1). MHLC (Multilateral Highlevel Conference) / Ratifikasi UNIA-United Nations Implementing Agreement (Hight Seas Fisheries) 2). US-Pacific Command on Military and law Operations 3). ARF (ASEAN Regional Forum) 4). CSCAP (Council for Security Cooperation in the Asia Pacific), khususnya tentang kerjasama bidang maritim
d.
Pengembangan Kerjasama Tripartite Indonesia-Malaysia-Singapura, untuk memajukan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan laut, baik secara langsung maupun melalui International Maritime Organization (IMO).
4.
Perkembangan Nasional Undang-Undang Dasar (UUD) RI Tahun 1945 pasal 25A perubahan menyatakan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan, dan selanjutnya pasal 33 pada hakekatnya telah mengamanatkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan di wilayah Indonesia dikuasai negara dan ditujukan kepada terwujudnya manfaat yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah wajib melakukan pengembangan dan pembangunan kelautan nasional guna memberikan manfaat ekonomi, sosial dan budaya dalam usaha untuk mengantarkan bangsa menuju masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, makmur, berkeadilan dan berkelanjutan. Kemudian, terdapat pula beberapa Undag-Undang (UU), seperti tertera pada Tabel 4.1, yang berdampak kepada perubahan mendasar dalam pengelolaan dan pembangunan kelautan nasional, baik dilihat dari prinsip-prinsip pemanfaatan, kelestarian lingkungan maupun pembagian kewenangan Pusat dan Daerah. Implementasi UU tersebut selanjutnya dijabarkan dalam berbagai perangkat pengatur, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Namun demikian, pelaksanaan pembangunan kelautan nasional ke depan masih memerlukan upaya keras dalam mewujudkan visi dan misinya.
77
Tabel 4.1. Undang-Undang dan Konvensi yang terkait dengan Bidang Kelautan Nasional. Tahun
Undang-Undang Umum
Undang-Undang yang mengatur Kelautan
1939
TZMKO
1945
UUD 45
Konvensi lainnya
1957
Deklarasi Juanda
1958
Konferensi I Tahun 1958
1960
PERPU. No. 4 tahun 1960 PERAIRAN INDONESIA
Konferensi II Tahun 1960
1973
UU No. 1 Tahun 1973 LANDAS KONTINEN
Sidang 1 Konferensi III
1982
Sidang 12 Konferensi III UNCLOS 82
1983 1984
UU No. 5 Tahun 1983 ZEEI UU No. 5 Tahun 1984 PERINDUSTRIAN
1985 1990 1992
UU No. 17 Tahun 1985 Pengesahan UNCLOS 1982 UU No. 5 Tahun 1990 KONSERVASI
KONSERVASI LAUT
UU No. 24 Tahun 1992 TATA RUANG
TATA RUANG KELAUTAN
1996 2000
2002
2004
INDUSTRI KELAUTAN
UU No. 6 Tahun 1996 PERAIRAN INDONESIA UU No. 24 Tahun 2000 PERJANJIAN INTERNASIONAL
WILAYAH PERBATASAN DI LAUT
UU No. 18 Tahun 2002 SISNASLITBANG
LITBANG TEKNOLOGI DAN BIOTEKNOLOGI KELAUTAN
UU No. 3 Tahun 2002 PERTAHANAN NEGARA UU No.2 Tahun 2002 POLRI
PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM DI LAUT
UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No.45 Tahun 2009 PERIKANAN
78
Tahun
Undang-Undang Umum
Undang-Undang yang mengatur Kelautan
UU No. 32 Tahun 2005 PEMERINTAHAN DAERAH
WEWENANG PENGELOLAAN WILAYAH ADMINISTRATIF DI LAUT
UU No. 34 Tahun 2004 TENTARA NASIONAL INDONESIA
PENEGAKAN KEDAULATAN DI LAUT
2006
UU No. 17 Tahun 2006 KEPABEANAN
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DAN USAHA DI BIDANG KELAUTAN
2007
UU No. 17 Tahun 2007 RPJP NASIONAL
RENCANA PEMBANGUNAN BIDANG KELAUTAN INDONESIA
Konvensi lainnya
UU No. 27 Tahun 2007 PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL UU No. 30 Tahun 2007 ENERGI 2008 2009
UU No. 17 Tahun 2008 PELAYARAN UU No. 4 Tahun 2009 PERTAMBANGAN MINERAL PERTAMBANGAN DAN GOLONGAN C DI LAUT MINERAL & BATUBARA UU No. 10 Tahun 2009 KEPARIWISATAAN
2010
PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS DI LAUT
WISATA BAHARI
UU No. 32 Tahun 2009 PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI LAUT
UU No. 11 Tahun 2010 CAGAR BUDAYA
CAGAR BUDAYA BAWAH AIR LAUT
Dalam pelaksanaan pembangunan bidang kelautan yang terkait dengan penyelenggaraan otonomi daerah, terjadi dinamika yang positif dimana sebagian Provinsi dan Kabupaten yang berbatasan dengan laut mulai menjadikan bidang kelautan sebagai salah satu sumber penggerak ekonomi yang penting. Perkembangan yang demikian tentu akan semakin mempercepat pembangunan kelautan nasional ke depan, karena semakin mendapat dukungan politik yang kuat hingga ke tingkat daerah. Implementasi otonomi daerah juga membawa sejumlah konsekuensi terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut. Pertama, sudah seharusnya daerah mengetahui potensi sumberdaya serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk meregulasi pengelolaan sumberdayanya, seperti penentuan jenis dan tipe
79
kegiatan bidang kelautan yang sesuai di daerahnya. Kedua, daerah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya laut di wilayahnya. Ketiga, semakin terbuka peluang bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Perkembangan ekonomi nasional, kini menunjukkan kinerja yang semakin membaik, terbukti dengan relatif stabilnya nilai tukar rupiah dan pertumbuhan ekonomi makro yang secara perlahan semakin mantap serta tingkat inflasi per tahun yang terkendali. Kondisi ekonomi makro yang mengarah kepada stabilitas dan pertumbuhan tersebut, juga didukung oleh pembenahan di berbagai bidang, antara lain perpajakan, penyelesaian hutang luar negeri, penciptaan daya tarik investasi serta pembenahan infrastruktur. Ditambah lagi, dengan diplomasi luar negeri Pemerintah RI yang memfokuskan kepada kerjasama ekonomi dan menarik investor, terbukti menghasilkan respons positif pula. Kondisi demikian, tentu akan menjadikan ekonomi nasional semakin kuat dan kondusif, yang pada akhirnya juga akan mendukung pembangunan kelautan nasional. Selain kondisi ekonomi nasional, situasi keamanan dalam negeri juga sangat mempengaruhi pembangunan kelautan nasional. Dalam masa krisis ekonomi periode tahun 1997 sampai tahun 2002, terjadi gangguan keamanan yang cukup tinggi. Namun demikian, masalah-masalah keamanan tersebut dapat ditangani dengan baik, sehingga sejak tahun 2002 sampai saat ini kondisinya sudah semakin kondusif. Apalagi untuk penanganan pelanggaran hukum di laut sudah menjadi perhatian utama Pemerintah, dengan mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2006 tentang pembentukan Badan Koordinasi Keamanan Laut yang pelaksanaannya dibawah koordinasi Menko Polhukam. Kemudian, Pemerintah Indonesia juga telah menyadari bahwa perubahan iklim global dapat mempengaruhi kondisi laut dan sebaliknya, sehingga pemerintah berinisiatif mengkombinasikan dua substansi masalah tersebut, yaitu kelautan dan perubahan iklim dunia, ke dalam forum internasional dengan mengadakan suatu konferansi kelautan dunia atau World Ocean Conference (WOC) di Manado pada tanggal 11 – 15 Mei 2009 dengan tema “Dampak perubahan iklim terhadap laut dan dampak laut terhadap perubahan iklim” dan dibuka secara resmi oleh Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. World Ocean Conference (WOC) merupakan suatu forum bagi para pemimpin dunia dan pengambil keputusan untuk mengembangkan kolaborasi internasional dan membuat komitmen bersama dalam menghadapi isu kelautan dunia dan sekaligus masalah perubahan iklim global. Penyelengaraan WOC 2009 didukung oleh 123 negara yang tergabung dalam The Eighteenth Meeting of States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea dan dalam pelaksanaannya dihadiri oleh 423 delegasi yang berasal dari 87 negara dan organisasi-organisasi antar negara. Agenda utama dalam WOC 2009 adalah (1) Pertemuan antar pemerintah atau Senior Officials Meeting yang dimaksudkan untuk mengerucutkan perumusan Manado Ocean
80
Declaration yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran negara partisipan WOC 2009 terhadap peran penting laut dalam perubahan iklim, dan (2) Kesepakatan Coral Triangle Initiative atau CTI dalam bentuk CTI Regional Plan of Action oleh 6 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste, untuk meningkatkan perlindungan terhadap sumberdaya laut dan pantai yang berada di wilayah coral triangle dalam wilayah laut 6 negara tersebut. Deklarasi Kelautan Manado yang menjadi menjadi salah satu output utama dari WOC 2009 ini merupakan tonggak sejarah dan dokumen penting untuk menyelamatkan planet bumi dan kelangsungan hidup generasi penerus dimasa akan datang, sehingga dokument tersebut akan diperjuangkan oleh Pemerintah Indonesia di PBB untuk dimasukan dalam agenda resmi dan dibahas dalam Meeting of the States Parties to the United Nations Convention on the Law of the Sea. Selain itu, output lainnya, yakni CTI Regional Plan of Action yang dilakukan oleh 6 negara, juga merupakan hal penting dalam menyelamatkan keanekaragaman sumberdaya hayati laut dunia, utamanya ikan dan terumbu karang. Dengan demikian, World Ocean Conference (WOC) 2009 dapat dinyatakan sebagai komitmen Bangsa Indonesia dalam upaya mengembangkan, mengelola, dan melestarikan sumberdaya laut secara berkelanjutan.
5.
Peluang dan Kendala
a.
Peluang Peluang yang dimiliki Bangsa Indonesia untuk meningkatkan pembangunan nasionalnya, utamanya pada bidang kelautan, adalah sebagai berikut: 1)
Laut Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang luas, lebih kurang sebesar 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, dan kaya akan potensi sumberdaya laut, baik untuk jenis sumberdaya hayati laut (seperti: ikan, terumbu karang, rumput laut dan lainnya); sumberdaya non-hayati laut (seperti: minyak dan gas bumi, dan bahan tambang dan mineral lainnya); energi laut (seperti: gelombang, pasang surut, arus dan Ocean Thermal Energy Conversion/OTEC); dan jasa lingkungan laut (seperti: transportasi laut, keindahan alam, penyerapan limbah, dan lainnya). Untuk sumberdaya hayati laut dikenal pula sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), sehingga bila dikelola dengan baik, dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Sebagai gambaran salah satu potensi sumberdaya hayati laut adalah sumberdaya ikan laut Indonesia yang potensi lestarinya diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun. Dari seluruh potensi sumber daya ikan tersebut, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) untuk
81
dimanfaatkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80 persen dari potensi lestarinya. Kemudian, dari sisi diversivitas, lebih dari 25.000 jenis ikan ditemukan di perairan Indonesia dari sekitar 28.400 jenis yang ada di dunia. Di samping itu, terdapat potensi pengembangan untuk: a) budidaya laut terdiri dari: budidaya ikan (antara lain kakap dan kerapu), budidaya moluska (kekerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut; dan b) budidaya air payau (udang, bandeng, dan rumput laut) yang potensi lahan pengembangannya mencapai sekitar 913.000 ha. Laut Indonesia juga kaya akan sumberdaya non-hayati laut, diantaranya adalah: minyak, gas dan bahan tambang lainnya. Sebagai gambaran bahwa sekitar 70% produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan potensial mengandung minyak dan gas (migas), 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya enam yang di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan potensinya sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik (Dahuri, 2009). Selain itu, laut Indonesia juga kaya akan berbagai jenis bahan tambang dan mineral, seperti emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Belum lama ini ditemukan jenis energi baru pengganti BBM berupa gas hidrat dan gas biogenik di lepas pantai barat Sumatera dan selatan Jawa Barat serta bagian utara Selat Makassar dengan potensi yang sangat besar (Richardson, 2008). Secara umum, potensi energi laut yang dapat menghasilkan listrik dapat dibagi kedalam 3 jenis potensi energi fisik, yaitu energi pasang surut (tidal power), energi gelombang laut (wave energy), energi arus (current energy), dan energi perbedaan panas laut (ocean thermal energy conversion). Energi laut dapat dikategorikan sebagai energi terbarukan. Di wilayah Indonesia, energi yang punya prospek bagus adalah energi arus laut. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai banyak pulau dan selat. Selain itu, akibat interaksi Bumi-Bulan diperkirakan menghasilkan daya energi arus pasang surut setiap harinya sebesar 3.17 TW, lebih besar sedikit dari kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di seluruh dunia pada tahun 1995 sebesar 2.92 TW (Kantha & Clayson, 2000). Namun demikian, untuk wilayah Indonesia besarnya potensi daya energi laut yang dimilikinya belum dapat diprediksi kapasitasnya. Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki potensi wisata bahari yang belum digali secara serius, namun karena kurangnya dukungan pemerintah maka kegiatan wisata bahari di hampir semua wilayah perairan Indonesia belum berkembang dengan baik. Indonesia berpotensi sebagai salah satu negara tujuan atau destinasi wisata bahari kelas dunia. Dengan banyaknya pulau yang sangat indah seharusnya dapat menarik wisatawan dunia yang ada. Ditambah lagi dengan ciri khas keanekaragaman alam, flora, dan fauna serta tanaman laut yang tersebar di kepulauan
82
nusantara menjadi sumber potensi bisnis yang bisa dijual dan memberi kontribusi bagi pendapatan negara dari sektor industri pariwisata di masa datang. 2)
Sebagai sarana vital bagi lalu lintas perdagangan internasional, karena posisi geografis Indonesia terletak pada persilangan 2 benua (Australia dan Asia) dan 2 samudera (Hindia dan Pasifik). Karena kegiatan ekspor-impor barang antar negara umumnya diangkut oleh kapal melalui transportasi laut, bahkan hingga kini transportasi laut (pelayaran) masih mendominasi (sekitar 90%) pengangkutan barang ekspor-impor. Dengan demikian bila peluang ini dimanfaatkan secara baik, maka tidak mustahil kita kembali berjaya menjadi negara besar dan kuat serta menguasai laut dan lalu lintas perdagangan dunia, seperti pada jaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dahulu.
3)
Besarnya potensi ekonomi bidang kelautan yang dimiliki Indonesia, diperkirakan mencapai US$ 171 miliar per tahun, yang berasal dari potensi perikanan sebesar US$ 32 miliar per tahun, potensi wilayah pesisir sebesar US$ 56 miliar per tahun, potensi bioteknologi kelautan sebesar US$ 40 miliar per tahun, potensi wisata bahari sebesar US$ 2 miliar per tahun, potensi minyak bumi, gas dan sumberdaya mineral di laut sebesar US$ 21 milyar per tahun, dan potensi transportasi laut sebesar US$ 20 miliar per tahun. Jika potensi tersebut dirupiahkan dengan kurs Rp 9.500 per 1 dollar AS, nilainya setara dengan Rp 1.624,5 triliun yang berarti pula nilai potensi tersebut relatif sama dengan nilai RAPBN Indonesia tahun 2013. Dengan demikian, tentunya bila potensi kelautan Indonesia ini dapat dimanfaatkan secara optimal, maka cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri, maju, adil dan makmur segera dapat terwujud.
4)
Semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia, sehingga jumlah permintaan (demand) produk kelautan juga akan semakin meningkat dari tahun-ke tahun. Apalagi, ketersediaan lahan atau ruang di darat untuk melakukan budidaya dan pengembangan produksi semakin terbatas. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa laut di masa depan akan menjadi sumber produksi, utamanya produksi pangan, bagi umat manusia. Oleh karena itu, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pemasok kebutuhan pangan dunia bila sumberdaya lautnya dikelola secara tepat.
5)
Berkembangnya teknologi farmasi, kosmetika, probiotik dan bioaktif yang berbahan baku dari sumberdaya hayati laut. Hal ini tentu merupakan peluang bagi pengembangan industri bidang kelautan masa depan yang bernilai ekonomi tinggi.
83
b.
Kendala Kendala yang kini masih dihadapi dalam membangun bidang kelautan adalah sebagai berikut: 1)
Belum kuatnya kesadaran bangsa tentang arti penting dan nilai strategis kelautan bagi pembangunan ekonomi nasional (kemakmuran bangsa), sehingga perhatian, pengetahuan (wawasan) dan penguasaan serta penerapan IPTEK kelautan menjadi rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa hingga kini fokus pembangunan nasional masih lebih berorientasi pada basis sumberdaya daratan, seperti tercermin dalam pembangunan sektor perhubungan, industri, energi, pertahanan dan keamanan, produksi pangan, jasa lingkungan, pendidikan dan budaya, dan regulasi. Ditambah pula dengan kebijakan moneter, fiskal dan investasi yang belum kondusif untuk mendukung tumbuhnya industri kelautan. Apabila hal ini, berlangsung terus-menerus, tentu akan menjadi ancaman bagi bangsa, dimana laut Indonesia dan sumberdaya yang terkandung didalamnya akan dikuasai oleh bangsa asing.
2)
Liberalisasi perdagangan dunia yang semakin kompleks dan kompetitif yang menuntut tingkat efisiensi yang tinggi. Dampak dari kondisi tersebut adalah persaingan yang ketat dalam kualitas produk dan jasa. Bila hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, maka akan menjadi suatu ancaman bagi Indonesia, apalagi saat ini kapasitas atau kemampuan Indonesia untuk bersaing masih terbatas dan juga belum efisien.
3)
Perusakan lingkungan laut. Kegiatan-kegiatan yang disengaja yang berakibat pada terjadinya bencana lingkungan laut, berdampak negatif yang luas bagi kelangsungan ekonomi dan politik disuatu wilayah regional. Dekade belakangan ini seolah-olah terjadi kompetisi dalam merusak sumberdaya laut, misalnya aktivitas penangkapan ikan secara berlebihan, baik yang legal maupun ilegal, yang seringkali menimbulkan sengketa kekerasan antara nelayan penangkap ikan. Demikian pula terjadinya polusi laut yang sering dilakukan oleh kapal-kapal tanker yang sengaja membuang sisa-sisa hasil pembersihan tangkinya dilaut. Aksi-aksi pencemaran dilaut ini jika dibiarkan akan merusak lingkungan laut bahkan lebih jauh lagi dapat berakibat terjadinya konflik antar negara bertetangga sehingga akan mengganggu stabilitas keamanan regional.
4)
Kejahatan Trans Nasional dan Pembajakan, Perdagangan internasional yang semakin berkembang, masih bertumpu pada domain laut telah pula dibarengi dengan penggunaan laut untuk tujuan-tujuan kriminal. Kejahatan yang menonjol dalam kategori ini adalah: penyelundupan manusia (people’s smuggling), obat-obat
84
terlarang, senjata api dan barang-barang terlarang lainnya, serta perompakan atau pembajakan bersenjata diatas kapal, telah menjadi ancaman nyata bagi keamanan maritim. 5)
Penguasaan teknologi kelautan yang relatif masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain, sehingga industri kelautan nasional hingga kini belum berkembang dengan baik dan optimal, bahkan sebagian besar aktivitas usaha bidang kelautan di Indonesia masih dikuasai oleh Asing. Tambahan pula, sebagian besar industri kelautan nasional yang ada pun juga belum mampu berkompetisi di pasar dunia, karena produk yang dihasilkannya tidak memiliki keunggulan kompetitif dan daya saing tinggi.
6)
Kemiskinan. Kemiskinan merupakan persoalan yang cukup pelik tidak hanya bagi negara berkembang, tetapi juga bagi sebagian negara maju. Akibat yang ditimbulkan dari kemiskinan juga sistemik, seperti masalah kesehatan, pendidikan, sampai kejahatan atau perbuatan kriminal. Saat ini masih banyak penduduk Indonesia terutama mereka yang tinggal di wilayah pesisir masih tergolong penduduk miskin. Dalam konteks lingkungan laut, kerusakan yang ditimbulkan bukan tidak mungkin sebagai dampak tidak langsung dari kemiskinan. Karena kondisi yang miskin tersebut, mereka terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh hukum, dan tidak menghiraukan lagi pada kelestarian lingkungan. Hal itu dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan ekonomi secara cepat atau sesaat.
7)
Belum terpadunya rencana pembangunan bidang kelautan di Indonesia, karena masih tingginya ego-sektoral dari sektor-sektor utama yang terkait dengan bidang kelautan, sehingga tidak sedikit terjadi tumpang tindih dan tarik ulur kepentingan antar sektor tersebut. Akibatnya, pelaksanaan pembangunan kelautan nasional dan penanganan masalah yang menghadapinya sulit dilakukan secara sistematis.
85
Bab 5 1.
KONDISI KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA YANG DIHARAPKAN
Umum Kelautan Indonesia ke depan diharapkan dapat menjadi mainstream pembangunan
nasional dengan memanfaatkan ekosistem perairan laut beserta segenap sumber daya yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan (on a sustainable basis) untuk kesatuan, kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Keinginan tersebut dijabarkan dalam lima tujuan yang harus dicapai, yaitu: (1) Membangun jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia, (2) Meningkatkan dan menguatkan sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (3) Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara, (4) Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan, dan (5) Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut Profil kelautan nasional seperti harapan diatas, bila melihat dengan pencapaian kinerja pembangunan saat ini, dapat disimpulkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi agar kelautan nasional dapat berperan lebih besar dan signifikan lagi, guna mempercepat terwujudnya bangsa Indonesia yang maju, mandiri, adil dan makmur. Atas dasar potensi sumber daya laut yang dimiliki, sesungguhnya peran dan kontribusi kelautan Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dapat dinyatakan masih relatif minim. Jadi, walaupun potensi sumber daya laut yang dimiliki cukup besar, namun karena kinerja pembangunannya belum optimal dan efektif, maka manfaat yang diperoleh Bangsa Indonesia dari bidang kelautan masih relatif jauh dari harapan bersama yang diinginkan. Hal ini terjadi, diantaranya disebabkan karena kurangnya dukungan politik yang kuat, baik dari lembaga eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Selain itu, dalam melaksanakan pembangunan kelautan nasional masih terjadi mismanagement (salah urus), dilaksanakan secara parsial dan belum dilakukan secara komprehensif, terintegrasi, dan sinergis. Oleh karena itu, perlu meluruskan kembali pandangan dan cara-cara dalam membangun kelautan nasional melalui kebijakan dan strategi yang tepat, sistematik dan efektif, agar mampu menghantarkan bangsa Indonesia seperti yang di cita-citakan dalam pembukaan UUD 1945. Secara umum pembangunan kelautan nasional yang diinginkan adalah untuk mewujudkan:
86
a.
Pembangunan kelautan nasional yang berpegang teguh pada prinsip kepentingan nasional, keadilan dan manfaat sebesar-besarnya untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
b.
Pemanfaatan sumber daya laut yang seimbang, optimal, dan berkelanjutan sesuai potensi yang tersedia, baik secara spasial maupun temporal.
c.
Pembangunan kelautan yang sesuai dengan tata ruang dan berbasis kelestarian lingkungan.
d.
Tingkat pendapatan yang layak dan kualitas hidup yang baik bagi SDM kelautan.
e.
Kuantitas dan kualitas sarana pendidikan dan penelitian kelautan yang optimal, memadai dan tersebar merata secara nasional.
f.
SDM kelautan yang optimal, baik secara kuantitas dan kualitas, serta bertaraf internasional.
g.
Praktik pemanfaatan sumber daya laut yang sesuai dengan kaidah-kaidah berlaku, baik tingkat regional maupun internasional.
h.
Perundangan dan peraturan yang kuat dibidang kelautan.
i.
Posisi tawar yang baik dalam menentukan berbagai pengaturan pengelolaan sumber daya laut.
j.
Investasi di bidang kelautan yang signifikan, baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri).
k.
Industri kelautan nasional beroperasi dan berkembang dengan baik.
l.
Penyerapan tenaga kerja yang maksimal, mulai dari kegiatan di hulu sampai hilir.
m.
Produk kelautan mempunyai daya saing yang tinggi, sehingga mampu berkompetisi dengan negara lain.
n.
Penerimaan devisa dari ekspor produk kelautan yang maksimal.
o.
Jumlah prasarana dan sarana kelautan nasional yang optimal dan memadai serta layak operasional.
p.
Kontribusi yang maksimal dan signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Nasional.
q.
Implementasi dan penegakan hukum kelautan yang efektif dan tegas.
r.
Koordinasi kerjasama pembangunan kelautan nasional yang efektif, sinergis dan harmonis diantara sektor-sektor terkait.
2.
Kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang diharapkan Kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan adalah kebijakan yang dapat
memperkuat dan mengakselerasi pembangunan nasional melalui pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut secara optimal, efisien, dan berkelanjutan. Berikut ini dipaparkan uraian singkat tentang kondisi Kebijakan Kelautan Indonesia yang diharapkan dari 5 (lima) pilar utamanya, yakni: Budaya Kelautan (Ocean Culture), Tata Kelola Kelautan (Ocean
87
Governance), Keamanan Laut (Maritime Security), Ekonomi Kelautan (Ocean Economic), dan Lingkungan Laut (Marine Environment). 1)
Budaya Kelautan (Ocean Culture) Ditinjau dari pilar budaya kelautan, kebijakan kelautan Indonesia diharapkan mampu menciptakan kualitas masyarakat kelautan Indonesia yang lebih baik dari kondisi saat ini. Dengan demikian, kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan selaras dengan budaya kelautan adalah yang dapat menciptakan kondisi sebagai berikut: a.
Masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang baik terhadap wawasan kelautan, nilai-nilai budaya bahari, dan kearifan lokal di bidang kelautan. Diharapkan dengan mantapnya wawasan kelautan di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), akan mempercepat pembangunan kelautan nasional sebagai pilar utama ekonomi bangsa, sehingga akan membantu ketahanan pangan, menjaga kedaulatan, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional.
b.
Pelaku usaha bidang kelautan yang memahami pentingnya kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan usaha mereka dan masyarakat luas lainnya. Diharapkan tidak ada lagi pelaku usaha di bidang kelautan yang melakukan praktik-praktik pemanfaatan yang berbahaya, merusak lingkungan dan melanggar hukum demi keuntungan ekonomi sesaat.
c.
Tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya manfaat sumber daya laut (seperti: ikan, alga, mineral, dan lainnya) bagi kesehatan semakin meningkat. Diharapkan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk pangan dan suplemen dari laut semakin meningkat dari tahun ke tahun, sehingga, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan nilai Human Development Index (HDI) nasional.
d.
Terbangun Sekolah Tinggi Kelautan Terpadu yang merupakan center of excellences berstandar internasional di beberapa kota pesisir, seperti di Banda Aceh, Batam, Jakarta, Yogyakarta, Makasar, Bitung, dan Ambon.
e.
Mampu menghasilkan SDM kelautan yang trampil (skilled labor), profesional, dan bertaraf internasional, sehingga dapat bersaing dengan tenaga kerja asing.
f.
Mandiri untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja industri kelautan nasional.
g.
Memiliki SDM kelautan nasional dengan kualitas kehidupan (kesehatan dan pendidikan) yang baik, sehingga mampu mendukung usaha bidang kelautan yang produktif, efisien dan berkelanjutan.
88
2)
i.
Meningkatnya jumlah hak paten ilmuwan Indonesia dalam bidang kelautan tropis
j.
Indonesia menjadi pusat pengembangan riset kelautan tropika dunia.
Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance) Dari perspektif pilar tata kelola kelautan, kebijakan kelautan Indonesia diharapkan dapat mengefesienkan, mengefektifkan, dan memantapkan pengelolaan dan pemanfaatan aktivitas sumberdaya kelautan nasional. Dengan kebijakan bidang kelautan yang tepat, efektif, dan sinergis dengan bidang lain, setidaknya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang pada akhirnya tentu hal ini akan meredam gejolak konflik masyarakat, bahkan juga konflik nasional. Kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan dari pilar tata kelola kelautan adalah yang dapat menciptakan kondisi sebagai berikut: a)
Pembangunan bidang kelautan nasional yang mendapat dukungan politik penuh dan kuat, baik dari supra struktur politik, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun pemerintah.
b)
Indonesia yang memiliki perundangan dan peraturan bidang kelautan yang kuat. Diharapkan dalam waktu yang tidak lama, Indonesia sudah mempunyai UndangUndang yang mengatur bidang kelautan secara terpadu, sehingga pengembangan bidang kelautan yang komprehensif, integral, dan sinergis dapat segera di realisasikan dan diimplementasikan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders).
c)
Indonesia yang berperan aktif dalam percaturan bidang kelautan, baik level regional maupun internasional, untuk membantu memudahkan Indonesia dalam mengembangkan industri kelautan nasional menembus pasar regional dan dunia. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai organisasi kelautan regional dan dunia, agar Indonesia memiliki posisi tawar yang baik dalam menentukan berbagai pengaturan pengelolaan bidang kelautan.
d)
Pemanfaatan sumberdaya laut nasional mencapai tingkat yang optimal, berjalan sinergis, dan sesuai dengan kapasitas daya dukung, serta dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah nasional dan internasional.
e)
Sistem tata kelola kelautan Indonesia yang adil, transparan, dan bertanggungjawab
f)
Setiap warga negara Indonesia (WNI) memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk memanfaatkan sumberdaya laut, Pemerintah hanya mengatur jumlah alokasi optimalnya, sesuai dengan kapasitas daya dukungnya.
89
g)
Pengelolaan sumberdaya laut nasional dapat memberikan manfaat, baik moril maupun materil, yang maksimal bagi masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat pesisir.
3)
Keamanan Laut (Maritime Security) Kebijakan kelautan Indonesia dilihat dari pilar keamanan laut harus dapat memberikan manfaat bagi penegakkan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut, dimana hasil pembangunan pada pilar ini dapat difungsikan pula sebagai komponen pendukung pertahanan negara. Kondisi yang diharapkan selaras dari pilar keamanan laut adalah yang dapat mewujudkan kondisi bangsa Indonesia: a)
mampu menjaga keamanan dan melakukan penegakkan hukum di wilayah yurisdiksi laut Indonesia secara efektif, efisien, dan tegas, guna mengatasi masalah kejahatan transnasional, pencurian kekayaan negara, penyelundupan, terorisme, dan kejahatan lainnya. Diharapkan dapat terwujud suatu lembaga/institusi yang efektif dalam mengelola keamanan dan penegakkan hukum di laut secara komprehensif dan terpadu, serta berfungsi pula sebagai komponen cadangan nasional untuk kepentingan pertahanan negara.
b)
mampu secara efektif menjaga kedaulatan dan wilayah perbatasan negara dari ancaman pihak asing. Diharapkan Indonesia memiliki kekuatan laut yang diperhitungkan dan disegani oleh negara-negara lain, utamanya negara-negara tetangga. Oleh karenanya, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) harus mempunyai alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang modern dan dalam jumlah yang optimal.
c)
memiliki prasarana pelabuhan yang memadai dan layak operasional di berbagai lokasi yang potensial dan strategis. Fasilitas ini tentu digunakan untuk mendukung kepentingan operasi keamanan dan pertahanan laut, utamanya pada masa krisis atau perang. Oleh karenanya, pemilihan posisi pelabuhan yang dapat menampung kapal-kapal besar, selain mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomi, juga harus mempertimbangkan aspek strategis untuk kegiatan operasi pertahanan dan keamanan negara. Diharapkan fasilitas atau prasarana pelabuhan ini kedepan terus dapat ditingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya, terutama di wilayahwilayah terdepan yang dekat dengan wilayah perbatasan negara.
d)
mempunyai industri maritim nasional yang mandiri, kuat dan berkembang dengan baik. Industri ini dalam kondisi perang dapat dijadikan sebagai supply logistik, baik untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun sarana pada saat krisis atau perang atau bencana nasional. Selain itu, industri maritim nasional dapat berperan pula menjadi industri untuk memproduksi sarana pertahanan negara (fasilitas militer), seperti kapal perang.
90
4)
Ekonomi Kelautan (Ocean Economic) Dari sudut pilar ekonomi kelautan, kebijakan kelautan Indonesia sudah tentu diharapkan dapat meningkatkan perekonomian nasional, utamanya dalam kontribusi pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Oleh karenanya, kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan dari pilar ekonomi kelautan adalah yang dapat menghasilkan kondisi sebagai berikut: a)
Dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada produk domestik bruto (PDB) nasional. Diharapkan pilar ekonomi kelautan ini akan memberikan kontribusi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun sampai ke titik yang optimal.
b)
Dapat menyerap tenaga kerja secara maksimal. Diharapkan bidang kelautan dapat menyerap lebih dari 30% angkatan kerja nasional, mulai dari kegiatan di hulu sampai di hilir.
c)
Terbangunnya armada pelayaran nasional yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan di dalam negeri dan berdaya saing internasional sehingga dapat berperan fair share, yaitu 50 persen kegiatan ekspor impor.
d)
Penerimaan devisa dari ekspor produk kelautan yang optimal. Diharapkan produk dari bidang kelautan mempunyai daya saing yang tinggi, sehingga mampu berkompetisi dengan produk sejenis dari negara lain, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi nilai devisa yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai ke titik yang optimal.
e)
Terbangun 2 kawasan industri galangan kapal utama nasional, yaitu di BatamBintan-Karimun dan Bitung.
f)
Terbangun sekurang-kurangnya 3 pelabuhan hub-internasional yaitu di Sabang, Batam, dan Bitung yang didukung oleh sub-sub sistem pelabuhan di dalam tatanan pelabuhan nasional yang berdaya saing
g)
Terbangunnya kawasan budidaya perikanan (marikultur, payau dan air tawar) yang baru seluas 100.000 Ha yang tersebar di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sangihe, Talaud, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makasar.
h)
Terbangunnya kawasan industri (cluster) pengolahan hasil perikanan terpadu dengan pusat-pusat distribusi dan pemasaran pada kawasan-kawasan di pesisir Barat Sumatera, Selat Karimata, Selatan Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku dan Papua, dan di pesisir Timur Sumatera, Selat Karimata, Utara Jawa, Nusa Tenggara, Teluk Tomini, Maluku Utara dan Papua Utara, Maluku dan Papua Selatan, dan Selat Makasar
91
i)
Terbangunnya daya saing dari kawasan pariwisata bahari andalan yang telah ada, antara lain: di Pulau Nias, Mentawai, Batam, Bintan Kepulauan Seribu, Krakatau, Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang Tritis, Bali, Lombok, Komodo, Moyo, Derawan, Wakatobi, Togean, Bunaken, Banda, Takabonerate, dan Raja Ampat.
j)
Terbangunnya sarana dan prasarana kawasan pariwisata bahari baru, antara lain: di Pulau Weh, Pulau Banyak, Pulau Enggano, Pulau Rupat, Kepulauan Bangka Belitung, Anambas, Natuna, Roti, Kupang, Lembata, Alor, Siparamanita, Banggai, Sangihe, Talaud, Ternate, Biak, dan Mapia
k)
Terpenuhinya kebutuhan energi untuk dalam negeri.
l)
Termanfaatkannya energi kelautan alternatif yang merupakan energi non-konvensional dan termasuk sumber daya kelautan nonhayati yang dapat diperbarui, seperti: ocean thermal energy conversion (OTEC), energi gelombang, arus dan pasang-surut.
m) Termanfaatkannya sumber daya mineral laut, seperti: biji besi, timah dan nodul mangan, secara optimal. n)
Tingkat pendapatan SDM kelautan yang layak dan sejahtera. Diharapkan masyarakat Indonesia, utamanya masayarakat pesisir nelayan, dapat terbebas dari kemiskinan dan memiliki kualitas hidup yang layak. Sekurang-kurangnya tingkat pendapatannya diatas upah minimum regional yang berlaku.
o)
Investasi di bidang kelautan, baik PMA (Penanaman Modal Asing) maupun PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri), meningkat secara nyata, dari tahun ke tahun.
p)
Setiap industri kelautan yang berdiri di wilayah Indonesia mem-prioritaskan menggunakan tenaga kerja domestik dengan upah/gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan
q)
Tumbuh dan kokohnya usaha bidang kelautan yang berbasis pada masyarakat, seperti: koperasi, kelompok usaha, dan sejenisnya.
5)
Lingkungan Laut (Marine Environment) Ditinjau dari pilar lingkungan laut, kebijakan kelautan Indonesia diharapkan dapat menjaga dan melestarikan lingkungan lautnya secara berkelanjutan. Secara rinci, kondisi kebijakan kelautan Indonesia yang diharapkan dari pilar lingkungan laut adalah yang dapat menghasilkan kondisi sebagai berikut: a)
Terciptanya kondisi wilayah pesisir dan laut yang bersih, tertata rapi, nyaman dan aman untuk tinggal dan melakukan kegiatan usaha, bebas dari pencemaran limbah beracun dan berbahaya, aman dari ancaman bencana tsunami dan alga bloom, serta mempunyai akses jalan dan prasarana yang baik.
92
b)
Sistem pengelolaan mitigasi bencana yang holistik dan integral, yang mencakup aspek legal, kelembagaan, mekanisme pendanaan, hingga penyusunan program penanggulangannya
c)
Konsep kewilayahan terpolakan dan terinventarisasi dengan baik, dimana hal ini kemudian menjadi basis bagi pengelolaan lingkungan baik secara fisik maupun manajemennya, termasuk dalam kerjasama antar institusi/stakeholders. Sehingga pembangunan bidang kelautan akan dilaksanakan sesuai dengan tata ruang dan kondisi lingkungan sekitarnya.
d)
Tata ruang lingkungan kelautan yang meliputi pengelolaan ruang, perubahan bentang alam di pesisir terintegrasi dengan baik dari hulu sampai ke hilir, dengan memperhitungkan segala aspek lingkungan laut.
e)
Pemanfaatan sumberdaya kelautan menggunakan cara-cara dan teknologi yang ramah lingkungan.
f)
Penggunaan teknologi energi yang ramah lingkungan dan bersifat renewable semakin meluas.
g)
Pengelolaan keindahan alam, dalam hal ini merujuk pada kegiatan pariwisata bahari, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Artinya, perencanaan dan pembangunan pariwisata terutama di wilayah pesisir harus menyeluruh, dari hulu ke hilir. Ke depannya, memungkinkan untuk menyatukan pelabuhan perikanan dengan pelabuhan rekreasi, dengan cara menciptakan pelabuhan perikanan yang sehat, bersih dan nyaman sehingga tidak mengganggu unsur keindahan dan kenyamanan yang diperlukan sektor pariwisata.
h)
Sistem MCS yang handal terhadap kegiatan-kegiatan aktivitas pengeboran minyak di laut dan pelayaran (lalu lintas kapal) yang rawan menyebabkan pencemaran minyak.
i)
Sistem peringatan dini yang cepat dan efektif.
j)
Pendidikan tentang lingkungan laut sejak usia dini menjadi salah satu bagian utama dalam kurikulum pendidikan nasional.
3.
Indikator Keberhasilan Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Bidang Kelautan Keberhasilan efektivitas kebijakan kelautan Indonesia dapat dilihat dari beberapa
indikator utamanya, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yakni sebagai berikut: a.
Kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, dinyatakan berhasil bila kontribusinya semakin besar (minimal memberikan kontribusi 50% terhadap PDB Nasional).
b.
Jumlah penerimaan devisa dari ekspor produk kelautan, dinyatakan berhasil bila jumlahnya semakin meningkat hingga mencapai nilai yang optimal.
93
c.
Tingkat penyerapan tenaga kerja bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila menyerap minimal 50% jumlah tenaga kerja nasional.
d.
Tingkat pendapatan masyarakat pesisir dan pelaku usaha bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila pendapatannya semakin layak.
e.
Tingkat kemiskinan masyarakat pesisir, dinyatakan berhasil bila angka kemiskinannya semakin berkurang.
f.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya laut optimal, dinyatakan berhasil bila tingkat pemanfaatannya mendekati atau sama dengan jumlah potensi yang tersedia (atau nilainya mendekati atau sama dengan 100%)
g.
Jumlah keluhan atau pengaduan dari pelaku usaha di bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila jumlahnya semakin sedikit.
h.
Kinerja industri atau usaha di bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila kinerjanya semakin efisien dan berdaya saing.
i.
Perundangan dan peraturan di bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila perundangan dan peraturan yang ada semakin kuat dan harmoni.
j.
Jumlah kasus pelanggaran hukum di wilayah perairan laut, dinyatakan berhasil bila jumlahnya semakin sedikit.
k.
Jumlah ancaman kedaulatan wilayah laut NKRI, dinyatakan berhasil bila jumlahnya semakin sedikit.
l.
Jumlah kawasan konservasi yang berfungsi efektif (terjaga dan terpelihara baik), dinyatakan berhasil bila ratio antara jumlah kawasan konservasi yang berfungsi efektif terhadap jumlah semua kawasan konservasi yang ada, nilainya mendekati atau sama dengan 1 (satu).
m.
Jumlah wilayah laut yang tercemar, dinyatakan berhasil bila jumlahnya semakin sedikit.
n.
Tingkat pendidikan masyarakat pesisir dan pekerja di bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila tingkat pendidikannya semakin tinggi
o.
Jumlah penelitian dan pengembangan bidang kelautan, dinyatakan berhasil bila kuantitasnya semakin dominan dengan kualitasnya semakin baik.
p.
Jumlah terjadinya konflik sosial pada masyarakat pesisir, dinyatakan berhasil bila jumlahnya semakin menurun dan mendekati nihil.
Kemudian, guna mewujudkan bidang kelautan menjadi bidang andalan (leading sector) dalam pembangunan nasional, terdapat tiga syarat atau tolok ukur mutlak yang harus dipenuhi. Pertama, bidang kelautan harus memberikan dampak ekonomi yang signifikan secara makro (seperti peningkatan perolehan devisa dan peningkatan kontribusi terhadap PDB). Kedua, bidang kelautan harus dapat memberikan keuntungan secara signifikan untuk
94
meningkatkan kesejahteraan terhadap semua pelaku usaha didalamnya. Ini berarti bidang kelautan harus dapat memberikan pemerataan (equity) kesejahteraan bagi semua pelaku usahanya. Ketiga, pembangunan bidang kelautan yang dilaksanakan harus berkelanjutan, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara ekologi. Dengan demikian, agar dapat memanfaatkan sumberdaya laut sebagaimana yang diharapkan, maka langkah yang harus dilakukan adalah menyatukan kesamaan misi pembangunan bidang kelautan. Misi pembangunan bidang kelautan Indonesia sampai dengan tahun 2025 adalah “Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional”. Untuk menjawab tantangan di atas, maka kebijakan kelautan Indonesia harus diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada melalui pengembangan kegiatan usaha yang efisien, berkelanjutan, dan semaksimal mungkin berbasis pada masyarakat. Selain itu pula, perlu dukungan dan keinginan kuat dari para pelaku pembangunan bidang kelautan untuk lebih bertanggungjawab dalam menjalankan usahanya guna mencapai hasil yang optimal dan berkelanjutan. Demi memenuhi tuntutan kebutuhan di masa mendatang, maka pemerintah harus memberikan perhatian secara maksimal pada kebijakan pengembangan industri kelautan yang bersifat padat modal, padat teknologi, dan juga sekaligus padat karya. Sifat padat karya dalam industri kelautan cukup penting, karena dengan karakteristik seperti itu akan tercipta banyak peluang kerja bagi masyarakat. Guna merangsang minat para pengusaha nasional untuk berpartisipasi dalam pembangunan kelautan nasional yang sekaligus juga menumbuhkan ekonomi nasional, sudah saatnya format kebijakan pembangunan yang kurang kondusif diperbaiki dan disempurnakan, seperti memberikan insentif bagi yang mau menanamkan investasi pada bidang kelautan di daerah-daerah terpencil atau perbatasan. Bahkan untuk percepatan pemerataan perkembangan wilayah, perlu membangun beberapa kawasan Free Bounded Area yang berbasis sumber daya laut di Indonesia Bagian Timur. Namun, yang paling fundamental dari semua itu adalah perlu adanya perubahan dalam kultur dan etos hidup masyarakat, agar lebih memperhatikan dan berorientasi pada dunia kelautan, sebab disinilah salah satu letak kunci keberhasilan kebijakan pembangunan kelautan nasional. Untuk keperluan tersebut, diperlukan serangkaian penguatan kebijakan yang dapat dijalankan secara sistematis sebagai bagian esensial dalam strategi pembangunan bidang kelautan. Mengingat bahwa semua kerangka pemecahan ini bersifat multi aspek dan multi dimensi serta memiliki hubungan interdependensi dengan berbagai aspek pembangunan yang lain, maka sudah saatnya Pemerintah juga memperkuat kebijakan kelembagaan kelautan agar fungsi koordinasi terhadap berbagai kegiatan pembangunan terkait dengan bidang kelautan dapat berjalan secara efektif.
95
Selain itu, perlu adanya kesadaran yang dalam dan visi yang tajam dalam menatap masa depan serta kemauan politik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada secara fundamental. Kelengahan dalam mengantisipasi tuntutan kebutuhan masa depan akan membawa efek berantai bagi pembangunan pada bidang lainnya, bahkan juga bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara ini. Karenanya, sangat tepat bila langkah antisipasi yang kongkrit dimulai dengan menyusun Kebijakan Kelautan Indonesia (Indonesian’s Ocean Policy) dan dari sekarang, agar kita sebagai bangsa tidak akan menyesal di kemudian hari.
4.
Kontribusi Kebijakan Kelautan Indonesia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Dengan tersedianya Kebijakan Kelautan Indonesia yang komprehensif dan terpadu
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja, sekaligus juga memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan nasional, sehingga akan mempercepat terwujudnya masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur secara berkelanjutan. Secara ringkas, kontribusi sektor ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Tumbuhnya bidang kelautan dapat meningkatkan kegiatan produksi secara nasional. Peningkatan produksi tersebut tentu akan meningkatkan nilai penjualan dan nilai tambah, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, yang pada akhirnya akan meningkatkan kontribusi sektor ini pada PDB nasional. Dengan meningkatnya PDB nasional, nantinya tentu akan menumbuhkan perekonomian nasional yang lebih baik, sehingga juga akan menambah penciptaan lapangan kerja.
b.
Berjalannya pembangungan kelautan nasional juga akan membangkitkan industri dalam negeri, baik industri kelautan primer maupun industri sekunder dan tersiernya. Dengan demikian bidang kelautan dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja. Hal ini karena bidang kelautan mempunyai multiplier effect (efek ganda) ekonomi yang besar. Efek ganda ekonomi diperoleh pada setiap proses produksi mulai dari hulu sampai ke hilir dan kegiatan ikutan lainnya, termasuk perbankan.
c.
Pembangunan kelautan nasional yang didukung dengan paket kebijakan dan deregulasi yang tepat akan memberikan kontribusi bagi peningkatan investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, yang pada gilirannya akan meningkatkan pula pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini sesuai dengan angka ICOR rata-rata untuk kelautan sebesar 3,4 dan ILOR rata-rata sebesar 7 - 9.
d.
Pengembangan produk kelautan melalui peningkatan nilai tambah dan industrialisasi akan meningkatkan daya saingnya di pasar Internasional, sehingga dapat menjadikan
96
Indonesia sebagai salah satu negara produsen yang terkemuka. Peningkatan nilai tambah suatu komoditi umumnya akan diikuti dengan pertumbuhan industrinya, yang berarti pula akan menumbuhkembangkan roda perekonomian dan menambah lapangan kerja baru. e.
Pengembangan bidang kelautan akan mendorong pula bangkitnya industri hulu dan hilir, yang tentunya akan memacu pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya akan menyediakan lapangan kerja dalam jumlah besar serta akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
f.
Kebijakan kelautan nasional yang diarahkan untuk meningkatkan kemandirian bangsa, akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kondisi sosial budaya, posisi tawar politik di luar negeri, meningkatkan neraca perdagangan luar negeri, dan meningkatkan kemampuan Hankam serta dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
97
Bab 6 1.
KEBIJAKAN KELAUTAN INDONESIA
Umum
Pembangunan bidang kelautan merupakan upaya sistematis dan terencana yang dilakukan untuk memperkuat bidang ini, baik secara geopolitik, ekonomi, ekologi, maupun sosial-budaya dalam mewujudkan kedaulatan bangsa dan kemakmuran rakyat. Pembangunan bidang kelautan merupakan bagian dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai Negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional sebagaimana diamanatkan oleh UU 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional. Dalam konsepsi Negara kepulauan tersebut, maka daratan dan lautan merupakan kesatuan wilayah yang utuh, sehingga penguatan bidang kelautan juga tidak terlepas dari upaya-upaya pembangunan di darat. Begitu pula pembangunan di darat tidak bisa mengabaikan kepentingan bangsa di laut. Konsepsi Negara kepulauan tersebut juga menunjukkan pentingnya pemerataan pembangunan, baik pemerataan hasil maupun kesempatan. Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa pembangunan harus dirasakan oleh setiap masyarakat yang mendiami kepulauan, baik besar maupun kecil. Hal ini pun selaras dengan konsep wawasan nusantara yang diinspirasi Deklarasi Djuanda. Keseriusan Pemerintah untuk mengimplementasikan paradigma diatas, kemudian lebih dipertegas lagi oleh pernyataan Presiden RI Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan pada KTT Rio+20 di Brasil akhir Juni 2012 tentang komitmen Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasional dengan pendekatan Blue Economy. Blue Economy merupakan model pembangunan ekonomi yang mengintegrasikan pembangunan darat dan laut dengan memperhitungkan daya dukung sumberdaya dan lingkungannya. Karena pada prinsipnya potensi darat dan laut harus disinergikan sehingga menjadi kekuatan, dan hal utama yang perlu digunakan sebagai landasan dalam mengembangkan pemikiran tersebut adalah bagaimana kekuatan laut yang luasnya hampir dua pertiga wilayah Indonesia serta berbagai peluang ekonomi secara internasional perlu dikembangkan bagi kemakmuran Indonesia secara berkelanjutan. Pembangunan nasional dengan pendekatan Blue Economy ditujukan pula untuk mempercepat terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-growth (pertumbuhan), pro-job (penyerapan tenaga kerja) dan pro-environtment (melestarikan lingkungan). Prinsip penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) pada dasarnya mengacu kepada kondisi bidang kelautan pada saat ini yang dihadapkan kepada kondisi bidang
98
kelautan yang diharapkan dapat dicapai. Selanjutnya, dituangkan kedalam Visi, Misi, Kebijakan, dan Strategi, serta Upaya yang diperlukan guna mewujudkannya. Visi adalah suatu pemikiran untuk mencapai suatu cita-cita yang jauh ke depan dan harus dicapai, sedangkan misi adalah pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan dalam usahanya mewujudkan visi. Sementara, kebijakan atau policy adalah arah yang pasti atau metode bertindak terpilih untuk memandu keputusan saat ini dan yang akan datang (The Merriam Webster Dictionary, 1998). Kemudian, strategi merupakan suatu cara untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Batu bangun strategi ada tiga, yaitu: sumberdaya (resources), rencana atau konsep (concepts) dan sasaran (objectives). Muatan strategi meliputi tiga yaitu sarana (means), cara-cara (ways) dan tujuan (ends) (Naryadi, 2006). Untuk upaya adalah langkah-langkah aksi sebagai penjabaran dari strategi.
2.
Visi, Misi, dan Kebijakan Pengertian pembangunan bidang kelautan diatas dapat dipahami pula bahwa dimensi
pembangunan kelautan mencakup dimensi kemakmuran dan keadilan, pengelolaan, kedaulatan dan pengamanan laut, pendidikan dan penelitian, dan keberlanjutan. Orientasi kemakmuran dan keadilan dimaknai sebagai pentingnya pembangunan kelautan dapat membawa kemakmuran dan keadilan bagi bangsa Indonesia. Orientasi pengelolaan dimaknai sebagai pentingnya bangsa Indonesia untuk mengatur dan mengurus pembangunan dan usaha kelautan secara efektif, efisien, dan sinergis. Kemudian, orientasi kedaulatan dan pengamanan laut dimaknai sebagai pentingnya bangsa Indonesia secara empiris mampu menjaga wilayah lautnya dari berbagai ancaman secara mandiri tanpa didikte oleh pihak asing. Untuk orientasi pendidikan dan penelitian dimaknai sebagai pentingnya bangsa Indonesia untuk membangun karakter bangsa yang kuat dan berkualitas serta mampu menguasai teknologi. Sementara itu, orientasi keberlanjutan dimaknai sebagai pentingnya memperhatikan kelestarian sumberdaya guna kepentingan generasi mendatang. Berdasarkan pada harapan dan pandangan diatas, maka dirumuskan visi kelautan Indonesia adalah sebagai berikut: “INDONESIA MENJADI NEGARA KEPULAUAN YANG MANDIRI, MAJU, KUAT, DAN BERBASISKAN KEPENTINGAN NASIONAL” Dengan misi utamanya mengintegrasikan pembangunan kelautan nasional yang diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi. Secara lebih rinci misi kelautan Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
99
1)
Membangkitkan wawasan dan budaya bahari
2)
Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan.
3)
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982.
4)
Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5)
Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan.
6)
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut.
7)
Mengelola dan Memanfaatkan laut secara bijaksana, terpadu, dan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, dengan memperhatikan cakupan visi dan misi ini, maka dapat ditentukan
arah pembangunan kelautan nasional yang menjadi landasan kebijakan utamanya, yakni sebagai berikut: a)
Meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia serta memperkuat nilai-nilai budaya bahari yang bersumber pada nilai-nilai luhur bangsa. Untuk itu, perlu kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy).
b)
Memperkuat kemampuan nasional untuk pengelolaan sumberdaya kelautan guna mendorong terwujudnya pembangunan dan pengembangan usaha kelautan yang efektif, efisien dan sinergis. Dengan demikian, memerlukan kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy).
c)
Memperkuat sistem pertahanan dan keamanan yang mencerminkan Negara kepulauan yang bermartabat dan berkedaulatan. Hal yang mendasar dalam rangka penguatan kedaulatan bangsa di laut adalah penetapan batas maritim yang harus segera dituntaskan. Oleh karenanya, perlu kebijakan keamanan maritim (maritime security policy).
d)
Membangun ekonomi berbasis sumberdaya kelautan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini dituntut kemampuan untuk memobilisasi sumberdaya nasional melalui formulasi desain program kelautan nasional yang disertai kelengkapan instrumen fiskal, moneter, keuangan serta mobilisasi lintas sektor untuk mendukung bidang kelautan. Untuk itu, perlu suatu kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy).
e)
Memperhatikan kelestarian dan mengutamakan keberlanjutan sumberdaya kelautan guna kepentingan generasi mendatang. Hal ini penting sebagai upaya memelihara ekosistem laut yang kini sudah terancam akibat pencemaran, over-eksploitasi sumberdaya, dsb. Oleh karena itu, perlu kebijakan lingkungan laut (marine environment policy).
100
Dengan berdasarkan hal tersebut diatas dan mengacu kepada luasnya permasalahan yang harus ditangani, peluang dan kendala yang ada, serta kondisi yang diharapkan yang dihadapkan kepada kondisi saat ini, maka kebijakan yang diambil harus komprehensif, terintegrasi, terukur dan realistik, karena langkah yang diambil tersebut juga harus efektif atau dapat diimplementasikan secara nyata. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dirumuskanlah kebijakan utama sebagai berikut: “Kebijakan Kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan dalam mengakselerasi pembangunan nasional melalui kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan lingkungan laut (marine environment policy), guna mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional”. Kemudian, secara lebih rinci Kebijakan Kelautan Indonesia untuk setiap pilarnya adalah sebagai berikut: 1)
Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy): “Menjadikan laut sebagai ruang hidup dan ruang juang, tempat belajar, berkarya, bekerja, berolah raga, dan berekreasi serta mendidik masyarakat Indonesia agar mencintai, memelihara, mengelola, mengolah, meneliti, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan”.
2)
Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy): “Menciptakan sistem tata kelola kelautan nasional yang komprehensif, terintegrasi, efektif, dan efisien”.
3)
Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy): “Menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat serta hukum di laut dalam yurisdiksi nasional, demi terwujudnya keutuhan, keamanan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
4)
Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy): “Mewujudkan perekonomian nasional berbasis kelautan yang kokoh, mandiri, berdaya saing, memberi nilai tambah, dan berkelanjutan dengan prinsip-prinsip blue economy, untuk kesejahteraan rakyat”.
5)
Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy): “Menjamin pemanfaatan laut dengan melestarikan lingkungan bagi kepentingan nasional untuk kesejahteraan rakyat”.
101
3.
Strategi Komponen strategi meliputi means (sumberdaya atau sarana dan prasarana), ends
(tujuan atau sasaran) dan ways (cara dalam mencapai tujuan atau sasaran). Kemudian, untuk perumusan strategi ini mengacu kepada kebijakan yang telah dirumuskan di atas, namun tetap berdasarkan kondisi nyata yang memungkinkan untuk dicapai. Strategi yang dirumuskan sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan, adalah sebagai berikut: a.
Strategi untuk Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy): 1)
Strategi 1: Membangkitkan wawasan dan budaya bahari. Strategi ini bertujuan agar masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang baik terhadap wawasan kelautan, nilai-nilai budaya bahari, dan kearifan lokal di bidang kelautan, untuk mendukung ketahanan pangan, menjaga kedaulatan, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional. Sasaran yang ingin dicapai adalah mantapnya wawasan kelautan di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk para pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif dan yudikatif), sehingga akan mengoptimalkan pembangunan kelautan nasional sebagai salah satu pilar utama ekonomi bangsa, serta terlembaganya nilai-nilai positif budaya bahari, seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keuletan, kerja keras, keberanian menanggung resiko (enterpreunership), gotong royong, menghargai perbedaan, dan cinta akan lingkungan.
2)
Strategi 2: Harmonisasi unsur-unsur kearifan lokal ke dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mencegah terjadinya konflik sosial dalam memanfaatkan sumberdaya laut. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah terciptanya pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan dengan lingkungan usaha yang aman dan kondusif.
3)
Strategi 3: Mempertahankan dan mengembangkan kota-kota pelabuhan bersejarah. Tujuan dari strategi ini adalah untuk melestarikan dan mengembangkan wisata budaya bahari nusantara. Sasaran yang hendak dicapai adalah: i.
Terjaganya bukti-bukti sejarah kejayaan bahari di nusantara yang merupakan bagian dari sejarah perkembangan budaya bangsa.
ii.
Berkembangnya wisata budaya bahari nusantara sebagai salah satu tujuan utama para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
102
4)
Strategi 4: Meningkatkan dan memberdayakan sumber daya manusia (SDM) bahari. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mampu menghasilkan SDM kelautan yang trampil (skilled labor), profesional, dan bertaraf internasional, sehingga mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah: i.
Terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja untuk tata kelola dan industri kelautan nasional.
ii.
Terwujudnya pengusaha bidang kelautan yang produktif, efisien, dan berkelanjutan.
5)
Strategi 5: Meningkatkan dan menguatkan peranan IPTEK dan Riset Kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan di Indonesia, serta menjadi salah satu pusat riset kelautan tropis dunia. Sasaran yang hendak dicapai adalah: i.
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung pengembangan usaha bidang kelautan.
ii.
Tumbuhnya usaha bidang kelautan yang inovatif, kreatif, dan berdaya saing tinggi.
iii.
Termanfaatkannya sumberdaya kelautan Indonesia secara efisien, optimal, dan berkelanjutan.
b.
Strategi untuk Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy): 1)
Strategi 1: Menata sistem hukum nasional di bidang kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengharmonikan dan mengoptimalkan peraturan hukum di bidang kelautan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah terwujudnya tertib hukum secara tegas dan jelas dalam mengelola sumber daya kelautan nasional.
2)
Strategi 2: Mempercepat terbentuknya peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang kelautan secara komprehensif dan terpadu. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menghasilkan Undang-undang tentang Kelautan sebagai payung hukum utama dan acuan bersama bagi semua stakeholders bidang kelautan di Indonesia. Sasaran yang hendak dicapai adalah adanya dukungan politik yang kuat, baik dari supra struktur politik, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun pemerintah, dalam melaksanakan pembangunan kelautan nasional.
103
3)
Strategi 3: Mengimplementasikan dan menindaklanjuti Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982). Tujuan dari strategi ini adalah untuk menerapkan UNCLOS 1982 untuk kepentingan Indonesia dalam menentukan batas wilayah lautnya dan ikut berperan dalam memanfaatkan sumber daya alam di perairan internasional. Sasaran yang hendak dicapai adalah terselesaikannya batas wilayah laut NKRI secara jelas dan utuh serta turut andil dalam memanfaatkan sumber daya alam di perairan internasional.
4)
Strategi 4: Menuntaskan penyelesaian hak dan kewajiban dalam mengelola wilayah perbatasan maritim berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982. Tujuan dari strategi ini adalah untuk segera menuntaskan perjanjian-perjanjian batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga yang masih terbengkalai dan memperjuangkan pembagian beban bersama dalam menjaga keselamatan, keamanan dan perlindungan wilayah maritim perbatasan dengan negara-negara tetangga sesuai amanat UNCLOS 1982. Sasaran yang hendak dicapai adalah jelasnya batas wilayah laut yurisdiksi nasional, guna mendapat kepastian hukum dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya laut dan penegakan hukum di wilayah laut perbatasan.
5)
Strategi 5: Membentuk sistem kelembagaan pemerintahan di bidang kelautan yang terintegrasi, komprehensif, berwenang untuk membuat perencanaan dan mengevaluasi implementasi program-program pembangunan kelautan nasional secara keseluruhan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk membentuk sistem kelembagaan pemerintah yang memiliki wewenang menyusun dan memadukan perencanaan atau roadmap seluruh pembangunan kelautan nasional serta mengevaluasi tahapan implementasinya. Sasaran yang hendak dicapai adalah sinergis dan harmoninya pembangunan bidang kelautan nasional, baik diantara internal sektornya maupun dengan bidang lainnya.
6)
Strategi 6: Membangun sistem tata kelola kelautan Indonesia yang baik, transparan, adil, dan bertanggungjawab. Tujuan dari strategi ini adalah untuk membuat aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut berjalan efektif, selaras, dan berkelanjutan serta dapat mencegah timbulnya potensi konflik sosial. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah : i.
Usaha bidang kelautan berjalan optimal, efisien, dan sesuai dengan kapasitas daya dukungnya.
104
ii.
Nihilnya potensi konflik sosial yang diakibatkan oleh pemanfaatan sumberdaya laut.
7)
Strategi 7: Meningkatkan pengelolaan aset Negara di Bidang Kelautan, Strategi ini bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bangsa dan rakyat Indonesia sesuai amanat pasal 33 UUD 1945. Sasaran yang ingin dicapai adalah Optimalnya pengelolaan aset/kekayaan negara di bidang kelautan (seperti: wilayah pesisir, laut, dasar laut, tanah di bawah dasar laut dan segala kekayaan yang terkandung didalam/diatasnya termasuk keindahan, serta kekayaan yang tidak terlihat (intangible), contohnya: rute-rute pelayaran).
8)
Strategi 8: Memperkuat sumberdaya manusia untuk menjalankan fungsifungsi pemerintahan di bidang kelautan yang didasarkan pada peraturan perundangan baik nasional maupun internasional. Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme sumberdaya manusia yang bertugas menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan di laut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, baik ditingkat nasional maupun internasional. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah sumber daya manusia yang cakap dan profesional dalam menjalan tugas-tugas pokok dan fungsi-fungsi pemerintahan di laut Indonesia.
9)
Strategi 9: Mengefektifkan sistem koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan di bidang kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan efektivitas koordinasi antar sektor dalam merumuskan pengembangan bidang kelautan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah terselesaikannya permasalahan yang terkait dengan bidang kelautan secara cepat dan tepat.
c.
Strategi untuk Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy): 1)
Strategi 1: Membentuk Badan Keamanan Laut Indonesia yang profesional. Tujuan dari strategi ini adalah untuk membentuk satu lembaga yang memiliki kewenangan multifungsi sebagai maritime law enforcement, search and rescue at sea, environmental protection, shipping safety, fishery protection, dan custom and immigration secara efektif dan efisien. Lembaga/Instutusi ini akan mengintegrasikan BAKORKAMLA dengan seluruh instansi-instansi yang berwenang mengadakan operasi penegakan hukum dan keamanan di laut, yang selama ini menjalankan fungsi-fungsi seperti tersebut diatas secara sendiri-sendiri, sehingga menjadi kurang efektif dan efisien, bahkan cenderung tumpang tindih dalam pelaksana-
105
annya. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah laut Indonesia menjadi aman dan terjaga dari kejahatan perompakan, penyelundupan, pencurian kekayaan negara, kejahatan transnasional, dan kejahatan-kejahatan laut lainnya. 2)
Strategi 2: Meningkatkan kemampuan dan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di seluruh wilayah laut dalam yurisdiksi nasional dan kinerja keamanan di laut lepas. Strategi ini bertujuan untuk mampu secara efektif menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI dari ancaman pihak asing melalui penyediaan fasilitas armada pengawas termasuk alutsista untuk memperkuat hankam wilayah laut dalam yuridiksi nasional, khususnya yang berbatasan dengan Negara tetangga. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah :
3)
i.
Terjaganya kedaulatan dan keutuhan wilayah laut NKRI.
ii.
Terwujudnya kekuatan laut nasional yang diperhitungkan dan disegani oleh negara-negara lain.
Strategi 3: Meningkatkan peran aktif dalam kerjasama pertahanan dan keamanan bidang kelautan di tingkat regional dan internasional. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memperkuat eksistensi bangsa Indonesia dalam mengelola dan mengembangkan bidang kelautan di tingkat regional dan internasional. Hal ini dapat dicapai melalui kebijakan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai organisasi kelautan regional dan dunia, seperti ARF (Asean Regional Forum), ADMM (Asean Defence Minister Meeting), ASPC (Asean Political and Security Council), PSI (Prolifereaction Security Initiative) dan CSI (Container Security Initiative). Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi di tingkat regional dan internasional dalam pengelolaan bidang kelautan.
4)
Strategi 4: Mengembangkan Sistem Monitoring, Controling, and Surveilance (MCS) dan Penanganan Pelanggaran di laut yang efektif. Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan keterpaduan pelaksanaan deteksi, identifikasi, pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran di wilayah laut NKRI. Sasaran yang hendak dicapai adalah terkendalinya pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional untuk pengembangan usaha bidang kelautan
5)
Strategi 5: Mempercepat pembangunan wilayah di choke points dan sabuk batas wilayah teritorial Indonesia. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memperkuat jati diri bangsa dan stabilitas hankam di wilayah-wilayah perbatasan dari pengaruh ideologi, politik, ekonomi,
106
sosial, dan budaya negara asing/negara tetangga. Sasaran yang hendak dicapai adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan lingkungan yang kondusif di sekitar wilayah perbatasan negara.
d.
Strategi untuk Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy): 1)
Strategi 1: Menciptakan iklim investasi usaha di bidang kelautan yang kondusif dan efisien. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menarik minat para investor, utamanya investor dalam negeri, untuk berinvestasi di bidang kelautan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah : i.
Pemanfaatan sumberdaya laut nasional yang optimal dan sesuai dengan kapasitas daya dukungnya.
ii. 2)
Berkembangnya industri kelautan nasional.
Strategi 2: Menciptakan sistem fiskal dan moneter yang mendukung pengembangan usaha bidang kelautan. Strategi ini bertujuan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan industri kelautan nasional, mulai dari hulu hingga hilir. Sasaran yang ingin dicapai adalah industri kelautan nasional tumbuh kuat dan memiliki daya saing yang baik.
3)
Strategi 3: Membangun kawasan ekonomi kelautan secara terpadu dengan menggunakan prinsip-prinsip blue economy di wilayah pesisir dan perairan laut Indonesia. Tujuan dari strategi ini adalah jaminan kepastian tempat pengembangan usaha bidang kelautan yang efisien, aman, dan berkelanjutan serta berbasis lingkungan atau ekosistem. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah tumbuhnya sentrasentra pengembangan usaha atau bisnis bidang kelautan yang inovatif, terintegrasi, efisien, nir-limbah, berdaya saing, dan berjalan sinergis dengan sektor dan bidang lain yang terkait.
4)
Strategi 4: Mengoptimalkan penyediaan fasilitas infrastruktur yang dibutuhkan dunia usaha di bidang kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mendukung dan mempermudah usaha bidang kelautan tumbuh dan berkembang dengan stabil, efisien dan berkelanjutan. Sasaran yang hendak dicapai adalah terpenuhinya fasilitas infrastruktur dasar (seperti: energi listrik, air bersih, bahan bakar minyak/BBM atau substitusinya, aksesibilitas, dan pelabuhan) untuk pengembangan usaha bidang kelautan.
107
5)
Strategi 5: Mengembangkan dunia usaha di bidang kelautan nasional yang berdaya saing dan bertaraf internasional. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menumbuhkan dan membangun usaha atau industri kelautan di Indonesia guna menggerakkan perekonomian, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan nasional. Sasaran yang hendak dicapai adalah meningkatnya kontribusi bidang kelautan terhadap pertumbuhan ekonomi, PDB, penyerapan tenaga kerja dan tingkat kesejahteraan nasional.
6)
Strategi 6: Mengembangkan kemitraan usaha bidang kelautan yang saling menguntungkan antara usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan usaha besar. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mempercepat tumbuhnya usaha bidang kelautan secara merata dan berkembang secara sinergis untuk saling melengkapi serta saling menguntungkan dalam upaya mengembangkan usaha bidang kelautan yang terpadu dan efisien. Sasaran yang hendak dicapai adalah usaha bidang kelautan yang tumbuh dan berkembang luas di masyarakat serta memberikan manfaat yang nyata dalam meningkatkan pendapatan masyarakat.
7)
Strategi 7: Mengembangkan kota bandar dunia Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengoptimalkan letak posisi strategis Bangsa Indonesia yang berada di tengah persimpangan jalur penting perdagangan dunia (dilalui 40% kapal-kapal perdagangan internasional) dengan mengembangkan kota-kota pantainya sebagai kota bandar dunia untuk kawasan industri dan perdagangan internasional. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah:
8)
i.
Tumbuh pesatnya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir dan sekitarnya.
ii.
Terciptanya banyak lapangan kerja.
iii.
Meningkatnya kesejahteraan masyarakat pesisir
Strategi 8: Memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan bagi sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah agar sumber daya manusia kelautan Indonesia, utamanya tenaga kerja yang bekerja di industri-industri kelautan nasional, memperoleh akses kesempatan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan yang layak. Sekurang-kurangnya tingkat pendapatannya bisa mencukupi kebutuhan minimum untuk pangan dan sandang, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan di lingkungan tempat tinggalnya. Sasaran yang hendak dicapai adalah bidang kelautan memberikan kontribusi nyata bagi berkurangnya jumlah kemiskinan di Indonesia.
108
9)
Strategi 9: Mengembangkan kerjasama ekonomi dengan negara-negara mitra dagang bidang kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menyediakan jaminan kepastian pasar global bagi industri kelautan nasional. Sasaran yang hendak dicapai adalah kuatnya posisi tawar industri kelautan nasional dalam perdagangan internasional.
e.
Strategi untuk Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy): 1)
Strategi 1: Memperkuat dan mengembangkan Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), pesisir, laut dan pulau-pulau kecil melalui pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk membangun pola-pola pengelolaan wilayah DAS, pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang saling mendukung dan terpadu serta harmoni dengan lingkungan daratan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah: i.
Terwujudnya sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terpadu dan berkelanjutan.
ii.
Terbentuknya wilayah pesisir hijau yang serasi dan harmoni dengan lingkungan.
2)
Strategi 2: Memperkuat konservasi ekosistem laut. Strategi ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut dan sekaligus memelihara kelestarian sumberdaya hayatinya. Sasaran yang ingin dicapai adalah terlindungnya wilayah pesisir dari gangguan atau kerusakan alam dan memberikan manfaat nyata bagi kehidupan masyarakat.
3)
Strategi 3: Mencegah, menanggulangi. dan pemulihan sumber pencemaran dan dampak pencemaran, bencana, dan perubahan iklim. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memelihara dan menjaga lingkungan laut bagi kehidupan dan kesehatan manusia, baik saat ini maupun yang akan datang, serta untuk meminimalisir resiko bencana yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir dan laut. Wilayah Indonesia sebagian besar adalah laut, sehingga bila lingkungan laut tersebut terpelihara dan terjaga dengan baik, maka akan menunjang sumber kehidupan yang masyarakat pesisir secara berkelanjutan. Selain itu, juga akan menjadi sumber makanan sehat dan obat-obatan bagi manusia. Jadi sudah semestinya laut menjadi sumber kehidupan bangsa untuk masa kini dan masa depan. Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah meningkatnya kesejahteraan dan kualitas hidup serta keselamatan rakyat Indonesia, utamanya masyarakat pesisir.
109
4)
Strategi 4: Mengembangkan tata guna dan infrastruktur pesisir dan laut (coastal and sea use) yang berkelanjutan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menerapkan perencanaan sistem tata guna dan infrastruktur pesisir dan laut yang sinergi dan harmoni dengan lingkungannya. Sasaran yang hendak dicapai adalah terciptanya keterpaduan dalam perencanaan tata ruang antara satu sektor dengan sektor lainnya tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan pesisir dan laut.
5)
Strategi 5: Mengembangkan kerjasama bilateral, regional dan global di bidang pengelolaan lingkungan kelautan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan lingkungan laut dengan ruang lingkup yang lebih luas dan terpadu. Sasaran yang hendak dicapai adalah terjaga dan lestarinya kawasan ekosistem laut secara utuh dan menyeluruh dengan pendanaan secara bersama.
4. Upaya-Upaya
110
“Kebijakan Kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan dalam mengakselerasi pembangunan nasional melalui kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan lingkungan laut (marine environment policy), guna mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional”.
KEBIJAKAN
STRATEGI
Ocean Culture 1. Membangkitkan Policy: wawasan dan Menjadikan laut budaya bahari sebagai ruang hidup dan ruang juang, tempat berkarya, bekerja, berolah raga, bersukaria dan masyarakat Indonesia mencintai, memelihara, mengembangkan, mengelola, mengolah dan memanfaatkan sumber daya laut secara bertanggungjawab dan berkelanjutan
SUB-KEBIJAKAN
Kemdikbud, KKP, Kemhub, Diklat Kelautan Ormas/LSM Kelautan Lembaga Keagamaan
c) Merumuskan dan mengembangkan Wawasan Kelautan, yaitu Wawasan Bahari
111
g) Memelihara peninggalan Budaya Bawah Air melalui Reservasi, Restorasi dan Konservasi
f) Memasukkan Wawasan Bahari, kearifan lokal, adat istiadat Bahari dan Budaya Bahari ke dalam silabi Diklatnas
e) Mengembangkan Budaya Bahari menjadi bagian dari Budaya Nasional Kemdikbud, KKP Kemhub, Diklat Kelautan Ormas/ LSM Kelautan
Kemdikbud, Kemnegristek, dan Pemda
b) Membangun museum-museum IPTEK Kelautan dan Budaya Bahari
d) Merumuskan Wawasan Bahari sebagai Geo-life bangsa Indonesia disamping Wawasan Nusantara sebagai Geo-politik
Kemdikbud dan DEKIN
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
a) Mensosialisasikan nilai-nilai budaya bahari Indonesia kepada masyarakat umum untuk meningkatkan minat dan apresiasi nasional dalam pembangunan kelautan
UPAYA
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Jangka Pendek s/d Menengah
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Periode Waktu
Tabel 6.1 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Kebudayaan Kelautan (Ocean Culture Policy)
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
4. Meningkatkan dan Memberdayakan sumberdaya manusia (SDM) Bahari
3. Mempertahankan dan mengembangkan kota-kota pelabuhan sejarah
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Kemdikbud, Kem-PU dan Pemda
b) Merevitalisasi kota-kota bandar/ pelabuhan sejarah
112
c) Memasukkan kurikulum materi kelautan ke setiap Diklatluh
b) Merumuskan Standar kompetensi SDM Bahari
a) Membentuk Lembaga Diklat yang Kemdikbud, Kemhub, berkualitas sesuai dengan KKP, lapangan pekerjaan
Kemdikbud, LIPI, dan Perguruan Tinggi
Jangka Pendek s/d Panjang
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Kemdikbud, Lembaga adat dan Lembagalembaga swadaya masyarakat
a) Melakukan penelitian dan men dokumentasikan kota-kota bandar/pelabuhan lama/tua yang menjadi bukti sejarah kejayaan bahari nusantara
c) Menjadikan pelestarian lingkungan laut sebagai bagian dari budaya bahari
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Periode Waktu
Kemdikbud, LIPI, dan Perguruan Tinggi
h) Menyelenggarakan Pemilihan Kemdikbud, Putra Putri Bahari setiap tahun Kemparekraf, menjadi bagian acara peringatan Kempora Hari Nusantara
UPAYA
2. Harmonisasi unsur- a) Melakukan penelitian dan menunsur kearifan lokal dokumentasikan tentang kedalam sistem kebudayaan kelautan dan nilaipengelolaan dan nilai budaya tradisional pemanfaatan masyarakat maritim sumber daya kelautan b) Memasukan unsur-unsur kearifan lokal yang termuat dalam tradisitradisi lokal ke dalam sistem pendidikan formal dan informal
STRATEGI
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
Instansi Pemerintah yang terkait,Swasta, Diklat kelautan, dan Tokoh masyarakat kelautan
f) Membentuk Ocean Center di Pusat, Regional dan Kab/Kota yang anggotanya pemerintah, diklat, swasta dan masyarakat
Kemnegristek, Kemdikbud, dan LIPI Kemkominfo dan Kemnegristek
c) Meningkatan sarana dan prasarana riset dan iptek kelautan d) Memacu pemanfaatan dan penerapan hasil-hasil riset kelautan yang telah dihasilkan melalui program difusi dan diseminasi
113
Kemnegristek, Kemdikbud, LIPI, dan Perguruan Tinggi
b) Membangun pusat-pusat riset kelautan tropis yang merupakan center of excelences dunia
Kemnegristek, Kemdikbud, LIPI, Perguruan Tinggi, dan Asosiasi
g) Menyediakan SDM Bahari yang Kemdikbud,KKP, tangguh dan bertaraf internasional Kemhub, untuk memenuhi kebutuhan Kemnakertrans nasional dan internasional
Kemdikbud
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
e) Mengembangkan program bea siswa khusus di bidang kelautan
d) Membangun Universitas Kelautan dan Institut Teknologi Maritim
UPAYA
5. Meningkatkan dan a) Menyusun rencana induk riset menguatkan kelautan nasional dan mengperanan IPTEK dan integrasikannya dengan kegiatan Riset Kelautan industri kelautan nasional
STRATEGI
Jangka Panjang
Jangka Panjang
Jangka Panjang
Jangka Pendek
Jangka Pendek s/d Panjang
Jangka Pendek s/d Panjang
Jangka Panjang
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
114
i)
Mengadakan kerjasama antar lembaga kelautan, baik nasional maupun internasional
h) Mengintegrasikan kegiatan Riset dan IPTEK kelautan dengan kegiatan industri
g) Membangun Sistem Informasi Maritim Nasional
f) Menyelenggarakan Riset Kelautan
e) Menguasai IPTEK kelautan
UPAYA Kemnegristek, LIPI, KKP, Kemdikbud, Kemhub, Kemkominfo Pemda, Perguruan Tinggi, dan Industri maritim
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab Jangka Pendek s/d Panjang
Periode Waktu
“Kebijakan Kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan dalam mengakselerasi pembangunan nasional melalui kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan lingkungan laut (marine environment policy), guna mewujudkan guna mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional”.
KEBIJAKAN
STRATEGI
115
3. Mengimplementasi- a) Menyelesaikan batas wilayah laut/ KKP, DEKIN, kan dan menindak maritim antara lain Zona Kemkumham, Kemlu, lanjuti Konvensi PBB Tambahan, Landas Kontinen Kemhan, dan Mabes TNI tentang Hukum Laut Internasional 1982 b) Menyelesaikan Delimitasi wilayah (UNCLOS 1982) laut dengan negara tetangga a.l.
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Jangka Pendek
Jangka Menengah
b) Melakukan penelitian/pengkajian: DEKIN, KKP, - Pengaturan hukum yang perlu Kemkumham, diciptakan (belum ada pengdan DPR aturannya) - Pengaturan hukum yang memerlukan aspek kelautan nya (belum ada aspek kelautannya) - Pengaturan hukum yang memerlukan harmonisasi/ sinkronisasi ( mencegah tumpang tindih/bertentangan)
Periode Waktu Jangka Menengah
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab DEKIN, KKP Kemkumham, dan DPR
a) Melakukan penelusuran, inventarisasi, dsn identifikasi peraturan perundang-undangan di bidang kelautan
UPAYA
2. Mempercepat tera) Mensinkronkan konsep Rancangan DEKIN dan DPD bentuknya peraturan Undang-Undang (RUU) Kelautan perundang-undangan DPD dan DEKIN yang mengatur bidang kelautan b) Mengupayakan RUU Kelautan DEKIN, KKP, secara kompremasuk prioritas Prolegnas 2013 Kemkumham, dan DPR hensif dan terpadu
Ocean 1. Menata sistem Governance hukum nasional di Policy: bidang Kelautan Menciptakan sistem tata kelola kelautan nasional yang komprehensif, terintegrasi, efektif, dan efisien
SUB-KEBIJAKAN
Tabel 6.2 Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Tata Kelola Kelautan (Ocean Governance Policy)
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN Singapura, Malaysia, India, Timor Leste, Palao c) Merumuskan pengaturan hak dan kewajiban Indonesia di Laut Bebas d) Memperkuat kerjasama dengan International Seabed Authority dalam rangka Pemanfaatan International Seabed Area
UPAYA
Jangka Menengah Jangka Menengah
Kemhan, TNI AL, Setneg, dan Kemlu BNPP, KKP, Kemparekraf
116
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Periode Waktu
Kemlu, Kemhan, Setneg, dan Kemkumham
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
5. Membentuk sistem a) Meningkatkan dan memperkuat Presiden dan DEKIN kelembagaan peran dan fungsi DEKIN sebagai pemerintahan di Lembaga Pemerintah Non bidang kelautan Kementerian bidang Kelautan yang terintegrasi, (National Ocean Office dan komprehensif, dan Steering Committee) berwenang untuk membuat perenb) Menata Tata Pemerintahan Kemdagri dan DEKIN canaan dan mengKelautan antar strata (Pusat dan evaluasi implementasi Daerah) program-program pembangunan kelautan nasional secara keseluruhan
4. Menuntaskan a) Mengakselerasi penyelesaian penyelesaian hak & penetapan batas maritim dengan kewajiban dalam negara-negara tetangga mengelola wilayah perbatasan maritim b) Menuntaskan penataan namaberdasarkan nama geografis (toponimi) maritim ketentuan UNCLOS 1982 c) Mengelola wilayah perbatasan maritim dan pulau-pulau kecil terluar secara efektif dan efisien
STRATEGI
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
UPAYA
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Kemkeu, Kem-ESDM, Kemhub, KKP, Kemneg-BUMN, Kemparekraf
Kemkeu, Kem-ESDM, Kemhub, KKP, Kemneg-BUMN, Kemparekraf
b) Menyusun dan menyempurnakan sistem bagi hasil pemanfaatan sumber daya laut milik Negara yang memberikan manfaat maksimal untuk kemakmuran bangsa dan rakyat Indonesia c) Menyempurnakan sistem manajemen dan pelayanan dalam pengelolaan aset/ kekayaan Negara di bidang Kelautan
a) Menyusun dan menyempurnakan DPR, Setneg, peraturan yang menjadi landasan Kemkumham, dan legal bagi kerjasama sinergis dan Pemda saling menguntungkan dalam memanfaatkan sumber daya laut
117
8. Memperkuat a) Mendirikan pusat pendidikan dan Kemdikbud dan sumberdaya manusia pelatihan ketenagakerjaan untuk Kemenakertrans untuk menjalankan bidang pengelolaan kekayaan fungsi-fungsi laut pemerintahan di
7. Meningkatkan pengelolaan aset Negara di bidang Kelautan
b) Menyusun rencana induk penge- BAPPENAS dan lolaan darat, pesisir, dan laut BAPPEDA dalam kesatuan Tata Ruang Nasional
6. Membangun sistem a) Membangun sistem tata Kemdagri, tata kelola kelautan pemerintahan di bidang kelautan Kemnegpan, Indonesia yang baik, yang efisien, komprehensif dan DEKIN, dan Pemda transparan, adil, dan terintegrasi, baik di tingkat pusat bertanggungjawab. maupun daerah.
STRATEGI
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN b) Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di instansi pemerintahan pusat dan daerah yang terkait dengan pengelolaan bidang kelautan
bidang kelautan yang didasarkan pada peraturan perundangan baik nasional maupun internasional
118
9. Mengefektifkan a) DEKIN mengundang secara sistem koordinasi periodik kementerian/lembaga dalam perencanaan, terkait dalam rangka koordinasi pelaksanaan, bidang kelautan monitoring dan evaluasi kebijakan b) Menjadikan DEKIN sebagai bidang kelautan institusi terdepan dalam membahas isu-isu atau peristiwa terkini di bidang kelautan
UPAYA
STRATEGI
DEKIN dan Kementerian / Lembaga terkait
Kemhub, Kem-ESDM, KKP, Kemperin, Kemparekraf, Kemkeu, TNI-AL, dan POLRI
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Periode Waktu
Tabel 6.3
kuat, dan berbasis kepentingan nasional”.
“Kebijakan Kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan dalam mengakselerasi pembangunan nasional melalui kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan lingkungan laut (marine environment policy), guna mewujudkan guna mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju,
KEBIJAKAN
STRATEGI
Maritime Security 1. Membentuk Badan Policy : Keamanan Laut Menegakkan Indonesia yang kedaulatan dan profesional hukum di laut yuridiksi nasional, demi terwujudnya kesatuan wilayah NKRI, serta terjaminnya keamanan dan keselamatan pelayaran, dan keamanan sumber daya hayati dan sumber daya alam 2. Meningkatkan laut yang kuat dan kemampuan dan terkoordinasi kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di seluruh wilayah laut dalam yurisdiksi nasional dan kinerja keamanan di laut lepas
SUB-KEBIJAKAN
Jangka Menengah
c) Membangun pos-pos pengawasan Kemhan, TNI AL, pada wilayah Alur Laut Kepulauan dan POLRI Indonesia (ALKI).
119
Jangka Menengah
Jangka Menengah s/d Panjang
b) Membangun Pangkalan Utama Kemhan, TNI AL, dan Pangkalan Aju serta lapangan dan TNI AU terbang untuk mendukung keterpaduan operasi di perbatasan laut wilayah NKRI
d) Mengintensifkan kerjasama Kemhan, TNI AL, antara pemerintah pusat dengan POLRI, dan Pemda. pemerintah daerah untuk mendukung dalam memenuhi sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan di laut.
Jangka Panjang
a) Memperkuat dan memodernisasi Kemhan, TNI AL, sistem ALUTSISTA di laut dan POLRI
Jangka Pendek s/d Jangka Menengah
Periode Waktu
Jangka Pendek
Kemenkopolhukam, TNI AL, POLRI, Kemhub, Kemkeu, KKP, Basarnas, dan Kemnegpan
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
b) Menyusun sistem manajemen Kemenkopolhukam, operasi Badan Keamanan Laut TNI AL, POLRI, Indonesia yang efektif dan efisien Kemhub, Kemkeu, KKP, dan Basarnas
a) Mempercepat terbentuknya Badan Keamanan Laut Indonesia yang memiliki kewenangan multifungsi dalam maritime law enforcement, search and rescue at sea, environment protection, shipping safety, fishery protection, dan custom and immigration.
UPAYA
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Keamanan Maritim (Maritime Security Policy)
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
120
i)
Mengembangkan secara terus menerus Satuan Tugas antara TNI AL, TNI AU dan Bakamla di
h) Melaksanakan latihan bersama atau latihan gabungan dengan Angkatan Laut negara tetangga di wilayah perbatasan guna mengurangi kemungkinan konflik
g) Memadukan operasi pengawasan dan pencegahan pelanggaran bersama-sama dengan satuansatuan Bakamla, dengan demikian kegiatan diatas akan dapat menjamin kehadiran secara terus menerus dari ke 3 satuan diatas di pulau-pulau kecil terdepan, yang akan dapat memberikan rasa aman dan bangga terhadap NKRI
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
f) Menghadirkan secara terus Kemhan, Mabes TNI, menerus diseluruh wilayah rawan TNI AL, TNI AU di perbatasan oleh satuan tugas TNI AL, TNI AU dan Bakamla untuk mengadakan operasi pengawasan dan pencegahan pelanggaran wilayah perbatasan, sesuai dengan tingkat kerawanan ancaman
Periode Waktu Jangka Panjang
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
e) Meningkatkan kapasitas sumber Kemhan, POLRI daya manusia kelautan, utamanya dan Pemda nelayan, melalui kerjasama pendidikan dan pelatihan hankam di laut
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
121
Menko Polkam,TNI AL, POLRI, Kemkumham, Kemhub, Kemkeu, KKP
a) Mempercepat terbentuk dan berfungsinya sistem MCS yang terintegrasi oleh : - Seluruh unsur-unsur TNI AL, TNI AU dengan komando Mabes TNI AL dan TNI AU secara terintegrasi dalam penyelenggaraan fungsi pertahanan - berfungsinya sistem MCS terintegrasi dari seluruh unsur-
4. Mengembangkan Sistem Monitoring, Controling, and Surveilance (MCS) dan Penanganan Pelanggaran di laut yang efektif
Menyiapkan kekuatan pemukul reaksi cepat dengan kekuatan Tri Matra terpadu sebagai kekuatan terpusat dalam rangka antisipasi terhadap berbagai perkembangan lingkungan strategik yang urgen diwilayah perbatasan maupun wilayah kerawanan yang tinggi
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Meningkatkan peran aktif Indonesia Kemlu, Kemhan, TNI dalam kerjasama lembaga keamanan dan POLRI laut di berbagai forum regional dan internasional, seperti ARF (Asean Regional Forum), ADMM ( Asean Defence Minister Meeting), ASPC (Asean Political and Security Council), PSI (Prolifereaction Security Initiative) dan CSI (Container Security Initiative)
j)
setiap pelaksanaan operasi di perbatasan laut untuk mewujudkan keterpaduan dalam upaya menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah NKRI.
UPAYA
3. Meningkatkan peran aktif dalam kerjasama pertahanan dan keamanan bidang kelautan di tingkat regional dan internasional
STRATEGI
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Jangka Menengah
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Jangka Pendek s/d
e) Mengembangkan proses peradilan Menko Polkam,TNI AL, satu atap untuk mempercepat POLRI Kemkumham, penanganan pelanggaran di laut Kemhub, Kemkeu, KKP
122
Jangka Panjang
d) Meningkatkan kualitas dan Kemdikbud, Kemhan, kuantitas SDM keamanan laut TNI AL dan POLRI dalam rangka menjaga keamanan dan penegakan hukum di wilayah perairan laut Indonesia
Jangka Menengah
c) Mengembangkan sistem hukum Kemkumham, kelautan untuk negara kepulauan Kejaksaan, POLRI, yang sesuai dengan konstitusi dan TNI AL
Periode Waktu
Jangka Menengah
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Kemkumham, Kejaksaan, POLRI, dan TNI AL.
b) Meningkatkan kapasitas kelembagaan penegak hukum di laut dan peradilan maritim
unsur Bakamla dengan pusat komando di Bakamla - berfungsinya MCS terintegrasi yang mencakup Mabes TNI, Mabes Al, Mabes AU, Mabes AD, Mabes Polri, Bakamla,Menham dan Menkopolkam dalam wujud MCS Nasional - Diharapkan dengan terwujudnya sistem MCS nasional terintegrasi baik disektor pertahanan dan keamanan serta keselamatan dilaut maka akan dapat dicapai perwujudan sistem pengawasan, pengendalian , pencegahan seluruh ATHG di wilayah laut Nusantara secara optimum dan efisien
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
5. Mempercepat pembangunan wilayah di choke points dan sabuk batas wilayah teritorial Indonesia
STRATEGI
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
123
Jangka Pendek
b) Mempercepat penetapan Peraturan Pemerintah tentang Security Belt
Kemhan, Setneg dan Kemkumham
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Jangka Panjang
Periode Waktu
a) Mengembangkan armada Kemhan dan TNI AL pengawasan di wilayah “maritime boundary” dan 4 choke points di wilayah perairan Indonesia
f) Memberdayakan potensi Kemhan, POLRI masyarakat sipil untuk mendukung dan Pemda pengawasan keamanan maritim di wilayah sekitarnya
di kota- kota pantai terdekat dengan wilayah kerawanan
UPAYA
Tabel 6.4
“Kebijakan Kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan dalam mengakselerasi pembangunan nasional melalui kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan lingkungan laut (marine environment policy), guna mewujudkan guna mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional”.
KEBIJAKAN
STRATEGI
Kemdag, Kemhub, dan Pemda
e) Memperbaiki sistem distribusi logistik yang efisien dan terpadu
124
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Jangka Menengah
POLRI, TNI AL, Kemkumham, Pemda
d) Memberikan jaminan keamanan dan aset usaha, serta perlindungan HAM.
Jangka Pendek
Kemkeu, BI, dan Lembaga perbankan dan keuangan lainnya
Kemkeu
c) Memberikan insentif perpajakan
Jangka Pendek
Jangka Pendek
Kemdag, Kemperin, KKP, Kemhub, Kemparekraf, KemESDM, dan Pemda
b) Merealisasikan sistem pelayanan terpadu untuk penanaman modal usaha bidang kelautan dengan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang jelas
Jangka Pendek
Periode Waktu
Kemkeu, BI, Lembaga perbankan dan keuangan lainnya
Kemdag, Kemperin, KKP, Kemhub, Kemparekraf, KemESDM, dan Pemda
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
a) Menyederhanakan/ menyempurnakan peraturan yang menyangkut perizinan usaha bidang kelautan
UPAYA
2. Menciptakan sistem a) Mendorong kebijakan pemerintah fiskal dan moneter dan lembaga keuangan untuk yang mendukung membiayai pengembangan pengembangan industri maritim yang efisien dan usaha bidang berdaya saing kelautan b) Mengembangkan sistem pembiayaan bersama di bidang kelautan melalui konsep publicprivate-people partnership
Ocean Economic 1. Menciptakan iklim Policy: investasi usaha di Mewujudkan industri bidang kelautan kelautan yang yang kondusif dan kokoh, mandiri, efisien berdaya saing, dan terkemuka di dunia, serta memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi guna mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional
SUB-KEBIJAKAN
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Ekonomi Kelautan (Ocean Economic Policy)
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN c) Membentuk Indonesia Maritime Fund
UPAYA
Jangka Menengah
Kemdagri, KKP, Kem-ESDM, Kemhub, Kem-PU, Kemparekraf, Kemhan, Kemhut, dan Pemda
125
a) Menyusun blueprint pembangunan 5. Mengembangkan industri kelautan nasional yang dunia usaha di komprehensif dan terintegrasi bidang kelautan nasional yang berdaya saing dan bertaraf internasional b) Melaksanakan penegakan asas cabotage 100%
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Kemhub, Kemperin, Kemdag, KemnegBUMN, dan Asosiasi
Jangka Menengah
BAPPENAS, Kemhub, Kemperin, KKP, Kemparekraf, KemESDM, Kem-PU, dan Kemneg-BUMN.
b) Menciptakan iklim yang kondusif Kemkeu, BI, BUMN, untuk pihak swasta dalam dan Swasta membangun infrastruktur sekunder (yang bersifat komersial)
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Periode Waktu
Kemdagri, Kem-PU, dan Pemda
Kemkeu, BI, dan Asosiasi
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
4. Mengoptimalkan a) Meningkatkan pembangunan Kem-PU, Kem-ESDM, penyediaan fasilitas infrastruktur dasar/primer secara Kemhub, BAPPENAS, infrastruktur yang terpadu (seperti: penyediaan dan Pemda dibutuhkan industri energi dan air bersih, fasilitas kelautan keamanan dan keselamatan laut, sarana penghubung, dll)
3. Membangun a) Mengkoordinasikan dan mengkawasan ekonomi harmonikan perencanaan kelautan secara pembangunan dan pemanfaatan terpadu dengan kawasan pesisir dan laut dengan menggunakan tata ruang daratan sesuai kaidah prinsip-prinsip blue ekosistem economy di wilayah pesisir dan perairan b) Menyusun cetak biru kawasan laut Indonesia pengembangan ekonomi kelautan nasional terpadu dengan model pendekatan blue economy
STRATEGI
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Jangka Menengah
126
i)
Mengintegrasikan output dari DEKIN, BAPPENAS industri maritim dalam sistem Kemhub, Kemperin, perekonomian nasional sehingga Kemneg-BUMN mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional
Kemperin, KemnegBUMN, Kemhub, KKP, Kem-ESDM, Kemparekraf
Jangka Panjang
Jangka Menengah
g) Menjalin keterpaduan input, proses Kemperin, Kemnegdan output industri maritim dalam BUMN, Swasta rangka membangun kekuatan struktur ekonomi industri maritim h) Membangun sistem produksi dalam industri maritim yang berorientasi pada nilai tambah dari setiap rangkaian proses produksi yang efesien
Jangka Panjang
f) Memperkuat pelayaran rakyat Kemhub, Kemkeu, melalui peningkatan efisiensi dan dan Asosiasi keselamatan guna mendukung sistem logistik nasional di wilayah-wilayah remote
Kemhub, Pelindo, INSA, dan Kem-PU
e) Mengembangkan sistem manajemen transportasi laut yang efektif dan efesien serta terpadu dengan sistem transportasi darat dan udara
Jangka Panjang
Periode Waktu
Jangka Menengah
Kemhub, Kemdag, dan Asosiasi
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
d) Mengembangkan sistem Kemhub dan Kemnegkepelabuhanan yang efisien dan BUMN (Pelindo dan sesuai dengan standar Perum Pelabuhan internasional Perikanan)
c) Meningkatkan peran armada pelayaran nasional sebagai pemain utama dalam kegiatan ekspor-impor
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Jangka Menengah
Jangka Menengah
o) Mengembangkan dan memperKKP, Kemperin, kuat usaha dan industri perikanan Kemdag, Kemkeu, budidaya yang terpadu, efisien, dan Asosiasi dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah CCRF p) Mengembangkan dan memperKKP, Kemperin, kuat usaha dan industri pengKemdag, Kemkeu, olahan hasil perikanan yang dan Asosiasi efisien dan terpadu dengan perikanan tangkap dan budidaya
127
Jangka Menengah
Jangka Panjang
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Periode Waktu
n) Mengoptimalkan dan memperKKP, Kemperin, kuat usaha dan industri perikanan Kemdag, Kemkeu, tangkap yang terpadu, efisien, dan Asosiasi dan berkelanjutan sesuai dengan kaidah CCRF
m) Mengembangkan dan memperkuat industri galangan kapal dalam negeri
Kemperin, Kemdag, Kemkeu, dan Asosiasi
Kemenperind, KKP, Kemlu, Kemenristek, Kemdag, Kemenkop & UKM
l)
Mengedepankan peran industri maritim nasional dalam memenuhi kebutuhan produk-produk industri maritim sehingga mampu menciptakan industri yang tangguh
Kemperin, KKP, Kemlu, Kemdag, KemnegBUMN, Kemenegkop & UKM
Mempercepat kemampuan Kemperin, Kemnegstakeholder industri maritim dalam BUMN, Kemkeu, dan mengembangkan kapasitas BI usaha dan sinergi antar aktivitas ekonomi
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
k) Menciptakan rantai pemasaran produk industri maritim yang efesien dan adil serta memiliki daya saing global
j)
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
KKP, Kemperin, Kemdag, Kemkeu, dan Asosiasi Kemparekraf, KKP, Kemhub, dan Asosiasi
s) Mengembangkan dan memperkuat usaha dan industri garam dan mineral laut lainnya secara efisien dan berkelanjutan t) Mengembangkan dan memperkuat industri pariwisata bahari yang berkelas dunia
128
Jangka Panjang
Jangka Menengah
w) Meningkatkan promosi wisata Kemparekraf, KKP, secara efektif dan efisien di dalam dan Asosiasi maupun diluar negeri Kem-ESDM, Kemperin, Kemneg-BUMN, Perguruan Tinggi, Swasta
Jangka Menengah
v) Mengembangkan sistem Kemkeu dan pelayanan wisata bahari yang Kemparekraf kondusif melalui deregulasi CAIT (clearrance approval for Indonesian territory), CIQP (custom, immigration, quarantine, and port clearance), dan perizinan terpadu
x) Mengembangkan kapasitas nasional dalam pengelolaan energi dan sumberdaya mineral
Jangka Menengah
u) Mengembangkan beberapa lokasi Kemhub, Port of Entry untuk wisata bahari Kemparekraf, yang disinergikan dengan pengem- dan Asosiasi bangan kepelabuhanan nasional
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Jangka Menengah
KKP, Kemperin, Kemdag, Kemkeu, dan Asosiasi
r) Mengembangkan dan memperkuat usaha dan industri pengolahan hasil laut non-ikan yang efisien dan berkelanjutan
Periode Waktu Jangka Menengah
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
q) Memperkuat sistem produksi dan KKP, Kemperin, pemasaran serta manajemen Kemdag, Kemkeu, usaha perikanan dan Asosiasi
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Jangka Panjang
Kemnegristek, Kemperin, KKP, Kemenkes, Perguruan Tinggi, dan Investor/ Pengusaha Kemhan, Kemnegristek, Kemperin, TNI dan POLRI, dan BUMN Kem-PU, BAPPENAS, Kemhub, Pelindo, KKP, Kemparekraf, KLH, Pemda
Kem-PU, Kemhub, Pelindo, KKP, Kemparekraf, KLH, Pemda
bb) Mengembangkan industri farmasi laut
cc) Mengembangkan dan memperkuat industri strategis untuk pertahanan dan keamanan laut dd) Mengharmoniskan perencanaan dan implementasi serta pengelolaan pembangunan sektor bangunan kelautan antara pusat dan daerah sehingga dicapai efisiensi dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional ee) Mengembangkan standar bangunan kelautan yang sesuai dengan kebutuhan nasional dan memenuhi kriteria internasional serta mempertimbangkan aspek lingkungan
129
Jangka Pendek
Kemnegristek, Kemperin, KKP, Perguruan Tinggi, dan Investor/ Pengusaha
aa) Mengembangkan industri bioteknologi kelautan
Jangka Panjang
Jangka Panjang
Jangka Panjang
Jangka Panjang
Kem-ESDM, Kemperin, KKP, Perguruan Tinggi, dan Investor/Pengusaha
z) Mengembangkan industri energi laut (tenaga arus, OTEC, dan lainnya)
Jangka Pendek
Periode Waktu
Kem-ESDM, Kemperin, Kemneg-BUMN, Kemkeu, KLH
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
y) Mengintegrasikan kebijakan pengelolaan dalam mendorong usaha dibidang energi dan sumberdaya mineral yang kompetitif
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
7. Mengembangkan kota bandar dunia
6. Mengembangkan kemitraan usaha bidang kelautan yang saling menguntungkan antara usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan usaha besar
STRATEGI
Kemneg Kop & UKM, Kemkeu, dan BI
b) Memberikan insentif bagi pelaku kemitraan
130
a) Mengembangkan beberapa kota pelabuhan utama di Indonesia menjadi berskala internasional yang dapat melayani kapal-kapal internasional “post panamax” (> 300.000 DWT), yang memiliki
Kem-PU, Kemhub, KKP, Kem-ESDM, Pemda, Swasta, dan Lembaga perbankan dan keuangan lainnya
c) Meningkatkan peran UKM dalam Kemneg Kop & UKM, aktivitas ekonomi kelautan Kemperin, Kemneg BUMN, BI, KKP, Kemhub, Kemparekraf, d) Membangun keterpaduan Kemperin, Kemeneng pengembangan industri maritim Kop & UKM, melalui riset peningkatan teknologi Kemenristek dan melibatkan sektor ekonomi besar dan UMKM
Kemneg Kop & UKM, KKP, Kemparekraf, Kemperin, Kemdag, dan Asosiasi
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Jangka Panjang
Kemparekraf, KKP, Kemperin, KLH, Kem-PU, Pemda
gg) Mengembangkan industri jasa kelautan melalui kebijakan yang komprehensif dan kondusif sehingga peran sektor jasa kelautan meningkat a) Menyempurnakan mekanisme dan peraturan yang berkaitan dengan pola kemitraan di bidang kelautan
Jangka Panjang
Periode Waktu
Kemparekraf, KKP, Kemperin, KLH, Kemdikbud, KemenPU, Kemenristek, Pemda
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
ff) Mendayagunakan potensi sektor jasa kelautan secara efektif dan efesien melalui pengelolaan berbasiskan iptek dan kelestarian lingkungan laut
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
8. Memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan bagi sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan
STRATEGI
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Kemdikbud, KKP, Kemhub, Kemperin, Kemparekraf, dan Kem-ESDM
b) Meningkatkan kualitas dan ketrampilan SDM kelautan menjadi tenaga profesional melalui pendidikan dan pelatihan.
131
d) Menjamin terjadinya kesinambungan pengembangan profesionalisme SDM kelautan dengan pasar tenaga kerja nasional dan internasional.
Kemenakertrans, KKP, Kemhub, Kemperin, Kemparekraf, dan Kem-ESDM
c) Memaksimalkan pemanfaatan Kemenakertrans, KKP, SDM nasional dalam pengemKemhub, Kemperin, bangan aktivitas ekonomi kelautan. Kemparekraf, dan Kem-ESDM
Kemenakertrans, Pengusaha Industri Kelautan, dan Asosiasi Pekerja
a) Menyusun peraturan yang terkait dengan sistem pengupahan atau gaji yang layak bagi industri kelautan
b) Menyiapkan sistem pengelolaan Kemkeu, Kemneg kota bandar dunia yang efisien BUMN, dan Pemda sebagai kawasan ekonomi khusus yang menerapkan prinsip perdagangan bebas, pelayanan administrasi terpadu, dan penyelenggaraan manajemen usaha dan aset dengan kaidah bisnis
kawasan industri dan perdagangan internasional, serta kawasan hunian internasional yang menarik, dengan konsep penataan kota hijau (green concept)
UPAYA
Jangka Panjang
Jangka Menengah
Jangka Panjang
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
UPAYA
132
b) Mengembangkan SDM kelautan melalui program kemitraan dengan negara-negara tujuan ekspor (seperti: Uni Eropa, AS, dan Jepang)
9. Mengembangkan a) Mengakselerasi pengembangan kerjasama ekonomi sistem dan prosedur dengan negarakepelabuhanan dan perkapalan negara mitra dagang berstandar internasional melalui bidang kelautan kerjasama dengan negaranegara tujuan ekspor
STRATEGI
Kemdikbud, KKP, Kemhub, Kemperin, Kemparekraf, Kem-ESDM, dan BAPPENAS
Kemhub, KKP, Kemlu, Kemdag, dan BAPPENAS
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Jangka Pendek s/d Jangka Menengah
Periode Waktu
Tabel 6.5
“Kebijakan Kelautan Indonesia untuk pemanfaatan potensi kelautan dalam mengakselerasi pembangunan nasional melalui kebijakan kebudayaan kelautan (ocean culture policy), kebijakan tata kelola kelautan (ocean governance policy), kebijakan keamanan maritim (maritime security policy), kebijakan ekonomi kelautan (ocean economic policy), dan kebijakan lingkungan laut (marine environment policy), guna mewujudkan guna mewujudkan negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional”.
KEBIJAKAN
STRATEGI
UPAYA
133
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri,
d) Mengintegrasikan kajian-kajian tentang daya dukung dan daya tampung suatu kawasan dan
Jangka Pendek
Jangka Pendek
Jangka Pendek
Bappeda (Pemda), Kemkominfo, Kemdikbud, Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, Kemkumham, KKP, Kemperin, Kem-ESDM, Kemhub.
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP, ESDM, PT.
Jangka Pendek
Periode Waktu
Bappeda (Pemda), DPR, Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, Kemkumham, KKP.
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
c) Menginventarisasi data, sistem informasi dan penelitian di bidang lingkungan hidup melalui kegiatan penguatan basis data, penguatan sistem informasi, dan penguatan riset terkait dalam rangka mengembangkan model sistem pengelolaan terpadu DAS, pesisir dan laut pada wilayah yang kritis.
Marine 1. Menperkuat dan a) Melakukan harmonisasi hukum Environment mengembangkan dan penataan ruang/zonasi dalam Policy: Wilayah Daerah pengelolaan DAS, pesisir dan Menjadikan pesisir Aliran Sungai (DAS), laut. dan laut Indonesia pesisir, laut dan sebagai tempat pulau-pulau kecil hidup masyarakat melalui pengelolaan b) Meningkatkan kesadaran yang sehat dan secara terpadu dan masyarakat dalam memahami terlindung dari berkelanjutan. pengelolaan dan pelindungan bencana, serta lingkungan yang berbasis sekaligus dapat ekosistem secara keberlanjutan memberikan manmelaui kegiatan penyuluhan, faat yang berpelatihan, bimbingan teknis, kelanjutan bagi penyadaran masyarakat masyarakat dan (pendekatan budaya lokal), papan bangsanya) informasi, serta dengan mencegah pembuangan limbah atau pun sampak ke badan sungai.
SUB-KEBIJAKAN
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Implementasi Strategi dari Kebijakan Lingkungan Laut (Marine Environment Policy)
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Semua sektor
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
f) Menerapkan prinsip-prinsip integrated ocean and coastal management dan watershed management untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan. g) Melakukan koordinasi dengan stakeholders dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan, perlindungan DAS, pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, menyangkut kepada aspirasi masyarakat, kearifan lokal, keragaman karakter, dan fungsi ekosistem. Program yang dapat dilakukan oleh masyarakat antara lain adalah: - komposting, biogas. - mikrohidro, destilasi, energi matahari dan angin. - Meningkatkan pengelolaan dan perlindungan DAS, pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat atau co-management.
134
Semua sektor
e) Menerapkan blue economy dengan memperhitungkan daya dukung dan daya tampung kawasan.
menyusun strategi pengelolaan Kemenristek, limbah dalam rangka peningkatan Kemhut, KKP. pengelolaan limbah dengan mempertimbangkan interkoneksi laut dan daratan.
UPAYA
Jangka Pendek
Jangka Pendek/ Menengah/ Panjang
Jangka Pendek/ Menengah/ Panjang
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemperin, KKP, KemHub.
Melaksanakan pengawasan sistem berkala dan terpadu serta lebih ketat untuk memastikan polluter-pays principle bagi pencemar yang membuang limbahnya, baik langsung maupun tidak langsung ke sungai, muara dan laut. Mempercepat penyusunan Rencana Pengelolaan pesisir dan Wilayah pulau-pulau kecil.
i)
j)
135
m) Mengembangkan Desa pesisir dan industri kelautan di pesisir, antara lain dengan cara: - Meningkatkan usaha ekonomi pedesaan melalui berbagai kegiatan budidaya pesisir, pariwisata dan industri kreatif berdasarkan karakteristik dan
Kem-ESDM, KKP, Kemdagri , Pemda, KLH, Kemperin, Kemenpar dan IK, Kemneg-BUMN.
Jangka Pendek s/d Menengah
Kem-ESDM, KPU, KKP, Jangka Kemhub, Kemdagri , Pendek s/d Pemda, KLH. Menengah
Mempercepat pengembangan infrastruktur pesisir dan jaringan listrik.
l)
Jangka Pendek s/d Menengah
Kem-ESDM, KPU, KKP, Kemhub, Kemdagri , Pemda, KLH, BNPB.
Jangka Pendek
Jangka Pendek
Jangka Pendek
Periode Waktu
k) Mempercepat penyusunan Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berbasis mitigasi bencana melalui penyusunan Zonasi Tata Ruang Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, KKP.
Bappenas, Kemkeu, Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
h) Merumuskan sistem pendanaan yang tepat dan memadai.
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
2. Memperkuat konservasi ekosistem laut.
STRATEGI
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP, PT. Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH,
b) Mengembangankan model pengelolaan dan perlindungan terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan sea grass yang lestari di perairan Indonesia, termasuk di kawasan CTI. c) Menerapkan prinsip-prinsip integrated ocean and coastal
136
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
a) Melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati, dan peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi dan konservasi, antara lain dengan: - Menominasikan spesies laut yang dilindungi. - Menyusun peraturan yang mendefinisikan kriteria penilaian status perlindungan biota laut. - Menyusun sistem pemulihan spesies yang terancam punah.
n) Meningkatkan penataan pedesaan Kem-ESDM, KPU, di wilayah pesisir yang sehat dan KKP, Kemdagri , lestari melalui pembangunan Pemda, KLH, BNPB. desa pesisir berwawasan lingkungan.
potensi unggulan kawasan. - Meningkatkan ekonomi pedesaan melalui pengembangan industri kelautan melalui pengolahan hasil tangkapan ikan dan rumput laut.
UPAYA
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Jangka Pendek s/d Menengah
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Bappenas, Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP, ESDM, KemHub.
Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
KLH, Kemenristek, Kemhut, KKP, LIPI, PT, DEKIN.
g) Menyusun Peraturan tentang akses terhadap sumber daya genetik di perairan Indonesia dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika.
137
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
f) Meningkatkan perlindungan lingkungan terhadap MPA secara efektif, serta Membentuk satuan pengawas/ penjaga/ keamanan di MPA.
e) Memberikan dukungan anggaran Bappenas, Kemkeu, yang tepat dan memadai. Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
d) Melakukan penetapan wilayah konservasi ekosistem laut di perairan pedalaman, laut teritorial, perairan kepulauan, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan lingkungan perairan melalui pendekatan ekoregion dengan mempertimbangkan potensi ekonomi.
management , sustainable fisheries management dan precautionary approach untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan
UPAYA
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN h) Mencegah introduksi jenis asing invasive/IAS (sengaja dan tidak sengaja, termasuk dari air ballast) dan mengendalikan IAS (Invasive Alien Species) jenis asing invasif, aspek ini masih kurang ditangani padahal ini salah satu kontrobutor terbesar hilangnya beberapa flora dan fauna ( Keaneka Ragaman Hayati) lokal.
UPAYA
138
3. Mencegah, a) Menguatkan kelembagaan dan menanggulangi, koordinasi dalam bidang: dan pemulihan - Pengendalian dan pengelolaan sumber pencemaran wilayah pesisir dan laut. dan dampak - Mitigasi bencana dan adaptasi pencemaran, perubahan iklim di wilayah laut, bencana, dan pesisir dan pulau-pulau kecil. perubahan iklim. b) Pengembangan data, informasi, potensi dan karakteristik sumber daya alam wilayah pesisir dan laut, dan pulau-pulau kecil dalam rangka melakukan: - Pengendalian dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. - Mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal tersebut di atas dapat berfungsi sebagai: - Dalam rangka menentukan dampak pencemaran dan tingkat kerusakan suatu wilayah pesisir dan lau dan pulau-pulau kecil.
STRATEGI
Bappenas, Kemnegpan, Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
KLH, KKP, Kementerian Perhubungan (DirjenPerhubungan Laut, Karantina, Otoritas Pelabuhan-perlu dikonfirmasi kembali )
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
Jangka Pendek
Jangka Menengah s/d Jangka Panjang
Periode Waktu
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Jangka Pendek s/d Jangka Menengah
f) Meningkatkan pendidikan, Bappenas (Pemda), penelitian, pengembangan, dan KLH, KKP, Kemdagri, sosialisasi kepada semua instansi Kemenristek, Kemhut. terkait, termasuk masyarakat pesisir dan nelayan, untuk memberikan pemahaman tentang dampak yang diakibatkan dari perubahan iklim.
139
Jangka Menengah s/d Jangka Panjang
e) Mengidentifikasi dan mengusul- KemHub, KLH, KKP, kan Particularly Sensitive Sea KemenLu, KemHan Areas (PSSA) / Marine Protection Area (MPA).
Jangka Pendek s/d Jangka Menengah
Periode Waktu
Jangka Pendek s/d Jangka Menengah
Bappenas, Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemhut, KKP.
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
d) Menyusun program nasional KKP, KLH, pengendalian dan pengelolaan KemenHub, dampak pencemaran dan Kemndagri kerusakan lilngkungan di wilayah pesisir dan laut dan pulau-pulau kecil.
c) Menyusun Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) yang diikuti dengan langkah-langkah yang dapat dioperasionalkan di lapangan melalui kerjasama stakeholder
- Dalam rangka menentukan tingkat resiko dan kerentanan suatu wilayah pesisir dan laut dan pulau-pulau kecil.
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
4. Mengembangkan tata guna dan infrastruktur pesisir dan laut (coastal and sea use) yang berkelanjutan
STRATEGI
140
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, KKP
a) Mempercepat penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah pulau-pulau terdepan.
BPPT
KLH, KKP, Kemenristek, DNPI.
Mengembangkan penelitian dan penguasaan teknologi untuk mencegah pencemaran.
j)
ESDM, KemHub, KemHut, KKP, KLH
k) Mengembangkan program penerapan Clean Development Mechanism (CDM) – Kyoto Protocol di wilayah laut, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Meningkatkan peran serta kalangan industri atau swasta dalam kegiatan konservasi.
i)
Jangka Pendek
Jangka Menengah
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Jangka Pendek
h) Menginventarisasi kegiatan/ Kem-ESDM, KKP, usaha / industri Pertambangan Kemhub, Bakorkamla. Mineral dan Migas yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan belum melakukan abandonment and site restoration bagi anjungan yang berada di ZEE.
Periode Waktu Jangka Pendek
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
g) Melakukan pengawasan berkala Kemhub, KLH, dan terpadu untuk mengatasi Kem-ESDM, KKP, masalah pembuangan limbah Bakorkamla domestik maupun limbah industri, antara lain dengan menambahkan sarana dan prasarana pengolahan limbah.
UPAYA
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
Pemda, Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemperin, KKP, Kemlu, Assosiasi.
c) Meningkatkan peran diplomasi untuk menempatkan putra-putra Indonesia pada posisi yang strategis di lembaga kelautan internasional.
141
Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemperin, KKP, Kemlu, Assosiasi.
b) Meningkatkan kemampuan masyarakat Indonesia untuk menjadi anggota lembagalembaga internasional termasuk NGO international di bidang pembangunan kelautan.
Bappeda (Pemda), Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemperin, KKP, Kemlu, ESDM.
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Jangka Pendek s/d Jangka Panjang
Jangka Menengah
KLH, KKP, Menristek, Kemhut, Kemen ESDM
d) Pengembangan sistem ekonomi lingkungan melalui valuasi lingkungan sumber daya alam.
Jangka Menengah
Periode Waktu
Jangka Menengah
Bappenas, Kemenristek, KemESDM, KKP, KLH, Kemneg-BUMN.
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
c) Mengembangkan teknologi Kemenristek, eksplorasi dan ekspolitasi sumber Kem-ESDM, KKP, daya alam yang tidak terbarukan KLH (pertambangan) yang berwawasan lingkungan.
b) Meningkatkan pendayagunaan energi terbarukan (energi non konvensional).
UPAYA
a) Meningkatkan peran aktif dalam 5. Mengembangkan kerjasama bilateral, forum kerjasama kelautan regional regional, dan global dan internasional, termasuk di bidang pengelolaan penetuan jalur South East Asean lingkungan kelautan Grid untuk interkoneksi transmisi listrik dan jalur tranportasi Gas Alam melalui pipa di dasar laut.
STRATEGI
KEBIJAKAN SUB-KEBIJAKAN
STRATEGI
Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemperin, KKP, Kemlu, Assosiasi.
Kemdag, KLH, Kemenristek, Kemperin KKP, Kemlu, Assosiasi. Kemenristek, KKP, KLH, Kemlu.
e) Menerapkan strategi regional yang memadukan aspek kerjasama lingkungan yang tidak terlepas dari strategi ekonomi, politik dan keamanan, antara lain dengan cara melakukan kerjasama regional di Asia (Large Marine Ecosytem). f) Membangun confidence building measures (CBM) di fora regional maupun internasional. g) Meningkatkan kapasitas kerja sama penelitian yang bertaraf internasional dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
142
Kem-PU, KLH, Kemdagri, Kemenristek, Kemperin, KKP, Kemlu, Assosiasi.
Instansi / Lembaga yang Bertanggungjawab
d) Melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi regional dan mengoptimalkan partisipasi dan peran aktif indonesia dalam forum regional dan multilateral.
UPAYA
Jangka Menengah
Jangka Menengah
Jangka Pendek
Jangka Pendek
Periode Waktu
Keterangan :
BAPPENAS
: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BAPPEDA
: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Basarnas
: Badan Search And Rescue Nasional
BI
: Bank Indonesia
BNPP
: Badan Nasional Pengelola Perbatasan
BPBN
: Badan Penanggulangan Bencana Nasional
BMKG
: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
DEKIN
: Dewan Kelautan Indonesia
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
Kemdag
: Kementerian Perdagangan
Kemdagri
: Kementerian Dalam Negeri
Kemdikbud
: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kemenkopolhukam : Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Kemneg-BUMN
: Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara
Kemnegpan
; Kementerian Negara Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Kemneg Kop & UKM : Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kemnegristek
: Kementerian Negara Riset dan Teknologi
Kem-ESDM
: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Kemhub
: Kementerian Perhubungan
Kemhut
: Kementerian Kehutanan
Kemkeu
: Kementerian Keuangan
Kemkominfo
: Kementerian Komunikasi dan Informasi
Kemkumham
: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kemlu
: Kementerian Luar Negeri
Kemnakertrans
: Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kemparekraf
: Kementerian Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif
Kemperin
: Kementerian Perindustrian
Kempora
: Kementerian Pemuda dan Olahraga
Kem-PU
: Kementerian Pekerjaan Umum
143
KKP
: Kementerian Kelautan dan Perikanan
KLH
: Kementerian Negara Lingkungan Hidup
LIPI
: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Pelindo
: Pelabuhan Indonesia
Pemda
: Pemerintah Daerah
POLRI
: Polisi Republik Indonesia
Setneg
: Sekretariat Negara
TNI AL
: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
144
Bab 6
PENUTUP
Argumentasi utama perlunya membangun bidang kelautan karena didasarkan pada kenyataan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia, sehingga sudah seharusnya bangsa ini memberikan prioritas utama terhadap upaya mendayagunakan sumber daya laut yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, diperlukan suatu Kebijakan Kelautan Indonesia yang komprehensif agar proses pendayagunaan sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan guna mengakselerasi tercapainya cita-cita Bangsa Indonesia yakni INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR. Kebijakan Kelautan Indonesia yang disusun ini merupakan landasan bagi implementasi pembangunan bidang kelautan nasional yang terintegrasi dalam pembangunan nasional. Dengan ditetapkannya Kebijakan Kelautan Indonesia, maka segenap komponen bangsa dan negara dapat melaksanakan pembangunan kelautan dengan sumber hukum dan acuan yang jelas. Kebijakan Kelautan Indonesia ini tentunya harus menjadi arah dan pedoman bagi pengembangan bidang kelautan di Indonesia untuk masa kini dan mendatang. Implementasi dari Kebijakan Kelautan Indonesia ini haruslah dipantau dan dievaluasi, secara berkala, agar tetap berada dalam sasaran, tujuan, dan kerangka pembangunan kelautan nasional yang telah ditentukan bersama, untuk menjadi dasar dalam perbaikan perencanaan maupun revisi implementasi pada masa mendatang. Rekomendasi utama yang diusulkan untuk dapat membantu mengakselerasi pembangunan kelautan nasional adalah sebagai berikut: 1.
Pemerintah perlu melakukan upaya penyadaran kembali jati diri Bangsa Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic state) melalui peningkatan KESADARAN NASIONAL TENTANG KELAUTAN secara sistematik dan komprehensif, yang diawali dengan suatu GERAKAN NASIONAL KELAUTAN
2.
Perlu merubah paradigma pembangunan nasional dari “LAND BASE ORIENTED” ke “ARCHIPELAGIC ORIENTED”. Dengan memanfaatkan potensi yang ada di darat dan di laut, maka akan mempercepat mewujudkan kemandirian dan kemakmuran bangsa.
3.
Pemerintah perlu segera melakukan PENATAAN KELEMBAGAAN dan peraturan perundangan terkait dengan pengelolaan dan percepatan pembangunan kelautan nasional. Pembangunan Kelautan mencakup dan melibatkan beberapa sektor dan
145
instansi pemerintahan, oleh karena itu perlu satu Lembaga yang yang langsung bertugas dibawah Unit Kerja Presiden dan bekerjasama dengan setiap Kementerian Koordinator (Kemenko Perekonomian, Kemenko Polhukam, dan Kemenko Kesra) dan Bappenas untuk membentuk Deputi Bidang Kelautan sebagai mitra kerjanya. 4.
Guna mengoptimalkan pengamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di laut yang komprensif, efektif dan efisien, perlu dibentuk satu lembaga BADAN KEAMANAN LAUT (BAKAMLA) yang multifungsi.
5.
Pembangunan Ekonomi Kelautan Nasional harus dilaksanakan dengan pendekatan Blue Economy untuk mengakselerasi terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-growth (pertumbuhan), pro-job (penyerapan tenaga kerja) dan pro-environtment (melestarikan lingkungan)
6.
Agar hasil Pembangunan Ekonomi Kelautan dapat dengan menggunakan prinsip-prinsip Blue Economy
7.
Menyempurnakan SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL dengan memberikan muatan bidang kelautan, agar generasi penerus bangsa tidak melupakan jati diri bahwa mereka tinggal di negara kepulauan. Namun, betapapun bagus dan lengkapnya rumusan Kebijakan Kelautan Indonesia untuk
mempercepat keberhasilan pembangunan kelautan Indonesia yang telah disusun ini, pada akhirnya yang utama dan sangat menentukan keberhasilannya adalah faktor manusia Indonesia di bawah kepimpinan pemerintahan. Betapapun luhur dan tingginya cita-cita yaitu membangun kelautan Indonesia, tidak akan tercapai tanpa adanya komitmen penuh dari seluruh stakeholders kelautan Indonesia dan penyelenggaraan tata pemerintahan yang bersih (clean government). Oleh karena itu marilah kita teguhkan bersama semangat dan tekad seluruh bangsa untuk membangun Kelautan Indonesia secara utuh dan sinergis dengan Pembangunan Nasional. Semoga Tuhan Yang Maha Esa merestui.
146
147
Lampiran 1.
Kerja Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional
Alur Pikir Penyusunan Kebijakan Kelautan Indonesia Guna Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan
148
Lampiran 2.
Kerja Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan nasional
Pola Pikir Penguatan Kebijakan Kelautan Indonesia Guna Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan
DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. dan Kusumastanto, T. 2004. Penyusunan Rencana pengelolaan Perikanan (Fisheries Management Plan) dan Rencana Pengelolaan kawasan Pesisir (Coastal Management Plan). Makalah pada Training of Trainer (TOT) Marginal Fishing Community Development Pilot. Bappenas, Cipayung 8 Oktober 2004. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP 2006. Draft Naskah Akademik Kebijakan Kelautan Indonesia Dewan Maritim Indonesia 2006. Grand Strategi Pembangunan Kelautan Indonesia. Jakarta Dahuri, R. 2009. Enhancing sustainable ocean development : An Indonesian Experience. Center for Coastal and Marine Resource Studies - IPB. Bogor Dewan Kelautan Indonesia 2011. Ocean Culture Policy. Jakarta Dewan Kelautan Indonesia 2011. Ocean Governance Policy. Jakarta Dewan Kelautan Indonesia 2011. Maritime Security Policy. Jakarta Dewan Kelautan Indonesia 2011. Ocean Economic Policy. Jakarta Dewan Kelautan Indonesia 2011. Marine Environment Policy. Jakarta Dewan Maritim Indonesia 2005. Draft Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Jakarta Dewan Maritim Indonesia 2007. Naskah Kesepahaman dan Dukungan Antar Menteri tentang Pembangunan Berkelanjutan Kelautan Indonesia. Jakarta Dewan Maritim Indonesia 2007. Draft Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembangunan Indonesia. Jakarta Dewan Maritim Indonesia 2007. Draft Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Kelautan. Jakarta [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1995. Code Of Conduct For Responsible Fisheries. FAO. Rome. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2006. The State of World Fisheries and Aquaculture 2006. FAO. Rome. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 1999. Proceedings of Indonesian Association of Geologists: Developments in Stratigraphy and Sedimentology. Vol.3. The 28th Annual Convention 30 November-1 December 1999. Jakarta. Kantha, L.H. and Clayson, C.A. 2000. Numerical Models of Oceans and Oceanic Processes. Academic Press. London. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2012. Statistik Energi dan Sumberdaya Mineral 2011. Jakarta
149
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2011. Jakarta Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2011. Jakarta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Tahun 2011. Jakarta Kementerian Perhubungan. 2012. Statistik Perhubungan 2011. Jakarta Kementerian Perindustrian. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Perindustrian Tahun 2011. Jakarta Kesatuan Pelaut Indonesia. 2010. Prediksi Kebutuhan Tenaga Pelaut Indonesia. Jakarta Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Kusumastanto, T. 2007. Analisis Ekonomi Kelautan dan Arah Kebijakan Pengembangan Jasa Kelautan. PKSPL-IPB. Bogor Munasinghe, M. 2002. Macroeconomis and the Environment. International Library of Critical Writings in Economics. Edward Elgar Publication. London. Murtadi, S. 1999. Pengantar Kuliah Kebijakan Pembangunan Perikanan. (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Mustodidjaja. 1992. Kebijakan Pembangunan: Proses, Masalah dan Praktek. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta . Naryadi. 2006. Strategi, teori dasar dan perkembangan. Lemhannas R.I., Jakarta: Lemhannas R.I. Pokja Geostrategi & Tannas. 2006. Ketahanan Nasional Indonesia. Jakarta: Lemhannas R.I. Jakarta Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB. 2004. Kajian Kontribusi Sektor Kelautan dan Perikanan. Kerjasama BAPPENAS dan PKSPL-IPB. Jakarta Sekretariat Negara R.I. 1983. Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE). Jakarta Sekretariat Negara R.I. 1985. Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HUKUM LAUT 1982. Jakarta Sekretariat Negara R.I. 1996. Undang-undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Jakarta Sekretariat Negara R.I. 2007. Undang-undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Jakarta Sekretariat Negara R.I. 2003. Undang-Undang Dasar 45 dan Perubahannya. Jakarta
150