II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik ekosistem rawa lebak Rawa merupakan istilah yang digunakan untuk semua lahan basah yang bervegetasi, baik yang berair tawar, air asin maupun payau, berhutan ataupun ditumbuhi tanaman semak (Davis et al.
1995).
Rawa pada umumnya
dikarakteristikkan sebagai perairan genangan yang dangkal, melimpah vegetasi air dan pohon rawa (Archibold 1995 ; Suwignyo 1996). Ekosistem rawa di Indonesia dapat dibedakan menjadi rawa pasang surut dan rawa non-pasang surut. Rawa pasang surut meliputi rawa-rawa pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan rawa non pasang surut, meliputi rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Berdasarkan vegetasinya, rawa dapat dibedakan
menjadi rawa berhutan dan rawa tak berhutan, atau bahkan berdasarkan jenis vegetasi yang dominan, misalnya rawa bakau, rawa nipah, dan rawa rumput (Davis et al. 1995). Menurut Saanin (1981) rawa lebak atau dikenal dengan nama “floodplain” merupakan perairan dataran rendah yang merupakan bagian dari daerah aliran sungai, baik merupakan perairan yang terbuka, secara periodik dengan vegetasinya yang meluas atau berkurang, kelihatan seperti danau besar, sedang, dan kecil namun dengan kedalaman yang kecil dan bervariasi menurut musim, dan dalam sebagian besar waktu setahun masih berhubungan dengan sungai induknya. Rawa lebak merupakan ekosistem yang terdapat di dataran banjir sekitar sungai dan merupakan daerah limpasan dari luapan air sungai (Welcomme 1983). Rawa lebak memiliki variasi yang tinggi berdasarkan waktu dan ruang . Ekosistem rawa lebak dapat meliputi : rawa berumput, rawa hutan, saluran-saluran sungai, dan danau atau kolam yang permanen dan temporal.
Tipe habitat rawa lebak di
Indonesia (studi kasus di Sumatera Selatan) meliputi : rawa berrumput (lebak atau lebak kumpai), rawa hutan (rawang), sawah, anak sungai (sungei), sungai mati atau oxbow (danau) dan cekungan rawa (lebung) (Utomo 1993; Hoggarth et al. 1999).
Produktifitas ikan dan biota lain di rawa lebak ditentukan oleh siklus
penggenangan.
Produktifitas meningkat dengan meningkatnya penggenangan
rawa lebak (Hoggarth et al. 1999).
10
2.1.1. Parameter fisik kimiawi perairan Beberapa parameter kualitas air yang dapat menjadi faktor pembatas bagi ikan di perairan rawa antara lain oksigen terlarut dan keasaman.
Rawa pada
umumnya dikarakteristikkan dengan melimpahnya pertumbuhan vegetasi air dan diasosiasikan
dengan
perombakan
material
organik.
Dekomposisi
ini
mengakibatkan kondisi oksigen yang rendah dan bersifat asam (Payne 1986). Pada ekosistem perairan, oksigen terlarut merupakan faktor pembatas terpenting bagi organisme (Bayly & Williams 1981). Kandungan oksigen terlarut di rawa lebak pada umumnya lebih rendah dibandingkan perairan genangan lain.
Bahkan kondisi anoksik (tanpa oksigen
terlarut) kadang – kadang dijumpai pada rawa lebak yang tidak mengalir. Hal ini disebabkan oleh produktifitas biologi yang tinggi di rawa lebak, dan respirasi lebih besar dibandingkan fotosintesis (Hamilton
2002).
Ketika suhu lingkungan
meningkat, metabolisme meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat juga. Menurut
Smart
(1981),
kebutuhan ikan terhadap oksigen
dengan meningkatnya suhu perairan.
Menurut (Boyd
1982),
akan meningkat toleransi ikan
terhadap kadar oksigen terlarut minimum bergantung pada jenis ikan, ukuran, kondisi fisiologi, dan konsentrasi zat lain yang terlarut.
Batas toleransi ikan
terhadap kadar minimum oksigen terlarut adalah 1 mg/l.
Kisaran kandungan
oksigen terlarut rawa lebak di Kota Palangkaraya 1,12 – 6,25 mg/l (Sulistiyarto 1998 ; Sulastri & Hartoto 2000; Harteman 2001; 2002). Kondisi suhu yang berfluktuasi pada umumnya kurang menguntungkan bagi kehidupan ikan. Pada umumnya suhu tubuh ikan lebih rendah 0,60 C dibanding suhu lingkungannya (Elliott
1981). Kisaran suhu perairan rawa lebak
Palangkaraya
O
26,3 – 33,6
C (Sulistiyarto 1998; Sulastri & Hartoto
di Kota 2000;
Harteman 2001; 2002 ) Pada rawa yang mengandung gambut, pH perairan dapat berkisar antara 3,5 – 4,5. Perairan black water mengandung bahan organik berupa asam humus dan pH-nya di bawah 4 (Andrews & McEwan 1987). pH rawa lebak di Sumatera Selatan berkisar antara 5,25 – 4,5 di Lebak Air Hitam, di Teluk Galam berkisar antara 5,5 – 6,0 (Murniyati et al. 1993) dan di rawa lebak Cala berkisar antara 5,5
11
– 6,5 (Nurdawati & Parsetyo 2006). pH rawa lebak di Kota Palangkaraya berkisar antara 2,80 - 6,83 (Sulistiyarto 1998; Sulastri & Hartoto 2000; Harteman 2001; 2002 ). Pada umumnya ikan memiliki toleransi pH antara 6,7 – 8,6. Sangat sedikit spesies ikan yang bertoleransi pada pH di bawah 5 atau di atas 9 (Andrews & McEwan 1987). Keberadaan karbondioksida (CO2) bebas di perairan dapat dipengaruhi oleh pH. Pada pH 4,5 – 8,4, ion karbon anorganik terikat dalam bentuk bikarbonat, sedangkan pada pH lebih dari 8,4 lebih banyak dalam bentuk karbonat. Pada pH di bawah 7 mulai terdapat karbondioksida bebas dan pada pH 4,5 atau kurang semua karbon anorganik dalam bentuk karbondioksida bebas dan asam karbonat (H2CO3) (Bayly & Williams 1981). Menurut (Boyd 1982), kadar CO2 bebas yang tinggi tidak berbahaya bagi ikan apabila kadar oksigen tinggi. Apabila oksigen terlarut rendah, maka CO2 bebas dapat menghambat pengambilan O2 oleh ikan. Kadar CO2 yang masih ditoleransi oleh ikan sebesar 12 mg/l jika kadar O2 2 mg/l, dan paling tinggi 25 mg/l jika kadar O2 minimal 5 mg/l.
Kadar CO2 bebas rawa lebak di beberapa
daerah adalah sebagai berikut : di rawa Telaga Menarap, Kalimantan Selatan 16,4 – 17,9 mg/l, di rawa lebak Air Hitam Sumatera Selatan 10 mg/l (Ondara 1981), di rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 9,5 – 11,5 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006), dan di rawa Tawar Taplus Kalimantan Selatan
15 – 16 mg/l (Arifin et al. 1995).
Ammonia di perairan pada umumnya kadarnya rendah karena merupakan hasil ekskresi hewan air. Kadar ammonia bergantung pada ekskresi hewan air, oksidasi bakteri, dan penyerapan oleh fitoplankton dan vegetasi air.
Pada
umumnya kadar ammonia perairan tawar kurang dari 0,1 mg/l (Goldman & Horne 1983). Kadar ammonia di rawa lebak Loa Kang, Kalimantan Timur, berkisar antara 0,016 – 0,456 mg/l (Yustiawati et al.
2004), sedangkan di rawa lebak Cala,
Sumatera Selatan 0,20 – 0,31 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006). Variasi musiman dari kadar ammonia di perairan terutama bergantung pada densitas alga dan tingkat fotosintesa (Hargreaves and Tucker
2004).
Ammonia yang tidak
berionisasi bersifat toksik, sedangkan ion ammonia tidak toksik. Ammonia semakin bersifat toksik apabila kadar oksigen terlarut semakin rendah. Batas toleransi ikan terhadap kadar ammonia berkisar antara 0,6 – 2,0 mg/l (Boyd 1982). Menurut
12
Hargreaves dan Tucker (2004) pada pH 9, batas toleransi ikan berkisar antara 1,5 – 2,0 mg/l. Nitrit di perairan pada umumnya kadarnya sangat kecil sekali. Kadar nirit di rawa lebak Loa Kang, Kalimantan Timur, berkisar antara 0,004 – 0,622 mg/l (Yustiawati et al. 2004), sedangkan di rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 0,10 – 0,16 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006). Nitrit akan segera teroksidasi menjadi nitrat, apabila terdapat oksigen. Apabila kondisi anoksik, maka nitrit akan segera direduksi menjadi ammonia (Goldman & Horne 1983). Nitrit apabila masuk dalam tubuh ikan akan bereaksi dengan haemoglobin menjadi methemoglobin, sehingga menyebabkan terhambatnya penyerapan oksigen. Nitrit akan bersifat toksik bagi ikan apabila kadarnya melebihi 0,5 mg/l (Boyd 1982). Nitrat dan fosfat di perairan berperan sebagai nutrien bagi fitoplankton dan vegetasi air.
Fosfat dan nitrat merupakan faktor pembatas pertumbuhan
fitoplankton dan vegetasi air di perairan tawar (Moss 1998).
Pada perairan rawa
lebak yang bersifat asam, kadar fosfat sangat rendah. Penyebab rendahnya fosfat di wilayah ini adalah jarangnya mineral yang mengandung fosfor, tidak adanya fase gas untuk fosfor sehingga tidak dapat diserap dari udara, dan fosfor dapat terikat di dasar perairan (Goldman & Horne 1983). Rawa Lebak di Palangkaraya memiliki kandungan nutrien tertinggi terutama pada saat musim hujan. Nutrien tersebut berasal dari air sungai yang menggenangi rawa lebak. terutama pada kadar nitrogen.
Peningkatan nutrien
Sedangkan kadar fosfor tidak berbeda antara
musim hujan dan kemarau (Sulastri & Hartoto 2000). Kadar fosfat di Rawa Lebak Air Hitam dan Teluk Galam, Sumatera Selatan, tidak terdeteksi (Murniyati et al. 1993); sedangkan di rawa lebak Cala Sumatera Selatan 0,04 – 0,07 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006). Menurut Hartoto dan Mulyana (1996) kadar nitrat yang masih baik untuk kehidupan komunitas ikan berkisar antara 0 – 3,0 mg/l. Nitrat di perairan pada umumnya kurang dari 1 mg/l.
Sedangkan pada danau
eutrofik, kadar nitrat lebih dari 1 mg/l. (Bayley & Williams 1981). Kadar nitrat di rawa lebak Loa Kang, Kalimantan Timur, berkisar antara 0,051 – 1,548 mg/l (Yustiawati et al. 2004), sedangkan di rawa lebak Cala, Sumatera Selatan 0,16 – 0,21 mg/l (Nurdawati & Parsetyo 2006).
13
Pada waktu permulaan musim hujan, rawa lebak akan dialiri air dari sungai. Air tersebut akan membawa bahan-bahan tersuspensi akibat dari erosi (Saanin 1981).
Menurut Boyd (1982), partikel yang menyebabkan kekeruhan akan
mengakibatkan kematian ikan apabila kandungannya mencapai 175.000 mg/l. Padatan tersuspensi pada rawa lebak di Palangkaraya berkisar antara 105,6 – 182,5 mg/l (Hartoto & Awalina 2000 ; Harteman 2001), sedangkan di rawa lebak Loa kang, Kalimantan Timur, berkisar antara 11,00 – 866,0 mg/l (Yustiawati et al. 2004). Peningkatan padatan tersuspensi di air merupakan dampak umum dari aktivitas penebangan hutan dan dapat berakibat terhadap komunitas ikan melalui gangguan penglihatan (Karagosian & Ringler 2004). Kedalaman rawa lebak berfluktuasi menurut musim. Kedalaman maksimal terjadi pada musim hujan, dan pada kemarau bahkan dapat menjadi kering. Kedalaman rawa lebak menurun dengan semakin jauh jaraknya dengan sungai utama (Poully & Rodriguez 2004). Di Rawa Tawar Taplus Kalimantan Selatan, fluktuasi kedalaman mencapai 1,5 meter (Arifin et al. 1995). Rawa lebak di daerah aliran Sungai Musi, Ogan, Komering, dan Air Rawas (Sumatera Selatan), Sungai Kahayan, Kapuas Kecil dan Barito (Kalimantan Tengah dan Selatan), pada umumnya memiliki kedalaman tidak lebih dari 6 meter (Saanin 1981). Rawa lebak di Palangkaraya memiliki kedalaman berkisar antara 1,0 – 6,8 meter (Sulastri & Hartoto 2000; Harteman 2001). 2.1.2. Plankton Fitoplankton di perairan rawa yang mengandung gambut pada umumnya dominasi oleh Desmidiaceae dan Mesotaeniaceae serta sedikit alga biru-hijau (Ruttner 1963). Kelompok alga lain yang dominan adalah Bacillariophycecae atau diatom. Alga yang berukuran kecil seperti diatom mampu mengatasi keterbatasan nutrien, karena memiliki permukaan yang lebih luas dibandingkan volume sel. Fitoplankton dengan karakteristik demikian cenderung melimpah di perairan oligotrop (Archibold
1995).
Kelimpahan fitoplankton di rawa ditentukan oleh
kondisi nutrien perairan tersebut. Fitoplankton cenderung melimpah pada rawa hipereutrofik (total P rata rata 205 g/L). Sedangkan perairan rawa yang eutrofik dan mesotrofik akan cenderung didominasi oleh vegetasi air (Bayley & Prather
14
2003). Fitoplankton di perairan air hitam lebih rendah densitasnya dibandingkan di air jernih (Payne 1986).
Menurut Walker (2003), pertumbuhan fitoplankton di
rawa berhutan dibatasi oleh intensitas cahaya matahari yang rendah, karena tertutup kanopi hutan. Densitas fitoplankton rawa lebak di Palangkaraya pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau, karena peningkatan kadar nutrien dan pH air pada waktu musim hujan (Sulastri & Hartoto 2000). Zooplankon air tawar didominasi oleh Copepoda, Cladocera, dan rotifera (Payne 1986). Menurut Neves et al. (2003), pada perairan yang dipengaruhi oleh banjir musiman, kelimpahan zooplankton meningkat pada saat air sungai masuk ke perairan tersebut.
Pada saat itu ketersediaan pakan bagi zooplankton lebih
melimpah, karena air sungai membawa nutrien dan material allochtonous. Menurut Bayley & Williams
(1981), kelimpahan zooplankton memiliki ketergantungan
dengan kelimpahan fitoplankton, karena pada kondisi normal fitoplankton merupakan bagian terbesar pakan zooplankton. Kelimpahan Cladocera lebih tinggi pada tempat dengan penutupan vegetasi air, karena vegetasi air memberikan perlindungan dari pemangsaan (Lauridsen & Lodge 1996). lebih
tinggi
densitasnya
pada
saat
periode
surut
Rotifera planktonik
dibandingkan
periode
penggenangan (Rossa & Bonecker 2003). Ikan bergantung pada plankton pada tahap awal kehidupannya. Sedangkan ikan planktivora secara eksklusif bergantung pada plankton selama hidupnya. Sekitar 36.6% karbon pada tubuh berbagai jenis ikan di rawa lebak Sungai Amazon berasal dari fitoplankton (Forsberg et al. 1993). Beberapa jenis ikan di rawa lebak Kalimantan Tengah yang makanan utamanya plankton, antara lain : puhing (Cyclocheilicthys apogon), kalabau (Osteochilus kalabau), seluang (Puntius fasciatus), sanggang (Puntius bulu), jelawat (Leptobarbus hoeveni), sepat iju (Trichogaster trichopterus), sepat rawa (Trichogaster leeri), gurami (Osphronemus gouramy) dan seluang bulu (Rasbora argyrotaenia) (Buchar 1998). 2.1.3. Makrozoobenthos Menurut Wetzel (2001), diptera merupakan komponen dominan dari invertebrata dasar di perairan lentik maupun lotik. Kelimpahan makrozoobenthos di rawa gambut didominasi oleh diptera hingga mencapai 93% (Wulandari et al.
15
2005). Pada umumnya makrozoobenthos rawa lebak sangat sedikit densitasnya, karena kadar oksigen terlarut rendah, sedimen dasar yang tidak stabil, dan tingginya predasi ikan. Makrozoobenthos lebih melimpah pada vegetasi air bila dibandingkan dasar perairan (Hamilton 2002). Kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan oleh Wulandari et al.
(2005) di rawa lebak di Kalampangan
Palangkaraya berkisar antara 242 - 2070 indv / m2.
Menurut Higuti & Takeda
(2002), banjir musiman (flood pulse) merupakan faktor utama variasi temporal dari kelimpahan dan keanekaragaman chironomidae. Peningkatan kedalaman akan menyebabkan penurunan kelimpahan chironomid (Walker 2003). Makrozoobenthos memiliki peranan sebagai sumber makanan ikan di rawa lebak. Meschiati & Arcifa (2002) menemukan insekta air berperan sebagai makanan utama untuk ikan muda di danau Monte Alegre, Brazil. Beberapa species ikan di rawa lebak Kalimantan Tengah yang memanfaatkan makrozoobenthos (insekta air dan cacing) sebagai makanan utama antara lain : lalang (Chela oxygastroides),
seren (Cyclocheilicthys enoplos), lais putih (Kryptopterus
hexapterus), lais junggang (K. micronema), gabus (Channa striatus), betok (Anabas testudineus), dan belida (Chitala borneensis) (Buchar 1998).
2.1.4. Vegetasi air dan pohon hutan rawa Vegetasi air adalah semua tumbuhan yang dapat bertoleransi atau memerlukan penggenangan untuk sebagian atau seluruh waktu hidupnya (Revenga & Kura 2003). Vegetasi air yang ditemukan di rawa lebak di Kelurahan Berengbengkel Palangkaraya meliputi enceng gondok, kiambang (Salvinia molesta), kiapu (Ultricularia vulgalis), putat (Gluta rengas), kumpai (Panicum repens), pandan duri (Pandanus sp), bamban (Panicum paludosum) dan suduk welut (Eleocharis dulcis)
(Sulistiyarto 1998;
Buchar et al.
2000 ).
Menurut
Forsberg et al. (1993), vegetasi air berperan 52% dari total produktivitas primer ekosistem rawa lebak.
Struktur komunitas vegetasi air terutama ditentukan oleh
kondisi nutrien, kedalaman (Bayley & Prather 2003), penutupan penetrasi cahaya matahari (Binzer & Sand-Jensen
2002), dan siklus penggenangan (Hamilton
2002). Rawa yang tidak permanen, pada umumnya akan didominansi oleh vegetasi
16
rumput-rumputan (Archibold 1995). Keberadaan vegetasi air memiliki pengaruh terhadap biomas semua kelompok invertebrata yang fungsional. Biomas semua kelompok invertebrata selalu lebih tinggi di vegetasi air (Diehl 1992). Vegetasi air memiliki peranan penting sebagai substrat dasar untuk perifiton, sehingga perifiton cenderung lebih melimpah di perairan yang bervegetasi air
(Engle & Melack
1993). Vegetasi air yang mati akan terakumulasi di dasar perairan. Pada saat vegetasi air mati, bahan nutrien yang terdapat dalam vegetasi tersebut akan dilepaskan ke perairan
(Solski 1986).
Vegetasi air memiliki peranan sebagai
tempat perlindungan ikan dengan ukuran kecil atau ikan muda dari pemangsaan. Habitat yang bervegetasi air akan memiliki kompleksitas struktur habitat dan kadar oksigen terlarut yang rendah. Hal ini akan mengurangi efisiensi pemangsaan (Chapman et al. 1996). Hutan rawa di Kalimantan Tengah terdiri dari tiga tipe yaitu hutan kerangas, semak kerangas, dan hutan rawa gambut.
Hutan kerangas didominasi oleh
Cotylelobium lanceolatum, Palaquium leiocarpum dan Dryobalanops rappa. Hutan rawa gambut didominasi oleh Shorea balangeran dan Vatica oblongifolia (Suzuki et al. 2000). Kekayaan jenis pohon hutan rawa di gambut pada umumnya rendah, karena hanya jenis-jenis tertentu yang mampu bertahan dan berkembang dalam kondisi keasaman yang tinggi (Mirmanto et al. 2000). Pohon hutan rawa memiliki pengaruh pada produktifitas perairan rawa. Penutupan pohon rawa akan menghalangi proses fotosintesis, sehingga menghambat pertumbuhan fitoplankton. Akibatnya rantai makanan di perairan tersebut, terutama dari dekomposisi serasah (Walker 2003). Kompleksitas struktur habitat hutan rawa memiliki peranan sebagai tempat perlindungan ikan dari pemangsaan dan penangkapan (Hoggarth et al. 1999). 2.2. Keanekaragaman ikan rawa lebak Keanekaragaman hayati meliputi tiga tingkatan yaitu keanekaragaman genetik, species dan ekosistem. Keanekaragaman genetik adalah informasi total genetik dari individu organisme. variasi
organisme
hidup,
Keanekaragaman species menggambarkan
sedangkan
keanekaragaman
ekosistem
meliputi
keanekaragaman habitat, komunitas hayati dan proses ekologis dalam ekosistem
17
tersebut (Braatz et al. 1994).
Keanekaragaman jenis adalah ukuran tingkat
pengaturan dan efisiensi energi, makanan, ruang dan waktu yang digunakan oleh komunitas (Payne
1986).
Keanekaragaman merupakan indicator dari kondisi
system ekologi (Magurran 1988). Penyebab dasar yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman
hayati
antara
lain
pertumbuhan
penduduk
yang
cepat,
kemiskinan dan pasar yang memberi penilaian rendah terhadap lingkungan. Penyebab langsung yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati di Asia terutama oleh kerusakan habitat, eksploitasi berlebih, polusi dan perubahan iklim (Braatz et al. 1994). Jumlah species ikan dipengaruhi oleh ukuran luas dari ekosistem. Semakin luas wilayah ekosistem, maka semakin besar potensi keanekaragaman habitat, yang menyebabkan keanekaragaman spesies (Payne 1986). Menurut TejerinaGarro et al. (2005), keanekaragaman species pada umumnya meningkat dari hulu ke hilir sungai, karena meningkatnya ukuran habitat dan keanekaragaman habitat ke arah hilir. Menurut
Lowe-McConnell
(1987)
terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi keanekaragaman ikan antara lain : 1. Kehadiran ikan predator untuk menjaga keseimbangan jumlah populasi species mangsa. 2. Pemanfaatan kolom air permukaan, tengah, dan dasar untuk penyebaran ikan. 3. Pembagian waktu mencari makan, yaitu ada species yang mencari pada saat malam saja, dan species lain hanya pada waktu siang saja. 4. Kondisi fisik kimiawi perairan yang optimal untuk mendukung kehidupan ikan. 5. Ketersediaan makanan alami untuk mendukung berbagai species ikan. 6. Adanya ruang di ekosistem untuk tempat pemijahan dan melindungi dari predator. Distribusi dan migrasi ikan rawa lebak bergantung pada toleransi terhadap kondisi lingkungan seperti oksigen terlarut, pH, suhu dan kondisi kekeringan selama periode surut (Hoggarth et al. 1999). Ikan yang hidup di rawa lebak dapat digolongkan menjadi ikan ‘whitefish’ yang tidak dapat mentoleransi kondisi oksigen terlarut yang rendah dan ‘blackfish’ yang bersifat menetap dan dapat mentoleransi kadar oksigen rendah pada saat musim kering. Ikan blackfish adalah ikan yang
18
seluruh siklus hidupnya berada di rawa. Ikan golongan Labirinthici dan Ostariophisi yang tak bersisik pada umumnya merupakan ikan penghuni tetap rawa, misalnya haruan (Channa micropeltes), senggaringan (Macrones nigriceps), dan sepat (Trichogaster leeri) (Saanin 1981).
Ikan whitefish bermigrasi dari sungai ke rawa
pada musim hujan dan kembali ke sungai pada musim kemarau. Ikan ini banyak diwakili dari famili Cyprinidae (Moyle & Cech
1988).
Menurut Baran (2006),
perubahan tinggi air merupakan faktor utama yang mendorong ikan rawa lebak bermigrasi. Ikan whitefish yang bermigrasi misalnya : repang (Osteochilus repang) dan jelawat (Leptobarbus hoeveni) (Saanin 1981). Pada umumnya ikan yang terdapat di perairan sungai di Kalimantan Tengah didominasi oleh ikan famili Cyprinidae. Belontidae,
Chandidae,
Ikan lain meliputi : Siluridae, Bagridae,
Hemiramphidae,
Helostomatidae,
Pangasidae, Pristolepididae dan Sparidae (Harteman
2001).
Luciocephalidae, Di rawa lebak
Kelurahan Petuk Ketimpun Palangkaraya ditemukan 44 spesies ikan (Harteman 2002). Di rawa lebak sungai Kahayan diperoleh 44 species oleh Buchar et al. (2000) dan 48 species oleh Torang & Buchar (2000). Menurut Welcomme (2003b), komunitas ikan di rawa lebak dipengaruhi oleh tiga faktor kunci yaitu : siklus penggenangan, tekanan aktivitas penangkapan dan penurunan kualitas lingkungan. produktifitas ikan lebih tinggi.
Pada saat periode penggenangan,
Pada saat periode penggenangan, wilayah rawa
lebak menjadi sangat luas, menyediakan tempat untuk memijah dan perlindungan terhadap pemangsaan serta produksi makanan alami meningkat (Lowe-McConnell 1987).
Kelangsungan hidup ikan rawa lebak dipengaruhi oleh lamanya periode
penggenangan. Semakin lama periode penggenangan, maka anak ikan dan ikan muda memiliki kesempatan lebih lama di rawa lebak yang banyak makanan alami dan mendapatkan perlindungan dari pemangsaan.
Sebaliknya, semakin lama
periode penggenangan akan menurunkan kelangsungan hidup ikan predator, karena menurunkan kesempatan untuk memangsa (Hoeinghaus et al.
2003).
Menurut Hoggarth et al. (1999), kelangsungan hidup ikan pada periode kering lebih tinggi di kawasan rawa berumput dan danau dibandingkan di rawa berhutan. Ikan dapat digolongkan menurut tipe makanannya, yaitu ikan herbivora, karnivora dan omnivora. Komunitas ikan di Danau Tundai (kawasan rawa lebak di
19
Berengbengkel Palangkaraya), didominasi oleh golongan ikan karnivora (65,9%) sedangkan ikan herbivora 20,45 %, dan ikan omnivora 6,81 % (Buchar et al. 2000).
Sedangkan komunitas ikan di rawa lebak hulu sungai Kapuas didominasi
oleh ikan omnivora (54%), sedangkan ikan karnivora 36% dan herbivora 10 % (Giesen 1987 dalam Mackinnon et al. 2000) Menurut Hoeinghaus et al. (2003), ikan detritivor di rawa lebak Sungai Amazon cenderung dominan di perairan yang dangkal dengan akumulasi detritus,
ikan pemangsa cenderung di habitat yang
dalam seperti di tengah perairan atau muara sungai, dan ikan herbivora cenderung di rawa berhutan. ikan di rawa berhutan sekitar sungai Amazon memanfaatkan daun, bunga dan biji tumbuhan sebagai makanan (Karagosian & Ringler 2004).
2.3. Karakteristik perikanan di rawa lebak Rawa lebak merupakan ekosistem yang memiliki potensi perikanan perairan pedalaman yang paling produktif.
Keanekaragaman jenis ikan menyebabkan
bervariasinya sistem penangkapan ikan di wilayah tersebut (Moss 1998). Tekanan aktivitas penangkapan di rawa lebak cenderung meningkat. Bahkan pada sebagian besar sumberdaya ikan di perairan pedalaman dieksploitasi pada tingkat atau di atas maksimum tangkapan lestari (Revenga & Kura 2003). Berbagai alat tangkap ikan digunakan di perairan pedalaman.
Welcomme
(1983) mengelompokkan jenis alat tangkap menjadi alat tangkap pasif dan alat tangkap aktif. Alat tangkap pasif adalah alat tangkap ikan yang tidak digerakkan dalam pengoperasiannya.
Alat tangkap jenis ini meliputi : jaring insang, bubu,
jebakan dan long line. Alat tangkap aktif adalah alat tangkap ikan yang harus aktif digerakkan pada saat dioperasikan. Alat tangkap jenis ini meliputi : jaring lempar, serok, anco, jaring lingkar (purse seine).
Alat tangkap yang digunakan oleh
nelayan di rawa lebak bergantung pada jenis habitat ikan. Penangkapan ikan di saluran – saluran menggunakan jaring insang pada musim ikan bermigrasi dari sungai ke rawa atau sebaliknya. Pada rawa berhutan penggunaan jaring akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu cenderung digunakan alat tangkap bukan jaring seperti : penjebak, tombak, pancing (Moss 1998). Semua alat tangkap di rawa lebak bersifat skala kecil, tradisional dan perlu banyak tenaga manusia. Alat tangkap ikan skala industri seperti trawl dan purse seine tidak dapat dioperasikan,
20
karena dibatasi oleh karakteristik ekosistem yang melimpah vegetasi air dan pohon rawa serta kedalaman perairan yang bervariasi (Hoggarth et al. 1999). Penggunaan alat tangkap oleh nelayan tradisional sangat bervariasi. Tipe alat tangkap yang digunakan bergantung pada kondisi ekosistem, teknologi yang dikenal masyarakat dan pembatasan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan. Alat tangkap yang digunakan di rawa lebak di Kalimantan Tengah antara lain : jebakan (tempirai, bubu), serok, rawai, pancing, rengge (jaring insang), jala, anco, dan beje (Palis 1999). Pada kasus perikanan tangkap di Hulu Kapuas, hasil tangkapan dari berbagai alat tangkap adalah sebagai berikut : 20% tangkapan berasal dari bubu, 20% dari jaring insang, 18% dari jaring lempar dan 16% dari pancing. Jermal diperkirakan berperan sekitar 10%. Sekitar 16% sisanya berasal dari berbagai alat tangkap seperti serok, anco (Dudley 2000).
Penangkapan ikan rawa lebak di
Lubuk Lampam Sumatera Selatan memberikan hasil yang tertinggi pada musim kemarau (Juni, Juli dan Agustus). Hasil tangkap minimal pada saat musim hujan (Desember, Januari, Februari). Berdasarkan tipe ekosistemnya, hasil tangkapan tertinggi diperoleh dari rawa berrumput, selanjutnya rawa berhutan dan paling kecil di anak sungai (Utomo 1993). Penangkapan ikan di rawa lebak dipengaruhi oleh ketinggian air. Waktu penangkapan ikan dapat dibagi menjadi 4 periode (Welcomme 1983), yaitu : 1. Periode peningkatan tinggi air. Pada periode ini terjadi migrasi ikan dari sungai utama ke rawa lebak. Penangkapan dilakukan dengan menghadang ikan yang sedang bermigrasi. 2. Periode air tinggi. Pada periode ini ikan sangat tersebar di perairan rawa lebak yang luas, sehingga penangkapan memberikan hasil yang minimal. 3. Periode penurunan air. Pada periode ini tangkapan ikan terutama ikan – ikan muda yang bermigrasi dari rawa lebak menuju sungai utama 4. Periode air dangkal.
Periode ini merupakan periode yang paling produktif.
Hasil tangkapan tertinggi pada periode ini. Ikan terkonsentrasi pada rawa lebak yang sudah surut airnya . Alat tangkap yang banyak digunakan adalah jaring insang, serok, trawl kecil, dan pancing.
21
Produksi ikan rawa lebak di Asia berkisar antara 40 – 60 kg/ha (Welcomme 1983) sedangkan menurut Hoggarth et al. (1999), di Indonesia produksi ikan di rawa lebak berkisar antara 72 – 118 kg/ha/th dan di Bangladesh berkisar 51 -130 kg/ha/th. Di taman nasional danau Sentarum Kalimantan Barat, produksi ikan mencapai 97,5 - 162 kg/ha/th (Dudley 2000).
Hasil tangkapan tiap nelayan di
rawa lebak di Indonesia berkisar antara 2,2 – 3,3 ton/orang/th (Hoggarth et al. 1999). Menurut Kapetsky & Barg (1997), pada perikanan tangkap skala kecil biasanya hasil tangkap sekitar 1 – 2 ton / orang / th. Jika kurang dari itu maka merupakan indikasi terjadinya penangkapan berlebih atau penurunan kualitas lingkungan yang menyebabkan penurunan potensi perikanan. Nelayan merupakan komponen penting dalam sistem dinamik perikanan, karena nelayan merupakan pelaku utama dalam penangkapan ikan. Nelayan di rawa lebak dikarakteristikkan dengan keterikatan tradisional nelayan dengan lingkungannya. Usaha perikanan dilakukan dengan skala kecil. Pada umumnya nelayan di rawa lebak memperoleh pendapatan dari usaha lainnya juga seperti dari pertanian (Panayotou 1985).
Welcomme (1983) membagi nelayan menjadi
tiga golongan yaitu nelayan tidak tetap, nelayan paruh waktu dan nelayan penuh waktu.
Nelayan tidak tetap menangkap ikan hanya untuk konsumsi sendiri.
Nelayan paruh waktu adalah nelayan yang memiliki alternatif matapencaharian disamping sebagai nelayan. Nelayan rawa lebak biasanya termasuk golongan ini. Nelayan penuh waktu melakukan penangkapan ikan sebagai matapencaharian utama. Masyarakat nelayan di rawa lebak pada umumnya merupakan nelayan paruh waktu, karena tidak sepenuhnya bergantung pada sumberdaya ikan (Welcomme 1983).
Masyarakat nelayan di danau Sentarum Kalimantan Barat,
memiliki mata pencaharian alternatif memelihara ikan di karamba dan pertanian (Dudley 2000). Menurut analisa Welcomme di Afrika, 10 nelayan /km2 merupakan jumlah populasi nelayan yang akan memberikan produksi ikan di rawa lebak tertinggi. Apabila kepadatan nelayan lebih dari 10 orang nelayan, maka akan terjadi persaingan yang mengakibatkan penurunan jumlah tangkapan (Welcomme 1983). Berdasarkan survey yang dilakukan Hoggarth et al. (1999) di Sumatera Selatan,
22
kepadatan populasi nelayan rawa lebak berkisar antara 3 – 4 orang / km2. Aktivitas penangkapan dilakukan sekitar 4 jam/hari. 2.4. Pendapatan nelayan Pendapatan rumahtangga nelayan merupakan penjumlahan pendapatan sektor perikanan dan bukan sektor perikanan.
Pendapatan dari sektor perikanan
diperoleh dari kepemilikan asset perikanan seperti alat tangkap, perahu, dan mesin; dari tenaga kerja keluarga yang bekerja pada perahu sendiri maupun perahu orang lain ; atau dari kepemilikan atau hak atas sumberdaya ikan. Pendapatan bukan sektor perikanan dapat berasal dari kepemilikan lahan yang produktif, kepemilikan asset bukan perikanan seperti bangunan, alat transportasi ; tenaga kerja keluarga yang bekerja di lahan sendiri, lahan orang lain, sektor industri, sektor pelayanan masyarakat (Panayotou 1985) Pendapatan masyarakat nelayan di rawa lebak terutama diperoleh pada saat musim kering, karena penangkapan ikan lebih mudah pada saat air dangkal. Di rawa lebak hulu Sungai Kapuas Kalimantan Barat, masyarakat terjadi pada pendapatan,
bulan Juli hingga September.
menyebabkan
masyarakat
terdorong
pendapatan tertinggi Variasi musiman dari untuk
memanfaatkan
sumberdaya alam secara tidak berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari (Wickham
2003).
Pada Suku Dayak yang berada di kawasan tersebut
memiliki matapencaharian bidang perikanan maupun pertanian.
Kontribusi
pendapatan sektor perikanan 50 % dan pertanian 50%. Sedangkan Suku Melayu di kawasan tersebut termasuk golongan nelayan penuh waktu (Koeshendrajana & Samuel 1999). Keanekaragaman hayati di rawa lebak memiliki peranan penting untuk keberlanjutan pendapatan masyarakat tradisional. manfaat ekonomi dari
Mereka memperoleh
keanekaragaman hayati di ekosistem rawa lebak, yang
meliputi : hasil perairan, hasil hutan, dan lahan untuk pertanian (Pinedo-Vasquez et al. 2001). Tingkat pendapatan menunjuk pada unsur “ekonomi” dan termasuk dalam pengertian luas “kesejahteraan”.
Pendapatan akan membuka peluang untuk
pemenuhan kebutuhan hidup akan pangan, pakaian dan perumahan, serta mendukung jangkauan kepada pelayanan pendidikan dan kesehatan (Sayogyo
23
1983).
Tingkat pendapatan atau konsumsi merupakan salah satu indikator tingkat
kemiskinan. Pada umumnya tingkat pendapatan diukur berdasarkan pendapatan perkapita atau tingkat konsumsi perkapita. Selanjutnya tingkat pendapatan atau konsumsi dibandingkan dengan garis kemiskinan. antara lain tingkat Seshagiri
2000).
Indikator bukan pendapatan
kejahatan, diskriminasi, dan pengangguran Pada kasus di rawa lebak Yaere
(Hentschel &
Kamerun Utara, tingkat
kesejahteraan masyarakat bergantung pada strategi mata pencaharian yang digunakan. Semakin tinggi kontribusi pendapatan dari sektor perikanan dibanding sektor pertanian, maka tingkat kesejahteraan semakin rendah. Kecenderungan ini disebabkan oleh sistem pemilikan lahan. Pada lahan pertanian, masyarakat dapat menguasai secara individual, sedangkan pada rawa lebak merupakan milik umum. Pada kondisi ini, peningkatan pendapatan dapat menggunakan strategi diversifikasi matapencaharian (Bene et al. 2000). Nelayan rawa lebak di Sumatera Selatan memasarkan hasil tangkapannya melalui pedagang besar, perantara, atau dijual secara langsung kepada konsumen. Harga ikan cenderung lebih rendah pada periode kering dibanding pada saat periode penggenangan. Selama periode kering, produksi ikan yang berlebih akan diawetkan menjadi ikan kering (Koeshendrajana & Cacho 2001).
2.5. Pengelolaan ekosistem rawa lebak 2.5.1. Pengelolaan ekosistem Pengelolaan ekosistem digunakan sebagai pendekatan pengelolaan untuk menolong
menyelesaikan
masalah
ekologis
dan
sosial
yang
kompleks.
Pengelolaan ekosistem merupakan suatu pendekatan untuk melindungi lingkungan, mempertahankan ekosistem yang sehat, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan menjamin keberlanjutan pembangunan (Lackey 1998). Lackey (1998) memberikan definisi pengelolaan ekosistem adalah aplikasi informasi ekologis dan sosial, pilihan, dan kendala untuk mencapai keuntungan sosial yang diinginkan pada wilayah geografik tertentu dan pada periode tertentu. Sedangkan menurut Environmental Protection Agency (EPA), Amerika Serikat, pengelolaan ekosistem adalah
memperbaiki
dan
memelihara
kesehatan,
keberlanjutan
dan
24
keanekaragaman biologi dari ekosistem yang mendukung keberlanjutan ekonomi dan komunitas. Menurut Lackey (1998) terdapat tujuh prinsip pengelolaan ekosistem, yaitu (1) pengelolaan ekosistem merefleksikan setiap perubahan nilai dan prioritas sosial. (2) pengelolaan ekosistem berdasarkan lokasi, sehingga batasan wilayah harus jelas didefinisikan. (3) pengelolaan ekosistem harus memelihara ekosistem pada kondisi yang diinginkan untuk mencapai keuntungan sosial. (4) pengelolaan ekosistem harus mempergunakan kesempatan kemampuan ekosistem untuk merespon berbagai stressor, baik alami atau buatan manusia, tetapi ada keterbatasan kemampuan ekosistem untuk mengatasi stressor dan memilihara pada kondisi yang diinginkan.
(5) pengelolaan ekosistem dapat ataupun tidak
untuk menekankan keanekaragaman hayati sebagai keuntungan sosial yang diinginkan. (6) Istilah keberlanjutan, jika digunakan dalam pengelolaan ekosistem, harus didefinisikan secara jelas. (7) informasi ilmiah merupakan hal yang penting untuk pengelolaan ekosistem yang efektif, namun hanya merupakan salah satu elemen proses pengambilan keputusan. Pengelolaan perikanan dapat menggunakan 2 tingkat yaitu : sistem perairan sebagai kesatuan utuh (ekosistem) dan pengelolaan penangkapan ikan. Tingkat sistem perairan sebagai kesatuan utuh merupakan suatu pendekatan pengelolaan ekosistem untuk mengelola perikanan.
Perhatian utama dari tingkat sistem
perairan adalah untuk menjamin keseluruhan tanah dan air sekitar perairan, digunakan dengan tetap menjaga kesehatan komunitas ikan. Menurut Welcomme (1983) pengelolaan sistem perairan meliputi : kontrol runoff dan erosi, memelihara habitat alami perairan, memelihara aliran air (kuantitas air), memelihara kualitas air, dan struktur buatan untuk perbaikan habitat. Menurut Budiono & Atmini (2002), strategi pengelolaan perikanan di Indonesia
meliputi:
optimasi
pengelolaan
sumberdaya
perikanan,
memformulasikan zonasi perikanan, perlindungan dan rehabilitasi ekosistem, dan mendukung program dan strategi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, dan membuat alternatif pendapatan yang kreatif.
25
2.5.2. Pengelolaan penangkapan ikan Pengelolaan penangkapan ikan meliputi : kontrol alat tangkap,
aktivitas
penangkapan, lokasi, musim dan kontrol nelayan. Menurut Welcomme (2003) beberapa tujuan pengelolaan
antara lain :
keperluan rekreasi ; tujuan sosial
eksploitasi untuk pangan atau
seperti pendapatan, distribusi pendapatan,
mengurangi konflik sosial ; tujuan fiskal seperti penerimaan eksport ; dan tujuan konservasi seperti keberlanjutan dan keanekaragaman.
Pada umumnya
pengelolaan perikanan perairan pedalaman bertujuan untuk penyediaan sumber pangan.
Variasi tujuan tersebut dapat digolongkan menjadi dua strategi
pengelolaan yaitu : orientasi produksi dan orientasi konservasi.
Negara maju
menggunakan orientasi konservasi, sedangkan negara berkembang menggunakan orientasi produksi dengan tujuan penyediaan pangan dan pendapatan. Berbagai daerah di Indonesia memiliki nilai – nilai budaya yang beranekaragam
untuk
mengatur
kehidupan
sehari
-
hari
masyarakat.
Kelembagaan yang mengatur pemanfaatan ekosistem rawa lebak berperan penting terutama pada masyarakat nelayan. Kelembagaan atau lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga apabila norma tersebut diketahui, dipahami, ditaati dan dihargai oleh masyarakat.
Fungsi utama lembaga kemasyarakatan adalah memberikan
pedoman kepada masyarakat untuk bertingkah laku atau bersikap, menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (Soekanto 1982). Menurut
Koeshendrajana
&
Hoggarth
(1998),
pengaturan
dalam
pengelolaan perikanan dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu tipe teknis dan tipe akses.
Termasuk tipe akses adalah pelelangan (di Sumatera Selatan dan
Jambi) dan undian (di Kalimantan Barat). Tipe teknis meliputi penutupan wilayah, penutupan musim, dan pembatasan alat tangkap. Menurut Hoggarth et al. (1999) keuntungan pembatasan akses adalah : meningkatkan keuntungan nelayan, efisiensi eksploitasi, mengurangi konflik nelayan dan kemudahan mengumpulkan uang dari nelayan yang mendapat akses. Kerugiannya adalah tidak adil bagi yang ditolak aksesnya, terutama bila tidak ada alternatif pekerjaan lain.
Bentuk
26
kelembagaan pengelolaan perikanan rawa lebak di Kalimantan Barat terutama dilakukan dengan penerapan aturan pembatasan penangkapan dan kontrol aturan yang disertai sanksi adat. Pembatasan penangkapan meliputi pembatasan jenis alat
tangkap,
pembatasan
penangkapan
oleh masyarakat
di
luar
desa,
pembatasan penangkapan dengan sistem lelang, dan pembatasan ukuran ikan tertentu yang boleh ditangkap. Sanksi pelanggaran aturan meliputi denda adat, masyarakat luar yang melanggar tidak boleh menangkap ikan lagi, atau sanksi dimusyawarahkan dulu oleh masyarakat nelayan (Koeshendrajana & Samuel 1999). Salah satu strategi pengelolaan untuk sumberdaya ikan rawa lebak dapat dilakukan dengan menerapkan kawasan suaka untuk meningkatkan kelangsungan hidup ikan selama musim kering, dan pengaturan jalan untuk migrasi ikan. Perairan pada periode kering merupakan lokasi yang kritis untuk keberhasilan pengelolaan rawa lebak. Perairan tersebut merupakan tempat pengungsian ikan rawa lebak selama periode kering.
(Hoggarth et al. 1999).
Suaka perikanan di
rawa lebak dapat dirancang untuk diberlakukan sepanjang tahun atau hanya periode kering saja. Suaka perikanan sepanjang tahun yaitu melindungi kawasan sepanjang tahun.
Model suaka ini tidak memberikan akses penangkapan ikan
sepanjang tahun.
Suaka perikanan periode kering, melindungi kawasan dari
penangkapan ikan hanya pada saat periode kering.
Lokasi yang cocok untuk
suaka perikanan periode kering adalah pada perairan yang digunakan ikan untuk tempat hidup selama periode kering (Hoggarth et al. 1999). . 2.5.3. Pengetahuan lokal Pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup masyarakat tradisional.
Pengetahuan
tersebut didapatkan melalui proses “uji coba”, dengan meneruskan praktek – praktek yang dianggap mempertahankan sumberdaya alam, serta meninggalkan praktek – praktek yang dianggap merusak lingkungan.
Oleh karena hubungan
mereka yang dekat dengan lingkungan dan sumberdaya alam, maka masyarakat lokal melalui “uji coba” telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi dimana mereka tinggal. Masyarakat ini tidak selalu hidup secara harmoni dengan
27
alam, karena mereka juga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada saat yang sama, karena kehidupan mereka bergantung pada dipertahankannya integritas ekosistem tempat mereka mendapatkan makanan dan rumah, kesalahan besar biasanya tidak akan terulang.
Pemahaman mereka tentang sistem alam yang
terakumulasi biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah – istilah ilmiah (Mitchell tradisional
merupakan
sumberdaya
yang
et al. berharga
2003).
Pengetahuan
untuk
konservasi
keanekaragaman hayati di rawa lebak. Pengetahuan ekologis tradisional dan pengetahuan teknik tradisional membuat masyarakat memilih cara yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam (Sambo & woytek
2001). Teknik
eksploitasi secara tradisional yang digunakan masyarakat merupakan sistem eksploitasi yang berkelanjutan, mengurangi kerusakan ekosistem dan penurunan keanekaragaman hayati (Pinedo-Vaquez et al. 2001). Pengelolaan rawa lebak sangat memerlukan pengetahuan ekologis tradisional, karena variasi habitat yang tinggi. Masyarakat lokal lebih tahu lokasi suaka yang tepat untuk melindungi sumberdaya ikan (Hoggarth & Aeron-Thomas 1998).
Masyarakat nelayan lokal di rawa lebak pada umumnya memiliki
pemahaman atau pengetahuan yang dalam mengenai keseluruhan perairan di tempat mereka tinggal (Koeshendrajana & Hoggarth
1998).
Kasus pada
masyarakat nelayan tradisional yang memanfaatkan sumberdaya perikanan di sungai Kerian, Malaysia dan waduk Chenderoh, Thailand menunjukkan bahwa mereka memiliki pemahaman mengenai prinsip-prinsip ekologi. Mereka memahami perlunya melindungi stok induk dan daerah asuhan (nursery ground) untuk anak ikan dan ikan muda (Ali 1996).
Demikian juga masyarakat tradisional di rawa
lebak Muyuy, Peru, melakukan perlindungan stok
induk ikan untuk pemijahan,
bahkan terbukti mereka mampu memulihkan populasi species yang sudah terancam punah (Pinedo-Vasquez et al. 2001).
28
2.5.4. Tipe Pengelolaan Menurut Hoggarth & Aeron-Thomas (1998) ada lima tipe unit pengelolaan rawa lebak yaitu : 1.
Pengelolaan wilayah tangkapan air (catchment management areas atau CMAs) yang meliputi seluruh sungai dan area tangkapan.
2.
Pengelolaan perairan wilayah desa (village management areas atau VMAs) yang meliputi beberapa danau oxbow.
3.
Pengelolaan perairan oleh pihak tertentu (privatized Management Areas atau PMAs).
Biasanya berupa danau oxbow yang dikuasai oleh orang tertentu
berdasarkan keturunan atau mekanisme lelang. 4.
Pengelolaan yang meliputi beberapa badan air (Multi waterbody management area).
5.
Pengelolaan perairan yang meliputi beberapa desa (multi village management area). Keragaman ekologis dan sosial di ekosistem rawa lebak mengakibatkan
pengelolaan yang cocok di suatu lokasi belum tentu cocok untuk tempat lain. Pengelolaan kawasan tersebut lebih bergantung pada solusi lokal dibandingkan dengan pendekatan “top down” (Hoggarth et al. 1999). Menurut Pomeroy (1995), model pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan siapa yang mengelola, yaitu : pengelolaan oleh Pemerintah (Government base management), pengelolaan oleh masyarakat (community base management) dan pengelolaan bersama antara Pemerintah dan Masyarakat (co-management). Pada dasarnya sumberdaya ikan di Indonesia merupakan milik Negara. Kemampuan lembaga Pemerintah untuk mengelola perikanan di rawa lebak pada umumnya sangat terbatas, karena ekosistem rawa lebak memiliki keragaman yang tinggi, adanya keterbatasan kapasitas tenaga dan keuangan (Hoggarth et al. 1998). Pada sumberdaya ikan yang dieksploitasi oleh masyarakat tradisional, pengelolaan dilakukan berdasarkan partisipasi masyarakat, yaitu masyarakat lokal mengelola sendiri sumberdaya ikan untuk mencapai keberlanjutan (Ali
1996).
Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional lebih dinamis, karena disesuaikan dengan proses sosial dan ekologis. Konservasi yang dibuat secara tradisional oleh masyarakat di rawa lebak Muyuy, Peru, memiliki keanekaragaman
29
hayati lebih tinggi dibandingkan konservasi formal seperti taman alam (PinedoVasquez et al. 2001). Penerapan pengelolaan perikanan oleh masyarakat sendiri (community base management) sudah ada di Indonesia terutama untuk masyarakat tradisional seperti di pesisir Sulawesi Utara (Tulungen et al. 1998), di Hulu Sungai Kapuas (Hoggarth & Aeron-Thomas 1998), dan di Jambi (Hoggarth et al. 1999). 2.5.5. Pengelolaan bersama (co-manajemen) Pengelolaan bersama (co-manajemen) adalah pembagian kekuasaan dan tanggungjawab antara Pemerintah dan pengguna sumberdaya lokal (Hoggarth et al. 1998). Pengelolaan bersama pada sektor perikanan adalah kerjasama antara pemerintah, nelayan, lembaga eksternal (NGO, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian), dan stakeholder perikanan lainnya, dalam membagi tanggungjawab dan kekuasaan untuk pengambilan keputusan mengenai pengelolaan perikanan (Berkes et al. 2001). Pengelolaan bersama memiliki berbagai tingkatan, mulai dari sekedar kesertaan masyarakat lokal dalam pencarian data untuk pemerintah, sampai pada tingkatan masyarakat lokal memegang keseluruhan kekuasaan dan tanggungjawab (Mitchell et al. 2003). Menurut Berkes et al. (2001), pengelolaan bersama dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu pengelolan bersama yang berfokus pada masyarakat (community-centered co-maagement) dan pengelolaan bersama yang berfokus pada stakeholder (stakeholder-centered co-management). Pengelolan bersama yang berfokus pada masyarakat adalah pengelolaan bersama antara masyarakat pengguna sumberdaya dengan Pemerintah, sedangkan pengelolaan bersama yang berfokus pada stakeholder adalah pengelolaan bersama antara stakeholder (industri) dengan Pemerintah. Sen & Nielsen mengklasifikasikan pengelolaan bersama untuk perikanan menjadi lima tipe berdasarkan tingkat pembagian kekuasaan dan tanggungjawab antara pemerintah dan masyarakat nelayan (Pomeroy & Guieb 2006), meliputi : 1.
Instructive : Pertukaran informasi antara Pemerintah dan nelayan sangat terbatas.
Terdapat mekanisme dialog dengan nelayan, namun cenderung
merupakan proses Pemerintah menginformasikan keputusannya kepada nelayan.
30
2.
Consultative : Terdapat mekanisme untuk Pemerintah berkonsultasi dengan nelayan, namun pengambilan keputusan diambil oleh Pemerintah.
3.
Cooperative : Pemerintah dan nelayan bekerjasama sebagai partner yang seimbang di dalam pengambilan keputusan.
4.
Advisory : Nelayan memberikan saran keputusan yang harus diambil oleh Pemerintah dan Pemerintah menerima keputusan tersebut.
5.
Informative : Pemerintah mendelegasikan kekuasaan untuk mengambil keputusan
kepada
masyarakat
nelayan,
dan
keputusan
tersebut
diinformasikan kepada Pemerintah. Menurut Berkes et al.
(2001), kondisi masyarakat nelayan yang dapat
mendukung keberhasilan pelaksanaan pengelolaan bersama adalah : 1.
Batas wilayah pengelolaan terdefinisi dengan jelas.
2.
Anggota kelompok nelayan terdefinisi dengan jelas.
3.
Adanya ikatan dalam kelompok nelayan yang didukung oleh ikatan domisili, etnik, maupun agama.
4.
Adanya partisipasi dari masyarakat nelayan yang menjadi objek pengelolaan. Menurut Hoggarth et al.
(1998), prospek keberhasilan penerapan
pengelolaan bersama di rawa lebak dipengaruhi oleh beberapa karakteristik spasial. Keberhasilan penerapan pengelolaan bersama akan lebih tinggi apabila : 1.
Ukuran perairan kecil.
2.
Perairan bersifat tertutup atau dibatasi daratan.
3.
Jumlah desa yang memanfaatkan perairan tersebut sedikit.
4.
Jenis ikan yang dikelola mobilitasnya rendah seperti ikan blackfish.
5.
Masyarakat nelayan merasa memiliki perairan tersebut. Beberapa keuntungan penggunaan pengelolaan bersama antara lain
(Pomeroy & Guieb 2006) : 1.
Merupakan sistem manajemen yang lebih transparan, akuntabel, demokratis dan partisipatoris.
2.
Pengelolaan
bersama
lebih
ekonomis
dibanding
sistem
manajemen
sentralistik, karena lebih hemat biaya untuk administrasi dan penegakan aturan.
31
3.
Pengetahuan lokal dapat digunakan secara maksimum untuk mendukung informasi ilmiah dalam manajemen.
4.
Pengelolaan bersama memberikan sebagian tanggungjawab pengelolaan kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengembangkan strategi manajemen yang sesuai dengan kondisi lokal, dan dapat menyelesaikan masalah – masalah lokal.
5.
Pengelolaan bersama memberikan nelayan rasa memiliki sumberdaya ikan, sehingga nelayan dapat memandang sumberdaya ikan sebagai aset jangka panjang, bukan hanya untuk keuntungan sesaat.
6.
Berbagai pihak yang berkepentingan bersama-sama memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai sumberdaya yang dikelola.
7.
Perencanaan dan aturan yang dibuat, memiliki tingkat penerimaan dan legitimasi yang tinggi.
8.
Anggota masyarakat
nelayan
memiliki
evektivitas
lebih
tinggi
dalam
mengontrol perilaku masyarakat dibanding birokrat. 9.
Pengelolaan bersama meningkatkan komunikasi dan pemahaman diantara stakholder, sehingga mengurangi konflik sosial dan meningkatkan keeratan masyarakat. Pengelolaan bersama memiliki beberapa keterbatasan dan masalah yaitu
(Berkes et al. 2001 ; Pomeroy & Guieb 2006) : 1.
Pengelolaan bersama belum tentu cocok untuk setiap masyarakat nelayan. Ada banyak masyarakat yang tidak mau mengambil tanggungjawab dalam pengelolaan bersama.
2.
Kepemimpinan dan lembaga lokal seperti organisasi nelayan kadang-kadang tidak ada.
3.
Untuk membentuk pengelolaan bersama dibutuhkan investasi yang tinggi yang meliputi waktu, uang, dan sumberdaya manusia.
4.
Tidak ada insentif (ekonomi, sosial, dan politik) bagi masyarakat ketika menggunakan pengelolaan bersama.
5.
Perubahan strategi pengelolaan perikanan memiliki resiko tinggi bagi beberapa masyarakat nelayan.
32
6.
Biaya individual untuk berpartisipasi dalam pengelolaan bersama (waktu dan uang) dapat melebihi keuntungan yang diperoleh.
7.
Kadang-kadang tidak ada kemauan politik yang cukup untuk mendukung pengelolaan bersama. Tidak ada kemauan dari Pemerintah untuk membagi kekuasaan.
8.
Masyarakat tidak memiliki kapasitas untuk menjadi partner yang seimbang dengan Pemerintah.
9.
Pengaruh aktivitas masyarakat di luar kawasan pengelolaan dapat merusak aktivitas pengelolaan yang telah dilakukan.
10. Ikan yang bersifat migrasi, merupakan sumberdaya ikan yang sulit dikelola dengan pengelolaan bersama. 11. Ada yang merasa pengelolaan bersama terlalu mahal dan menghabiskan waktu dibanding dengan alternative lain. 12. Proses pengambilan keputusan menjadi lama dan hasilnya lemah, karena untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. 13. Penerapan pengelolaan bersama mengakibatkan perubahan-perubahan yang mungkin tidak memuaskan semua pihak, dan juga mungkin mengakibatkan menambah kompleksitas aturan dan birokrasi. 14. Adanya kemungkinan penggunaan pengelolaan bersama untuk kepentingan pribadi bagi beberapa politikus.
.
33