II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Kembang Kol Kol bunga atau sering disebut kembang kol merupakan salah satu anggota famili kubis dengan nama latin Brassica oleracea botrytis L. subvar. cauliflora DC berupa tumbuhan berbatang lunak. Masyarakat di Indonesia menyebut kembang kol sebagai kol kembang atau blumkol (berasal dari bahasa Belanda Bloemkool). Tanaman ini berasal dari Eropa subtropis di daerah Mediterania. Kembang kol yang berwarna putih dengan massa bunga yang kompak seperti yang ditemukaan saat ini dikembangkan tahun 1866 oleh Mc.Mohan ahli benih dari Amerika. Diduga kembang kol masuk ke Indonesia dari India pada abad ke XIX. Walaupun tanaman ini adalah tanaman dataran tinggi tropika dan wilayah dengan lintang lebih tinggi, beberapa kultivar dapat membentuk bunga di dataran rendah sekitar khatulistiwa. Daerah dataran tinggi (pegunungan) adalah pusat budidaya kembang kol. Pusat produksi tanaman ini terletak di Jawa Barat yaitu di Lembang, Cisarua, Cibodas. Tetapi saat ini kembang kol mulai ditanam di sentrasentra sayuran lainnya seperti Bukit Tinggi (Sumatera Barat), Pangalengan, Maja dan Garut (Jawa Barat), Kopeng (Jawa Tengah) dan Bedugul (Bali). Klasifikasi botani tanaman kembang kol adalah sebagai berikut: a) Divisi : Spermatophyta b) Sub divisi : Angiospermae c) Kelas : Dicotyledonae d) Keluarga : Cruciferae e) Genus : Brassica f) Spesies : Brassica oleracea var. botrytis L. g) Sub var : cauliflora DC Brassica oleracea varitas botrytis terdiri atas dua subvaritas yaitu cauliflora DC. yang kita kenal sebagai kembang kol putih dan cymosa Lamn. yang berbunga hijau dan terkenal sebagai brokoli. Manfaat tanaman, walaupun biasanya hanya bagian massa bunga yang dimanfaatkan sebagai sayuran yang
mengandung mineral cukup lengkap, daun tanaman ini juga bisa dimakan dan rasanya manis tanpa ada rasa pahit. Kembang kol merupakan tanaman sayuran yang berasal dari daerah sub tropis. Di tempat itu kisaran temperatur untuk pertumbuhan kembang kol yaitu minimum 15.5-18oC dan maksimum 24oC. Kelembaban optimum bagi tanaman blumkol antara 80-90 persen. Dengan diciptakannya kultivar baru yang lebih tahan terhadap temperatur tinggi, budidaya tanaman kembang kol juga dapat dilakukan di dataran rendah (0-200 m dpl) dan menengah (200-700 m dpl). Di dataran rendah, temperatur malam yang terlalu rendah menyebabkan terjadinya sedikit penundaan dalam pembentukan bunga dan umur panen yang lebih panjang. Tanah lempung berpasir lebih baik untuk budidaya kembang kol daripada tanah berliat. Tetapi tanaman ini toleran pada tanah berpasir atau liat berpasir. Kemasaman tanah yang baik antara 5.5-6.5 dengan pengairan dan drainase yang memadai. Tanah harus subur, gembur dan mengandung banyak bahan organik. Tanah tidak boleh kekurangan magnesium (Mg), molibdenum (Mo) dan Boron (Bo) kecuali jika ketiga unsur hara mikro tersebut ditambahkan dari pupuk. Di Indonesia, sebenarnya kembang kol hanya cocok dibudidayakan di daerah pegunungan berudara sejuk sampai dingin pada ketinggian 1.000-2.000 m dpl.3 Menurut Ashari (1995), Tanaman kembang kol atau kembang kol yang dikonsumsi adalah kelopak bunganya.
Kandungan gizi yang terdapat pada
tanaman kembang kol adalah air sebanyak 90 ml, protein 3g, lemak 0,2 g, karbohidrat 5 g, serat 1 g, kalsium 30 mg, besi 1mg, vitamin A 20 IU, tiamin 0,1 mg, riboflavin 0,1 mg, nikotinamide 0,7 mg, dan asam askorbat 80 mg.2
3 http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=196 (Tanggal 3Agustus 2009)
13
2.2 Budidaya Kembang Kol a. Pengolahan Lahan Tanah yang akan ditanami kembang kol diolah sedalam 10-20 cm karena perakarannya dangkal. Agar kesuburannya terjamin, tanah perlu dipupuk dengan pupuk kandang yang telah matang berdosis 5 kg/m2. Kemudian, tanah dibiarkan selama 7-10 hari agar cukup mendapatkan sinar matahari, lalu dicangkul untuk kedua kalinya. Selanjutnya dibuat bedengan berukuran lebar sekitar 120 cm dan panjang sekitar 300 cm. Di antara bedengan dibuat parit, selebar 30 cm, dan saluran drainase. Setelah itu, tanah siap ditanami. b. Persemaian Benih kembang kol perlu disemai sebelum ditanam. Caranya, benih ditabur dalam barisan yang teratur di bedeng persemaian. Jarak antar barisan sekitar 10 cm. Setelah ditabur, benih segera ditutup tipis dengan tanah. Pada hari ke-12 biji yang tumbuh baik segera disapih dengan jarak (10 x 10) cm. Tindakan ini bertujuan agar pertumbuhan bibit menjadi baik sekaligus merupakan seleksi karena benih yang jelek (tidak tumbuh) langsung dibersihkan (dibuang). Bibit berada dipersemaian hingga berumur sekitar enam minggu atau sudah berdaun 5-6 helai. Lahan diolah sedalam 30 cm, kemudian dibuat bedengan selebar 110-120 cm memanjang dari arah utara ke selatan. Penyemaian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu disebar merata di atas bedengan atau disebar di dalam barisan sedalam 0,2–1,0 cm. Cara pertama memerlukan benih yang lebih sedikit daripada cara kedua. Sekitar 2 minggu setelah semai, bibit dipindahkan ke dalam bumbungan. Bumbunan dapat dibuat dari daun pisang atau kertas berplastik dengan ukuran diameter 4-5 cm dan tinggi 5 cm. Bumbungan diisi media campuran pupuk kandang matang dan tanah halus dengan perbandingan 1:2 atau 1:1. Keuntungan dari cara ini diantaranya adalah hemat waktu, permukaan petak semaian sempit dan jumlah benih persatuan luas banyak. Sedangkan kelemahannya adalah penggunaan benih banyak, penyiangan gulma sukar, memerlukan tenaga kerja terampil, terutama saat pemindahan bibit ke lahan. Penyemaian di bumbung (koker atau polybag) dilakukan dengan cara satu per satu benih dimasukkan ke dalam bumbungan yang dibuat dengan cara seperti di atas. Bumbungan dapat terbuat dari daun pisang atau daun kelapa dengan ukuran
14
diameter dan tinggi 5 cm atau dengan polybag kecil yang berukuran 7-8 cm x 10 cm. Pemindahan dilakukan bila bibit telah mempunyai perakaran yang kuat. Bibit dari benih/biji siap ditanam setelah berumur enam minggu atau telah berdaun 5-6 helai, sedangkan bibit dari stek dapat dipindahkan setelah berumur 28 hari. Pemindahan bibit dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) Sistem cabut, bibit dicabut dengan hati-hati agar tidak merusak akar. Bila disemai pada polybag, pengambilan bibit dilakukan dengan cara membalikkan polybag dengan batang bibit dijepit antara telunjuk dan jari tengah, kemudian polybag ditepuk-tepuk perlahan hingga bibit keluar. Bila bibit disemai pada bumbung daun pisang atau daun kelapa, bibit dapat ditanam bersama bumbungnya. b) Sistem putaran, caranya tanah disiram dan bibit dengan diambil beserta tanahnya 2,5 - 3 cm dari batang dengan kedalaman 5 cm. c. Penanaman Kembang
kol
membutuhkan
banyak
air
terutama
pada
masa
pertumbuhannya. Oleh karena itu, penanaman sebaiknya dilakukan pada permulaan musim hujan.
Penanaman pada musim kemarau dapat dilakukan asal
penyiramannya intensif. Bibit yang telah disemai ditanam di bedeng penanaman dengan jarak dalam barisan antara 45-55 cm dan jarak antar-barisan kira-kira 60-70 cm. Waktu penanaman sebaiknya dipilih sore hari agar bibit yang baru ditanam tidak langsung terkena sinar matahari, terlebih sinar yang terik. d. Pemeliharaan Penyiraman pada bunga kol sangat penting guna mendapatkan hasil yang optimal. Sekurang-kurangnya dilakukan satu kali penyiraman setiap hari (kecuali turun hujan). Setelah berumur dua minggu, tanaman dibersihkan dari gulma dan rumput liar serta dilakukan pendangiran. Pendangiran tidak perlu terlalu dalam karena dapat merusak akarnya. Pekerjaan ini diulangi pada waktu tanaman berumur dua bulan. Pemeliharaan selanjutnya adalah pemberian pupuk terutama bagi tanah yang tidak terlalu subur. Bagi tanah yang subur, pemberian pupuk cukup pada saat pengolahan tanah. Pemupukan susulan dilakukan dua kali, yaitu saat tanaman berumur dua minggu dan ketika tanaman berumur dua bulan (saat pembentukan bunga), dilakukan bersamaan dengan penyiangan.
15
e. Hama dan Penyakit Hama dan penyakit yang menyerang kembang kol sama seperti pada famili kubis lainnya. Gangguan fisiologis penting pada kembang kol seperti Ekor cambuk, gejala gangguannya adalah bentuk daun kembang kol menjadi tidak teratur dan akhirnya menjadi seperti ekor cambuk karena sebagian besar daunnya hanya terdiri dari daun tengah dengan sedikit helaian daun. Umumnya kepala bunga yang terbentuk tidak dapat dijual karena pertumbuhannya terganggu akibat dari perubahan titik tumbuh. Gejala ekor cambuk biasanya disebabkan oleh tanah yang terlalu asam. Gangguan Bercak Cokelat yang menimbulkan sebagian atau beberapa bagian kepala bunga terlihat seperti ada noda air. Terkadang noda tersebut mengering atau mengeras, namun jika keadaan lembap sering menjadi busuk. Sebelum kepala bunga muncul, bagian tepi daun tengah sering berubah menjadi muda dan akhirnya mati. Kepala bunga yang terserang lama-kelamaan berubah warna menjadi cokelat karat dan rasanya menjadi pahit. f. Panen dan Pasca Panen Umur panen tergantung varietasnya, namun rata-rata kembang kol dapat dipanen setelah 55-60 hari sejak tanam atau 2-3 hari sesudah penutupan bunga. Pada saat dipanen kepala bunga harus mencapai besar maksimal dan warnanya belum berubah. Pemanenan sebaiknya dilakukan pagi hari untuk menghasilkan kepala bunga yang segar karena masih terdapat sisa embun. Panen yang dilakukan sore hari akan menghasilkan kepala bunga yang kering akibat terkena sinar matahari. Cara panennya, kepala bunga dipotong beserta daunnya, terutama daun penutup bunga. Setelah dipanen, kepala bunga segera dibawa ke tempat yang teduh untuk menghindari sinar matahari langsung yang dapat mengakibatkan perubahan warna menjadi kuning pucat sampai cokelat kehitaman. Kembang kol yang telah dipanen sebaiknya segera dipasarkan karena mudah rusak dan menurun kesegarannya. Apabila kembang kol akan disimpan, sebaiknya dimasukkan dalam ruang pendingin bersuhu 0° C. Dalam ruang pendingin ini kesegarannya dapat dipertahankan hingga 30 hari. Ruang pendingin bersuhu kurang dari 5° C hanya dapat mempertahankan kesegaran kurang dari 12 hari.
16
2.3 Karakteristik Sayuran Ciri-ciri komoditas sayuran memiliki kesamaan pokok dengan hortikultura lainnya (Harjadi 1999). Ciri komoditas sayuran adalah sebagai berikut: 1. Dipanen dan dimanfaatkan dalam keadaan hidup atau segar sehingga mudah rusak (Perishable) karena masih ada proses-proses kehidupan yang berjalan. 2. Komponen utama mutu ditentukan oleh kandungan air, bukan oleh kandungan bahan kering. 3. Harga pasar komoditi ditentukan oleh mutu atau kualitasnya bukan oleh kuantitasnya saja. 4. Produk hortikultura bukan merupakan kebutuhan pokok yang tidak diperlukan dalam jumlah besar, namun diperlukan sedikit demi sedikit setiap harinya dan bila tidak mengkonsumsinya, maka tidak segera dirasakan akibatnya. 5. Produk digunakan tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmani melainkan juga kebutuhan rohani. 6. Dari segi gizi, produk hortikultura penting sebagai sumber vitamin dan mineral, bukan diutamakan untuk sumber kalori dan protein. Sayuran memiliki karakteristik yang berbeda dibanding komoditas pertanian lainnya (Harjadi, 1999).
Beberapa perbedaan sayuran terhadap komoditas
pertanian lainnya adalah sebagai berikut: 1. Tidak tergantung pada musim. 2. Mempunyai resiko tinggi. Biasanya produk sayuran mudah rusak sehingga umur tampilannya pendek. Seiring berlalunya waktu dan kekuranghatian dalam penanganan pasca panen, sayuran yang dijual semakin lama semakin turun nilainnya sampai tidak bernilai sama sekali. 3. Karena sifatnya mudah rusak dan berumur pendek, maka lokasi produksi dekat dengan konsumen.
17
2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang terkait dengan topik ini antara lain dilakukan oleh Sari (2006), yang menganalisis sistem pemasaran wortel dan bawang daun. Kondisi pemasaran wortel dan bawang daun yang terjadi di Desa Sukatani ada lima saluran, yaitu : 1. Petani – Tengkulak Kecil – Pedagang Pengecer ( Pasar Cipanas) – Konsumen 2. Petani – Pedagang Pengecer ( Pasar Cipanas) – Konsumen 3. Petani – Tengkulak Besar – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen 4. Petani – Tengkulak Kecil – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen 5. Petani – Tengkulak Kecil – Tengkulak Besar – Pedagang Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen Sebagaian besar petani wortel dan bawang daun melakukan penjualan kepada tengkulak kecil pada saluran pemasaran IV, karena tengkulak kecil yang menyalurkan langsung ke Bogor dan Jakarta banyak tersebar di masing-masing dusun sehingga lebih mudah. Berdasarkan perhitungan margin pemasaran dan farmer’s share, saluran pemasaran wortel dan bawang daun yang paling efisien adalah saluran I karena memiliki marjin pemasaran yang paling kecil masing-masing sebesar 1,450,- per kg (64.44 persen) dan Rp 1,400,- per kg (56 persen). Sedangkan farmer’s share untuk
wortel dan bawang daun yang paling besar terdapat pada saluran
pemasaran II yaitu masing-masing sebesar 44.44 persen dan 54 persen. Untuk wortel dan daun bawang, rasio keuntungan dan biaya yang tertinggi juga terdapat pada saluran II, masing-masing sebesar 5.99 dan 6.82. Berarti, setiap Rp 100,per kg wortel biaya pemasaran yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 599,- per kg dan Rp 681,- per kg.
Dengan demikian saluran
pemasaran I merupakan saluran yang paling efisien, sedangkan saluran pemasaran II yang memberikan keuntungan yang besar kepada petani karena memiliki farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya terbesar.
18
Penelitian yang dilakukan oleh Maharany (2007), menganalisis mengenai usahatani dan tataniaga jamur tiram putih, diketahui bahwa besarnya pendapatan atas biaya total adalah Rp 1,476,930.64,- dan pendapatan atas biaya tunai adalah Rp 1,697,633.53,-. Besarnya nilai R/C atas biaya tunai adalah 2.69 dan R/C atas biaya total adalah 2.20. Berdasarkan kedua perhitungan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa usahatani jamur tiram telah efisien. Analisis tataniaga jamur tiram menunjukkan bahwa terdapat lima saluran tataniaga jamur tiram di wilayah Bandung. Diantaranya yaitu pertama saluran I melibatkan produsen jamur tiram, pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen akhir, kedua saluran II melibatkan produsen jamur tiram, bandar pengumpul, pengumpul, pedagang menengah, pedagang pengecer dan pedagang akhir, ketiga saluran III melibatkan produsen jamur tiram, pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen akhir keempat saluran IV melibatkan produsen jamur tiram, pengumpul, pedagang menengngah, pedagang pengecer dan konsumen akhir dan kelima saluran V. Secara keseluruhan tidak ada saluran tataniaga yang efisien. Hal ini dikarenakan keuntungan yang diperoleh petani hampir sama, bahkan lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga. Meryani (2008) melakukan penelitian mengenai analisis usahatani dan tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang menunjukkan usahatani kedelai per hektar untuk kedelai yang dipanen polong muda, total penerimaannya mencapai Rp 1,871,269.84,- dan total penerimaan untuk kedelai polong tua mencapai Rp 4,243,974.73,- R/C rasio yang diperoleh petani yang panen polong tua adalah 1.35 dan petani yang panen polong muda adalah 1.27. Angka ini memberi arti bahwa dari setiap rupiah yang biaya yang dikeluarkan oleh petani kedelai akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1.35,- untuk polong tua dan penerimaan sebesar Rp 1.27,- untuk polong muda. Saluran tataniaga kedelai yang ada di kecamatan Ciranjang, kabupaten Cianjur, ada dua saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga kedelai polong muda dan saluran tataniaga kedelai polong tua. Saluran tataniaga kedelai polong muda mempunyai tujuan yang sama, yaitu dari petani kedelai dibawa ke pedagang pengumpul, kemudian kedelai tersebut dibawa ke pedagang Pasar Induk Parung.
19
Di pedagang Pasar Induk, kedelai diserap oleh pedagang pengecer dan konsumen akhir. Untuk tataniaga kedelai polong tua terdapat delapan saluran tataniaga. Riyanto (2005), menganalisis mengenai pendapatan cabang usahatani dan pemasaran padi kasus di Tujuh Desa, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan hasil analisis diketahui ternyata pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh petani kelompok I, II, dan III bernilai positif dan lebih besar dari pada pendapatan atas biaya totalnya. Nilai R/C rasio yang diperoleh kelompok I lebih rendah dari petani yang ada pada kelompok II dan III. Adapun nilai R/C rasio yang diperoleh Kelompok I yaitu sebesar 1.81 atas biaya tunai dan 1.3 untuk R/C rasio atas biaya total. Nilai R/C rasio yang diperoleh Kelompok II yaitu sebesar 2.03 atas biaya tunai dan 1.54 untuk R/C rasio atas biaya total. Nilai R/C rasio yang diperoleh Kelompok III yaitu sebesar 2.13 atas biaya tunai dan 1.64 untuk R/C rasio atas biaya total. Pola pemasaran yang paling efisien adalah pola pemasaran I yaitu dari petani ke pedagang besar kemudian disalurkan kembali ke pedagang pengecer untuk disampaikan ke konsumen. Margin pemasaran Pola I adalah 23.30 persen dengan total keuntungan Rp 192.50,- per kg,
margin pemasaran pola II adalah 18 persen dengan total
keuntungan Rp 2,- per kg. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2008), mengenai analisis pendapatan usahatani dan saluran pemasaran pepaya California di Desa Cimande dan Lemahdulur, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa petani responden memperoleh nilai R/C rasio atas biaya total sebesar rata-rata 3.59 dan R/C ratio atas biaya tunai sebesar rata-rata 4.05. Nilai dari kedua R/C tersebut lebih dari satu, maka usahatani pepaya California tersebut masih memberikan keuntungan bagi petani dan layak untuk dikembangkan. Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani responden di Desa Cimande dan Desa Lemahduhur adalah: luas lahan, jumlah tanaman per hektar, jarak tanam, penggunaan bibit, penggunaan bibit, penggunaan pupuk kompos, penggunaan pupuk NPK dan penggunaan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK).
20
Pada saluran pemasaran pepaya California di Desa Cimande dan Lemahduhur, terdapat dua bentuk pola saluran.
Pada pola saluran I, petani
menjual pepaya tersebut kepada supplier, kemudian suplier menjual pepaya tersebut kepada pedagang pengecer dan pedagang pengecer menjualnya kepada konsumen akhir. Sedangkan untuk pola saluran II, petani menjual pepaya langsung kepada pabrik (konsumen akhir). Berdasarkan penelitian terdahulu, menunjukkan pentingnya mengetahui pendapatan usahatani dan pemasaran suatu produk pertanian untuk mengetahui suatu usahatani menguntungkan/layak untuk diusahakan atau tidak dan juga untuk mendapatkan saluran pemasaran yang menguntungkan bagi petani. Penelitian yang telah dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah pada analisis usahataninya yaitu mengenai analisis pendapatan yang terdiri dari penerimaan, pengeluaran (biaya tunai dan biaya diperhitungkan), dan R/C rasio. Perbedaannya adalah pada lokasi penelitian yang dilakukan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, perbedaan jenis komoditi
dan waktu
dilakukannya kegiatan penelitian. Dari hasil pengamatan penelitian terdahulu belum ada yang melakukan penelitian tentang kembang kol sebelumnya, serta analisis pemasaran yang akan ditinjau lebih lanjut di lokasi penelitian.
21