15
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Belajar dan Pembelajaran 2.1.1 Belajar Belajar menjadi hal yang tidak terpisahkan di dalam kehidupan manusia karena dengan belajar manusia akan memiliki pengetahuan, keterampilan dan dapat mengembangkan potensi diri. Menurut Gagne (1984) dalam Dahar, (2006:2) belajar adalah proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Sedangkan menurut Sanjaya, (2006:202) menjelaskan bahwa belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku.
Menurut Pribadi (2009:6) belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar memiliki kompetensi berupa keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan, belajar juga dapat dipandang sebagai sebuah proses elaborasi dalam upaya pencarian makna yang dilakukan individu.
Proses belajar pada dasarnya
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensi personal. Biggs mengatakan bahwa belajar dapat didefinisikan dalam tiga macam rumusan, yaitu rumusan kuantitatif, rumusan institusional, rumusan kualitatif. Secara kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut materi yang dikuasai siswa. Sedangkan
16
secara Institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses validasi terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang Adapun
telah dipelajari.
pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) adalah proses
memperoleh arti-arti dan pemahaman. Pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa (Muhibbin, 2008: 67).
Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. Manusia banyak belajar sejak lahir dan bahkan ada yang berpendapat sebelum lahir. Bahwa antara belajar dan perkembangan sangat erat kaitannya. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan perilaku tetap berupa pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan kebiasaan yang baru diperoleh individu. Sedangkan pengalaman merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan sebagai sumber belajarnya.
Menurut Trianto (2009:17) belajar diartikan sebagai proses perubahan perilaku tetap dari belum tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari kurang terampil menjadi terampil, dan dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru. Menurut Thorndike (Sanjaya, 2010: 115) dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi antara stimulus dan respons. Menurut A. Bandura (Djaali, 2009: 93), bahwa belajar itu lebih dari sekedar perubahan perilaku. Belajar adalah
17
pencapaian pengetahuan dan perilaku yang didasari oleh pengetahuannya tersebut (Teori Kognitif Sosial).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, yang disebut belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku seseorang yang dimulai sejak awal kehidupan sampai akhir kehidupan manusia serta untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap ke arah yang lebih baik. adanya beberapa ciri belajar, yaitu: 1) belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku (change behavior), 2) perubahan perilaku relative permanen. Ini berarti, bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak berubah-ubah, 3) perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar sedang berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial, 4) perubahan tingkah laku merupakan hasil latihan atau pengalaman dan 5) pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan.
2.1.2 Pembelajaran Istilah pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam kelas. Pembelajaran dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik. Proses pembelajaran yang dilakukan guru minimal memenuhi standar proses yang diatur dalam permendiknas nomor 41 tahun 2007 yakni pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan
18
belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.
Menurut Dick dan Carey (2005) dalam Pribadi (2009: 17) mendefinisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau beberapa media. Proses pembelajaran mempunyai tujuan agar siswa dapat mencapai kompetensi seperti
yang
diharapkan.
Untuk
mencapai
kompetensi
tersebut
proses
pembelajaran perlu dirancang secara sistematik dan sistemik. Proses merancang aktivitas pembelajaran inilah disebut dengan desain sistem pembelajaran. Hakikat pembelajaran menurut Sudjana (2005:25) yaitu: 1)peristiwa belajar terjadi apabila subjek didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh gurunya, 2) proses belajar-mengajar yang efektif memerlukan strategi dan metode/ teknologi pendidikan yang tepat, 3) program belajar mengajar di rancang dan di laksanakan sebagai suatu system, 4) proses dan produk belajar perlu memperoleh perhatian seimbang di dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, 5) pembentukan kompetensi professional memerlukan pengintegrasian fungsional antara teori dan praktek serta materi dan metodologi penyampaiannya.
Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
19
Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, baik pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.
Menurut Miarso (2009:144) memaknai istilah pembelajaran sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pembelajar. Menurut Gagne (2005) mendefinisikan pembelajaran sebagai “a set of events embeddee inpurposeful activities that facilitate leraning”. Pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinyan proses belajar. Menurut Wena (2009: 2) pembelajaran berarti upaya membelajarkan siswa, dengan demikian startegi pembelajaran berarti cara dan seni untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya membelajarkan siswa.
Berdasarkan beberapa pengertian pembelajaran di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan usaha sengaja, terarah dan bertujuan oleh seseorang atau sekelompok orang (termasuk guru dan penulis buku pelajaran) agar orang lain (termasuk peserta didik), dapat memperoleh pengalaman yang bermakna.
20
2.1.3 Teori Belajar dan Pembelajaran 2.1.3.1 Teori Jean Piaget Piaget dalam Herpratiwi (2009:29) dikenal dengan teori cognitive development. Tiga prinsip utama pembelajaran yang dikemukakan Piaget antara lain: (1) Belajar aktif; (2) Belajar lewat interaksi sosial; dan (3) Belajar lewat pengalaman sendiri. Selain itu dalam teori Piaget ada empat tahapan perkembangan kognisi siswa meliputi: (a) Tingkat Sensorimotor (0-2 tahun); (b) Tahap Preoperational (2-7 tahun); (c) Tahap Concrete Operational (7-11 tahun); dan (d) Tahap Formal Operations (11 tahun ke atas). Siswa kelas V sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret (concrete operational).
2.1.3.2 Teori Vygotsky Menurut Vigotsky dalam Lapono (2010: 20) mengemukakan teori kognisi sosial yang didasari oleh pemikiran bahwa budaya berperan penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan
utama
budaya
keluarga.
Budaya
lingkungan
individu
membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir.
Teori belajar Vygotsky memberi penekanan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar dalam zone of proximal development. Zone of proximal developmnet merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan
21
arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal apa yang dikatakan scaffolding yaitu memberikan sejumlah besar dukungan kepada anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukannya sendiri. Bentuk penerapan teori belajar Vygotsky adalah melalui metode pembelajaran kooperatif dan metode pembelajaran peer tutoring (tutor sebaya).
Metode Pembelajaran Kooperatif adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Pembelajaran dengan tutor sebaya adalah sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya. Pembelajaran dengan tutor sebaya dilakukan atas dasar bahwa ada sekelompok siswa yang lebih mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sendiri dibandingkan dengan gurunya. (Gunawan, Bakti 2013: 11)
2.1.3.3 Teori Carl Ransom Rogers Menurut pendapat Carl R. Rogers tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai kualitas diri dengan sebaik-baiknya. (Herpratiwi 2009: 50)
22
Langkah-langkah dan sasaran yang perlu dilakukan oleh guru menurut Rogers adalah : guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara terstruktur, guru dan siswa membuat kontrak beljara, guru menggunakan metode inquiri atau belajar menemukan (discovery learning), guru menggunakan metode simulasi, guru mengadakan latihan kepekaan agar siswa mampu menghayati perasaan dan berpartisipasi dengan kelompok lain, guru bertindak sebagai fasilitator agar tercipta peluang bagi siswa untuk timbulnya kreatifitas dalam belajar (Dimyati, 2009:17)
Jadi dapat ditegaskan belajar menurut Carl R. Rogers adalah untuk membimbing anak kearah kebebasan dan kemerdekaan, mengetahui apa yang baik dan yang buruk, dapat melakukan pilihan tentang apa yang dilakukannya dengan penuh tanggungjawab sebagai hasil belajar. Kebebasan itu hanya dapat di pelajari dengan memberi anak didik kebebasan sejak mulanya sejauh ia dapat memikulnya sendiri, hal ini dilakukan dalam konteks belajar.
2.1.3.4 Teori Carles M. Reigeluth Reigeluth (1983: 22), membedakan dua tipe teori instruksional, yakni: (1) Teori instruksional deskriptif (a descriptive theory of instruction) yang menempatkan variabel kondisi dan metode instruksional sebagai variable bebas dan hasil instruksional sebagai variabel tergantung; dan (2) Teori instruksional preskriptif (a prescriptive theory of instruction) yang menempatkan kondisi dan hasil instruksional sebagai variabel bebas, sedangkan metode instruksional sebagai variable tergantung.
23
Teori elaborasi didasarkan pada asumsi bahwa agar siswa dapat mempelajari suatu materi pelajaran secara efektif, maka perlu dibuatkan rangkuman atau pointers penting dari materi pelajaran itu. Dengan metode elaborasi siswa akan lebih cepat memahami materi pelajaran jika dibandingkan dengan membaca teks isi pelajaran secara menyeluruh.
Dengan metode elaborasi, siswa diharapkan mampu menyeleksi, menyusun sekuensis, melakukan sintesis dan mering-kas isi instruksional. Teori ini menganjurkan tujuh komponen strategi dalam menggunakan metode elaborasi (Reigeluth, 1983: 247), yakni; (a) Mengelaborasi sekuensis dari setiap struktur pelajaran; (b) Melakukan variasi preskripsi untuk setiap sekuensis dari setiap pelajaran; (c) Membuat ringkasan-ringkasan; (d) Melakukan sintesis terhadap ringkasan isi pelajaran; (e) Membuat analogis; (f) Mengaktifkan strategi kognitif; (g) Mengontrol format belajar.
Teori ini menekankan pada aspek metode instruksional yang akan mempengaruhi hasil belajar. Oleh karena itu, teori instruksional ini termasuk dalam kelompok teori instruksional deskriptif, karena hasil belajar ditentukan oleh metode elaborasi yang digunakan.
Pada mulanya Reigeluth memperkenalkan empat variabel pembelajaran yang menjadi titik perhatian, yaitu: (1) kondisi pengajaran, (2) bidang studi, (3) strategi pengajaran, dan (4) hasil pengajaran. Variabel-variabel yang dikelompokkan ke dalam kondisi pengajaran adalah karakteristik siswa, karakteristik lingkungan pengajaran, dan tujuan institusional. Variabel bidang studi mencakup karakteristik isi/tugas. Variabel strategi pengajaran mencakup strategi penyajian isi bidang
24
studi, penstrukturan isi bidang studi, dan pengelolaan pengajaran. Variabel hasil pengajaran mencakup semua efek yang dihasilkan dari pengajaran, apakah itu pada diri siswa, lembaga, termasuk juga pada masyarakat. Reigeluth, (1983) menjelaskan bahwa, pada tahun 1978 klasifikasi variabel-variabel pengajaran ini dimodifikasi menjadi tiga variabel, yaitu: (1) Instructional Conditions (kondisi pengajaran); (2) Instructional Method (metode pengajaran); (3) Instructional Outcomes (hasil pengajaran).
2.2
Desain Pembelajaran ASSURE
Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. (PP No. 19 tahun 2005) pasal 19 ayat 1. Proses pendidikan sesuai dengan yang disebutkan dalam PP tersebut memerlukan banyak pekerjaan dan keterlibatan dari komponen pembelajaran salah satunya adalah guru. Seorang guru dituntut untuk merancang proses pembelajaran dengan menghadirkan suasana belajar yang tepat agar proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif, efisien dan menyenangkan. Untuk mewujudkan hal ini dalam pembelajaran guru bisa menggunakan berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Salah satu model desain pembelajaran yang bisa digunakan adalah model ASSURE.
Model desain pembelajaran ASSURE merupakan salah satu model yang dapat menuntun pembelajar secara sistematis untuk merencanakan proses pembelajaran
25
secara efektif. Model desain pembelajaran ASSURE pada pelaksanaannya memadukan penggunaan teknologi dan media di ruang kelas. Jadi dengan melakukan perencanaan secara sistematis, dapat membantu memecahkan masalah dan membantu mempermudah menyampaikan pembelajaran. Karena proses pembelajaran merupakan proses yang komplek dan merupakan suatu sistem yang perlu dilakukan dengan pendekatan sistematis.
Model desain pembelajaran ASSURE adalah kekhasan dari buku yang ditulis oleh trio Heinich, Molenda dan Russell sejak pertama kali buku Instructional Technology and Media diterbitkan di era 1980an. Hingga sekarang buku ini telah mencapai edisi ke sembilan dengan perubahan judul, struktur buku, dan para penulisnya menjadi buku Instructional Technology and Media for Learning, model ASSURE ini tetap dipertahankan sebagai kekhasan dari buku yang bertema teknologi pembelajaran.
Menurut Smaldino (2012: 110) model desain pembelajaran ASSURE adalah suatu mnemonic atau singkatan yang mudah dihapalkan oleh peserta belajar. ASSURE berbentuk suatu kata yang mempunyai arti khusus yaitu to make sure atau dalam bahasa Indonesia berarti meyakinkan. ASSURE terdiri atas enam komponen seperti rumusan kata itu sendiri. Setiap huruf mempunyai arti, yaitu A = Analyze Learner (menganalisis peserta belajar) S = State Objectives (merumuskan tujuan pembelajaran atau kompetensi) S = Select methods, technologi, media, and materials (memilih strategi, teknologi, media dan materi) U = Utilize media and materials (menggunakan media dan bahan ajar) R = Require learner participation (mengembangkan peran serta peserta belajar) E = Evaluate and Revise (menilai dan memperbaiki)
26
Ditinjau dari struktur, maka ASSURE dirumuskan berdasarkan kata kerja tertentu yaitu analyze, state, select, utilize, require, dan evaluate. Seluruh kata kerja ini menunjuk pada kegiatan atau pekerjaan yang harus dilakukan oleh guru untuk mengelola proses pembelajaran. Berikut ini adalah analisis masing masing komponen dari model disain pembelajaran ASSURE.
1. Analyze Learner (menganalisis peserta belajar) Pada disain pembelajaran, peserta belajar adalah hal terpenting. Apapun bentuk produk, model disain pembelajaran maka semua upaya diwujudkan demi kelancaran proses belajar. Dalam melakukan analisis peserta belajar ada beberapa hal yang perlu dilakukan misalnya: (a) karakteristik umum peserta belajar, (b) kompetensi awal yang menjadi modal dasarnya, dan (c) gaya belajar dari peserta belajar, aspek psikologis dari peserta belajar dan banyak lagi sesuai dengan kebutuhan. (a) Karakteristik umum (general characeristics) peserta belajar Siswa kelas V SDN 1 Metro Barat rata-rata siswanya berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Jumlah siswa kelas V sebanyak 55 orang yang terbagi dalam dua rombongan belajar atau dua kelas terdiri dari kelas Va sebanyak 28 orang siswa dan kelas Vb berjumlah 27 orang siswa. Jumlah siswa perempuan lebih banyak dibandingkan dengan siswa laki-laki. Siswa kelas V ini berumur sekitar 11-12 tahun. (b) Kompetensi Khusus (Entry competencies) kompetensi awal yang menjadi modal dasarnya. Mata pelajaran IPS kelas V SD semester genap memiliki satu standar kompetensi (“Menghargai peranan tokoh pejuang dalam masyarakat dalam
27
mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia”) dan empat kompetensi dasar. Sebelum mempelajari kompetensi dasar 2.2 tentang “Perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan”, siswa harus memiliki pengetahuan awal tentang kompetensi dasar 2.1 perjuangan para tokoh pejuang pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Untuk mengetahui kemampuan awal mereka sebelum pelajaran dilanjutkan, pada pertemuan pertama biasanya diadakan pretes. Dari hasil pretes dapat dijadikan acuan tentang hal-hal apa yang perlu dan tidak perlu lagi disampaikan kepada siswa yaitu dengan mengadakan refleksi terhadap siswa sehingga dapat mengetahui kemampuan kognitifsi pebelajar. Maka dengan ini tentu saja pembelajaran dapat dilanjutkan dengan membahas materi-materi lanjutan dari pengetahuan awal yang mereka punyai. (c) Gaya belajar (Learning Style) Terdapat tiga macam gaya belajar yang dimiliki siswa, yaitu; (1) Gaya belajar visual (melihat) yaitu dengan lebih banyak melihat seperti membaca; (2) Gaya belajar audio (mendengarkan), yaitu belajar akan lebih bermakna oleh siswa jika pelajarannya tersebut didengarkan dengan serius, (3) Gaya belajar kinestetik (melakukan), yaitu pelajaran akan lebih mudah dipahami oleh siswa jika dia sudah mempraktekkan sendiri. 2. State Objective (merumuskan tujuan pembelajaran atau kompetensi) State objective atau merumuskan tujuan pembelajaran bagi Smaldino (2012: 119) menggunakan rumusan tujuan dengan model ABCD , yang berarti : A = audience, pebelajar dengan segala karakteristiknya. B = behavior, kata kerja yang menjabarkan kemampuan yang harus dikuasai;
28
C = conditions, situasi kondisi yang memungkinkan bagi pebelajar dapat belajar dengan baik; dan D = degree, persyaratan khusus yang dirumuskan sebagai standar baku pencapaian tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran juga dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan kompetensi dasar dan indikator keberhasil yang hendak dicapai pada akhir proses pembelajaran. Setelah melakukan pembelajaran IPS tentang “Perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan” ini diharapkan siswa mampu: 1. Setelah membaca buku teks dan mengamati gambar, siswa mampu menceriterakan perjuangan bangsa dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan dengan benar. 2. Setelah melakukan eksplorasi dan diskusi, siswa mampu menjelaskan rumusan-rumusan dasar negara sebelum kemerdekaan dengan benar. 3. Setelah melakukan eksplorasi dan diskusi, siswa mampu menjelaskan peranan beberapa tokoh dalam mempersiapkan kemerdekaan dengan benar. 4. Setelah membaca buku teks dan mengamati gambar, siswa mampu menceritakan riwayat singkat tokoh penting persiapan kemerdekaan dengan benar. 5. Setelah melakukan eksplorasi dan diskusi, siswa mampu memberi contoh sikap menghargai jasa tokoh yang terlibat dalam persiapan kemerdekaan dengan benar.
2. Select Methods,Technologi, Media,and Materials (memilih strategi, media dan bahan ajar) a. Memilih Strategi Pemilihan strategi pembelajarn disesuaikan dengan standar dan tujuan pembelajaran. Selain itu juga memperhatikan gaya belajar dan motivasi siswa yang nantinya dapat mendukung pembelajaran. Strategi pembelajaran dapat mengandung ARCS model (Smaldino 2012: 125). ARCS model dapat membantu strategi mana yang dapat membangun Attention (perhatian)
29
siswa, pembelajaran berhubungan yang Relevant dengan keutuhan dan tujuan, Convident, desain
pembelajaran
dapat
membantu
pemaknaan
pengetahuan oleh siswa dan Satisfaction dari usaha belajar siswa. Strategi yang digunakan pada pembelajaran IPS dengan materi “Perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan” kelas V SDN 1 Metro Barat adalah strategi cooperative learning tipe STAD yang berpusat pada siswa, agar pebelajar memperoleh pengalaman nyata bagaimana menghargai perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan. Selain itu juga menggunakan metode ceramah, tanya jawab, diskusi dan pemberian tugas. b. Memilih teknologi Pembelajaran ini
menggunakan teknologi
berbasis
komputer dengan
menggunakan unit komputer yang telah diinstalkan software aplikasi perangkat lunak (Ms.Word). c. Memilih media Adapun media yang digunakan berupa Slide Power Point yang berisi peristiwa dan gambar perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan. Sebelum dimulainya pembelajaran guru mengkondisikan kelas senyaman mungkin sehingga siswa akan merasa nyaman dan aman dalam mengikuti pembelajaran. Langkah kedua yaitu guru mempersiapkan media yang akan digunakan dalam pembelajaran yaitu tampilan materi dalam format Power Point dengan menggunakan media LCD. LCD proyektor dinyalakan dan layar di tempatkan di depan kelas agar semua siswa bisa melihat dan mengamati dengan jelas. Tahap selanjutnya adalah dengan membagikan media gambar “Perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan” yang dibagikan kepada masing-masing siswa.
30
d. Memilih bahan Ajar Sebelum melakukan pembelajaran dipersiapkan bahan ajar cetak (handout) elektronik dan buku paket mata pelajaran IPS kelas V dan bahan ajar non cetak berisi materi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran tentang “perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan”. Pemanfaatan media dan bahan ajar pada model ASSURE ini ditujukan kepada guru dan peserta belajar. Smaldino, (2012) dkk mengajukan rumus 5 P untuk pemanfaatan media dan material pembelajaran ini. Kelima P tersebut ialah : (1) Preview the Materials (Kaji bahan ajar); (2) Prepare the Materials (Siapkan bahan ajar); (3) Prepare Environment (Siapkan lingkungan); (4) Prepare the Learners (Siapkan peserta didik); dan (5) Provide the Learning Experience (Tentukan pengalaman belajar)
5. Required Learner Participation (mengembangkan peran serta peserta belajar) Mengembangkan peran serta peserta belajar, tujuan utama pembelajaran adalah agar peserta belajar – belajar. Oleh karena itu melibatkan peserta untuk belajar adalah aktivitas yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Partisipasi berisi kegiatan siswa dalam pembelajaran di dalam kelas diawali dengan kesiapan siswa untuk belajar yaitu siswa duduk dengan rapi di bangku masing-masing, memberikan penghormatan dan mengucapkan salam kepada guru. Guru mengkondisikan kelas sampai siswa siap dalam belajar (nyaman). Pada kegatan awal guru memberikan salam, motivasi, melakukan apersepsi dengan menanyakan keadaan siswa serta menyampaikan tujuan dan manfaat pembelajaran.
31
Pada kegiatan inti siswa dan guru melakukan tanya jawab sehubungan dengan “perjuangan para tokoh menuju kemerdekaan” yang dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap afektif dan kognitif siswa. Selanjutnya siswa siswa dibadi 6 kelompok masing masing kelompok 4 – 5 orang yang heterogen, selanjutnya masing-masing kelompok mengerjakan lembaran tugas kelompok tentang perjuangan para tokoh perjuangan menuju kemerdekaan.
Hal ini bertujuan untuk membentuk nilai karakter demokratis, menghargai prestasi dan bersahabat antar siswa dan menumbuhkan sikap nasionalisme. Selanjutnya masing masing kelompok untuk mempresentasikan hasil pekerjaan tugas dan siswa yang lain berkewajiban untuk mengomentari dan memberikan tanggapan. Nilai karakter yang ingin dimunculkan pada persentasi tugas yaitu nilai toleransi, komunikatif dan tanggung jawab, serta sikap nasionalisme. Selanjutnya siswa dan guru menyamakan persepsi. Tahap akhir siswa bersama guru melakukan tanya jawab sehubungan dengan kompetensi yang diperoleh siswa pada saat pembelajaran. Selanjutnya siswa diberikan tugas pengamatan secara kelompok ataupun individu ke bahan ajar sehubungan dengan materi yang telah dipelajari untuk dikumpulkan dan dipresentasikan pada pertemuan selanjutnya. Pada kegiatan pengamatan ini bertujuan agar siswa mampu mengkonstruksi konsep sehingga mampu mengkaitkan dengan peristiwa masa kini selain itu guru memiliki tujuan agar siswa bisa menumbuhkan nilai karakter antara lain jujur, disiplin,
kerja
keras,
kreatif,
mandiri,
demokratis,
rasa
ingin
tahu,
bersahabat/komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab dan sikap nasionalisme.
32
6. Evaluate and revise (menilai dan memperbaiki) Salah satu tujuan penilaian adalah mengukur tingkat pemahaman atas materi yang baru saja diberikan. Dalam hal ini, penilaian bukan untuk menentukan tingkat „kepintaran‟ seorang pebelajar, namun cenderung untuk memberi masukan kepada mereka. Demikian juga evaluasi berguna untuk melakukan penilaianan apakah seluruh proses pembelajaran sudah berjalan dengan baik, atau ada proses pembelajaran yang perlu ditingkatkan dan direvisi untuk meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran itu sendiri.
2.3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. (Permendiknas No. 41 tahun 2007). Silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema pelajaran, SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Menurut Mulyasa (2007: 212) menyatakan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan
33
manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. Selanjutnya menurut Munthe (2014: 200) RPP adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa.
RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. 2.3.1
Komponen RPP meliputi
2.3.1.1 Identitas mata pelajaran meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, mata pelajaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan. 2.3.1.2 Standar Kompetensi; merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan /atau semester pada suatu mata pelajaran.
34
2.3.1.3 Kompetensi Dasar; adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai siswa dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam suatu pelajaran. 2.3.1.4 Indikator pencapaian kompetensi; adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. 2.3.1.5 Tujuan pembelajaran; menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar. 2.3.1.6 Materi ajar; memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi. 2.3.1.7 Alokasi waktu; ditentukan sesuai dengan keperluan untuk pencapaian KD dan beban belajar. 2.3.1.8 Metode pembelajaran; digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk siswa kelas 1 sampai kelas 3 SD/M I.
35
2.3.1.9 Kegiatan pembelajaran yang terdiri atas: (a) pendahuluan; merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran; (b) kegiatan Inti; merupakan
proses
pembelajaran
untuk
mencapai
KD.
Kegiatan
pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi
siswa
untuk
berpartisipasi
aktif,
serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi; dan (c) penutup; merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindaklanjut. 2.3.1.10
Penilaian hasil belajar; prosedur dan instrumen penilaian proses
dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada Standar Penilaian. 2.3.1.11
Sumber belajar; penentuan sumber belajar didasarkan pada standar
kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar,
kegiatan
pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.
2.3.2
Prinsip-prinsip Penyusunan RPP
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan RPP 2.3.2.1 Memperhatikan perbedaan individu siswa RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan
36
awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan siswa. 2.3.2.2 Mendorong partisipasi aktif siswa Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada siswa untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar. 2.3.2.3 Mengembangkan budaya membaca dan menulis. Proses pembelajaran dirancang untuk mengembangkan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan. 2.3.2.4 Memberikan umpan balik dan tindak lanjut. RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi. 2.3.2.5 Keterkaitan dan keterpaduan RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman
belajar.
RPP
disusun
dengan
mengakomodasikan
pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya. 2.3.2.6 Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi
37
RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi. (Depdiknas, 2007b: 7-12)
2.3.3
Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. 2.3.3.1 Kegiatan Pendahuluan Dalam kegiatan pendahuluan, guru: a. menyiapkan siswa secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; c.
menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;
d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus. 2.3.3.2 Kegiatan Inti Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi
siswa
untuk
berpartisipasi
aktif,
serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
38
Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik siswa dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. a. Eksplorasi Dalam kegiatan eksplorasi, guru: 1) melibatkan siswa mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber; 2) menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain; 3) memfasilitasi terjadinya interaksi antar siswa serta antara siswa dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; 4) melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran; dan 5) memfasilitasi siswa melakukan percobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.
b. Elaborasi Dalarn kegiatan elaborasi, guru: 1) membiasakan siswa membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna; 2) memfasilitasi siswa melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; 3) memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; 4) memfasilitasi siswa dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif;
39
5) memfasilitasi siswa berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; 6) rnenfasilitasi siswa membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok; 7) memfasilitasi siswa untuk menyajikan presentasi; kerja individual maupun kelompok; 8) memfasilitasi siswa melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan; 9) memfasilitasi siswa melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri peserta didik. c. Konfirmasi Dalam kegiatan konfirmasi, guru: 1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupunhadiah terhadap keberhasilan peserta didik, 2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, 3) memfasilitasi
siswa
melakukan
refleksi
untuk
memperoleh
pengalaman belajar yang telah dilakukan, 4) memfasilitasi siswa untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar: a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan
siswa
yang
menghadapi
menggunakan bahasa yang baku dan benar; b) membantu menyelesaikan masalah;
kesulitan,
dengan
40
c) memberi acuan agar siswa dapatmelakukan pengecekan hasil eksplorasi; d) memberi informasi untuk bereksplorasi Iebih jauh; e) memberikan motivasi kepada siswa yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
2.3.3.2 Kegiatan Penutup Dalam kegiatan penutup, guru: a. bersama-sama
dengan
siswa
dan/atau
sendiri
membuat
rangkuman/simpulan pelajaran; b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram; c. memberikan
umpan
balik
terhadap
proses
dan
hasil
pembelajaran; d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi,
program
pengayaan,
layanan
konseling
dan/atau
memberikan tugas baik tugas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar siswa; e. menyampaikan
rencana
pembelajaran
pada
pertemuan
berikutnya.
2.4
Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran, proses penilaian terhadap hasil belajar yang dapat memberikan
41
informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuantujuan belajar melalui kegiatan belajar. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu. Staton (dalam Lapono, dkk., 2010: 1.12) mengemukakan hasil belajar diukur berdasarkan terjadi-tidaknya perubahan tingkah laku atau pemodifikasian tingkah laku yang lama menjadi tingkah laku yang baru. Seiring dengan pendapat tersebut
Sudjana (2010: 22) mengungkapkan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Sedangkan S. Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar (Kunandar, 2010 : 276). Berdasarkan teori Taksonomi Bloom dalam (Sudjana, 2010: 22) hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah yaitu ranah kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut: (1) ranah kognitif yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan dan ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi; (2) ranah afektif, berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima (reciving/attending), menjawab atau mereaksi (responding), menilai (valuing,), organisasi, internalisasi nilai/ pembentukan pola hidup; dan (3) ranah psikomotor, meliputi gerakan refleks,
42
keterampilan pada gerakan-gerakan terbimbing, kemampuan perseptual (termasuk di dalamnya membedakan visual, auditif, motoris), dan gerakan skill.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, maka hasil belajar bukan saja sejumlah pengetahuan yang diperoleh siswa, melainkan juga adanya perubahan perilaku dan sikap siswa. Jadi, yang dimaksud dengan hasil belajar adalah hasil belajar yang diperoleh siswa setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar.
2.5 Prestasi Belajar Prestasi belajar adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah ia melakukan perubahan belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Prestasi belajar merupakan perolehan yang dicapai melalui kegiatan belajar. Jika belajar sesuatu yang bersifat pengethuan perolehannya adalah tentang pengetahuan atau kognitif dan jika belajarnya sesuatu yang bersifat keterampilan gerak, maka perolehannya juga penguasaan mengenai keterampilan gerak.
Menurut Hamalik (2005: 159) prestasi belajar merupakan indikator adanya derajat perubahan perilaku siswa. Sejalan dengan pendapat tersebut MC. Cleland dalam Dimyati dan Mujiono, (2009: 82) menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan dasar yang meliputi (1) kebutuhan akan kekuasaan, (2) kebutuhan akan berafiliasi, dan (3) kebutuhan akan prestasi. Prestasi belajar merupakan suatu gambaran dari penguasaan kemampuan siswa sebagaimana telah ditetapkan untuk suatu pelajaran tertentu. Selanjutnya Djamarah dalam Winkel (2007: 96) mengatakan bahwa prestasi belajar merupakan hasil penilaian pendidikan tentang kemampuan siswa setalah melakukan aktivitas belajar. Sedangkan menurut Winkel (2007: 97) prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan siswa atas
43
usahanya sendiri dalam belajar. Beberapa pendapat tersebut menegaskan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai seseorang atas usahanya sendiri setelah melakukan aktivitas belajar.
Prestasi belajar sebagai perolehan siawa setelah menempuh periode pembelajaran tertentu, dapat dikriteriakan menurut tingkat penguasaan materi pembelajaran. Preatasi belajar yang diperoleh siswa terwujud dalam bentuk angka kuantitatif. Menurut Arikunto (2008: 35-36) menyatakan bahwa penilaian prestasi belajar dapat menggunakan kriteria tanpa pertimbangan apa-apa yakni dilakukan dengan membagi rentang jangkauan penialaian menjadi beberapa rentang yang intervalnya sama. Prestasi belajar dalam bidang akademik diartikan prestasi pelajaran yang diperoleh dari kegiatan persekolahan yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian. Thorndike dalam Djaali (2001: 20) berpendapat bahwa siswa akan belajar lebih giat jika mereka mengetahui bahwa di akhir program yang sedang ditempuh akan ada tes untuk mengetahui nilai dan prestasi belajar mereka. Suparman (2001: 20) menyatakan bahwa untuk mengukur prestasi belajar dapat dilaksanakan dengan evaluasi. Alat ukur dapat berbentuk tes karangan atau tes objektif untuk tujuan instruksional dalam kawasan kognitif. Hamalik (2001: 146) menyatakan asessment adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk
mengukur prestasi belajar
(achievement) siswa sebagai prestasi dari suatu program instruksional. Jadi untuk mengukur prestasi belajar dapat diberikan asessment.
Menurut Saifudin Anwar (2005 : 8-9) mengemukakan tentang tes prestasi belajar bila dilihat dari tujuannya yaitu mengungkap keberhasilan sesorang dalam belajar.
44
Testing pada hakikatnya menggali informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Tes prestasi belajar berupa tes yang disusun secara terrencana untuk mengungkap performasi maksimal subyek dalam menguasai bahan-bahan atau materi yang telah diajarkan. Dalam kegiatan pendidikan formal tes prestasi belajar dapat berbentuk ulangan harian, tes formatif, tes sumatif, bahkan ebtanas dan ujian-ujian masuk perguruan tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, prestasi belajar pada dasarnya adalah tingkat keberhasilan siswa terhadap semua materi yang telah dipelajarinya. Prestasi belajar merupakan hasil dari usaha siswa yang dapat dicapainya saat dilakukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap berbagai hal yang pernah diajarkan, sehingga diperoleh gambaran yang nyata tentang pencapaian program pendidikan secara menyeluruh.
2.6 Nilai dan Sikap Nasionalisme 2.6.1
Nilai dan Sikap
2.6.1.1 Nilai . Nilai mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran IPS, karena perbuatan manusia didasarkan pada wujud keyakinan dan kepercayaan. Antara perbuatan dan keyakinan hubungannya sangat erat, dimana yang satu akan mempengaruhi yang lainnya. Oleh karena itu pembinaan nilai dan sikap anak didik kita harus senanntiasa dilaksanakan secara terencana dan berkesinambungan.
Nilai atau sistem nilai adalah keyakinan, kepercayaan, norma atau kepatuhan-kepatuhan yang dianut oleh seseorang ataupun kelompok
45
masyarakat. (Kosasih Djahiri. 2006). Selanjutnya Richard Meril, dalam Dwi Siswoyo, dkk (2005:23), menyatakan, bahwa nilai adalah patokan atau standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing seseorang atau kelompok kearah “satisfication, fulfillment, and meaning. Adapun menurut Sandin dalam Hidayati dkk (2008: 4-30) bahwa sistem nilai seseorang terdiri dari seperangkat asumsi-asumsi, pengertian-pengertian, keyakinan dan komitmen kita untuk mengarahkan pilihan perilaku.
Berdasarkan beberapa pengertian nilai di atas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan ukuran baik dan buruk tentang tingkah laku yang dianut seseorang dalam kehidupan masyarakat. Sistem nilai budaya merupakan pedoman tertinggi bagi manusia. Sistem nilai tidak hanya mempengaruhi tingkah laku dan tindakan seseorang, tetapi dapat menjadi dasar untuk mencapai tujuan hidup. Walgito dalam Hidayati, dkk. (2008: 4-31) mengartikan sikap sebagai keadaan yang ada pada diri manusia yang menggerakkan untuk bertindak, sikap menyertai manusia dengan perasaan-perasaan tertentu dalam menanggapi objek dan semua itu terbentuk atas pengalaman. Selanjutnya Hidayati menegaskan bahwa sikap merupakan reaksi emosional seseorang terhadap lingkungannya, baik secara positif maupun negatif, baik berkenaan dengan persetujuan maupun penolakan tentang kondisi sosial yang dialaminya. Adapun nilai karakter yang dikembangkan sesuai dengan materi penelitian ini adalah: disiplin, toleransi, demokratis, semangat kebangsaan, dan menghargai prestasi.
46
2.6.1.2 Sikap Menurut Mar’at (1984) dalam Sri Utami Rahayuningsih – 2008 menyatakan bahwa sikap a.
berorientasi kepada respon : sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek.
b.
berorientasi kepada kesiapan respon : (1) sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. (2) suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
c.
berorientasi kepada skema triadik : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.
Secara ilmiah sikap dapat diukur, dimana sikap terhadap objek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap: (1) Metode Self Report; (2) Pengukuran Involuntary Behavior. Dalam penelitian ini menggunakan Pengukuran Involuntary Behavior (Pengukuran terselubung) meliputi (a) Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden; (b) Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi oleh kerelaan responden; (c) Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh individu yang bersangkutan; (d)
Observer dapat
menginterpretasikan sikap individu mulai dari fasial reaction, voice tones,
47
body gesture, keringat, dilatasi pupil mata, detak jantung, dan beberapa aspek fisiologis lainnya, (Mar’at 1984, dalam Rahayuningsih SU – 2008)
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi/reaksi terhadap suatu objek, memihak/tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek dilingkungan sekitarnya (Azwar, 2005: 11).
Menurut Yul, Iskandar (2004 : 9) Sikap adalah sebuah trait yang selain aktif mempelajarinya, tetapi telah ditampilkan dengan perubahan tingkah laku yang sesuai. Biasanya sikap memerlukan bakat, minat, dan aktif yang merubah perilaku. Sikap pada umumnya merupakan hasil dari learning dan praktis dan pula hasil dari perpaduan berbagai trait dan ability. Petty, Cocopio, 1986 dalam Azwar S., (2005 : 6), Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau issu. Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap atau sikap mental
adanya pada diri seseorang, jadi bukan ada pada alam
pikiran orang sebagai anggota masyarakat. Sikap mental merupakan reaksi emosional seseorang terhadap lingkungannya, baik secara positif maupun negatif, baik berkenaan dengan persetujuan maupun penolakan tentang kondisi sosial yang dialaminya. Walaupun sikap mental ini ada pada diri seseorang tetapi sangat dipengaruhi oleh sistem nilai, pengalaman, dan pendidikan. Oleh karena itu pendidikan, khususnya pengajaran IPS dapat digunakan sebagai sarana untuk membina sikap mental siswa.
48
2.6.2 Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation (bangsa). Nasionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme juga merupakan paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu yang harus diberikan kepada negeri dan bangsanya, dengan maksud bahwa individu sebagai warga negara memiliki suatu sikap atau perbuatan untuk mencurahkan segala tenaga dan pikirannya demi kemajuan, kehormatan dan tegaknya kedaulatan bangsa dan negara. Nasionalisme merupakan gejala psikologis yang berupa rasa persamaan dari sekelompok manusia yang menimbulkan kesadaran sebagai bangsa. Bangsa adalah sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu dan memiliki rasa persatuan yang timbul karena kesamaan pengalaman sejarah, serta memiliki cita-cita bersama yang ingin dilaksanakan di dalam negara yang berbentuk negara nasional.
Nasionalisme menurut presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam Suriyanto (2006: 12) dipaparkan sebagai berikut. Nasionalisme pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dari riwayat dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalisme yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalisme sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dalam kemanusiaan. Nasionalisme yang menerima rasa
49
nasionalismenya itu sebagai wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segalam paham kekecilan dan kesempitan.
Menurut Azyumardi Azra (2011: 24) Nasionalisme dapat dikatakan sebagai sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa. Sedangkan menurut Hertz dalam Listiyanti mengemukakan empat unsur nasionalisme yaitu: (1) hasrat untuk mencapai kesatuan; (2) hasrat untuk mencapai kemerdekaan; (3) hasrat untuk mencapai keaslian; (4) hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah suatu paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara atas kesadaran dari diri masing-masing yang secara bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsanya, dengan tetap menghormati bangsa lain karena merasa bagian dari bangsa lain di dunia. Sikap nasionalisme adalah suatu perbuatan atau tindakan cinta tanah air , dengan cara menghormati dan mempertahankan kedaulatan negaranya serta menghormati negara lain.
Nasionalisme merupakan suatu konsep penting yang harus tetap dipertahankan untuk menjaga agar suatu bangsa tetap berdiri dengan kokoh dalam kerangka sejarah pendahulunya, dengan semangat nasionalisme yang tinggi maka eksistensi suatu negara akan selalu terjaga dari segala ancaman, baik ancaman secara internal maupun eksetrnal. Salah satu upaya terbaik yang harus ditempuh untuk menanamkan jiwa nasionalisme tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai sejarah melalui pembelajaran sejarah disekolah. Namun, yang menjadi
50
ironi saat ini adalah mata pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran yang kurang diminati oleh siswa dikarenakan oleh metode pembelajaran yang kurang variatif dan masih minimnya sumber dan media pembelajaran (Sardiman,AM: 2005), hal inilah yang menjadi bahan pertimbangan oleh kita semua untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pembelajaran sejarah akan lebih bernilai dan tepat sasaran bila dikemas dalam kegiatan yang unik dan menarik. Sejarah akan menggugah setiap jiwa jika dalam penyampaiannya dapat membawa seseorang terbawa oleh alur cerita yang mengalir, dan akhirnya membawa orang tersebut seakan-akan hidup pada dunia yang belum pernah dia alami sebelumnya.
Pembelajaran sejarah akan mengembangkan aktivitas peserta didik untuk melakukan
telaah
berbagai
peristiwa,
untuk
kemudian
dipahami
dan
diinternalisasikan kepada dirinya sehingga melahirkan contoh untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa itu antara lain pula, ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan patriotisme (Kabul Budiyono: 2007).
Menurut James G. Kellas (1998: 4), nasionalisme merupakan suatu ideologi. Ideologi yang berisi seperangkat keyakinan yang diwujudkan pada tingkah laku dan perbuatan. Nasionalisme dalam arti semangat kebangsaan karena kesamaan kultur artinya pada persamaan-persamaan kultur yang utama seperti kesamaan darah atau keturunan, suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan dan agama, bahasa dan kebudayaan. Pada pertumbuhan awal nasionalisme, dapat dikatakan sebagai sebuah situasi kejiwaan berupa kesetiaan seseorang secara total diabdikan secara langsung kepada negara. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah
51
masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tidak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan
diri
sangat
berperan
dan
mendorong
mereka
untuk
mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tumbuhnya ikatan nasionalisme, yang notabene lemah dan bermutu rendah Hans Khon (Redja Mudyaharjo, 2002) mengemukakan nasionalisme adalah sebagai kemauan hidup bersama, yaitu suatu paham yang memberi ilham kepada sebagian terbesar penduduk dan mewajibkan dirinya untuk mengilhami anggotaangotanya.
Joseph Ernest Renan (1822-1892) mengemukakan pengertian
nasionalisme yang didasarkan atas manusia, bahwa bangsa itu adalah segerombolan manusia yang berkehendak untuk bersatu.
Sedangkan paham nasionalisme yang didasarkan atas perpaduan politik-ekonomisosial budaya dikemukakan oleh Hans Kohn adalah paham yang menekankan pada kesetiaan tertinggi individu yang harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Louis Snyder mengemukakan bahwa nasionalisme adalah hasil dari faktor-faktor politik, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu tahapan dalam sejarah.Seperti yang terjadi di Indonesia, perjuangan yang di lakukan untuk mengusir para penjajah dari tanah air sejak tahun 1908 itu bersifat nasional atau nasionalisme.
Menurut Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu: (1) Hasrat untuk
52
mencapai kesatuan; (2) Hasrat untuk mencapai kemerdekaan; (3) Hasrat untuk mencapai keaslian; (4) Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Louis Sneyder. Nasionalisme adalah hasil dari perpaduan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, dan intelektual. Nasionalisme timbul dari diri kita sendiri, rasa itu timbul jika kita merasakan hal yang sama dengan orang lain ataupun masyarakat yang lainnya. Jadi nasionalisme berbanding lurus de ngan persamaan antara individu yang satu dengan individu yang lainnya.
2.6.3
Sikap Nasionalisme
Hans Kohn (Sumantri Mertodipuro,1984 : 11) mengatakan bahwa nasinalisme adalah paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan yang sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda–beda .
Menurut Soemardjan (2000: 22) dalam Herniwati (2011: 2), nasionalisme merupakan kesetiakawanan warga negara kepada bangsanya. Seorang yang berjiwa nasionalis apabila ia mengenal dan menghormati simbol-simbol pemersatu bangsa, seperti: Pancasila, Bendera Merah Putih, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Lambang Burung Garuda dan lainnya.
Penanaman nilai nasionalisme dilakukan dalam kegiatan pembelajaran IPS SD Kelas V semester genap. Salah satu standar kompetensi yang sangat erat mencerminkan sikap nasionalisme Indonesia adalah “Menghargai peranan tokoh
53
pejuang
dan
masyarakat
dalam
mempersiapkan
dan
mempertahankaan
kemerdekaan Indonesia”.
Beberapa upaya untuk menumbuhkan sikap nasionalisme antara lain (1). Menggunakan produk-produk dalam negeri, karena hal ini dapat meningkatkan kreatifitas bangsa untuk membuat sesuatu yang tidak kalah menarik dengan produk-produk luarnegeri dan akan menciptakan pendapatan ekonimi dikalangan masyarakat; (2). Teruslah membuat suatu prestasi-prestasi yang membanggakan baik dalam bidang science, olahraga, teknologi dan sebagainya, karena dengan prestasi tersebut akan membuat negara ini disegani oleh negara-negara lain didunia ini dan bukan lagi dianggap sebagai negara para pecundang; (3). Jangan melupakan para pahlawan bangsa, karena kemerdekaan yang sekarang kita nikmati adalah berkat mereka para pahlawan yang berjuang.
Memperkuat Nasionalisme Indonesia Kesadaran sebagai bangsa adalah hasil konstruksi atau bentukan mengandung kelemahan internal yang serius ketika kolonialisme dan imperialisme tidak lagi menjadi sebuah ancaman. Karena itu, nasionalisme kita akan ikut lenyap jika kita berhenti mengkonstruksi atau membentuknya tanpa harus menyebutnya sebagai sebuah nasionalisme baru. Pertama, beberapa pengalaman kolektif seharusnya menjadi “roh baru” pembangkit semangat nasionalisme Indonesia. Misalnya, keberhasilan para siswa kita dalam olimpiade Fisika, Kimia, Biologi atau Matematika di Tingkat Regional dan Internasional, keberhasilan atlet menjadi juara dunia (tinju), prestasi pemimpin kita menjadi Menteri Ekonomi terbaik di Asia (Dr. Sri Mulyani Indrawati) dan seterusnya. Sebaliknya, pengalaman dicemoh dan direndahkan
54
sebagai bangsa terkorup, sarang teroris atau bangsa pengekspor asap terbesar seharusnya memicu kita untuk berubah dan tampil sebagai bangsa terpandang. Kedua, negara Indonesia sangat plural. Identifikasi sebuah kelompok etnis atau agama pada identitas kolektif sebagai bangsa hanya mungkin terjadi kalau negara mengakui, menerima, menghormati, dan menjamin hak hidup mereka.
Masyarakat akan merasa lebih aman dan diterima dalam kelompok etnis atau agamanya ketika negara gagal menjamin kebebasan beragama-termasuk kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, persamaan dihadapan hukum, hak mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan sebagainya.
Semangat nasionalisme dalam negara kebangsaan dijiwai oleh lima prinsip nasionalisme, yakni: 1) kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial, bangsa, bahasa, ideologi, dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan, dan policy kebudayan; 2) kebebasan (liberty, freedom, independence), dalam beragama, berbicara dan berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi; 3) kesamaan (equality), dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban; 4) kepribadian (personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri (self estreem), rasa bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap kepribadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya; 5) prestasi (achievement), yaitu citacita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare) serta kebesaran dan kemanusiaan (the greatnees and the glorification) dari bangsanya. Dengan demikian, sikap nasionalisme dapat dirumuskan melalui sikap dan perilaku sebagai berikut: bangga sebagai bangsa Indonesia; cinta tanah air dan bangsa; rela berkorban demi bangsa;
55
menerima kemajemukan; bangga pada budaya yang beraneka ragam; menghargai jasa para pahlawan; dan mengutamakan kepentingan umum.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap nasionalisme dapat diartikan sebagai keyakinan bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan yang mencakup unsur-unsur cinta tanah air, persatuan, persamaan, penghargaan, pengorbanan dan diujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku dalam berbagai aspek. Berdasarkan kajian teori tersebut dan berdasarkan materi yang diajarkan tentang perjuangan bangsa Indonesia mecapai dan mempertahankan kemerdekaan, maka indikator sikap nasionalisme yang akan dikembangkan meliputi ; (1) disiplin mengikuti pembelajaran dengan penuh semangat; (2) berkeinginan meneruskan cita-cita pahlawan dengan belajar giat dan sungguh-sungguh; (3) dapat menjelaskan nama-nama pahlawan nasional; (4) Dapat menghargai hasil karya pahlawan, dan (5) mampu menyebutkan semboyansemboyan pahlawan nasional.
2.7 Pembelajaran Pendidikan IPS SD 2.7.1
Pengertian Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Pendidikan IPS terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan IPS. Pendidikan mengandung pengertian suatu perbuatan yang disengaja untuk menjadikan manusia memiliki kualitas yang lebih baik. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya.
Menurut Sapriya (2009:19) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan nama mata pelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah. Selanjutnya menurut Soemantri
56
(2001:92) Pendidikan IPS (PIPS) adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagosis/psikologis untuk tujuan pendidikan. Gagasan tentang PIPS ini membawa implikasi bahwa PIPS memiliki kekhasan dibandingkan mata pelajaran lain sebagai pendidikan disiplin ilmu, yakni kajian yang bersifat terpadu (integrated), interdisipliner, multidimensional bahkan cross-disipliner.
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan mata pelajaran yang diajarkan guna mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, sejarah, antropologi, ilmu politik, dan sebagainya dengan menampilkan permasalahan sehari-hari masyarakat sekeliling. Barth (1990: 360) mengemukakan, Social Studies was assigned the mission of citizenship education, that mission included the study of personal/social problems in an interdiciplinary integrated school curriculum that would emphasize the practice of decision making. Maksudnya adalah Ilmu Pengetahuan Sosial membawa misi pendidikan kewarganegaraan dimana di dalam misi itu dikandung belajar individu atau masalah sosial dalam lintas disiplin terintegrasi kurikulum sekolah yang akan menekankan pengambilan keputusan yang praktis. Martorella (1994:7) menyatakan bahwa: “The Social Studies are selected information and modes of investigation from the social sciences, selected information from any area that relates directly to an undestanding of individuals, groups, and societies and applications of the selected information to citizenship education”. Artinya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan informasi terpilih dan
57
cara-cara investigasi dari ilmu-ilmu sosial, informasi dipilih dari berbagai tempat yang berhubungan langsung terhadap pemahaman individu, kelompok dan masyarakat dan penerapan dari informasi yang dipilih untuk maksud mendidik warga negara yang baik.
Sedangkan Banks (1985: 3) memberikan definisi social studies sebagai berikut: The social studies is that part of the elementary and high school curriculum which has primary responsibility for helping students to develop the knowledge, skills, attitudes, and values needed to participate in the civic life of their local communities, the nation, and the world. Menurut rumusan Banks, studi social (IPS) merupakan bagian dari kurikulum sekolah dasar dan menengah yang mempunyai tanggung jawab pokok membantu para siswa untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang diperlukan untuk berperan serta dalam hidup bernegara di lingkungan masyarakat lokal, bangsa dan dunia.
Menurut NCSS (National Counsil for Social Studies 1992) dalam Sapriya (2009:11) “Social studies is the integrated study of social science and humanities to promote civic competence. Within the school pogram, socials studies provides coordinated, systematic study drawing upon such diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology as well as appropriate content fom humanities, mathematics and natural sciences”. Artinya studi sosial merupakan studi terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial untuk mengembangkan potensi kewarganegaraan yang dikoordinasikan dalam program sekolah sebagai pembahasan sistematis yang dibangun dalam beberapa disiplin ilmu, seperti antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat ilmu-ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, dan juga memuat isi dari humaniora dan ilmuilmu alam. Mengenai karakteristik pendidikan IPS sebagai suatu synthetic disciplines dijelaskan oleh Somantri (2001; 198) sebagai berikut : Disebut synthetic disciplines karena pendidikan IPS bukan hanya harus mampu mensintesiskan
58
konsep-konsep yang relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, melainkan juga tujuan pendidikan dan pembangunan serta masalah-masalah sosial dalam hidup bermasyarakat pun yang sering disebut dengan ipoleksosbudhankam akan menjadi pertimbangan bahan pendidikan IPS. Pendidikan IPS yang dikembangkan di tingkat perguruan tinggi akan berbeda dengan pendidikan IPS yang dikembangkan di tingkat persekolahan. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang pendidikan IPS di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan IPS adalah merupakan “suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
2.7.2 Tujuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Sebagai bidang ajar di sekolah, IPS memiliki tujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan sosial dalam bentuk konsep dan pengalaman belajar yang dipilih atau diorganisasikan dalam rangka kajian ilmu sosial. Jarolimek (1997: 4) menyatakan bahwa: “The major mission of social studies education is to help children learn about the social world in which they live and how it got that way; to learn to cope with social realities; and to develop the knowledge, attitudes, and skilsl, needed to help shape an enlightened humanity.” Artinya bahwa misi utama pendidikan IPS adalah untuk membantu siswa belajar tentang masyarakat dunia di mana mereka hidup dan memperoleh jalan, untuk belajar menerima realita sosial, dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan untuk membantu mengasah pencerahan manusia.
59
Tujuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial hendaknya mampu mengembangkan aspek pengetahuan dan pemahaman pengertian (knowledge and understanding), aspek sikap dan nilai (attitude and value) dan aspek keterampilan (skill) pada diri siswa. Aspek pengetahuan dan pemahaman siswa tentang dunia dan kehidupan masyarakat di sekitarnya, aspek sikap berkaitan dengan pemberian bekal mengenai dasar etika dan norma yang nantinya menjadi orientasi nilai dalam kehidupan di masyarakat, sedangkan aspek keterampilan meliputi keterampilan sosial (social skill) dan keterampilan intelektual (intelectual skill) agar siswa tanggap terhadap permasalahan sosial dan mampu bekerja sama dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari (Jarolimek , 1977; 5)
Penyederhanaan pendidikan IPS harus diorganisir dan disiapkan sedemikian rupa dan didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai. Materi pendidikan IPS yang akan dipelajari siswa harus didasarkan pada tujuan yang akan dicapai. Dalam hal ini, Somantri (2001; 44) merumuskan batasan dan tujuan pendidikan IPS untuk tingkat sekolah sebagai “suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, psikologi, ideologi negara dan agama yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
Pengajaran Pendidikan IPS diharapkan dapat menolong murid untuk mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengenal dan memecahkan problem, menganalisis, menentukan nilai, menyampaikan pendapat dan membuat keputusan yang rasional, sehingga dapat membantu dalam memecahkan problema (Banks; 1985; 38).
60
Mata pelajaran IPS SD bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan lingkungannya; (2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial; (3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilainilai sosial dan kemanusiaan; (4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. (Permendiknas 22; 2006)
Berdasarkan beberapa kajian teori di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan IPS mengembangkan pengetahuan dan pemahaman pengertian (knowledge and understanding), aspek sikap dan nilai (attitude and value) dan aspek keterampilan (skill) pada diri siswa, sehingga menjadi warga negara yang baik (Good Citizen).
2.7.3 Materi Pendidikan IPS Materi adalah apa yang dipelajari oleh siswa berdasarkan tujuan yang akan dicapai. Pendidikan IPS merupakan sintetis antara disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial maka materi yang dipelajari siswa adalah materi yang berkaitan dengan pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu materi yang dikembangkan dalam pendidikan IPS tidak dapat melepaskan diri dari materi yang dikembangkan dari luar disiplin ilmu sosial yaitu materi-materi yang digunakan untuk mengembangkan sikap dalam proses belajar.
Pengembangan materi kurikulum pendidikan IPS hendaknya memperhatikan scope dan sequence. Scope meliputi bidang ilmu kajian yang menjadi garapan
61
pendidikan IPS. Sedangkan sequence adalah taat urutan antara suatu materi dengan materi lain atau dalam konteks kurikulum berkenaan dengan tata urutan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Sequence dapat dikelompokkan atas dua pendekatan yaitu pendekatan logis dan pendekatan pedagogis. Pendekatan logis didasarkan pada pemikiran logis suatu disiplin ilmu sedangkan pendekatan pedagogis didasarkan pada pertimbangan siswa dan bukan tata urutan yang ada dari disiplin ilu. Kriteria seperti kemudahan, familiarisasi dengan pokok bahasan serta tingkat abstrak suatu materi pokok bahasan dijadikan dasar pertimbangan. (Supriatna, 2007: 21)
Mata pelajaran IPS SD disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan. Ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) Manusia, Tempat, dan Lingkungan; (2) Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan; (3) Sistem Sosial dan Budaya; (4) Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan. (Permendiknas 22, 2006)
Adapun Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS SD kelas V semester genap berdasarkan permendiknas Nomor 22/2006 sebagai berikut:
62
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS SD Kelas V, Semester Genap Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
2. Menghargai peranan tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan dan mempertahankaan kemerdekaan Indonesia
2.1 Mendeskripsikan perjuangan para tokoh pejuang pada masa penjajahan Belanda dan Jepang 2.2 Menghargai jasa dan peranan tokoh perjuangan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia 2.3 Menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan 2.4 Menghargai perjuangan para tokoh dalam mempertahankan kemerdekaan
Berdasarkan beberapa kajian materi pendidikan IPS SD dapat disimpulkan bahwa materi pendidikan IPS SD adalah tentang apa, bagaimana dan mengapa yang akan dipelajari untuk mencapai tujuan pendidikan IPS SD yang ada di dalam kurikulum yang berlaku, dalam hal ini kelas V SD semester genap membahas tentang : “Menghargai peranan tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan dan mempertahankaan kemerdekaan Indonesia”
2.8 Sistem Evaluasi Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa, serta digunakan sebagai hahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran (Permendiknas No. 41/2007: 8)
Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja,
63
pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran. B. Bloom dalam bukunya : “Handbook or Formative and Summative Evaluation of Student Learning” menyatakan bahwa: “Evaluation, as we see it, is the systimatic collection of evidence to determine whither infact certain changes are taking place in the learns as well as to determine the a mount or degree of change in individual students”.
Dari definisi di atas yang perlu diperhatikan, bahwa dalam melakukan penilaian Anda harus yakin bahwa pendidikan dapat membawa perubahan pada diri siswa karena ada dua hal yang harus dilakukan yaitu : mengumpulkan bukti-bukti yang cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada tidaknya perubahan, dan derajat perubahan yang terjadi. (Supriatna 2007:194)
Secara umum ruang lingkup penilaian dalam bidang pendidikan di sekolah mencakup tiga komponen, yaitu: (1) evaluasi mengenai program pengajaran; (2) evaluasi mengenai proses pelaksanaan pembelajaran; (3) evaluasi mengenai hasil belajar.
Dalam penelitian ini evaluasi ditekankan pada prestasi belajar yang mencakup: (1) evaluasi mengenai tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan khusus yang ingin dicapai dalam unit-unit program pembelajaran yang bersifat terbatas; (2) Evaluasi mengenai tingkat pencapaian siswa terhadap tujuan-tujuan umum pembelajaran.
64
Evaluasi hasil belajar merupakan suatu proses untuk menentukan nilai belajar siswa melalui kegiatan penialaian atau pengukuran hasil belajar siswa. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu kegiatan pembelajaran, sehinggga hasilnya dapat difungsikan dan ditujukan untuk berbagai keperluan.
2.9 Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Cooperative learning adalah strategi yang digunakan untuk proses belajar dimana siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensif konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikan dengan siswa lainnya tentang problem yang dihadapi (Slavin 2005:274).
Sedangkan Davidson dan Kroll mendefinisikan
belajar kooperatif adalah kegiatan yang berlangsung di lingkungan belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi ide-ide dan bekerja secara kolaboratif untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam tugas mereka (Asma, 2006: 11). Selanjutnya, Anita Lie menyebut cooperative learning dengan istilah gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Menurutnya, cooperative learning hanya akan berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. (Isjoni, 2007 : 16).
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, dimana kelompok-kelompok kecil bekerja sama untuk
65
mencapai tujuan-tujuan bersama. Slavin (2005:104) menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif sebagai metode pembelajaran yang melibatkan kelompok-kelompok kecil yang heterogen dan siswa bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan dan tugas-tugas akademis bersama, sambil bekerja sama belajar keterampilan-keterampilan kolaboratif dan sosial.
Anggota-anggota kelompok
memiliki tanggung jawab dan saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama (Asma, 2006:11).
Model pembelajaran cooperative learning ini terbagi menjadi beberapa jenis variasi model yang dapat diterapkan, yaitu diantaranya: 1) Student Team Acievement Division (STAD), 2) Jigsaw, 3) Group Investigastion (GI), 4) Rotating Trio Exchange, 5) Group Resume (Isjoni, 2007: 51).
Jadi dari beberapa teori model pembelajaran kooperatif diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif ialah model pembelajaran yang bertumpu pada kerja kelompok kecil. Siswa belajar dalam kelompok kecil yang heterogen dan dikelompokkan dengan tingkat kemampuan yang berbeda. Dalam menyelesaikan tugas, anggota saling bekerja sama dan membantu untuk memahami bahan pembelajaran. Belajar belum selesai jika salah satu teman belum menguasai bahan pembelajaran. Ide penting dalam pembelajaran kooperatif adalah membelajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting bagi siswa, karena pada dunia kerja sebagian besar dilakukan secara berkelompok.
66
2.9.1 Cooperative Learning tipe Student Team Achievement Division (STAD) 2.9.1.1 Pengertian cooperative learning tipe STAD Model pembelajaran cooperative learning tipe STAD dikembangkan oleh Robert E. Slavin dan teman-temannya di Universitas Jhon Hopkin, dan merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD mengacu kepada belajar kelompok siswa yang menyajikan informasi akademik kepada siswa menggunakan presentasi verbal atau teks. Pembelajaran cooperative learning tipe STAD membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang yang bersifat heterogen. Komponen utama cooperative learning type Student Team Achievement Division (STAD) adalah presentasi kelas, kegiatan kelompok, kuis/test, pemberian skor individu dan penghargaan kelompok (Slavin 2005: 143).
2.9.1.2 Langkah-langkah cooperative learning tipe STAD Slavin (2005: 143) menjelaskan cooperative learning tipe STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu: (1) presentasi kelas, (2) tim, (3) kuis, (4) skor kemajuan individual, (5) rekognisi tim, adapun penjelasannya sebagai berikut (1) Presentasi kelas. Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering kali dilakukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual. Bedanya presentasi kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa prestasi tersebut haruslah benarbenar berfokus pada unit STAD. Dengan cara ini, siswa akan menyadari bahwa mereka harus benar-benar memberi perhatian selama persentasi kelas,
67
karena dengan demikian akan sangat membantu mereka mengerjakan kuiskuis, dan skor kuis mereka menentukan skor tim mereka. (2) Tim. Tim terdiri dari empat atau lima orang siswa yang mewakili nseluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim adalah memastikan bahwa semua anggota tim benarbenar belajar, dan lebih khusus lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk mempelajari lembar kerja atau materi lainnya. Sering terjadi pembelajaran melibatkan pembahasan permasalahan bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat kesalahan. Tim adalah fungsi yang paling penting dalam STAD. Pada tiap poinnya, yang ditekankan adalah membuat anggota tim melakukan yang terbaik untuk tim, dan tim pun harus melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya. Tim ini memberi dukungan kelompok bagi kinerja akademik penting dalam pembelajaran untuk memberikan perhatian dan respek mutual yang penting serta meningkatkan hubungan antar kelompok, rasa harga diri, penerimaan terhadap siswa-siswa mainstream. (3) Kuis. Setelah satu atau dua periode setelah guru memberikan presentasi dan sekitar satu atau dua periode praktik tim, siswa akan mengerjakan kuis individual. Siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis. Sehingga tiap siswa bertanggung jawab secara individual untuk memahami materinya.
68
(4) Skor kemajuan individual. Gagasan dibalik skor kemajuan individual untuk memberikan kepada setiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Tiap siswa dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada timnya dalam sistem skor ini, tetapi tidak ada siswa yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha mereka yang terbaik. Tiap siswa diberi skor “awal”, yang diperoleh dari rata-rata kinerja siswa tersebut sebelumnya dalam mengerjakan kuis yang sama. Selanjutnya siswa akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan skor awal mereka. (5) Rekognisi tim. Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Skor tim siswa dapat juga digunakan untuk menentukan dua puluh persen dari peringkat mereka. Seperti halnya pembelajaran lainnya, pembelajaran kooperatif tipe STAD ini juga membutuhkan
persiapan
yang
matang
sebelum
kegiatan
pembelajaran
dilaksanakan (Trianto, 2009: 69). Persiapan-persiapan tersebut antara lain: 1) Perangkat Pembelajaran. Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran ini perlu dipersiapkan perangkat pembelajarannya, yang meliputi RPP, buku siswa, LKS beserta lembar jawabannya. 2) Membentuk
Kelompok
Kooperatif.
Menentukan
anggota
kelompok
diusahakan agar kemampuan siswa dalam kelompok heterogen dan kemampuan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya homogen. Apabila memungkinkan kelompok kooperatif perlu memperhatikan ras,
69
agama, jenis kelamin, dan latar belakang sosial. Apabila di dalam kelas terdiiri atas ras dan latar belakang yang relatif sama, maka pembentukan kelompok dapat didasarkan pada prestasi akademik, yaitu: (a) Siswa dalam kelas terlebih dahulu di ranking sesuai kepandaian dalam mata pelajaran IPS. Tujuannya adalah untuk mengurutkan siswasesuai kemampuannya dan digunakan untuk mengelompokkan siswa ke dalam kelompok. (b) Menentukan tiga kelompok dalam kelas yaitu kelompok atas, kelompok menengah dan kelompok bawah. Kelompok atas sebanyak 25% dari seluruh siswa yang diambil dari siswa ranking satu, kelompok tengah 50% dari seluruh siswa yang diambil dari urutan setelah diambil kelompok atas, dan kelompok bawah sebanyak 25% dari seluruh siswayaitu terdiri atas siswa setelah diambil kelompok atas dan kelompok menengah. 3) Menentukan Skor Awal. Skor awal yang dapat digunakan dalam kelompok kooperatif adalah nilai ulangan sebelumnya. Skor awal ini dapat berubah setelah ada kuis. Misalnya pada pembelajaran lebih lanjut dan setelah diadakan tes, maka hasil tes masing-masing individu dapat dijadikan skor awal. 4) Pengaturan Tempat Duduk. Pengaturan tempat duduk dalam kelas kooperatif perlu juga diatur dengan baik, hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan pembelajaran kooperatif apabila tidak ada pengaturan tempat duduk dapat menimbulkan kekacauan yang menyebabkan gagalnya pembelajaran pada kelas kooperatif.
70
5) Kerja Kelompok. Untuk mencegah adanya hambatan pada pembelajaran kooperatif tipe STAD, terlebih dahulu diadakan latihan kerjasama kelompok. Hal ini bertujuan untuk lebih jauh mengenal masing-masing individu dalam kelompok. Langkah-langkah pembelajaran tipe STAD ini didasarkan pada langkah-langkah kooperatif yang terdiri dari enam langkah atau fase. Fase-fase dalam pembelajaran ini seperti tabel 2.2 berikut ini Tabel 2.2 Fase-fase Pembelajaran Cooperative tipe STAD Fase Kegiatan Guru Fase 1 Menyampaikan tujuan pembelajaran Menyampaikan tujuan dan memotivasi yang ingin dicapai pada peajaran siswa. tersebut dan memotivasi siswa belajar. Fase 2 Menyajikan/menyampaikan informasi
Fase 3 Mengorganisasikan siswa kelompok-kelompok belajar
Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan.
Menjelaskan kepada siswa bagaimana dalam caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Fase 4 Membimbing kelompok-kelompok Membimbing kelompok bekerja dan belajar pada saat mereka mengerjakan belajar tugas mereka. Fase 5 Evaluasi
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah diajarkan atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase 6 Memberikan penghargaan
Mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
(Sumber: Ibrahim, 2000: 10)
71
Model pembelajaran cooperative learning tipe STAD ini cocok untuk diterapkan bagi sekolah-sekolah yang masih menggunakan model pembelajaran secara langsung karena sangat mudah diterapkan dan paling sederhana dalam penerapannya. Siswa akan lebih mudah dalam menemukan dan menangani konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan
temannya. Siswa yang berkemampuan rendah mendapat kesempatan
untuk dibimbing oleh temannya yang memiliki wawasan yang lebih tinggi, sedangkan siswa yang lebih tinggi kemampuannya mempunyai kesempatan untuk menjadi tutor sehingga pemahamannya menjadi lebih baik lagi. Kegiatan pembelajaran cooperative learning tipe STAD terdiri dari enam tahap, yaitu: a) persiapan pembelajaran, b) penyajian materi, c) belajar kelompok,d) tes, e) penentuan skor peningkatan individual, dan f) penghargaan kelompok (Asma, 2006 : 51).
Tahap 1 : Persiapan Pembelajaran a. Materi Materi pembelajaran dalam belajar kooperatif dengan menggunakan model cooperative learning tipe STAD dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara kelompok. Sebelum menyajikan materi pembelajaran, dibuat lembar kegiatan siswa (LKS) dan lembar jawaban, lembar kegiatan tersebut yang akan dipelajari kelompok. b. Menentukan Siswa dalam Kelompok Menempatkan siswa ke dalam kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari empat sampai lima orang dengan cara mengurutkan siswa dari atas ke bawah berdasarkan kemampuan akademiknya dan daftar siswa yang telah
72
diurutkan tersebut dibagi menjadi lima bagian. Kemudian diambil satu siswa dari tiap kelompok untuk menjadi anggota kelompok.
Kelompok yang
terbentuk diusahakan berimbang selain menurut kemampuan akademiknya juga diusahakan menurut jenis kelamin dan etnis. c. Menentukan Skor Dasar Skor dasar merupakan skor rata-rata pada kuis sebelumnya. Jika memulai menggunakan model cooperative learning tipe STAD setelah memberikan tes kemampuan prasyarat/tes pengetahuan awal, maka skor tes tersebut dapat dipakai sebagai skor dasar. Selain tes kemampuan prasyarat/tes kemampuan awal, nilai siswa pada semester sebelumnya juga dapat digunakan sebagai skor dasar.
Tahap 2 : Penyajian Materi Tahap penyajian materi mengunakan waktu berkisar 20-45 menit.
Setiap
pembelajaran dengan model ini, selalu dimulai dengan penyajian materi oleh guru. Sebelum menyajikan materi pelajaran, guru dapat memulai dengan menjelaskan tujuan pelajaran, memberikan motivasi untuk berkooperatif, menggali pengetahuan prasyarat dan sebagainya.
Dalam penyajian kelas
dapat digunakan model ceramah, tanya jawab, diskusi, dan sebagainya, disesuaikan dengan isi bahan ajar dan kemampuan belajar.
Tahap 3 : Kegiatan Belajar Kelompok Dalam setiap kegiatan belajar kelompok digunakan lembar kegiatan, lembar tugas, dan lembar kunci jawaban masing-masing dua lembar setiap kelompok, dengan tujuan agar terjalin kerjasama antar kelompoknya. Lembar kegiatan
73
dan lembar tugas diserahkan pada saat kegiatan belajar kelompok, sedangkan kunci jawaban diserahkan setelah kegiatan kelompok selesai dilaksanakan. Setelah menyerahkan lembar kegiatan dan lembar tugas, guru menjelaskan tahapan dan fungsi-belajar kelompok dari model cooperative learning tipe STAD. Setiap siswa mendapat peran memimpin anggota-anggota di dalam kelompoknya, dengan harapan bahwa setiap anggota kelompok termotivasi untuk memulai pembicaraan dalam diskusi.
Pada awal pelaksanaan kegiatan kelompok dengan model cooperative learning tipe STAD diperlukan adanya diskusi dengan siswa tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam kelompok kooperatif. Hal-hal yang perlu dilakukan pebelajar untuk menunjukkan tanggung jawab kelompoknya, misalnya: 1) meyakinkan bahwa setiap anggota kelompoknya telah mempelajari materi, 2) tidak seorangpun menghentikan belajar sampai semua anggota menguasai materi, 3) meminta bantuan pada setiap anggota kelompoknya untuk menyelesaikan masalah sebelum menanyakan kepada pebelajar atau gurunya, 4) setiap anggota kelompok berbicara secara sopan satu sama lain, saling menghormati dan menghargai.
Tahap 4 : Pemeriksaan terhadap Hasil Kegiatan Kelompok Pemeriksaan
terhadap
hasil
kegiatan
kelompok
dilakukan
dengan
mempresentasikan hasil kegiatan kelompok didepan kelas oleh wakil dari setiap kelompok. Pada tahapan kegiatan ini diharapkan terjadi interaksi antar anggota kelompok penyaji dengan anggota kelompok lain untuk melengkapi jawaban kelompok tersebut. Kegiatan inti dilakukan secara bergantian. Pada
74
tahap ini pula dilakukan pemeriksaan hasil kegiatan kelompok dengan memberikan kunci jawaban dan setiap kelompok memeriksa sendiri hasil pekerjaannya serta memperbaiki jika terdapat kesalahan-kesalahan.
Tahap 5 : Siswa Mengerjakan Soal-Soal Tes secara Individual Pada tahap ini setiap siswa harus memperhatikan kemampuan dan menunjukkan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal tes sesuai dengan kemampuannya. Siswa dalam tahap ini tidak diperkenankan bekerjasama.
Tahap 6 : Pemeriksaan Hasil Tes Pemeriksaan hasil tes dilakukan oleh guru, membuat daftar skor peningkatan setiap individu, yang kemudian dimasukkan menjadi skor kelompok. Peningkatan rata-rata skor setiap individual merupakan sumbangan bagi kinerja pencapaian kelompok.
Tahap 7 : Penghargaan Kelompok Setelah diperoleh hasil kuis, kemudian dihitung skor peningkatan individual berdasarkan selisih perolehan skor kuis terdahulu (skor dasar) dengan skor kuis terakhir. Berdasarkan skor peningkatan individual dihitung poin perkembangan dengan menggunakan pedoman yang disusun oleh Slavin (2005) ialah sebagai berikut: Lebih dari sepuluh poin di bawah skor dasar 10 poin di bawah sampai satu poin di bawah skor dasar Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar Lebih dari 10 poin skor dasar Pekerjaan sempurna (tanpa memperhatikan skor dasar) (Adopsi dari Asma, 2006 : 53)
5 poin 10 poin 20 poin 30 poin 30 poin
75
Penghargaan terhadap kelompok yang memperoleh poin perkembangan kelompok tertinggi ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Jumlah total perkembangan anggota N1 = Jumlah anggota kelompok yang ada Berdasarkan poin perkembangan yang diperoleh terdapat tiga tingkatan penghargaan yang diberikan, yaitu: kelompok yang memperoleh poin rata-rata 15, sebagai kelompok baik. kelompok yang memperoleh poin rata-rata 20, sebagai kelompok hebat. kelompok yang memperoleh poin rata-rata 25, sebagai kelompok super. (Asma, 2006 : 53) 2.9.1.3 Kelebihan dan Kekurangan cooperative learning tipe STAD a. Kelebihan cooperative learning tipe STAD Menurut Slavin (2005: 17) menyatakan bahwa keunggulan dari model cooperative learning tipe Student Team Achievement Division (STAD) yaitu: (1) Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok; (2) Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama; (3) Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok; (4) Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat. b. Kekurangan cooperative learning tipe STAD Selain keunggulan tersebut cooperative learning tipe STAD juga memiliki kekurangan-kekurangan, menurut Dess (1991:411) diantaranya sebagai berikut: (1) Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit mencapai target kurikulum; (2) Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
76
guru sehingga pada umumnya guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif; (3) Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru dapat melakukan pembelajaran kooperatif; (4) Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama. Berikut adalah bagan langkah-langkah model cooperative learning tipe STAD Perencanaan Pembelajaran
Presentasi kelas
Tanya jawab Interaksi Siswa Pemecahan Masalah
Belajar kelompok
Interaksi Siswa dalam kelompok Saling bertanggung jawab terhadap keberhasilan anggota kelompok.
Kuis / Tes Individu
Dilakukan setelah 1 – 2 kali kegiatan kelompok Nilai Individu mempengaruhi keberhasilan kelompok.
Penghargaan Individu
Diberikan kepada siswa dengan nilai yang lebih baik dari sebelumnya. Skor Individu disumbangkan untuk skor kelompok.
Penghargaan Kelompok
Berdasarkan perolehan skor individu dalam kelompok.
Gambar 2.1 Bagan Cooperative Learning Tipe STAD
Sikap Nasionalisme
Peningkatan hasil belajar
Prestasi belajar
77
2.10 Kajian penelitian yang relevan Untuk membandingkan hasil penelitian penulis dengan penelitian yang terdahulu maka di bawah ini penulis menuliskan beberapa penelitian yang relevan: 1) I Made Budiana, dkk. penerapan
model
(2014), yang melakukan penelitian tentang
STAD
sebagai
upaya
peningkatan
kesadaran
nasionalisme pada siswa Kelas XI IPB 1 SMA Karya Wisata Singaraja. Hasil penelitian I Made Budiana dkk. memberi kesimpulan bahwa dengan pelaksanaan penelitian tindakan kelas sebanyak 2 siklus: (1) Nilai kesadaran nasionalisme siswa, skor rata-rata 74,00% pada siklus I dan 95,00% pada siklus 2, dari siklus I ke siklus II meningkat 21,00%. (2) Aktivitas yang menunjukan sikap kesadaran nasionalisme siswa berdasarkan hasil observasi dan analisis data diperoleh hasil aktivitas siswa pada siklus I 11% termasuk katagori cukup sadar nasionalisme, pada siklus II 12,34% termasuk kedalam kategori sadar nasionalisme. Dari siklus I ke siklus II meningkat 1,34%. (3) Hasil respon siswa dilakukan dengan perbandingan antar siklus, yaitu pada siklus 1 dan siklus 2 respon siswa mengalami peningkatan 10,09%. 2) Komarudin (2011), dalam penelitiannya yang berjudul peningkatan aktivitas dan hasil belajar mata pelajaran IPS mengunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada siswa SMP Negeri 9 Metro tahun pelajaran 2010/2011, ternyata model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, setelah dilakukan tindakan siklus ketiga hasil belajar siswa mencapai stndar di atas KKM mencapai 94,44% dari jumlah siswa sebanyak 36 siswa.
78
3) Martono (2011) dalam penelitiannya yang berjudul penerapan model pembelajaran cooperative learning tipe STAD untuk meningkatkan motivasi, aktivitas dan prestasi belajar siswa kelas IVa pada mata pelajaran IPS di SDN Wates Tahun Pelajaran 2010-2011, ternyata model pembelajaran cooperative learning tipe STAD dapat meningkatkan motivasi, aktivitas dan prestasi belajar siswa, setelah dilakukan penelitian tindakan kelas selama tiga siklus, siklus pertama motivasi belajar baru mencapai 68%, aktivitas masih rendah hanya 56%, dan prestasi belajar rendah 62%, berdasarkan hasil refleksi siklus pertama diadakan perbaikan pada siklus kedua terjadi peningkatan motivasi naik menjadi 88%, aktivitas belajar 88% dan prestasi belajar 74%, pada siklus ketiga terjadi peningkatan motivasi menjadi 97%, aktivitas 100% dan prestasi 97%. Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan apakah penggunaan model pembelajaran cooperative learning tipe STAD juga dapat meningkatkan sikap nasionalisme dan prestasi siswa dalam pembelajaran IPS kelas V SDN 1 Metro Barat Tahun Ajaran 2013/2014.
2.11 Kerangka Pikir Kondisi awal sebelum dilaksanakan pembelajaran kooperatif, pembelajaran lebih berpusat pada guru, dalam pembelajaran IPS materi sejarah guru hanya menggunakan metode ceramah. Guru menerangkan materi, siswa diminta untuk mendengarkan
kemudian
mengerjakan
soal-soal
LKS,
sehingga
sikap
nasionalisme siswa rendah. Dalam pembelajaran siswa menjadi jenuh dan mudah bosan. Akibat dari kondisi awal yang seperti itu prestasi belajar siswa rendah. Dari kondisi awal di atas, peneliti melakukan alternatif tindakan dengan
79
menerapkan pembelajaran cooperative learning tipe STAD yang direncanakan tiga siklus.
Dalam pembelajaran cooperative learning tipe STAD dimulai dari presentasi materi oleh guru, pembagian kelompok secara heterogen, kerja tim, kuis individual, skor kemajuan, dan penghargaan kelompok. Kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran ini lebih berpusat pada siswa. Setelah tindakan dilaksanakan diharapkan siswa tertarik dengan pembelajaran IPS sejarah dan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa, sehingga kondisi akhir yang dicapai adalah penanaman sikap nasionalisme dan pembinaan prestasi dapat meningkat. Untuk mengetahui hubungan antar variable dalam penelitian ini, berikut ini disajikan secara singkat garis besar kerangka pikir dalam penelitian ini. Kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2
Kondisi Awal
Pembelajaran berpusat pada guru, sikap nasionalisme dan prestsi belajar rendah
Tindakan
Pembelajaran dengan menggunakan Model Cooperative Learning Tipe STAD
Penguasaan konsep, sikap nasionalisme dan prestasi belajar
Siklus I
Siklus II Siklus III
Sikap Nasionalisme dan prestasi belajar siswa meningkat
Kondisi Akhir
Gambar 2.2 Alur Kerangka Berpikir
Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti, diperoleh hasil observasi, yakni pembelajaran masih berpusat kepada guru
(teacher centered), bersifat
80
konvensional belum melibatkan siswa secara maksimal. Pembelajaran monoton kurang
bervariasi
bersifat
hafalan
berupa
pengetahuan
saja,
kurang
menekankankan sikap sosial khususnya sikap nasionalisme dan keterampilan sosial, sehingga suasana pembelajaran kurang menarik dan membosankan bagi siswa. Sebagian besar siswa malu dan males untuk bertanya atau mengajukan pendapat, sehingga berdampak pada proses pembelajaran kurang komunikatif dan interaktif antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru, hal ini mengakibatkan prestasi belajar pendidikan IPS siswa rendah yang dibuktikan dengan persentase siswa mencapai KKM 45 %.
Model cooperative learning tipe STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang cukup sederhana dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang siswa secara heterogen, diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis dan penghargaan kelompok.
Model ini siswa dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok, siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama, siswa aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok, interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat. Hasil yang diharapkan melalui penerapan model cooperative learning tipe STAD adalah meningkatnya sikap nasionalisme dan prestasi belajar siswa sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.