BAB II PEMBIASAAN DAN KECERDASAAN SPIRITUAL
A. PEMBIASAAN 1. Pengertian Pembiasaan Secara etimologi, pembiasaan asal katanya adalah “biasa”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “biasa” adalah lazim atau umum, sudah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya prefix “pe” dan sufik “an” menunjukkan arti proses. Sehingga pembiasaan dapat artikan dengan proses membuat sesuatu atau seseorang menjadi terbiasa.1 Pembiasaan dapat diartikan dengan proses membuat sesuatu atau seseorang menjadi terbiasa. Dalam kaitannya dengan metode pembelajaran adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk membiasakan anak membiasakan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak sesuai tuntunan ajaran Islam. Pembiasaan dinilai sangat efektif jika penerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang berusia kecil. Karena memiliki rekaman ingatan yang kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mereka mudah terlarut dalam kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Oleh karena itu sebagai awal dari proses pendidikan, pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral kedalam jiwa anak. Nilai-nilai yang 1
W.J.S. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 481.
21
22
tertanam dalam dirinya ini kemudian anak termanifestasikan dalam kehidupannya semenjak ia mulai melangkah ke usia remaja dan dewasa.2 Metode pembiasaan adalah metode pembelajaran yang bisa menciptakan suasana religious di sekolah karena kegiatan-kegiatan keagamaan dan praktik keagamaan yang dilaksanakan secara terprogram dan rutin (pembiasaan) diharapkan dapat mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai ajaran agama Islam secara baik kepada peserta didik.3 Pembiasaan adalah upaya praktis dalam membina dalam pembentukan anak. Hasil dari pembiasaan yang dilakukan oleh pendidik adalah terciptanya suatu kebiasaan bagi anak didik. Kebiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu, dan berlaku begitu saja tanpa dipikirkan lagi.4 Pembiasaan dinilai sangat efektif jika penerapannya dilakukan terhadap peserta didik yang berusia kecil. Karena memiliki rekaman ingatan yang kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mereka mudah terlarut dalam kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Oleh karena itu sebagai awal dari proses pendidikan, pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam menanamkan
2
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 47. Armai Arief, Metode Pembelajaran Dalam Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2007), hlm. 110. 4 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 48. 3
23
nilai-nilai moral kedalam jiwa anak. Nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupannya semenjak ia mulai melangkah keusia remaja dan dewasa.5 Daya tagkap dan potrnsi pada usia anak-anak dalam menerima pengajaran dan pembiasaan adalah sangat besar dibandingkan usia lain, maka hendaklah pendidik, orang tua dan pengajar memusatkan perhatiannya pada pengajaran anak-anak tentang kebaikan dan upaya membiasakannya, sejak ia mulai memahami realita kehidupan ini.6 Metode pengajaran dan pembiasaan itu adalah termasuk prinsipprinsip utama dalam pendidikan dan merupakan metode paling efektif dalam pembentukan aqidah dan pelurusan akhlak anak. Sebab, pendidikan ini didasarkan pada perhatian dan pengikutsertaan, didirikan atas dasar tarqib dan tarhib secara bertolak dari bimbingan dan pengarahan.7 Metode pembiasaan hendaknya diterapkan pada peserta didik usia dini sebab ia memiliki daya ingat yang kuat dan sikap yang belum matang sehingga
mudah mengikuti,
meniru dan membiasakan
aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian metode pengajaran pembiasaan ini merupakan cara yang efektif dan efisien
5
Ibid., hlm. 110. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, alih bahasa Drs. M. Djamaludin Miri, cet. 3 (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 204. 7 Ibid, hlm. 210. 6
24
dalam menanamkan kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik dengan sendirinya.8 2. Landasan Pembiasaan Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal ada teori konvergensi, dimana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dan dengan mengembangkan potensidasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik. Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam memuat prinsip-prinsip umum pemakaian metode pembiasaan dalam proses pendidikan misalnya pendekatan pembiasaan yang dilakukan secara berangsurangsur pada kasus pengharaman minuman khamer. Untuk tahap awal Allah berfirman:
.......
8
Zaenal Mustakim, Strategi, Metode, dan Pembelajaran (Pekalongan: STAIN PRESS Pekalongan, 2010), hlm. 118.
25
Artinya: “mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang minuman keras dan perjudian. Katakanlah, kepadanya mengandung dosa, tetapi ada manfaatnya bagi manusia, namun dosanya lebih besar dari pada manfaatnya.”(Q.S. al- Baqarah: 219) Ayat ini mengisyaratkan adanya alternatif pilihan yang diberikan oleh Allah antara memilih yang banyak positifnya dengan yang lebih babyak negatifnya dari kebiasaan meminum khamer. Tahap kedua , Allah menurunkan ayat yang berbunyi:
.......
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (Q.S. an-Nisa: 43)
Meminum khamer adalah perbuatan dan kebiasaan yang tidak terpuji
sebagian diantara kaum muslimin telah menyadari dan
membiasakan diri untuk tidak lagi meminum minuman yang memabukkan. Namun masih ditemukan juga sebagian yang lain yang sulit merubah kebiasaan tersebut, sampai-sampai ingin melakukan shalat pun mereka melakukan kebiasaan tersebut. Tahap ketiga secara tegas allah melarang meminum khamer sebagai mana tercermin dalam ayat yang berbunyi:
26
sulit merubah kebiasaan tersebut, sampai-sampai ingin melakukan shalat pun mereka melakukan kebiasaan tersebut. Tahap ketiga secara tegas allah melarang meminum khamer sebagai mana tercermin dalam ayat yang berbunyi:
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, judi, korban untuk berhala, dan tenung adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaitan. Oleh karena itu jauhilah, agar kamu beruntung.” (Q. S. al-Maidah: 90)
Oleh karena itu, pendekatan pembiasaan sesungguhnya sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai positif dalam diri anak didik, baik pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.9 Menurut Mahmud Yunus sebenarnya manusia hidup di dunia menurut kebiasaan.10 Dalam kehidupan sehari-hari pembiasaan ini merupakan hal yang sangat penting, karena banyak orang berbuat dan bertingkahlaku hanya karena kebiasaan semata-mata. Tanpa itu hidup akan berjalan lambat sekali, sebab sebelum melakukan sesuatu kita harus memikirkan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan.11 Anak akan tumbuh dengan iman yang besar, berhiaskan diri dengan etika Islami, bahkan sampai pada puncak nilai-nilai spiritual 9
Armai Arief. Op. Cit., hlm. 111-114. Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, Cet.3 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.27. 11 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 47. 10
27
ِ ود إِاَّل يولَ ُد علَى ٍ ُُكل مول ، أ َْو ُيَُ ِّج َسانِِو،صَرانِِو ِّ َ َويُن، فَأَبَ َواهُ يُ َه ِّوَدانِِو،ِالفطَْرة َ ُ َْ ) ( رواه البخارى Artinya: “setiap anak itu dilahirkan dalam fitrah (kesucian) maka kedua orang tuanya akan menjadikan ia sebagai seorang yahudi, nasrani atau majusi.” (HR. Bukhori) Dari hadits ini dapat dipahami bahwa jika seorang anak mempunyai kedua orang tua muslim yang baik yang mengajarkan kepada dirinya prinsip-prinsip Iman dan Islam, maka ia akan tumbuh dengan ikatan Iman dan Islam, inilah yang dimaksud dengan lingkungan keluarga.
) اَلْ َم ْرءُ َعلَى ِد يْ َن َخلِْيلِ ِو فَ ْليَ ْن ِظ ُر اَ َح ُد ُك ْم َم ْن ُُيَالِ ْد ( رواه الرتمذى Artinya: “seseorang berada dalam tuntutan temannya, maka hendaklah salah seorang dari kamu melihat siapa yang menjadi temannya.” (HR. Tirmizi) Hadits ini memberikan pemahaman bahwa teman mempunyai pengaruh besar terhadap seseorang. Dan inilah yang dimaksud faktor lingkungan sosial, baik di sekolah maupun ditempat-tempat lainnya.12 Nash-nash diatas menunjukkan bahwa jika anak menerima pendidikan yang baik dari orang tuanya yang saleh dan pengajarnya yang tulus, disamping tersedianya lingkungan yang baik dari teman yang saleh, mukmin dan tulus, maka akan tidak diragukan bahwa anak
12
Umi Ruqoyah, “Peran Metode Pembiasaan Sholat Dhuhur Berjamaah Dalam menanamkan Nilai-nilai Akhlak Terpuji di SDN Tambakrejo pemalang”, Skripsi Sarjana Pendidikan Agama Islam, (Pekalongan: Perpustakaan STAIN Pekalongan, 2012).
28
Nash-nash diatas menunjukkan bahwa jika anak menerima pendidikan yang baik dari orang tuanya yang saleh dan pengajarnya yang tulus, disamping tersedianya lingkungan yang baik dari teman yang saleh, mukmin dan tulus, maka akan tidak diragukan bahwa anak tersebut akan tedidik dalam keutamaan, Iman dan Taqwa ia juga akan terbiasa dengan akhlak luhur, etika yang mulia, dan kebiasaan terpuji.13 3. Tujuan Pembiasaan Hendaknya
seorang
pendidik
menyadari
bahwa
dalam
pembinaan pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, dan lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.14 Pertumbuhan kecerdasaan pada anak usia Sekolah Dasar, belum kemungkinan untuk berfikir logis dan belum dapat memahami hal-hal yang abstrak, maka apapun yang dikatakan kepadanya akan diterimanya saja. Untuk membina agar anak-anak mempunyai sifat-sifat terpuji tidaklah mungkin dengan penjelasan pengertian saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat-sifat itu, dan menjauhi sifat tercela. Kebiasaan
13
Abdullah Nashih Ulwah, Pendidikan Anak Dalam Islam, alih bahasa Drs. M. Djamaludin Miri, Cet. 3 (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 185-189. 14 Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang Cet ke 19, hlm. 61.
29
dan latihan itulah yang membuat dia cenderung melakukan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik,15 Ketika daya tangkap dan potensi pada usia anak-anak dalam menerima pengajaran dan pembiasaan adalah sangat besar dibandingkan pada usia lainnya, maka hendaklah para pendidik, ayah, ibu dan pengajar memusatkan perhatian pada pengajaraanak-anak tentang kebaikan dan upaya membiasakannya, sejak ia mulai memahami realita kehidupan.16 Guru agama harus menyadari bahwa anak adalah anak dalam arti keseluruhannya, baik tubuh (jasmani) fikiran dan perasaannya. Dia bukan orang dewasa kecil, artinya bukan hanya tubuh dan kemampuan jamaninya saja yang kecil tapi kecerdasan, perasaan dan keadaan jiwa juga berlainan dengan orang dewasa. Kemampuannya untuk mengerti kata-kata atau bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, juga terbatas pada perbedaan kata-kata yang telah dapat dicapainya pada umur tertentu. Kesanggupan untuk mendengar penjelasan guru, orang tua atau lainnya, juga terbatas, demikianlah seterusnya dengan agama, artinya ajaran agama yang cocok untuk orang dewasa tidak akan cocok untuk anak. Kalau ingin agar agama mempunyai arti pada anak, hendaklah disajikan dengan cara yang sesuai dengan anak yaitu dengan cara yang lebih dekat kepada kehidupannya sehari-hari dan lebih konkrit.17
15
Ibid., hlm. 62. Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit., hlm. 203. 17 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Op. Cit., hlm. 65. 16
30
Apabila si anak tidak terbiasa melaksanakan ajaran agama terutama ibadah (secara konkrit seperti sembahyang, puasa, membaca Al-Qur‟an, dan berdoa) dan tidak pula dilatih atau dibiasakan melaksanakan hal-hak yang disuruh Tuhan dalam kehidupan sehari-hari serta tidak dilatih untuk menghindari larangan-Nya maka pada waktu dewasanya nanti ia akan cenderung kepada acuh tak acuh, anti agama, atau sekurang-kurangnya ia tidak akan merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Tetapi sebaliknya anak yang banyak mendapat latihan dan pembiasaan agama pada waktu dewasanya nanti akan semakin merasakan kebutuhan agama.18 Pembiasaan dalam pendidikan anak sangat penting, terutama dalam pembentukan pribadi, akhlak dan agama pada umumnya. Karena pembiasaan-pembiasaan agama itu akan memasukkan unsur-unsur positif dalam pribadi anak yang bertumbuh. Semakin banyak pengalaman agama yang diperolehnya melalui pembiasaan itu, akan semakin banyak pula unsur agama dalam pribadinya dan semakin mudahlah ia memahami ajaran agama yang akan dijelaskan oleh guru agama dibelakang hari. Jadi agama dimulai dengan amaliyah, kemudian ilmiah atau penjelasan sesuai dengan pertumbuhan jiwanya.19 Kecerdasaan spiritual merupakan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, nmenuju manusia yang seutuhnya (hanif) 18 19
Ibid., hlm. 64. Ibid., hlm. 65.
31
dan memiliki pola pemikiran tauhid (intregalistik), serta hanya berprinsip „hanya karena Allh‟.20 Ada dua tujuan pembiasaan yaitu: a. Tujuan Umum Sesuai undang-undang RI NO.20 tahun 2003 tujuan pembiasaan adalah untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertagwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi
warga
negara
yang
demokratis
serta
bertanggungjawab.21 b. Tujuan Khusus
20
1)
Siswa mampu menjalankan ajaran Islam
2)
Siswa menjadi kreatif
3)
Siswa memiliki kemandirian
4)
Siswa bersikap demokratis
5)
Siswa memiliki sikap bertanggungjawab22
Ari Ginanjar Agustian, Rahasi Sukses Membangun Kecerdasaan Emosional dan Spiritual, ESQ (Emotional Spiritual Quotient), Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga, 2001), hlm. 57. 21 Armai Afief, Op. Cit., hlm. 115. 22 Omar Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam terjemahnya Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399.
32
4. Kelebihan Dan Kekurangan Metode Pembiasaan Pendekatan dalam proses pendidikan tidak bisa terlepas dari dua aspek yang saling bertentangan, yaitu kelebihan dan kekurangan. Sebab tidak satupun dari hasil pemikiran manusia yang sempurna dan bebas dari kelemahan. a.
Kelebihan metode pembiasaan, antara lain: 1) Dapat menghemat tenaga dan waktu yang baik 2) Pembiasaan tidak hanya berkaitan dengan aspek lahiriyah tetapi juga berhubungan aspek batiniyah 3) Metode yang paling berhasil dalam pembentukan kepribadian anak didik.
b.
Kekurangan metode pembiasaan 1) Kekurangan metode ini adalah membutuhkan guru yang dapat dijadikan teladan dalam menanamkan nilai-nilai kepribadian kepada anak didik. 2) Jika pembiasaan tidak disertai kesadaran dari siswa akan menimbulkan kebosanan.23
5. Syarat-syarat Pemakaian Metode Pembiasaan Dalam buku Armai Arief yang berjudul Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam ada 4 syarat yang harus dilakukan dalam mengaplikasikan pendekatan pembiasaan dalam pendidikan. a. Mulailah pembiasaan itu sebelum terlambat 23
Armai Arief, Op. Cit., hlm. 112-116.
33
Maksud membiasakan anak sejak kecil adalah waktu yang sangat tepat karena setiap anak mempunyai rekaman yang cukup kuat dalam menerima pengaruh, sehingga hasilnya bisa baik, jika dibiasakan dengan hal yang positif. b. Pembiasaan hendaklah dilakukan secara kontiniu, teratur dan berprogram. Oleh karena itu faktor pengawasan sangat menentukan dalam pencapaian keberhasilan dari proses ini. Inti pembiasaan ialah pengulangan. Jika guru sebelum memulai pelajaran membaca doa terlebih dahulu, itu dapat diartikan sebagai usaha membiasakan. c. Pembiasaan hendaknya diawasi ketat, konsisten dan tegas, jangan member kesemparan yang luas kepada anak didik untuk melanggar kebiasaan yang telah ditanamkan. d. Pembiasaan yang pada mulanya hanya bersifat mekanistik, hendaknya secara berangsur-angsur dirubah menjadi kebiasaan yang tidak verbalistik dan menjadi kebiasaan yang disertai dengan kata hati anak didik itu sendiri.24 B. KECERDASAAN SPIRITUAL 1. Pengertian Kecerdasan Spiritual Kecerdasan berasal dari kata „cerdas‟ yang artinya sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir dan mengerti).25 Menurut Howard Gardner, kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan atau 24 25
209.
Armai Arief, Op. Cit., hlm. 114. Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. V, hlm.
34
menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu.26 Sedangkan Piaget mengatakan bahwa kecerdasan adalah apa yang kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus dilakukan.27 Kecerdasan sebagaimana dinyatakan oleh Ali bin Abi Tholib adalah karunia tertinggi yang diberikan Tuhan kepada Manusia yang akan mencapai puncak aktualisasi jika ia diperuntukkan sebagaimana visi keberadaanya yang ditetapkan Tuhan baginya. Karena itu ketika manusia belajar atau meningkatkan kecerdasaan, didorong oleh hal-hakyang murni, manusiawi dan rasa ingin tahu, maka kecerdasaan ajan actual secara optimum dan murni.28 Istilah spiritual berasal dari akar kata spirit yang berarti jiwa, sukma, roh; kata ini juga berarti semangat. Karena itu spiritual atau spirituil bisa diartikan sebagai rohani, batin, kejiwaan, mental, moril, Sinetar (2001) menggunakan istilah spiritual sebagai sesuatu yang bersifat illahi, esensi yang hidup, penuh kebajikan, suatu ciri atau atribut kesadaran yang mencerminkan apa yang dinamakan nilai-nilai kemanusiaan.29
26
Agus Affendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21, Kritik MI, EI, SQ, dan Succesfull Intelegence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 81. 27 Ibid., hlm. 83. 28 Suharsono, Membelajarkan Anak Dengan Cinta (Jakarta: Inisiasi Press, 2003), hlm. 50. 29 Marshal Sinetar, Spiritul Intellegence: Kecerdasaan Spiritual (Jakarta: PT Alex Media Komputindo , 2001), hlm.
35
Sinetar yang mengatakan kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang diilhami oleh dorongan aktivitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai bagian-bagiannya dan sumber dari dorongan tersebut adalah Allah. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai yaitu kecerdasaan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam kontek dan makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasaan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.30 Kecerdasan spiritual seseorang diartikan sebagai kemampuan seseorang yang memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjalani kehidupan, menggunakan sumber-sumber spiritual untuk memecahkan permasalah hidup, dan berbudi luhur. Ia mampu berhubungan dengan baik dengan Tuhan, manusia, alam dan dirinya sendiri.31 Jadi kecerdasan spiritual adalah kecerdasan hati seseorang dalam menata kehidupannya dengan mengambil keputusan secara tepat, cepat, dan akurat. Dengan memperhatikan asas-asas ketentuan secara horizontal maupun vertikal, yakni melakukan sesuatu yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antara sesame manusia, makhluk lain, dan alam sekitar.
30
Danah Zohar dan Ian Marshall, Kecerdasan Spiritual (SQ) (Bandung: Mizan, 2007), hlm.
3-4. 31
Wahyudi Siswanto, Lilik Nur Kholidah, dan Sri Umi Mintarti, Membentuk Kecerdasaan Spiritual Anak (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 11.
36
Kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Dengan demikian kecerdasan spiritual berarti memahami sepenuhnya makna dan hakikat kehidupan yang kita jalani dan kemanakah kita akan pergi setelah wafat. 2. Urgensi Kecerdasaan Spiritual Kecerdasaan merupakan salah satu hal yang harus dimiliki oleh peserta didik. Karena kecerdasaan spiritual berbeda dengan kecerdasan umum (IQ) yang memandang dan menginterprestasikan sesuatu dalam kategori kuantitatif (data dan fakta) serta gejala (fenomena). Kecerdasaan spiritual memandang dan menginterpretasikan sesuatu tidak hanya bersifat kualitatif dan fenomenal, tetapi melangkah lebih jauh dan mendalam, yakni pada dataran epistemik dan ontologi (substansial). Jadi, kecerdasaan spiritual merupakan kecerdasaan yang berada dalam diri pribadi seseorang, dan kecerdasaan ini dapat memunculkan kesadaran diri dalam bertingkah laku. Dengan SQ kita bisa menjadi kreatif, luwes, berwawasan luas atau spontan secara kreatif untuk berhadapan dengan masalah eksistensial, yaitu saat secara pribadi kita merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan.32 Kecerdasaan spiritual berkembang sejak awal kehidupan hingga meninggal, dengan kata lain setiap anak memiliki dasar-dasar kemampuan 32
Agus Effendi, Op. Cit., hlm. 208.
37
SQ yang dibawanya sejak lahir. Dan untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan mempunyai peran yang sangat penting untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi. Dengan demikian, dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya memperhatikan IQ saja, melainkan sekaligus EQ dan SQ. sehingga, diharapkan akan lahirlah dari lembaga pendidikan manusia yang benar-benar utuh,33 Orang yang cerdas secara spiritual, dalam memecahkan persoalan hidupnya
tidak
mengandalkan
IQ
dan
EQ
saja.
Ia
akan
menghubungkannya dengan kesadaran nilai yang lebih mulia. Orang yang cerdas secara spiritual tidak pernah kehilangan pijakan kakinya dibumi realitas. Hal ini ditunjukkan dengan menebarkan kasih sayang pada sesame. Ada empat bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya potensi spiritual dalam otak manusia, yakni: a. Osiliasil 40 Hz yang ditemukan oleh Denis Pare dan Rudolpho Linas, yang kemudian dikembangkan menjadi Spiritual Intelligence oleh Danar Zohar dan Lan Marshall. b. Alam bawah sadar kognitif yang ditemukan oleh Joseph de Loux dan kemudian dikembangan menjadi Emotional Intelligence oleh Daniel Goleman serta Robert Couper dengan konsep suara hati.
33
Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 175.
38
c. Got Spot pada daerah temporal yang ditemukan oleh Michael Persinger dan Vilyamur Ramachandran, serta bukti gangguan prilaku moral pada pasien dengan kerusakan Lobus Prefontal. d. Somatic Marker oleh Antonio Damasio. Keempat bukti itu memberikan informasi tentang adanya hati nurani atau intuisi dalam otak manusia. Penelitian itu juga berhasil membuktikan bahwa hati manusia itu mengawal manusia serta evolusi biologi umat manusia. Dengan kata lain, penelitian itu memperkuat keyakinan bahwa manusia tidak mungkin lari dari Tahun.34
3. Cara Menumbuhkan Kecerdasaan Spiritual Menurut Gardner, kecerdasaan seseorang bisa dipelajari atau dikembangkan, dan ditingkatkan, salah satunya adalh kecerdasaan spiritual. Kecerdasaan spiritual adalah pengenalan akan kesejatian diri manusia. Kecerdasaan spiritual bukan sebuah ajaran teologis. Kecerdasaan ini secara tidak langsung berkaitan dengan agama. Spiritualitas itu mengarahkan manusia pada pencarian hakikat kemanusiaannya.35 Membimbing kecerdasaan spiritual anak dilakukan dengan cara mamalihara fitrahnya agar selalu berdekatan dengan sang khalik, semuanya itu hanya bisa dilakukan dengan keteladanan. Metodenya adalah
34
Taufik Pasiak, Revolusi IQ, EQ< dan SQ antara Neurosains dan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 275. 35 Suharsono, Mencerdaskan Anak (Jakarta: Inisiasi Press, 2002), hlm. 51.
39
pacing and leading, mengajak sekaligus memimpin. Contohnya kalau ingin menyuruh anak shalat, wajah anda sudah bersih oleh air wudlu, kalau ingin mendidik anak agar memiliki hati yang tulis ikhlas, pastikan diri anda adalah orang yang tidak suka pamer dan pamrih. Melarang anak berbohong, pastikan diri anda bahwa anda adalah orang yang jujur, dan sebagainya.36 Suhrawardi Al. Maqtul mengetadahkan dua hal agar dapat memiliki anak yang mempunyai kecerdasaan spiritual, yang kemudian dikutip oleh suharsono. Dua hal tersebut yakni latihan-latihan yang bersifat intelektual dan menjalani hidup secara spiritual. Latihan intelektual, seperti logika dan metalogis, sangat penting dalam membentuk kecerdasaan spiritual ini, karena latihan tersebut bisa mempertajam dan menguatkan analisa atas ide-ide atau inspirasi yang timbul. Sedangkan menjalani kehidupan spiritual, seperti ketekunan beribadah, menjalankan hal-hal yang disunahkan, puasa dan menjauhi yang subhat, akan mendorong proses pendakian treansedental, menuju “kedekatan” ilahi, dimana wahyu dan inspirasi itu berasal.37 Sedangkan kiat-kiat untuk mengembangkan SQ anak menurut Jalaludin Rakhmat yaitu, antara lain: a. Jadilah kita “gembala spiritual” yang baik. b. Bantulah anak untuk merumuskan “misi” hidupnya.
36
Amir Faisal dan Zulfanah, Menyiapkan Anak Jadi Juara (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 55. 37 Suharsono, Op. Cit., hlm. 272.
40
c. Baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan kita. d. Ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual. e. Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniyah. f. Bacakan puisi-puisi atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional. g. Bawa anak ketempat orang-orang yang menderita. h. Ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.38 Menurut Zohar, ada tujuh langkah praktis menuju kecerdasaan spiritual yang lebih tinggi, yaitu: a. Menyadari keberadaan kita b. Merasakan keinginan kuat untuk berubah c. Merenungkan pusat diri dan menanyakan motivasi terdalam d. Menemukan dan mengatasi rintangan e. Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju f. Menetapkan hati pada sebuah jalan g. Tetap menyadari adanya banyak jalan. 4. Unsur-unsur Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Menurut Zohar dan Marshall, tanda-tanda kecerdasan spiritual yang telah berkembang baik dalam diri seseorang mencakup hal-hal berikut: a. Kemampuan bersikap fleksibel 38
Jalaludin Rakhmat, SQ For Kids (Bandung: PT. Miza Pustaka, 2007), hlm. 65.
41
Kemampuan seseorang untuk bersikap adaptif secara spontan dan aktif, memiliki pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan disaat mengalami dilematis. b. Tingkat kesadaran diri yang tinggi Kemampuan
seseorang
yang
mencakup
usaha
untuk
mengetahui batas wilayah yang nyaman untuk dirinya, yang mendorong seseorang untuk merenungkan apa yang dipercayai dan apa yang dianggap bernilai, berusaha untuk memperhatikan segala macam kejadian dan peristiwa dengan berpegang pada agama yang diyakininya. c. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan Kemampuan seseorang dalam menghadapi penderitaan dan menjadikan penderitaan yang dialami sebagai motivasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dikemudian hari. d. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit Kemampuan seseorang dimana disaat dia mengalami sakit, ia akan menyadari keterbatasan dirinya, dan menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan yakin bahwa hanya Tuhan yang akan memberikan kesembuhan.
e. Kualitas hidup diilhami oleh visi dan nilai-nilai
42
Kualitas hidup seseorang yang didasarkan pada tujuan hidup yang pasti dan berpegang pada nilai-nilai yang mampu mendorong untuk mencapaitujuan tersebut. f. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu Seseorang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain, maka berarti dia merugikan dirinya sendiri sehingga mereka enggan untuk melakukan kerugian yang tidak perlu. g. Berfikir secara holistik Kecenderungan
seseoarang
untuk
melihat
keterkaitan
berbagai hal. h. Kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.39
39
3-4.
Danah Zohar dan Ian Marshall, kecerdasan Spiritual (SQ), (Bandung: Mizan, 2007), hlm.