15
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Pendahuluan Perubahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah institusi perguruan tinggi, tidak terkecuali bagi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Transformasi dari institut menjadi universitas merupakan strategi yang dilakukan UIN Bandung untuk dapat merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan tinggi yang sesuai dengan perkembangan jaman dan selaras dengan nilai-nilai yang ada pada masyarakatnya. Kajian pustaka berikut ini menyediakan kerangka kerja untuk memahami fokus penelitian disertasi ini, yang menyelidiki tentang bentuk perubahan, program dan strategi yang dilakukan, serta kendala yang dihadapi UIN Bandung dalam mewujudkan perubahan yang diinginkannya. Kajian teoretis tersebut dilengkapi dengan pembahasan hasil-hasil penelitian terdahulu yang sejenis. Pembahasan penelitian-penelitian itu dimaksudkan untuk memperkaya khazanah
teori-teori di atas
dengan contoh-contoh kasus
penerapannya pada institusi perguruan tinggi. Di samping itu, juga untuk menegaskan relevansi dan posisi penelitian ini terhadap penelitian-penelitian terdahulu, sehingga dapat menghindari pengulangan-pengulangan yang tidak diperlukan. Kajian pustaka tersebut menjadi landasan bagi penulis dalam mengembangkan premis dan kerangka pikir penelitian, yang merupakan bagian penutup pembahasan pada bab ini.
16
B. Arah Baru Manajemen Pendidikan Era globalisasi tersebut, tidak hanya membuka sejumlah peluang dan kesempatan tetapi juga melahirkan berbagai hambatan dan ancaman bagi kehidupan. Hal tersebut menuntut pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Tanpa sumber daya manusia yang bermutu, tidak mungkin sebuah bangsa dan negara dapat survive dan berkembang. Namun, kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan di era ini bukan lagi ditekankan pada sisi fisiknya seperti pada era agraris, tetapi lebih dititik-beratkan pada modal intelektualnya (Duderstadt, 2003) Tuntutan pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia, karena saat ini kita berada dalam satu periode peralihan ketika modal kecendekiawanan dan kekuatan otak telah menggantikan modal keuangan dan fisik sebagai kekuatan kunci untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan. Kita sedang memasuki satu era baru, era ilmu pengetahuan, ketika sumber daya strategis yang penting bagi kemakmuran adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu orang-orang terdidik dan ide-ide mereka. Perubahan mendasar tersebut menuntut peran yang lebih besar dari institusi kemasyarakatan yang menciptakan pengetahuan, yang mendidik orang-orang, dan yang menyediakan mereka sumber daya pengetahuan dan kesempatan belajar sepanjang hayat. Sekolah dan universitas khususnya akan terus memainkan peran penting dalam masyarakat untuk memasuki zaman baru tersebut (Duderstadt, 2003). Perekonomian dunia sedang mengalami perubahan yang mendasar pada kekuatan daya saingnya, dari yang berdasar pada kekayaan sumber daya alam
17
serta upah buruh yang murah, menjadi daya saing yang ditopang oleh kemampuan bangsa
tersebut
untuk
mengembangkan
kreativitas
dan
inovasi
dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Daya saing bangsa hanya bisa dicapai apabila terdapat fondasi kesatuan dan persatuan bangsa yang kuat. Perguruan tinggi dapat menjalankan peran yang signifikan menjadi pemersatu bangsa melalui penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan memberikan kesempatan yang luas bagi seluruh bangsa, penelitian yang mampu menggali potensi lokal dan memberikan manfaat bagi masyarakat luas (Depdiknas, 2004). Menurut Indrayani (2010), dalam masyarakat industri modern, pendidikan tinggi akan semakin otonom dalam hal pengembangan program akademik, rekruitmen tenaga dosen baik dari masyarakat dan dunia industri maupun dari dunia internasional. Perguruan tinggi dalam masyarakat industri modern merupakan pusat pengembangan iptek. Ia akan menjadi pusat kegiatan penelitian sehingga lembaga itu menjadi universe-city, yaitu paguyuban para pakar yang meneliti jagad raya dengan segala isinya dan fenomenanya, termasuk pusat perkembangan seni dan budaya. Dalam era globalisasi, institusi pendidikan tinggi harus memungkinkan lulusannya untuk bekerja di mana pun dan di belahan dunia dengan tingkat profesionalisme yang sesuai dengan standar internasional. Pendidikan tinggi harus mampu menghasilkan SDM yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan stakeholder-nya. Konteks dan peran penting mutu SDM dalam menjamin keberlanjutan dan daya saing industri terletak pada kenyataan bahwa telah terjadi
18
pergeseran dalam penekanan faktor produksi dari tenaga kerja (labor) kepada ilmu pengetahuan (knowledge), atau paling tidak tenaga ahli (Indrayani, 2010) Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Pemerintah RI telah mensahkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada tanggal 11 Juni 2003. Undang-undang ini merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik (Indrayani, 2010). Perubahan status sejumlah PTAIN dari institut atau sekolah tinggi menjadi universitas pada tahun 2000-an, antara lain disebabkan adanya tuntutan-tuntutan pada pengembangan sumberdaya manusia di era globalisasi ini. Seperti dikatakan Basyuni (2006), perguruan tinggi Islam dituntut untuk terus menerus melakukan penyesuaian dengan perkembangan masyarakat melalui peran yang terarah sejalan dengan karakteristiknya selaku institusi teologis. Oleh karena itu, pendidikan Islam dituntut memiliki kemampuan proyektif yang lebih baik dalam menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi di masa depan, terutama terkait dengan etik dan moral sebagai hasil proses pendidikan saat ini yang menjadi bagian dari tuntutan masyarakat global.
19
Menurut Brojonegoro, dkk. (2001) dalam Indrayani (2010), bukan hal yang mustahil bahwa pendidikan tinggi dapat memainkan perannya dalam industri modern dengan berhasil apabila paradigma baru pendidikan tinggi yang diletakan pada ukuran mutu yang terkait dengan empat aspek yaitu: otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi dapat diimplementasikan tepat azas. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan tinggi harus dilihat dari peran dan tempatnya di tengah masyarakat, fungsinya dalam pembelajaran, penelitian dan pelayanan yang dihasilkannya, juga dalam kaitannya dengan dunia kerja dalam pengertian yang luas. Menurut Sutisna (1993: 3-6), perubahan ekonomi, politik, teknologi, dan sosial memerlukan penyesuaian baru dalam sistem pendidikan. Hal yang harus dilakukan adalah bukan sekedar menambah lebih banyak pendidikan dari yang telah ada sekarang, lebih jauh dari itu, diperlukan adanya suatu proses perubahan yang menyeluruh mengenai struktur, isi, dan metode pendidikan yang harus diusahakan melalui suatu pendekatan yang inovatif, dan bukan dengan cara perbaikan atau revisi yang tambal sulam dan tidak terintegrasi. Perubahanperubahan itu memerlukan kontrol pemerintah yang lebih ketat dan manajemen pendidikan yang menyangkut efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya yang ada. Kompleksitas tantangan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini, melahirkan tanggung jawab yang lebih luas bagi lembaga pendidikan, khususnya para administratornya. Mereka dituntut untuk memiliki kemampuan yang bermutu dan didukung oleh profesionalitas dalam manajemen pendidikan. Singkatnya, perubahan fundamental dan menyeluruh dalam dunia pendidikan saat ini
20
menuntut hadirnya administrator-administrator yang berwenang dan cakap, yaitu orang-orang yang mampu untuk berfungsi tidak saja selaku pejabat eksekutif yang efisien, melainkan juga selaku pemimpin institusional yang efektif (Sutisna 1993: 8; Adman, 2001). Pernyataan di atas sejalan dengan isu-isu manajemen modern saat ini. Hitt, et.al. (1997) menegaskan bahwa manajer tingkat puncak merupakan sumber daya penting bagi organisasi untuk berupaya mengembangkan keunggulan yang berkesinambungan. Sedangkan elemen terpentingnya ialah memiliki tim manajemen puncak yang mempunyai kemampuan manajerial yang unggul. Mereka adalah modal manusia yang merupakan faktor terpenting sebuah organisasi dalam perkembangan manajemen modern Seperti dikatakan Roos dan Roos (1992), dalam Johnson (2003), teori manajemen saat ini secara bertahap mengakui bahwa aset tersembunyi (modal intelektual) semakin memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup organisasi. Modal intelektual terdiri dari komponen-komponen manusia, struktural dan pelanggan. Sedangkan di antara semua komponen tersebut, sumber daya manusia merupakan aset tidak berwujud yang paling penting, terutama dalam hal inovasi dalam sebuah organisasi. Inovasi tersebut pada akhirnya dimaksudkan untuk menyediakan barang atau jasa yang dibutuhkan pelanggan, atau memberikan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Paparan di atas menjadi tuntutan bagi para pemimpin lembaga pendidikan, untuk lebih menekankan landasan pengelolaan pendidikan pada modal intelektual sumberdaya manusia sebagai modal utama dalam melakukan pengembangan guna
21
menjawab tantangan-tantangan perubahan saat ini. Sumberdaya manusia merupakan satu-satunya sumberdaya yang memiliki kemampuan belajar dan bertumbuh (Mulyadi, 2009: 107), yang memungkinkan lembaga pendidikan dapat melakukan perubahan dan pembaharuan terus-menerus (continuous improving), sehingga menjadi lembaga yang dapat diandalkan dalam menjawab tantangantantangan yang dihadapi. C. Perguruan Tinggi dan Perubahan 1. Definisi dan Konsep Perguruan Tinggi Terdapat dua istilah yang sering kali dipertukarkan, dengan anggapan memiliki pengertian yang sama, yakni pendidikan tinggi dan perguruan tinggi. Padahal senyatanya kedua istilah itu berbeda. Oleh karenanya, diperlukan pemilahan secara jelas dan tajam di antara kedua istilah itu. Pendidikan tinggi merupakan jenjang di atas pendidikan menengah melalui jalur pendidikan sekolah. Ia terdiri atas tiga unsur utama, yaitu kurikulum, dosen, dan mahasiswa. Sedangkan perguruan tinggi merupakan satuan (unit) yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Ia dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. Di dalamnya terdiri atas berbagai pelaksana satuan akademis (Bisri, 2002: 268). Perguruan tinggi berperan sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tridharma Perguruan Tinggi). Pendidikan tinggi merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau
22
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian. Penelitian merupakan kegiatan telaah taat kaidah dalam upaya menemukan kebenaran dan atau menyelesaikan masalah dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau kesenian. Sedangkan pengabdian kepada masyarakat merupakan kegiatan pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 4). Pengetahuan kini telah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, kunci menuju kemakmuran dan keamanan suatu bangsa dan untuk kesejahteraan warganya. Dalam era pengetahuan ini, orang-orang berpendidikan dan gagasan mereka telah menjadi sumber daya yang paling penting dari masyarakat modern. Oleh karena itu, maka perguruan tinggi harus dihargai dan didukung sebagai sumber modal intelektual ini. Peran ini telah menggeser perspektif perguruan tinggi dari lembaga sosial yang difokuskan pada pengembangan sumber daya manusia menjadi pusat penemuan, pengolahan, transmisi, dan penerapan pengetahuan itu sendiri. Peran strategis perguruan tinggi dalam tatanan masyarakat berbasis pengetahuan ini menjelaskan mengapa kebanyakan bangsa-bangsa bergerak cepat untuk membangun atau memperkuat sistem pendidikan tinggi mereka (Duderstadt, 2003). Berdasarkan peran-peran tersebut, Indrajit dan Djokopranoto (2006: 36-40) melihat bahwa sedikitnya terdapat lima dimensi makna yang melekat pada perguruan tinggi. Dimensi-dimensi itu adalah dimensi keilmuan, dimensi pendidikan, dimensi etis, dimensi sosial, dan dimensi korporasi. Dimensi keilmuan mengandung makna bahwa perguruan tinggi adalah dunia ilmu
23
pengetahuan. Ia berperan dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan tujuan mengembangkan, menyebarluaskan dan menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui proses belajar mengajar, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dimensi pendidikan yang melekat pada perguruan tinggi mengandung arti bahwa perguruan tinggi adalah tempat berlangsungnya proses penyiapan manusia muda menjadi manusia dewasa, yaitu manusia yang memiliki kemandirian dan bertanggung jawab. Pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi dilakukan melalui pembelajaran. Dimensi etis terkait dengan perguruan tinggi yang dikenal sebagai pusat krestivitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan. Tujuannya bukan sematamata demi kreativitas sendiri, melainkan demi kesejahteraan umat manusia. Oleh karenanya, perguruan tinggi bergumul dalam pencarian kebenaran secara terusmenerus dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat secara umum. Dalam konteks pencarian kebenaran, perguruan tingi memiliki kebebasan akademik, yaitu yang berakar pada martabat manusia yang memiliki kebebasan dasar dalam dirinya. Peran peruruan tinggi pada perlindungan martabat manusia serta tanggung jawab moral dan etis penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah contoh dimensi makna etis perguruan tinggi. Selanjutnya, dimensi sosial perguruan tinggi berarti bahwa melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam meningkatkan kehidupan demokratis dan martabat manusia. Ia juga diharapkan mampu menjadi mendorong kearah kemajuan, pembaharuan dan perbaikan terus menerus tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
24
Singkatnya, perguruan tinggi merupakan lembaga sosial yang diharapkan mampu memecahkan berbagai problem yang dihadapi masyarakat. Sementara itu, dimensi korporasi mengandung arti bahwa perguruan tinggi merupakan lembaga yang menjalankan sebuah bisnis, yaitu ilmu pengetahuan melalui pendidikan tinggi yang diselenggarakannya. Ia memiliki dan mengelola berbagai sumber daya organisasi untuk menjalankan bisnis tersebut. Produk bisnis itu perlu diperkenalkan dan ditawarkan kepada pelanggan perguruan tinggi, yaitu mahasiswa
dan
masyarakat
pengguna
lulusannya.
Sebagaimana
halnya
perusahaan penghasil barang, perguruan tinggi pada akhirnya menghadapi persaingan bisnis, yaitu antar perguruan tinggi baik nasional maupun internasional dalam memperebutkan segmen pasar mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Alma (2009: 13) menegaskan bahwa dari kacamata sebuah korporasi, perguruan tinggi merupakan suatu organisasi produksi yang menghasilkan jasa pendidikan yang dibeli oleh mahasiswa dan konsumen yang lain. Apabila ia tidak mampu memasarkan hasil produksinya disebabkan karena mutunya tidak disenangi, tidak memberikan nilai tambah bagi peningkatan kualitas individu, layanannya tidak memuaskan, maka produk jasa yang ditawarkan tidak akan laku. Akibatnya, perguruan tinggi seperti itu akan sepi peminat, mundur, dan akhirnya ditutup. Apabila sebuah perguruan tinggi ditutup karena ketidakmampuan pengelolanya, maka akan menimbulkan bencana pada sebuah masyarakat. Menghadapi tantangan di masa depan, pendidikan tinggi memerlukan perubahan paradigma, yang akan menuntut pemikiran secara substansial dan
25
penataan ulang bagian yang signifikan dari lembaga-lembaga kita. Kita memerlukan
pondasi
akademik
dalam
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
masyarakat tentang: Apa tujuan kita? Apa yang kita ajarkan, dan bagaimana kita mengajarkannya? Apa syarat-syarat untuk mengajar? Bagaimana langkah-langkah dalam mengukur dan memutuskan mutu pendidikan? Bagaimana halnya tentang pembiayaan pendidikan dan penelitian? Apa keuntungannya? Siapa yang mengelola dan bagaimana? Apa dan berapa banyak pelayanan publik yang merupakan bagian dari misi kita? Perubahan akan menjadi kesempatan dalam merumuskan visi, kebijaksanaan, dan kesiapan universitas untuk memimpin di abad-abad mendatang (Duderstadt, 2003). 2. Definisi dan Konsep Perubahan Semua organisasi menghadapi lingkungan yang dinamis dan berubah. Lingkungan eksternal organisasi cenderung merupakan kekuatan yang mendorong untuk terjadinya perubahan. Di sisi lain, secara internal organisasi sendiri merasakan adanya kebutuhan akan perubahan. Dorongan perubahan tersebut harus direspon dengan tepat dan cedik oleh setiap organisasi. Dalam hal ini, pemimpin organisasi memiliki peran kunci untuk menentukan arah, kebijakan, dan strategi yang harus ditempuh. Di samping itu, untuk mencapai keberhasilannya, upaya perubahan itu perlu mendapat dukungan dan kerjasama seluruh sumberdaya manusia yang dimiliki (Wibowo, 2006: 46) Perubahan organisasional merupakan sebuah keputusan strategis untuk mengubah cara organisasi dalam mengerjakan usahanya. Ia dapat berupa perubahan produk atau jasa, perubahan ukuran dan struktur organisasi, perubahan
26
sistem administrasi, maupun memperkenalkan teknologi baru. Kebijakan menyangkut perubahan apa yang harus dilakukan menjadi pedoman yang sangat kritis bagi organisasi. Ia menyangkut seberapa jauh pemimpin organisasi mengetahui arah perubahan yang diambil, teknologi yang digunakan, pasar yang dimasuki, dan struktur organisasi yang dipilih. Semua masalah itu memerlukan keterampilan, pengalaman, dan pengetahuan atas bisnis dan kecenderungan pasar (Wibowo, 2006: 35). Terdapat
beberapa definisi
mengenai
perubahan
dalam
organisasi
sebagaimana yang dikutif Kathleen Barnett (2005) dari para pakar perubahan organisasi, sebagaimana paparan berikut ini. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Van de Ven dan Poole (1995), perubahan organisasi dinyatakan sebagai "pengamatan empiris mengenai perbedaan dalam bentuk, kualitas, atau keadaan dari waktu ke waktu dalam sebuah entitas organisasi. Entitas dapat berupa pekerjaan individu, kelompok kerja, strategi organisasi, program, produk, atau organisasi secara keseluruhan. Ford dan Ford (1995) menggambarkan perubahan sebagai perbedaan atau perbedaan-perbedaan antara dua (atau lebih) kondisi, keadaan,
atau
kejadian-kejadian
secara
berturut-turut.
Perubahan
juga
didefinisikan oleh Lewin (1951) sebagai suatu peristiwa pembakuan, pencairan, dan pembakuan kembali. Demikian pula, inovasi adalah istilah yang terkait dengan perubahan organisasi. Ikatan panjang dalam inovasi erat dengan gagasan perubahan organisasi (Barnett, 2005: 20). Inovasi, seperti yang dikatakan Lewis & Seibold (1993), digambarkan sebagai "entitas, seperti: ide teknologi baru, kebijakan
27
produk, atau program yang diperkenalkan kepada pengguna potensial dalam organisasi". Sementara itu, menurut Wibowo (2006: 10), perubahan berarti mengubah cara mengerjakan atau berfikir tentang sesuatu sehingga didapatkan sesuatu yang berbeda. Dalam kaitannya dengan perubahan organisasi, ia mengatakan bahwa perubahan merupakan pergeseran dari keadaan saat ini menuju pada keadaan yang diinginkan di masa mendatang. Perubahan tersebut dapat terjadi pada struktur organisasi, proses mekanisme kerja, sumberdaya manusia, atau budaya organisasi. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, perubahan pada perguruan tinggi mengandung arti adanya pergeseran dari keadaan perguruan tinggi saat ini menuju keadaan yang diinginkannya. Pergeseran tersebut dilakukan dengan cara mengubah berbagai entitas yang ada di dalam organisasi perguruan tinggi tersebut seleras dengan keadaan baru yang diinginkannya itu. Kemampuan organisasi untuk bertahan hidup (survive) sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk berubah, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi atau menyesuaikan diri dengan perubahan potensial yang akan terjadi di masa mendatang. Kemampuan organisasi untuk berkembang ditentukan oleh kemampuan organisasi dalam menciptakan perubahan. Kemampuan organisasi untuk berubah ditentukan oleh seberapa berdaya personil organisasi dalam melakukan perubahan (Harsiwi, AM., 2003). Perubahan bukanlah sebuah proses yang sederhana. Ia adalah mengenai mengubah kinerja organisasi. Dalam hal ini, lebih jelas lagi ikatan antara kegiatan yang dilakukan dengan hasil yang diperoleh, lebih banyak energi dan komitmen
28
selama proses perubahan. Singkatnya, setiap usaha perubahan dimulai dengan perbaikan kinerja sebagai tujuan (Wibowo, 2006: 4). Inti dari perubahan organisasi membawa institusi pada suatu kontradiksi. Dalam situasi normal, sebuah organisasi berjuang untuk mempertahankan stabilitas, namun pada saat yang sama organisasi harus melalui berbagai proses perubahan untuk dapat bertahan hidup (Barnett, 2005: 22). Perubahan adalah kompleks. Pada saat memulai untuk memasuki wilayah 'perubahan' yang belum dipetakan ke dalam semacam rute perjalanan, sebuah organisasi akan mengalami kerugian. Ada dua tahap yang harus dipersiapkan sebelum melakukan perjalanan menempuh perubahan (Iles dan Sutherland, 2001; Tucker, J., 2007). Pertama, memahami sedikit lebih lanjut tentang jenis perubahan yang diinginkan untuk membuat pemetaan wilayah perubahan yang akan dimasuki dan membuat perencanaan untuk melakukan perubahan itu. Kedua, memahami arah perubahan lingkungan budaya dan politik yang akan dimasuki. Kedua hal tersebut akan membantu organisasi dalam menghadapi rintangan dan hambatan yang mungkin akan dihadapi. Dalam kaitannya dengan perubahan pada perguruan tinggi, Duderstadt (2003) mengatakan, bahwa revolusi dalam struktur dan fungsi pendidikan tinggi di seluruh dunia berasal dari pergeseran ke arah pengetahuan berbasis masyarakat. Orang-orang terpelajar dan pengetahuan yang mereka hasilkan akan semakin menjadi sumber kekayaan bagi bangsa-bangsa. Masyarakat saat ini menuntut pendidikan sepanjang hidup, oleh karena itu, mereka memerlukan lembagalembaga pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan belajar kapan dan di
29
mana pun. Dalam arti yang sangat nyata, pendidikan tinggi yang didorong oleh kemajuan teknologi, kebutuhan sosial, dan kekuatan ekonomi harus tersedia di manapun di seluruh dunia. Kekuatan ini menjadi tantangan pendidikan tinggi untuk kembali melihat apa yang kita lakukan dan bagaimana kita melakukannya. Jika kita tidak memulai dalam melahirkan misi lembaga-lembaga pendidikan tinggi, kita berisiko melihat peran universitas terpinggirkan dan nilai-nilainya tergerus kekuatan perubahan yang mengejar kita. Namun demikian, tuntutan perubahan pada perguruan tinggi sejalan dengan proses globalisasi tidak harus disikapi secara reaktif, tetapi harus dilakukan secara strategis. Seperti dikatakan Duderstadt (2003), kecenderungan universitas untuk berubah memang merupakan sebuah keniscayaan, namun perubahan itu perlu diimbangi dengan kesinambungan, terutama prinsip-prinsip ilmiah, nilai, dan tradisi akademik yang memberikan kontinuitas dan makna.
Sementara itu,
penekanan pada baik struktur maupun kegiatan organisasi perguruan tinggi dapat berubah dari waktu ke waktu untuk menjawab tantangan-tantangan baru. Dengan kata lain, merupakan bagian integral dari kehidupan perguruan tinggi untuk selalu mengevaluasi
lingkungan
sekitarnya
dalam
rangka
menyesuaikan
misi
pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat guna melayani kebutuhan yang berubah, dengan tetap mempertahankan dan komitmen terhadap nilai-nilai dasarnya. Senada dengan itu, Anwar, M.I, (2004: 109) mengatakan, bahwa perguruan tinggi sebagai konservator nilai-nilai dominan yang berlaku dan sebagai sumber nilai-nilai baru bagi dinamika masyarakat, tidak dapat hanya menjadi penonton
30
atau sebatas pengeritik bagi dinamika yang terjadi. Sebaliknya, ia dituntut berperan aktif sebagai kekuatan inti untuk menggerakkan masyarakat-bangsa menuju masa depan yang lebih baik. Perubahan akan menjadi kesempatan dalam merumuskan visi, kebijaksanaan, dan kesiapan perguruan tinggi untuk memimpin di abad-abad mendatang. Melihat kenyataan itu, perubahan di lingkungan perguruan tinggi seiring paradigma baru Pendidikan Nasional, dibutuhkan tidak sekedar kesadaran untuk melakukan perubahan. Lebih penting dari itu, adalah perlunya pemahaman dan pengelolaan perubahan agar upaya yang dilakukan tersebut mendatangkan keberhasilan yang lebih besar. 3. Tujuan Perubahan Suatu perubahan yang dilakukan baik oleh individu maupun organisasi dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan perubahan bagi organisasi, di satu sisi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, baik lingkungan eksternal maupun lingkungan internal; dan di sisi lain mengupayakan perubahan perilaku karyawan (Wibowo, 2006: 15). Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001) dalam Lasmahadi (2005), mengatakan bahwa perubahan lingkungan eksternal dan lingkungan internal menjadi kekuatan yang mendorong munculnya kebutuhan organisasi untuk melakukan perubahan. Perubahan, menurut Pearce dan Robinson (1991: 60) dimaksudkan untuk memastikan kelangsungan hidup organisai melalui pertumbuhan (growth) dan profitabilitas (profitability).
31
Kemampuan organisasi untuk bertahan hidup (survive) sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk berubah, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis yang dihadapi atau menyesuaikan diri dengan perubahan potensial yang akan terjadi di masa mendatang. Kemampuan organisasi untuk berkembang ditentukan oleh kemampuannya dalam menciptakan perubahan. Demikian pula, kemampuan organisasi untuk berubah ditentukan oleh seberapa berdayanya personil organisasi dalam melakukan perubahan. Konsep employee empowerment menjadi prasyarat untuk membangun suatu organisasi yang mampu beradaptasi dengan cepat, bahkan dengan cepat menciptakan perubahan untuk merespon perubahan lingkungan bisnis yang telah terjadi atau potensial akan terjadi (Mulyadi, 1997 dalam Harsiwi, AM., 2003). Kurt Motamendi dalam Wibowo (2006) mencari hubungan antara lingkungan eksternal dengan lingkungan internal tersebut dalam konsep yang dinamakan adaptabilitas dan kopabilitas. Adaptabilitas merupakan kemampuan sebuah organisasi untuk merasa dan memahami baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternalnya, serta mengambil tindakan untuk menciptakan kecocokan atau keseimbangan yang lebih baik di antara keduanya. Sedangkan kopabilitas mengacu pada kemampuan sebuah sistem sosial untuk mempertahankan identitas dan integritasnya sebagai sebuah sistem yang kuat sambil melakukan penyesuaian yang diperlukan seiring perubahan lingkungan eksternalnya. David (2009: 9-11) mengatakan bahwa laju dan daya tarik perubahan yang mempengaruhi organisasi telah meningkat secara drastis. Untuk dapat bertahan, semua
organisasi
harus
mampu
dengan
cerdik
mengidentifikasi
serta
32
menyesuaikan diri dengan perubahan. Kebutuhan untuk beradaptasi dengan perubahan membawa organisasi pada pertanyaan-pertanyaan kunci, seperti: “Seperti apa bisnis yang kita jalankan ini nantinya?”; “Apakah kita bergerak di bidang yang tepat?”; “Haruskah kita membentuk ulang bisnis kita?”; “Strategi apa yang mesti kita jalankan?”; dan sebagainya. Menyadari pentingnya organisasi beradaptasi dengan perubahan, Waterman dalam David (2009: 10) mencatat bahwa dalam lingkungan bisnis dewasa ini, melebihi masa sebelumnya, satu-satunya hal yang tetap adalah perubahan. Oleh karena itu, organisasi yang berhasil adalah yang secara efektif mengelola perubahan, terus menerus menyesuaikan birokrasi, strategi, sistem, produk, dan budaya agar mampu bertahan hidup dalam menghadapi guncangan dengan mengembangkan kekuatan untuk berkompetisi. Senada dengan itu, Hitt, at.al., (1997: 14) mengatakan bahwa perusahaan yang efektif bersedia melakukan apa yang penting untuk memiliki daya saing strategis. Hanya dengan kesediaan menerima tantangan ini, perusahaan dapat meningkatkan kemampuannya, dan para pekerja dapat mempertajam keahlian mereka. Untuk bertahan hidup, sebuah perguruan tinggi harus dapat merespon perubahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Namun, kebanyakan orang sepakat bahwa perubahan itu sulit dan tak terduga. Hargreaves, dalam Sinthuvana (2009) menjelaskan bahwa ada banyak alasan mengapa sebuah lembaga mungkin tidak berubah. Tidak ada jaminan bahwa perubahan akan berhasil atau akan mendatangkan manfaat. Selain itu, bagi banyak lembaga pendidikan tinggi, situasi perubahan dirasakan terlalu cepat untuk diatasi, dan
33
mereka menderita kecemasan, frustrasi dan putus asa. Namun, tidak peduli betapa sulitnya bagi lembaga pendidikan tinggi, mereka akhirnya harus menerima bahwa tidak bisa menghindari perubahan jika ingin bertahan dan berkembang untuk menjadi sukses. 4. Tipologi Perubahan Terdapat dua hal yang harus dipersiapkan pimpinan organisasi sebelum melakukan perubahan. Pertama, memahami jenis perubahan yang diinginkan untuk membuat pemetaan wilayah yang akan dimasuki dan membuat perencanaan untuk melakukan perubahan itu. Kedua, memahami arah perubahan lingkungan budaya dan politik yang akan dimasuki. Pemahaman terhadap kedua hal itu akan membantu organisasi dalam menghadapi rintangan dan hambatan yang mungkin akan dihadapi (Iles dan Sutherland, 2001; Tucker, J., 2007). Para pakar mengelompokkan tipologi perubahan yang sering terjadi di dalam organisasi-organisasi ke dalam tiga jenis. Tucker (2007) mengelompokkan perubahan-perubahan
tersebut
ke
dalam
perubahan
pengembangan
(developmental change), perubahan transisi (transitional change), dan perubahan transformasi (tranformational change). Sementara itu, dengan pengertian yang hampir
sama,
Kreitner
dan
Kinicki
(2001)
dalam
Wibowo
(2006),
mengelompokkannya ke dalam perubahan adaptif (adaptive change), perubahan inovatif (innovative change), dan perubahan inovatif radikal (radically innovative change). Perubahan pengembangan (developmental change) terjadi pada saat orgaisasi membuat perbaikan terhadap bisnis mereka saat ini. Pengembangan
34
tersebut meliputi perbaikan proses, metode, atau standar kinerja hingga beberapa tahap untuk menghasilkan nilai bisnis yang lebih kompetitif. Jenis perubahan ini akan menimbulkan sedikit tekanan bagi karyawan selama berlangsungnya proses baru tersebut hingga mereka mendapatkan pelatihan tentang teknik-teknik baru. Pelatihan seperti itu dimaksudkan agar para karyawan cenderung dapat menerima ketika organisasi bergerak ke dalam perubahan yang lebih besar. Perubahan transisi (transitional change) merupakan jenis perubahan yang lebih mengganggu stabilitas organisasi dibandingkan dengan perubahan pengembangan. Hal itu karena dalam perubahan ini, organisasi menggantikan, misalnya, proses atau prosedur yang benar-benar baru. Periode ketika proses atau prosedur lama sedang diubah, dan proses atau prosedur baru sedang dilaksanakan disebut fase transisi. Reorganisasi perusahaan, merger, akuisisi, penciptaan produk, atau memperkenalkan teknologi baru merupakan contoh perubahan transisi. Perubahan transisional cenderung tidak memerlukan perubahan yang signifikan dalam budaya atau perilaku, tetapi lebih menantang untuk diterapkan dibandingkan dengan perubahan pengembangan. Pendidikan atau pelatihan tentang proses atau prosedur baru harus dimulai pada setiap tahap pelaksanaan, sehingga karyawan merasa bahwa mereka secara aktif terlibat dalam perubahan yang sedang berlangsung. Perubahan transformasi (tranformational change) adalah perubahan yang terjadi setelah fase transisi. Perubahan transformasional mungkin membutuhkan baik perubahan pengembangan maupun perubahan transisional. Perubahan ini terjadi ketika organisasi dihadapkan pada munculnya teknologi yang benar-benar
35
berbeda, perubahan yang signifikan pada penawaran dan permintaan, persaingan tak terduga, kurangnya pendapatan, atau pergeseran besar lainnya dalam cara melakukan bisnis. Sementara perubahan yang sekedar pengembangan atau transisi mungkin tidak menawarkan solusi yang dibutuhkan organisasi untuk tetap kompetitif, sehingga organisasi cenderung untuk mengubah diri secara drastis (Tucker, 2007). Perubahan tranformasi, seperti dikatakan Vibriwati (2011), merupakan upaya dalam menciptakan organisasi yang dapat merespon perubahan dengan lebih cepat daripada pesaingnya dengan menerapkan strategi baru yang lebih cepat dan nyaman. Pilihan perubahan itu dilakukan mengingat tantangantantangan yang ada telah menuntut organisasi untuk membuat pola pikir yang baru dalam mengelola organisasi. Transformasi organisasi adalah aplikasi dari teori ilmu perilaku yang merupakan perluasan dari disiplin ilmu pengembangan organisasi. Ia mencoba untuk menciptakan perubahan besar di dalam struktur organisasi, proses, budaya, dan orientasi pada lingkungan organisasi. Transformasi organisasi muncul karena variabel-variabel yang menjadi target transformasi yaitu kepercayaan, tujuan, dan misi organisasi, yang ketiganya merupakan komponen visi organisasi, berpengaruh kepada level yang lebih dalam dan lebih bersifat fundamental dibandingkan dengan perubahan yang ditargetkan oleh sekedar pengembangan organisasi (Vibriwati, 2011: 132) Ulrich (1997) dalam Vibriwati (2011) memberikan pandangan mengenai transformasi sebagai usaha untuk merubah kesan yang fundamental dari bisnis,
36
dilihat dari pelanggan dan karyawan. Transformasi berfokus pada penciptaan mind share lebih dari pangsa pasar. Transformasi dikatakan berhasil ketika pelanggan dan karyawan telah mengubah kesan mereka terhadap institusi organisasi secara fundamental. Edwards, M.G., (2008: 20-21) dalam disertasinya memaparkan pengertian dan indikator-indikator transformasi organisasi dari beberapa ahli sebagaimana paparan berikut ini. Transformasi organisasi dapat didefinisikan sebagai bagian dari bidang kajian yang lebih luas mengenai teori-teori perubahan dalam cara tertentu sehingga setiap peristiwa transformatif dianggap sebagai sebuah bentuk perubahan yang lebih umum. Transformasi adalah jenis perubahan yang sangat khusus. Dengan kata lain, tidak semua perubahan merupakan 'transformasi' (Flamholtz & Randle, 1998: 8). Transformasi merupakan perubahan yang meliputi pengertian-pengertian diskontinuitas, kemampuan beradaptasi, sistem perubahan yang utuh, sifat multidimensi dan kualitas multilevel. Ini dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Transformasi organisasi adalah terputus karena melibatkan pergeseran kualitatif menuju bentuk yang lebih adaptif dari organisasi yang meliputi semua tingkatan (mikro, meso, dan makro) dan semua domain (dimensi) operasional utama dari organisasi. Ini adalah proses sistemik yang melibatkan aspek-aspek obyektif yang tampak maupun tidak tampak, aspek-aspek individu maupun kelompok; serta suatu proses pemberdayaan manusia. Pengertian-pengertian di atas merupakan indikator-indikator transformasi organisasi sebagaimana dipaparkan McNulty dan Ferlie (2004) dalam Edwards,
37
M.G. (2008). Indikator-indikator itu meliputi: (1) beberapa perubahan yang saling terkait dalam sebuah sistem secara keseluruhan; (2) penciptaan organisasi baru dalam bentuk-bentuk peningkatan secara kolektif; (3) perkembangan perubahan multilayer yang berdampak pada seluruh sistem dalam bidang unit kerja dan individu; (4) penciptaan perubahan dalam pelayanan yang diberikan dan dalam modus pengiriman; (5) rekonfigurasi hubungan kekuasaan (terutama pembentukan kelompok kepemimpinan baru); (6) pengembangan budaya, serta nilai ideologi dan nilai organisasi yang baru. Dengan demikian, berbicara tentang transformasi hanyalah ketika semua dari enam kriteria tersebut telah terpenuhi. Gagasan transformasi ke dalam bentuk atau tingkat organisasi baru adalah penting dalam mengkonseptualisasikan jenis perubahan. Hal ini tidak sebatas adanya perbaikan yang signifikan dalam mengorganisir, tetapi yang secara radikal memenuhi sistem identitas dan fungsi yang baru. Bentuk identitas dan struktur organisasi yang sebelumnya dominan digantikan oleh adopsi keseluruhan sistem yang baru. Gerakan ini terjadi berulang kali sepanjang rentang hidup suatu organisasi. Dengan kata lain, proses tersebut tidak berakhir dengan munculnya bentuk baru, tetapi berlangsung terus-menerus dari satu bentuk ke bentuk lainnya (Beverley Fletcher, 1990 dalam Edwards, M.G., 2008: 21). Karakteristik penting lain dari pendekatan perubahan transformasional meliputi transformasi pribadi individu pada tingkat mikro, maupun organisasi pada tingkat makro. Tingkat pribadi terlihat dalam penataan kembali sikap dasar, kesadaran, motivasi dan keyakinan, serta spiritualitas manajemen dan karyawan. Kutub spektrum organisasi secara kolektif membutuhkan semua tingkat -
38
individu, kelompok dan seluruh organisasi - untuk "membingkai ulang", untuk mengubah sampai batas yang signifikan dalam cara berpikir, pengalaman dan berperilaku mereka (Edwards, M.G., 2008: 21) Menurut Lancourt dan Savage (1995) dalam Vibriwati (2011), seiring dengan munculnya isu transformasi, telah berkembang tema-tema yang memberi ciri dari proses transformasi organisasi. Pertama, meredefinisi bisnis dan memfokuskan pada pelanggan. Kedua, pembentukan tim dan mendukung struktur non-hirarkis. Artinya pembentukan tim dilakukan dengan tanpa melihat batasbatas organisasional. Ketiga, kepemimpinan dan berbagi nilai. Artinya fungsi kepemimpinan dalam organisasi dibagikan pada setiap orang yang ada di dalam organisasi. Keempat, perubahan dalam bahasa. Hal ini penting dalam membentuk pemikiran dan mengefektifkan proses perubahan yang dilakukan. Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa transformasi organisasi merupakan strategi yang dilakukan organisasi dalam merespon tuntutan perubahan yang lebih cepat di era persaingan. Strategi tersebut dilakukan dengan mengubah secara radikal identitas dan struktur organisasi yang sebelumnya dominan dengan mengadopsi keseluruhan sistem yang baru, yang meliputi nilai, tujuan dan misi organisasi. Upaya tersebut dilakukan terus-menerus dalam rangka mencapai keunggulan organisasi secara berkelanjutan. 5. Keunggulan dan Daya Saing Transformasi IAIN Bandung menjadi UIN merupakan upaya yang dilakukan perguruan tinggi Islam dalam meraih keunggulan pendidikan tinggi Islam di Indonesia (Natsir, 2006: 1). Kebijakan pengembangan UIN antara lain
39
didasarkan pada garis-garis besar kebijakan pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia yang dirumuskan dalam Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003-2010 yang dikenal dengan HELTS 2003-2010 (Higher Education Long Term Strategy). Kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka membentuk perguruan tinggi yang sehat dan mampu memberikan daya saing bangsa (UIN Bandung, 2008: 11). Untuk menciptakan keunggulan, suatu organisasi harus dapat menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan lainnya, menjadi yang pertama dan menjadi terbaik (Victor Tan, 2002:84). Untuk menciptakan keunggulan, organisasi harus menciptakan tujuan yang ingin dicapai, mengembangkan strategi untuk mencapainya, serta melakukan tindakan. Berbagai pendekatan yang dapat menciptakan keunggulan, antara lain sebagai berikut: a. Being different (menjadi berbeda). Perusahaan perlu menunjukkan berbeda di mata pelanggan, dan perbedaan ini harus cukup menarik serta bersaing, sehingga pelanggan akan memilih produk atau jasa kita dibanding yang lain. Pelanggan yang berbeda, mempunyai tipe nilai yang berbeda. Apabila standar nilai meningkat, harapan pelanggan juga meningkat, sehingga organisasi juga harus bisa menciptakan produk agar sesuai dengan harapan pelanggan yang meningkat ini. b. Being the first (menjadi yang pertama). Terdapat keuntungan untuk menjadi yang pertama, karena bisa mendominasi pasar dengan keuntungan yang bagus. Namun ada juga yang mengatakan, bahwa menjadi yang kedua atau pengikut akan mengurangi biaya dan risiko lebih rendah. Pengikut akan
40
dapat memperoleh keuntungan pembelajaran dari kesalahan pemimpin pasar. c. Being the best (menjadi yang terbaik). Setiap organisasi tak selalu harus menjadi terbaik di semua bidang. Organisasi perlu fokus memilih bidang spesifik untuk unggul sehingga dapat dikenal sebagai yang terbaik. d. The way of forward (cara untuk maju). Organisasi harus menetapkan tujuan spesifik berkenaan dengan produk atau jasa yang diinginkan menjadi terbaik, yang pertama atau yang menjadi berbeda. Tujuan tersebut harus dapat diukur dan dalam waktu tertentu, organisasi perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: •
Dengan cara apa kita menginginkan organisasi menjadi berbeda dalam perspektif pelanggan, dan pada saat sama dinilai memberikan nilai tertinggi?
•
Produk atau jasa apa untuk organisasi yang kita inginkan menjadi yang pertama memberikan dan melayani pelanggan?
•
Dalam bisnis apa organisasi ingin dikenal sebagai yang terbaik dibidangnya? Untuk mengetahui makna keunggulan dan daya saing organisasi, penulis
memaparkan sejumlah pendapat dari para ahli sebagai berikut ini: Menurut Hitt, at.al. (1997: 4-5), daya saing strategis dicapai apabila suatu organisasi berhasil merumuskan serta menerapkan suatu strategi pencipta nilai. Pada saat organisasi menerapkan strategi, sementara organisasi pesaing tidak secara berkesinambungan menerapkannya, serta organisasi lain tidak mampu meniru keunggulan strategi tersebut, saat itulah organisasi yang bersangkutan
41
dikatakan memiliki keunggulan bersaing yang berkesinambungan (sustained atau sustainable competitive advantage). Dengan demikian, suatu organisasi diyakini memiliki keunggulan bersaing yang berkesinambungan hanya setelah pesaingnya berakhir dengan kegagalan dalam meniru strategi yang diterapkan. David (2009: 11) mengartikan keunggulan bersaing sebagai segala sesuatu yang dapat dilakukan dengan jauh lebih baik oleh suatu organisasi dibandingkan dengan organisasi-organisasi pesaingnya. Ketika sebuah organisasi dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh organisasi pesaingnya, atau memiliki
sesuatu
yang
sangat
diinginkan
oleh
saingannya,
hal
itu
mempresentasikan bahwa ia memiliki keunggulan kompetitif atau keunggulan bersaing. Sementara itu, menurut Mulyadi (2009: 488), dalam lingkungan bisnis yang di dalamnya customer memegang kendali bisnis serta lingkungan kompetisi yang sangat intensif, kemampuan organisasi atau perusahaan untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada customer dibandingkan dengan pesaingnya, serta kemampuannya untuk berbeda (distinct) dari pesaingnya akan menempatkan organisasi tersebut pada posisi daya saing yang kuat. Sedangkan menurut Wibowo (2006: 177-178), excellent atau keunggulan adalah seperti bepergian di luar batas atau standard dan menjadi superior. Keunggulan bukanlah merupakan tempat tujuan di mana organisasi dapat menyatakan bahwa ia telah sampai dan berhenti. Keunggulan merupakan kerja keras berkelanjutan untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang pertama, dan menjadi berbeda baik di tempat kerja maupun pasar. Ketika suatu organisasi
42
terikat dalam kerja keras yang konstan, maka ia akan memenangkan pertimbangan atau persepsi pelanggannya sebagai unggul dalam apa yang mereka lakukan. Keunggulan organisasi ditentukan oleh adanya enam faktor yang dimilikinya. Victor Tan (2002) dalam Wibowo (2006: 178) menyebutnya sebagai The Six Ps Excellent Model.
Keenam faktor tersebut yaitu people (orang),
policies (kebijakan), process (proses), products (produk), practices (praktek), dan performance (kinerja).
People
Performance
Practices
Policies
The Six Ps Excellent Model
Process
Products
Gambar 2.1. Model Keunggulan Sumber: Victor Tan (2002: 78) dalam Wibowo (2006: 178)
a. Keunggulan orang Dalam perkembangan manajemen modern, modal manusia merupakan faktor terpenting dalam sebuah organisasi. Seperti dikatakan Roos dan Roos (1992), dalam Johnson (2003), teori manajemen saat ini secara bertahap mengakui bahwa aset tersembunyi (modal intelektual) semakin memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup perusahaan. Modal intelektual terdiri dari komponenkomponen manusia, struktural dan pelanggan. Sedangkan di antara semua komponen tersebut, sumber daya manusia merupakan aset tidak berwujud yang
43
paling penting, terutama dalam hal inovasi dalam sebuah organisasi. Inovasi tersebut pada akhirnya dimaksudkan untuk menyediakan barang atau jasa yang dibutuhkan pelanggan, atau memberikan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Ditegaskan Sveiby (2001) dalam Johnson (2003), bahwa manusia adalah agen yang sesungguhnya dalam bisnis. Semua produk fisik berwujud serta asetaset lain termasuk yang tak berwujud, adalah hasil perbuatan manusia. Kelangsungan hidup produk dan aset-aset tersebut pada akhirnya tergantung pada manusia. Dengan demikian, modal manusia merupakan komponen utama modal intelektual sebuah organisasi. Keunggulan orang adalah tentang kompetensi dan komitmen. Di era digital, di mana perubahan berlangsung dengan cepat, maka pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dapat susut dengan sangat cepat. Oleh karena itu, pemimpin harus mengembangkan organisasi pembelajaran di tempat kerja,
yaitu
memperkuat lingkungan kerja dengan memberikan kesempatan pekerja belajar sambil bekerja, belajar satu sama lain, dan belajar dari praktek terbaik. Di samping peningkatan kompetensi, pengembangan keunggulan orang juga tentang merubah motivasi dan pola pikir untuk membangun komitmen terhadap tugas, organisasi, komunitas, dan bangsa secara keseluruhan (Wibowo, 2006: 179). b. Keunggulan kebijakan Sebagaimana sudah diungkapkan di atas, kebijakan merupakan sebuah pedoman untuk bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Ia merupakan suatu tindakan
44
berpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan sesuatu (Wahab, S.A, 2008). Carl Friedrich, seperti dikutif Wahab, mengatakan bahwa kebijakan atau kebijaksanaan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. (Wahab, S.A., 2008: 3) Kebijakan menyangkut perubahan apa yang harus dilakukan menjadi pedoman yang sangat kritis bagi organisasi. Ia menyangkut seberapa jauh pemimpin organisasi mengetahui arah perubahan yang diambil, teknologi yang digunakan, pasar yang dimasuki, dan struktur organisasi yang dipilih. Semua masalah itu memerlukan keterampilan, pengalaman, dan pengeahuan atas bisnis dan kecenderungan pasar (Wibowo, 2006: 35) Keunggulan kebijakan adalah tentang pemikiran strategis dan penetapan arah yang tepat bagi organisasi. Keunggulan itu tidak sekedar menguntungkan dan berhasil, tetapi juga mampu melanjutkan kinerjanya dan survive dalam jangka panjang. Hal penting dalam keunggulan kebijakan adalah menyediakan produk barang atau jasa yang memiliki keunikan dengan benar yang dibutuhkan oleh pelanggan, ditujukan pada pasar yang tepat dan dengan strategi pemasaran yang efektif. Dalam hal ini diperlukan pemimpin yang bergerak di luar pemikiran operasional normal. Mereka harus membentangkan dirinya dan mengikat pada pemikiran strategis tentang isu yang signifikan, mempunyai dampak yang luas,
45
serta memberikan implikasi jangka panjang bagi ketahanan organisasi (Wibowo, 2006: 180). c. Keunggulan proses Keunggulan proses didefinisikan sebagai pendekatan sistematis untuk memastikan bahwa proses bisnis menghasilkan terobosan dalam kepuasan pelanggan,
kecepatan
organisasional
dan
biaya
melakukan
bisnis
(http://www.lonza.com /group/en/company/...[19/08/11. Proses operasi menjadi pendorong setiap area bisnis – mulai dari membeli dan menjual, untuk memberikan produk dan layanan, untuk berinteraksi dengan pelanggan, pemasok dan pengecer. Peningkatan proses bisnis menghasilkan keuntungan lebih dan memberikan
bisnis
suatu
keunggulan
kompetitif
(http://www.pwc.
com/nz/..[19/08/11]. Kesuksesan
organisasi
didapatkan
apabila
organisasi
mendasarkan
“kebutuhan organisasi” pada kebutuhan pelanggan. Namun, kebanyakan pelanggan tidak peduli tentang bagaimana perusahaan menciptakan nilai-nilai yang mereka beli. Pelanggan biasanya mendapatkan nilai bukan dari fungsi-fungsi organisasi, tetapi dari produk atau jasa yang diciptakan oleh usaha bersama dan sumber daya dari banyak area fungsional yang berbeda. Upaya fokus pada proses berarti bahwa nilai-nilai stakeholder didefinisikan dan kegiatan diklasifikasikan sebagai yang berkaitan dengan penciptaan nilai akhir. Proses dievaluasi terkait sejauh mana efektif dan efisien dalam menciptakan nilai. Efektivitas didefinisikan sebagai memberikan apa yang dibutuhkan pelanggan, atau melebihi persyaratan; hal itu meliputi kualitas, harga, pengiriman, ketepatan waktu dan segala sesuatu
46
yang masuk ke dalam nilai yang dirasakan. Efisiensi didefinisikan sebagai efektif menggunakan sumber daya minimum, lebih dari perspektif pemilik. Keunggulan proses terkait dengan baik efektif maupun efisien. Ia merupakan rangkaian kegiatan yang dirancang khusus untuk menciptakan proses yang sangat baik (http://www.qualityamerica.com/ knowledgecente/articles...[19/08/11]. d. Keunggulan produk Di dalam persaingan yang tajam, produk dan jasa hanya dipilih oleh customer jika berbeda (distinct) dari produk dan jasa yang lain. Oleh karena itu, kemampuan organisasi untuk membedakan dirinya dari para pesaingnya merupakan penentu daya saing jangka panjang organisasi. Organisasi dapat mencapai daya saing jangka panjangnya melalui customer value proposition berikut: (1) low cost proposition, (2) quality, (3) speed, (4) service, dan (5) innovation (Gaspersz, 2006: 56; Mulyadi, 2009: 488, Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 141). Keunggulan produk adalah tentang menghasilkan produk yang benar atau menyampaikannya secara benar, baik kualitas maupun nilai uang bagi konsumen. Keunggulan produk dicapai melalui riset dan pengembangan serta komitmen untuk menghasilkan produk berkualitas (Wibowo, 2006: 181). e. Keunggulan praktek Keunggulan praktek adalah tentang cara mengerjakan, cara orang memperlakukan satu sama lain, dan cara orang dalam organisasi melayani pelanggan mereka. Keunggulan praktek adalah lebih dalam melakukan daripada
47
dalam mengajarkan atau merencanakan. Ia berada di luar pengetahuan dan keterampilan, dan memerlukan disiplin dan komitmen untuk melakukan pelayanan yang unggul bagi pelanggan (Wibowo, 2006: 182). Dalam perspektif Balanced Scorecard, pelayanan bagi pelanggan bertujuan untuk meningkatkan nilai produk bagi pelanggan yang diupayakan melalui keunggulan hubungan dengan pelanggan. Hubungan tersebut berkaitan dengan tanggung jawab, daya tanggap, keramah-tamahan, sopan santun, dan lain-lain. Dalam hal ini, keunggulan praktek pelayanan bagi pelanggan menyangkut pelayanan purna jual, pemenuhan kebutuhan pelanggan, dan peningkatan kepuasan pelanggan terus-menerus (Gaspersz, 2006: 56) f. Keunggulan kinerja Merubah kinerja organisasi merupakan hakekat dari perubahan organisasi. Setiap usaha perubahan dimulai dengan perbaikan kinerja sebagai tujuan. Dengan demikian, akan lebih jelas ikatan antara apa yang dilakukan dengan hasilnya, lebih banyak energi yang digunakan, komitmen, dan kesenangan selama proses perubahan (Wibowo, 2006: 10) Performance excellent adalah tentang menetapkan track record dan melanjutkan dalam jangka panjang. Keunggulan kinerja didasarkan pada nilai nyata organisasi. Setiap organisasi harus mempunyai produk barang atau jasa yang riil bagi pelanggan. Mereka harus mempunyai strategi pemasaran yang efektif, mengembangkan orang yang kompeten dan memiliki komitmen, mengelola dan memanfaatkan sumberdaya secara efisien dan secara efektif memberikan hasil yang terbaik. Singkatnya, keunggulan kinerja hanya dapat
48
dicapai jika organisasi memiliki kombinasi terbaik dari keunggulan orang, keunggulan proses, keunggulan kebijakan, dan keunggulan praktek (Wibowo, 2006: 182). 6. Perubahan sebagai Sebuah Strategi Perubahan merupakan konstanta percepatan yang mengandung dilema besar. Oleh karena itu, perguruan tinggi dituntut untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi jika ingin tetap eksis dalam mewujudkan visi dan misinya. Menurut Liz Clark (1994) dalam Direktorat Tenaga Kependidikan (2007), organisasi perlu mengupayakan bagaimana membuat perubahan terlaksana, membangun pengalaman organisasi dari kesuksesan dan kegagalan perubahan serta menyediakan wawasan praktis bagi proses perubahan. Perguruan tinggi modern berada dalam keadaan perubahan budaya. Dari melakukan sendiri pekerjaan dalam memecahkan tugas-tugas tertentu, sekarang dituntut untuk bekerja dalam cara yang saling tergantung. Cara melakukan pekerjaan juga berubah, sehingga mengharuskan perguruan tinggi untuk mengubah apa yang diharapkan dari orang-orang yang bekerjasama di dalamnya. Perubahan tersebut meliputi perubahan pada nilai-nilai: seperti kesadaran, kerjasama, toleransi, tanggung jawab, dan informasi. Hal yang lebih penting adalah adanya fleksibilitas dan kesiapan untuk berubah (Baekdal, 2006). Kenyataan ini, lanjut Baekdal, menimbulkan masalah bagi banyak organisasi perguruan tinggi karena mereka menyadari bahwa ada perbedaan besar dalam bekerja yang berorientasi untuk memecahkan tugas-tugas tertentu dengan bekerja yang berorientasi jangka panjang. Manajemen perguruan tinggi tradisional
49
berfokus pada pemecahan pekerjaan tertentu dan terbatas, serta berorientasi pada hasil atau produk yang spesifik, sedangkan manajemen perguruan tinggi modern adalah proses berkesinambungan, dan berfokus pada peningkatan proses. Fullan (2001) dalam de Graaff dan Kolmos (2007) menekankan bahwa hasil dari suatu proses perubahan pendidikan tidak hanya dalam perubahan belajar siswa, tetapi juga kapasitas organisasi. Perubahan adalah sebuah proses, bukan suatu peristiwa. Pembahasan tentang perubahan tidak terjadi dalam semalam, tetapi butuh waktu dan memiliki dampak yang mendalam. Dalam memahami perubahan organisasi, ungkap Henriksen, et al. (2004) dalam de Graaf dan Kolmos (2007), kita perlu memahami konsep realitas - sejak awalnya, perubahan dalam organisasi adalah perubahan realitas. Dia menekankan bahwa untuk memperoleh pemahaman tentang realitas, kita perlu melihat ke dalam setidaknya empat elemen; fakta (dokumentasi), logika (inti bagian dari proses konstitusi), nilai (untuk menggambarkan pentingnya), dan komunikasi (sebagai suatu anggota masyarakat dan interpretasi). Dengan demikian, perubahan harus dianalisis dan diinterpretasikan dalam konteks yang lebih luas, dan nilai-nilai adalah bagian penting dari perubahan pendidikan. Rowe, A.J., (1990: 298), mengatakan bahwa setiap bentuk perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan-perubahan strategis. Untuk mencapai keberhasilannya, sebuah perubahan strategis harus diterima dan didukung oleh orang-orang yang terlibat dalam perubahan. Gaya agen perubahan, nilai-nilai individu, budaya perusahaan secara keseluruhan, struktur organisasi, dan posisi organisasi dalam keseluruhan siklus hidupnya akan mempengaruhi implementasi
50
perubahan, dan pada gilirannya, akan terpengaruh dengan perubahan yang terjadi. Adapun tahapan-tahapan dalam penerapan strategi tersebut mencakup: • Menentukan bentuk perubahan yang diperlukan bagi penerapan strategi yang diusulkan dan kemudian memperkenalkan perubahan itu. • Mendapatkan komitmen untuk perubahan. • Melakukan implementasi dengan menggunakan kontrol manajerial yang menyeimbangkan perilaku dan persyaratan teknis untuk mencapai tujuan tertentu. Fase ini sering membutuhkan reevaluasi atau adaptasi dari strategi awal dengan tuntutan lingkungan baru. Implementasi atau penerapan kebijakan untuk berubah merupakan komponen yang paling penting dari manajemen strategik. Sebuah strategi yang tidak diterapkan adalah tidak ada strategi sama sekali. Meskipun proses penerapan tercakup di antara langkah-langkah dalam proses manajemen strategik, manajer yang cerdik akan mulai berpikir tentang penerapan tersebut pada tahap-tahap awal perubahan. Setiap langkah dalam perumusan, evaluasi, dan pilihan strategi harus dilakukan dengan mempertimbangkan secara penuh persyaratan-persyaratan yang diperlukan dalam pelaksanaannya (Rowe, A.J., 1990: 297).
D. Manajemen Strategik 1. Definisi dan Konsep Manajemen Strategik Kata “strategi” berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan gabungan dari kata “stratos” yang berarti tentara, dan “ego” yang berarti pimpinan (O’Toole dalam Bryson, J.M., 1991: 22). Penggunaan istilah strategi diawali dan popular di lingkungan militer (Zhang, 2005: 20; Akdon, 2007). Di lingkungan tersebut, penggunaan strategi lebih dominan dalam situasi peperangan, yaitu merencanakan dan mengarahkan pertempuran. Ia merupakan tugas komandan dalam menghadapi
51
musuh, yang bertanggung jawab mengatur cara atau taktik untuk memenangkan pertempuran. Effendy (2007) mengatakan bahwa strategi merupakan sebuah rencana yang komprehensif yang mengintegrasikan segala sumber daya dan kemampuan yang berjangka panjang untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan manajemen strategik adalah suatu proses yang continuous, iterative dan crossfunctional yang bertujuan untuk menjamin agar organisasi mampu menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan yang ada. Dalam
perkembangnnya,
konsep
manajemen
strategik
mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Penggunaan istilah strategi dalam lingkungan perusahaan bisnis modern berbeda dari arti strategi secara tradisional. Seperti diungkapkan Mintzberg dalam Zhang (2005), strategi dalam perusahaan bisnis modern sedikitnya diartikan ke dalam 5 pengertian, yaitu: rencana, pola (realisasi strategi), posisi; perspektif, dan siasat. Pembahasan mengenai strategi tersusun dalam tiga tahapan, yaitu: (1) strategic planning, (2) strategic management, dan (3) strategic thinking (Rowe, A.J., et.al., 1990). Perencanaan strategis (strategic planning) berfokus pada penyelarasan antara kekuatan internal dengan tuntutan eksternal yang melibatkan kecermatan dalam analisis, pengiraan dan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan finansial. Hasil analisis tersebut direduksi ke dalam rencana atau aksi secara detail. Manajemen Strategik (strategic management) merupakan penerapan proses strategic planning ke dalam pertimbangan-pertimbangan manajemen dan organisasi perusahaan dalam merumuskan sasaran dan tujuan, serta menentukan
52
kebutuhan-kebutuhan untuk implementasi dan perubahan. Sedangkan pemikiran strategis (strategic thinking) dapat dikatakan sebagai antisipasi atas perubahan yang terus menerus yang menuntut pendekatan yang lebih efektif dalam menjamin ketercapaian tujuan organisasi secara lebih konsisten di masa mendatang. Dengan kata lain, ia merupakan proses intuitif dan alamiah dalam berpikir, yang melihat sesuatu melalui kompetisi, mengantisipasi kecenderungan masa depan, dan secara komprehensif
memikirkan
perubahan-perubahan
yang
dibutuhkan
untuk
menghadapi tantangan di masa depan (Gaspersz, 2006: 7). Manajemen strategi sering dipandang sebagai suatu skenario atau "game plan" untuk mengembangkan usaha, mempertahankan atau memperbaiki posisi pasar, menarik dan memuaskan konsumen, berkompetisi dengan pesaing secara sukses, menjalankan operasi bisnis dan mencapai sasaran-sasaran strategis. Para manajer menjalankan manajemen strategik sebagai suatu proses dalam merumuskan dan mengimplementasikan strategi sebagai upaya menyediakan nilai bagi konsumen untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan. Manajemen strategik bertujuan untuk mengeksploitasi serta menciptakan berbagai peluang baru dan berbeda untuk masa depan. Hal ini berbeda dengan perencanaan jangka panjang, yang berusaha untuk mengoptimalkan kecenderungan-kecenderungan dewasa ini untuk hari esok (David, 2009). Hunger dan Wheelen (2003: 3) mengatakan bahwa manajemen strategik merupakan bidang ilmu yang berkembang dengan pesat. Ia muncul sebagai respon atas perubahan lingkungan yang begitu cepat. Bidang ilmu ini berusaha melihat pengelolaan perusahaan atau organisasi secara menyeluruh dan menjelaskan
53
mengapa beberapa perusahaan bisa berkembang dan maju dengan pesat, sementara yang lain tertinggal bahkan bangkrut. Ciri khusus manajemen strategik adalah penekanan pada pengambilan keputusan strategis yang memiliki karakteristik sebagai berikut. Petama, rare, yaitu keputusan-keputusan khusus yang tidak biasa dan tidak dapat ditiru. Kedua, consequential, yaitu keputusankeputusan yang melibatkan sumber daya penting dan menuntut banyak komitman. Ketiga, directive, yaitu keputusan-keputusan yang menetapkan langkah-langkah yang dapat ditiru untuk pengambilan keputusan dan tindakan di masa yang akan datang untuk organisasi secara keseluruhan. Manajemen strategik adalah proses untuk membantu organisasi dalam mengidentifikasi apa yang ingin mereka capai, dan bagaimana seharusnya mereka mencapai hasil yang bernilai (Hitt, dkk., 1997: xv). Dengan demikian, dalam pembahasan manajemen strategik, terdapat 3 pemikiran strategis tentang perusahaan/organisasi saat ini: (1) where are we now; (2) where do we want to go; (3) how will we get there. Pemikiran strategis merupakan dasar proses manajerial dalam manajemen strategik. David didefinisikan
(2009:
5)
sebagai
mengatakan
bahwa
seni
pengetahuan
dan
manajemen dalam
strategik
dapat
merumuskan,
mengimplementasikan, serta mengevaluasi keputusan-keputusan lintas-fungsional yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya. Dalam definisi tersebut tersirat bahwa manajemen strategik berfokus pada usaha untuk mengintegrasikan manajemen, pamasaran, keuangan/akuntansi, produksi atau operasi, penelitian dan
54
pengembangan, serta sistem informasi komputer untuk mencapai keberhasilan organisasional. Menurut Hunger dan Wheelen (2003), manajemen strategik adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Ia meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau jangka panjang), implementasi strategis, dan pengendalian atau evaluasi. Senada dengan itu, Pearce dan Robinson (1991) mendefinisikan manajemen strategik sebagai sekumpulan keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan. Alex Miller, seperti dikutip Indrajit dan Djokopranoto (2006), mengatakan bahwa: strategic management is a set of managerial skills that can and should be used throughout the organization in a wide variety of function (manajemen strategik adalah serangkaian keterampilan manajerial yang dapat dan harus digunakan organisasi dalam beragam fungsi). Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen strategik merupakan pengetahuan dan seni yang melandasi kemampuan pimpinan organisasi untuk menetapkan serangkaian keputusan yang meliputi perumusan atau perencanaan, penerapan/implementasi, serta pengawasan/evaluasi tindakantindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan/organisasi dalam jangka panjang. Tindakan-tindakan tersebut merupakan pilihan yang dipandang tepat, yang didasarkan pada penilaian terhadap kekuatan dan kelemahan ineternal
55
organisasi untuk diselaraskan dengan tuntutan berupa tantangan dan ancaman lingkungan eksternalnya. Tujuan dilakukannya tindakan-tindakan itu adalah untuk mencapai masa depan organisasi yang lebih baik. 2. Tahapan Manajemen Strategik Sejumlah penulis telah mengembangkan model-model tersendiri mengenai manajemen strategik. Mereka antara lain Pearce dan Robinson (1991), Hunger dan Wheelen (2003), serta Bryson (1991). Model-model tersebut secara umum memiliki kesamaan, namun secara khusus terdapat perbedaan antara satu model dengan yang lainnya, terutama dalam penempatan tahapan-tahapan tertentu. Seperti dikatakan David (2009: 22), dalam prakteknya, proses manajemen strategik tidak sejelas terbagi dan segamblang yang digambarkan oleh model. Para penyusun strategi tidak menjalankan prosesnya dalam bentuk yang sangat kaku, karena ada timbal balik antarlevel hirarki dalam sebuah organisasi. Dari berbagai model yang dikembangkan sejumlah penulis, proses manajemen strategik pada intinya terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu: perumusan/ perencanaan strategi, penerapan/implementasi strategi, serta penilaian/evaluasi strategi (Gambar 2.2). Aktivitas tahapan-tahapan manajemen strategik tersebut terjadi di setiap level hirarki organisasi. Pada organisasi besar misalnya, tahapan itu dilakukan di tingkat korporat, divisional atau unit bisnis strategis, dan fungsional (David, 2009: 7). Untuk sebuah perguruan tinggi, misalnya, aktivitas tahapan-tahapan manajemen strategik dilakukan di tingkat universitas (aljami’ah), fakultas, dan jurusan/program studi.. Dengan menjaga komunikasi dan interaksi antar pimpinan dan karyawan lintas tingkat hirarki, manajemen strategik
56
dapat membantu sebuah perusahaan/organisasi untuk menjadi suatu tim yang kompetitif. Adapun tahapan-tahapan manajemen strategik itu adalah sebagai berikut: a. Perumusan Strategi Perumusan Strategi adalah proses yang partisipatif, sistematis, dan berkelanjutan yang membantu sebuah organisasi untuk memusatkan semua kegiatan untuk pencapaian misinya dan memastikan bahwa semua staf-nya bekerja untuk pencapaian sasaran yang sama. Perencanaan mengarahkan antisipasi tindakan yang harus diambil untuk menciptakan kondisi yang diinginkan. Definisi kondisi yang diinginkan, demikian pula pemilihan arah serta tindakan-tindakan yang harus dilakukan, membentuk suatu bagian dari serangkaian keputusan dan tindakan yang akan dicapai secara sistematis dan terorganisir. Menurut Abe (2001, 43), perencanaan adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Dalam pengertian ini, termuat hal-hal yang merupakan prinsip dalam perencanaan, yakni : (1) apa yang akan dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi; (2) bagaimana mencapai hal tersebut; (3) siapa yang akan melakukan; (4) lokasi aktivitas; (5) kapan akan dilakukan, berapa lama; dan (6) sumber daya yang dibutuhkan.
57
Kekuatan/Trend Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi
Clients/ Payers/ Customers
Kompetitor/ Kolaborator
Audit Eksternal
Feedback
Kesempatan/ Ancaman Program
Mandat Membuat Kesepakatan
Isu-isu Strategis
Pilihan Strategis
Visi Organisasi
Misi/Nilai
Hasil & Evaluasi
Anggaran
Prosedur Kekuatan/ Kelemahan
Audit Internal Feedback Sumber Daya
Strategi saat ini
Kinerja
Manusia, Kompetensi Economi, Informasi
Keseluruhan/ Departemen
Hasil, Pengalaman
Perumusan Strategi
Implementasi Strategi
Evaluasi Strategi
Gambar 2.2. Tahap-tahap Manajemen Strategis
Sementara itu, Olsen dan Eadie dalam Bryson (1991) mendefinisikan perumusan
strategis
(strategic planning) sebagai
upaya disiplin
untuk
menghasilkan keputusan dan tindakan mendasar yang membentuk dan membimbing suatu organisasi (atau entitas lain) mengenai apa yang dilakukan dan mengapa melakukannya. Perencanaan strategis membutuhkan pengumpulan informasi dalam skala luas, eksplorasi alternatif, dan penekanan pada implikasi masa depan atas keputusan saat ini. Perumusan strategik dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi, mengakomodasi kepentingan-kepentingan dan nilai-
58
nilai yang berbeda, serta mendorong pengambilan keputusan yang teratur dan implementasi yang sukses. Dalam perumusan strategi, proses partisipatif adalah sama pentingnya dengan hasil akhir dari strategi itu sendiri yaitu strategi yang didokumentasikan. Semakin tinggi derajat keterlibatan dalam proses, semakin absah rencana strategis tersebut untuk dijadikan suatu dokumen yang mencerminkan misi keseluruhan organisasi. Dengan demikian, agar kegiatan perencanaan itu menjadi sah, maka perencanaan haruslah mencapai konsensus mengenai arah organisasi dengan menyediakan kesempatan untuk dilakukannya suatu dialog yang terbuka antar peserta yang terlibat agar tercipta suatu kesimpulan bersama. Untuk hal inilah maka penting agar semua perwakilan dari semua bagian organisasi terlibat dalam prosesnya (MacLeod, et.al., 2001) Para ahli perencanaan menegaskan bahwa perencanaan strategis formal memberikan manfaat yang pada akhirnya menghasilkan nilai ekonomi, nilai informasi, dan memberikan kepastian dalam menentukan pilihan yang layak. Ia menuntut perusahaan untuk mengevaluasi lingkungan serta merangsang ide-ide baru, sehingga dapat meningkatkan motivasi dan komitmen, meningkatkan intensitas komunikasi internal dan interaksi sosial, serta memiliki nilai simbolis bagi para stakeholder (Powell, 1992) Proses perumusan strategis dilakukan dengan langkah-langkah tertentu. Dari model-model yang dikemukakan di atas, model Bryson dipandang lebih komprehensif. Di samping itu, sebagaimana dikatakan penulisnya, model ini dipandang lebih sesuai untuk diterapkan pada organisasi nirlaba yang menjadi
59
fokus dalam penelitian ini. Secara umum, proses perumusan strategi meliputi kebijakan umum dan penentuan arah, penilaian lingkungan internal dan eksternal, perhatian
pada
stakeholder
utama,
identifikasi
masalah-masalah
kunci,
pengembangan strategi untuk menangani setiap masalah, pengambilan keputusan, tindakan, dan pemantauan hasil secara terus menerus (Bryson, 1991: 48). Adapun secara lebih terinci, proses ini meliputi 8 langkah sebagai berikut: Langkah pertama: Merintis dan Menyepakati Proses Perencanaan Strategis Tujuan dari langkah pertama adalah untuk menegosiasikan kesepakatan dengan pengambil keputusan atau pemimpin kunci internal (dan mungkin eksternal) tentang upaya keseluruhan perencanaan strategis dan perencanaan langkah-langkah kunci. Dukungan dan komitmen pengambil keputusan atau pemimpin kunci sangat penting jika perencanaan strategis ingin berhasil. Di samping itu, para pembuat keputusan kunci di luar organisasi biasanya sangat penting untuk dilibatkan bagi keberhasilan program-program publik jika implementasi akan melibatkan berbagai pihak dan organisasi (Bryson, 1991). Para penyusun strategi tersebut, menurut David (2009: 15), adalah individuindividu yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi. Mereka membantu dalam mengumpulkan, menganalisis serta mengorganisasi informasi. Di samping itu, mereka melacak kecenderungankecenderungan organisasi dan kompetitor, mengembangkan model peramalan dan analisis skenario, mengevaluasi kinerja perusahaan dan individual, mencari peluang-peluang pasar, mengidentifikasi ancaman, serta mengembangkan rancangan aksi yang kreatif.
60
Langkah kedua: Memperjelas Mandat Organisasi Mandat formal dan informal yang diberikan pada organisasi adalah "kemestian-kemestian" yang harus dihadapi. Tujuan langkah ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan sifat dan makna dari mandat eksternal yang diberikan, baik formal maupun informal, yang mempengaruhi organisasi. Tiga hasil yang harus dicari dari langkah ini: 1) Kompilasi dari mandat formal dan informal yang dihadapi oleh organisasi. 2) Interpretasi apa yang dibutuhkan dari pemberian mandate tersebut. 3) Klarifikasi tentang apa yang tidak diperintah oleh mandat, yaitu batas-batas tegas yang tidak boleh dilakukan. Salah satu manfaat dari langkah ini adalah untuk menemukan kejelasan tentang apa yang diamanatkan, dan akan meningkatkan kemungkinan bahwa mandat benar-benar akan dijalankan. Penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penentu yang paling penting dari pencapaian tujuan adalah kejelasan tujuan itu sendiri. Semakin spesifik tujuan, semakin besar kemungkinan mandat yang diberikan pada sebuah organisasi akan dicapai (Bryson, 1991: 95). Langkah ketiga: Memperjelas Misi dan Nilai Organisasi Sebuah misi organisasi, seiring dengan mandat yang diterimanya, menunjukkan raison d'etre, pembenaran sosial bagi keberadaannya (Bryson, 1991: 49). Untuk perusahaan atau badan pemerintah, atau untuk sebuah organisasi nirlaba, ini berarti harus ada kebutuhan sosial atau politik yang dapat diidentifikasi bahwa organisasi berusaha untuk memenuhi kebutuhan itu. Dengan kata lain, organisasi harus selalu dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan,
61
bukan tujuan itu sendiri. Masyarakat juga tidak harus dilihat sebagai tujuan, tetapi mereka harus membenarkan keberadaan organisasi berdasarkan seberapa baik ia dapat memenuhi kebutuhan sosial dan politik dari berbagai pihak, termasuk kebutuhan para stakeholder sebagai suatu “sense of community." Pernyataan misi, ungkap David (2009: 16), adalah pernyataan tujuan yang secara jelas membedakan suatu bisnis dari organisasi dengan organisasi lain yang sejenis. Ia menjawab pertanyaan mendasar yang harus dihadapi oleh para penyusun strategi: “Apakah bisnis kita ini?” Pernyataan misi yang jelas melukiskan nilai dan prioritas dari suatu organisasi. Hal itu secara umum menggambarkan arah masa depan organisasi yang bersangkutan. Sebelum mengembangkan pernyataan misi, organisasi harus menyelesaikan analisis stakeholder. Stakeholder didefinisikan sebagai setiap orang, kelompok, atau organisasi yang dapat menempatkan klaim pada perhatian, sumber daya, output, atau dipengaruhi oleh output organisasi. Perhatian kepada stakeholder sangat penting karena kunci sukses organisasi publik dan nirlaba adalah kepuasan stakeholder kunci. Analisis stakeholder yang sempurna akan memerlukan tim perencanaan strategis untuk mengidentifikasi para pemangku kepentingan, stakeholders, atau output organisasi, kriteria mereka untuk menilai kinerja organisasi, seberapa baik performa organisasi untuk kriteria tersebut, bagaimana pengaruh stakeholder terhadap organisasi, dan secara umum seberapa pentingnya keberadaan berbagai stakeholder tersebut. Analisis stakeholder yang sempurna juga harus mengidentifikasi apa kebutuhan organisasi dari berbagai stakeholder tersebut, misalnya: staf, uang, atau dukungan politik. Analisis stakeholder akan
62
membantu mengklarifikasi apakah organisasi harus memiliki misi dan strategi yang mungkin berbeda berbeda untuk stakeholder yang berbeda. Setelah menyelesaikan analisis stakeholder, para penyusun strategi dapat melanjutkan untuk pengembangan pernyataan misi dengan merespon ke enam pertanyaan sebagai berikut ini (David, 2009). 1) Siapakah kita sebagai organisasi (atau komunitas)? 2) Apa kebutuhan mendasar bagi kehidupan sosial atau politik yang harus kita penuhi, atau apa masalah mendasar bagi lingkungan sosial atau politik yang harus kita jawab? 3) Apa yang harus kita lakukan untuk mengenali atau mengantisipasi dan menanggapi kebutuhan atau masalah tersebut? 4) Bagaimana seharusnya kita menanggapi stakeholder? 5) Apa filosofi dan nilai-nilai inti kita? Kejelasan tentang filosofi dan nilainilai inti akan membantu organisasi mempertahankan integritas. Selain itu, karena hanya mereka yang konsisten dengan filosofi strategi organisasi dan nilai-nilai yang mungkin untuk bekerja, respon terhadap pertanyaan ini juga membantu organisasi memilih strategi yang efektif. 6) Apa yang membuat kita berbeda atau unik? Karena, jika tidak ada yang unik atau khusus tentang organisasi, mungkin seharusnya organisasi itu tidak ada.
Langkah keempat: Menilai Lingkungan Eksternal Tim perencanaan harus mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi organisasi. Pada dasarnya, faktor "intern" berada dalam pengendalian organisasi, sedangkan faktor "ekstern" berada di luar pengendalian organisasi. Peluang dan ancaman dapat diketahui dengan memantau berbagai kecenderungan politik, kekuatan ekonomi, sosial, dan teknologi (PEST). Di samping itu, juga meliputi munculnya aturan perundangundangan yang baru, atau pengenalan produk baru dari pesaing (David, 2009: 17). Selain pemantauan PEST di atas, tim perencanaan strategis juga harus memantau berbagai kelompok stakeholder, termasuk klien, pelanggan, pembayar,
63
pesaing, atau kolaborator. Indrajit dan Djokopranoto (2006: 67) membagi komponen-komponen di atas menjadi lingkungan sosial dan lingkungan tugas. Lingkungan sosial (PEST), ialah elemen atau kelompok umum yang tidak berdampak atau dipengaruhi langsung oleh operasi organisasi, namun dapat saling mempengaruhi dalam jangka panjang. Sedangkan lingkungan tugas adalah kelompok yang berdampak atau dipengaruhi langsung oleh operasi organisasi, seperti berbagai kelompok stakeholder di atas. Langkah kelima: Menilai Lingkungan Internal Untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan internal, organisasi dapat memantau sumber daya (input), strategi yang dilakukan (proses), dan kinerja (output) saat ini. Idealnya, lanjut Indrajit dan Djokopranoto, langkah kelima ini mendorong dilakukannya pengembangan sistem informasi manajemen (SIM) yang efektif, yang mencakup kategori masukan, proses, dan output. Sebuah SIM yang efektif tidak harus terlalu birokratis atau berbelit-belit. Diskusi serius antara para pembuat keputusan kunci dan pendapat pemimpin tentang kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman adalah salah satu hasil yang paling penting. Ketiadaan informasi kinerja dapat menciptakan dan menyuburkan konflik dalam organisasi. Hal ini karena tanpa kriteria dan informasi kinerja, tidak ada cara untuk mengevaluasi efektivitas relatif dari strategi alternatif, alokasi sumber daya, desain organisasi, dan distribusi kekuasaan. Akibatnya, konflik organisasi cenderung terjadi lebih sering dari yang seharusnya, organisasi hanya melayani kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, dan menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang tidak mengarah pada misi organisasi (Bryson, 1991: 55).
64
Langkah keenam: Mengidentifikasi Isu-isu Strategis Perencanaan
Strategis
berfokus
pada
pencapaian
terbaik
dalam
menyelaraskan antara organisasi dengan lingkungannya. Perhatian terhadap mandat dan lingkungan eksternal, karenanya, dapat dianggap sebagai perencanaan dari luar ke dalam. Sedangkan perhatian untuk misi dan nilai-nilai dan lingkungan internal dapat dianggap perencanaan dari dalam ke luar. Merupakan hal yang sangat penting bahwa isu-isu strategis harus ditangani dengan cepat dan efektif jika organisasi ingin bertahan hidup dan sejahtera. Terdapat tiga pendekatan mendasar untuk mengidentifikasi isu-isu strategis: pendekatan langsung, pendekatan tujuan, dan pendekatan “visi keberhasilan” (Barry, 1986). Pendekatan langsung merupakan pilihan terbaik bagi sebagian besar lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga publik pada umumnya. Pendekatan ini akan melibatkan langsung penelaahan atas mandat, misi, dan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT) untuk identifikasi isu-isu strategis. Pendekatan langsung adalah yang terbaik bila tidak ada kesepakatan tentang tujuan, atau jika tujuan yang telah disepakati terlalu abstrak untuk digunakan. Pendekatan ini juga bekerja dengan baik bila tidak ada otoritas hirarkis yang bisa memaksakan tujuan pada aktor-aktor lain. Akhirnya, yang terbaik adalah ketika lingkungan itu begitu turbulen, sehingga tindakan terbatas sebagai respons terhadap masalah-masalah tampak lebih baik untuk pengembangan sasaran dan tujuan atau visi yang dapat ditampilkan dengan cepat. Pendekatan tujuan adalah lebih sesuai dengan teori perencanaan konvensional, yang menegaskan bahwa organisasi harus menetapkan tujuan dan
65
sasaran untuk dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan strategi untuk mencapainya. Pendekatan ini dapat bekerja efektif jika terdapat kesepakatan pada tujuan dan sasaran organisasi, dan jika terdapat pedoman yang cukup rinci dan spesifik untuk pengembangan strategi. Pendekatan ini juga dapat diharapkan bekerja ketika struktur otoritas hirarki dengan para pemimpin di bagian atasnya dapat memaksakan tujuan pada bagian sistem lainnya. Isu-isu strategis kemudian akan melibatkan bagaimana cara terbaik untuk menerjemahkan tujuan dan sasaran ke dalam tindakan. Pendekatan ini lebih mungkin dilakukan dalam satu fungsi organisasi publik atau nirlaba dari multi-organisasi, atau situasi multi-fungsional. Pendekatan visi keberhasilan merupakan pendekatan yang dilakukan ketika organisasi mengembangkan gambar diri yang "terbaik" atau "ideal" di masa depan karena berhasil memenuhi misinya. Isu-isu strategis kemudian ditekankan pada bagaimana organisasi harus bergerak dari cara saat ini untuk membentuk diri dan berperilaku sesuai dengan visinya. Pendekatan visi sukses yang paling baik adalah jika sulit untuk mengidentifikasi isu-isu strategis secara langsung; jika tidak ada kesepakatan yang rinci dan spesifik tentang keberadaan tujuan dan sasaran serta pengembangannya; dan perubahan drastis yang bagaimana yang mungkin diperlukan.
Sebagaimana
konsepsi
mendahului
persepsi
(May,
1969),
pengembangan visi dapat memberikan konsep untuk memungkinkan anggota organisasi dapat melihat perubahan yang diperlukan. Pendekatan ini juga lebih mungkin untuk diterapkan pada organisasi nirlaba dari sebuah organisasi sektor publik.
66
Bryson (1990) berpendapat bahwa pilihan terbaik untuk digunakan atau dilakukan dengan baik dari ketiga pendekatan di atas tergantung pada situasi, dan bahwa perencana harus bijak menilai faktor situasional yang dibahas di atas dan memilih pendekatan yang sesuai. Langkah ketujuh: Merumuskan Strategi untuk Mengelola Isu-isu Strategi didefinisikan sebagai suatu pola tentang tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber daya yang menentukan keberadaan sebuah organisasi, apa yang harus dilakukannya, dan mengapa melakukannya. Strategi dapat bervariasi menurut tingkat, fungsi, dan kerangka waktu. Definisi ini secara luas mencakup: untuk memusatkan perhatian pada penciptaan konsistensi terhadap retorika (apa yang dikatakan orang), pilihan (apa yang diputuskan orang dan membuat mereka bersedia untuk membayar), dan tindakan (apa yang dilakukan orang). Perumusan strategi dan proses implementasi yang efektif akan menghubungkan retorika, pilihan, dan tindakan menjadi pola yang koheren dan konsisten di seluruh tingkatan, fungsi, dan waktu (Bromiley, 1986). Sebuah strategi yang efektif harus memenuhi beberapa kriteria. Ia secara teknis harus dapat dilaksanakan, secara politik diterima stakeholder kunci, dan harus sesuai dengan filosofi dan nilai-nilai inti organisasi. Strategi itu harus memenuhi nilai-nilai etika, moral, dan hukum. Ia juga harus selaras dengan isu-isu strategis yang menjadi alasan atas dilakukannya strategi tersebut.
67
Langkah kedelapan: Merumuskan Visi Organisasi Pada
tahap
akhir
dari
proses
perumusan
strategi,
organisasi
mengembangkan gambaran tentang apa yang seharusnya terlihat seandainya ia berhasil menerapkan strategi dan mencapai potensi penuh. Deskripsi ini merupakan "visi kesuksesan" organisasi (Taylor, 1984). Biasanya disertakan dalam deskripsi tersebut misi organisasi, strategi dasar, kriteria kinerja, beberapa aturan keputusan penting, dan standar etika yang diharapkan dari semua karyawan. Agar visi tersebut diketahui dan disepakati secara luas di dalam organisasi, biarkan anggota organisasi untuk mengetahui apa yang diharapkan dari mereka tanpa perlu pengawasan manajerial langsung. Anggota bebas untuk bertindak atas inisiatif mereka sendiri atas nama organisasi. Hasilnya harus dapat memobilisasi dan mengarahkan energi seluruh anggota untuk mengejar tujuan organisasi, dan mengurangi kebutuhan untuk pengawasan langsung. b. Implementasi Strategi Proses manajemen strategik tidak berakhir ketika organisasi telah memutuskan strategi-strategi apa yang akan dijalankan. Harus ada perwujudan pemikiran strategis ke dalam tindakan strategis. Perwujudan ini jauh lebih mudah jika manajer dan karyawan perusahaan memahami bisnis, merasa sebagai bagian dari perusahaan, dan – melalui berbagai keterlibatan dalam berbagai aktivitas perumusan strategis, mereka menjadi lebih berkomitmen untuk membantu keberhasilan organisasi. Tanpa pemahaman dan komitmen, upaya penerapan strategi akan menghadapi masalah yang berat (David, 2009: 286).
68
Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006: 73), implementasi strategi adalah kegiatan manajemen untuk menerjemahkan strategi dan kebijaksanaan ke dalam aktivitas melalui pengembangan dan pembuatan program, penyusunan anggaran, dan pembuatan prosedur. Proses ini mungkin memerlukan perubahan dalam budaya, struktur dan prosedur, tetapi mungkin pula tidak. 1) Penyusunan Program Program
merupakan
pengadaan
aktivitas
nyata
dan
jelas
untuk
melaksanakan setiap jenis rencana atau menerjemahkan strategi ke dalam aktivitas nyata. Oleh sebab itu, program perlu dibuat dalam jangka panjang (5 tahun atau lebih), jangka menengah (2 sampai 4 tahun), dan jangka pendek (1 tahun). Penetapan tujuan tahunan (establishing annual objectives) merupakan sebuah aktivitas terdesentralisasi yang secara langsung melibatkan seluruh manajer dalam sebuah organisasi. Partisipasi aktif dalam penetapan tujuan tahunan dapat menghasilkan penerimaan dan komitmen. Tujuan tahunan (annual objectives) penting bagi penerapan strategi, karena: (a) merupakan landasan untuk alokasi sumber daya; (b) merupakan mekanisme utama untuk mengevaluasi manajer; (c) merupakan instrumen utama untuk memonitor kemajuan ke arah pencapaian tujuan jangka panjang; dan (d) menetapkan prioritas organisasional, divisional, dan departemental (David, 2009: 389) 2) Pembuatan Anggaran Anggaran merupakan penerjemahan program dalam bentuk uang secara terinci dan dalam kurun waktu tertentu. Anggaran yang lengkap terdiri atas anggaran pendapatan dan anggaran pengeluaran. Dalam perusahaan, pembuatan
69
anggaran dilengkapi pula dengan proyeksi keuntungan, sehingga ROI (return on investment) dapat diproyeksikan dan dihitung. Sedangkan dalam organisasi nirlaba, barangkali bukan keuntungan yang diproyeksikan, tetapi sisa hasil usaha. Dalam organisasi perguruan tinggi, misalnya, sisa hasil usaha dapat diproyeksikan, direncanakan, dan dihitung. Sisa hasil usaha diperlukan untuk mengembangkan misi perguruan tinggi, bukan untuk kepentingan pribadi. Dalam studi kelayakan, perhitungan anggaran perlu pula disertakan untuk mengetahui layak-tidaknya suatu proyek dari segi keuangan yang dapat dikatahui sebelumnya (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 75). 3) Pembuatan Prosedur Prosedur adalah aturan atau teknik pelaksanaan sistem secara langkah demi langkah untuk melaksanakan suatu aktivitas tertentu. Di perusahaan, prosedur seringkali dinamakan SOP (standard operating procedure). Prosedur dapat dibuat untuk berbagai kegiatan perusahaan, seperti kegiatan teknis, administrasi, marketing, logistik, keuangan, produksi, transportasi, dan sebagainya. Sedangkan dalam dunia perguruan tinggi, prosedur dibuat, misalnya, untuk rekruitmen, pengiriman dosen untuk belajar lanjut, penggantian biaya kuliah dosen, dan sebagainya (Indrajit dan Djokopranoto, 2006) c. Evaluasi Strategi Strategi yang dirumuskan dan diterapkan dengan cara terbaik sekalipun, akan menjadi usang manakala lingkungan eksternal dan internal organisasi berubah. Oleh karenanya menjadi hal yang penting bagi para penyusun strategi
70
untuk secara sistematis mengkaji ulang, mengevaluasi, dan mengendalikan pelaksanaan strategi. Evaluasi strategi merupakan hal yang vital bagi kebaikan suatu organisasi. Evaluasi yang sesuai bisa menyadarkan manajemen akan masalah atau potensi masalah sebelum situasi menjadi kritis. Evaluasi strategi meliputi tiga aktivitas pokok (David, 2009: 500): (1) penyelidikan atas landasan yang mendasari strategi perusahaan, (2) pembandingan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sebenarnya, dan (3) pengambilan tindakan korektif untuk memastikan bahwa kinerja sesuai dengan rencana. Umpan balik yang memadai dan tepat waktu merupakan batu pertama evaluasi strategi. Evaluasi strategi bisa jadi tidak lebih baik daripada informasi yang menjadi dasarnya. Tekanan yang terlalu besar dari manajer puncak bisa mendorong para manajer tingkat bawah merekayasa angka yang menurut mereka akan terlihat memuaskan. 1) Kriteria Evaluasi Richard Rumel, sebagaimana dikutip David (2009: 501), memberikan empat kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi suatu strategi, yaitu: konsistensi, kesesuaian, kelayakan, dan keunggulan. Kesesuaian (consonance) dan keunggulan (advanted) terutama didasarkan pada penilaian eksternal perusahaan, sedangkan konsistensi (consistency) dan kelayakan (feasibility) terutama didasarkan pada penilaian internal perusahaan.
71
(a) Konsistensi Sebuah strategi tidak boleh menunjukkan tujuan dan kebijakan yang tidak konsisten. Konflik organisasi dan pertikaian antara departemen seringkali merupakan gejala gangguan manajerial, tetapi persoalan ini juga bisa menandakan ketidak-konsistenan strategi. Terdapat tiga pedoman yang menentukan apakah persoalan organisasi disebabkan oleh ketidak-konsistenan dalam strategi: • Jika persoalan manajerial terus berlangsung meskipun ada perubahan personel, dan jika persoalan tersebut lebih cenderung berbasis isu alih-alih berbasis orang, maka bisa disimpulkan bahwa telah terjadi ketidakkonsistenan strategi; • Jika keberhasilan suatu departemen organisasi diartikan, atau menunjukkan kegagalan departemen lain, maka strategi itu barangkali tidak konsisten. • Jika persoalan dan isu kebijakan terus didorong ke atas untuk mendapatkan resolusi, strateginya bisa jadi tidak konsisten. (b) Kesesuaian Kesesuaian mengacu pada perlunya penyusunan strategi untuk mencermati serangkaian kecenderungan (sets of trends), termasuk kecenderungan individual, dalam mengevaluasi strategi. Sebuah strategi harus mewakili respons adaptif terhadap lingkungan eksternal dan terhadap perubahan penting yang terjadi di dalamnya. Satu kesulitan dalam mencocokkan faktor-faktor internal dan eksternal utama suatu organisasi dalam perumusan strategi adalah bahwa kebanyakan kecenderungan merupakan hasil interaksi antar-kecenderungan.
72
(c) Kelayakan Strategi tidak boleh menguras seluruh sumber daya yang tersedia atau menciptakan cabang-cabang persoalan yang tidak terpecahkan. Uji terakhir dari strategi adalah kelayakannya. Hal itu berarti, bisakah suatu strategi diusahakan dalam sumber daya fisik, sumber daya manusia, dan sumber daya keuangan yang dimiliki suatu bisnis? Sumber daya keuangan merupakan hal termudah untuk diidentifikasi dan umumnya merupakan batasan pertama bagi evaluasi strategi. Sedangkan batasan yang lebih tidak terukur dan lebih sulit atas pilihan strategis adalah yang dimunculkan oleh kemampuan individual dan organisasional. Dalam mengevaluasi strategi, penting untuk mengamati apakah sebuah organisasi di masa lalu telah menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan, kompetensi, keterampilan, dan talenta yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu strategi tertentu. (d) Keunggulan Keunggulan merupakan hasil dari pengembangan kompetensi inti organisasi. Kompetensi inti ini bersumber dari kemampuan organisasi di dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Di era persaingan ini, para manajer atau pemimpin organisasi ditantang untuk mengerti nilai strategis sumber daya organisasinya, baik yang berwujud (tangible resources) maupun yang tidak berwujud (intangible resources). Nilai strategis sumber daya (strategic value of resources) diindikasikan oleh sejauh mana kontribusinya terhadap pengembangan kemampuan, kompetensi inti, dan akhirnya keunggulan bersaing organisasi (Hitt, et.al., 1997: 82).
73
Sebuah strategi harus memfasilitasi upaya menciptakan dan atau mempertahankan keunggulan kompetitif di bidang aktivitas tertentu. Keunggulan kompetitif biasanya merupakan hasil keunggulan dari salah satu bidang: (1) sumber daya, (2) keterampilan, dan (3) posisi. Posisi memainkan peran yang penting dalam strategi oragnisasi. Begitu diperoleh, dan dipertahankan, ia akan menghalangi pesaing untuk menyerang dengan kekuatan penuh. Keunggulan posisional cenderung bertahan dengan sendirinya selama faktor-faktor internal dan lingkungan utama yang mendasarinya tetap stabil. Karakteristik utama dari posisi yang baik adalah yang memungkinkan perusahaan mencapai keunggulan dari berbagai kebijakan yang tidak akan sama menguntungkannya bagi pesaing yang tidak memiliki posisi yang sama (David, 2009: 503). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para manajer perusahaan, sumber keunggulan organisasi lebih banyak ditentukan oleh sumberdaya tak berwujud, dalam hal ini adalah reputasi dalam hal mutu (Hitt, et.al., 1997: 5). Oleh karena itu, dalam evaluasi strategi, organisasi harus mencermati hakikat keunggulan posisional yang terkait dengan strategi tertentu. 2) Kerangka Kerja Evaluasi Strategi (a) Mengkaji Ulang Landasan Strategis Menurut David (2009: 507), banyak fakor eksternal dan internal dapat menghambat perusahaan untuk meraih tujuan jangka panjang dan tujuan tahunannya. Secara eksternal, perubahan permintaan, perubahan teknologi, perubahan ekonomi, pergeseran demografis, dan tindakan pemerintah bisa menghambat pencapaian tujuan. Sementara itu, secara internal, strategi yang tidak
74
efektif mungkin telah dipilih, atau aktivitas penerapannya buruk. Tujuan mungkin terlalu optimis. Dengan demikian, kegagalan untuk mencapai tujuan kiranya bukan disebabkan oleh kinerja manajer dan karyawan yang tidak memuaskan. Oleh karenanya, perubahan peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang mewakili landasan strategi saat ini harus terusmenerus dimonitor. Pertanyaan sesungguhnya bukan pada apakah faktor-faktor ini akan berubah, tetapi kapan mereka akan berubah dan dengan cara bagaimana. Beberapa pertanyaan penting untuk dijawab pada evaluasi strategi antara lain: a) Apakah kekuatan internal kita masih akan menjadi kekuatan? b) Apakah kita memperoleh tambahan kekuatan internal? Jika ya, apa saja? c) Apakah kelemahan internal kita masih menjadi kelemahan? d) Apakah kita memiliki kelemahan internal yang lain? Jika ya, apa saja? e) Apakah saat ini ada peluang-peluang eksternal yang lain? Jika ya, apa saja? f)
Apakah kini muncul ancaman-ancaman eksternal yang lain? Jika ya, apa saja? (b) Mengukur Kinerja Organisasi Mengukur kinerja organisasi (measuring organizational performance)
mencakup: (1) pembandingan hasil yang diharapkan dengan hasil yang sebenarnya, (2) penyelidikan terhadap penyimpangan dari rencana, (3) evaluasi kinerja individual, dan (4) pengamatan kemajuan yang telah dibuat ke arah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (David, 2009: 509). Kriteria untuk mengevaluasi strategi harus terukur dan mudah dievaluasi. Kriteria yang memprediksi hasil kiranya lebih penting daripada menunjukkan apa
75
yang sudah terjadi. Evaluasi strategi didasarkan baik pada kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif. Dalam hal ini, Seymour Tilles, ungkap David, menyebutkan enam pertanyaan kualitatif yang bermanfaat dalam evaluasi strategi: 1) Apakah strategi konsisten dengan lingkungan internal maupun eksternal? 2) Apakah strategi tepat bila dihadapkan dengan sumber daya yang tersedia? 3) Apakah strategi melibatkan tingkat resiko yang bisa diterima? 4) Apakah strategi mempunyai kerangka waktu yang benar dan bisa dijalankan? (c) Mengambil Tindakan Korektif Mengambil tindakan korektif (taking corrective actions) membutuhkan perubahan secara menyeluruh dalam memposisikan ulang perusahaan demi masa depan. Misalnya perubahan struktur organisasi, pergantian satu atau lebih karyawan penting, atau revisi misi bisnis. Juga bisa berupa penetapan atau revisi tujuan, penciptaan kebijakan baru, pengalokasian sumber daya yang berbeda, atau pengembangan insentif kinerja yang baru. Mengambil tindakan korektif tidak selalu bahwa strategi yang ada saat ini ditinggalkan atau bahkan merumuskan strategi baru (David, 2009: 512).
76
1. Mengkaji Ulang Landasan yang Mendasari Strategi Buat revisi Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE)
Buat revisi Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)
Bandingkan Matriks IFE yang sudah direvisi dengan yang sudah ada
Bandingkan Matriks EFE yang sudah direvisi dengan yang sudah ada
Apakah ada perbedaan yang signifikan?
Ya
2. Mengukur Kinerja Organisasi Bandingkan kemajuan pencapaian tujuan yang direncanakan dengan kenyataan
Apakah ada perbedaan yang signifikan?
Tidak
3. Ambil Tindakan Korektif
Tidak
Ya
Lanjutkan arah saat ini
Gambar 2.3. Kerangka Kerja Evaluasi Strategi Sumber: David (2009: 508)
Evaluasi strategi bisa mengarah pada perubahan perumusan strategi, perubahan penerapan strategi, perubahan baik dalam perumusan maupun penerapan strategi, atau tidak pada perubahan apapun. Tidak ada organisasi yang mampu menghindari perubahan. Mengambil tindakan korektif diperlukan untuk membuat organisasi tetap berada di jalur yang mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Mengambil tindakan korektif bisa menimbulkan kekhawatiran karyawan dan manajer. Riset menunjukkan bahwa pertisipasi dalam aktivitas evaluasi
77
strategi adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi resistensi individual terhadap perubahan. Menurut Erez dan Kanfer, dalam David (2009), individu paling mampu menerima perubahan jika mereka memiliki pemahaman kognitif mengenai perubahan tersebut, sense of control atas situasi, dan kesadaran bahwa tindakan tertentu akan diambil untuk menerapkan perubahan. 3. Implementasi Manajemen Strategik di Perguruan Tinggi Pembahasan mengenai manajemen strategik perguruan tinggi dalam tulisan ini dimaksudkan pada perguruan tinggi negeri yang termasuk kategori organisasi nirlaba, yaitu organisasi yang didirikan dengan tujuan utamanya bukan untuk mencari keuntungan bagi pendirinya. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan sebagian kecil perguruan tinggi yang lebih cenderung disebut sebagai perusahaan komersial sebagaimana perusahaan bisnis lainnnya dengan tujuan mencari keuntungan finansial bagi pendirinya. Gambaran yang paling membedakan antara organisasi nirlaba dengan organisasi nirlaba lainnya, demikian pula dengan perusahaan pencari laba, adalah sumber penerimaan. Perusahaan pencari laba sangat tergantung pada penerimaan yang diperoleh dari penjualan barang-barang dan jasa kepada para pelanggannya, yang biasanya membayar atas biaya dan pengeluaran untuk penyediaan produk atau jasa ditambah dengan laba tertentu. Sebaliknya, organisasi nirlaba sangat tergantung kepada iuran, kewajiban, dan sumbangan dari anggotanya, atau pembiayaan dari pemerintah untuk membayar seluruh biaya dan pengeluarannya (Hunger dan Wheelen, 2003: 533-534).
78
Sumber Penerimaan 100%
Berasal dari Sponsor Penerimaan
Berasal dari Klien/Pelanggan 0% (A) Sepenuhnya didanai Penerima Jasa Layanan
(B) Sebagian besar didanai Penerima Jasa Layanan
(C) Sebagian kecil didanai Penerima Jasa Layanan
(A)
(B)
(C)
(D) Tidak didanai Penerima Jasa Layanan
(D)
Pola Pengaruh Pelanggan/Klien
Sponsor
Klien
(A) = Organisasi Pencari Laba (B) = Universitas Swasta (C) = Universitas Negeri (D) = Badan Amal, Lembaga Sosial Pemerintah
Sponsor
Klien
Sponsor
Klien
Hubungan langsung Hubungan tidak langsung
Gambar 2.4. Pengaruh sumber-sumber Penerimaan terhadap Pola Pengaruh Klien Organisasi Sumber: Thomas L. Wheelen dan J. David Hunger (2003)
Pola pengaruh pada pengambilan keputusan strategis tergantung pada sumber-sumber penerimaan di atas (Gambar 2.4). Bagi perusahaan pencari laba, hubungan antara perusahaan dengan pelanggan atau klien biasanya sederhana dan langsung. Perusahaan cenderung tergantung sepenuhnya pada penjualan produk atau jasa mereka kepada pelanggan untuk memperoleh penerimaan. Karena itu mereka sangat tertarik untuk menyenangkan pelangannya. Para pelanggan berada dalam posisi secara langsung mempengaruhi proses pengambilan keputusan organisasi (ditunjukkan dengan garis tidak terputus-putus). Oleh karena itu, bisnis tersebut dikatakan berorientasi pasar.
79
Sebaliknya, perguruan tinggi negeri sangat tergantung pada pemerintah untuk pendanaannya. Uang kuliah mahasiswa dan dana-dana yang berasal dari klien lainnya relatif kecil dibanding total penerimaan yang ada. Oleh karena itu, pengambilan keputusan perguruan tinggi tersebut sangat dipengaruhi oleh sponsor, dalam hal ini pemerintah (ditunjukkan dengan garis tidak terputusputus). Dalam situasi seperti ini, organisasi cenderung mengukur efektivitasnya dari kepuasan sponsor. Organisasi tidak memiliki ukuran yang nyata dalam efisiensi selain dari kemampuannya untuk membawa misinya dan mencapai sasaran-sasarannya dalam kontribusi rupiah yang diterima dari para sponsornya. Dengan mengesampingkan prosentase total pembiayaan yang dihasilkan dari klien, pihak klien dapat berusaha untuk tidak secara langsung mempengaruhi organisasi nirlaba melalui sponsornya (digambarkan dengan garis terputus-putus). Dalam hal ini, para mahasiswa di perguruan tinggi negeri dapat melobi pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, atau melakukan demonstarsi untuk mendorong perubahan-perubahan yang mereka inginkan (Hunger dan Wheelen, 2003: 235). Kebanyakan organisasi nirlaba, termasuk perguruan tinggi, kemungkinan besar tidak menggunakan manajemen strategik kerena konsep, teknis, dan solusisolusinya tidak dapat menolong organisasi tersebut dalam situasi ketika sponsorlah, bukan pasar, yang menentukan pendapatan yang diterima organisasi. Namun, apabila organisasi tersebut lebih berorientasi pasar, klien membayar dengan prosentasi yang lebih besar untuk program-program independen,
80
manajemen strategik menjadi lebih dapat diaplikasikan dan meningkat penggunaannya (Ferlie, 1992 dalam Hunger dan Wheelen, 2003: 537) Wilopo (2002) menguraikan dua tantangan besar yang dihadapi organisasi sektor publik dalam menerapkan teknik-teknik manajemen strategik yang berasal dan bersumber dari sektor bisnia. Dua tantangan tersebut adalah: Pertama, sulit terpenuhinya aspek konsistensi kebijakan jangka panjang yang dibutuhkan untuk mengakomodasi perubahan organisasi atas perencanaan dan implementasi, dimana perubahan tersebut sering dipicu oleh munculnya tehnik-tehnik baru manajemen. Perhatian secara umum terhadap proses politik di negara, ketika para politikus lebih memperhatikan atau terfokus pada persoalan-persoalan jangka pendek, menjadi hal yang bertentangan dengan kebutuhan terhadap konsistensi yang seharusnya berfokus pada persoalan strategis jangka panjang. Kedua, model-model akutabilitas organisasi sektor bisnis di era modern relatif sederhana. Direktur Eksekutif bertanggungjawab kepada Badan Komisaris terhadap dua hal yaitu Formulasi Strategi (termasuk tujuan dan prioritas strategi organisasi) dan Implementasi Strategi. Sedangkan pada organisasi publik, model akutabilitasnya
lebih
kompleks.
Kompleksitas
itu
dicirikan
oleh
pertanggungjawaban atas Formulasi Strategi (dalam model kebijakan dan prioritas strategi) dipegang oleh Pimpinan Politik (political leadership), sementara pertanggungjawaban atas implementasi strategi dari keseluruhan kebijakan tersebut berada di tangan Pimpinan Eksekutif (executive leadership). Pembagian tanggungjawab tersebut secara desain telah melahirkan konflik dan penghindaran tanggung jawab (Pierre, 1995). Kondisi ini telah menempatkan hubungan
81
strategik antara pimpinan politik dan ekskutif pada satu wilayah yang membutuhkan suatu mekanisme yang dapat mengelola hubungan tersebut melalui proses manajemen strategik yang lebih efektif (Poister dan Streib, 1999; Stewart, 1996). “Sistem kepemimpinan” harus diakomodasi dalam Sistem Manajemen Strategik guna mensinergikan kedua kutub kepemimpinan agar lebih mengarah pada wilayah produktivitas dan bukan ke wilayah kontraproduktif. Apabila hal tesebut tidak dapat tercapai, maka ide ‘Public Management’ sebagai sebuah aktivitas yang melibatkan determinasi strategi dan tujuan, menjadi tidak realistik (Stewart, 1996). Kenyataan ini berbeda bahkan bertolak belakang dengan “Public Administration” yang lebih memperhatikan aspek menjaga dan merawat (maintenance) proses dan peraturan (Hughes, 1992). Di tempat lain, Newman dan Wallender dalam Hunger dan Wheelen (2003) mengidentifikasi lima karakteristik organisasi yang dapat membatasi dan memepengaruhi penggunaan manajemen strategik. Kelima karakteristik itu ada pada organisasi nirlaba atau organisasi pencari laba, namun frekuensi dan dampak yang lebih kuat dari karakteristi-karakteristik tersebut lebih besar dalam organisasi nirlaba. Kelima karakteristik itu adalah sebagai berikut: •
Jasa layanan sering tidak berwujud dan sulit diukur. Hal ini seringkali dipersulit dengan keberadaan berbagai sasaran layanan yang dikembangkan dalam upaya memuaskan berbagai sponsornya.
•
Pengaruh klien terhadap organisasi mungkin lemah. Kondisi tersebut dikarenakan organisasi sering memiliki monopoli lokal dan atau
82
pembayaran dari para klien mungkin hanya sejumlah kecil dari sumber pendanaan. •
Kuatnya komitmen karyawan pada profesi atau pada suatu perkara. Keadaan demikian dapat mengurangi kesetiaan mereka terhadap organisasi yang mempekerjakannya.
•
Sumber daya para kontributor dapat mengganggu manajemen internal organisasi. Khususnya kontributor dana dan pemerintah.
•
Banyaknya batasan dalam menggunakan sistem penghargaan dan pemberian hukuman. Hal tersebut merupakan akibat dari karakteristik 1, 3, dan 4. Kelima karakteristik kendala itu dapat mempengaruhi oraganisasi nirlaba
dalam penggunaan manajemen strategik. Hal itu muncul dalam setiap tahapan manajemen strategik yang meliputi perumusan, penerapan, dan evaluasi strategis, sebagaimana dipaparkan Hunger dan Wheelen (2003: 538-541) di bawah ini. a) Kendala dalam Perumusan Strategi Sedikitnya terdapat empat masalah dalam perumusan strategi yang menambah lima karakteristik kendala organisasi di atas. Keempat masalah itu adalah: 1) Konflik tujuan yang mengganggu perencanaan yang rasional. Hal itu disebabkan organisasi nirlaba biasanya tidak memiliki kriteria kinerja tunggal yang jelas (seperti laba), sehingga sulit untuk mempertemukan tujuan dan sasaran. Ketidaksesuaian terjadi ketika berbagai kepentingan
83
sponsor menghalangi manajemen puncak dalam menetapkan suatu misi organisasi yang meliputi berbagai hal. Pada organisasi-organisasi tertentu, berkurangnya pengaruh klien menyebabkan adanya perbedaan nilai dan sasaran tanpa ada pengecekan yang jelas terhadap pasar. 2) Fokus perencanaan yang terintegrasi cenderung bergeser dari hasil yang akan dicapai kepada sumber daya yang tersedia. Perencanaan dalam organisasi nirlaba lebih berhubungan dengan ketersediaan sumber daya, yang lebih mudah diukur, daripada jasa layanannya yang sulit diukur. Karenanya, organisasi jarang memiliki garis batas kinera yang jelas, bahkan terjadinya perubahan tujuan menjadi lebih pasti dibandingkan dengan organisasi pencari laba. 3) Sasaran-sasaran proses operasi yang memiliki arti ganda melahirkan kemungkinan terjadinya politik internal dan perubahan tujuan. Kombinasi sasaran yang tidak jelas dan besarnya perhatian yang diberikan pada sumber daya yang ingin diperoleh, membuat para manajer memiliki peluang yang cukup luas dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya. Peluang-peluang tersebut
memungkinkan
mereka
melakukan
manuver
politik
bagi
kepentingan seseorang. Masalah ini dipersulit dengan fakta bahwa dewan pengawas sering dipilih bukan berdasarkan pengalaman manajerial mereka, tetapi lebih pada kemampuan kontribusi keuangan, kemampuan untuk meningkatkan pendanaan, dan bekerjasama dengan para politisi. 4) Profesionalisasi menyederhanakan perencanaan yang rinci, namun menambah kekakuan. Pada organisasi nirlaba yang profesional dalam
84
memainkan peranan penting (seperti perguruan tinggi), nilai profesional dan tradisi dapat menghalangi organisasi untuk mengubah pola prilaku konvensionalnya ke dalam misi pelayanan baru yang lebih sesuai dengan perubahan kebutuhan sosial. Namun demikian, kuatnya orientasi jasa cenderung dapat mendorong perkembangan sikap dan norma-norma profesional yang statis. b) Kendala dalam Implementasi Strategi Sedikitnya terdapat tiga masalah
yang harus diperhatikan dalam
implementasi strategi yang terpengaruh oleh lima karakteristik kendala dalam organisasi nirlaba. Ketiga hal itu adalah: 1) Desentralisasi. Kesulitan dalam menetapkan sasaran untuk sesuatu yang tidak berwujud serta misi yang sulit diukur menyebabkan terjadinya kesulitan
dalam
pendelegasian
wewenang
pengambilan
keputusan.
Besarnya ketergantungan kepada sponsor mengakibatkan manajemen puncak organisasi nirlaba harus senantiasa memperhatikan pandangan sponsor terhadap aktivitas organisasi. Hal tersebut mengarah pada “sentralisasi defensif", di mana manajemen puncak mempertahankan wewenang pengambilan keputusannya sehingga manajer tingkat bawah tidak dapat megambil tindakan apa pun terhadap hal yang menjadi sasaran pihak sponsor. 2) Keterkaitan kepedulian yang sama terhadap integrasi eksternal-internal. Besarnya ketergantungan kepada sponsor luar melahirkan kebutuhan khusus bagi orang-orang yang ada dalam peran “penyangga” untuk menjadi
85
penghubung baik ke luar maupun ke dalam organisasi. Peran tersebut menjadi penting terutama jika para sponsor berbeda-beda, jasa yang diberikan tidak berwjud, dengan misi yang luas dan berbagai pergeseran sasaran. 3) Profesionalisme. Job enlargement dan pengembangan eksekutif dapat terhambat dengan adanya profesionalisme. Dalam organisasi yang mempekerjakan sejumlah besar tenaga profesional, manajer harus mendesain pekerjaan-pekerjaan yang menarik untuk mempengaruhi normanorma profesionalisme. Para profesional jarang memiliki gagasan-gagasan yang jelas tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan dalam wilayah kerja mereka. Oleh karena para profesional sering memandang pekerjaan
manajerial
sebagai
non-profesional
dan
hanya
bersifat
pendukung, maka mereka tidak selalu memandang promosi bagi posisi manajemen sebagai hal yang positif. c) Kendala dalam Evaluasi Strategi 1) Pemberian penghargaan dan hukuman hanya sedikit atau bahkan tidak berhubungan dengan kinerja. Umpan balik yang dapat diperkirakan dan bebas dari pengaruh tidak dapat dibangun jika hasil yang diinginkan tidak jelas dan penilaian terhadap keberhasilan bersifat subyektif. Kinerja sebatas dinilai berdasarkan intuisi atau berdasarkan aspek-aspek kecil sebuah pekerjaan yang dapat diukur. 2) Pengawasan sepenuhnya hanya memperhatikan input yang digunakan dibanding output yang dihasilkan. Organisasi nirlaba cenderung lebih
86
terfokus pada sumber daya yang mendukung kinerja dibandingkan dengan kinerja itu sendiri. Hal tersebut karena inputnya dapat diukur dengan lebih mudah dibanding output. Dengan demikian, organisasi nirlaba lebih menekankan pada penetapan batas maksimum biaya dan pengeluaran yang harus dikeluarkannya, dan tidak ada penghargaan atas upaya yang dilakukan untuk mempertahankan biaya dan pengeluaran di bawah limit yang telah ditetapkan itu. Namun demikian, adanya beragam karakteristik kendala dan masalahmasalah penerapan manajemen strategik di atas tidak berarti bahwa perguruan tinggi tidak memerlukan manajemen strategik. Analisis SWOT dan analisis stakeholder, misalnya, merupakan teknik yang relevan bagi organisasi perguruan tinggi sebagaimana halnya digunakan dalam organisasi pencari laba (Hunger dan Wheelen, 2003). Dimensi korporasi sebagai salah satu makna yang melekat pada perguruan tinggi, mengandung arti bahwa, sebagaimana halnya perusahaan, perguruan tinggi memiliki misi, tujuan, kebijakan, program, anggaran, dan prosedur tersendiri. Perguruan tinggi juga mengahadapi tantangan dan ancaman dari lingkungan luarnya, serta memiliki kekuatan dan kelemahan sumber daya dari sisi dalamnya. Di samping itu, perguruan tinggi juga memiliki pelanggan, menghadapi persaingan, harus mempertahankan kelangsungan hidupnya, serta berusaha untuk mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat yang harus dilayaninya. Karena alasan-alasan seperti itulah, maka perguruan tinggi memerlukan manajemen strategik dalam pengelolaannya (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 66).
87
E. Balanced Scorecard sebagai Alat Ukur Kinerja Manajemen Strategik 1. Definisi dan Konsep Balanced Scorecard Secara umum, setiap profesi memiliki alat komunikasi yang jelas dengan pengguna akhirnya (end user). Akuntan menggunakan laporan-laporan finansial, insinyur menggunakan gambar-gambar teknik, arsitek menggunakan model-model maket dan gambar bangunan, dokter dengan hasil-hasil analisis laboratoriumnya, dan sebagainya. Manajemen juga memerlukan alat untuk mengkomunikasikan rencana-rencana bisnis strategis organisasi dengan pengguna akhirnya, yaitu karyawan yang akan melaksanakan rencana bisnis tersebut. Rencana bisnis straregis yang tidak dikomunikasikan dengan baik akan berakibat pada pelaksanaan yang buruk, dan dampaknya hasil-hasil yang diperoleh organisasi tidak memuaskan. Menurut Balanced Scorecard Collaborative, seperti dikutip Gaspersz (2006: 2), sedikitnya terdapat empat faktor yang dapat menghambat implementasi rencana-rencana bisnis strategis, yaitu: a. Hambatan visi (vision barrier), yaitu tidak banyak orang dalam organisasi yang memahami strategi organisasi mereka b. Hambatan orang (people barrier), yaitu banyak orang dalam organisasi memiliki tujuan yang tidak terkait dengan strategi organisasi. c. Hambatan sumber daya (resources barrier), yaitu waktu, energy, dan uang tidak dialokasikan pada hal-hal yang penting (kritis) dalam organisasi.
88
d. Hambatan
manajemen
(management
barrier),
yaitu
manajemen
menghabiskan terlalu sedikit waktu untuk strategi organisasi dan terlalu banyak waktu untuk pembuatan keputusan taktis jangka pendek. Berdasarkan kenyataan itu, manajemen memerlukan cara baru untuk mengkomunikasikan rencana bisnis strategis di antara orang-orang dalam organisasi. Alat komunikasi antara manajemen organisasi dengan karyawan itu adalah Balanced Scorecard. Balanced Scorecard mengkomunikasikan rencanarencana bisnis yang dinyatakan dalam bentuk pengukuran dan target yang mudah dimengerti oleh karyawan. Dengan menggunakan bahasa yang sama itu, karyawan memahami apa yang akan terjadi, dan hal ini akan mengarah pada pelaksanaan rencana-rencana strategis secara lebih baik. (Gaspersz, 2006: 1-2) Balanced Scorecard pertama kali dipublikasikan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton pada tahun 1992 dalam sebuah artikel berjudul “Balanced Scorecard: Measures that Drive Performance.” Pada tulisan tersebut, Balanced Scorecard didefinisikan sebagai: “…a set of measure that’s gives top managers a fast but comprehensive view of the business, includes financial measures that tell the results of actions already taken, complements the financial measures with operational measures on customer satisfaction, internal process and the organization’s innovation and improvements activities – operational measures that are the drivers of future financial performance.” (Agus dan Zainal, 2007: 32). Balanced Scorecard merupakan serangkaian langkah yang memungkinkan untuk melihat kinerja bisnis secara holistik dan terpadu. Scorecard awalnya
89
diciptakan untuk melengkapi "ukuran keuangan tradisional dengan kriteria yang di dasarkan pada ukuran kinerja dari tiga perspektif tambahan, yaitu para pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan" (Kaplan dan Norton, 1996: 75). Pada tahun 1996, penggunaannya telah dikembangkan sebagai sistem manajemen strategik yang menghubungkan strategi jangka panjang dengan target jangka pendek. Pengembangan metode Balanced Scorecard terjadi karena banyak organisasi bisnis menyadari bahwa fokus pada ukuran satu dimensi kinerja (seperti laba atas investasi atau peningkatan laba) tidak cukup. Terlalu sering, keputusan strategis yang tidak dibuat dalam upaya untuk meningkatkan bottom line dengan mengorbankan tujuan organisasi lainnya. Teori Balanced Scorecard menyarankan bahwa fokus kinerja keuangan adalah hasil alami dari keseimbangan tujuan penting lainnya. Tujuan-tujuan organisasi lainnya berinteraksi untuk mendukung kinerja organisasi yang unggul secara keseluruhan. Jika ada tujuan individu tidak seimbang dengan tujuan lain, kinerja organisasi secara keseluruhan akan terganggu. Sistem Balanced Scorecard juga menekankan artikulasi sasaran strategis dalam mendukung tujuan. Selain itu, sistem pengukuran ini dikembangkan untuk menyediakan data yang diperlukan untuk mengetahui kapan target yang telah ditetapkan atau jika kinerjanya tidak seimbang atau sedang terkena dampak negatif (Stewart dan Hubin, 2000-2001). Dalam pendekatan tersebut, manajemen puncak menjabarkan strateginya ke dalam tolok ukur kinerja, sehingga karyawan memahaminya dan dapat melakukan sesuatu untuk menerapkan strategi itu (Amin Widjaya, 2009: 2).
90
2. Empat Perspektif Balanced Scorecard Sebagai suatu sistem manajemen strategik, atau lebih tepat dinamakan “strategic based responsibility accounting system”, Balanced Scorecard menjabarkan misi dan strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja untuk empat perspektif yang berbeda (Gambar 2.5). Keempat perspektif tersebut adalah: perspektif keuangan (financial perspective), perspektif pelanggan (customer perspective), perspektif proses bisnis internal (internal business process perspective), dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth [infrastructure] perspective).
Perspektif KEUANGAN
Perspektif PELANGGAN
STRATEGI
Perspektif PROSES INTERNAL
Perspektif PEMBELAJARAN & PERTUMBUHAN
Gambar 2.5. Balanced Scorecard (Sumber: Robert S. Kaplan dan David P. Norton, 1996)
a. Perspektif Keuangan Menurut Gaspersz (2006: 38-66), perspektif keuangan terkait dengan pertanyaan: “Bagaimana kita memuaskan pemegang saham?” Dalam membangun Balanced Scorecard, unit-unit bisnis harus dikaitkan dengan tujuan finansial yang
91
berkaitan dengan strategi perusahaan. Tujuan finansial bagi sebuah perusahaan berperan sebagai fokus bagi tujuan-tujuan strategis dan ukuran-ukuran semua perspektif dalam Balanced Scorecard. Tolok ukur kinerja keuangan, seperti laba bersih dan Return on Invesment (ROI), digunakan dalam Balanced Scorecard karena secara umum tolok ukur tersebut dipakai dalam organisasi pencari laba. Tolok ukur keuangan memberikan bahasa umum untuk menganalisis dan membandingkan perusahaan. Apabila tolok ukur keuangan ini didesain dengan baik, maka ia akan memberikan pandangan agregat keberhasilan suatu organisasi. Tolok ukur ini sangat diandalkan oleh pihak-pihak yang menyediakan dana untuk perusahaan, seperti lembaga keuangan dan para pemegang saham, dalam mengambil keputusan untuk meminjamkan atau menginvestasikan dananya (Amin Widjaja, 2009: 18). b. Perspektif Pelanggan Perspektif pelanggan
terkait
dengan
pertanyaan:
“Bagaimana kita
memuaskan pelanggan?” Dalam perspektif ini, perusahaan harus mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar tempat mereka akan berkompetisi. Kebutuhan pelanggan merupakan elemen yang paling penting dalam suatu bisnis. Oleh karenanya upaya mengidentifikasi pelanggan merupakan hal yang harus secepatnya dilakukan oleh perusahaan. Menurut Amin Widjaya (2009: 16), tolok ukur yang biasa digunakan oleh perusahaan pada saat mempertimbangkan perspektif pelanggan antara lain adalah:
92
1) Kepuasan Pelanggan (customer satisfaction). Tolok ukur kepuasan pelanggan menunjukkan apakah perusahaan memenuhi harapan pelanggan atau bahkan menyenangkannya. 2) Retensi Pelanggan (customer retention). Tolok ukur retensi atau loyalitas pelanggan menunjukkan bagaimana sebaiknya perusahaan berusaha mempertahankan pelanggannya. Secara umum dikatakan bahwa dibutuhkan 5 kali lebih banyak upaya untuk memperoleh seorang pelanggan baru dari pada mempertahankan seorang pelanggan lama. 3) Pangsa Pasar (market share). Tolok ukur pangsa pasar digunakan dalam mengukur proporsi perusahaan dari total usaha dalam pasar tertentu. 4) Kemampulabaan Pelanggan. Kemampulabaan pelanggan, yaitu pelanggan yang memberikan keuntungan kepada perusahaan, merupakan bottom line bagi perusahaan yang mencari keuntungan. Mempunyai pelanggan yang puas dan setia dari pasar yang besar merupakan hal yang baik, akan tetapi pencapaian tersebut tidak menjamin kemampulabaan. Oleh karenanya, kepuasan pelanggan yang lebih baik adalah yang mengarah pada peningkatan kemampulabaan pelanggan. c. Perspektif Proses Internal Perspektif proses bisnis internal terkait dengan pertanyaan: “Apa prosesproses yang seyogyanya diunggulkan untuk mencapai kesuksesan perusahaan?” Dalam perspektif ini, manajer harus mengidentifikasi proses-proses yang paling kritis untuk mencapai tujuan peningkatan nilai bagi pelanggan (perspektif pelanggan) dan tujuan peningkatan nilai bagi pemegang saham (perspektif
93
keuangan). Hal yang biasa digunakan dalam Balanced Scorecard adalah model rantai nilai proses bisnis internal yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1) Proses inovasi, yaitu mengidentifikasi kebutuhan pelanggan saat ini dan di masa yang akan datang, serta mengembangkan solusi baru terkait kebutuhan pelanggan tersebut. Proses ini dapat dilakukan melalui riset pasar dan preeferensi atau kebutuhan pelanggan secara spesifik. Dengan demikian, perusahaan mampu menciptakan dan menawarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan pasar. 2) Proses operasional, yaitu mengidentifikasi sumber-sumber pemborosan dalam proses operasional serta mengembangkan solusi masalah yang terdapat di dalamnya. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi produksi, meningkatkan kualitas produk dan proses, memperpendek waktu siklus (cycle time), dan lain-lain. 3) Proses pelayanan terkait dengan pelayanan kepada pelanggan, seperti pelayanan purna jual, penyelesaian masalah yang timbul pada pelanggan secara cepat, melakukan tindak lanjut secara proaktif dan tepat waktu, memberikan sentuhan pribadi (personal touch), dan lain-lain. d. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan terkait dengan pertanyaan: “Bagaimana kita akan mempertahankan keberlangsungan kemampuan terhadap perubahan dan peningkatan?” Perspektif ini merupakan upaya pengembangan tujuan dan ukuran-ukuran yang mengendalikan pertumbuhan dan pembelajaran organisasi. Tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam perspektif finansial,
94
pelanggan, dan proses bisnis internal merupakan identifikasi di mana perusahaan harus unggul untuk mencapai terobosan kinerja, sedangkan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran memberikan infrastruktur yang memungkinkan tujuan-tujuan dalam ketiga perspektif itu dapat dicapai. Dalam perspektif ini, terdapat tiga kategori yang sangat penting, yaitu: 1) kompetensi karyawan, 2) infrastruktur teknologi, dan 3) kultur perusahaan. (Gaspersz, 2006: 61-62). Integrasi keempat perspektif Balanced Scorecard digambarkan dalam Bagan 2.1. 3. Jenis-jenis Pengukuran dalam Balanced Scorecard Gaspersz (2006) mengemukakan dua jenis ukuran dalam balanced scorecard. Kedua jenis ukuran tersebut adalah; (1) outcome kinerja (outcome [lagging] measurement), dan (2) pengendali kinerja (performance driver [leading] measurement). Outcome kinerja cenderung menggunakan ukuran-ukuran generik yang merefleksikan
sasaran
umum
strategi-strategi
sepanjang
proses
bisnis
organisasi/perusahaan. Untuk perspektif finansial, misalnya, digunakan ukuran generik berupa return on investment (ROI) dan economic value added (EVA). Untuk perspktif pelanggan digunakan ukuran generik berupa kepuasan, kesetiaan, dan pasar.
Untuk perspktif proses bisnis internal digunakan ukuran generik
berupa kualitas, waktu tanggap, biaya, dan pengenalan produk baru. Sedangkan untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan digunakan ukuran generik berupa kepuasan karyawan dan ketersediaan system informasi.
95
VISI
MISI
SASARAN
TEMA STRATEGIK
Perspektif Keuangan Apa hasil-hasil finansial yang dibutuhkan untuk memenuhi ekspektsi pemegang saham
Perspektif Pelanggan Apa kebutuhan pelanggan yang harus dipenuhi untuk memenuhi ekspektasi pelangan?
Perspektif Proses Bisnis Internal Apa proses-proses yang harus dilakukan untuk memenuhi ekspektasi pelangan dan pemegang saham
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Apa nilai-nilai organisasional yang terpenting untuk memenuhi sasaran dan tujuan strategik perusahaan
- Tujuan-tujuan - Ukuran-ukuran - Program-program (inisiatif)
- Tujuan-tujuan - Ukuran-ukuran - Program-program (inisiatif)
- Tujuan-tujuan - Ukuran-ukuran - Program-program (inisiatif)
- Tujuan-tujuan - Ukuran-ukuran - Program-program (inisiatif)
Bagan 2.1. Integrasi Empat Perspektif Balanced Scorecard sebagai Sistem Manajemen (Sumber: Gaspersz, 2006)
Ukuran-ukuran generik ini cenderung menjadi lag indicators, seperti keuntungan, pangsa pasar, kepuasan pelanggan, dan keterampilan karyawan. Sedangkan pengendali kinerja (driver performance) merefleksikan keunikan unit bisnis tertentu, misalnya pengendali keuangan dari profitabilitas, segmen pasar yang dipilih unit-unit bisnis dalam berkompetisi, dan tujuan-tujuan proses bisnis internal tertentu beserta pembelajaran dan pertumbuhan yang akan melahirkan nilai tambah kepada pelanggan dan segmen pasar.
96
Suatu balanced scorecard yang baik, lanjut Gaspersz, harus merupakan perpaduan antara ukuran-ukuran outcome dan driver performance. Ukuran outcome saja tanpa driver performance tidak akan mengkomunikasikan bagaimana outcome tersebut bisa dicapai. Juga tidak menunjukkan indikasi awal tentang apakah strategi yang diterapkan itu akan berhasil. Sebaliknya, jika hanya driver performance saja tanpa ukuran-ukuran outcome, hanya memungkinkan unit-unit bisnis mencapai peningkatan operasional jangka pendek. 4. Penerapan Balanced Scorecard dalam Manajemen Strategik di Perguruan Tinggi Konsep Balanced Scorecard semula diciptakan untuk kalangan perusahaan bisnis, di mana keuntungan perusahaan merupakan tujuan dan motivasi utama. Namun, karena karena konsep dasar, sebagian besar prinsip, dan pendekatan yang digunakan di dalamnya berlaku pula untuk kalangan organisasi nirlaba, dalam perkembangannya, konsep Balanced Scorecard digunakan pula untuk organisasi nirlaba, termasuk perguruan tinggi (Indrajit dan Djokopranoto, 2006). Sejumlah perbedaan perspektif Balanced Scorecard yang diterapkan pada organisasi pencari laba dengan organisasi nirlaba memerlukan adanya penyesuaian dalam implementasinya pada organisasi nirlaba tinggi. Seperti dikatakan Gaspersz (2006: 208), ukuran finansial merupakan alat pengukuran tradisional yang digunakan oleh organisasi pencari laba. Alat ukur finansial tidak selalu memberikan suatu gambaran yang akurat mengenai arah organisasi dan dapat membawa organisasi ke arah sasaran jangka pendek, bukan jangka panjang. Penggunaan alat ukur ini semata, tidak memadai untuk organisasi publik,
97
termasuk perguruan tinggi. Organisasi perguruan tinggi yang hanya mengukur keberhasilan mereka melalui kemampuan mengatur pengeluaran dalam sejumlah anggaran dapat menyebabkan terabaikannya kinerja mereka yang berwujud pemenuhan kebutuhan masyarakat pada pendidikan yang berkualitas. Fokus utama organisasi perguruan tinggi bukanlah pada pencapaian tujuan finansial, tetapi pada pencapaian yang berfokus pada pelanggan, yaitu mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusan perguruan tinggi. Perspektif pelanggan seyogyanya menjadi pengendali ukuran scorecard organisasi perguruan tinggi (Kaplan dan Norton dalam Gaspersz, 2006; Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 135).
Keberhasilan organisasi perguruan tinggi
seyogyanya diukur melalui efektivitas dan efisiensi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan pada pendidikan tinggi. Tujuan-tujuan yang berwujud (tangible objectives) harus didefinisikan untuk pelanggan. Untuk itu, para pimpinan perguruan tinggi dapat memulainya dengan mendefinisikan segmen masyarakat yang mereka layani, kemudian memilih tujuan dan ukuran kinerja untuk segmen tersebut. Pernyataan visi, misi, dan strategi organisasi perguruan tinggi yang berfokus pada pelanggan pendidikan tinggi harus diterjemahkan ke dalam tujuan spesifik yang berorientasi pelanggan pendidikan tinggi dan dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi perguruan tinggi. Identifikasi proses internal (yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat) yang dilakukan pimpinan perguruan tinggi harus didasarkan pada fokus untuk memberikan nilai bagi segmen-segmen pelanggan pendidikan tinggi. Dalam hal ini, mekanisme kerja dan proses pembuatan keputusan yang
98
paling kritis untuk mencapai tujuan pemberian pelayanan pendidikan tinggi yang bermutu kepada masyarakat, harus diidentifikasi, diukur, dianalisis, dan ditingkatkan secara terus-menerus. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan kunci perspektif proses bisnis internal bagi organisasi publik, termasuk perguruan tinggi (Gaspersz, 2006: 209). Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dalam Balanced Scorecard, memberikan suatu infrastruktur untuk organisasi perguruan tinggi dalam mencapai sasaran yang telah diidentifikasi melalui perspektif-perspektif yang lain. Tujuan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dalam organisasi perguruan tinggi adalah sebagai pengendali (driver) untuk mencapai keunggulan hasil dalam perspektif yang lain, terutama perspektif pemberian nilai tambah dalam memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang bermutu kepada masyarakat pengguna. Kesenjangan antara perspektif pelanggan (fokus utama), finansial, proses bisnis internal, dan kapabilitas organisasi perguruan tinggi untuk mencapai tujuan strategis, sebagaimana dikatakan Gaspersz (2006) lebih lanjut, seyogyanya menjadi
kebutuhan
investasi
dalam
tiga
kategori
scorecard
perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan. Hal ini berkaitan dengan pengembangan kemampuan sumber daya manusia dalam organisasi, kemampuan sistem informasi untuk pembuatan keputusan, peningkatan motivasi dan pemberdayaan karyawan, dan yang terpenting, kesesuaian dan kesalingterkaitan di antara hal-hal tersebut. Investasi yang tepat dalam area ini akan memberikan posisi yang lebih baik kepada organisasi perguruan tinggi untuk menjamin tercapainya misi dan tujuan
99
jangka panjang dalam memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat pengguna pendidikan tinggi. Berdasarkan uraian itu, secara ringkas dapat dikatakan bahwa fokus utama organisasi perguruan tinggi adalah masyarakat dan kelompok-kelopmpok tertentu pengguna jasa pendidikan tinggi. Tujuan utama organisasi perguruan tinggi bukanlah memaksimalkan hasil-hasil finansial, tetapi membuat keseimbangan pertanggung-jawaban finansial (anggaran) melalui program-program pelayanan jasa pendidikan tinggi kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) sesuai dengan visi dan misi organisasi. Oleh karena itu, ukuran pertama yang perlu diperhatikan adalah perspektif pelanggan untuk mencapai misi organisasi tersebut. Sementara itu, ukuran dalam perspektif lain, yaitu: perspektif keuangan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pertumbuhan pertumbuhan dan pembelaaran merupakan penunjang bagi ukuran utama tersebut (Indrajit dan Djokopranoto,
2006:
135).
Dengan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut,
penggunaan Balanced Scorecard untuk organisasi perguruan tinggi dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.6. di bawah ini.
100
MISI
Perspektif PELANGGAN
Perspektif PROSES INTERNAL
STRATEGI
Perspektif KEUANGAN
Perspektif PEMBELAJARAN & PERTUMBUHAN
Gambar 2.6. Balanced Scorecard untuk Organisasi Perguruan Tinggi (Sumber: Adaptasi dari Gaspersz, 2006: 211)
a. Perspektif Pelanggan Dalam organisasi perguruan tinggi, sebagai salah satu organisasi nirlaba, pelanggannya ialah mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusan universitas, serta calon pelanggan yang meliputi orang tua dan murid-murid sekolah tingkat menengah atas. Inti perspektif pelanggan perguruan tinggi ialah seberapa jauh pelanggan merasa puas atas layanan organisasi, sehingga mereka mau meneruskan kesan kepuasan tersebut kepada calon pelanggan lainnya, yaitu adik-adik, orang tua, teman-teman adik kelasnya, dan sebagainya (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 140).
101
Ukuran Perspektif Pelanggan Pengukuran yang tepat bagi kinerja universitas dalam perspektif pelanggan dimaksudkan untuk mengetahui ketercapaian misi universitas, sehingga kelangsungan hidup sebuah universitas di masa yang akan datang akan terjamin. Pengukuran kinerja universitas didasarkan pada dalil nilai sebagai berikut. Bahwa nilai sebuah produk didasarkan pada fungsi atribut atau sifat produk, fungsi kesan terhadap produk, serta fungsi hubungan antara pelanggan dan pembuat produk (Gambar 2.6). Atribut produk adalah fungsi kegunaan bagi pelanggan, mutu, harga, dan waktu penyerahan. Kesan dan reputasi merupakan faktor yang tidak kelihatan, namun merupakan daya tarik pelanggan. Ia memang dapat terbentuk melalui atribut, namun atribut yang kurang diketahui pelanggan tidak akan meninggalkan kesan dan reputasi apa pun. Kesan dan reputasi seringkali melekat di benak pelanggan, sehingga dengan sendirinya dianggap bahwa mutunya tentu baik, dan harganya sepadan dengan mutu, dan sebagainya, tanpa meneliti terlebih dahulu kondisi yang sesungguhnya. Sedangkan hubungan pelanggan adalah kemudahan, kecepatan, kepastian, keandalan, dan tanggapan mengenai hubungan antara pelanggan dengan pembuat produk atau penyedia jasa, termasuk dalam kaitannya dengan penyerahan produk atau jasa (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 141-142).
102
Nilai
Kegunaan
=
Atribut Produk
Mutu
Harga
Kesan
+
+
Hubungan
Waktu
Gambar 2.7. Model Umum Dalil Nilai (Sumber: Kaplan dan Norton dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2006)
Berdasarkan dalil nilai di atas, maka penilaian kinerja sebuah universitas didasarkan pada atribut-atribut sebagai berikut: 1) Kegunaan bagi pelanggan. Ukuran-ukuran yang dapat dinilai dalam dimensi ini antara lain: jumlah mahasiswa yang mendaftar pada tiap program studi, jumlah keseluruhan mahasiswa pada tiap-tiap program studi, dan pangsa pasar. 2) Mutu Jasa yang Ditawarkan. Faktor mutu universitas dapat dinilai, setidaknya dari dua ukuran, yaitu peringkat akreditasi program studi dan nilai rata-rata IPK mahasiswa. 3) Harga jasa yang ditawarkan. Dalam pendekatan Balanced Scorecard, sepanjang harga jasa universitas mendukung terhadap posisi keuangan, maka faktor harga jasa tersebut termasuk ke dalam perspektif keuangan. Sedangkan dalam hal harga jasa tersebut berpengaruh terhadap keputusan dan kesan pelanggan, faktor tersebut termasuk dalam perspektif pelanggan. Adapun harga jasa yang terkait dengan universitas meliputi uang kuliah per sks atau per semester, uang sumbangan pembangunan, atau dapat berupa rata-rata biaya kuliah per tahun untuk seiap mahasiswa.
103
4) Waktu Pemberian Jasa. Dalam konteks universitas, waktu pemberian jasa umumnya terrefleksi pada waktu rata-rata penyelesaian studi di masingmasing fakultas atau program studi. Ukuran tersebut merupakan ukuran dalam perspektif ‘proses internal’, yang terkait dengan efisiensi waktu. Sedangkan dalam perspektif pelanggan, ukuran waktu tersebut merupakan bagian dari sisi kepuasan pelanggan. 5) Kesan dan Reputasi. Suatu universitas dapat diukur dari sisi kesan dan reputasinya, antara lain dari kepopuleran nama universitas, jumlah pendaftar secara keseluruhan, dan rasio antara jumlah yang diterima dengan jumlah pendaftar. 6) Hubungan Pelanggan. Baik buruknya hubungan antara pelanggan dan universitas bukan hanya dilihat dari sisi fisik, tetapi juga dalam arti batin. Hubungan dalam arti batin adalah tingkat kepuasan, tingkat pengenalan, dan tingkat perhatian, baik antara para mahasiswa, alumni, pengguna lulusan, maupun kunjungan calon mahasiswa. b. Perspektif Proses Internal Pola umum anatomi proses yang biasa terjadi dalam suatu organisasi terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap proses penciptaan, tahap proses operasi, dan tahap layanan purna jual (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 189). Setiap tahap menciptakan nilai tersendiri. Tahap pertama menciptakan nilai berupa ide pembuatan barang atau jasa, yang merupakan tanggapan atas kebutuhan pelanggan. Tahap kedua menciptakan nilai berupa perubahan dari ide menjadi
104
perbuatan nyata. Tahap ketiga menciptakan nilai berupa pemberian layanan purna jual, sehingga kebutuhan pelanggan terpenuhi. 1) Proses Inovasi Inovasi yang dimaksud dalam proses internal adalah kegiatan yang terus menerus untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan pelanggan dan menciptakan ide baru berupa konsep produk atau jasa baru secara tepat waktu, efisien, dan efektif. Proses ini terdiri dari dua bagian, yaitu proses identifikasi pasar dan proses penciptaan produk atau layanan baru. Identifikasi pasar merupakan proses berkelanjutan dalam mengamati kebutuhan dan kecenderungan selera serta keperluan pelanggan sebelum akhirnya sampai pada satu keputusan bahwa pelanggan memerlukan suatu bentuk barang atau jasa baru. Sedangkan proses penciptaan adalah perubahan dari ide menjadi konsep pembuatan barang atau jasa yang tepat waktu, efisien, dan efektif bagi pelanggan. Dalam dunia perguruan tinggi,
inovasi menunjukkan kemampuan
universitas untuk menawarkan produk baru bagi konsumen dan keberhasilannya memperkuat kehidupan universitas dalam mengembangkan dirinya. Inovasi sangat penting, terlebih apabila ada gejala bahwa ada program studi lama yang menunjukkan siklus penurunan peminat. Inti proses inovasi adalah kejelian melihat peluang dan kebutuhan pasar serta memanfaatkan fasilitas dan kemampuan yang ada untuk menangkap peluang. Beberapa ukuran yang termasuk dalam tahap proses antara lain: pembukaan program studi atau jenjang baru, program kelas jarak jauh (distant learning program), program kampus jarak jauh (out of campus program), dan program gelar ganda (double degree program).
105
2) Proses Operasi Proses operasi merupakan proses yang relatif pendek, karena hanya menyangkut perubahan konsep menjadi pembuatan barang atau jasa secara nyata. Proses ini terdiri atas proses pembuatan produk dan pemasaran serta penjualan kepada pelanggan. Proses operasi cenderung berulang-ulang sesuai jumlah, frekuensi dan kontinuitas kebutuhan pelanggan. Ukuran utama yang biasa digunakan untuk proses operasi adalah mutu, waktu, dan biaya. Untuk perguruan tinggi, beberapa ukuran yang dapat dipakai misalnya manajemen mutu, rasio jumlah lulusan, rata-rata lama studi, pencapaian sasaran, rata-rata IPK, rata-rata sks per mahasiswa, biaya kuliah rata-rata pertahun, tingkat drop out, utilisasi ruangan, peringkat akreditasi, dan sebagainya. 3) Proses Layanan Purna Jual Layanan
Purna Jual
menambahkan
bagian
keunggulan
kompetitif
perusahaan yang tidak bisa dicukupi dengan mutu. Dalam dunia industri, layanan purna jual dapat berbentuk pelatihan penggunaan barang atau peralatan, fasilitas bengkel atau teknisi untuk memperbaiki kerusakan, dan sebagainya. Bagi perguruan tinggi, proses layanan purna jual dapat berupa mencarikan pekerjaan untuk lulusan atau memberikan kesempatan pada perusahaan tertentu mencari calon pegawai dari calon lulusan, menyediakan kantor dan fasilitas untuk para alumni, serta mendukung dan membantu jaringan alumni.
106
c. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan berfokus pada kemampuan manusia. Dalam hal ini, pimpinan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan karyawannya. Karena, tolok ukur kunci untuk menilai kinerja pimpinan adalah kepuasan, retensi, dan produktivitas karyawan (Amin Widjaya, 2009: 17). Sedangkan tolok ukur pendukungnya adalah kompetensi karyawan, teknologi informasi, dan suasana kerja. Dengan kata lain, isi pokok perspektif ini adalah sumber daya manusia, yang nota bene merupakan modal utama sebuah perguruan tinggi. Dalam perspektif pertumbuhan, terdapat tiga prinsip yang penting, yaitu kapabilitas karyawan, kapabilitas sistem informasi, dan kapabilitas motivasi, pemberdayaan dan penyelarasan. Sementara itu, untuk mengukur tingkat pertumbuhannya, ketiga prinsip itu dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu faktor utama dan faktor pendukung. Faktor utama terdiri dari kepuasan karyawan, retensi karyawan, dan produktivtas karyawan, sedangkan faktor pendukung berupa kompetensi karyawan, teknologi informasi, dan suasana kerja. Indrajit dan Djokopranoto (2006: 222-230) menguraikan secara lebih rinci ukuran-ukuran untuk perspektif pertumbuhan dan pembelajaran pada perguruan tinggi sebagai berikut. 1) Faktor Utama (a) Kepuasan Karyawan. Tingkat kepuasan karyawan adalah akumulasi berbagai jenis kepuasan yang diharapkan karyawan seperti penggajian, persyaratan kerja, kesempatan
107
berkembang, suasana kerja dan hubungan kerja. Akibat dari kepuasan tersebut melahirkan motivasi karyawan. Faktor-faktor tersebut dapat diketahui, dinilai dan diukur dengan melakukan penelitian khusus, misalnya survai, mewawancarai karyawan atau mengamati karyawan pada saat bekerja. (b) Retensi Karyawan. Retensi karyawan adalah kemampuan universitas untuk mempertahankan karyawannya. Hal ini menandakan bahwa karyawan mengembangkan modal intelektual khusus bagi organisasi dan merupakan aktiva non keuangan yang sangat bernilai bagi bagi organisasi tersebut. Menurut Amin (2009), adalah sangat mahal menemukan dan menerima orang yang berbakat untuk menggantikan orang yang meninggalkan perusahaan. Tolok ukur umum untuk retensi adalah perputaran karyawan yang diukur berdasarkan prosentase keluar atau masuknya karyawan dalam satu tahun dibandingkan dengan jumlah seluruh karyawan. (c) Produktivitas Karyawan. Produktivitas karyawan adalah jumlah dan mutu kinerja karyawan sebagai keluaran. Dalam dunia perguruan tinggi hal itu dapat berupa produktivitas secara umum, tingkat kehadiran, usulan karyawan, gugus kendali mutu, jumlah penulisan karya ilmiah, jumlah terbitan ilmiah, jumlah penulisan buku, jumlah penelitian, jumlah paten, serta penghargaan dosen dan peneliti.
108
2) Faktor Pendukung (a) Kompetensi Karyawan. Komponen-komponen kompetensi karyawan universitas (Dosen, karyawan pendukung akademis, maupun tenaga administratif), meliputi rasio dosen berpendidikan S3, rasio dosen dan mahasiswa, pelatihan dosen, pelatihan petugas struktural, studi lanjut dosen, rata-rata jam pelatihan, kepangkatan dosen dan anggaran pelatihan. (b) Penggunaan Teknologi Informasi. Penggunaan teknologi informasi dalam suatu kembaga dapat diukur, misalnya dengan menggunakan model “tingkat kematangan”. Di samping itu juga dilihat dari rasio jumlah komputer dibandingkan dengan karyawan, dosen, atau mahasiswa. Atau, apabila ukuran dengan tingkat kematangan belum dapat dilakukan, maka dapat digunakan penilaian melalui manajemen pengetahuan (kwowledge management).
Manajemen
pengetahuan
adalah
pengelolaan
pengetahuan dalam bentuk penyimpanan, penyebarluasan, pengaplikasian, pemanfaatan dan penggunaannya untuk kesejahteraan manusia melalui organisasi atau perusahaan (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 51). d. Perspektif Keuangan Ukuran kinerja perguruan tinggi dari perspektif keuangan menempati urutan penting kedua setelah perspektif pelanggan. Hal ini merupakan salah satu aspek perbedaan terpenting dalam aplikasi metode Balanced Scorecard antara organisasi nirlaba dengan perusahaan bisnis.
109
Secara logika dapat dipastikan bahwa semua usaha bisnis memerlukan uang atau dana untuk proses operasional dan pengadaan bahan baku yang harus dibayar. Karenanya, usaha bisnis harus pula menghasilkan pendapatan untuk membayar kembali bahan baku. Keberhasilan usaha bisnis umumnya dapat dinilai dari kemampuannya menghasilkan pendapatan yang cukup secara terus menerus dalam kurun waktu panjang. Dengan sedikit penyesuaian, logika demikian berlaku pula untuk organisasi perguruan tinggi. Kecukupan dana untuk melaksanakan kegiatan, baik untuk perusahaan bisnis maupun organisasi perguruan tinggi, tidak hanya tergantung dari banyaknya dana yang dapat dikumpulkan, tetapi bergantung pula pada kemampuan pengelolaannya. Oleh karena itu, perusahaan bisnis maupun organisasi perguruan tinggi memerlukan manajemen keuangan. Alat ukur kinerja keuangan adalah perencanaan dan realisasi anggaran, neraca keuangan, perhitungan rugi-laba, laporan arus kas, dan sebagainya. Secara sederhana, neraca keuangan adalah gambaran sesaat kekayaan yang digunakan oleh perusahaan dan dana yang berhubungan dengan kekayaan. Neraca keuangan adalah data statis yang menggambarkan keadaan keuangan perusahaan pada suatu saat tertentu. Oleh karena itu, diperlukan beberapa neraca keuangan, yaitu bulanan, kuartalan atau tahunan untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai pergerakan dan perubahan kekayaan. Laporan rugi-laba untuk organisasi nirlaba biasa disebut dengan Perhitungan Aktiva Bersih Tidak Terikat. Berbeda dengan neraca keuangan, laporan rugi-laba menggambarkan keadaan keuangan dalam satu periode tertentu, misalnya satu bulan, satu kuartal atau satu semester atau satu tahun. Sementara itu, arus kas adalah pergerakan penggunaan
110
atau pertambahan kas yang terjadi dalam satu kurun waktu tertentu, misalnya bulan, kuartal, semester atau tahun (Indrajit dan Djokopranoto, 2006: 165-188). F. Hasil Penelitian Terdahulu Sejumlah hasil penelitian yang memiliki keterkaitan secara konseptual mengenai manajemen strategik di perguruan tinggi dilakukan oleh sejumlah peneliti di bawah ini. Ismaun, 2005, melakukan penelitian tentang penerapan model manajemen strategik di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung dalam menghadapi tantangan, masalah dan peluang di abad 21. Pengkajian difokuskan pada implementasi sistem/model manajemen strategik yang dilakukan oleh dua PT tersebut guna menyelaraskan antara visi organisasi dengan
strategi, kebijakan dan pengembangan mutu program
pendidikan di perguruan tinggi. Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa sejarah yang panjang yang dimiliki oleh ke-dua PT tersebut telah membentuk tradisi, budaya komunitas ilmiah, etos kerja dan cita-cita serta ciri-ciri tersendiri. Isu-isu utama atau masalah pokok yang dihadapi oleh ITB dan IKIP Bandung pada dasarnya adalah sama, yakni pengembangan mutu sumber daya manusia agar memiliki kemampuan, kemandirian dan kerjasama yang saling menguntungkan serta daya saing secara sehat dalam era globalisasi. Visi ke-dua PT itu pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu bercita-cita untuk menjadi lembaga pendidikan tinggi unggulan (center of excellence). Adapun misi ke-dua PT itu adalah melaksanakan Tridarma Perguruan Tinggi secara selaras, terpadu, produktif, dan terukur. Arahnya ialah mencapai
111
keunggulan strategis, baik keunggulan komparatif maupun kompetitif. Tujuannya ialah menghasilkan tenaga akademik dan profesional yang handal dan berkemampuan tinggi serta relevan dengan kebutuhan masyarakat, pembangunan dan tantangan era globalisasi. Untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan tersebut masing-masing perguruan tinggi merumuskan strategi dan kebijakannya. Gambaran proses manajemen pendidikan di ITB dan IKIP Bandung menunjukkan adanya suatu kontinum dan kesatuan yang utuh antara visi, misi, strategi, dan kebijakan dalam pengembangan institusi. Kesimpulan hasil penelitian yang dirumuskan Ismaun menunjukkan bahwa visi pimpinan organisasi merupakan elemen penting dan berperan dominan dalam proses pengambilan keputusan strategis dan kebijakan penentuan pilihan program pendidikan tinggi unggulan dalam menghadapi tantangan, masalah dan peluang di masa depan. Anwar, Q. (2003) melakukan penelitian mengenai implementasi manajemen strategik di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta. Penelitian dilatarbelakangi adanya persoalan mendasar perguruan tinggi, yaitu kualitas performansi yang masih sangat rendah (Ewell,1989). Penelitian dilakukan untuk mengetahui strategi yang dilakukan UHAMKA dalam mengembangkan kinerja personel (Dosen) dalam rangka mencapai visi dan misi yang diemban universitas. Hasil penelitian memberikan gambaran tentang kendala-kendala dalam implementasi
tahapan-tahapan
manajemen
strategik
(sebagaimana
telah
diungkapkan Hunger dan Wheelen (2003) di atas. Dalam perumusan strategi, kuatnya pengaruh sponsor/yayasan menyebabkan manajemen puncak sulit untuk
112
mempertemukan tujuan dan sasaran. Di samping itu, sasaran-sasaran proses operasi yang memiliki arti ganda telah melahirkan kemungkinan terjadinya politik internal
dan
perubahan
tujuan.
Dalam
penerapan
strategi,
besarnya
ketergantungan kepada sponsor/yayasan telah melahirkan “sentralisasi defensif”, di
mana
manajemen
puncak
mempertahankan
wewenang
pengambilan
keputusannya sehingga manajer tingkat bawah tidak dapat megambil tindakan apa pun terhadap hal yang menjadi sasaran pihak sponsor. Kondisi yang demikian menyebabkan terbatasnya ruang gerak inovasi dan kreativitas yang dilakukan oleh dosen. Hal itu ditunjukkan dengan: (1) sejumlah dosen mengajar mata kuliah yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya, (2) kuatnya pengaruh sponsor/yayasan mengakibatkan penempatan dan pengangkatan pimpinan universitas dan tenaga dosen
tidak
begitu
memperhatikan
profesionalisme,
kompetensi
dan
kapabilitasnya. Sedangkan dalam evaluasi strategi, pengawasan sepenuhnya hanya memperhatikan input yang diperoleh dibanding output yang dihasilkan. Organisasi cenderung lebih terfokus pada sumber daya yang mendukung kinerja dibandingkan dengan kinerja itu sendiri. Brown (2006) melakukan penelitian mengenai pengembangan manajemen perguruan tinggi di Australia seirirng kebijakan pengembangan sektor pendidikan yang dilakukan pemerintah Australia dalam dua dekade terakhir. Penelitian difokuskan pada model pemasaran jasa pendidikan sejalan dengan perkembangan perguruan tinggi sebagai korporasi (enterprise universities). Pengumpulan data dari mahasiswa dilakukan dengan menggunakan model Indeks Kepuasan Pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap
113
reputasi lembaga dan kepuasan pelanggan menjadi faktor nilai yang lebih kuat dibandingkan dengan nilai layanan pendidikan lainnya dalam meningkatkan loyalitas mereka terhadap lembaga pendidikannya. Hasil ini menguatkan pendapat yang dikemukakan Indrajit dan Djokopranoto (2006: 142) yang mengatakan bahwa kesan dan reputasi merupakan faktor yang tidak kelihatan, namun merupakan daya tarik bagi pelanggan. Kesan dan reputasi terbentuk melalui atribut produk, dalam hal ini layanan jasa pendidikan yang mencakup mutu layanan, harga, dan waktu pemberian pelayanan. Komponen-komponen tersebut merupakan nilai yang diharapkan dan dihargai oleh pelanggan dan merupakan inti perspektif pelanggan dalam manajemen strategik. Perspektif ini merupakan ukuran utama kinerja manajemen strategik di perguruan tinggi. Penelitian serupa dilakukan oleh Alma (1997) terhadap sejumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jawa Barat, Indonesia. Alma melakukan penelitian mengenai strategi yang dilakukan PTS dalam menarik calon mahasiswa dengan judul penelitian: “Strategi Alternatif Perguruan Swasta (PTS) Dalam Menarik Calon Mahasiswa (Penelitian strategi bauran pemasaran pada universitas swasta di Jawa Barat)”. Penelitian didasarkan pada semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi PTS, baik yang berasal dari lingkungan eksternal maupun lingkuingan internalnya. Tantangan lingkungan eksternal yang dihadapi PTS antara lain adanya persaingan guna menarik calon mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Persaingan tidak hanya terjadi antar PTS, tetapi juga antar PTS dengan perguruan tinggi negeri (PTN) dan institusi publik lainnya. Sedangkan permasalahan yang muncul dari lingkungan internal PTS selama ini adalah
114
lemahnya mutu proses yang berakibat rendahnya kualitas lulusan yang dihasilkan. Akibatnya, kesan yang diterima calon mahasiswa terhadap citra/reputasi PTS menjadi rendah, sehingga mengurangi minat mereka memasuki PTS yang bersangkutan. Dari penelitian ini diketahui bahwa di kalangan calon mahasiswa terbentuk kesan dikotomis antara ‘PTS kuat ‘ dengan ‘PTS lemah’. PTS kuat berada pada posisi “seller’s market, sehingga memiliki segmen pasar yang lebih luas dibandingkan dengan PTS lemah yang berada pada posisi “buyer’s market”. Alma menegaskan bahwa besarnya peminat pada suatu PTS tidak saja dipengaruhi oleh segi-segi akademik, tetapi juga oleh suasana pergaulan kampus (segmentasi pasar), program studi yang tersedia dan kemungkinan lapangan kerja dengan bantuan alumni. Ditemukan pula bahwa kualifikasi dan prestasi dosen merupakan substansi utama dalam strategi akademik dan sekaligus sebagai ujung tombak pembentuk citra PTS. Namun hal ini belum disadari sepenuhnya baik oleh pemimpin PTS maupun oleh dosen itu sendiri. Hasil kajian diatas memberikan kesimpulan bahwa sebagian pimpinan PTS menyadari pentingnya strategi akademik, akan tetapi baru menekankan pada “jumlah” fasilitas yang dimiliki, belum menyentuh esensi hakiki dari mutu akademik itu sendiri. Sementara itu, penelitian terhadap kinerja manajemen strategik di perguruan tinggi dilakukan oleh Trisno, dkk. (2009). Pengukuran kinerja dilakukan terhadap implementasi manajemen strategik pada Jurusan Pendidikan Teknik Elektro (JPTE), Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia (FPTK-UPI). Penelitian lebih difokuskan pada Sistem Pengukuran
115
Kinerja Manajemen Strategik di Perguruan Tinggi dengan Pendekatan Balanced Scorecard. Pengukuran kinerja terutama difokuskan pada tiga perspektif Balanced Scorecard, yaitu mahasiswa dan stakeholders, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Pengukuran terhadap sasaran-sasaran strategis dari tiga perspektif di atas dirinci ke dalam sasaran-sasaran yang bersifat generik dengan menggunakan dua jenis pengukuran Balanced Scorecard (Gaspersz, 2003), yaitu outcome measurement (lagging measures) dan performance driver measurement (leading measure).
Dari penelitian ini diperoleh gambaran bahwa pengembangan
manajemen strategik yang dilakukan oleh JPTE telah membuahkan hasil berupa peningkatan kinerja dalam beberapa sasaran generik tertentu, dan adanya potensi untuk meningkat dalam sasaran-sasaran strategis yang lain. Untuk perspektif mahasiswa dan stakeholders, peningkatan terjadi pada sasaran dominasi pangsa pasar dan mutu pelayanan terhadap mahasiswa. Dalam proses bisnis internal, sejumlah faktor penentu keberhasilan (key performance indicators [KPI]) telah menunjukkan peningkatan, diantaranya keamanan dan kehandalan, ketepatan waktu operasi, semangat kerja tim, dan motivasi unsur pimpinan serta dosen. Sedangkan pada perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, sejumlah KPI juga menunjukkan peningkatan dan potensi untuk meningkat, seperti pengembangan daya
saing,
pengetahuan,
kemampuan
dan
keterampilan
dosen,
serta
keharmonisan dalam komunikasi. Secara singkat, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa implementasi manajemen strategi yang dilakukan oleh JPTE,
116
FPTK-UPI telah meningkatkan kinerja sejumlah sasaran strategis tertentu, dan memberikan potensi untuk meningkat bagi sebagian sasaran strategis lainnya. Dari hasil-hasil penelitian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa perspektif pelanggan (mahasiswa, orang tua, masyarakat, pemerintah, dan pihak-pihak pengguna lainnya) menjadi faktor utama yang harus menjadi keprihatinan pimpinan perguruan tinggi dalam mengelola lembaga yang dipimpinnya. Tuntutan dinamika masyarakat seiring proses globalisasi saat ini menjadi ukuran utama yang harus diperhatikan dalam upaya pengembangan arah perubahan yang dilakukan perguruan tinggi. Oleh karena itu, penerapan manajemen strategik dalam pengelolaan perguruan tinggi di era global ini menjadi sebuah keniscayaan. Praktek-praktek manajemen tradisional yang dilakukan selama ini tidak memungkinkan lagi untuk diterapkan, mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi lembaga pendidikan tinggi saat ini, baik dari lingkungan eksternal maupun internal. Ketidakmampuan perguruan tinggi dalam mengantisipasi perubahan dan menjadi pengendali arah perubahan yang terjadi di masyarakat, tidak saja akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan, tetapi juga kelangsungan hidup perguruan tinggi itu sendiri. Namun demikian, sebagian besar hasil penelitian di atas belum memberikan gambaran yang jelas tentang sejauh mana hasil evaluasi strategi yang dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi itu telah mencapai visinya. Penelitian- penelitian tersebut baru mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan perumusan dan penerapan strategi, belum mengkaji secara luas mengenai
117
evaluasinya. Selama melakukan penelitian ini, penulis baru menemukan satu hasil penelitian, yaitu yang dilakukan Trisno, dkk. (2009), yang mengkaji tentang penerapan manajemen strategik di perguruan tinggi disertai dengan evaluasi kinerjanya dengan melakukan pengukuran terhadap tiga perspektif balanced scorecard. Evaluasi manajemen strategik merupakan hal yang sangat penting guna mengetahui kesesuaian (consonance), keunggulan (advanted), konsistensi (consistency) dan kelayakan (feasibility) strategi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi selama ini. Berdasarkan
kenyataan
tersebut,
penulis
memandang
perlu
untuk
dilakukannya penelitian ini untuk menindaklanjuti hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Nilai penting penelitian lanjutan mengenai manajemen strategik di perguruan tinggi ini terutama untuk melengkapi masalah-masalah yang belum secara luas dikaji dalam penelitian-penelitian terdahulu. Masalah-masalah tersebut terutama mengenai evaluasi strategi guna mengetahui sejauh mana manajemen strategik yang dikembangkan perguruan tinggi selama ini mencapai kesesuaian, keunggulan, konsistensi dan kelayakannya dalam mencapai cita-cita atau visi perguruan tinggi di masa depan. G. Kesimpulan Paparan tentang kajian pustaka di atas dapat kita simpulkan sebagai berikut ini. Peran perguruan tinggi hari ini tidak sebatas pusat ilmu pengetahuan, penelitian dan pengabdian masyarakat, tetapi juga entitas korporat ‘penghasil ilmu pengetahuan’ yang perlu ‘bersaing’. Persaingan itu meliputi bidang mutu, harga,
118
dan layanan yang memungkinkan perguruan tinggi dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam mensikapi era kompetitif saat ini, perguruan tinggi tidak harus reaktif,
tetapi
sebaliknya,
diperlukan
rencana-rencana
strategis
yang
memungkinkannya dapat mengembangkan lulusan yang bermutu serta sesuai dengan tuntutan saat ini. Rencana-rencana strategis itu tidak sekedar dirumuskan dalam sebuah perencanaan. Hal terpenting adalah bagaimana rencana-rencana strategis tersebut
dapat diimplementasikan. Implementasi rencana-rencana
strategis ke dalam bentuk aktivitas nyata merupakan inti manajemen strategik. Dengan demikian, manajemen strategik, sebagai salah satu bentuk pengelolaan organisasi modern, merupakan kebutuhan bagi perguruan tinggi untuk dapat bersaing secara unggul di tengah-tengah era kompetisi saat ini. Manajemen strategik adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perguruan tinggi dalam jangka panjang. Ia meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi, implementasi strategis, dan pengendalian atau evaluasi. Dengan kata lain, manajemen strategik, tidak hanya terfokus pada kegiatan-kegiatan internal, tetapi juga mengantisipasi, memantau, menilai, serta menyertakan faktor-faktor eksternal dalam pengambilan keputusan guna mencapai daya dsaing dan keunggulan yang diinginkan. Sebagai organisasi nirlaba, perguruan tinggi memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan organisasi pencari laba. Karakteristik tersebut cenderung menjadi kendala di dalam penerapan manajemen strategik. Namun, hal itu tidak berarti bahwa manajemen strategik tidak dapat diterapkan dalam
119
pengelolaan perguruan tinggi. Kesamaan-kesamaan yang ada antara perguruan tinggi dengan perusahaan pencari laba menjadi alasan perlunya lembaga pendidikan tinggi modern menerapkan teknik-teknik manajemen strategik, tentunya dengan berbagai penyesuaian. Analisis SWOT dan analisis stakeholder, misalnya, merupakan teknik yang relevan bagi perguruan tinggi sebagaimana yang dilakukan organisasi pencari laba. Perguruan tinggi sebagai sebuah korporasi, seperti halnya perusahaan, memiliki misi, tujuan, kebijakan, program, anggaran, dan prosedur tersendiri. Ia juga mengahadapi tantangan dan ancaman dari lingkungan luarnya, serta memiliki kekuatan dan kelemahan sumber daya dari sisi dalamnya. Di samping itu, perguruan tinggi juga memiliki pelanggan, menghadapi persaingan, harus mempertahankan kelangsungan hidupnya, serta berusaha untuk mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan dinamika masyarakat yang harus dilayaninya. Perencanaan strategi perlu dikomunikasikan dengan baik antara pimpinan perguruan tinggi dengan karyawannya. Jika tidak, maka akan berdampak pada buruknya pelaksanaan strategi dan hasilnya tidak memuaskan. Alat komunikasi manajemen modern yang banyak dikembangkan adalah Balanced Scorecard (BSC). Balanced
Scorecard,
sebagai
suatu
sistem
manajemen
strategik,
menjabarkan misi dan strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolok ukur kinerja untuk empat perspektif yang berbeda, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Tolok ukur dan target kinerja organisasi
120
merupakan alat komunikasi strategi yang mudah dipahami oleh karyawan, yang memungkinkan rencana-rencana strategis dapat terlaksana secara lebih baik. Penerapan balanced scorecard untuk organisasi perguruan tinggi dilakukan dengan sedikit perbedaan dari organisasi perusahaan pencari laba. Hal itu karena tolok ukur utama kinerja perguruan tinggi bukan terletak pada besarnya laba yang dihasilkan, tetapi pada kepuasan pelanggannya. Oleh karenanya, perspektif pelanggan ditempatkan pada urutan pertama, sedangkan tiga perspektif balanced scorecard lainnya merupakan faktor-faktor pendukung (drivers performance) bagi keberhasilan kinerja manajemen strategik di perguruan tinggi.
H. Premis dan Kerangka Pikir Penelitian 1. Premis Berdasarkan paparan teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu di atas, maka premis yang melandasi penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: a. Era globalisasi yang antara lain ditandai dengan kecenderungan berbagai bangsa dalam menekankan pentingnya modal intelektual sebagai sumber kemakmuran dan kesejahteraan (Depdiknas, 2004; Duderstadt, 2003), menyebabkan perguruan tinggi saat ini tidak saja sebatas pusat ilmu pengetahuan, penelitian dan pengabdian masyarakat, tetapi juga entitas korporat ‘penghasil ilmu pengetahuan’ yang perlu ‘bersaing’ sebagaimana perusahaan profit. Persaingan itu meliputi bidang mutu, harga, dan layanan yang memungkinkan perguruan tinggi dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Indrajit dan Djokopranoto, 2006; Alma, 2009). Perubahan akan
121
menjadi kesempatan bagi perguruan tinggi dalam merumuskan visi, kebijaksanaan, dan kesiapannya memimpin di abad-abad mendatang (Duderstadt, 2003) b. Perubahan merupakan fakta universal dalam kehidupan organisasi, tidak terkecuali
perguruan
tinggi.
Tujuan
perubahan
pada
hakekatnya
dimaksudkan untuk memastikan kelangsungan hidup (survival) suatu organisasi
melalui
peningkatan
(growth)
kemampuannya
untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (Pearce dan Robinson, 1997: 60; David, 2009: 9). Oleh karena itu, mensikapi perubahan tidaklah cukup hanya dengan mamahaminya, tetapi yang terpenting adalah bagaimana perubahan itu harus dikelola (Wibowo, 2006). c. Konsepsi-konsepsi manajemen tradisional tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam pengelolaan perguruan tinggi di era persaingan saat ini (Bruce Henderson dalam David, 2009; Sutisna, 1993). Dalam hal ini, perguruan tinggi perlu melakukan tindakan dalam menciptakan kecocokan dan keseimbangan yang lebih baik antara lingkungan internal dengan lingkungan eksternalnya, dengan tetap mempertahankan integritas dan identitasnya (Duderstadt, 2003; Anwar, M.I., 2004: 109). Dengan kata lain, perubahan yang dilakukan perguruan tinggi memerlukan manajemen strategik sebagai proses manajemen yang responsif terhadap lingkungan eksternal disertai dengan pemberdayaan lingkungan internalnya (Pearce dan Robinson, 1997: 19; Bryson, 1990).
122
d. Manajemen strategik memungkinkan sebuah organisasi dapat lebih produktif
dalam
membangun
masa
depannya,
mengarahkan
dan
memengaruhi berbagai aktivitas, dan mengontrol takdirnya sendiri (David, 2009: 23). Dengan kata lain, manajemen strategik merupakan proses berkesinambungan yang tidak sekedar merujuk para perumusan strategi, tetapi mengaitkannya dengan penerapan dan evaluasi secara terus menerus (Hitt, et.al., 2007; Hunger dan Wheelen, 2003; David, 2009).
2. Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan premis di atas, kerangka pikir penelitian ini dirumuskan sebagaimana nampak pada Gambar 1, sebagai berikut ini. a. Bahwa teori dan masalah manajemen strategik menjadi landasan dalam melakukan penelitian secara empiris tentang strategi pengembangan yang dilakukan UIN Bandung. Teori dan masalah tersebut mencakup tiga tahapan manajemen strategik, yaitu perumusan strategi, penerapan strategi, dan evaluasi strategi. Perumusan strategi antara lain meliputi visi, misi, tujuan, analisis lingkungan eksternal, analisis lingkungan internal, serta pilihan strategi yang meliputi perumusan kebijakan dan program-program pengembangan UIN Bandung. b. Visi UIN Bandung merupakan pernyataan pandangan masa depan yang ideal menyangkut bentuk, keadaan, atau wujud UIN Bandung yang dicitacitakan dan menjadi arah pengembangannya. Dalam hal ini, visi UIN Bandung adalah menjadikan UIN sebagai perguruan tinggi yang unggul dan
123
kompetitif yang mampu mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum berlandaskan paradigma wahyu memandu ilmu. Sedangkan Misi UIN merupakan gambaran pembenaran sosial atas keberadaannya. Ia merupakan pernyataan tujuan yang secara jelas membedakan antara UIN Bandung dengan organisasi-organisasi lainnya. Perumusan visi, misi, dan tujuan UIN Bandung didasarkan pada analisis/pemindaian lingkungan, baik internal maupun eksternal. c. Lingkungan internal menggambarkan kekuatan dan kelemahan UIN Bandung yang berada di bawah pengendalian pimpinan UIN. Ia meliputi struktur,
budaya,
dan
sumber
daya.
Struktur
merupakan
bentuk
pengorganisasian UIN sebagai lembaga pendidikan tinggi dalam arti komunikasi, otorisasi, dan aliran kerja. Budaya meliputi kebiasaan, tradisi, kepercayaan, nilai, dan harapan yang dihayati oleh seluruh sivitas UIN Bandung. Sedangkan sumber daya merupakan aset yang dimiliki UIN Bandung berupa kekuatan keuangan, keahlian dan kemampuan SDM, serta sarana dan prasarana lainnya. d. Lingkungan eksternal merupakan wujud tantangan dan kesempatan UIN Bandung yang berada di luar pengendaliannya. Ia terdiri dari lingkungan tugas dan lingkungan sosial. Lingkungan tugas meliputi pemerintah, masyarakat, mahasiswa, dunia industri, dan sebagainya yang mempengaruhi dan dipengaruhi langsung oleh keberadaan UIN Bandung. Sedangkan lingkungan sosial meliputi ekonomi, sosio-kultural, teknologi, politik, hukum, dan sebagainya yang tidak dipengaruhi atau berdampak langsung
124
pada keberadaan UIN, namun dapat saling mempengaruhi dalam jangka panjang.
TEORI DAN MASALAH MANAJEMEN STRATEGIS
Perencanaan Strategis
Implementasi Strategis
Evaluasi Strategis
FENOMENA EMPIRIS (Kasus UIN Bandung) Analisis Lingkungan Eksternal
Pelanggan
Tantangan & Hambatan
Visi, Misi & Tujuan UIN Bandung
Pilihan Strategi
• Program • Anggaran • Prosedur
Kekuatan & Kelemahan
Analisis Lingkungan Internal
Proses Internal
Pembelajaran dan Pertumbuhan
Keuangan
Temuan Penelitian: Model Konseptual Manajemen Strategik dengan Pendekatan Balanced Scorecard
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Gambar 2.8. Kerangka Pikir Penelitian
Universitas Unggul dan Kompetitif
Feedback
125
e. Pilihan strategi. Untuk mencapai visi, misi, dan tujuan yang telah ditetapkan, UIN Bandung mengembangkan serangkaian strategi, yaitu sebuah rencana komprehensif melalui langkah-langkah memaksimalkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi dikembangkan untuk meraih tujuan UIN dalam jangka panjang. Pengembangan strategi dijabarkan dalam rumusan kebijakan dan program kegiatan. f. Implementasi strategi. Perumusan strategi UIN Bandung selanjutnya ditindaklanjuti dengan penerapan strategi, yaitu serangkaian aktivitas pengembangan dan pembuatan program, anggaran, dan prosedur kerja sebagai realisasi nyata atas strategi dan kebijakan yang telah dibuat. Program merupakan aktivitas yang nyata dan jelas untuk melaksanakan atau menerjemahkan strategi. Anggaran merupakan penerjemahan program UIN Bandung dalam bentuk uang secara rinci dan dalam kurun waktu tertentu. Ia meliputi anggaran pendapatan dan anggaran pengeluaran. Sedangkan prosedur merupakan aturan atau teknik pelaksanaan sistem secara langkah demi langkah untuk melaksanakan segala aktivitas (SOP, standard operating procedures). g. Pengembangan program, anggaran, dan prosedur diarahkan untuk pencapaian indikator-indikator kinerja UIN Bandung yang dirumuskan dalam empat perspektif Balanced Scorecard, yaitu perspektif pelanggan, perspektif proses internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, serta perspektif keuangan. Melalui Balanced Scorecard, implementasi strategi tidak hanya terfokus pada hasil yang diinginkan (outcome), tetapi juga
126
melibatkan pengembangan faktor-faktor pendorong kinerja (performance driven), sehingga memungkinkan peningkatan kemajuanUIN Bandung yang berkesinambungan di masa depan. h. Terhadap setiap tahapan dan langkah-langkah strategi tersebut dilakukan evaluasi. Hal itu dibutuhkan guna mengetahui kesesuaian antara strategi yang dilakukan dengan dinamika yang terjadi dalam lingkungan internal dan eksternal UIN Bandung sebagai landasan penerapan strategi tersebut. Di samping itu, juga untuk mengukur pencapaian kinerja organisasi (measuring organizational performance), serta mengambil tindakan korektif (taking corrective actions), sehingga segala upaya yang dilakukan UIN Bandung tetap sejalan dengan arah pengembangan yang telah ditetapkan i. Hasil penelitian ini menjadi salah satu temuan mengenai model implementasi manajemen strategik di perguruan tinggi. Temuan ini memberikan implikasi dan rekomendasi teoritik dalam memperkaya khazanah keilmuan, terutama terhadap ilmu manajemen pendidikan.