17
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Teori Belajar dan Pembelajaran
Proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan kegiatan inti yang harus dipenuhi. Belajar merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, tanpa adanya belajar manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya. Karena dengan belajar kebutuhan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dapat dipenuhi. Gronback dalam Slamento (2001: 2) mengatakan “Learning is show by a behavior as a result of experience . Selanjutnya Moh.Uzer Usman dan Lilis Setiawati dalam Slamento (2001: 3) mengartikan bahwa belajar sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan
lingkungan
sehingga
mereka
lebih
mampu
berinteraksi
dengan
lingkungannya. Sudjana (2002: 4) mengatakan bahwa belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu. Menurut Gulo (2008: 8), Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung didalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berfikir, bersikap dan berbuat.
18
Berdasarkan beberapa pengertian belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku individu dari hasil pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku tersebut, baik dalam aspek pengetahuannya (kognitif), keterampilannya (psikomotor), maupun sikapnya (afektif). Belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku, maka diperlukan pembelajaran yang bermutu yang langsung menyenangkan dan mencerdaskan siswa.
Adapun ciri–ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar (Slamento, 2001: 34), adalah sebagai berikut: a.
Perubahan yang terjadi secara sadar Ini berarti bahwa individu yang belajar, akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang–kurangnya individu merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya.
b.
Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional Suatu perubahan yang akan terjadi menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya.
c.
Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan bertujuan untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Selain itu perubahan tidak terjadi dengan sendirinya tetapi harus ada usaha individu itu sendiri.
19
d.
Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap atau permanen. Sementara itu, mengajar pada hakikatnya adalah memudahkan terciptanya situasi yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar sehingga mengajar dapat pula di istilahkan sebagai pembelajaran.
Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku pada diri seseorang dan mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Di dalam belajar terdapat prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan. Dalyono (2007: 51-54) mengemukakan prinsipprinsip belajar sebagai berikut: a. Kematangan jasmani dan rohani Salah satu prinsip utama belajar adalah harus mencapai kematangan jasmani dan rohani sesuai dengan tingkatan yang dipelajarinya. Kematangan jasmani yaitu setelah sampai pada batas minimal umur serta kondisi fisiknya telah kuat untuk melakukan kegiatan belajar. Sedangkan kematangan rohani artinya telah memiliki kemampuan secara psikologis untuk melakukan kegiatan belajar. b. Memiliki kesiapan Setiap orang yang hendak belajar harus memiliki kesiapan yakni dengan kemampuan yang cukup, baik fisik, mental maupun perlengkapan belajar.
20
c.
Memahami tujuan Setiap orang yang belajar harus memahami tujuannya, kemana arah tujuan itu dan apa manfaat bagi dirinya. Prinsip ini sangat penting dimiliki oleh orang belajar agar proses yang dilakukannya dapat selesai dan berhasil.
d.
Memiliki kesungguhan Orang yang belajar harus memiliki kesungguhan untuk melaksanakannya. Belajar tanpa kesungguhan akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan.
e. Ulangan dan latihan Prinsip yang tidak kalah pentingnya adalah ulangan dan latihan. Sesuatu yang dipelajari perlu diulang agar meresap dalam otak, sehingga dikuasai sepenuhnya dan sukar dilupakan.
2.1.1 Prinsip-Prinsip Belajar Selama kegiatan belajar mengajar sering mengalami berbagai masalah. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut harus mengetahui prinsip-prinsip belajar, yaitu sebagai berikut: a. b. c. d.
Proses belajar adalah kompleks namun terorganisasi. Motivasi sangat penting dalam belajar, karena setiap individu mempunyai kebutuhan atau keinginan yang perlu memperoleh pemenuhan. Belajar berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks. Belajar melibatkan berbagai proses perubahan, perbedaan dan generalisasi berbagai respon. (Rusyan dan Yani Daryani, S, 2002: 12)
Menurut D.F Ausubel dalam Rusyan (2002: 16) mengemukakan lima prinsip utama yang harus diperhatikan di dalam belajar, yaitu:
21
a. b. c. d. e.
Proses penggabungan ide atau pengalaman terhadap pola-pola ide yang lalu yang telah dimiliki. Usaha mengintegrasi pengalaman yang lalu dengan pengalaman baru, sehingga menjadi satu kesatuan pengalaman. Dalam belajar suatu keseluruhan secara utuh harus lebih dulu muncul sebelum sampai kepada suatu yang spesifik. Suatu pelajaran harus lebih dulu dikuasai sebelum sampai kepada pelajaran berikutnya, bila pelajaran tersebut menjadi dasar untuk pelajaran selanjutnya. Ide atau pelajaran baru yang dipelajarin itu harus dihubungkan dengan ide pelajaran yang telah dipelajari lebih dulu.
2.1.2 Asas-Asas Belajar Asas-asas belajar menurut Mukhtar dan Martinis Yamin (2009: 11) adalah sebagai berikut: a) Persiapan prabelajar, b) Dorongan, Motivasi, c) Perbedaan perorangan, d) Kondisi pengajaran, e) Partisipasi aktif, f) Prestasi yang berhasil, g) Praktik, h) Mengetahui hasil, i) Kecepatan menyajikan materi, j) Sikap guru.
Berdasarkan keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Pemahaman seorang guru terhadap pengertian pembelajaran akan sangat mempengaruhi cara guru itu mengajar. Sedangkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran yang menikmati kondisi belajar yang diciptakan guru. Perpaduan keduanya akan melahirkan interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan ajar sebagai medianya. Guru dan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran saling mempengaruhi dan memberikan masukan. Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran
22
merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh guru sebagai pihak pendidik sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Sagala, 2003: 61). Konsep pembelajaran menurut Corey dalam Sagala (2003: 61) adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan. Mengajar menurut William H. Burton dalam Sagala (2003:61) adalah upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Pembelajaran dalam proses pendidikan adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Kata “Pembelajaran” adalah terjemahan dari “Instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar
23
mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar (Gagne dalam Sanjaya, 2008: 100).
Pembelajaran dari paparan di atas dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi antara guru atau pendidik dengan siswa atau peserta didik yang di dalamnya terdapat kegiatan yang bertujuan agar terjadi proses belajar dengan ditandai adanya perubahan tingkah laku pada diri peserta didik. Sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Pada konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
Perencanaan diperlukan dalam sebuah pembelajaran, agar pembelajaran lebih efektif dan terarah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Perencanaan pembelajaran yang baik perlu dilandasi oleh wawasan tentang prinsip-prinsip terjadinya proses belajar. Ketidaksesuaian antara proses pembelajaran dengan dengan prinsip-prinsip terjadinya proses belajar akan mengakibatkan kegagalan atau bahkan menimbulkan situasi yang kontraproduktif. Sebaliknya, kesesuaian antara proses pembelajaran dengan prinsip belajar atau terjadinya perubahan tingkah laku
24
akan mempermudah tercapainya tujuan pembelajaran, yakni terjadinya perubahan tingkah laku yang diinginkan.
Penetapan tujuan pembelajaran merupakan syarat mutlak bagi guru dalam memilih metode yang akan digunakan di dalam menyajikan materi pengajaran. Tujuan pembelajaran merupakan sasaran yang hendak dicapai pada akhir pengajaran, serta kemampuan yang harus dimiliki siswa. Sasaran tersebut dapat terwujud dengan menggunakan metode-metode pembelajaran (Yamin, 2009: 147).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “Mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan (Budiningsih, 2005: 28). Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja.
25
Teori-teori yang menjelaskan proses pembelajaran cukup beragam, beberapa teori pembelajaran tersebut diantaranya sebagai berikut: a.
Teori Belajar Kontruktivisme
Lebih dua dasawarsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahanperubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka, termaksut kurikulum. Herpratiwi, (2009: 71) mengatakan bahwa dalam teori konstruktivisme siswa harus menemukan sendiri dari mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai. Bagi siswa agak benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya.
Prinsip-prinsip kontruktivisme adalah pengetahuan dibina secara aktif oleh siswa, siswa bukan menerima pasif pengetahuan, siswa pembina aktif struktur pengetahuan, siswa mencoba membuat pemahaman tentang pengalaman baru mereka dan fenomena dengan cara membentuk/membina makna tentang perkara tersebut. Prinsip konstruktivisme memandang bahwa pembelajaran dilihat sebagai pengubah ide, pembinaan dan penerimaan ide baru dan penstrukturan semula ide yang sudah tersedia. Pandangan konstruktivisme melihat bahwa siswa membina dan bukan menerima ide tersebut siswa menjalankan secara aktif makna dari pada setiap satu pengalaman yang dilalui.
26
b.
Teori belajar humanistik
Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai (Uno, 2006: 13).
Menurut Uno (2006: 13) mengemukakan bahwa pada teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensipotensi yang ada dalam diri mereka. Menurut hemat kami, Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran
yang mengedepankan
bagaimana
memanusiakan manusisa serta peserta didik mampu mengembangkan potensi dirinya.
27
Abraham Maslow dan Carl Rogers termasuk kedalam tokoh kunci humanisme. Tujuan utama dari humanisme dapat dijabarkan sebagai perkembangan dari aktualisasi diri manusia automomous. Teori humanisme menjelaskan bahwa belajar adalah proses yang berpusat pada pelajar dan dipersonalisasikan, dan peran pendidik adalah sebagai seorang fasilitator.
Afeksi dan kebutuhan kognitif adalah kuncinya, dan goalnya adalah untuk membangun manusia yang dapat mengaktualisasikan diri dalam lingkungan yang kooperatif dan suportif. Dijelaskan juga bahwa pada hakekatnya setiap manusia adalah unik, memiliki potensi individual dan dorongan internal untuk berkembang dan menentukan perilakunya. Oleh karena itu, setiap diri manusia adalah bebas dan memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang mencapai aktualisasi diri.
c.
Teori pembelajaran sosial
Teori belajar sosial ialah pandangan para pakar psikologi yang menekankan perilaku, lingkungan dan kognisi sebagai faktor dalam perkembangan. Teori pembelajaran sosial
merupakan
perluasan
dari
teori
belajar
perilaku
yang tradisional
(behavioristik).
Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Bandura (2006:78). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan perilaku dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan
28
penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura (2006:80) mengemukakan bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modeling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam kenyataannya, daripada membahas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada seberapa jauh siswa telah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka mendapatkan hasil yang diinginkan
Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru dan siswa yang saling bertukar informasi, pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
29
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pengertian pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
2.1.3 Pendekatan Saintifik Pendekatan saintifik pada implementasi kurikulum 2013 dalam pembelajaran meruapakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Metode ilmiah merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif, (4) adanya analisi. Dengan metode ilmiah diharapkan kita mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran yang objektif, tidak gampang percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu, tidak mudah membuat prasangka dan selalu optimis (Permendiknas, 2013:161). Pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif mengonstruck konsep, hukum atau prinsip melalui tahapantahapan
mengamati
(untuk
mengidentifikasi
atau
menemukan
masalah),
merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan Hipotesis, mengumpulkan data
30
dengan
berbagai
teknik,
menganalisis
data,
menarik
kesimpulan
dan
mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.
Penerapan pendekatan saintifik memerlukan langkah-langkah pokok, yaitu Mengamati, Menanya, Menalar, Mencoba dan Membentuk Jejaring. Metode saintifik sangat relevan, dengan tiga teori belajar, yaitu teori Bruner, teori Piaget, dan teori Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada empat hal pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner dalam Hosnan (2014: 35). Pertama, individu hanya belajar dan mengembangkan pikiranya apabila ia menggunakan pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam proses penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang merupakan suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia memiliki kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan maka akan memperkuatretensi ingatan. Empat hal diatas adalah bersesuaian dengan proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode saintifik.
Teori Piaget, menyatakan bahwa belajar berkaitan dengan pementukan dan perkembangan skema (jamak/skemata). Sedangkan Vygotsky, dalam teorinya menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
31
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Nur dan Wikandari dalam Hosnan, 2014: 35).
Menurut Hosnan (2014: 36), pembelajaran dengan metode saintifik memiliki karakteristik sebagai berikut: a. b. c.
d.
Berpusat pada siswa. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengontruksi konsep, hukum atau prinsip. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan, berfikir tingkat tinggi siswa. Dapat mengembangkan karakter siswa.
Adapun tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik didasarkan pada keunggulan pendekatan tersebut. Beberapa tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik Menurut Hosnan (2014: 37) adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan berfikir tingkat tinggi siswa. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik. Terciptanya kondisi pembelajaran dimana siswa merasa bahwa belajar itu merupakan suatu kebutuhan. Diperolehnya hasil belajar yang tinggi. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah. Untuk mengembangkan karakter siswa.
2.1.4 Proses Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik dalam Outdoor Study Langkah-langkah
pendekatan
ilmiah
(scientific
approach)
dalam
proses
pembelajaran pada kurikulum 2013 meliputi: menggali informasi melalui observasing/pengamatan, questioning/bertanya, experimenting/percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan
32
menganalisis, associating/menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta dan serta membentuk jaringan/networking. Langkah-langkah dalam pendekatan saintifik juga harus dijiwai oleh perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. (Kemendiknas, 2013: 169) Hosnan (2014: 38) mengemukakan bahwa pendekatan ilmiah/scientific approach mempunyai kriteria proses pembelajaran sebagai berikut: a.
b.
c.
d. e.
f. g.
Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berfikir logis. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berfikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan dan mengembangkan pola berfikir yang rasional dan objektif dalam merespons materi pembelajaran. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.
33
Kemendiknas (2013: 169) proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu attitude/sikap, knowledge/pengetahuan, dan skill/keterampilan (KSA = Knowledge, Skill and Attitude). a. b. c. d.
e.
Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik „„tahu mengapa‟‟. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik „„tahu bagaimana‟‟. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik „„tahu apa‟‟. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup layak (hard skill) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
Bentuk kegiatan pembelajaran melalui pendekatan scientific terdapat pada tabel: Tabel 2.1 Kegiatan Pembelajaran Menggunakan Pendekatan Scientific Kegiatan
Aktivitas Belajar
Mengamati (observasing)
Melihat, mengamati, membaca, mendengar, menyimak (tanpa dan dengan alat).
Menanya (questioning)
Mengajukan pertanyaan dari yang faktual sampai ke yang bersifat hipotesis; diawali dengan bimbingan guru sampai dengan mandiri (menjadi suatu kebiasaan). Menentukan data yang diperlukan dari pertanyaan yang diajukan, menentukan sumber data (benda, dokumen, buku, experimen), mengumpulkan data.
Pengumpulan Data (experimenting)
Mengasosiasi (associating)
Menganalisis data dalam bentuk membuat kategori, menentukan hubungan data/ kategori, menyimpulkan dari hasil analisis data; dimulai dari unstructured-uni, structure-multistructure sructure.
Outdoor Study a. Membaca dari berbagai sumber belajar yang berkaitan dengan materi b. Mengamati benda-benda peninggalan pra Sejarah Mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang disampaikan
Mengumpulkan dan mencatat data/informasi tentang materi yang sedang dipelajari
a. Berdiskusi dan memberikan kesimpulan tentang materi yang dipelajari atau yang telah dicatat selama pengamatan b. Mengevaluasi materi yang dipelajari
34
Kegiatan
Aktivitas Belajar
Outdoor Study
Mengomunikasi kan
Menyampaikan hasil konseptualisasi dalam bentuk lisan, tulisan, diagram, bagan, gambar atau media lainya.
a. Menyampaikan hasil evaluasi dan simpulan tentang materi b. Mendiskusikan hasil laporan
Sumber: Hosnan, 2014: 39 Pada implementasi kurikulum 2013 menurut (Kemendiknas, 2013: 171), aktivitas guru dalam kegiatan pembelajaran adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Menyediakan sumber belajar, Mendorong siswa berinteraksi dengan sumber belajar (menugaskan), Mengajukan pertanyaan agar siswa memikirkan hasil interaksinya, Memantau persepsi dan proses berpikir siswa serta memberikan scaffodling, Mendorong siswa berdialog/ berbagi hasil pemikiranya, Mengkonfirmasi pemahaman yang diperoleh, dan Mendorong siswa untuk merefleksikan pengalaman belajarnya.
2.1.5 Penilaian Autentik dalam Kurikilum 2013 Asesmen autentik adalah pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan. Penilaian dalam kurikulum 2013 mengacu pada kemendiknas Nomor 66 tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Standar Penilaian bertujuan untuk menjamin: (1) perencanaan penilaian peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan berdasarkan prinsip-prinsip penilaian, (2) pelaksanaan penilaian peserta didik secara profesional, terbuka, edukatif, efektif, efisien, dan sesuai dengan konteks sosial budaya; dan (3) pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel, dan informatif. Standar penilaian pendidikan ini disusun sebagai acuan penilaian bagi pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah pada satuan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
35
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian autentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah.
Salah satu penekanan dalam kurikulum 2013 adalah penilaian autentik (authentic assessment). Menurut Wiggins dalam Kemendiknas (2013: 229) mendefinisikan asesmen autentik sebagai upaya pemberian tugas kepada peserta didik yang mencerminkan prioritas dan tantangan yang ditemukan dalam aktivitas-aktivitas pembelajaran, seperti meneliti, menulis, merevisi dan membahas artikel, memberikan analisa oral terhadap peristiwa, berkolaborasi dengan antarsesama melalui debat dan sebagainya. Pada asesmen autentik guru menerapkan kriteria yang berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan dan pengalaman yang dipeoleh dari luar sekolah. Asesmen autentik menggabungkan kegiatan guru mengajar dan kegiatan siswa belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik serta keterampilan belajar. Penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru, dan peserta didik bebagi pemahaman tentang kriteria kinerja. Asesmen autentik digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik karena berfokus pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar tentang subjek. Asesmen autentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan dan pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana
36
mereka menerapkan pengetahuannya dalam hal apa mereka sudah atau belum mampu menerapkan perolehan belajar. Ciri-ciri penilaian autentik menurut Kunandar (2013: 38) adalah sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5.
6.
Harus mengukur semua aspek pembelajaran, yakni kinerja dan hasil atau produk. Artinya dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik harus mengukur aspek kinerja (performance) dan produk atau hasil yang dikerjakan oleh peserta didik. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung. Menggunakanberbagai cara dan sumber. Tes hanya salah satu alat pengumpul data. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan peserta didik yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari. Penialaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian peserta didik, bukan keluasannya (kuantitas).
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi didik dalam penilaian autentik adalah Proyek atau Penugasan dan Laporannya, Hasil Tes Tertulis, Portofolio, Pekerjaan Rumah, Kuis, Karya Peserta Didik, Presentasi, Demonstrasi, Laporan, Jurnal, Karya Tulis, Kelompok Diskusi dan Wawancara.
2.1.6 Ruang Lingkup, Teknik dan Instrumen Penilaian Autentik 2.1.6.1 Ruang Lingkup Penilaian Autentik Penilain hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan.
37
2.1.6.2 Teknik dan Instrumen Penilaian Autentik Teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan adalah sebagai berikut: 1) Penilaian Kompetensi Sikap. Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat (peer evaluation) oleh peserta didik dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik. Tabel 2.2 Contoh Format Lembar Pengamatan Sikap Peserta Didik Sikap No.
Nama a
1 2 3 4 5 (Sumber: Hosnan, 2014: 421) Keterangan: a. Keterbukaan b. Ketekunan belajar c. Kerajinan d. Tenggang Rasa e. Kedispilan f. Kerja Sama g. Ramah dengan Teman h. Hormat pada Orang Tua i. Kejujuran j. Menepati Janji k. Kepedulian l. Tanggung Jawab
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
38
Skala nilai sikap dibuat dengan rentang antara 1 s/d 5. 1 = sangat kurang 2 = kurang konsisten 3 = mulai konsisten 4 = konsisten 5 = selalu konsisten (Sumber: Hosnan, 2014:406) 2) Penilaian Kompetensi Pengetahuan. Pendidik menilai kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. Instrumen tes tulis berupa soal pilihan ganda, isian, jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan, dan uraian. Instrumen uraian dilengkapi pedoman penskoran. Instrumen tes lisan berupa daftar pertanyaan. 3) Penilaian Kompetensi Keterampilan. Pendidik menilai keterampilan melalui penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik mendemostrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik, proyek dan penilaian portopolio. Insrumen yang digunakan berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale). Tabel 2.3 Contoh Teknik Penilaian Proyek Mata Pelajaran Nama Proyek Alokasi Waktu Guru Pembimbing Nama Nis Kelas
: : : : : : : Penilaian Proyek
No. 1
2
3
Aspek Perencanaan: a. Persiapan b. Rumusan judul Pelaksanaan: a. Sistematika penulisan b. Keakuratan sumber data/informasi c. Kuantitas sumber data d. Analisis data e. Penarikan kesimpulan Laporan Proyek: a. Performans b. Presentasi/Penugasan
Total Skor (Sumber: Hosnan, 2014:405)
1
2
Skor (1-5) 3
4
5
39
Penilaian proyek berfokus pada perencanaan, pengerjaan dan produk proyek. Selama mengerjakan sebuah proyek pembelajaran, siswa memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan sikap, keterampilan dan pengetahuannya. Oleh karena itu, pada setiap penilain proyek, setidaknya ada tiga hal yang memerlukan perhatian khusus dari guru. a. Keterampilan siswa dalam memilih topik, mencari dan mengumpulkan data, mengolah dan menganalisis, memberi makna atas informasi yang diperoleh dan menulis laporan. b. Kesesuaian atau relevansi materi pembelajaran dengan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh siswa. c. Orijinalitas atas keaslian sebuah proyek pembelajaran yang dikerjakan atau dihasilkan oleh siswa.
2.2
Minat Belajar Siswa dalam Kontruksi Pembelajaran Sejarah
Minat merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat besar sekali pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu. Sedangkan pengertian minat secara istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli, di antaranya yang dikemukakan oleh Hilgard yang dikutip oleh Slamento (2001: 57) menyatakan “Interest is persisting tendency to pay attention to end enjoy some activity and content.
Sadiman A. M. (2007: 6) berpendapat bahwa minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Sedangkan menurut Pasaribu dan Simanjuntak (2003: 52) mengartikan minat sebagai suatu motif yang menyebabkan individu berhubungan secara aktif dengan sesuatu
40
yang menariknya. Selanjutnya menurut Daradjat, dkk (2005: 133) mengartikan minat adalah kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan sesuatu hal yang berharga bagi orang.
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli seperti yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa, minat adalah kecenderungan seseorang terhadap obyek atau sesuatu kegiatan yang digemari yang disertai dengan perasaan senang, adanya perhatian, dan keaktifan berbuat.
Menurut Wuryani (2002: 408). Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah melalui beberapa proses belajar untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya, dan hanya dengan belajar maka ia akan dapat mengetahui, mengerti, dan memahami sesuatu dengan baik. Prestasi belajar adalah hasil yang diberikan oleh guru kepada siswa dalam jangka waktu tertentu sebagai hasil perbuatan belajar.
selanjutnya menurut Maslow (2004: 59-62) Prestasi belajar sebagai lambang pemuas hasrat ingin tahu. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa para ahli psikologi biasanya menyebutkan hal ini sebagai tendensi keingintahuan dan merupakan kebutuhan umum pada manusia, termasuk kebutuhan anak di dalam suatu program pendidikan. Adapun Tingkat prestasi menurut Djamarah (2000: 18) tingkat prestasi siswa secara umum dapat dilihat pencapaian (penguasaan) siswa terhadap materi pembelajaran. Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 65% yang dikuasai oleh siswa peserta didik maka persentase keberhasilan siswa pada mata pelajaran tersebut tergolong rendah.
41
Sebagaimana dipahami bersama, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar Menurut Thabrany (2004: 21-41) berupa; kecerdasan, minat (motivasi), konsentrasi, kesehatan jasmani, ambisi dan tekad, lingkungan, cara belajar, perlengkapan, sifat-sifat negatif. Sedangkan Slamento (2001: 96). Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa merupakan iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2011: 152). Minat merupakan suatu dorongan yang kuat dalam diri seseorang terhadap sesuatu. Minat adalah rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh (Slamento, 2001: 121). Minat dapat timbul dengan sendirinya, yang ditengarai dengan adanya rasa suka terhadap sesuatu. Minat adalah sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang ingin dilakukan ketika bebas memilih. Ketika seseorang menilai bahwa sesuatu akan bermanfaat, maka akan menjadi berminat, kemudian hal tersebut akan mendatangkan kepuasan. Ketika kepuasan menurun maka minatnya juga akan menurun. Sehingga minat tidak bersifat permanen, tetapi minat bersifat sementara atau dapat berubah-ubah (Hurlock dalam Slamento, 2001: 122).
Minat merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan yang nantinya dapat
mendatangkan kepuasan,
yang mana kepuasan
itu akan
mempengaruhi kadar minat seseorang. Suatu aktivitas akan dilakukan atau tidak
42
sangat bergantung pada minat seseorang terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas (Sandjaja dalam Slamento, 2001: 123). Minat memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas, karena minat merupakan dorongan yang paling kuat dari dalam diri seseorang. Besar kecilnya minat, akan sangat berpengaruh terhadap aktivitas seseorang. Melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan yang nantinya dapat mendatangkan kepuasan, yang mana kepuasan itu akan mempengaruhi kadar minat seseorang. Suatu aktivitas akan dilakukan atau tidak sangat bergantung pada minat seseorang terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas (Sandjaja dalam Slamento 2001: 123).
Minat memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas, karena minat merupakan dorongan yang paling kuat dari dalam diri seseorang. Besar kecilnya minat, akan sangat berpengaruh terhadap aktivitas seseorang Minat adalah bentuk dari motivasi intrinsik. Pengaruh positif minat akan membuat seseorang tertarik untuk bereksperimen seperti merasakan kesenangan, kegembiraan dan kesukaan (Hidi, Derson dan Ormrod dalam Slamento, 2001: 124). Minat merupakan dorongan dari dalam diri seseorang yang mampu membuat seseorang ingin merasakan hal-hal yang menyenangkan. Seseorang yang memiliki minat terhadap apa yang dipelajari lebih dapat mengingatnya dalam jangka panjang dan menggunakannya kembali sebagai sebuah dasar untuk pembelajaran di masa yang akan datang (Garner dan Ormrod dalam Slamento 2001: 125). Dengan adanya minat, mampu memperkuat 10
43
ingatan seseorang terhadap apa yang telah dipelajarinya, sehingga dapat dijadikan sebagai fondasi seseorang dalam proses pembelajaran di kemudian hari. Minat merupakan kecenderungan seseorang yang berasal dari luar maupun dalam sanubari yang mendorongnya untuk merasa tertarik terhadap suatu hal sehingga mengarahkan perbuatannya kepada suatu hal tersebut dan menimbulkan perasaan senang.
Safari dalam Slamento (2001: 126) mengemukakan bahwa ada empat indikator minat, yaitu: a. perasaan senang, b. ketertarikan siswa, c. Perhatian siswa, dan d. keterlibatan siswa. Masing-masing indikator tersebut sebagai berikut: a.
Perasaan Senang
Seorang siswa yang memiliki perasaan senang atau suka terhadap suatu mata pelajaran, maka siswa tersebut akan terus mempelajari ilmu yang disenanginya. Tidak ada perasaan terpaksa pada siswa untuk mempelajari bidang tersebut. b.
Ketertarikan Siswa
Berhubungan dengan daya gerak yang mendorong untuk cenderung merasa tertarik pada orang, benda, kegiatan atau bisa berupa pengalaman afektif yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri. c.
Perhatian Siswa
Perhatian merupakan konsentrasi atau aktivitas jiwa terhadap pengamatan dan pengertian, dengan mengesampingkan yang lain dari pada itu. Siswa yang memiliki minat pada objek tertentu, dengan sendirinya akan memperhatikan objek tersebut.
44
d.
Keterlibatan Siswa
Ketertarikan seseorang akan suatu objek yang mengakibatkan orang tersebut senang dan tertarik untuk melakukan atau mengerjakan kegiatan dari objek tersebut.
Minat seseorang tidak timbul secara tiba-tiba. Minat tersebut ada karena pengaruh dari dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua minat tersebut sebagai berikut: a.
Faktor Internal
Faktor internal adalah sesuatu yang membuat siswa berminat, yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor internal tersebut antara lain: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan (Syah, 2011: 152). Kelima faktor tersebut sebagai berikut: Perhatian sangatlah penting dalam mengikuti kegiatan dengan baik, dan hal ini akan berpengaruh pula terhadap minat siswa dalam belajar. Perhatian dalam belajar yaitu pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas seseorang yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek belajar (Suryabrata dalam Syah, 2011: 154).
Tingkah laku siswa ketika mengikuti proses belajar mengajar dapat mengindikasikan akan ketertarikan siswa tersebut terhadap pelajaran itu atau sebaliknya, ia merasa tidak tertarik dengan pelajaran tersebut. Ketertarikan siswa inilah yang merupakan salah satu tanda-tanda minat belajar. Menurut M. Alisuf Sabri dalam Syah (2011: 157), minat belajar adalah kecenderungan untuk selalu memperhatikan dan mengingat sesuatu secara terus menerus, minat belajar ini erat kaitannya dengan perasaan senang, karena itu dapat dikatakan minat belajar itu terjadi karena sikap
45
senang kepada sesuatu, orang yang berminat belajar kepada sesuatu berarti ia sikapnya senang kepada sesuatu.
Ahli lain mengatakan bahwa minat belajar adalah kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2011: 160). Sedangkan menurut Marimba dalam Syah (2011: 162), mengemukakan bahwa minat belajar adalah kecenderungan jiwa kepada sesuatu, karena kita merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu, pada umumnya disertai dengan perasaan senang akan
sesuatu
itu.
Menegaskan
pendapat
tersebut, Shalahudin
(2002:
95)
mengemukakan bahwa minat belajar adalah perhatian yang mengandung unsur-unsur perasaan. Oleh karena itu, minat belajar sangat menentukan sikap yang menyebabkan seseorang aktif dalam suatu pekerjaan, atau dengan kata lain, minat belajar dapat menjadi sebab dari suatu kegiatan. Sedangkan menurut Crow dan Crow dalam Shalahudin (2002: 97) mengemukakan bahwa minat belajar atau interest bisa berhubungan dengan daya gerak yang mendorong kita untuk cendrung atau merasa tertarik pada orang, benda, kegiatan, ataupun bisa berupa pengalaman yang efektif yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa minat belajar akan timbul apabila mendapatkan rangsangan dari luar. Dan kecenderungan untuk merasa tertarik pada suatu bidang bersifat menetap dan merasakan perasaan yang senang apabila ia terlibat aktif didalamnya. Perasaan senang ini timbul dari lingkungan atau berasal dari objek yang menarik.
46
2.3
Pembelajaran Sejarah
2.3.1 Pengertian Pembelajaran Sejarah Pembelajaran menurut Reigeluth dalam Yamin (2009: 15) menyebutkan bahwa pembelajaran adalah salah satu sub sistem dari sistem pendidikan, disamping kurikulum, konseling, administrasi, dan evaluasi. Sedangkan menurut Yusufhadi Miarso dalam Yamin (2009: 15) pembelajaran adalah suatu usaha yang di sengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain, atau usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk membuat pelajar dapat belajar dan mencapai hasil belajar yang maksimal.
Pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, ketrampilan, dan sikap (Dimyati dan Mudjiono, 2010: 157). Sedangkan menurut pendapat Dadang Sukirman dan Nana Jumhana dalam Dimyati dan Mudjiono (2010: 158) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses kegiatan yang ditata dan diatur sedemikian rupa dengan didasarkan pada berbagai aspek baik menyangkut aspek konsep hakikat pembelajaran, maupun ketentuan-ketentuan yuridis formal yang mengatur pelaksanaan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran secara lebih khusus. Rahyubi (2012: 233) mengemukakan bahwa “pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lain”. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru dan siswa yang
47
saling bertukar informasi. Menurut Wikipedia, pengertian pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pengertian pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
2.3.2 Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran (instructional objective) adalah perilaku hasil belajar yang diharapkan terjadi, dimiliki, atau dikuasai oleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tertentu. Hal ini didasarkan berbagai pendapat tentang makna tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.
Magner dalam Ariani (2009: 57) mendefinisikan tujuan pembelajaran sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh peserta didik sesuai kompetensi.
Sedangkan
Dejnozka
dan
Kavel
dalam
Ariani
(2009:
58)
48
mendefinisikan tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan spefisik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
Pengertian lain menyebutkan bahwa, tujuan pembelajaran adalah pernyataan mengenai keterampilan atau konsep yang diharapkan dapat dikuasai oleh peserta didik pada akhir priode pembelajaran (Slavin dalam Ariani, 2009: 60). Tujuan pembelajaran merupakan arah yang hendak dituju dari rangkaian aktivitas yang dilakukan dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam bentuk perilaku kompetensi spesifik, aktual, dan terukur sesuai yang diharapkan terjadi, dimiliki, atau dikuasai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tertentu.
Penyusunan Tujuan Pembelajaran Penyusunan tujuan pembelajaran merupakan tahapan penting dalam rangkaian pengembangan desain pembelajaran. Dari tahap inilah ditentukan apa dan bagaimana harus melakukan tahap lainnya. Apa yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran menjadi acuan untuk menentukan jenis materi pembelajaran, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan media pembelajaran yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Tanpa tujuan yang jelas, pembelajaran akan menjadi kegiatan tanpa arah, tanpa fokus, dan menjadi tidak efektif.
Pengertian pembelajaran jika disimpulkan dari beberapa ahli tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses atau sebuah kegiatan
49
yang di dalamnya terdapat konsep yang digunakan untuk memberikan pelajaran mengenai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang sebelumnya dirancang terlebih dahulu dalam sebuah perencanaan. Dari proses tersebut diharapkan dapat mencapai sebuah tujuan dan hasil belajar yang maksimal dalam dunia pendidikan.
Pada tingkat SMA/MA pembelajaran Sejarah diartikan sebagai suatu sistem belajar mengajar Sejarah. Pembelajaran Sejarah berkaitan dengan teori-teori keSejarahan. Berbeda dengan ilmu Sejarah, pembelajaran Sejarah atau mata pelajaran Sejarah dalam kurikulum sekolah memang tidak secara khusus bertujuan untuk memajukan ilmu atau untuk menciptakan calon ahli Sejarah, karena penekanannya dalam pengajaran Sejarah tetap terkait dengan tujuan pendidikan pada umumnya yaitu ikut membangun kepribadian dan sikap mental siswa. Sutrisno Kuntoyo dalam Hasan (2007: 107) menyatakan bahwa kesadaran Sejarah paling efektif diajarkan melalui pendidikan formal. Hasan berpendapat, terdapat beberapa pemaknaan terhadap pendidikan Sejarah.
Pertama, secara tradisional pendidikan Sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan Sejarah adalah wahana bagi pewarisan nilainilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan Sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan tersebut.
Kedua, pendidikan Sejarah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta didik terhadap disiplin ilmu Sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis,
50
pemahaman Sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran Sejarah, kemampuan penelitian Sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan Sejarah (Hasan, 2007: 107).
Sejarah sebagai ilmu mengandung syarat-syarat ilmiah yang harus dipenuhi sebagai disiplin ilmu tertentu. Persepsi tentang Sejarah harus jelas bagi guru yang mengajarkan Sejarah sebagai mata pelajaran. Tujuan Sejarah berbeda dengan tujuan pengajaran Sejarah. Tujuan Sejarah dapat bersifat filosofis, tetapi pengajaran Sejarah mempunyai tujuan tertentu dalam rangka pendidikan atau bersifat didaktis. Harus disadari bahwa mata pelajaran-mata pelajaran tidak harus bersifat ilmu murni, apalagi untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah. Mata pelajaran sebagai alat mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-aspek. Meskipun demikian, Sejarah sebagai mata pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip keilmuan, konsep dasar dan prinsip keilmuan (Siswanto dan Sukamto dalam Hasan, 2007: 109).
Pembelajaran Sejarah merupakan perpaduan antara pembelajaran itu sendiri dan ilmu Sejarah, yang mana keduanya tetap memperhatikan tujuan pendidikan secara umum.
Pemerintah
sebagai
pemegang
otoritas
pendidikan
berpendapat
tentang tujuan dari mata pelajaran Sejarah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi tang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri ini, bahwa mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
51
a.
Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
b.
Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta Sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan.
c.
Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan Sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
d.
Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui Sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
e.
Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.
Pengajaran Sejarah penting dalam pembentukan jiwa patriotisme dan rasa kebangsaan. Suatu pengetahuan Sejarah yang ditunjang pengalaman praktis warga negara yang baik di sekolah membantu memperkuat loyalitas dan membantu anakanak menemukan dirinya dengan latar belakang Sejarah luas. Rowse dalam Hasan (2007: 113) menegaskan bahwa Sejarah adalah suatu mata pelajaran yang bernilai pendidikan tinggi. Sementara itu Collingwod dalam Hasan (2007: 115) mengatakan bahwa nilai Sejarah adalah mengajarkan kepada kita tentang manusia dan apa yang telah dilakukannya. Pada konteks pembentukan identitas nasional, pengetahuan Sejarah mempunyai fungsi fundamental.
52
Menurut Hamid Hasan dalam Kongres Nasional Sejarah tahun 2006, secara tradisional tujuan kurikulum pendidikan Sejarah selalu diasosiasikan dengan tiga pandangan, yaitu:
a.
Perenialisme
yang
memandang
bahwa
pendidikan
Sejarah
haruslah
mengembangkan tugas sebagai wahana “transmission of culture”. Pengajaran Sejarah hendaklah diajarkan sebagai pengetahuan yang dapat membawa siswa kepada penghargaan yang tinggi terhadap “the glorius past”. Kurikulum Sejarah diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik dan generasi penerus untuk mampu menghargai hasil karya agung bangsa di mada lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah air, persatuan dan kesatuan nasional. b.
Esensialisme,
menurut
pandangan
ini,
kurikulum
Sejarah
haruslah
mengembangkan pendidikan Sejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu dan bukan hanya terbatas pada pendidikan pengetahuan Sejarah. Dalam pandangan aliran esensialisme, siswa yang belajar Sejarah harus diasah kemampuan intelektualnya sesuai dengan tradisi intelektual Sejarah sebagai disiplin ilmu. Kemampuan intelektual keilmuan antara lain menghendaki kemampuan berfikir kritis dan analitis terutama dikaitkan dalam konteks berfikir yang didasarkan filsafat keilmuan. c.
Rekonstruksi sosial, pandangan ini menganggap bahwa kurikulum pendidikan Sejarah haruslah diarahkan pada kajian yang mengangkut kehidupan masa kini dengan problema masa kini. Pengetahuan Sejarah diharapkan dapat membantu
53
siswa mengkaji masalah untuk memecahkan permasalahan. Kecenderungankecenderungan yang terjadi dalam Sejarah masa lampau sebagai pelajaran yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan siswa masa kini (Hasan, 2007: 138139).
Namun klasifikasi seperti pandangan di atas tidak perlu dijadikan pegangan mutlak dan terpisah oleh para pengembang kurikulum Sejarah. Sebagai wahana pendidikan, kurikulum Sejarah harus diarahkan untuk mencapai berbagai tujuan seperti pengembangan rasa kebangsaan, kebanggan atas prestasi gemilang masa lalu bangsa, mampu menarik pelajaran dari peristiwa masa lampau untuk digunakan dalam melanjutkan prestasi gemilang bangsa bagi kehidupan masa sekarang dan yang akan datang (Hasan, 2007: 139).
Hal yang wajar terjadi perbedaan sudut pandang dalam memahami kenyataan sosial termasuk dalam masalah Sejarah. Hal ini juga dikemukakan oleh Taufik Abdullah dalam Hasan (2007: 140) bahwa Sejarah sebagai ingatan kolektif memberikan keprihatinan sosial-kultural akan hasrat peneguhan integrasi. Dalam konteks ini, terkaburlah batas-batas antara “kepastian Sejarah” dengan “kewajaran Sejarah”, antara “apa yang sesungguhnya telah terjadi” dan “apa yang semestinya harus terjadi”. Ungkapan lain untuk menjelaskan hal tersebut adalah terbaurlah hasil rekonstruksi kritis terhadap sumber Sejarah dengan keinginan akan masa lalu sebagai landasan kearifan masa kini.
54
Namun usaha untuk menjadikan Sejarah sebagai sumber inspirasi ataupun sebagai landasan nilai merupakan hal yang sah, baik secara akademis maupun secara etis (Taufik Abudullah dalam Hasan, 2007: 142). Pengajaran Sejarah lebih bersifat “confluent” artinya dapat untuk mengembangkan berbagai ranah sekaligus. Ranah kognisi, afeksi dan konasi secara bersama-sama membentuk “sikap keseluruhan”. Aspek kognisi merupakan penggerak perubahan karena informasi yang diterima menentukan perasaan dan kemauan untuk bertindak. Kognisi yang salah akan menimbulkan afeksi dan konasi yang salah pula. Afeksi dan konasi yang benar hanya dapat dihasilkan oleh kognasi yang benar (Mar‟at, 2002: 13). Ini berarti bahwa pengajaran Sejarah yang salah akan menimbulkan sikap yang salah, palsu atau munafik. Bila salah, maka tindakan lahirnya juga menghasilkan tindakan yang salah.
Berfokus pada fungsi pengajaran Sejarah untuk meningkatkan proses penyadaran diri, maka dua aspek didaktik Sejarah perlu ditonjolkan yaitu (1) segi teknik penyampaian atau metodenya dan (2) segi substansialnya atau silabus. Kedua aspek terdapat pengaruh timbal balik, keduanya bertalian dengan usia serta tingkat pendidikan anak didik. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Hasan (2007: 120), prinsip pemilihan substansi dalam didaktif Sejarah adalah
a.
Pendekatan secara lokosentris, mulai dengan mengenal lokasi Sejarah di sekitarnya
b.
Pendekatan konsentris, mulai lingkungan dekat meluas ke lingkup nasional terus ke Internasional
55
c.
Temasentris yaitu pilihan tema tertentu yang menarik sekitar pahlawan atau monumen, dan lain sebagainya
d.
Kronologi: urutan kejadian menurut waktu
e.
Tingkatan presentasi dari deskriptif-naratif ke deskriptif-analitis, mulai dari cerita tentang “ bagaimana” terjadinya, sampai pada “mengapa”-nya
f.
Sejarah garis besar dan menyeluruh
Tujuan mempelajari Sejarah tidaklah sama dengan tujuan Sejarah, menyangkut persoalan didaktis dan juga filsafat. Tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan dasar dan tujuan Pendidikan Nasional (Hugiono & Poerwantana, 2007: 88). Anak didik harus mampu menemukan nilai-nilai yang ada pada materi Sejarah yang dipelajarinya dan mampu merekonstruksi hubungan antar nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran Sejarah tersebut, baik dalam konteks hubungan antar nilainilai yang terdapat dalam materi Sejarah yang disampaikan secara parsial maupun
hubungannya dengan
nilai-nilai
yang
terjadi
saat
ini.
Sebab
pengalaman-pengalaman dalam Sejarah bukan hanya untuk diketahui, tetapi diharapkan dapat dipakai untuk memperbaiki usaha-usaha di masa mendatang (Hugiono & Poerwantana, 2007: 90).
Sejarahlah yang menjadi sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda dengan pengungkapan tokoh Sejarah dan berbagai bidang. Maka dari itu, Sejarah masih relevan untuk dipakai menjadi perbendaharaan suri tauladan, berkorban untuk tanah air, berdedikasi tinggi dalam pengabdian, tanggung jawab sosial besar, kewajiban
56
serta keterlibatan penuh dalam hal-ihwal bangsa dan tanah air. Sartono Kartodirdjo dalam Hasan (2007: 121) berpendapat bahwa pembelajaran Sejarah berkedudukan sangat strategis dalam pendidikan nasional sebagai “soko guru” dalam pembangunan bangsa. Pembelajaran Sejarah perlu disempurnakan agar dapat berfungsi secara lebih efektif, yaitu penyadaran warga negara dalam melaksanakan tugas kewajibannya dalam rangka pembangunan nasional.
Tujuan pelajaran Sejarah Nasional ialah (a) membangkitkan, mengembangkan, serta memelihara semangat kebangsaan; (b) membangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita kebangsaan dalam segala lapangan; (c) membangkitkan hasrat mempelajari Sejarah kebangsaan dan mempelajarinya sebagai bagian dari Sejarah dunia; (d) menyadarkan anak tentang cita-cita nasional untuk mewujudkan cita-cita itu sepanjang masa (Moh. Ali dalam Hugiono & Poerwantana, 2007: 92). Menurut Wahid Siswoyo dalam bukunya “Seminar Sejarah” yang dikutip oleh Hugiono & Poerwantana (2007: 72), dikemukakan beberapa hal, antara lain: a. Sejarah dapat menumbuhkan rasa nasionalisme. b. Sejarah yang mempunyai fungsi pedagogis serta merupakan alat bagi pendidikan membutuhkan pedoman atau pegangan yang dapat digunakan untuk mencapai cita- cita Pendidikan Nasional.
Melalui pendidikan Sejarah yakni dalam bentuk kegiatan belajar mengajar, proses sosialisasi sikap nasionalisme dapat dilaksanakan secara lebih sistematik dan terencana, yaitu melalui proses internalisasi. Proses internalisasi merupakan
57
proses untuk menjadikan suatu sikap sebagai bagian dari kepribadian seseorang. Dalam upaya mensosialisasikan sikap nasionalisme, strategi belajar mengajar pendidikan Sejarah dilakukan melalui tahap pengenalan dan pemahaman, tahap penerimaan, dan tahap pengintegrasian (Hizam, 2007: 289).
2.3.3 Tujuan Pembelajaran Sejarah
2.3.3.1 Sejarah Kelas X a.
Memahami ruang lingkup ilmu Sejarah
b.
Menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian Sejarah
c.
Menganalisis masa pra-aksara dan masyarakat aksara pada masyarakat Indonesia
d.
Menganalisis kehidupan awal masyarakat di Indonesia meliputi peradaban awal, asal-usul dan persebaran manusia di wilayah nusantara/Indonesia
2.3.3.2 Sejarah Kelas Program IPA a.
Menganalisis perkembangan masa negara-negara tradisional yang meliputi masa Hindu-Buddha, Islam di Indonesia
b.
Membandingkan perkembangan masyarakat Indonesia masa penjajahan Hindia-Belanda dan Pemerintahan Pendudukan Jepang
c.
Menganalisis proses kelahiran dan pertumbuhan nasionalisme di Indonesia
58
d.
Merenkonstruksi
perkembangan
masyarakat
Indonesia
sejak
Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan periode demokrasi terpimpin e.
Merekonstruksi pergantian pemerintahan masa awal kemerdekaan (1945-1955), Demokrasi terpimpin (1955-1967), ke masa pemerintahan Orde Baru (1967-1998) sampai periode Reforrmasi (sejak 1998 s/d sekarang)
f.
Merekonstruksi perkembangan masyarakat pada masa Orde Baru
g.
Menganalisis perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesudah Perang Dunia II sampai dengan pertumbuhan teknologi mutahir
2.3.3.3 Sejarah Kelas Program IPS a.
Menganalisis kehidupan awal, peradaban manusia Indonesia dan bangsa-bangsa lain di dunia, serta asal usul dan persebaran manusia di Indonesia
b.
Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia pada masa Negara tradisional, meliputi perkembangan budaya, agama, dan sistem pemerintahan masa Hindu-Buddha, masa Islam, proses interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia
c.
Menganalisis keSejarahan masa kolonial Hindia Belanda (pengaruh Barat) meliputi perubahan ekonomi, demografi, sosial, serta politik dan masa kolonial Jepang yang meliputi perubahan sosial-ekonomi, politik
59
d.
Menganalisis pengaruh berbagai revolusi politik dan sosial di dunia (Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, Revolusi Rusia) terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia
e.
Menganalisis peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan lahirnya Undang-Undang Dasar 1945
f.
Menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia mulai masa kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha,
kerajaan-kerajaan
Islam,
permerintahan colonial Belanda, Inggris, Pemerintahan Pendudukan Jepang,
meliputi
politik
(lahirnya
gerakan
pendidikan
dan
nasionalisme), cita-cita terbentuknya Negara merdeka dan sebagainya g.
Menganalisis perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan persatuan NKRI darii ancaman disintegrasi bangsa, antara lain Peristiwa
Madiun
1948,
Pemnerontakan
DI/TII,
Peristiwa
PERMESTA, Peristiwa Andi Azis, RMS, PRRI, dan Gerakan G-30S/PKI h.
Menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia sejak Proklamasi sampai dengan masa Orde Baru, dan masa Reformasi, meliputi Masa Pemerintahan Demokrasi Terpimpin (Orde baru, 1945-1967), masa Demokrasi Pancasila (Orde Baru, 1967-1998), dan masa peralihan ke masa Reformasi (1998–sekarang)
60
2.3.3.4 Sejarah Kelas Program Bahasa a.
Menganalisis kehidupan masyarakat Indonesia periode kerajaankerajaan tradisional, yang meliputi masa kerajaan Hindu-Buddha dan Islam
b.
Menganalisis perkembangan bahasa dan karya sastra masa kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam
c.
Menganalisis perkembangan masyarakat dan bahasa, karya sastra masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda
d.
Menganalisis proses kelahiran dan perkembangan nasionalisme Indonesia
e.
Merekonstruksi
perkembangan
masyarakat
Indonesia
periode
Proklamasi (1945-1955), Orde Lama (1955-1967), Orde Baru (19671998), dan Reformasi (1998-) mreliputi perkembangan politik, ekonomi, sosial, bidang budaya, bahasa, dan karya sastra.
2.3.4 Ruang Lingkup Sejarah dalam IPS Widja (2007:23) menyatakan bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Pendapat I Gde Widya tersebut dapat disimpulkan jika mata pelajaran Sejarah merupakan bidang studi yang terkait dengan fakta-fakta dalam ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada umumnya.
61
Peran
pendidikan
Sejarah
dalam
pembentukan
sikap nasionalisme
guna
mengantisipasi tantangan global dan berbagai gejolak disintegrasi yang melanda Indonesia akhir-akhir ini sangat dibutuhkan, hal ini mengingat pengalaman Sejarah membuktikan sikap nasionalisme mampu membangkitkan dinamika sosial di masa lalu. Sikap nasionalisme yang dimiliki rakyat Indonesia telah mampu menghantarkan
bangsa
menuju
kemerdekaan
di
tengah
keterbelakangan
pengetahuan rakyat Indonesia dan kuatnya persenjataan penjajah, dalam kontek saat itu. Namun, saat ini peran pendidikan Sejarah patut dipertanyakan, sikap nasionalisme yang dimiliki bangsa menunjukkan kerapuhan. Konflik antar suku dan agama karena perbedaan nilai, dan upaya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bukti bahwa kesatuan nasional masih rapuh (Hizam, 2007: 288).
Bedasarkan Kemendiknas Nomor 64 tahun 2013 tentang Standar Isi yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri, untuk satuan pendidikan dasar dan menengah dijelaskan terkait materi dan tujuan dari pembelajaran Sejarah maka mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
62
2.3.5 Materi Sejarah Secara umum materi Sejarah meliputi: a.
Nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;
b.
Khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
c.
Kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
d.
Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
e.
Sikap untuk menanamkan dan mengembangkan tanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Sejarah diberikan kepada seluruh siswa di sekolah dari tingkat dasar (SD dan sederajat) sampai tingkat menengah (SMA dan sederajat) dalam bentuk mata pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan watak bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran lainnya. Meskipun demikian, terkait dengan materi Sejarah dri tingkat dasar sampai menengah, Taufik Abdullah berpendapat agar siswa tidak bosan menerima materi Sejarah, maka jika secara faktual yang disampaikan sama namun dalam setiap
63
jenjang pendidikan, peristiwa tersebut akan tampil pada tingkat pengetahuan, pemahaman, serta pemberian keterangan Sejarah yang semakin tinggi dan kompleks. Maka setiap tingkatan atau tahap diharapkan bisa memberikan kesegaran dan kematangan intelektual (Taufik Abdullah dalam Hasan, 2007: 145).
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Sejarah tidak mengkhususkan mempelajari fakta-fakta dalam Sejarah sebagai ilmu namun perpaduan antara Sejarah dan tujuan pendidikan pada umumnya. Meski demikian, pembelajaran Sejarah berusaha menampilkan fakta Sejarah secara obyektif meskipun tetap dalam kerangka fakta Sejarah yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri
Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting, agar kekhawatiran tentang subyektifitas Sejarah dalam pembelajaran Sejarah tidak mengorbankan ilmu Sejarah. Sebagaimana pandangan Taufik Abdullah dalam Hasan (2007: 146) bahwa Sejarah sebagai alat pemupuk ideologi, betapapun luhurnya mempunyai resiko yang bisa meniadakan validitas dari apa yang akan disampaikan. Pemisahan kurikulum antara Sejarah “kognitif” (pengetahuan) dengan yang “afektif” (perasaan) yang pernah dilakukan, bukan saja artifisial, tetapi juga memperlihatkan kemandulan dalam pemikiran keSejarahan. Seakan-akan, Sejarah yang diketahui tidak bertolak dari keingintahuan yang subjektif, demi didapatkan kearifan yang afektif.
64
Mengutip pernyataan dari Elton dalam Widja (2007: 174), sering muncul kecurigaan di kalangan sejarawan bahkan para pendidik, terhadap alasan mengkaitkan Sejarah dengan proses pendidikan. Proses pendidikan Sejarah dianggap hanya menjadi sumber kecenderungan etnosentris bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara itu, Namier dalam Widja (2007: 175) berpendapat bahwa peran Sejarah sebagai “moral precepts” atau ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi sebagai legitimasi doktrin atau ideologi tertentu.
Selain itu, Mahasin dalam Widja (2007: 176) berpandangan bahwa kritik umum kepada pendukung nilai edukatif Sejarah dalam penanaman nilai-nilai Sejarah melalui proses pendidikan yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan edukatif yang bersifat ekstrinsik atau instrumental. Padahal dalam teori belajar yang lebih utama adalah nilai instrinsik. Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental dalam pendidikan Sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai Sejarah sebagai landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang sudah ditentukan sebelumnya (predefined person) baik dalam rangka “cultural transmission” maupun dalam penyiapan “moral precepts” bagi generasi baru. Kerangka berpikir seperti ini, muncul kecenderungan atau dorongan pemujaan berlebihan terhadap masa lampau yang pada gilirannya memberi peluang bagi kekaburan realitas Sejarah demi kepentingan masa kini atau kecenderungan presentisme. Pengaburan seperti ini bisa mendorong generasi baru hanya terpesona atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir secara kreatif merencanakan bangunan masa depannya.
65
Menurut Taufik Abdullah dalam Hasan (2007: 150) jika disimpulkan, Sejarah sebagai wacana intelektual akan tampil secara bertahap dengan berbagai wajah. Pertama,
sebagai
Sejarah
yang
bernada
moralistik,
yang
merupakan
pertanggungjawaban rasional akan keharusan hidup bermasyarakat. Kedua, Sejarah sebagai alat pengetahuan praktis, yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui struktur hari dan dunia kini dan ketiga, Sejarah sebagai pembimbing kearah pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong untuk memungkinkan terjadinya dialog yang kreatif dengan pergolakan jaman yang melintas dalam pengalaman hidupnya atau alat untuk memahami dunia dengan cerdas.
Oleh karena itu, perlu ditekankam strategi dasar berupa penanaman nilai yang dinamis progresif sebagai jalan tengah memahami permasalahan di atas. Perspektif ini menjelaskan apabila dalam proses belajar-mengajar Sejarah tidak bisa dihindarkan mengajak siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masa lampau, bukanlah dimaksudkan agar siswa terpaku dan terpesona pada kegemilangan masa lampau. Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk menjadi kekuatan motivasi menghadapi tantangan masa depan (Widja, 2007: 183).
Inti pembelajaran Sejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati diri dan budi pekerti kepada anak didik. Buku pelajaran Sejarah hendaknya disusun dengan ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan pada tujuan pendidikan nasional (Hugiono & Poerwantana, 2007: 90). Melalui proses belajar Sejarah bukan semata-mata menghapal fakta, siswa dapat mengenal kehidupan bangsanya secara lebih baik dan mempersiapkan kehidupan
66
pribadi dan bangsanya yang lebih siap untuk jangka selanjutnya (Hasan, 2007: 141). Sementara itu, Krug dalam Hasan (2007: 141) berpendapat bahwa pengajaran Sejarah bangsa merupakan upaya terbaik untuk memperkuat kesatuan nasional dan untuk menanamkan semangat cinta tanah air dan jiwa patriotik. Sedangkan Sartono Kartodirdjo dalam Hasan (2007: 200) menyatakan peranan strategis pengajaran Sejarah dalam rangka pembangunan bangsa menuntut suatu penyelenggaran pengajaran Sejarah sebagai pemahaman dan penyadaran, sehingga mampu membangkitkan semangat pengabdian yang tinggi, penuh rasa tanggung jawab serta kewajiban. Kepekaannya terhadap Sejarah akan melahirkan aspirasi dan inspirasi untuk melaksanakan tugasnya sebagai warga negara.
2.4
Metode Outdoor Study dalam Pembelajaran IPS
2.4.1 Pengertian Metode Outdoor Study Outdoor Study dikenal juga dengan berbagai istilah lain seperti Outdoor Study, Outdoor Study, pembelajaran lapangan atau pembelajaran luar kelas. a.
Menurut Komarudin dalam Husamah (2013: 19) menyatakan Outdoor Study merupakan aktivitas luar sekolah yang berisi kegiatan di luar kelas/sekolah dan di alam bebas lainnya, seperti: bermain di lingkungan sekolah, taman, perkampungan pertanian/nelayan, berkemah, dan kegiatan yang bersifat kepetualangan, serta pengembangan aspek pengetahuan yang relevan.
b.
Menurut Amin dalam Husamah (2013: 19), menyatakan Outdoor Study Process (OSP) adalah pembelajaran sains dengan melakukan petualangan di
67
lingkungan sekitar dengan cara meneliti yang hasilnya dicatat ke dalam Lembar Kerja Pengamatan (LKP). c.
Menurut Barlet dalam Husamah (2013: 20), menyatakan metode pembelajaran pendidikan luar ruang adalah suatu pembelajaran yang dilakukan di luar ruang atau luar kelas.
d.
Menurut Hariyanti dalam Husamah (2013: 20), menyatakan proses pembelajaran luar kelas adalah proses pembelajaran yang dapat membangun makna (input), kemudian prosesnya melalui struktur kognitif sehingga berkesan lama dalam ingatan atau memori (terjadi rekonstruksi).
e.
Menurut Husamah (2013: 20), menyatakan pendidikan luar kelas diartikan sebagai pendidikan yang berlangsung di luar kelas yang melibatkan pengalaman yang membutuhkan partisipasi siswa untuk mengikuti tantangan petualangan yang menjadi dasar dari aktivitas luar kelas seperti hiking, mendaki gunung, camping, dan lain-lain.
f.
Menurut Indramunawar dalam Prihantoro (2010: 87), mengemukakan bahwa outdoor activities adalah kegiatan di alam bebas atau kegiatan di luar kelas dan mempunyai sifat menyenangkan, karena bisa melihat, menikmati, mengagumi dan belajar mengenai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang terbentang si alam, yang dapat disajikan dalam bentuk permainan, observasi/pengamatan, simulasi, diskusi, dan petualangan sebagai media penyampaian materi.
g.
Menurut Dadang M. Rizal dalam Maryani (2011: 25), pembelajaran di luar kelas yang menyenangkan kemampuan dan potensi diri disamping mencari suasana dan lingkungan baru untuk menyalurkan kebutuhan manusia dalam
68
berinteraksi dengan alam dan berinteraksi sesama manusia dalam suasana di luar ruangan (outdoor).
Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dan berinteraksi dengan alam dan manusia dalam suasana di luar kelas. Jadi, Outdoor Study adalah suatu kegiatan pembelajaran di luar kelas dan mempunyai sifat yang menyenangkan, dimana melalui kegiatan ini diberikan kesempatan untuk menuangkan potensi diri, sekaligus menyalurkan kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan alam dan sesama manusia dalam suasana di luar ruangan dan dapat menimbulkan nilai spiritual siswa terhadap ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Outdoor learning adalah suatu kegiatan di luar kelas yang menjadikan pembelajaran di luar kelas menarik dan menyenangkan, bisa dilakukan dimanapun dengan menekankan
pada
proses
belajar
berdasarkan
fakta
nyata,
yang
materi
pembelajarannya secara langsung dialami melalui kegiatan pembelajaran secara langsung dengan harapan siswa dapat lebih membangun makna atau kesan dalam memori atau ingatanya.
Pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) merupakan pembelajaran yang dilakukan di luar ruang kelas atau di luar gedung sekolah, atau berada di alam bebas, seperti: bermain di lingkungan sekitar sekolah, di taman, atau di perkampungan masyarakat sekitar sehingga diperoleh pengetahuan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan aktivitas hasil belajar terhadap materi yang disampaikan di luar kelas.
69
Pendekatan pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) adalah pendekatan yang dilakukan guru, dimana guru mengajak siswa belajar di luar kelas untuk melihat peristiwa langsung di lapangan yang di gunakan sebagai sumber belajar. Peran guru disini adalah sebagai motivator, artinya guru sebagai pemandu agar siswa belajar melalui pengalaman langsung dari proses pembelajaran yang mereka peroleh..
Pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) ini adalah sebagai pendekatan pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman pada siswa. Karena dengan pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) siswa dapat merasakan pengalaman langsung melalui pengalaman sendiri di luar kelas terhadap suatu objek di lingkungan. Konsep aktivitas luar kelas merupakan suatu pendekatan dengan menggunakan kehidupan di luar ruangan yang memberikan banyak kesempatan bagi siswa untuk memperoleh dan menguasai berbagai bentuk keterampilan dasar, sikap dan apresiasi terhadap lingkungan sekitar dan berbagai hal yang terdapat di luar kelas. Bentuk-bentuk kegiatan luar kelas dapat berupa: menjelajah atau mengamati lingkungan sekitar sekolah, mempelajari sesuatu yang mereka peroleh melalui benda-benda yang ada di sekitar lingkungan dimana kita tinggal dan lain sebagainya.
2.4.2 Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Outdoor Study Menurut Oemar Hamalik dalam Prihantoro (2010: 89), berpendapat bahwa prosedur untuk mempersiapkan pembelajaran dengan Outdoor Study adalah sebagai berikut: a.
Guru merumuskan dengan teliti pengalaman belajar direncanakan untuk memperoleh hasil yang potensial atau memiliki alternatif.
70
b.
Menentukan bentuk kegiatan yang akan dipakai, kegiatan Outdoor Study ini dapat divariasi sendiri oleh guru. Misalnya: dalam satu materi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, seperti dalam tema yang lain seperti lingkungan.
c.
Guru berusaha menyajikan pengalaman yang bersifat menantang dan memotivasi.
d.
Menentukan waktu pelaksanakan kegiatan. Kegiataan Outdoor Study ini dapat dilaksanakan dalam pembelajaran atau dapat juga dilaksanakan di luar jam pelajaran.
e.
Menentukan rute perjalanan Outdoor Study, dapat dilakukan satu kelas bersama-sama. Outdoor Study dapat menggunakan rute di sekitar sekolahan atau di lingkungan warga sekitar.
f.
Siswa dapat bekerja secara individual dan dapat bekerja dalam kelompokkelompok kecil.
g.
Para siswa secara aktif berperan serta dalam pembentukan pengalaman.
h.
Setelah semua persiapan selesai maka tahap selanjutnya pelaksanaan kegiatan Outdoor Study yaitu guru menjelaskan tentang aturan dalam pembelajaran dengan Outdoor Study.
2.4.2.1 Manfaat Metode Pembelajaran Outdoor Study Metode pembelajaran Outdoor Study bisa diterapkan pada anak-anak usia Sekolah dan orang dewasa sekaligus. Berikut manfaat metode pembelajaran Outdoor Study menurut para ahli:
71
2.4.2.1.1 Menurut Suyadi dalam Husamah (2013: 25), menyebutkan bahwa manfaat pembelajaran luar kelas antara lain: a. Pikiran lebih jernih. b. Pembelajaran akan terasa menyenangkan. c. Pembelajaran lebih variatif. d. Belajar lebih rekreatif. e. Belajar lebih riil. f. Anak lebih mengenal pada dunia nyata dan luas. g. Tertanam image bahwa dunia sebagai kelas. h. Wahana belajar akan lebih luas. i Kerja otak lebih rileks. 2.4.2.1.2 Menurut Sudjana dan Rivai dalam Husamah (2013: 25) menjelaskan banyak keuntungan yang diperoleh dari kegiatan mempelajari lingkungan dalam proses belajar, antara lain: a.
Kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan siswa duduk berjam-jam, sehingga motivasi belajar siswa akan lebih tinggi.
b.
Hakekat belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan dengan situasi dan keadaan yang sebenarnya atau bersifat alami.
c.
Bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya serta lebih faktual sehingga kebenarannya akurat.
d.
Kegiatan belajar siswa lebih komprehensif dan lebih aktif sebab dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti mengamati, bertanya atau wawancara, membuktikan atau mendemontrasikan, menguji fakta, dan lain-lain.
e.
Sumber belajar lebih kaya sebab lingkungan yang dapat dipelajari bisa beraneka ragam seperti lingkungan sosial, lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lain-lain.
72
f.
Siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang ada dilingkungannya, sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak asing dengan kehidupan membentuk sekitarnya, serta dapat memupuk cinta lingkungan.
2.4.2.1.3 Menurut Direktorat Tenaga Kependidikan dalam Husamah (2013: 26), proses pembelajaran secara langsung dapat memberikan pengalaman nyata pada siswa, artinya pengalaman itu akan terhindar dari kesalahan persepsi dari pembahasan materi pelajaran tertentu. 2.4.2.1.4
Menurut Purwanti dalam Husamah (2013: 27), nilai plus dari Outdoor Study adalah sebagai berikut: a.
Dapat merangsang keinginan siswa untuk mengikuti materi pelajaran guna meningkatkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan siswa.
b.
Dapat digunakan sebagai media alternatif bagi guru dalam mengembangkan metode mengajar.
Metode pembelajaran Outdoor Study memberikan alternatif cara pembelajaran dengan membangun makna atau dengan melibatkan lebih banyak indera penglihatan, indera pendengaran, indera perabaan, indera penciuman pada siswa dan memberikan pengalaman yang lebih berkesan, karena siswa mengalami sendiri tentang materi pelajaran.
73
2.4.2.2
Kekurangan Metode Pembelajaran Outdoor Study
Menurut Sudjana dan Rivai dalam Husamah (2013: 31), terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan yang sering terjadi dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran Outdoor Study berkisar pada teknis pengaturan waktu dan kegiatan belajar, antara lain: a.
Kegiatan belajar kurang dipersiapkan sebelumnya yang menyebabkan ada waktu siswa dibawa ke tujuan tidak melakukan kegiatan belajar yang diharapkan sehingga ada kesan main-main.
b.
Ada kesan guru dan siswa bahwa kegiatan mempelajari lingkungan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga menghabiskan waktu untuk belajar di kelas.
c.
Sempitnya pandangan guru bahwa kegiatan belajar hanya terjadi di dalam kelas.
Banyak hal yang perlu dipikirkan oleh guru. Salah satunya adalah belajar di luar ruangan akan menjadi daya tarik tersendiri sehingga banyak orang yang datang untuk menyaksikan. Pusat perhatian siswa akan langsung tertuju kemana-mana karena posisi belajar mereka di tempat terbuka. Oleh karena itu, sebagai guru yang cerdas, diperlukan kiat-kiat tertentu untuk mengatasi kelemahan metode Outdoor Study.
2.5
Keterampilan Sosial
2.5.1 Pengertian keterampilan sosial Keterampilan sosial berasal dari kata terampil dan sosial. Kata keterampilan berasal dari 'terampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar,
74
dari tidak terampil menjadi terampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Pelatihan keterampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal maupun informal.
Keterampilan sosial memiliki penafsiran akan arti dan maknanya. Menurut beberapa ahli yang memberikan pendapatnya tentang keterampilan sosial adalah sebagai berikut: a.
Jarolimek dalam Maryani (2011: 18-19) mengemukakan bahwa keterampilan sosial (social skill) meliputi 3 aspek: 1. Living and working together, taking turns, respecting the rights of other (Hidup dan bekerja sama, bergiliran, respek dan sensitive terhadap hak orang lain). 2. Learning self-control and self-direction (Belajar mengontrol diri dan tau diri). 3. Sharing ideas and experience with other (Berbagi ide dan pengalaman dengan orang lain)
b.
Combs & Slaby dalam Maryani (2011: 22) memberikan pengertian keterampilan sosial (social skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima
75
secara sosial maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain. c.
Hargie et.al dalam Maryani (2011: 24) memberikan pengertian keterampilan sosial (social skill) sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial (social skill) akan mampu mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus melukai orang lain.
d.
Libet dan Lewinsohn dalam Maryani (2011: 25) memberikan pengertian keterampilan sosial (social skill) sebagai kemampuan yang kompleks untuk menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negatif oleh lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh lingkungan. Kelly dalam Maryani (2011: 28) memberikan keterampilan sosial (social skill) sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Matson dalam Maryani (2011: 30) mengatakan bahwa keterampilan sosial (social skill), baik secara langsung maupun tidak membantu seseorang anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan
76
dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya. e.
Combs & Slaby dalam Budilarasati (2002: 79) memberikan pengertian keterampilan sosial (social skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain.
f.
Matson dalam Lutfi (2007: 56) mengatakan bahwa keterampilan sosial (social skill), baik secara langsung maupun tidak membantu seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
g.
Keterampilan sosial menurut Mu‟tadin (2006: 24) adalah kemampuan atau kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menyesuaikan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya yang meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, memberi dan menerima ktirik yang diberikan orang lain.
h.
Keterampilan sosial (social skill) menurut Bellack and Hersen dalam Mu‟tadin (2006: 25) “social skill as individual’s ability to express both positive and negative fellings in the interpersonal context without suffering consequent loss
77
of social reinforcement in a large varienty of interpersonal contexts (involving) the coordinated delivery of appropriate verbal dan non verbal response” (keterampilan sosial mempunyai makna sebagai kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan baik perasaan positif dan perasaan negatif dalam hubungannya dengan orang lain tanpa kehilangan penguatan sosial dan dalam berbagai ragam hubungan dengan orang lain yang mencakup respon verbal dan non verbal. i.
Menurut Moerdani (2002: 91), Keterampilan sosial merupakan kemampuan untuk mengadakan komunikasi satu individu dengan individu yang lain seperti; perilaku yang berorientasi pada tugas yaitu kemampuan untuk mengambil tanggung jawab, untuk bekerja dan bekerjasama dalam kelompok, menjadi kreatif dalam bekerja, dan berusaha untuk mendapat kualitas dalam bekerja.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah sebuah alat yang terdiri dari kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial, kemampuan menghargai diri sendiri dan bertanggung jawab dalam bekerja.
2.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu
78
kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai sarana dan media pembelajaran. Secara lebih terperinci, faktor-faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Kondisi anak
Ada beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak, antara lain tempramen anak serta kemampuan sosial kognitif (Robinson & Garber dalam Maryani, 2011: 32).
Penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut atau malu-malu dalam menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan terbuka lebih responsif terhadap lingkungan sosial (Bukowski & Parker dalam Maryani, 2011: 35). Selain itu, anak-anak yang memiliki temperamen sulit ini cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya. Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam proses belajar ketrampilan sosial.
Kemampuan mengatur emosi juga mempengaruhi ketrampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins dalam Maryani (2011: 40) membuktikan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisasi dengan lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki ketrampilan sosial yang baik
79
sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anakanak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Menurut Dodgem, dkk. dalam Maryani (2011: 44), perkembangan keterampilan sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu ketrampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterpretasi isyarat sosial dengan cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan. Kemampuan sosial kognitif lainnya yang juga penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspective taking) dan kemampuan empati. Semakin baik ketrampilan memproses informasi sosial anak, maka akan semakin mudah baginya untuk membentuk hubungan suportif dengan orang lain, yang berarti akan menambah luas jaringan sosial sebagai media pengembangan ketrampilan sosialnya. b.
Interaksi anak dengan lingkungan
Secara umum, pola interaksi anak dan orang tua serta kualitas hubungan pertemanan dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau
80
lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak (Rubin, Bukowski
&
Parker
dalam Maryani,
2011:
47). Anak banyak belajar
mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan) terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.
Keterampilan sosial anak terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya dengan orang tua yang mulai terjalin sejak awal kelahiran. Melalui proses sosialisasi ini, orang tua menjamin bahwa anak mereka memiliki standar perilaku, sikap, ketrampilan dan motif-motif yang sedapat mungkin sesuai dengan yang diinginkan atau tepat dengan perannya dalam masyarakat (Hetherington & Parker dalam Maryani, 2011: 49). Proses sosialisasi yang berawal sejak bayi ini, menjadi lebih disadari dan sistematis seiring dengan bertambahnya kemampuan anak dalam ketrampilan motorik dan penggunaan bahasa. Pelukan yang diberikan oleh orang tua dan pujian yang mereka terima saat memperoleh kemampuan baru atau larangan saat melakukan sesuatu merupakan beberapa contoh sosialisasi yang secara sistematis mempengaruhi anak. Nilai, kepercayaan, ketrampilan, sikap dan motif yang disosialisasikan oleh orang tua ini kemudian diinternalisasikan oleh anak dan menjadi dasar perilakunya dalam kehidupan.
Sebagai figure yang paling banyak dengan anak, orang tua tidak hanya berperan dalam mengajarkan ketrampilan sosial secara langsung pada anak, tetapi juga
81
berperan dalam pembentukan hubungan dengan lingkungan terutama dengan teman sebaya. Menurut Pettit & Mize dalam Maryani (2011: 52), orang tua mempengaruhi perkembangan perilaku sosial, pola interaksi dan kualitas hubungan anak dengan sebayanya melaui:
a)
Memberi anak kesempatan untuk berhubungan dengan teman sebayanya
b)
Mengawasi pertemuan anak dengan teman sebayanya (bila dibutuhkan)
c)
Mengajarkan anak untuk mampu memenuhi tugas-tugas yang berkaitan dengan hubungan interpersonal dengan teman sebaya; dan
d)
Menegakan disiplin terhadap perilaku yang tidak dapat diterima dan maladaptive
Pemberian kesempatan pada anak untuk menjalin hubungan dengan teman sebaya ini merupakan media bagi anak untuk mencoba dan mengembangkan ketrampilan sosial yang telah didapatnya dari orang tua. Dan dengan adanya pengawasan, orang tua dapat memastikan bahwa anak tetap menginternalisasikan nilai-nilai yang disosialisasikannya.
Seiring anak tumbuh semakin besar, pengaruh teman sebaya sangat menonjol sebagai sumber penguat dan model. Anak memperoleh rentang pengetahuan yang luas dan bermacam respon dengan cara mengobservasi dan melakukan imitasi perilaku teman sebayanya, dan dengan adanya reinforcement atau penguat anak akan mampu menilai respon mana yang dapat diterima oleh teman-temannya (Hetherington & Parke dalam Maryani, 2011: 58). Proses imitasi dan pengukuhan ini
82
biasanya diikuti dengan peningkatan interaksi sosial yang pada akhirnya berpengaruh pula pada peningkatan ketrampilan sosial anak. Stoscker & Dunn dalam Maryani (2011: 60) menyebutkan bahwa anak yang memiliki hubungan sosial yang positif dan lebih popular memiliki ketrampilan sosial yang lebih baik dibandingkan anak yang kurang mampu bersosialisasi. Begitu pula anak-anak yang jaringan sosialnya lebih luas akan lebih terampil dalam bersosialisasi dibandingkan anak yang jaringan sosialnya terbatas.
2.5.3 Arti Pentingnya Pendidikan Keterampilan Sosial Johnson dan Johnson dalam Maryani (2011: 65) mengemukakan enam hasil penting dari memiliki keterampilan sosial, yaitu: a.
Perkembangan Kepribadian dan Identitas Hasil pertama adalah perkembangan kepribadian dan identitas karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri. Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandanagn yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.
b. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan Kesuksesan Karir Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja, produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain
83
untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks, dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan dunia kerja. c. Meningkatkan Kualitas Hidup Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan social karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim dengan individu lainnya. d. Meningkatkan Kesehatan Fisik Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik. Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan dengan hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit. e. Meningkatkan Kesehatan Psikologis Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan
positif
dan
dukungan
dari
orang
lain.
Ketidakmampuan
mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kemampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri. f . Kemampuan Mengatasi Stress Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling mendukung telah menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan.
84
Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan memberikan perhatian, informasi, dan feedback.
Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandangan yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.
Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.
2.5.4 Karakteristik Keterampilan Sosial Keterampilan sesorang adalah bersifat pribadi, situasional dan relatif. Hal ini seperti dikemukakan oleh Frazier dalam Moerdani (2002: 92) bahwa: “social skill as the same as values are personal situasional and relative” dengan uraian sebagai berikut: 1.
Pertama: keterampilan sosial mencerminkan karakteristik perilaku yang khas seseorang dalamberhubungan dengan orang lain.
2.
Kedua: keterampilan sosial ditampilkan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapinya karena setiap situasi memerlukan keterampilan yang berbeda tegantung dengan masalah yang sedang dihadapinya.
85
3.
Ketiga: keterampilan sosial menunjukkan subtansi yang berbeda antara seseorang individu dengan individu yang lain. Keterampilan sosial ini bersifat tidak seragam, berbeda tolak ukurnya tergantung nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Setiap orang menampilkan keterampilan sosial masing-masing kerena dipengaruhi oleh pengalaman, latihan yang diperolehnya serta situasi yang dihadapinya. Semakin banyak pengalaman, latihan dan situasi yang dihadapi, maka keterampilan sosial seseorang akan semakin menjadi matang. Keterampilan sosial juga merupakan bagian dari domain psikomotor. Hal ini dikemukakan oleh Carledge dan Milburn dalam Moerdani (2002: 93) bahwa “social skills are part of phychomotor domain, which are related to cognitive and affective domain”. Pendapat ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial sebagai bagian dari domain psikomotor yang mempunyai hubungan dengan domain kognitif dan domain afektif.
Keterampilan sosial
ditampilkan sebagai sarana untuk berinteraksi dengan orang lain yang dalam bentuknya berupa keterampilan berbicara dengan sopan, mendenarkan, bekerjasama dan sebaginya. Perilaku itu ditampilkan berdasakan pengetahuan dan efektifitasnya terhadap orang lain. Keterampilan sosial adalah perilaku sosial yang perlu dipelajari karena memungkinkan individu dapat berinteraksi untuk memperoleh respon positif dan respon negatif.
2.5.5 Ciri-Ciri Keterampilan Sosial Gresham and Resschly dalam Mu‟tadin (2006: 27) mengidentifikasi keterampilan sosial dengan beberapa ciri, antara lain:
86
1. Perilaku Interpersonal (Interpersonal behavior) Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selam melakukan interaksi sosial yang di sebut dengan keterampilan menjalin persahabatan. 2. Perilaku yang berhubungan dengan Diri Sendiri (Self-related behavior) Perilaku ini merupakan ciri dari seseorang yang dapat mmengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, seperti kemampuan menghadapi stress, memahami perasaan orang lain, mengontrol kemarahan dan sebaginya. 3. Perilaku yang Berhubungan dengan kesuksesan Akademis (Academic-realted behavour) Berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di sekolah, seperti mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku disekolah. 4. Penerimaan Teman Sebaya (Peer Acceptance) Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah memberi dan menerima informasi dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain dan sebagainya. 5. Keterampilan Berkomunikasi (communication phychomotor) Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik, berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara dan menjadi pendengar yang responsif.
87
Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial menurut Eister dalam Mu‟tadin (2006: 28) adalah orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat menyakinkan orang lain, tidak mudah menyerah, menuntut hubungan timbale balik, serta terbuka dalam mengekspesikan dirinya.
2.5.6 Dimensi Keterampilan Sosial Cardarella dan Merrel dalam Moerdani (2002: 94) mengemukakan lima dimensi paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu: 1. .Hubungan dengan teman sebaya (peer relation), ditunjukkan melalui perilaku yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain dan bermain bersama orang lain. 2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang memiliki emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik. 3. .Kemampuan akademis (academic), ditunjukkan melalui pemenuhan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan arahan guru dengan baik. 4. .Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat mengikuti peraturan dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan membagikan sesuatu.
88
5. Perilaku asseratif (Assertion), didominasikan oleh kemampuan-kemampuan yang membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi yang diharapkan.
2.6
Penelitian yang Relevan
Penulis meneliti tentang penerapan metode Outdoor Study dapat meningkatkan minat dan Keterampilan sosial siswa MAN 1 Bandar Lampung. Beberapa penelitian sejenis sebelumnya seperti pada tesis Emmilia Erwina tentang Penerapan Metode Outdoor Study Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Kalimat Sederhana Pada Siswa Kelas II SDN Kaligondo 01 Genteng Banyuwangi Tahun Pelajaran 2011/2012. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa setelah dilakukan
perbaikan terhadap siklus II dengan menggunakan metode Outdoor Study dapat meningkatkan keterampilan menulis kalimat sederhana pada siswa kelas II SDN Kaligondo 01. Penelitian lain yang diteliti oleh Ninik Widayanti dengan judul Efektifitas Pembelajaran Geografi Melalui Metode Outdoor Study Dalam Upaya Meningkatkan Minat Belajar Siswa menyimpulkan metode Outdoor Study berhasil meningkatkan minat belajar siswa kelas 2 pada materi pelajaran Geografi. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan dalam 2 siklus, antara lain: Metode Outdoor Study menjadikan siswa lebih bersemangat dalam belajar, lebih berkonsentrasi pada materi, membuat daya pikir siswa lebih berkembang, suasana belajar lebih nyaman, siswa lebih dapat memahami materi pelajaran, siswa lebih berani mengemukakan pendapat dan membuat siswa lebih aktif. Metode Outdoor Study lebih efisien dan efektif jika diterapkan dengan baik, terutama pada mata
89
pelajaran georgafi yang ruang lingkup pengajarannya berupa alam lingkungan yang menjadi ciri khasnya. Sehingga penerapan metode Outdoor Study memungkinkan siswa dan guru menggunakan benda, bangunan, manusia sebagai narasumber dan sumber pembelajaran. Selain itu, setting pembelajaran yang tidak terbatas pada sebuah ruangan memungkinkan siswa memiliki kebebasan dalam beraktivitas dalam pembelajaran, sehingga siswa mendapatkan suasana baru. Siswa menjadi lebih berminat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan keterampilan sosial siswa juga dapat meningkat.
2.7
Kerangka Berpikir
Upaya untuk meningkatkan keterampilan sosial dan hasil belajar pelajaran Sejarah salah satunya yaitu dengan cara merancang sistem pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran dan kondisi suatu kelas. Keterampilan sosial adalah kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun non verbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial. Minat belajar adalah kecendrungan jiwa pada sesuatu, karena kita merasa ada kepentingan dengan sesuatu itu, pada umumnya minat belajar disertai dengan perasaan senang akan sesuatu itu. perasaan senag ini timbul dari lingkungan atau berasal dari objek yang menarik.
90
Keterampilan sosial siswa meningkat maka minat belajar belajar pun meningkat. Dalam metode Outdoor Study memberikan kesemptan kepada siswa untuk menuangkan potensi diri. Dimana siswa pada tahap awal memperhatikan potensi diri sekaligus menyalurkan kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan alam dan sesama manusia. selain itu kegiatan di luar kelas mempunyai sifat yang menyenagkan karena siswa bisa melihat, menikmati, mengagumi, dan belajar mengenai kejadian Sejarah masa lampau. Kemudian siswa diberikan latihan soal untuk didiskusikan bersama kelompok yang telah ditetapkan. Setelah berdiskusi selesai, wakil dari masing-masing kelompok ditunjuk untuk mempresentasikan didepan dan untuk kelompok-kelompok lain dapat mengajukan pertanyaan ketika ada jawaban yang belum dipahami. Menjawab pertanyaan wakil dibantu kelompoknya, serta memberikan peluang bagi kelompok lain untuk memberikan pendapat dan memberi tanggapan dalam menyelesaikan masalah.
91
Dari kerangka berpikir diatas, maka kerangka analitik yang dapat dibuat adalah: Input a. Hasil belajar Sejarah Siswa Rendah b. Metode belajar yang digunakan masih konvensio nal (ceramah) c. Minat belajar siswa rendah d. Keterampi lan sosial siswa rendah
Proses Metode Outdoor Study dengan pendekatan saintifik meliputi:
Output 1.
Keterampilan sosial
a.
Mampu berucap,berperilaku santun Mematuhi peraturan yang berlaku Menghargai pendapat orang lain Mampu bekerja sama dengan orang lain yang bebeda suku, agama, atau latar belakang ekonomi. Mampu berpikir logis dan kreatif
Mengamati (Observing) a. Memperhatikan materi yang sedang disampaikan b. Mengamati benda-benda peninggalan pra Sejarah yang terdapat dimuseum
b. c. d.
Menanya(Questioning) Mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang disampaikan
e.
Mengumpulkan Data (Experimenting) a. Membaca dari berbagai sumber yang berkaitan dengan materi b. Mengumpulkan dan mencatat data/informasi tentang materi yang sedang dipelajari
2.
Minat Belajar
a.
Keberanian mengemukakan pendapat Mengerjakan tugas mandiri Diskusi dalam kelompok Memperhatikan guru yang sedang menyajikan materi bertanya Bertanya Menjawab pertanyaan
b.
Mengasosiasi (Associating)
c.
a. Berdiskusi dan memberikan kesimpulan tentang materi yang dipelajari atau yang telah dicatat selama pengamatan b. Mengevaluasi materi yang dipelajari
d.
Mengkomunikasikan (Communicating) a. Menyampaikan hasil evaluasi dan simpulan tentang materi b. Mendiskusikan hasil laporan
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
e. f.
92
Input dalam penelitian ini adalah hasil belajar sejarah siswa yang masih rendah, metode belajar yang digunakan masih konvesional, minat dan keterampilan sosial siswa yang masih rendah. Proses pembelajaran dalam penelitian ini menggunakan metode Outdoor Study dengan mengkombinasikan pendekatan saintifik yang harus diterapkan pada kurikulum 2013 yang meliputi 5 M yakni Mengamati (observing), Menanya (Questioning), Mengumpulkan data (Experimenting), Mengasosiasi (Associating), dan Mengkomunikasikan (Communicating) . Langkah-langkah dalam pendekatan saintifik yang meliputi 5 M adalah sebagai berikut a) Mengamati (Observing) yakni
memperhatikan materi yang sedang
disampaikan dan mengamati benda-benda peninggalan pra Sejarah b) Menanya (Questioning) yakni mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang disampaikan, c) Mengumpulankan Data (Experimenting) yakni membaca dari berbagai sumber belajar yang berkaitan dengan materi dan mengumpulkan serta mencatat data/informasi tentang materi yang sedang dipelajari, d) Mengasosiasi (Associating) yakni berdiskusi dan memberikan kesimpulan tentang materi yang dipelajari atau yang telah dicatat selama pengamatan dan engevaluasi materi yang dipelajari, e) Mengkomunikasikan (Communicating) yakni menyampaikan hasil evaluasi dan simpulan tentang materi dan mendiskusikan hasil laporan. Output yang diharapkan setelah penerapan metode Outdoor Study pada pelajaran sejarah dengan pendekatan santifik pada kurikulum 2013 adalah meningkatkan keterampilan sosial dan minat siswa. Adapun indikator keterampilan sosial siswa meliputi mampu berucap,berperilaku santun, mematuhi peraturan yang berlaku,
93
menghargai pendapat orang lain, mampu bekerja sama dengan orang lain yang bebeda suku, agama, atau latar belakang ekonomi dan mampu berpikir logis dan kreatif. Sedangkan indikator minat siswa meliputi keberanian mengemukakan pendapat, mengerjakan tugas mandiri, diskusi dalam kelompok, memperhatikan guru yang sedang menyajikan materi bertanya, bertanya dan menjawab pertanyaan.
2.8
Hipotesis
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: 2.8.1
Jika pembelajaran Sejarah menerapkan metode Outdoor Study dengan langkah-langkah yang tepat, maka minat belajar siswa MAN 1 Bandar Lampung meningkat.
2.8.2
Jika pembelajaran Sejarah menerapkan metode Outdoor Study dengan langkah-langkah yang tepat, maka meningkatkan keterampilan sosial siswa MAN 1 Bandar Lampung.
‘