Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
IDENTIFIKASI KEBERADAAN DAN DINAMIKA CIVIL SOCIETY DI KABUPATEN JOMBANG Oleh: Muhid Maksum Dosen Program Studi Ilmu Sosiatri FISIPOL Universitas Darul ‘Ulum Jombang e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sebagai sebuah konsep, civil society memiliki makna yang beragam. Beberapa ahli menyebutnya secara berbeda-beda. Ada yang menyebut dengan masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat madani, dan lain sebagainya. Mereka juga mengutarakan definisi yang beragam dari civil society itu sendiri. Dari keberagaman tersebut, penulis menggunakan istilah yang digunakan oleh Mansour Faqih, yang menyebutnya civil society organized (merupakan istilah bagi masyarakat yang bergerak secara terorganisir seperti di LSM/NGO). Selain itu juga merujuk ciriciri civil society yang dikembangkan oleh AS. Hikam. Dari dua rujukan tersebut kemudian digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan dan dinamika civil society di Jombang, dengan mengangkat eksistensi WCC dan Formajo. Penggalian informasi (data) dilakukan dengan pengamatan, wawancara dan studi pustaka. Dari hasil-hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa civil society masih perlu untuk terus di dorong dan dikembangkan guna mewujudkan apa yang menjadi mimpi bersama masyarakat. Keyword: civil society, gerakan sosial, danpemberdayaan masyarakat.
Pendahuluan Gagasan tentang civil society dalam literatur Barat sudah dimulai sejak jaman Yunani, meskipun istilahnya bukan civil society, tetapi koinonia politike, masyarakat itu jadi satu, sebagai pemilik polis. Negara dianggap sesuatu yang utuh, sehingga mencakup masyarakat juga. Istilah itu berkembang sampai pada abad pertengahan 1 Barulah pada paruh kedua abad ke 18, terminologi itu mengalami pergeseran makna. Negara dan masyarakat kemudian dianggap sebagai sesuatu entitas yang berbeda, sejalan dengan pembentukan sosial (social formation) dan perubahan struktur-struktur politik di Eropa sebagai akibat dari pencerahan (enlightenment) dan modernisasi. Tokoh-tokoh pencerahan Skotlandia yang dimotori Adam Ferguson dan pemikir-pemikir Eropa lainnya seperti Johann Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieves, dan Tom Paine, mulai melakukan pemisahan antara negara dan masyarakat dalam analisis mereka. Perbedaan yang jelas lagi, dapat ditemukan pada apa yang dilakukan (Frederick) Hegel. Hegel tidak hanya melihatnya secara konstruksi filosofis, tetapi secara filosofis dan historis sosiologis. Hegel melihat bahwa pencerahan itu menciptakan bentuk-bentuk evolusi masyarakat.
1
Muhammad A.S. Hikam, 2000, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Erlangga, Jakarta.
66
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Menurut Hegel, bentuk masyarakat itu bukan merupakan bentuk evolusi terakhir, sebab bentuk evolusi terakhirnya adalah negara. Hegel membagi bentuk-bentuk evolusi ini menjadi tiga tahapan; yakni keluarga, masyarakat dan negara. Jadi menurutnya negara merupakan puncak dan seluruh evolusi, karena negara merupakan ideal type, ide universal yang dapat mewadahi konflik melalui politik. Oleh Karl Marx, dengan gagasan borjuasi dan proletarnya, state kemudian dianggap sebagai perwujudan dari kelas borjuasi. Oleh karena itu, negara dan masyarakat harus dihilangkan untuk menuju masyarakat tanpa kelas. Ada juga pemikiran bahwa tidak harus begitu. Artinya, negara dan masyarakat itu memang sebuah entitas yang berdiri secara bersama-sama saling melakukan interaksi, tapi masing-masing mempunyai kemampuan politik yang berbeda. Pemikiran itu dikembangkan oleh Alexis de’ Tocqueville, bahwa dalam kasus Amerika misalnya, masyarakatlah yang mempunyai kekuatan check and balance terhadap negara yang dibentuk. Alfred Steven mendefinisikan civil society sebagai arena tempat terdapat banyak sekali gerakan sosial seperti persatuan atas dasar kekerabatan, perhimpunan wanita, kelompok-kelompok agama, organisasi cendekiawan dan organisasi kemasyarakatan, dan berbagai golongan dan kelompok profesi, yang mencoba membentuk diri mereka dalam suatu keteraturan supaya mereka dapat menyatukan dan menyalurkan kepentingannya 2. Deskripsi ini dikonfirmasi oleh Rajni Khotari bahwa civil society merupakan konsep yang menjelaskan posisi organisasi non pemerintah, organisasi rakyat, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya dalam perjuangan langsung menghadapi negara yang tidak demokratis. Dalam pada itu, untuk sementara bisa disebut bahwa civil society merupakan gerakan sosial yang merangsang terbentuknya berbagai organisasi yang lahir atas dasar pluralitas yang merepresentasikan keragaman aspirasi dan kepentingan dalam masyarakat. Semua organisasi berkoalisi dan menyatukan kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan bersama. Dan, kepentingan yang diperjuangkan adalah kehidupan negara yang demokratis dan mengembalikan kedaulatan rakyat ke posisi sebenarnya 3. Lebih jauh istilah civil society atau masyarakat kewargaan (istilah ini digunakan oleh Ramlan Surbakti dan Ryaas Rasyid), dalam kesempatan lain disebut sebagai masyarakat madani (sesuai namanya, nama madani mengacu pada kehidupan di kota Madinah semasa Nabi Muhammad SAW memimpin kota ini dan terkenal dengan kesepakatan yang dibuat waktu itu antara pemerintahan nabi dengan golongan minoritas untuk membangun kehidupan politik bersama. Kesepakatan ini termaktub dalam Piagam Madinah yang berisi kebebasan beragama, kebebasan mengatur diri, dan kemerdekaan hubungan antar golongan), dan Faqih menyebutnya civil society organized (merupakan istilah bagi masyarakat yang bergerak secara terorganisir seperti di 2 3
Larry Diamond, 1994, Revolusi Demokrasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Bonie Setiawan, 1996, Organisasi Non Pemerintahan dan Masyarakat Sipil, dalam Prisma No. 7.
67
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
LSM/NGO). Istilah-istilah ini kemudian semakin mendapat tempat dalam diskursus yang berlangsung di Indonesia. Selanjutnya, keragaman tafsir tersebut harus pula disambut dengan bijaksana, mengingat masing-masing pemerhati civil society sangat beragam dan berlatar belakang dari disiplin yang berbeda tergantung dari konteks apa civil society didefinisikan (walaupun demikian, sebagian penulis ada yang berpandangan bahwa beberapa istilah : masyarakat kewargaan, masyarakat madani, civil society, dan pemberdayaan masyarakat memiliki arti berdekatan) 4. Sebagai sebuah konsep, civil society berasal dari proses sejarah masyarakat Barat. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, utamanya pada saat terjadi transformasi masyarakat feodal agraris menjadi industrialis kapitalis. Civil society sebagai ide boleh dikatakan sebagai anak kandung dari filsafat pencerahan (enlightenment) yang membuka jalan bagi lahirnya sekularisme yang menggantikan peran agama dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti monarchi. Dalam perkembangannya civil society dimengerti secara radikal, dengan menekankan aspek kemandirian dan perbedaan posisinya sedemikian rupa, sehingga menjadi antitesis dari negara (state). Pemahaman ini langsung mengundang berbagai reaksi, Hegel adalah salah satunya. Ia mengajukan alasan bahwa civil society tidak bisa dibiarkan bebas tanpa adanya kontrol. Civil society menurut pandangannya justru membutuhkan aturan dan batasan serta penyatuan dengan negara lewat kontrol hukum, administrasi dan politik. Bagi Hegel, negara adalah sebuah aktualitas yang lahir karena dalam masyarakat selalu terjadi konflik. Sehingga kemerdekaan sejati tidak akan pernah muncul dalam masyarakat. Dalam negaralah kemerdekaan itu akan terwujud 5. Namun dalam narasi besarnya, civil society tampaknya selalu akan dimengerti dalam dua kutub besar, yaitu pertama, kutub marxian-sosialistis, yang meletakkan civil society pada tataran basis material dari pola hubungan produksi kapitalis, dan karenanya keberadaan civil society disamakan dengan kelas borjuasi di satu sisi, dan negara yang kuat disisi lain. Dalam pandangan Marx, negara dilihat sebagai kompensasi ketegangan dalam masyarakat yang muncul karena pembagian kerja atau konflik kelas. Mengingat negaralah yang dipandang mampu mengatasi konflik kelas dalam masyarakat yang saling berlawanan, sehingga posisi negara sangat kuat sebagai ukuran terakhir, dan sekaligus sebagai pemilik ide universal (pandangan ini diilhami oleh dua pandangan sebelumnya, pertama pandangan tentang perbedaan negara dengan civil society, dalam hal ini negara dipandang seolah-olah berdiri sendiri tanpa anggota masyarakat, kedua, pandangannya yang mengatakan bahwa sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini adalah sejarah perjuangan kelas. Pandangan ini dalam pengertian tertentu sebenarnya telah menimbulkan persoalan karena mengabaikan kemandirian individu yang menjadi inti dari civil 4
Rudolf Chrysoekamto, 2003, Dinamika Civil Society : Study Kasus Deskripsi Masyarakat Sipil di Desa Antirogo, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya. 5 Kuntowijoyo, 1996, Agama dan Demokrasi di Indonesia, dalam Riza Noer Aefani (ed), Demokrasi Indonesia Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta.
68
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
society. Apalagi dalam perkembangannya, ternyata negara hanya melindungi kepentingan dari kelas yang dominan, yaitu borjuis dalam masyarakat 6. Kedua, adalah kutub liberalis-kapitalis yang cenderung elitis mengenai kesadaran hukum yang legal formalistik. John Stuart Mill sebagai penganjur liberalisme terkemuka mengatakan bahwa ciri masyarakat liberal kapitalistik adalah penghormatan terhadap hak-hak individu. Menurut Mill, setiap individu bisa menentukan pilihan masing-masing. Negara dengan aturannya memberikan kesempatan kepada individu untuk mengeksplorasi haknya dalam batas tidak melanggar hak individu lainnya. Dalam konteks Indonesia, kehadiran civil society setidaknya semenjak proses industrialisasi, urbanisasi, modernisasi, dan terbentuknya organisasi sosial modern. Lahirnya organisasi-organisasi sebelum dan setelah kemerdekaan dan diikuti oleh sistem multipartai adalah bukti persemaian civil society. Dan mengalami keterpasungan pada masa demokrasi terpimpin era Soekarno. Dan kembali menguat di awal pemerintahan orde baru sampai akhir tahu 1960-an. Selebihnya adalah masa suram bagi civil society. Memasuki era reformasi, adalah realitas sejarah yang lain yang menjadi titik tolak lahirnya kembali bayi demokrasi yang paling unggul, yaitu embrio civil society. Menurut Lukman Soetrisno 7, penyebab keterpasungan ini adalah, pertama, adanya organisasi yang menempatkan posisinya sebagai organisasi ‘otonom negara’. Padahal semestinya kehadiran organisasi ini bisa menjadi persemaian civil society. Kedua, toleransi atas kritik masyarakat oleh negara sangat minim. Pemikiran alternatif yang lahir dari masyarakat tidak tersalurkan, sehingga lagi-lagi civil society tidak bisa berkembang. Ketiga, lemahnya peranan partai politik dan organisasi masyarakat
serta pers untuk ikut mengontrol negara. Undang-undang
kepartaian dan pencabutan SIUPP adalah bukti nyata keterpasungan ini. Nurcholis Madjid 8, mengartikan civil society atau disebutnya sebagai masyarakat madani sebagai masyarakat yang berbudi luhur atau berakhlak mulia, masyarakat yang berperadaban, yang berikrar pada persamaan (egaliter), penghargaan terhadap seseorang berdasarkan prestasi, bukan sebaliknya berdasarkan keturunan, kesukuan atau kedaerahan, ras dan lain-lain, keterbukaan partisipasi seluruh masyarakat, dan penentuan pemimpin melalui pemilihan. Menurut Nurcholis, masyarakat madani mengacu pada kualitas civility, yang tanpanya, lingkungan sosial akan hanya terdiri atas faksi-faksi, klik-klik, serikat rahasia yang saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi untuk menerima perbedaan dan bermacam pandangan politik serta perbedaan tingkah laku sosial, dan kesediaan untuk menerima pandangan yang sangat penting
6
Rudolf Chrysoekamto, 2003, Dinamika Civil Society : Study Kasus Deskripsi Masyarakat Sipil di Desa Antirogo, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya. 7 Lukman Soetrisno, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Kanisius, Jogjakarta. 8 Nurcholis Madjid, 1996, Menuju Masyarakat Madani, dalam Ulumul Qur’an, No. 2 tahun VII.
69
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
bahwa tidak selalu ada jawaban yang benar atas suatu masalah. Masyarakat madani ini disebut sebagai ‘rumah’ bagi berseminya demokrasi. Menurut Abdul Munir Mulkhan, sebagaimana disebutkan oleh Rudolf 9 masyarakat madani adalah masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang relatif tinggi karena berperadaban tinggi. Ia menambahkan bahwa masyarakat madani yang didalamnya terdapat suatu mekanisme induktif yang mencakup kebutuhan memelihara dan menyembuhkan dirinya. Bukan negara atau elit agama, melainkan publik atau umat itu sendiri. Salah satu bentuk mekanisme itu ialah sistem sistem yang terbuka dan dinamis yang menjamin hak-hak publik tanpa memandang status atau latar belakang sejarah primordialisme keagamaan. Seluruh sistem hukum dan perundangan dibuat dan dijalankan untuk menjamin hak-hak publik yang setiap saat di ubah dan di ganti sepanjang publik itu sendiri yang menghendaki. Menurut AS. Hikam 10, ciri utama dari civil society adalah ‘keswadayaan’ dan ‘kesukarelaan’. Maksudnya, asosiasi-asosiasi yang ada dalam rangka menyalurkan kepentingan bersama-sama, satu visi, dan gagasan. Dan dengan tujuan keswasembadaan, mampu melakukan kiprahnya sendiri tanpa ada ketergantungan. Serta keterbukaan. Civil society selalu mengandaikan suatu interaksi terbuka antar asosiasi-asosiasi yang ada dalam ruang publik untuk melakukan dialog dan mencari kesepakatan yang digunakan untuk meraih kepentingan masing-masing. Juga ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan hukum, rule of law, aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Faktor-faktor itulah yang menjadikan civil society sebagai motor proses demokratisasi, karena semua itu merupakan hak-hak dasar manusia. Identifikasi Civil Society di Jombang Paparan di atas menunjukkan bahwa tidak ada pemaknaan tunggal tentang civil society. Beberapa ahli memberikan padanan istilah yang berbeda-beda sekaligus definisi yang berbeda-beda pula. Dengan demikian sesungguhnya civil society bisa ditafsiri sesuai dengan konteks dan dinamika yang berkembang pada sebuah masyarakat. Untuk melakukan identifikasi civil society di Jombang, penulis menggunakan istilah yang digunakan Mansour Faqih yang merujuk pada organisasi LSM/NGO yang berusaha selalau mengedepankan kerja-kerja sosial berupa pendampingan atau pemberdayaan, berorientasi non profit, dan mencita-citakan sebuah masyarakat yang adil, setara, berkeadilan, dan tanpa kekerasan. Selain itu juga menggunakan ciri-ciri civil society sebagaimana yang dijelaskan oleh AS. Hikam di atas. Beberapa yang bisa disebutkan adalah :
9
Rudolf Chrysoekamto, 2003, Dinamika Civil Society : Study Kasus Deskripsi Masyarakat Sipil di Desa Antirogo, Tesis, Universitas Airlangga, Surabaya. 10 Muhammad A.S. Hikam, 2000, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Erlangga, Jakarta.
70
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Women Crisis Center (WCC) Jombang Berdiri pada tahun 1999 di Jombang, pada mulanya menggunakan nama Rifka Annisa Jombang, sebagai bagian dari Rifka Annisa Jogjakarta. Sebagai bagian dari Rifka Annisa Jogjakarta, pada awal berdirinya banyak di support oleh Rifka Annisa Jogjakarta. Sampai kemudian dianggap mampu mengembangkan diri, pada tahun 2001 berubah nama menjadi WCC Jombang. Dan relasi dengan Rifka Annisa Jogjakarta kemudian menjadi jejaring untuk mengusung issu-issu yang sama. WCC adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pendampingan perempuan korban kekerasan, dan pemberdayaan sosial ekonomi perempuan korban kekerasan tersebut. Dalam sebuah relasi, perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang lemah, dan rentan mengalami tindak kekerasan oleh laki-laki. Dan seringkali perempuan berada dalam kondisi tidak berdaya. Meskipun berpihak pada perempuan, dalam penanganannya tidak serta-merta selalu berpihak pada perempuan, karena sesungguhnya semua berpotensi sebagai pelaku kekerasan, baik laki-laki maupun perempuan. Selain pemihakan, yang dilakukan oleh WCC adalah penyadaran tentang sebuah sikap atau hak-hak yang harus ada dalam sebuah relasi, dimana baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki hak yang harus dinegosiasikan satu sama lain. Model penanganan yang dilakukan ketika terjadi kasus kekerasan adalah penanganan hukum dan non hukum. Ketika bisa di dorong pada upaya-upaya non hukum, dan korban juga menghendaki seperti itu, maka upaya-upaya non hukum akan diprioritaskan. Dan lembaga WCC akan berperan sebagai pihak yang memediasi upaya-upaya tersebut. Ketika upaya-upaya ini mengalami jalan buntu, dan korban menghendaki upaya hukum, maka penyelesaian persoalan di limpahkan ke proses peradilan, dan lembaga WCC berperan sebagai kuasa hukum yang akan mendampingi selama proses peradilan. Tidak jarang dalam mengawal kegiatan-kegiatannya, WCC harus berhadapan dengan resikoresiko yang tidak menyenangkan. Lembaga WCC sering dijadikan alamat protes dari mereka, terutama kelompok laki-laki, yang tidak suka dengan semua yang dilakukan oleh WCC. Lembaga WCC kerap menerima tuduhan sebagai provokator dan pendorong bubrah-nya sebuah rumah tangga. WCC dianggap terlalu dalam mencampuri urusan-urusan keluarga (suami-istri) yang oleh mereka (para pemrotes) dianggap sebagai urusan domestik. Ketika terjadi seperti ini, yang dilakukan oleh WCC hanyalah melakukan dialog dan berusaha memberikan pemahaman bahwa atas nama dan alasan apapun, tindak kekerasan tidak dibenarkan. Dan itu tidak sekedar wilayah domestik, tapi sudah masuk tindak kriminal, dan itu tidak dibenarkan oleh aturan undang-undang.
71
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
WCC juga berperan aktif dalam kegiatan komunitas dengan membentuk daerah-daerah dampingan, dengan sasaran pada kelompok-kelompok perempuan. Beberapa daerah dampingannya meliputi: desa Penggaron (komunitas perempuan Penggaron), kecamatan Mojowarno, desa Keras (komunitas Jum’at Bersih), kecamatan Diwek, dan desa Plabuhan (kelompok perempuan kreatif), kecamatan Plandaan. Kelompok-kelompok ini sudah relatif mapan dengan segala kegiatan-kegiatan pemberdayaan (ekonomi) yang berjalan secara ajeg. Di luar kelompok-kelompok tersebut, juga terus di kreasi kelompok-kelompok desa lainnya, baik oleh WCC sendiri maupun kelompokkelompok yang sudah terbentuk tersebut. Melalui kelompok-kelompok perempuan yang dibangun, WCC aktif melakukan sosialisasi wacana kesetaraan gender, dengan harapan perempuan juga mampu mengembangkan diri sesuai dengan kapasitas dan minat ketertarikan, yang pada akhirnya perempuan mampu memberikan kontribusi pada kehidupan yang lebih baik pada level keluarga maupun masyarakat bangsa. Semua yang dilakukan semata-mata di dasari oleh kepentingan bangunan relasi yang lebih adil, baik dan berimbang, maksimalisasi kemampuan sesuai dengan pilihan peran masing-masing menuju kebaikan bersama, damai dan tidak ada penindasan. Jauh dari upaya-upaya ekstrim membalik struktur-struktur yang sudah ada. Diluar kegiatan-kegiatan pada level masyarakat, WCC juga melakukan kegiatan-kegiatan advokatif dengan mendorong pembuatan aturan-aturan yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap eksistensi perempuan, dan dalam waktu bersamaan juga melakukan “gugatan” pada aturan-aturan yang dianggap bias dan tidak memiliki keberpihakan terhadap perempuan. Bagaimanapun juga negara yang berwenang dalam membuat peraturan, sehingga dipandang penting kegiatan-kegiatan yang mengusung kesetaraan gender diarahkan pada level negara. Dalam melakukan segala bentuk-bentuk kegiatannya, WCC kerap melibatkan kelompokkelompok lain sesama LSM yang ada di Jombang, sekiranya bertemu dalam issu atau kepentingan yang sama. Hal ini dilakukan guna lebih memberikan bobot issu yang hendak digulirkan. Selain itu, WCC juga tidak berpretensi untuk menyelesaikan semua persoalan-persoalan kemasyarakatan yang demikian luas, di tengah segala keterbatasan sumber daya yang ada. Sehingga penting untuk bersama dan berjejaring dengan kelompok-kelompok lain; media, ormas keagamaan, pemerintah, mahasiswa dan kampus-kampus yang ada. Meski kebutuhan akan jaringan itu diperlukan, dan bahkan beberapa LSM di Jombang membentuk sebuah forum/konsorsium sebagai upaya membakukan jaringan, tidak selalu WCC terlibat dalam jaringan tersebut. Alasan yang mengemuka adalah adanya dugaan politisasi dari terbentuknya jaringan tersebut, dan WCC cenderung ingin menghindari upaya politisasi-politisasi tersebut. Untuk operasional kelembagaan, selain mengembangkan usaha-usaha mandiri, WCC juga membuka diri dalam pelaksanaan program yang sesuai dengan visi-misi lembaga, dengan
72
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kelompok-kelompok donator yang sifatnya luwes dan tidak mengikat. WCC tidak anti dengan lembaga donator manapun sepanjang itu berkesuaian dengan apa yang sudah menjadi program dan “identitas” lembaga. Ini tidak menjadi yang utama di WCC karena dalam pelaksanaan program yang dikembangkan adalah keswadayaan masyarakat, dan yang terpenting dari semua yang dilakukan adalah menterjemahkan komitmen dari para awaknya, tentang bangunan-bangunan masyarakat yang berkeadilan. Forum Mahasiswa Jombang (Formajo) Formajo adalah wadah atau organisasi pergerakan mahasiswa di Jombang, dan beranggotakan para mahasiswa yang ada di kampus-kampus Jombang, meliputi Universitas Darul ‘Ulum, STKIP dan IKAHA Tebu Ireng. Latar belakang munculnya gagasan Formajo sebagai wadah pergerakan mahasiswa pada tahun 1992, tidak lepas dari keberadaan kampus Universitas Darul ‘Ulum, yang dari sini prakondisi-prakondisi yang mengarah pada gerakan mahasiswa dilakukan. Secara historis, gerakan mahasiswa di Jombang (Formajo) banyak dipicu oleh kondisi kampus dengan sepinya aktifitas dan tidak berdayanya lembaga kampus menghadapi kebijakan depolitisasi waktu itu. Juga kondisi sosial kemasyarakatan yang memprihatinkan. Kegiatan kemahasiswaan pertama kali sekaligus ‘pra kondisi’ dari kegiatan-kegiatan berikutnya adalah pembacaan puisi religious selama 24 jam oleh Seni Kopi Paku Tanah Jawa (SKPTJ), dan sempat memperoleh penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pemecah rekor pembacaan puisi terlama. SKPTJ merupakan sebuah kelompok (mahasiswa Universitas Darul ‘Ulum) yang peduli pada masalah-masalah seni dan budaya, dan terbentuk pada tahun 1989. Bentuk kegiatannya berupa pagelaran seni dan budaya, serta diskusi yang membahas berbagai topik; agama, politik, dan sosial ekonomi. Kemudian pembahasan diskusi berkembang pada issu-issu moral dan penindasan yang terjadi pada saat itu, baik yang berskala regional maupun nasional. Keadaan ini membuat mereka bergejolak, yang pada gilirannya gejolak ini semakin nyata ketika kegiatan membaca puisi dianggap tabu dan di larang. Dari kelompok seni inilah dinamika mahasiswa di Universitas Darul ‘Ulum berkembang, yang menandai proses panjang pergerakan mahasiswa hingga kemudian mendorong lahirnya organisasi pergerakan; Formajo, Sebagaimana disampaikan oleh Yozar Anwar 11, bahwa semangat mahasiswa yang penuh idealisme adalah pancaran dari usia muda. Mereka amat peka melihat ketidak beresan yang ada disekelilingnya, baik yang terjadi di kampus atau di masyarakat. Mereka amat sadar dan peka mendengar denyut jantung rakyat yang tertindas. Mereka pada memperlihatkan sikap yang 11
Yozar Anwar, 1981, Pergolakan Mahasiswa Abad 20, Sinar Harapan, Jakarta.
73
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
memberontak terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan berdasarkan identitas mereka sendiri. Semua itu terpancar pada lingkungan sosial mereka dan termanifestasi pada suatu bentuk peranan unik, sentimen dan konflik dalam perspektif yang lampau, kini dan akan datang. Dalam beraktifitas dan mengemban perannya, mahasiswa membentuk kelompok atau organisasi independen dan tidak terikat, meskipun kecil adanya, yang akan digunakan sebagai basis pengaturan aktifitasnya. Sehingga untuk lebih meningkatkan daya tawar, aktifitas berikutnya dilakukan secara kolektif dengan mengatasnamakan kelompok atau organisasi. Menurut Turner dan Killian, dalam Paul B. Horton dan Chester L. Hunt 12, gerakan sosial merupakan salah satu bentuk utama dari aktifitas atau perilaku kolektif. Secara formal gerakan social didefinisikan sebagai suatu kolektifitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu sendiri. Lebih jauh dikatakan oleh Paul dan Chester, bahwa gerakan sosial lahir pada mulanya sebagai suatu kelompok orang yang tidak puas terhadap keadaan. Kelompok ini semula tidak terorganisir dan terarah, serta tidak memiliki rencana. Pemimpin dan organisasi pada kebanyakan gerakan biasannya muncul tidak lama setelah situasi demikian tercipta. Setelah mengalami tahap aktif yang jarang melebihi masa satu atau dua dasawarsa, gerakan itu lalu mengalami penurunan kegiatan. Kadangkala gerakan itu sempat menciptakan organisasi permanen atau suatu perubahan, dan seringkali pula gerakan itu hilang begitu saja tanpa bekas yang berarti. Dalam aktifitasnya, mahasiswa selalu mengemban dua peran utama. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi diberbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, sebagai pencetus kesadaran masyarakat luas akan problem yang ada dan menimbulkan kesadaran itu untuk menerima alternatif perubahan yang dikemukakan atau didukung oleh masyarakat sehingga masyarakat berubah ke arah kemajuan 13. Dalam konteks gerakan aktifitas atau gerakan mahasiswa di Jombang, reaksi dalam melihat ketidakberesan yang ada disekelilingnya diwujudkan dengan aktifitas-aktifitas serta bentuk-bentuk protes lainnya, semisal demonstrasi turun jalan, pernyataan sikap, dialog dan lain sebagainya. Menurut Marsilam Simanjuntak 14, bangkitnya mahasiswa tiada lain karena beban tanggung jawab yang ada. Bukan saja menyangkut dunia pendidikan dan perguruan tinggi semata-mata, melainkan ikut melibatkan diri dalam ruang lingkup yang lebih luas, seperti di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Mereka berhadapan dengan masalah-masalah yang penuh dengan
12
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1992, Sosiologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta. Arbi Sanit, 1989, Mahasiswa, Kekuasaan, dan Bangsa, Lingkar Study Indonesia, Jakarta. 14 Marsilam Simanjuntak, 1991, Gerakan Mahasiswa Mencari Definisi ?, dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta. 13
74
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kontradiksi, seperti kemakmuran dengan kemiskinan, pengetahuan terhadap kebodohan, demokrasi terhadap tirani. Ringkasnya, semua kontradiksi itu menimbulkan pertentangan-pertentangan yang dapat mencetuskan pergolakan masyarakat. Melihat persoalan-persoalan yang muncul dan berkembang di masyarakat, membuat mahasiswa lebih peka mencari jalan yang dianggap dapat menggantikan fungsi-fungsi yang tidak berjalan pada birokrasi pemerintah (tingkat daerah). Demontrasi massa adalah salah satu cara untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran kritis tersebut. Dalam lokal Jombang, hal itu dilakukan dalam aksi penyikapan kasus pasar Legi atas pedagang yang digusur secara paksa. Sebagai wadah pergerakan mahasiswa mandiri, Formajo dalam kegiatannya tidak pernah bergantung pada kelompok manapun. Semua dilakukan secara mandiri termasuk pada pembiayaan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Istilah yang berkembang pada kelompok ini adalah bantingan, yaitu upaya mengumpulkan iuran dari tiap-tiap anggotanya, bersifat sukarela dan tanpa menentukan besaran nominalnya. Dengan kemandirian ini, kelompok bisa leluasa mengekspresikan semua kegelisahannya
tanpa
dibebani
dengan
kepentingan-kepentingan
lain
yang
berpotensi
menungganginya. Mereka mengistilahkan bahwa gerakan yang dilakukan adalah gerakan moral. Mereaksi setiap situasi yang dipandang keluar dari moral-moral kehidupan bernegara dan merugikan masyarakat luas. Selain berjejaring dengan mahasiswa kampus-kampus lain yang ada di Jombang, sekaligus menjadi bagian dari organisasi, Formajo juga mengembangkan jaringan dengan beberapa mahasiswa kampus lain, baik di Jawa Timur (Unair, ITS, Stikosa, Unisma, Unibraw, ITN, Unej), maupun mahasiswa kampus luar Jawa Timur (IAIN /UIN Jogjakarta, Universitas Janabadra, Unud Denpasar, Pakuan Bogor, Unas Jakarta, dan lain-lain). Ini dilakukan guna terus mengasah wawasan melalui diskusi dan sharing, serta mengembangkan daya dorong guna maksimalisasi issu-issu yang di usung. Sebagai wadah atau organ mahasiswa, dimana mahasiswa di batasi oleh waktu dalam menempuh studinya, maka kegiatan perekrutan kader menjadi mutlak dilakukan. Kegiatan merekrut kader menjadi kegiatan yang tidak kalah penting disbanding kegiatan-kegiatan lainnya. Kegiatan ini dilakukan setiap tahun, pada saat perekrutan mahasiswa baru oleh pihak kampus. Mereka membingkainya dalam Perekrutan Kader Mahasiswa (PKM). Kegiatan ini biasanya dilakukan selama 3-5 hari, yang di isi dengan penyampaian materi-materi kritis guna membuka wawasan dan menumbuhkan semangat tanggung jawab dari mahasiswa, dimana fungsi mahasiswa tidak sekedar belajar, tetapi memiliki tanggung jawab besar dalam membangun masyarakat dan negara yang berkeadilan. Keberadaan kader ini sekaligus akan mengganti peran dari mahasiswa senior yang harus berakhir masa studinya, sehingga dimungkinkan gerakan Formajo tetap berlanjut, dan tetap
75
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
memiliki gagasan besar yang sama meskipun generasi berganti-ganti. Sembari tidak menutup kemungkinan bahwa ada dinamika yang berbeda dari generasi yang berbeda-beda tersebut. Beberapa faktor yang mendorong munculnya respon mahasiswa melalui gerakan mahasiswa dalam waktu bersamaan sering merupakan faktor penghambat sebuah gerakan. Hal ini tampak dari represifitas aparat keamanan (di tambah dengan keberadaan preman-preman yang juga kerap berperilaku keras dan intimidatif) dalam memperlakukan tiap-tiap aksi demonstrasi mahasiswa (meskipun dari waktu-ke waktu semakin menurun tingkat represifitasnya). Dengan seperangkat UU yang menopangnya, sering pihak aparat keamanan merasa memiliki hak untuk membubarkan kegiatan aksi demonstrasi meski dengan pendekatan kekerasan atau bahkan penangkapan sekalipun. Faktor lain yang menghambat adalah belum terbentuknya semacam kesadaran kolektif, tingkat kepekaan dan kepedulian yang masih rendah dalam diri mahasiswa dalam memahami problem-problem internal kemahasiswaan atau problem-problem eksternal dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini berpengaruh pada aktifitas-aktifitas kelompok yang salah satunya berupa aksi protes, dimana dalam menggalang dukungan di rasa sangat sulit dan keberadaan kelompok mengalami marginalisasi. Sehingga dalam aktifitas secara massal, hanya diikuti oleh sedikit mahasiswa, dan mahasiswa lain terkesan hanya sebagai penonton dari jauh. Selain itu tidak lepas juga dari kondisi obyektif mahasiswa dalam internal organisasi. Mau tidak mau selain aktifitas organisasi mahasiswa harus menempuh perkuliahan, sehingga aktifitas yang mengarah pada upaya maksimalisasi sering tidak tercapai. Dari sekian paparan di atas, yang menarik adalah masih lekatnya organ Formajo oleh para alumni mahasiswanya. Meski sudah tidak menjadi mahasiswa lagi, mereka yang dulu pernah aktif, masih memposisikan Formajo sebagai organisasinya, dan menjadikan Formajo sebagai tali perekat dalam membangun komunikasi satu sama lain.
Penutup Civil Society hadir ketika negara absen atau ketika mengalami “pembengkokan” dalam mengelola pemerintahannya. Civil society hadir untuk mengisi ruang-ruang kosong, ketika ada permasalahan di masyarakat, yang seringkali hal tersebut luput dari perhatian negara. Kehadirannya juga menunjukkan kepedulian dan melakukan koreksi ketika ditemui kebijakan atau praktekpraktek yang tidak benar dan berpotensi merugikan kepentingan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan civil society seperti penggalangan opini, kerja-kerja pendampingan, dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam paparan di muka, seringkali menempatkan civil society pada posisi berhadap-hadapan dengan negara. Masing-masing pihak memiliki standar kebenaran dan pemahaman sendiri-sendiri atas berbagai masalah yang terjadi, 76
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
sehingga dalam prakteknya, civil society dianggap sebagai entitas pengganggu. Padahal kalau di pahami lebih jauh apa yang sesungguhnya dilakukan oleh civil society adalah secara tidak langsung juga membantu negara dalam menjalankan kewajibannya mengurai permasalahan dan menyejahterakan masyarakat. Saluran komunikasi yang lebih terbuka akan bisa mengurangi berbagai perbedaan cara pandang yang terjadi. Civil society akan terus ada ketika memang ditemukan hal-hal yang “berbeda” dalam kehidupan masyarakat; kebijakan negara yang tidak memihak rakyat, penggusuran, pengangguran, kemiskinan, dan seterusnya. Keberadaannya yang mandiri dan lebih mengandalkan keswadayaan menjadi kekuatan kelompok ini untuk bersikap independen, tidak mudah diintervensi kepentingan kelompok manapun yang akan mendistorsi kegiatan-kegiatan dan perjuangannya. Meskipun mungkin juga, keswadayaan akan menjadi kelemahan untuk pembesaran kegiatan, di tengah masih minimnya kepedulian dan budaya filantropi di masyarakat kita. Daftar Pustaka Anwar, Yozar, 1981, Pergolakan Mahasiswa Abad 20, Jakarta: Sinar Harapan Chrysoekamto, Rudolf, 2003, Dinamika Civil Society : Study Kasus Deskripsi Masyarakat Sipil di Desa Antirogo, Tesis, Surabaya: Universitas Airlangga Diamond, Larry, 1994, Revolusi Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Hikam, A.S., 2000, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Erlangga Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt, 1992, Sosiologi Jilid 2, Jakarta: Erlangga Kuntowijoyo, 1996, Agama dan Demokrasi di Indonesia, dalam Riza Noer Aefani (ed), Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: Rajawali Press Madjid, Nurcholis, 1996, Menuju Masyarakat Madani, dalam Ulumul Qur’an, No. 2 tahun VII. Sanit, Arbi, 1989, Mahasiswa, Kekuasaan, dan Bangsa, Jakarta: Lingkar Study Indonesia Setiawan, Bonie, 1996, Organisasi Non Pemerintahan dan Masyarakat Sipil, dalam Prisma No. 7. Simanjuntak, Marsilam, 1991, Gerakan Mahasiswa Mencari Definisi ?, dalam Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta: LP3ES Soetrisno, Lukman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Jogjakarta: Kanisius
77