Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Analisis Terhadap Dinamika Civil Society di Ranah Lokal Oleh: Robi Cahyadi Kurniawan Abstract Democracy in areas of Indonesia including the lowest level of provincial government is the village level that only plays in a procedural level, Schumpeter said that democracy in this level just pointing and selecting the persons who are considered able to lead a region based majority vote (majority). Democracy of this procedural only emphasized a mechanism by just looking at the object of democracy in the realm of political parties, constituency and political rights of citizens who can choose. The political programs were forwarded by political parties as the lips service, a sweetener in their campaign promises. Keywords: Democracy, civil society, political parties
Pendahuluan
Patut menjadi perhatian, bahwa masyarakat di tingkat bawah dalam lingkup akar rumput (grassroots) seolah-olah menikmati sajian ini, karena momen pemilu apapun bentuknya baik pilpres, pemilukada maupun pilkades merupakan salah satu cara mereka untuk meraih keuntungan sesaat. Dana kampanye partai-partai banyak dihabiskan untuk mencoba menggaet konstituen dengan melakukan kampanye-kampanye yang dibungkus dengan pesta rakyat, mengundang biduan terkenal, membagikan kaos-kaos berlambang partai, membagikan sembako bahkan membagikan angpau yang berisi uang. Praktek-praktek ini jelas ditampik oleh para petinggi partai, tetapi cobalah kita bertanya pada pemilih, praktek ini jelas terjadi, walaupun ada perbedaan pola dan tingkatannya pada wilayah pedesaan dan perkotaan. Masyarakat pemilih dalam kasus pemilukada dan pilkades, dibeberapa tempat sudah tidak peduli lagi bakal calon yang akan maju untuk mencalonkan diri menjadi orang nomor satu didaerahnya, asal partai dan latar belakngnya. Pola berpikir praktis yang cenderung ekstrem telah membuat pilihan mereka jatuh kepada siapa saja bakal calon yang dapat “membeli” suara mereka, baik dengan imbalan barang, uang atau pun jasa. Trauma masyarakat kita di masa krisis moneter beberapa tahun lalu, berlanjut pada krisis-krisis lain disegala bidang. Beban ekonomi yang semakin berat, peluang kerja dan usaha yang terbatas serta menipisnya akses mendapatkan barang-barang publik yang disediakan oleh negara, menyebabkan pilihan tersebut menjadi logis.
Dosen Tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
53
Robi Cahyadi Kurniawan; 81 - 89
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Representasi Rakyat Representasi; bila diartikan sebagai keterwakilan rakyat dengan wakil-wakil yang dipilih melalui pemilu, baik pemilu eksekutif dan legislatif. Berkaca pada fenomena di atas maka akan dipertanyakan kapasitas dan kemampuan dari wakil-wakil tersebut. Pemilu daerah di Indonesia banyak menghasilkan pemimpin yang berasal dari golongan berada, baik dalam arti ekonomi (pengusaha) maupun dalam arti politik (politisi kaya, yang ditopang oleh pengusaha) dibandingkan dengan pemimpin sederhana dan pekerja keras (Dahl, 1971). Para ilmuan politik dunia, semisal J.J. Rousseau dari Perancis menolak dan menabukan konsep representasi, karena dianggap dapat membuat kepentingan rakyat menjadi hilang, dan menyarankan cara lain dengan konsep distribusi kekuasaan , walaupun konsep ini masih bias dan diperdebatkan. John Stuart Mill, lebih fleksibel dengan memperbolehkan representasi dengan syarat-syarat pembatasan yang ketat, salah satunya dengan mengaktifkan kembali check and balances antara kekuasaan negara dan kekuasaan di daerah, melalui cara mengambil sumber atau basis kekuasaan yang berbeda dalam pemilihannya (dalam Dahl, 1971:98). Bahaya lain yang mengancam dari konsep representasi yang diselewengkan oleh penguasa (eksekutif dan legislatif), diulas secara cermat oleh ilmuan politik lain, Hannah Pitkins. Pitkins membagi representasi menjadi empat jenis yang berbeda; pertama: Authorize; ketika representasi secara legal diberi hak untuk bertindak, kedua: Deskriptif; ketika representasi membela kelompok yang memiliki watak politik yang sama, ketiga: Symbolic; ketika representasi menghasilkan sebuah ide bersama, keempat: Substantif; ketika representasi mencoba membawa kepentingan “ide” itu kedalam area kebijakan publik. Hancur dan majunya suatu wilayah dalam sebuah negara disumbangkan dengan pola representasi yang dihasilkan oleh pemilihan umumnya (Paul Hirst, 1990). Fenomena ini disebabkan oleh teritori (wilayah) yang luas dan sebaran penduduk yang beragam, karakteristik-karekteristik budaya lokal (semisal uwuh pakewuh), opini umum yang dibentuk oleh penguasa sebelumnya dan kepentingan umum yang seolah-olah dibutuhkan dan diciptakan oleh penguasa, didukung oleh sistem pemilu masih dalam tahap mencari idealisme, pencitraan politik dalam media serta pembunuhan karakter secara sistematik untuk lawan politik. Munculnya adagium bahwa pemilu di negara ini hanya menghasilkan pemimpin yang baik untuk partai dan untuk pengusaha, berawal dari kondisi tersebut. Daftar (list) defisit demokrasi selanjutnya; beralih pada melebarnya kepentingan elite dalam politik praktis, kepentingan-kepentingan minoritas yang diredam (semisal keterwakilan wanita) yang berimbas pada ketidakperdulian kepada rakyat. Hilangnya fungsi kontrol rakyat terhadap pemerintahan yang disebabkan para wakil rakyat di legislatif tidak dapat menggunakan fungsi kontrolnya (Pratikno dan Lay, 2007). Demokrasi bila dipandang sebagai sistem pemerintahan harus memenuhi tiga syarat pokok dalam kacamata demokrasi Di Palma, yaitu: 1) kompetisi yang adil antara individuindividu dan para kelompok organisasi politik (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan; 2) partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga masyarakat dalam pemilihan umum untuk menentukan dan memilih pemimpin yang akan mengeluarkan kebijakan untuk semua warga; 3) kebebasan sipil dan politik; kebebasan berbicara, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi politik serta terjaminnya kompetisi yang adil, dan partisipasi politik. Sistem demokrasi elektoral ini merupakan simplikasi dari konsep demokrasi prosedural Shcumpeter, yang lebih memfokuskan pada syarat dilakukannya pergantian kekuasaan
54
Robi Cahyadi Kurniawan; 81 - 89
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
melalui mekanisme pemilihan umum, dimana semua orang dapat mengaksesnya karena memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam politik (David Held, 2007). Defisit Demokrasi Ilmu politik, mencoba menawarkan empat resep untuk meredam terjadinya defisit demokrasi tersebut. Resep pertama adalah dengan menggunakan pendekatan legal; dengan memperketat dan membuat aturan-aturan main yang baru untuk melaksanakan politik praktis. Semisal dengan ide calon perseorangan/independen untuk membuka keran lain dalam bingkau representasi politik, memperkuat peran partai-partai oposisi, mengecilkan jumlah partai dengan jumlah 3-6 partai, membuat paket undang-undang politik yang baru dengan segala variannya. Resep kedua dengan pendekatan behavioralis; memandang bahwa sumber dari semua masalah ini terletak pada manusianya, bukan pada sistem yang telah diterapkan, sehingga obat yang diberikan adalah dengan mendekonstruksi pemahaman dan pemikiran para aktor-aktor politik tingkat atas, peningkatan kapasitas keilmuan politik praktis pada tingkat akar rumput masyarakat awam, sosialisasi dan pendidikan politik yang lebih intens dari media massa dan LSM yang bergerak dalam bidang politik (Jackson, 1978). Walaupun sebenarnya ini juga merupakan tugas partai politik; namun kenyataannya partai tidak bisa diharapkan maksimal melakukan fungsi ini. Pendekatan post-behavioralis memandang selain aktor sebagai individu juga aktoraktor politik sebagai kumpulan individu, seperti; birokrasi, fraksi di DPR/DPRD, kelompok-kelompok penekan dan kepentingan lebih berorientasi pada kepentingan umum. Ragam pendekatan lain yang ditawarkan oleh pendekatan positivis, pluralisme juga dapat dijadikan alternatif solusi yang lain. Realitas politik menjadi barang yang eksklusif dan berbeda dalam bingkai ruang dan waktu serta tempat yang berbeda. Ide penyeragaman politik tidak selalu tepat diterapkan pada seluruh di Indonesia, budaya-budaya lokal sudah sepantasnya diberikan ruang dan tempat dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Karakteristik wilayah yang berbeda menyebabkan karakteristik politik yang berbeda pula; otonomi daerah dapat menjadi wadah untuk mewujudkan karakteristik politik tersebut. Politik lokal, semisal Nagari di Sumatra Barat, politik Islam di Aceh, budaya lokal Papua, dapat melahirkan konsep-konsep demokrasi lokal yang tidak ditemukan indikator dan rujukannya dalam teori-teori politik barat. Justru disinilah letak keunikan dan keragaman demokrasi, penyeragaman berdemokrasi cenderung dimanfaatkan menjadi komoditas politik oleh penguasa tertentu dan partai politik tertentu. Sejak era keterbukaan politik yang bergulir pasca reformasi 1998, keran demokrasi semakin terbuka dengan adanya otonomi daerah, dan pemilihan kepala daerah langsung (pemilukada), ataupun terbukanya keran calon independen dalam pemilukada walaupun aturan main yang jelas belum ditetapkan. Berbicara mengenai pemilukada, kasus pemilihan kepala daerah yang terjadi di Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu, dapat dijadikan sebuah pembelajaran bahwa, apa yang terjadi adalah pertarungan dua elite yang melibatkan massa pendukungnya. Putusan KPU Pusat yang meminta dilakukan pemilihan umum ulang 4 kabupaten di Sulawesi Selatan menimbulkan gejolak. Gubernur pemenang pemilukada versi KPU Sulawesi Selatan jelas meradang, dan menolak putusan itu. Sedangkan pihak yang melaporkan, merasa senang dan meminta perhitungan suara ulang, walaupun ada kejanggalan apa yang diberi melebihi apa yang diminta. Putusan Mahkamah Agung yang kemudian dijadikan rujukan selanjutnya pun, mendukung putusan KPU Pusat yang menyarankan pemilihan ulang. 55
Robi Cahyadi Kurniawan; 81 - 89
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Dampaknya adalah terjadinya kekacauan ditingkat akar rumput (grassroot) pendukung antara kedua belah pihak, mosi ketidakpecayaan pada lembaga negara (KPU Propinsi) oleh pihak pendukung gubernur yang kalah. Sebaliknya, adanya ketidakpercayaan pada lembaga negara (KPU pusat dan MA) oleh pihak Gubernur terpilih. Keadaan ini merambat pada pertentangan antar lembaga negara, yaitu KPU Provinsi melawan KPU Pusat dan Mahkamah Agung. Mosi mendiamkan putusan KPU Pusat dan MA untuk mengadakan pemungutan suara ulang di 4 kabupaten yang dianggap bermasalah, tidak digubris oleh KPU Provinsi, dengan alasan terbatasnya dana, waktu dan beban sosial yang tinggi. Pihak penyelenggara di tingkat lokal pun, seperti panitia pelaksana tingkat kecamatan, panwaslu dan unsur lain mengancam mengundurkan diri dari jabatan yang diembannya apabila pemilihan ulang dilakukan. Demokrasi memang memiliki dampak sosial yang mahal, demokrasi prosedural yang kini diterapkan di Indonesia memiliki konsekuensi siapapun yang memiliki suara mayoritas (terbanyak) walaupun hanya selisih satu suara atau sedikit sekali maka dialah yang menang. Terlepas dari wacana yang berkembang siapa yang paling benar di kedua kubu yang bertarung dalam pemilukada Sulawesi Selatan, pihak yang kalah mengatakan ada kecurangan perhitungan suara, maka diperlukan penghitungan kembali, atau pihak yang menang. Nasi sudah menjadi bubur, keadaan sudah terjadi dengan keyakinan hati di kedua belah pihak yang merasa paling benar. Keadaan ini semakin rumit oleh dukung mendukung antara LSM, organisasi massa, organisasi politik dan kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Kasus di atas dicermati oleh penulis sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap kekuatan negara, di mana alam demokrasi yang memperbolehkan seluas-luasnya, memberi kebebasan warga negara untuk menyalurkan hak politiknya. Kasus Sulawesi Selatan, mungkin juga mencerminkan kasus-kasus lain di Indonesia terdahulu, seperti kasus pemilihan Gubernur Gorontalo yang lalu, pelepasan hak Sultan menjadi Gubernur Yogyakarta, ketidakpuasan pemilukada Kabupaten Tanggamus, Lampung 2007 lalu, yang memenangkan incumbent wakil bupati, Bambang Kurniawan, atas incumbent Bupati Fauzan Sya’i. Kasus pencopotan Gubernur terpilih versi DPRD Lampung periode 2004, Alzier Dianis Thabrani yang saat ini menggugat Mendagri dan Presiden RI kala itu; Megawati Sukarnoputi, atas gagalnya ia dilantik menjadi gubernur secara paksa akibat kasus pencurian dan penggelapan. Alzier melalui pengacaranya, Elza Syarief (yang juga besannya) menggugat putusan Mendagri dan Presiden RI atas dilantiknya Gubernur Lampung saat ini yaitu, Sjachroedin ZP, karena dianggap tidak sah. Terpilihnya Alzier waktu itu dianggap sah menurut versi DPRD lama, sedangkan versi DPRD baru (setelah pemilu 2004) tidak sah, dan diangkatlah Sachroedin ZP atas restu Megawati. Kasus Alzier versus Sjachroedin ZP pada tahap berikutnya berkembang lebih lanjut saat pemilukada Gubernur Lampung secara langsung untuk pertama kalinya di gelar pada bulan Oktober 2008 lalu. Kedua tokoh adalah putra-putra asli dari dua etnis besar Lampung yang memiliki massa dalam jumlah besar dan didukung tokoh-tokoh skala nasional. Dua partai besar yang mendukungnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dipihak Sjachroedin dan Partai Golongan Karya (PGolkar) di pihak Alzier, juga akan ikut bertarung. Kekhawatiran banyak pihak (sebelum pemiluakda digelar) apabila nantinya hasil perhitungan suara kedua calon ini sangat tipis dan sedikit perbedaannya, peluang gugat-menggugat dan melibatkan konflik massa cukup besar.
56
Robi Cahyadi Kurniawan; 81 - 89
Volume 4, No. 7, Juni 2011
ISSN: 1979–0899X
Namun hasilnya, pasangan Sjachroedin ZP-Joko Umar Said menang satu putaran dengan perolehan suara di atas 43,27% jauh mengungguli empat pasang calon lainnya, termasuk pasangan Alzier Dianis Thabrani-Bambang Sudibyo yang hanya memperoleh 20,62% suara. Dengan selisih perolehan suara yang cukup signifikan tersebut, maka kekhawatiran banyak pihak (sebelum pilgub digelar) akan muncul konflik yang melibtakan massa pendukung pasca pelaksanaan pilgub, menjadi tak terbukti. Penutup Gambaran beberapa kasus seperti yang dipaparkan di atas mungkin mencerminkan kondisi perpolitikan Indonesia saat ini, di mana ada situasi tertentu yang mengakibatkan elemen-lemen kekuatan dari civil society (masyarakat); yaitu individu, organisasi massa, organisasi sosial dan politik, partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan yang didukung oleh organisasi profesi, contoh; pengacara menjadi berkembang. Berkembangnya elemen kekuatan masyarakat ini menjadi sebuah kapasitas mandiri yang secara efektif akan menantang kewenangan dari negara. Kondisi ini mungkin menggambarkan secara lebih luas bahwa Indonesia saat ini penulis labelkan, meminjam istilah Pratikno dan Lay, sebagai state breakdown (2007). Berdasarkan dari perspektif alternatif governability, dilihat dari kacamata kekuatan aktor-aktor yang berada di luar negara, yang melihat kekurangan dari negara untuk menyediakan terjaminnya ruang publik (public sphere). DAFTAR PUSTAKA Chandoke, Neera. 2001. Benturan Negara dan Masyarakat Sipil. Yuliana-M. Nastain (Penerjemah). Yogyakarta: ISTAWA Wacana Dahl, Robert A. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. Chelsea: Yale University Press Held, David. 2007. Models of Democracy. Jakarta: Akbar Tandjung Institute Hirst, Paul. 1990. Representative Democracy and Its Limits. Cambridge: Polity Press Jackson, Karl D. 1978. Political Power and Comunication in Indonesia. (Eds). Barkell Los Angela: University of California Press Keohane, Robert & Nye, Joseph. 2001. Power and Interdepedence, 3rd edn. New York: Longman Milbrath, Lester W. 1969. Political Participation, Power, Participation and Ideology. New York: David Mckey Pratikno dan Cornelis Lay. 2007. “Komplikasi Bacaan Matakuliah Politik Indonesia”. Yogyakarta: Prodi Pasca Sarjana Ilmu Politik UGM Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2006. “Political Representation”. First Published Mon 2 Jan 2006
57
Robi Cahyadi Kurniawan; 81 - 89