88
I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah banyak pembahasan dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk pembangunan perairan pesisir. Namun permasalahan pesisir yang dipengaruhi oleh berbagai pemanfaatan, membutuhkan kajian dan penelitian lebih lanjut. Permasalahan, latar belakang, tujuan, hipotesis, dan ruang lingkup penelitian dipaparkan pada bab pendahuluan ini.
1.1. Umum Perlindungan dan Pengelolaan kawasan pesisir terpadu bertujuan untuk, pelestarian dan pengendalian sumberdaya alam dengan melaksanakan perencanaan terpadu dari berbagai aspek dan sektor sehingga dapat mendukung pembangunan pesisir berkelanjutan. Asas pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi paradigma utama dalam khasanah dunia pengelolaan wilayah pesisir (Kay, 1999). Pembangunan pesisir berkelanjutan memiliki makna pemeliharaan keseimbangan antara kewajiban dan tanggung jawab terhadap fungsi lingkungan hidup sesuai dengan tujuan pengelolaan perairan pesisir untuk perwujudan kesejahteraan dan mutu hidup manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemeliharaan keseimbangan lingkungan membutuhkan perencanaan pemanfaatan yang efektif terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir. Dalam Undang-undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWP PPK) disebutkan bahwa tujuan utama dari pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya pesisir di dalam memenuhi kebutuhan baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Dalam pengelolaan wilayah pesisir tepadu (integrated coastal management) kata kunci “terpadu” merupakan solusi terhadap penyelesaian permasalahan pesisir yang kompleks. Keterpaduan didalam pengelolaan pesisir mencakup keterpaduan ekologis, keterpaduan sektor, keterpaduan berbagai disiplin ilmu dan keterpaduan stake holder. Keterpaduan ekologis memiliki pengertian adanya keterkaitan antara lingkungan daratan dan lautan yang ada disekitarnya. Berbagai kegiatan di darat dan laut, seperti industri, pertanian, perikanan, pariwisata, perhubungan laut, pertambangan, dan pengembangan kota, memberikan kontribusi ke perairan pesisir dan mempengaruhi kualitas perairannya. Secara ekologis terdapat empat persyaratan utama yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, yaitu keharmonisan spasial, pemanfaatan sumberdaya
Universitas Sumatera Utara
89 alam secara optimal dan berkelanjutan, pembuangan limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, desain serta pembangunan prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir dan lautan (Dahuri, 1996). Keterpaduan sektor dimaksudkan agar sektor-sektor pelaku pembangunan memanfaatkan pesisir tanpa adanya tumpang tindih yang menimbulkan konflik berkelanjutan secara horizontal maupun vertikal. Keterpaduan sektor seharusnya menjadi lebih diperkuat dengan adanya Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang telah disempurnakan melalui Undang-Undang No.32 Tahun 2004. Undang-undang ini menguatkan kelembagaan dalam usaha pengembangan wilayah dimana daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengurusi wilayahnya sendiri. Selain itu juga diperlukan antara lembaga-lembaga pemerintah dan lembagalembaga non pemerintah. Keterpaduan stake holder diperlukan untuk pengenalan, pengidentifikasian sifat, karakteristik dan permasalahan serta pemecahannya. Keterpaduan bertujuan mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera. Hal ini dapat dicapai dengan peningkatan kualitas hidup komunitas manusia yang bergantung pada sumberdaya pesisir. Sumberdaya pesisir membutuhkan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi dengan mempertahankan keanekaragaman hayati dan produktivitas ekosistem. Penguatan hubungan kebutuhan yang menyatukan pemerintah, masyarakat dan lingkungan hidup serta kepentingan stakeholder merupakan jalan yang sangat tepat dalam melindungi ekosistem pesisir. Perairan pesisir merupakan ruang. Di dalamnya terdapat berbagai sumberdaya pesisir yang dimanfaatkan untuk kelangsungan kehidupan dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Pemanfaatan sumberdaya pesisir biasanya menimbulkan berbagai dampak ke perairan pesisir. Bahkan pemanfaatan sepanjang sungai yang bermuara ke perairan pesisir sangat mempengaruhi kualitas air perairan pesisir. Berbagai kegiatan yang dilakukan manusia dan disebabkan oleh alam memiliki potensi mengancam ekosistem wilayah pesisir. Aneka pemanfaatan di wilayah pesisir adalah tantangan pembangunan yang memerlukan rumusan perencanaan terpadu dan berkelanjutan (Rahmawaty, 2004). Perairan pesisir menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para nelayan, tetapi juga sebagai tempat pembuangan limbah cair dan pembuangan sampah. Selain itu perairan pesisir digunakan sebagai pelabuhan arus perdagangan berbagai komoditi. Dilain pihak pesisir merupakan sumber masukan pendapatan oleh pemerintah guna mendukung pembangunan daerah. Dalam pencapaian target pembangunan lingkungan perairan pesisir berkelanjutan diperlukan indikator kinerja yang tak terlepas dari indikator pembangunan berkelanjutan mencakup faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan serta kelembagaan. Faktor tersebut merupakan dasar pertimbangan dalam perencanaan, pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir (Wiyana, 2004).
Universitas Sumatera Utara
90 Indikator sosial ekonomi diidentifikasi dengan pencapaian tingkat pendapatan masyarakat nelayan tradisional yang dapat memenuhi kebutuhan nelayan tradisional dalam tingkat keluarga sejahtera seperti kepemilikan rumah layak sesuai kriteria keluarga sejahtera (BKKBN, 2002), memiliki pendidikan yang cukup, sehingga dapat memberikan bekal terhadap nelayan untuk peningkatan keterampilan. Memiliki sarana dan prasarana, sehingga para nelayan tradisional akan menjadi tangguh. Memiliki kapasitas pemikiran untuk dapat memotivasi diri melindungi lingkungan perairan pesisir. Indikator lingkungan hidup dilihat dari kualitas lingkungan pesisir dengan parameter yang tidak melewati nilai ambang batas baku mutu yang ditetapkan. Toleransi organisma perairan merupakan indikator yang dapat digunakan dalam kaitannya dengan kebutuhan biota yang hidup perairan pesisir. Indikator kelembagaan dinilai dari kemampuan kelembagaan dalam menerapkan tugas pokok dan fungsinya dan mampu mengatasi konflik. Kemampuan kelembagaan dalam perlindungan dan pengelolaan dalam menghidupkan kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya lokal dan mengendalikan sumber pencemar yang mengkontribusi badan perairan. Permasalahan ekologis diidentifikasi dari terjadinya penurunan fungsi mangrove akibat penebangan dan erosi. Tingginya kadar padatan tersuspensi mengakibatkan pendangkalan di perairan pesisir. Intrusi air laut pada badan air dan air tanah menyebabkan masyarakat sulit menemukan air sumur yang dapat digunakan sebagai air bersih. Terancamnya sumberdaya alam pesisir mengakibatkan pertumbuhan ekonomi daerah akan terpengaruh, berlanjut menjadi permasalahan sosial dan budaya. Dengan pendapatan nelayan tradisional yang sangat minim, kesejahteraan nelayan dalam aspek perumahan, pemukiman, kesehatan, kenyamanan, keamanan, ketertiban, keindahan sangat sulit untuk dicapai. Tata ruang kawasan pesisir yang mengatur zonazona pemanfaatan dan konservasi menjadi permasalahan administrasi dan kelembagaan. Peranan kelembagaan dalam pembangunan wilayah pesisir belum optimal dan belum tercipta suatu system pengelolaan secara terpadu. Selain itu lemahnya pemahaman tentang ekosistem pesisir dan hukum lingkungan, baik di tingkat aparatur maupun masyarakat, adalah gambaran nyata dari kondisi yang ada. Berdasarkan uraian diatas, pemanfaatan perairan pesisir oleh berbagai pihak dan kegiatan memberikan dampak terhadap sosial dan lingkungan pesisir, membutuhkan perlindungan dan pengelolaan yang tepat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anna (2001) melakukan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) sebagai pemecahan masalah perairan pesisir. DAS merupakan subsistem lahan atas dan subsistem lahan pesisir. Sebagai suatu sistem, badan air sungai dan perairan pesisir mendapatkan masukan bahan pencemar dan sedimen dari kegiatan pembangunan (manusia) yang berada di sepanjang kawasan DAS. Pemanfaatan DAS sangat berpengaruh terhadap wilayah pesisir. Hal ini memerlukan kebijakan pengelolaan yang disesuaikan dengan kemampuan wilayah pesisir untuk menetralisir kemungkinan kerusakan yang terjadi. Demikian juga dengan diperkenalkannya Indeks Kepekaan Lingkungan oleh NOAA (2002) yang merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang menggambarkan nilai-nilai biologi, sosial-ekonomi dan sosial-
Universitas Sumatera Utara
91 budaya pada suatu wilayah pesisir dan laut tertentu yang digunakan sebagai prioritas respon terhadap tumpahan minyak. Dalam perkembangannya Indeks Kepekaan Lingkungan bukan hanya untuk menilai kepekaan lingkungan terhadap tumpahan minyak, tetapi juga kepekaan wilayah pesisir terhadap polutan dan bahan pencemar lainnya baik yang berasal dari sungai, pemukiman, maupun kegiatan-kegiatan di sekitar pantai. Indeks Kepekaan Lingkungan lebih difokuskan kepada tingkat kerentanan dari kondisi fisik wilayah pesisir dan data yang dibutuhkan diperoleh melalui data satelit. 1.2. Latar Belakang Perlindungan ekosistem dapat ditingkatkan dengan mengetahui kondisi ekosistem pesisir secara akurat, karena telah banyak kerusakan ekosistem yang belum teridentifikasi secara rinci dan terukur. Untuk mengetahui kondisi akurat tersebut diperlukan pendekatan yang dapat memberikan suatu nilai atau besaran secara empiris. Perlindungan dan pengelolaan perairan pesisir memerlukan informasi aktual tentang kondisi eksisting. Untuk itu dibutuhkan suatu instrumen yang dapat menjelaskan pengaruh komponen-komponen
yang menjadi variabel dalam kualitas perairan
pesisir. Instrumen yang mampu memberikan ukuran tingkat kualitas perairan pesisir haruslah mengandung parameter-parameter yang dapat memberikan karakteristik perairan pesisir dan kesejahteraan nelayan.
Nilai tersebut secara tegas memberikan status terhadap kondisi
lingkungan perairan pesisir. Status lingkungan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan pesisir berkelanjutan. Dalam penelitian ini dilakukan inventarisasi indikator pengelolaan perairan pesisir dengan tujuan
pembangunan instrumen
penilaian kualitas perairan pesisir yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk mengetahui sejauhmana instrumen tersebut dapat digunakan, diperlukan simulasi terhadap perairan pesisir yang memiliki permasalahan ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Di Perairan Belawan permasalahan ekologi diidentifikasi dari instrusi air laut di daerah pemukiman kecamatan Belawan, yaitu kualitas air sumur memiliki daya hantar listrik dan salinitas yang tinggi (Pemantauan Badan lingkungan Hidup, 2008). Beberapa daerah di kecamatan Medan Belawan terdapat perumahan nelayan yang kumuh, kondisi perairan yang kotor oleh sampah, kondisi mangrove yang tidak terkelola, menunjukkan belum optimalnya kelembagaan melakukan perlindungan dan pengelolaan terhadap daerah pesisir Belawan. Dari data pemantauan kualitas air yang dilakukan dari tahan 2004 sampai dengan 2008 oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I dan UPT Laboratorium Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Sumatera Utara., menunjukkan bahwa terdapat beberapa parameter kualitas air berada diatas Nilai Ambang Batas Bakumutu yang mengacu kepada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004. Selain itu PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I melakukan pengerukan sedimen di muara Sungai Deli dan Sungai Belawan dengan dana kurang lebih sebesar 18 milyar rupiah pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa volume sedimen sangat tinggi di Perairan Belawan. Oleh sebab itu penggunaan instrumen disimulasikan di Perairan Belawan. Perairan Belawan
Universitas Sumatera Utara
92 merupakan perairan pesisir yang dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan ekonomi di Sumatera Utara, antara lain pemanfaatan untuk pelabuhan, perikanan, pertambangan, lokasi industri dan pemukiman. Oleh sebab itu penggunaan instrumen disimulasikan di Perairan Belawan. Pemanfaatan dari beberapa kegiatan tersebut, mempengaruhi kualitas air, kehidupan sosial dan ekonomi nelayan. Penelitian ini dibatasi pada daerah estuari yang memiliki nilai salinitas nol, dan batas ke laut terbuka sampai batas yang ditentukan 4 (empat) mil kearah laut terbuka. Batas sosial penelitian ini adalah terhadap masyarakat nelayan yang hidup di sekitar pesisir. Sedangkan pembahasan efek fisik dan ekosistem perairan dilakukan dari mulai hulu hingga muara Sungai Deli dan Sungai Belawan serta daerah yang dipengaruhi pasang dan surut.
1.3. Perumusan Masalah Perlindungan dan Pengelolaan perairan pesisir membutuhkan nilai yang dapat menggambarkan kondisi fisik dan non fisik perairan pesisir. Perolehan nilai membutuhkan indikator perairan pesisir terpadu. Belum tergabungnya indikator perairan pesisir dalam suatu sistem penilaian yang efisien, yang dapat digunakan dalam penerapan kebijakan perlindungan dan pengelolaan perairan berkelanjutan. Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, diperlukan indikator perlindungan dan pengelolaan perairan pesisir secara menyeluruh dan terintegrasi dari komponen-komponen perairan pesisir. Bagaimana memperoleh instrumen pengukuran yang dapat menggambarkan kondisi perairan pesisir sehingga dapat ditentukan status perairan pesisir dan kebijakan perlindungan dan pengelolaan perairan pesisir?; Bagaimana penerapan instrumen tersebut sehingga diperoleh status Perairan Belawan? Dengan status tersebut, apa yang harus dilakukan untuk mencapai Perairan Belawan berkelanjutan? Permasalahan-permasalahan tersebut adalah permasalahan pokok dalam penelitian ini.
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini terbagi ke dalam 3 bagian, yaitu: 1) Penentuan indikator penilaian kualitas perairan pesisir yang secara menyeluruh dan terintegrasi dari komponenkomponen perairan pesisir ; 2) Pembangunan instrumen pengukuran kondisi perairan pesisir dengan pengembangan indeks dan status perairan sehingga dapat diformulasikan
kebijakan
perlindungan dan pengelolaan perairan pesisir; 3) Penilaian indeks perairan Belawan, penentuan status perairan serta penetapan kebijakan perlindungan dan pengelolaan Perairan Belawan sekaligus penyusunan strategi pembangunan Perairan Belawan berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
93
Universitas Sumatera Utara
94 1.5. Hipotesis Hipotesis penelitian meliputi beberapa hal yaitu: 1) Indikator yang diperlukan dalam perlindungan dan pengelolaan perairan pesisir yang dapat menggambarkan kondisi perairan secara menyeluruh dan terintegrasi terdiri dari kualitas air, sumberdaya alam pesisir dan kondisi masyarakat di sekitarnya;
2) Instrumen penilaian kualitas perairan pesisir diperkirakan dapat
ditentukan dengan melakukan pengembangan indeks; 3) Dengan mengetahui nilai indeks sebagai instrumen penilaian kualitas perairan pesisir maka dapat ditentukan status dan kebijakan perlindungan perairan Belawan.
1.6. Kerangka Pikir Perlindungan dan pengelolaan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup di daerah pesisir membutuhkan penilaian kondisi perairan pesisir secara konprehensif. Hal ini membutuhkan indeks sebagai instrumen pengukuran. Pengukuran membutuhkan indikator yang tepat. Selain itu pengukuran juga memerlukan formulasi yang dapat diterapkan di berbagai perairan pesisir. Dengan pengukuran indeks pada kondisi eksisting, maka diperoleh nilai indeks awal. Nilai indeks yang diharapkan pada perairan pesisir berkelanjutan diasumsikan mendekati nilai 100. Dalam upaya meningkatkan nilai indeks menuju perairan berkelanjutan diperlukan strategi menerapkan kebijakan perlindungan dan pengelolaan perairan pesisir.
Universitas Sumatera Utara