26
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Subsidi menurut ilmu ekonomi adalah bantuan keuangan dari pemerintah
untuk membantu sektor industri atau bisnis guna menjaga harga barang atau jasa tetap rendah. Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) mengartikan subsidi sebagai transfer dana langsung termasuk potential transfer seperti loan guarantees, pendapatan yang hilang, barang dan jasa yang disediakan pemerintah, seperti infrastruktur umum atau pembelian barang lainnya oleh pemerintah, dan subsidi spesifik dari pemerintah. Oleh sebab itu subsidi menjadi alternatif kebijakan politik untuk mentransfer sebagian dana dari kelompok masyarakat yang satu ke kelompok masyarakat lainnya (Bappenas, 2007). Menurut Suparmoko dalam Handoko dan Patriadi (2005), subsidi atau transfer dana adalah salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang juga diartikan sebagai pajak negatif yang menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi pemerintah. Di banyak negara pengekspor minyak, keberadaan instrumen subsidi harga bahan bakar minyak (BBM)1 tetap dipertahankan karena secara politik negara dengan sumberdaya minyak yang berlimpah selayaknya memberikan subsidi harga BBM di dalam negeri untuk melindungi konsumen domestik terhadap fluktuasi harga dunia minyak mentah. 1 Bahan Bakar Minyak, disingkat BBM, dalam disertasi ini pada awalnya hanya meliputi bensin premium atau premium (gasoline), minyak solar (automotive diesel oil, ADO), minyak tanah (kerosene), dan elpiji (liquefied petroleum gas, LPG). Ketiga jenis BBM itu merupakan BBM subsidi hingga saat ini, tahun 2010. Namun karena pemerintah melaksanakan program konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2007 yang lalu, maka disertasi ini menambahkan elpiji dalam lingkup pembahasannya guna dapat menangkap nuansa konversi tersebut. Sehingga terminologi BBM dalam disertasi ini terdiri dari premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji.
27 Namun demikian, di sisi lain, subsidi harga BBM juga memiliki eksternalitas negatif. Seperti yang dinyatakan oleh Basri (2002), subsidi harga BBM yang tidak transparan dan tidak jelas targetnya akan menyebabkan: (1) distorsi baru dalam perekonomian, (2) menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Masyarakat membeli BBM dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar internasional, sehingga konsumen cenderung tidak berhemat terhadap BBM dan terjadi pemborosan sumberdaya, akibat selanjutnya adalah perekonomian menjadi kurang kompetitif. Hartarto (2009) dalam Jajang (2009) mengatakan bahwa Indonesia belum siap untuk melepaskan subsidi harga BBM. Hal ini disebabkan masih mahalnya harga energi alternatif terbarukan yang ramah lingkungan. Menurut Bappenas (2007), hal ini dapat dipahami karena pengurangan subsidi harga BBM mempunyai pengaruh pengganda (multiplier effect) yang lebih luas dibandingkan dengan subsidi non-BBM. Pemerintah Indonesia mulai mengeluarkan subsidi harga BBM yang besar ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998, yaitu sebesar Rp. 28.61 triliun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Besaran subsidi BBM cenderung berfluktuasi dan mencapai angka tertinggi pada tahun 2008 sebesar Rp. 146.6 triliun dengan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9 196 per US$. Menurut Nugroho (2005) lonjakan nilai tukar rupiah menjadi faktor penting yang menyebabkan peningkatan subsidi BBM. Sementara itu terlihat bahwa komposisi subsidi BBM dan non-BBM terhadap belanja negara cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun secara nominal cenderung meningkat. Abimanyu (2009) dalam Departemen Keuangan (2009c) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang
28 mendorong lonjakan anggaran belanja subsidi BBM, antara lain: (1) menurunnya lifting minyak bumi2 dari target APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan (2) peningkatan konsumsi BBM. Tabel 1.
Perkembangan Nilai Tukar, Harga Dunia Minyak Mentah, Belanja Negara, dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985-2007 Nilai Tukar1
Harga Dunia Minyak Mentah2
Belanja Negara3
(Rp/US$)
(US$/Barrel)
(Rp. Miliar)
Tahun
Subsidi BBM3 (Rp. Miliar)
(%) *
Subsidi Non-BBM3 (Rp. Miliar)
(%) *
1985
1 111
27.56
22 148
450
2.03
917
4.14
1990
1 843
23.73
39 754
3 306
8.32
265
0.67
1995
2 249
17.02
65 340
0
0.00
179
0.27
1998
10 014
12.72
172 669
28 607
16.57
7 179
4.16
2000
8 396
28.50
221 467
53 810
24.30
8 936
4.03
2005
9 705
53.40
361.200
95 600
26.47
25 200
6.97
2006
9 164
64.30
440 000
64 200
14.59
43 200
9.82
2007
9 140
72.30
504 600
83 800
16.61
66 400
13.16
2008
9 196
110.60
729 100
146 600
20.01
135 100
18.53
Keterangan: Sumber:
* 1 2 3
: Kontribusi Subsidi terhadap Belanja Negara : IMF, 2006 dan Departemen Keuangan, 2009b : Badan Pelaksana Migas (BPMigas), 2009 : Bappenas, 2007 dan Departemen Keuangan, 2009b
Faktor lain yang sangat esensial adalah fluktuasi harga dunia minyak bumi. Departemen Keuangan, 1991, menyatakan bahwa pemberian subsidi BBM dikarenakan BBM merupakan sumber energi yang cukup strategis bagi penggerak roda perekonomian nasional dan besar pengaruhnya terhadap upaya menjaga stabilitas ekonomi. Besar kecilnya subsidi BBM bergantung pada selisih daripada hasil penjualan BBM dan biaya pengadaan dalam negeri. Hasil penjualan BBM dalam negeri pada gilirannya bergantung pada harga dan jumlah konsumsi BBM di dalam negeri, sedangkan biaya pengadaan BBM bergantung pada biaya
2
Istilah minyak bumi atau minyak mentah merupakan minyak mineral yang sama, sebagaimana yang terlihat pada Lampiran 3, dan dalam disertasi ini istilah tersebut dipakai secara bergantian.
29 pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, dan biaya distribusi BBM. Mengingat biaya pembelian minyak mentah merupakan komponen yang paling besar dalam pengadaan BBM, maka besar kecilnya subsidi BBM sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah. Harga dunia minyak mentah sangat berfluktuatif dan merupakan harga yang dibentuk sebagian oleh kartel penjual OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang menguasai penawaran minyak mentah sekitar 45 persen, situasi keamanan di negara-negara penghasil minyak OPEC dan nonOPEC, dan oleh spekulasi harga oleh para spekulan. Spekulasi harga dunia minyak dilakukan di pasar New York Mercantile Exchange (NYMEX) di New York, yaitu pasar berjangka komoditas dimana salah satu komoditasnya adalah minyak mentah. Proporsi volume minyak mentah yang diperdagangkan di pasar NYMEX sekitar 35 persen dari volume perdagangan dunia minyak mentah. Meskipun demikian, sejarah membuktikan bahwa pasar dunia minyak mentah dapat didikte oleh harga yang terbentuk di pasar NYMEX. Contoh terakhir adalah ketika harga dunia minyak mentah mencapai US$143 per barrel pada bulan Maret 2008 dan turun drastis mencapai US$40 per barrel setahun kemudian. Meskipun sangat fluktuatif, harga dunia minyak mentah cenderung menunjukkan peningkatan yang konsisten yang dimulai pada tahun 1973 sebesar US$12 per barrel hingga tahun 2009 mencapai sekitar US$70 per barrel. Menurut Brown and Yucel (2002) kenaikan harga dunia minyak bumi dapat menurunkan GDP (Gross Domestic Product) yang ditransmisikan melalui sisi supply dan biaya-biaya umum. Rasio biaya BBM yang tinggi pada sektor usaha menunjukkan kepekaannya terhadap perubahan harga dunia minyak bumi.
30 Menurut Blanchard and Jordi (2008) perubahan harga dunia minyak bumi menjadi hal yang penting karena berdampak pada banyak sendi-sendi ekonomi secara konsisten dan simultan sehingga dapat menyebabkan resesi ekonomi. Di pasar dunia posisi Indonesia adalah sebagai price taker karena memproduksi minyak mentah sebanyak 1.1 persen dari total produksi minyak mentah dunia. Sebagai price taker maka fluktuasi harga dunia minyak mentah menjadi faktor eksternal yang given dan karena itu perlu disiasati dengan hati-hati. Sebelum tahun 2005 Indonesia masih menikmati windfall profit3 dari minyak bumi karena ekspor bersih minyaknya masih positif. Sejak tahun 2005 Indonesia masuk dalam kategori negara pengimpor minyak (net-importer country), yaitu lebih banyak mengimpor minyak daripada mengekspornya. Karena itu kenaikan harga dunia minyak mentah cenderung mengakibatkan semakin besarnya defisit ekspor bersih minyak. BBM merupakan sumber energi utama bagi perekonomian nasional yang memberikan kontribusi sebesar 36.51 persen terhadap total konsumsi energi final4 di dalam negeri. Menurut Yanuarti (2004), jasa angkutan dan perkebunan merupakan pengguna BBM yang memiliki rasio biaya kurang dari 35 persen, sedangkan industri pengolahan dan pertambangan memiliki rasio biaya BBM lebih dari 50 persen. Secara umum kenaikan harga BBM sebesar 1 persen diperkirakan dapat memberikan tekanan terhadap kenaikan harga barang-barang di dalam negeri sebesar 0.07 persen tanpa adanya subsidi harga BBM. 3
Windfall profit adalah istilah populer untuk menunjukkan kenaikan mendadak pendapatan negara dari kegiatan mengekspor dan mengimpor minyak bumi sebagai akibat dari kenaikan harga dunia minyak bumi. Hal ini hanya berlaku bagi negara dengan status net-exporter country yaitu lebih banyak volume ekspor dibandingkan impor minyak buminya. 4 Energi Final adalah energi yang dapat dikonsumsi langsung oleh pemakai atau konsumen. Sumber energi lain, selain BBM, adalah BBM non-subsidi, listrik, batubara, kayu bakar, gas bumi (gas alam), dan arang. Total konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2005 adalah 863 751 setara barrel minyak (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006).
31 Berkaitan dengan kemiskinan, Nuryanti dan Herdinie (2007) menyebutkan bahwa kelompok rumahtangga kaya mendominasi konsumsi energi komersial yaitu listrik, elpiji, gas bumi, dan minyak tanah, seperti yang tertera pada Tabel 2. Hal tersebut tampak dari besarnya kontribusi konsumsi energi komersial yang terkait dengan alasan kepraktisan, peningkatan daya beli, dan perubahan gaya hidup. Sementara kelompok rumahtangga miskin masih bergantung pada jenis energi non-komersial khususnya arang dan kayu bakar. Teori Engel dalam Tambunan (2003) menyatakan bahwa kontribusi pengeluaran konsumsi makanan rumahtangga di perdesaan lebih besar dibandingkan dengan kontribusi pengeluaran konsumsi makanan rumahtangga di perkotaan, karena rumahtangga perkotaan sudah beralih ke pengeluaran konsumsi non-makanan. Tabel 2.
Tahun
Kelompok Mid-Low
1990 1995
SBM
%
Kayu Bakar SBM
%
Lain-Lain SBM
%
12 518
31.7
75 699
43.3
3 178
Mid-Up
940
99.2
26 971
68.3
99 269
56.7
8 907
73.7
Mid-Low
47
1.5
12 337
28.9
80 932
43.4
3 778
21.6
3 151
98.5
30 318
71.1
105 419
56.6
13 733
78.4
183
4.8
23 076
43.7
126 014
61.3
5 790
26.5
3 659
95.2
29 717
56.3
79 637
38.7
16 060
73.5
170
3.9
19 406
32.3
112 964
51.9
5 475
21.9
4 157
96.1
40 730
67.7
104 498
48.1
19 486
78.1
Mid-Up Mid-Low Mid-Up
Keterangan:
Minyak Tanah %
Kelompok
0.8
Mid-Up
2003
Elpiji SBM
dan
8
Mid-Low
2000
Sumber:
Jumlah Konsumsi Energi Menurut Jenis Rumahtangga di Indonesia Tahun 1990-2003
26.3
Lain-lain: meliputi listrik, gas bumi, arang, dan briket. SBM: Setara Barrel Minyak. Kelompok Mid-Low: Garis Kemiskinan < Penghasilan < 149.99 %. dari Garis Kemiskinan. Kelompok Mid-Up: 150 % dari Garis Kemiskinan < Penghasilan < 20.1 %. dari Penduduk Terkaya. Statistik Ekonomi Energi Indonesia DESDM, 2006 dalam Nuryati dan Herdinie, 2007.
Tabel 3 menjelaskan penjualan BBM menurut sektor penggunanya di Indonesia pada tahun 2005. Berdasarkan sektor penggunanya, premium dikonsumsi utamanya oleh sektor transportasi sebesar 96.66 persen atau 98.5 juta SBM, minyak solar dikonsumsi oleh sektor transportasi dan industri berturut-turut
32 sebesar 44.92 persen (61.4 juta SBM) dan 38.62 persen (52.8 juta SBM), dan minyak tanah dikonsumsi utamanya oleh sektor rumahtangga dan komersial sebesar 95.41 persen atau 62.7 juta SBM. Terakhir elpiji utamanya dikonsumsi oleh sektor rumahtangga dan komersial sebesar 71.91 persen atau 6.4 juta SBM dan sektor industri sebesar 28.09 persen atau 2.5 juta SBM. Penelitian ini menambahkan elpiji subsidi sebagai salah satu komponen BBM. Elpiji dimaksudkan untuk menggantikan minyak tanah sebagai sumber energi memasak rumahtangga dan usaha kecil melalui Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji. Melalui program konversi diharapkan 52.9 juta rumahtangga dan usaha kecil pengguna minyak tanah dapat beralih ke elpiji (Pertamina, 2009). Tabel 3.
Ringkasan Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 (Juta SBM)
P
MT
MS
E
P
MT
MS
E
Rumahtangga dan Komersial P MT MS E
MT
MS
E
1990
0
1.7
18.4
0.8
35.0
0.010
29.5
0
0
40.5
1.4
1.9
2.1
1.7
11.7
0
1995
0
2.7
32.5
1.6
49.7
0.012
43.5
0
0
45.7
2.9
4.2
3.9
2.3
20.7
0
1997
0
3.1
34.4
2.0
58.5
0.013
48.5
0
0
50.0
3.3
5.0
4.7
2.6
24.1
0
1998
0
2.9
37.3
1.8
61.1
0.013
50.4
0
0
52.0
2.8
5.2
2.9
2.4
17.3
0
2000
0
3.6
47.7
2.4
69.6
0.013
57.3
0
0
56.0
3.0
5.7
2.9
2.5
17.4
0
2005
0
2.5
52.8
2.5
98.5
0.014
61.4
0
0
62.7
3.2
6.4
3.4
2.5
19.3
0
Industri
Tahun
Keterangan: Sumber:
Transportasi
Lain-Lain P
P: Premium; MT: Minyak Tanah; MS: Minyak Solar; E: Elpiji SBM adalah Setara Barrel Minyak, yang merujuk pada kandungan kalori. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
Perhitungan perkiraan subsidi harga premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji yang disajikan pada Tabel 4 menggunakan pendekatan sederhana yaitu selisih antara harga dunia minyak mentah dengan harga jual eceran BBM di dalam negeri, keduanya dalam mata uang rupiah. Subsidi harga minyak tanah secara relatif lebih besar dibandingkan dengan subsidi harga premium, minyak
33 solar, dan elpiji, karena minyak tanah banyak digunakan oleh rumahtangga kurang mampu yang sangat membutuhkan subsidi. Tabel 4.
Harga Jual Eceran dan Perkiraan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2006 Premium
Tahun
Harga Jual Eceran
Minyak Solar
Subsidi Harga
Harga Jual Eceran
Subsidi Harga
Minyak Tanah Harga Subsidi Jual Harga Eceran
(Rp/Liter)
Elpiji Harga Subsidi Jual Harga Eceran (Rp/Kg)
1985
385
-123.8
242
32.5
165
125
370
1990
450
-76.9
245
147.1
190
224.3
400
-132.1
1995
700
-373.4
380
-36.8
280
82.5
1 000
-578.4
1998
1 000
86.7
550
592
280
926.4
1 500
-38.3
2000
1 150
892
600
1545.8
350
1 916.9
1 500
975.7
2005
3 117
229.3
2 877
639.5
2 061
1 654.0
4 250
49.6
2006
4 500
292.5
4 300
736.2
2 000
3 320.5
4 250
669.2
Sumber:
-174.6
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
Pada Tabel 5 ditunjukkan seluruh sumber energi final untuk memasak rumahtangga di Indonesia periode tahun 1985-2007. Pada periode tersebut sumber energi kayu bakar lebih dominan daripada sumber energi lainnya. Walaupun mempunyai kecenderungan yang menurun, namun pada tahun 2007 penggunaan kayu bakar dalam persen meningkat dibanding tahun 2001, hal sebaliknya terjadi untuk konsumsi minyak tanah yang mengalami penurunan. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya harga jual eceran minyak tanah rata-rata sebesar 30.77 per tahun pada periode tersebut, sehingga sebagian masyarakat kurang mampu kembali menggunakan kayu bakar, yang kenaikan harganya hanya sekitar 7.00 persen per tahun pada periode yang sama. 1.2.
Perumusan Masalah Fluktuasi harga dunia minyak bumi yang tercermin melalui besaran
subsidi harga BBM dan harga jual eceran BBM di dalam negeri menimbulkan permasalahan bagi kegiatan perekonomian di Indonesia. Apabila fluktuasi harga dunia minyak mentah berdampak langsung dan linier terhadap harga jual eceran
34 BBM maka setiap terjadi fluktuasi harga dunia minyak mentah akan berakibat pada fluktuasi harga jual eceran BBM dalam negeri. Fluktuasi harga jual eceran BBM dalam negeri dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian dan fluktuasi harga umum dan biaya input sehingga berdampak kurang baik bagi perekonomian nasional. Oleh sebab itu, agar fluktuasi harga dunia minyak mentah tidak berdampak langsung dan linier terhadap harga jual eceran BBM, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan untuk meredam dampak imported inflation. Kebijakan pemerintah untuk mendistorsi pasar agar terjadi pembelokkan transmisi itu dikenal dengan kebijakan subsidi harga BBM. Tabel 5.
Tahun 1985 1990 1995 1998 2001 2007
Pemakaian Minyak Tanah, Kayu Bakar, dan Elpiji oleh Rumahtangga untuk Memasak di Indonesia Tahun 1985-2007 (Persen) Listrik 0.69 0.75 3.85 1.38 2.92 1.86
Elpiji 1.06 1.96 4.10 7.35 8.22 10.57
Minyak Tanah 25.93 26.14 32.24 38.23 44.10 36.57
Kayu Bakar 71.57 70.40 58.78 52.54 43.23 49.38
Arang 0.31 0.30 0.40 0.34 0.27 0.79
Lainnya 0.43 0.40 0.63 0.15 0.09 0.82
Sumber: BPS, 2008a.
Departemen Keuangan (2009b) menyampaikan bahwa untuk anggaran tahun fiskal 2009, setiap kenaikan US$1.0 per barrel harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price, ICP) akan berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 2.9 triliun. Dari sisi belanja negara, setiap kenaikan harga minyak ICP US$1.0 per barrel akan berpotensi meningkatkan belanja pemerintah pusat sebesar Rp. 3.3 triliun sampai dengan Rp. 3.5 triliun, yang berasal dari pembayaran subsidi BBM, subsidi listrik kepada PT Perusahaan Listrik Negara (persero), dan peningkatan bagi hasil untuk daerah penghasil migas. Dampak bersih dari kenaikan ICP
35 sebesar US$1.0 per barrel adalah minus atau peningkatan defisit anggaran sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.6 triliun. Persoalan sesungguhnya terletak pada harga dunia minyak bumi dalam mata uang rupiah, dimana nilai tukar rupiah menjadi faktor yang sangat penting. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, disamping harga dunia minyak bumi yang berfluktuasi, nilai tukar rupiah cenderung terdepresiasi. Kedua hal ini menyebabkan harga BBM cenderung semakin mahal dalam mata uang rupiah. Harga BBM yang semakin mahal akan semakin jauh diluar jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia. Di sisi lain kebijakan subsidi harga BBM yang terus menerus dilakukan dapat mengganggu kemampuan APBN dalam mendukung pembangunan nasional. Sejak tahun 1986 subsidi BBM cenderung meningkat dan pada tahun 2005 mencapai Rp. 89.19 triliun atau 22.71 persen dari belanja negara. Oleh sebab itu pemerintah bermaksud mengurangi subsidi BBM ini secara bertahap. Kebijakan pengurangan subsidi BBM ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Perencanaan Pembangunan Nasional 2000-2004, yang menyebutkan optimalisasi peran pemerintah dalam upaya mengkoreksi distorsi pasar dengan menghilangkan berbagai hambatan yang mengganggu melalui regulasi, layanan publik, dan insentif. Alasan lain pengurangan subsidi BBM adalah karena subsidi BBM tidak mencapai target kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Subsidi BBM lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat mampu. LPEM Universitas Indonesia dalam Siregar (2003) menunjukkan bahwa kelompok masyarakat miskin di Indonesia hanya mengeluarkan 0.20 persen dari pendapatannya untuk konsumsi
36 BBM dan listrik, sementara kelompok masyarakat menengah mengeluarkan 7.008.00 persen dari pendapatannya untuk konsumsi BBM dan listrik. Subsidi harga BBM menjadikan harga BBM di dalam negeri lebih murah daripada di luar negeri sehingga menyebabkan penyelundupan BBM ke luar negeri. Menurut Basri (2008) kenaikan harga BBM akan menjadi disinsentif bagi penyalahgunaan atau penyelundupan BBM dan juga akan mengurangi konsumsi BBM. Menurunnya penyelundupan dan konsumsi dapat menurunkan impor BBM, sehingga nilai tukar rupiah menguat dan inflasi dapat dikendalikan. Selain itu kenaikan harga BBM akan berdampak positif terhadap lingkungan melalui pengurangan emisi CO2 dan menciptakan peluang bagi pengembangan energi alternatif non-fosil dan energi terbarukan. Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menyebutkan bahwa pelaksanaan program kompensasi BBM bagi masyarakat kurang mampu, yang mengikuti kenaikan harga BBM, ternyata tidak berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan. Hartono (2006) mengatakan bahwa kebijakan pengurangan subsidi BBM bagi kelompok rumahtangga miskin juga perlu dihindari. Apabila terjadi peningkatan efisiensi penyaluran dana kompensasi maka dalam jangka panjang kebijakan pengurangan subsidi harga BBM dapat dilakukan tanpa diikuti dengan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Salah satu program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang terkait langsung dengan kompensasi kenaikan harga jual BBM adalah program BLT. Program ini dilatarbelakangi upaya mempertahankan daya beli RTS (Rumahtangga Sasaran) ketika harga jual BBM dinaikkan. Akan tetapi menurut Purnomo (2006), BLT dalam pelaksanaannya rawan penyelewengan dan
37 seringkali menyebabkan warga masyarakat memilih tercatat sebagai anggota keluarga miskin agar memenuhi syarat untuk mendapat BLT. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Oleh sebab itu terdapat dua permasalahan yang terkait dengan kebijakan subsidi harga BBM, kinerja perekonomian, dan tingkat kemiskinan di Indonesia, yaitu: 1.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pasar dan perdagangan BBM di Indonesia ?
2.
Bagaimana dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian
yang
ditunjukkan
oleh
pertumbuhan
ekonomi,
pengangguran, tingkat inflasi, dan neraca perdagangan serta tingkat kemiskinan dan kesejahteraan di Indonesia ? 1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.
Menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
penawaran
dan
permintaan BBM, khususnya yang terkait dengan subsidi harga BBM di Indonesia. 2.
Meramalkan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia pada periode tahun 2010-2014. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai rujukan
bagi upaya pengendalian subsidi BBM, dampaknya terhadap perekonomian dan
38 tingkat kemiskinan, pengaruhnya terhadap kesejahteraan, masukan bagi para pengambil keputusan, serta sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya. 1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini berskala nasional dengan batasan wilayah penelitian adalah
wilayah Indonesia dengan data series tahun 1986 sampai 2006. Berkaitan dengan judul penelitian, terdapat lima hal penting yang menjadi ruang lingkup penelitian, yaitu pasar BBM, kebijakan subsidi harga BBM, kinerja perekonomian nasional, tingkat kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia. Pasar BBM yang dibangun dalam model meliputi permintaan, penawaran, dan harga jual eceran BBM. Permintaan BBM dikelompokkan pada sektor transportasi, industri, rumahtangga dan komersial, dan lainnya, dimana BBM dianggap sebagai final goods di masing-masing sektor. Selain itu blok penawaran BBM adalah persamaan identitas, sementara persamaan impor BBM dan ekspor elpiji adalah persamaan struktural. Kebijakan penciutan jenis BBM subsidi dan kebijakan pembatasan kelompok pengguna yang berhak membeli BBM subsidi, telah mengurangi volume BBM subsidi dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006. Namun karena data volume konsumsi BBM subsidi pada tahun 2006 tidak dirinci menurut jenis BBM, maka penelitian ini tetap menggunakan data volume konsumsi BBM total. Subsidi harga BBM dalam satuan rupiah per liter merupakan selisih antara harga dunia dengan harga jual ecerannya di dalam negeri. Harga dunia premium,
39 minyak solar, dan minyak tanah diambil dari MOPS (Mid Oil Platt’s Singapore)5 dikalikan dengan faktor alpha6. Hasil perhitungan dikurangi dengan harga jual ecerannya untuk mendapatkan perkiraan besaran subsidi harga per jenis BBM per tahun. Harga MOPS sebagai patokan mulai diberlakukan sejak tahun 2006 bersama dengan pemberlakuan alpha. Pada tahun-tahun sebelumnya penentuan subsidi BBM menggunakan metode cost and fee7. Nilai alpha mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri, maksimum 15 persen dari harga dunia BBM. Besaran alpha ditetapkan setiap tahun bersamaan dengan subsidi BBM yang dicantumkan dalam UU APBN. Pada tahun 2006 nilai alpha sebesar 14.1 persen, tahun 2007 sebesar 13.5 persen, tahun 2008 sebesar 9.0 persen, dan tahun 2009 sebesar 8.0 persen. Oleh karena keterbatasan data dan dalam rangka simplifikasi, maka dalam penelitian ini digunakan nilai alpha maksimum sebesar 15.0 persen. Sementara itu harga dunia elpiji menggunakan proksi harga ekspor elpiji. Subsidi harga elpiji merupakan selisih antara harga ekspor elpiji dikurangi dengan harga jual eceran elpiji di dalam negeri. Dalam perhitungan pajak dan pendapatan negara, pemerintah Indonesia menggunakan harga patokan minyak mentah dalam negeri yang disebut dengan Indonesian Crude Price (ICP). Namun ICP ini tidak mencerminkan harga dunia
5
MOPS merupakan harga rata-rata biaya produksi BBM dari kilang-kilang di seluruh dunia. Namun diketahui bahwa harga yang tertera pada MOPS lebih mencerminkan kekuatan pasar penawaran dan permintaan BBM. MOPS diperlukan untuk mendapatkan data mengenai harga dunia jenis BBM tertentu yaitu premium, minyak solar, dan minyak tanah. 6 Merupakan konstanta (biasanya dalam persen atau per seratus) yang merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Badan Usaha, diluar pengadaan BBM, yang terdiri dari biaya pengangkutan melalui laut/darat, penyimpanan, depresiasi, biaya administrasi, marjin Badan Usaha, dan marjin Stasiun Pompa Bensin Umum. 7 Suatu metode untuk menghitung biaya pokok produksi BBM yang terdiri dari cost (pembelian minyak mentah, biaya pengolahan, biaya distribusi, biaya pengangkutan laut/darat, biaya umum, biaya bunga, biaya penyusutan, nilai surplus produk) dan fee (upah atau margin Badan Usaha).
40 atau harga keekonomian BBM. Oleh karena itu, penelitian ini tidak menggunakan angka ICP, tetapi menggunakan harga dunia minyak mentah terbitan BPMIGAS dan harga dunia BBM yang dikeluarkan oleh MOPS. Menurut teori ekonomi, bentuk subsidi yang paling sedikit menimbulkan masalah mistargeting adalah subsidi lumpsum seperti BLT, karena langsung ditujukan bagi masyarakat yang ditargetkan. Penelitian ini tidak melakukan pembahasan dan pembandingan antara berbagai bentuk subsidi dan
tidak
mendiskusikan dana kompensasi kenaikan harga BBM. Masalah lain yang berkaitan dengan belanja subsidi adalah adanya opportunity cost belanja subsidi BBM. Pertanyaan yang muncul adalah berapa ‘biaya kesempatan’ yang hilang sebagai akibat dari belanja subsidi Rp146.6 triliun pada tahun 2008 yang lalu ? Hal ini juga tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Jenis BBM dibatasi hanya pada jenis premium (bensin), minyak solar, dan minyak tanah. Sejak tahun 1977/78 hingga tahun 2009 ketiga jenis BBM tersebut masih mendapat subsidi dari pemerintah8. Selain itu, konsumsi ketiga jenis BBM itu mencapai 79.21 persen pada tahun 1990 dan sebesar 87.55 persen pada tahun 2005 dari total konsumsi BBM (subsidi dan non-subsidi) di dalam negeri.9 Perilaku ekonomi ketiga jenis BBM tersebut diasumsikan mewakili perilaku ekonomi seluruh jenis BBM. Dalam rangka mengatasi semakin mahalnya subsidi minyak tanah, pemerintah melaksanakan Program Konversi Minyak Tanah ke 8 Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan Perpres Nomor 9 Tahun 2006, disebutkan bahwa konsumen minyak tanah adalah rumahtangga dan usaha kecil; konsumen premium adalah usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum; sementara konsumen solar adalah usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum. Elpiji yang ditujukan sebagai substitusi minyak tanah untuk konsumen rumahtangga dan usaha kecil, juga mendapatkan subsidi, dan dikemas dalam tabung ukuran 3 kilogram. 9 Bahan Bakar Minyak (BBM), menurut kelaziman yang berlaku di Indonesia, terdiri dari 7 jenis yaitu avtur, avgas, premium, minyak solar, minyak tanah, minyak diesel, dan minyak bakar (lihat Lampiran 3). Sejak tahun 2001, hanya premium, minyak solar, dan minyak tanah yang masih disubsidi pemerintah.
41 Elpiji yang dimulai pada tahun 2007. Karena elpiji berfungsi sebagai pengganti minyak tanah untuk memasak rumahtangga dan usaha kecil, maka elpiji dimasukkan sebagai salah satu bahasan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan aggregat demand dimana perekonomian nasional diuraikan menjadi konsumsi, investasi, ekspor bersih, dan belanja pemerintah. Variabel yang digunakan untuk menggambarkan kinerja perekonomian adalah variabel inflasi, jumlah pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan ekspor bersih. Kinerja perekonomian secara tidak langsung dipengaruhi oleh pasar BBM dengan subsidi harga BBM sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal, di samping pajak. Pada blok permintaan agregat, masing-masing variabel didisagregasi berdasarkan kelompok pengguna BBM yaitu pengguna transportasi, industri, rumahtangga dan komersial, dan lain-lain. Ekspor BBM dan impor elpiji tidak dikaji lebih lanjut karena Indonesia memang tidak melakukan ekspor BBM, sedangkan impor elpiji juga baru dilakukan oleh Indonesia pada tahun 2003. Variabel dominan pada pasar uang yang berkaitan dengan subsidi harga BBM, antara lain nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga domestik, Indeks Harga Konsumen, dan penawaran dan permintaan uang. Untuk melengkapi pendekatan aggregat demand, maka blok pasar tenaga kerja sederhana, yang mewakili pendekatan aggregate supply, dibangun sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam kaitannya dengan kebijakan subsidi harga BBM. Persamaan-persamaan yang menyusunnya meliputi penawaran, permintaan, pengangguran, dan upah tenaga kerja. Jumlah pengangguran merupakan selisih antara jumlah penawaran dan permintaan tenaga kerja.
42 Blok kemiskinan dititikberatkan pada kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan tidak dianalisis lebih lanjut karena data untuk keduanya baru mulai tersedia tahun 1999. Pembagian kemiskinan didisagregasi menurut wilayah perdesaan dan perkotaan dengan pertimbangan adanya perbedaan perilaku dalam mengkonsumsi BBM di kedua wilayah tersebut. Disparitas konsumsi terjadi karena adanya dominasi kayu bakar yang banyak dikonsumsi di wilayah perdesaan. Sementara di wilayah perkotaan pilihan energi rumahtangga dan usaha kecil untuk memasak adalah minyak tanah dan elpiji. Kesejahteraan dihitung dengan menggunakan indikator sederhana yaitu pergerakan/transfer kesejahteraan antara produsen, konsumen, dan anggaran subsidi BBM yang tercantum dalam belanja negara. Dampak bersih kesejahteraan digambarkan dengan penjumlahan dari surplus konsumen, surplus produsen, dan perubahan besaran subsidi BBM. Kebijakan one price policy diterapkan pemerintah dalam pemberlakuan harga jual eceran BBM, yaitu: (1) harga jual eceran premium dan solar adalah sama di seluruh wilayah Indonesia pada titik penyerahan di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum), (2) harga jual eceran minyak tanah adalah sama di seluruh Indonesia dengan titik penyerahannya di depo PT Pertamina (Persero), sementara harga jual eceran minyak tanah yang diterima masyarakat berdasarkan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditetapkan oleh kepala daerah setempat, dan (3) harga jual eceran elpiji adalah sama pada titik penyerahan di agen elpiji PT Pertamina (Persero).